Anda di halaman 1dari 61

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Agama Islam adalah salah satu agama dengan penganut terbesar di
permukaan bumi, dunia Islam juga pernah memiliki masa kejayaan dan
kebesaran dimana peradabannya menjadi kiblat pengetahuan bagi peradaban
lain dari seluruh penjuru dunia di berbagai bidang, baik itu kesehatan,
pendidikan, sosial masyarakat, politik dan sebagainya.
Sebagai sebuah ajaran, Islam telah membutikan diri bahwa ia dapat
bertahan melewati berbagai macam perubahan zaman, sebab substansi
ajarannya sangatlah lengkap dan mencakup semua sisi kehidupan manusia,
meskipun dalam perjalanannya banyak sekali muncul cara-cara baru manusia
menerjemahkan dan menginterpretasikan ajaran tersebut, baik secara pikiran
maupun prakteknya atau yang kita sebut dengan firqah-firqah Islam.
Tetapi hari ini boleh dikatakan Islam mengalami kemunduran dalam
progres keikut-sertaannya sebagai garda terdepan pelopor pengembangan ilmu
pengetahuan, jika dibandingkan dengan abad pertengahan kebelakang.
Islam dan ilmu pengetahuan memang sudah sepatutnya dikembalikan
kedalam satu jalur yang seiring dan selaras, pasalnya hari ini kita banyak
melihat bahwa kita mejadi korban branding opini kaum-kaum orientalis
bahwa kita adalah kaum yang tertinggal, kolot, tidak mampu menyesuaikann
diri dengan jaman serta dikotomi antara sains dan agama.
Pendidikan Islam, pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan
keimanan, ketakwaan, serta membentuk akhlak mulia pada diri peserta didik.
Untuk itu, peran Pendidikan Agama Islam di sekolah sangat penting, bahkan
ketika orang tua terlanjur percaya bahwa peran dan fungsi pendidikan yang
efektif dan efisien adalah di sekolah. Kenyataan ini, mengakibatkan hampir
seluruh tugas kependidikan dialihkan ke sekolah termasuk mengajarkan
pengetahuan agama Islam dan pembinaan moral. Maka, disinilah urgensi dari
eksistensi sekolah yang kemudian di nilai sebagai wahana religiusasi dan

1
humanisasi. Dengan demikian, sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta
umum menyadari akan pentingnya peran Pendidikan Agama Islam dalam
kurikulum mereka.
Keadaan tersebut diatas pada akhirnya membentuk sebuah polarisasi
atas tanggung jawab pendidikan ke-agamaan generasi kita, yang membuat
struktur pendidikan Islam formal menjadi terasa jauh dari tanggung jawab
pihak non-institusi pendidikan itu sendiri. Padahal jika berbicara tujuannya,
pendidikan agama bukanlah sebuah model pendidikan kejuruan, melainkan
pendidikan karakter yang implikasinya bersifat holistik pada kehidupan
peserta didik apabila pendidikan agama tersebut ditumbuhkan dengan cara
yang tepat pada diri siswa.
Belum lagi, kurikulum dan materi Pendidikan Agama Islam (PAI)
yang berlangsung selama ini oleh sebagian pengamat pendidikan dinilai belum
bisa mencerahkan peserta didik karena kurang dikaitkan atau concern terhadap
persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang bersifat kognitif
menjadi makna dan nilai yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik
untuk bergerak, berbuat dan berperilaku secara konkret-agamis dalam
kehidupan praksis sehari-hari.1
Ditinjau dari beberapa literatur pendidikan Islam, tujuan pendidikan
Islam lebih mengarah pada pengembangan potensi fitrah manusia. Tujuan
tersebut sesuai dengan misi kenabian. Namun dalam proses pelaksanaannya,
pendidikan Islam banyak mengadopsi pendidikan sekuler yang notabenenya
lebih menekankan dimensi aqliyah dan jismiyah. Aplikasi pendidikan Islam
juga mengesampingkan fitrah lain yang tidak kalah penting dalam tujuan
pendidikan.
Kembali kepada problem general umat islam secara global hari ini, jika
dilihat dari kacamata pendidikan Islam kita, rasanya tantangan dan

1
Siswanto, “Model Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Sekolah”, Tadris,

Program Studi Pendidikan Agama Islam Jurusan Tarbiyah STAIN Pamekasan, Vol. 5 No.

2 (2010), hal. 142.

2
pertanyaan-pertanyaan yang dihadirkan oleh globalisasi belum bisa dijawab
dengan baik. Maksimal, posisi aplikasi pendidikan Islam hari ini sepertinya
hanya sebagai filter untuk menangkal dampak-dampak negatif ketika
disandingkan dengan tantangan globalisasi. Dimana seharusnya Islam sebagai
ajaran dapat berjalan seiring dan selaras tidak hanya dalam menangkal hal
negatif tapi juga bagaimana dapat berkontribusi positif memanfaatkan
perubahan zaman yang sedang terjadi.
Pada posisi ini, kita kemudian mempertanyakan keberadaan pemikir-
pemikir Islam dan gagasan mereka yang mampu memberikan titik terang
dalam keadaan yang disruptif, yang jelas pemikir-pemikir tersebut hadir tidak
secara instan, namun melalui proses panjang seperti salah satunya melalui
dunia perguruan tinggi.
Himpunan Mahasiswa Islam adalah salah satu organisasi
kemahasiswaan tertua dan terbesar di Indonesia, didirikan sejak 1947,
organisasi ini memiliki tujuan “Terbinanya insan akademis, pencipta,
pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya
masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT”. Organisasi ini
berorientasi untuk mengenalkan Islam dengan jalan yang rasional serta tidak
mendikotomikannya dengan misi-misi keduniaan dan kemanusiaan. Orientasi
yang bertolak belakang dengan apa yang didengungkan kaum orientalis barat.
HMI pada saat didirikan, memiliki pandangan bahwa pada saat itu
kaum Islam melenceng jauh dari khittah perjuangannya, atas dasar kondisi
ummat dan bangsa saat itu, dirumuskanlah Nilai-nilai Dasar Perjuangan
Organisasi sebagai landasan ideologis organisasi untuk mencapai tujuannya
melalui jenjang pelatihan dan perkaderan yang bertujuan menumbuhkan pola
pikir kritis agar ummat muslim tidak terbelenggu dalam dogma-dogma yang
mengekang, serta agar mereka yang berproses didalamnya dapat memahami
agama sebagai suatu hal yang kongkrit dan mengakui kebenarannya secara
rasional melalui nilai-nilai pendidikan Islam yang ada didalamnya.
Dalam mengenalkan pendidikan islam, mayoritas pelatih atau
instruktur khususnya di materi Nilai-nilai Dasar Perjuangan HMI, mereka

3
menggunakan pendekatan Dekonstruksi-Rekonstruktif, karna sesuai dengan
apa yang disampaikan diatas, HMI ingin mengenalkan agama sebagai sebuah
entitas kebenaran yang dapat dijangkau dengan rasio manusia, tanpa
menghilangkan esensi utama dari ajaran-ajaran islam tersebut. Sedangkan
pada kenyataannya banyak dari ummat islam bahkan bisa dikatakan mayoritas
dari kita mengenal Islam dari otrang tua kita, ‘Islam Keturunan’, begitu kita
menyebutnya. Maka dari itu metode dekonstruksi-rekonstruktif dirasa cocok
karna tujuannya merobohkan pemikiran yang mapan dalam diri kita namun
bukan semata-mata menghancurkannya melainkan untuk membangunnya
kembali dengan memikirkan makna tersembunyi yang sering tidak dijangkau.
Dengan latar belakang pemikiran demikian, sebagai wadah gerakan dan
pemikiran mahasiswa islam yang berusia lebih dari tiga perempat abad,
banyak alumninya muncul sebagai tokoh pemikir ke-Islaman, seperti
Nurcholish Madjid, Dawam Raharjo, Kuntowijoyo, Azyumardi Azra dan lain-
lain yang membawa gagasan tentang pembaharuan serta rekonstruksi
pemikiran Islam yang di antaranya dalam bidang pendidikan
Munculnya pemikiran pembaharuan dari tokoh-tokoh HMI tersebut
bisa dibilang sebagai gambaran dari hasil proses pendidikan yang ter-
internalisasikan dengan baik, selain tanpa menafikan potensi personal mereka
dalam dunia akademis, perlu kiranya kita mencari relevansi dari salah satu
dari banyak faktor yang mempengaruhi pemikiran mereka dengan hasil
pemikiran mereka itu sendiri. Yang dalam hal ini peneliti menaruh hipotesis
peneliti faktor tersebut adalah nilai-nilai yang di internalisasikan dalam proses
awal mereka bergelut di dunia pemikiran dan pergerakan Islam di Himpunan
Mahasiswa Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pola perkaderan di HMI?
2. Bagaimana tujuan gagasan tentang rekonstruksi pendidikan Islam di
aktualisasikan?
3. Bagaimana relevansi perkaderan HMI dengan aktualisasi rekonstruksi
pendidikan Islam?

4
C. Tujuan Penelitian
Dari masalah yang diuraikan peneliti diatas, maka peneliti menyatakan
rumusan masalah dalam skripsi ini sebagai berikut:
1. Menerangkan tentang perkaderan HMI.
2. Menjabarkan tujuan rekonstruksi pendidikan Islam.
3. Menjelaskan relevansi perkaderan HMI dengan aktualisasi rekonstruksi
pendidikan Islam.
D. Kegunan Penelitian
1. Teoritis
Menjabarkan secara sistematis tentang khazanah pendidikan Islam yang
relevan dengan gagasan “Rekonstruksi Pendidikan Islam” yang terdapat di
dalam Perkaderan HMI.
2. Praktis
Sebagai acuan penilaian serta uji kelayakan tentang kesesuaian
nilai-nilai dasar pada pendidikan di HMI dengan tuntutan rekonstruksi
pendidikan Islam.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini berfokus pada beberapa literatur yang membahas
pendidikan Islam, literatur yang membahas gagasan rekonstruksi
pendidikan Islam dan pedoman perkaderan HMI serta materi-materi
didalamnya sebagai objek kajiannya.2
F. Landasan Teoritik

Landasan teoritis sangat perlu agar penelitian memiliki dasar yang


kokoh, dan bukan sekedar perbuatan coba-coba (trial and error). Adanya
landasan teoritis ini, sebagai ciri bahwa penelitian ini memiliki kerangka
ilmiah dalam perolehan datanya. Teori diartikan sebagai seperangkat
konstruk (konsep), definisi, dan proposisi yang berfungsi untuk melihat
2
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2010), hal.

79.

5
fenomena secara sistematis, melalui spesifikasi hubungan antar variable,
sehingga dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena.

1. Perkaderan HMI
Perkaderan HMI adalah usaha HMI dalam meningkatkan kualitas
para anggota HMI dengan cara memberikan pemahaman ajaran dan nilai
kebenaran Islam dengan penuh hikmah, kesabaran, dan kasih sayang.
Perkaderan tersebut meliputi pembinaan sikap serta penambahan
pengetahuan dan keterampilan (Himpunan Mahasiswa Islam Cabang
Yogyakarta, 2016).
Karakteristik model perkaderan di HMI sendiri, mengacu pada
Pedoman Perkaderan yang telah di sepakati secara nasional melalui
kongres Pengurus Besar HMI. Terdapar beberapa metode perkaderan yang
dilakukan baik secara formal maupun informal. Secara formal terdapat tiga
bentuk model, yaitu jenjang pendidikan, jenjan pengembangan, jenjang
pengabdian. Ketiga model perkaderan ini bukanlah model yang linier.
Namun model yang terus tersambung satu sama lainnya. Sehingga
keberadaan satu model perkaderan tidak bisa lepas atas keberadaan dua
jenjang lainnya. Artinya keberhasailan HMI dalam mewujudkan kader
berkualifikasi insan cita3 dengan satu jenjang tidak akan berhasil jika tidak
didukung oleh dua jenjang perkaderan lainnya.

3
Pasal IV Anggaran Dasar HMI, Hasil-hasil Kongres XXXI HMI. Surabaya 2020.

6
Gambar 1.1: Skema perkaderan formal HMI

2. Aktualisasi Rekonstruksi Pendidikan Islam

a. Pengertian Aktualisasi

Aktualisasi dalam bahasa Indonesia berasal dari kata

“aktual” yang berarti Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

mendefinisikan aktual menjadi tiga makna yaitu:

1. Betul-betul ada (terjadi); sesungguhnya. 

2. Sedang menjadi pembicaraan orang banyak (tentang peristiwa

dan sebagainya). 

3. Baru saja terjadi; masih baru (tentang peristiwa dan

sebagainya); hangat.

Dalam konteks pembahasan penelitian ini, aktualisasi berarti proses

mewujudkan, menyatakan sebuah gagasan.

b. Pengertian Rekonstruksi

7
Rekonstruksi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal

dari kata “konstruksi” berarti pembangunan yang kemudian di tambah

imbuhan “re” pada kata konstruksi menjadi “rekonstruksi‟ yang

berarti pengembalian seperti semula.4 Dalam Black Law Dictionary5,

reconstruction is the act or process of rebuilding, recreating, or

reorganizing something, rekonstruksi di sini dimaknai sebagai proses

membangun kembali atau menciptakan kembali atau melakukan

pengorganisasian kembali atas sesuatu.

Rekonstruksi yang berarti membangun atau pengembalian

kembali sesuatu berdasarkan kejadian semula, dimana dalam

rekonstruksi tersebut terkandung nilai–nilai primer yang harus tetap

ada dalam aktifitas membangun kembali sesuatu sesuai dengan kondisi

semula. Untuk kepentingan pembangunan kembali sesuatu, apakah itu

peristiwa, fenomena-fenomena sejarah masa lalu, hingga pada

konsepsi pemikiran yang telah dikeluarkan oleh pemikira-pemikir

terdahulu, kewajiban para rekonstruktor adalah melihat pada segala

sisi, agar kemudian sesuatu yang coba dibangun kembali sesuai dengan

keadaan yang sebenarnya dan terhindar pada subjektifitas yang

berlebihan, dimana nantinya dapat mengaburkan substansi dari sesuatu

yang ingin kita bangun tersebut.

c. Pengertian Pendidikan Islam

4
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 2005, h. 942.
5
Bryan A.Garner, Black’ Law Dictionary, ST. Paul Minn: West Group, 1999, h.
1278.

8
Kata Islam dalam pendidikan Islam menunjukkan warna

pendidikan tertentu, yaitu pendidikan yang berwarna Islam, pendidikan

yang Islami, dan pendidikan yang berdasarkan Islam.6 Sebelum

dibahas lebih lanjut makna pendidikan menurut Islam, disini akan

diuraikan terlebih dahulu definisi pendidikan menurut para pakar

Istilah pendidikan sering kali tumpang tindih dengan istilah

pengajaran. Oleh karena itu tidak heran jika pendidikan terkadang juga

dikatakan “pengajaran” atau sebaliknya pengajaran disebut sebagai

pendidikan.7 Menurut Marimba, pendidikan adalah bimbingan atau

pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani

dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.8

Pendidikan Islam juga terbagi dua kata, yaitu: pendidikan dan Islam.

Pendidikan berasal dari kata “education” yang berarti melatih atau

mengajarkan. Pendidikan adalah suatu proses pelatihan dimana

terdapat dua subyek yang saling berhubungan, yaitu yang satu

memimpin dan yang satunya lagi dipimpin.

Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar yang

dilakukan manusia untuk membawa anak didik ketingkat dewasa

dalam arti mampu memikul tanggung jawab moral. Sedangkan

menurut Ngalim Purwanto “Pendidikan ialah segala usaha orang

6
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Menurut Perspektif Islam (Bandung: PT Remaja
Rosda Karya,2010) hal 22.
7
Moh. Roqib. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di
Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat (Yogyakarta: PT.LKiS Printing Cemerlang, 2009) hal
13.
8
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan..., 24

9
dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin

perkembangan jasmani dan rohaninya kearah kedewasaan yang

nantinya akan berguna bagi dirinya dan masyarakat disekitarnya”.9

Pendidikan dalam pengertian yang lebih luas dapat

diartikan sebagai suatu proses pembelajaran kepada peserta didik

(manusia) dalam upaya mencerdaskan dan mendewasakan peserta

didik tersebut.10 Dalam hubungannya ini dapat dipasti-kan bahwa

pendidikan itu tidak hanya menumbuhkan, melainkan

mengembangkan ke arah tujuan akhir. Juga tidak hanya suatu proses

yang sedang berlangsung, melainkan suatu proses yang berlangsung ke

arah sasarannya. Sedangkan “Pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan

yang berdasarkan Islam. Islam adalah nama agama yang dibawa oleh

Nabi Muhammad Saw. Islam berisi seperangkat ajaran tentang

kehidupan manusia, ajaran itu dirumuskan berdasarkan dan bersumber

pada al-qur’an dan hadits.”11 Ilmu pendidikan Islam dapat diartikan

sebagai studi tentang proses kependidikan yang didasarkan pada nilai-

nilai filosofis ajaran berdasarkan Al-qur`an dan Sunnah Nabi

Muhammad Saw.12 Dengan redaksi yang sangat singkat, ilmu

pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam.13

9
Ngalim Purwanto MP, Psikologi Pendidikan,(Bandung: Remaja Rosdakarya,
1996)23
10
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 1994), cet. II, hal. 1

11
Ibid… hal. 132
12
Ibid, hal. 13
13
Ibid, hal. 12

10
Kata “Islam” yang berada di belakang “pendidikan” selain menjadi

sumber motivasi, inspirasi, sublimasi dan integrasi bagi pengembangan

bagi ilmu pendidikan, juga sekaligus menjadi karakter dari ilmu

pendidikan Islam itu sendiri. Ilmu pendidikan Islam yang berkarakter

Islam itu adalah ilmu pendidikan yang sejalan dengan nilai-nilai luhur

yang terdapat di dalam Al-qur`an dan Sunnah.14

G. Metode Penelitian
1. Bentuk Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Kualitatif Deskriptif dimana
tujuannya adalah untuk menggambarkan dan menjelaskan sebuah
fenomena secara objektif.
2. Sampel dan Populasi Penelitian

Karena menggunakan pendekatan kajian pustaka, maka penelitian


ini mengambil sampel dari beberapa buku dan karya ilmiah yang
membahas terkait rekonstruksi pendidikan Islam dan pedoman perkaderan
HMI (Hasil-hasil Kongres HMI 2021, Surabaya) sebagai data primer.
Kemudian sebagai data pendukung peneliti tulisan dan karya ilmiah lain
untuk menunjang data primer sebagai data sekunder (karya-karya yang
membahas pemikiran Muhammad Iqbal dan Azyumardi Azra)

3. Instrumen Penelitian
Instrumen dokumentasi literatur digunakan dalam penelitian yang
biasanya menggunakan pendekatan analisis isi. Subjek penelitian dengan
instrumen dokumentasi didominasi oleh buku, dokumen-dokumen,
catatan-catatan, peraturan-peraturan, hingga benda-benda bersejarah yang
berhubungan dengan penelitian.
4. Metode Pengumpulan Data

14
Ibid, hal. 15

11
Data-data yang dikumpulkan diperoleh dengan cara mencari
sumber-sumber dokumen terkait di perpustakaan dan di arsip yang tersedia
di internet.
5. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis data studi
literatur/Kajian Pustaka karena subjek penelitian merupakan buku dan
bacaan serta pemikiran bebrapa tokoh dengan cara mengukur similaritas
esensi dari dua variabel yang diteliti.
H. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dimaksudkan untuk memberikan gambaran


secara runtut dari alur skripsi, serta memudahkan pembaca dalam mengenali
konstruk skripsi. Keseluruhan skripsi ini terdiri dari lima bab antara lain:

Bab pertama, berupa pendahuluan, yang berisi latar belakang masalah


yang mendasari penelitian ini. Selanjutnya, rumusan masalah, tujuan dan
kegunaan penelitian, telaah pustaka, landasan teoritik, metode penelitian, dan
sistematika pembahasan.

Bab kedua, berisi tentang sistematika penelitian dan kajian teori


terkait Perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam, aktualisasi rekonstruksi
pendidikan islam dan telaah pustaka terkait penelitian yang berhubungan
dengan penelitian ini.

Bab ketiga berisi penyajian data dari literature dan hasil pembacan
yang dilakukan dalam penelitian ini

Bab keempat, berupa hasil analisis relevansi antara perkaderan


Himpunan Mahasiswa Islam pada rekonstruksi pendidikan Islam. Diakhir
bab, diuraikan kelebihan dan kekurangan teori dan materi literature yang
dibahas dalam penelitian ini.

Bab kelima, merupakan bagian akhir pembahasan skripsi, yaitu


berupa penutup, kesimpulan dan saran-saran. Di lembar berikutnya setelah
bab ini, dicantumkan daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang

12
berhubungan dengan penelitian.

BAB II

PERKADERAN HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM

A. Kajian Teori
1. Perkaderan HMI
a. Pengertian Perkaderan
Dalam bahasa skemasehari-hari perkaderan bisa juga disebut
dengan istilah training ataupun pelatihan. Dalam hasil kongres HMI
disebutkan bahwa perkaderan adalah usaha organisasi yang
dilaksanakan secara sadar dan sistematis, selaras dengan pedoman
perkaderan HMI, sehingga memungkinkan seorang anggota HMI
mengaktualisasikan potensi dirinya menjadi seorang kader muslim,
intelektual, professional yang memiliki kualitas insan cita.15
Dalam buku manajemen sumber daya manusia, di sebutkan
bahwa pelatihan adalah proses sistematik pengubahan perilaku para
anggota dalam suatu arah guna meningkatkan tujuan-tujuan
organisasional. Pelatihan merupakan hal yang penting, karena
keduanya merupakan cara yang digunakan oleh organisasi untuk
mempertahankan, menjaga, memelihara anggota dalam organisasi dan
sekaligus meningkatkan produktivitasnya.16 Lain halnya dengan
Andew E. Sikula mengemukakan bahwa pelatihan (training) adalah
15
Hasil-hasil kongres HMI XXVII, Depok 05-10 november 2010, Hal. 309

13
suatu proses pendidikan jangka pendek yang mempergunakan prosedur
sistematis dan terorganisasi.17
Sebenarnya pelatihan dan kaderisasi adalah dua hal yang
berbeda tetapi identik pengertiannya, karena kaderisasi cakupannya
lebih luas, sedangkan pelatihan adalah sebuah sistem yang dibangun
dan terstruktur dan direncanakan serta biasanya mempunyai
kedudukan yang terstruktur. Bisa dikatakan bahwa pelatihan adalah
perwujudan proses kaderisasi. Namun karena proses kaderisasi yang
pertama dan utama di HMI berwujud pelatihan maka dalam hal ini bisa
dikatakan pelatihan dapat mewakili pengertian kaderisasi di HMI.
HMI sendiri mempunyai identitas sebagai organisasi
perkaderan dan perjuangan. Perkaderan HMI merupakan upaya
peningkatan kualitas anggota-anggotanya dengan memberikan
pemahaman ajaran dan nilai kebenaran Islam secara penuh hikmah,
kesabaran dan kasih sayang. Perkaderan tersebut meliputi pembinaan
sikap serta penambahan pengetahuan dan keterampilan yang
memungkinkan kader HMI tampil sebagai khalifah Allah di muka
bumi. Sedangkan hakekat perjuangan HMI adalah kesungguhan
melaksanakan ajaran Islam pada kehidupan masyarakat secara
bertahap dan konsisten diseluruh aspeknya. (Himpunan Mahasiswa
Islam, 2020)
Berbicara tentang perkaderan (pelatihan) tentunya tidak lepas
dari obyek atau individu yang di berikan pelatihan yang mana dalam
HMI individu tersebut dinamakan dengan kader. Eksistensi suatu
organisasi apapun, apalagi lembaga-lembaga kemahasiswaan sebagai
sumber rekrutmen kepemimpinan bangsa di masa depan, pasti
memerlukan kader.

16
Ambar Teguh S & Rosidah, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2003), Hal.175-176
17
Anwar Prabu Mangkunegara, Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya
Manusia, (Bandung: Refika Aditama, 2006), Hal. 50

14
Kader adalah anggota inti organisasi, mereka ini adalah ujung
tombak dan penggerak organisasi. Karenanya mereka harus memiliki
pandangan, visi, dan ideologi organisasi tersebut. Sebagaimna
disebutkan bahwa setiap kader memerlukan sosialisasi politik dan
pendidikan politik.18
Menurut AS Hornby (dalam kamusnya Oxford Advanced
Learner’s Dictionary) dijelaskan, pengertian kader adalah sekelompok
orang yang terorganisir secara terus menerus dan akan menjadi tulang
punggung bagi kelompok yang lebih besar. Hal ini dapat di jelaskan,
pertama, seorang kader bergerak dan terbentuk dalam berorganisasi,
mengena aturan-aturan permainan organisasi dan tidak bermain sendiri
sesuai dengan selera pribadi. Bagi HMI aturan-aturan itu sendiri dari
segi nilai adalah nilai dasar perjuangan (NDP). Dalam pemahaman
memaknai perjuangan sebagai alat untuk mentransformasikan nilai-
nilai keIslaman yang membebaskan (Libration force), dan memiliki
keberpihakan yang jelas terhadap kaum tertindas (mustadhafin).
Sedangkan dari segi operasionalisasi organisasi adalah AD/ART HMI,
pedoman perkaderan dan pedoman serta ketentuan organisasi lainnya.
Kedua, seorang kader mempunyai komitmen yang terus menerus
(permanen), tidak mengenal semangat musiman, tapi utuh dan
istiqomah (konsisten) dalam memperjuangkan dan melaksanakan
kebenaran. Ketiga, seorang kader memiliki bobot dan kualitas sebagai
tulang punggung atau kerangka yang mampu menyangga kesatuan
komunitas manusia yang lebih besar. Jadi fokus penekanan kaderisasi
adalah pola aspek kualitas. Keempat, seorang kader memiliki visi dan
perhatian yang serius dalam merespon dinamika sosial lingkungannya
dan mampu melakukan “social engineering”.19
Kaderisasi merupakan alat atau cara yang digunakan untuk
menanamkan pemahaman/doktrin kepada calon anggota dan anggota
18
Sidratahta Mukhtar, HMI dan Kekuasaan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006),
Hal. 89-90
19
Hasil-Hasil Kongres HMI XXVII, depok 05-10 november 2010, Hal. 308-309

15
agar mereka dapat mengenal organisasi lebih mendalam sehingga
memahami karakteristik, kultur, potensi, arah dan tujuan organisasi
tersebut. Oleh karena itu, sebuah keharusan bagi setiap organisasi
untuk melakukan sebuah proses kaderisasi.20
Tugas kader-kader HMI adalah untuk melibatkan sisi-sisi
derivasi anekaragam pemikiran, dengan peningkatan intensitas dan
kualitas diskursus keIslaman di setiap tingkatan organisasi. Jika bisa
dilaksanakan dengan baik, maka bisa di perkirakan akan muncul
generasi baru pemikir Islam di Indonesia.21
b. Substansi Ideologi HMI
Pada masa kepemimpinan Nurcholis Madjid, HMI secara
nasional mampu menghasilkan suatu dasar asasi yang kukuh bagi
organisasinya terutama untuk menjawab dengan tepat masalahmasalah
pembaharuan keagamaan di dalam umat. Dalam beberapa kalimat yang
dirumuskan dan disusun paling baik ialah Nilai Dasar Perjuangan
(NDP) yang dihasilkan selama kongres HMI ke-9 pada tahun 1969.
Adapun pokok-pokok pemikiran Cak Nur dalam NDP HMI
akan diuraikan berikut ini:22
1) Tentang Dasar Kepercayaan
Diakui sebagai kenyataan, bahwa kepercayaan atau
iman adalah hakiki bagi peradaban dan tak terelakkan bagi
manusia. Tetapi walaupun keimanan ini memberikan
kebenaran, namun ia pun melahirkan tradisi-tradisi
demikian membelit masyarakat dan dengan tegas menolak
perubahan. Oleh karena itu, sayang sekali bila harus
melawan kemajuan. Tampaknya jalan keluar dari problema
ini ialah bahwa bagaimanapun masyarakat harus
membebaskan tradisitradisi yang menghambat kemajuan
20
http://benkwit.blog.friendster.com/2005/12/mencari-format-kaderisasi-
yangmumpuni/ diakses 2 Desember 2022
21
Agussalim Sitompul, Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah
Perjuangan Bangsa Indonesia, (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), Hal.331
22
Jurnal HISTORIA Volume 6, Nomor 1, Tahun 2018, ISSN 2337-4713

16
dan kembali kepada keimanan semula yang ditegaskan
oleh Allah atau petunjuk sejati. Kalimat syahadat yang
pertama- “Tidak ada Tuhan melainkan Allah”-
mengandung pengertian baik penyangkalan maupun
pengecualian. Kalimat “Tak ada Tuhan”, menyangkali
semua kepercayaan palsu; sedangkan kalimat “melainkan
Allah” adalah pengecualian yang diperuntukkan bagi
kepercayaan yang benar terhadap Allah. (NDP HMI 1971,
hal. 5-7). Maksudnya, dengan menyangkali semua
kepercayaan palsu, manusia membebaskan dirinya sendiri
dari ikatan tradisi. Sedangkan dengan memberikan
pengecualian bagi yang benar, manusia menyerahkan
dirinya kepada Allah, itulah arti hakiki Islam. Manusia
memiliki bermacammacam jalan, termasuk pendekatan
terhadap Tuhan secara intuitif, secara ilmiah, secara
menyejarah, secara pengalaman; tetapi dalam
keterbatasannya manusia tidak dapat dengan
kesanggupannya sendiri benarbenar menangkap hakikat
Yang Maha Esa itu. Untuk ini manusia memerlukan wahyu
Tuhan yang tidak diberikan kepada setiap umat manusia,
tetapi hanya kepada orang-orang suci tertentu yang terpilih
sebagai rasul (utusan) dan nabi. Garis sejarah para rasul
dan nabi sepanjang zaman merentang dari nabi Adam
kepada Nuh kepada Ibrahim kepada Musa kepada Isa,
putra Mariam, memuncak dalam diri Muhammad SAW
nabi dan rasul terakhir sepanjang masa. (NDP.HMI, 1971 :
7). Dengan demikian, dari pemikiran Cak Nur yang
tertuang dalam NDP di atas dapat dikatakan, bahwa
kehidupan yang baik adalah yang disemangati oleh iman
dan ilmu. Bidang iman dan pencabangannya menjadi
wewenang wahyu, sedangkan ilmu pengetahuan menjadi

17
wewenang manusia untuk menguasai dan mengumpulkan
kehidupan dunia ini. Ilmu itu meliputi tentang alam dan
manusia (sejarah), dan untuk memperoleh ilmu
pengetahuan tentang nilai kebenaran sejauh mungkin,
manusia harus melihat alam dan kehidupan ini
sebagaimana adanya tanpa melekatkan kepadanya kualitas-
kualitas yang bersifat Ketuhanan. Sebab, seperti
diungkapkan sebelumnya, alam diciptakan dengan wujud
yang nyata dan objektif sebagaimana adanya. Alam tidak
menyerupai Tuhan dan Tuhan pun tidak sama dengan
alam. Sikap yang mempertuhankan dan mensakralkan
haruslah ditujukan kepada Tuhan semata; Tuhan yang
Maha Esa. Landasan berpikir seperti ini hendaknya
dimiliki oleh setiap kader HMI.
2) Tentang Masalah Kemanusiaan Sebagai khalifah Tuhan di
muka bumi, manusia akan cenderung kepada kebenaran.
(NDP HMI,1971 : 11). Hati nuraninya merupakan
pemancar bagi keinginannya untuk melakukan kebenaran.
Fitrahnya itu jugalah yang menyebabkan manusia berbeda
dari makhluk-makhluk yang lain. Menuruti perintah-
perintah hati nuraninya itu, menyebabkan manusia hidup
sesuai dengan fitrahnya dan oleh karenanya ia menjadi
benar dengan sendirinya. Manusia yang benar ialah mereka
yang menangkap makna hidup dengan mengerjakan amal
saleh atau perbuatanperbuatan yang berkebaikan. Dengan
demikian, kebahagiaan akan dapat ditemukan di dalam
langkah maju yang dilaksanakan dengan
perbuatanperbuatan baik. Berangkat dari pemikiran di atas,
dapat dikatakan bahwa Cak Nur sebenarnya menginginkan
kader HMI mencapai tingkatan manusia sejati (insan
kamil), yang mana kegiatan mental dan fisiknya

18
merupakan suatu keseluruhan. Kerja jasmani dan kerja
rohani bukanlah dua kenyataan yang terpisah. Malahan dia
tidak mengenal perbedaan antara kerja dan kesenangan,
kerja baginya adalah kesenggangan dan kesenangan ada
dalam dan melalui kerja. Dia berkepribadian, merdeka,
memiliki dirinya sendiri, menyatakan ke luar corak
perorangannya dan mengembangkan kepribadian dan
wataknya secara harmonis. Dia tidak mengenal perbedaan
antara kehidupan individual dan kehidupan komunal, tidak
membedakan antara perorangan dan sebagai anggota
masyarakat, hak dan kewajiban serta kegiatan-kegiatan
untuk dirinya adalah juga sekaligus untuk sesama umat
manusia.
3) Tentang Masalah Kemerdekaan Manusia Mengenai
masalah kemerdekaan, dikatakan bahwa tidak mungkin
kejujuran tanpa kemerdekaan. Kehidupan memiliki dua
sisi, fanâ’ (binasa) dan baqâ’ (abadi). Dalam hal yang
pertama, orang harus melakukan perbuatan baik dan siap
mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya,
baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat.
(NDP HMI, 1971 : 13). Dalam segi yang kedua, orang tak
berkesempatan lagi untuk melakukan perbuatan baik,
hanyalah menunggu peradilan Tuhan sendiri sebagai
pribadi. Pendek kata, manusia dilahirkan seorang diri,
menjadi anggota masyarakatnya, dan sesudah mati ia
seorang diri pula berhadapan dengan Tuhannya. Oleh
karena itu, kepribadian manusia merupakan kenyataan
dasar perikemanusiaan, yang di atasnyalah nilai-nilai
kemanusiaan berpangkal. Sebagai pribadi, manusia harus
memikul tanggung jawab atas perbuatannya; maka dari itu
kemerdekaan pribadi adalah hak utama dan asasi bagi

19
manusia. Sebagai makhluk sosial, di lain pihak, maka harus
mempergunakan kemerdekaannya itu tanpa merugikan
manusia lain. (NDP HMI, 1971 : 13-14).
c. Maksud dan Tujuan Perkaderan HMI
Maksud dan tujuan perkaderan adalah usaha yang dilakukan
dalam rangka mencapai tujuan organisasi melalui suatu proses sadar
dan sistematis sebagai alat transformasi nilai ke-Islaman dalam proses
rekayasa peradaban melalui pembentukan kader berkualitas muslim-
intelektual-profesional sehingga berdaya guna dan berhasil guna sesuai
dengan pedoman perkaderan HMI.
Segala usaha pembinaan yang mengarah kepada peningkatan
kemampuan mentransformasikan ilmu pengatahuan ke dalam
perbuatan nyata sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya secara
konsepsional, sistematis dan praksis untuk mencapai prestasi kerja
yang maksirnal sebagai perwujudan amal shaleh.23
Penjelasan dari membentuk kader yang muslim-inteektual-
profesional ialah, muslim (integritas watak dan kepribadian muslim),
yakni kepribadian yang terbentuk sebagai pribadi muslim yang
menyadari tanggung jawab kekhalifahannya dimuka bumi, sehingga
citra akhlakul karimah senantiasa tercermin dalam pola pikir, sikap dan
perbuatannya, dan juga intelektual Yakni segala usaha pembinaan yang
mengarah pada penguasaan dan pengembangan ilmu (sains)
pengetahuan (knowledge) yang senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai
Islam. Serta profesional sehingga berdaya guna dan berhasil guna
sesuai dengan pedoman perkaderan HMI. segala usaha pembinaan
yang mengarah kepada peningkatan kemampuan mentransformasikan
ilmu pengatahuan ke dalam perbuatan nyata sesuai dengan disiplin
ilmu yang ditekuninya secara konsepsional, sistematis dan praksis
untuk mencapai prestasi kerja yang maksimal sebagai perwujudan
amal shaleh.

23
Hasil-Hasil Kongres HMI XXVII, depok 05-10 november 2010, Hal. 313

20
d. Jenis-Jenis Training HMI
1) Training formal
Training formal adalah training berjenjang yang diikuti oleh
anggota, dan setiap jenjang merupakan prasyarat untuk mengikuti
jenjang selanjutnya.24 Yang termasuk kedalam training formal di
HMI adalah Latihan Kader. Latihan Kader adalah merupakan
media perkaderan formal HMI yang dilaksanakan secara
berjenjang serta menuntut persyaratan tertentu dari pesertanya
masing-masing jenjang latihan ini menitik beratkan pada
pembentukan watak dan karakter kader HMI melalui transfer nilai,
wawasan dan kemampuannya. Jenjang dari Latihan Kader meliputi
:
a) Latihan Kader I (Basic Training), diselengarakan oleh
pengurus HMI tingkat komisariat.
b) Latihan Kader II (Intermediate Training), di selenggarakan
oleh pengurus HMI tingkat cabang
c) Latihan Kader III (Advence Training), diselenggarakan oleh
pengurus HMI tingkat BADKO HMI dan PB HMI.
1) Training In-Formal
Training In-Formal adalah training yang dilakukan dalam
rangka meningkatkan pemahaman dan profesionalisme
kepemimpinan serta keorganisasian anggota.25 Training ini terdiri
dari :
a) PUSDIKLAT Pimpinan HMI, ialah Pusat Pendidikan Kilat
Pimpinan HMI yang merupakan jenis kegiatan yang
pesertanya dikhususkan untuk paran pimpinan HMI atau
ketua umum HMI. PUSDIKLAT Pimpinan HMI biasanya
diselenggarakan oleh HMI tingkat cabang.
b) Senior Course atau pelatihan instruktur.

24
Ibid, Hal. 314
25
Ibid, Hal. 314

21
Senior Course merupakan kegiatan yang diselenggarakan
oleh pengurus Cabang HMI, guna meletih para instruktur/
pemateri supaya nantinya dalam memberikan materi
perkaderan sesuai dengan pedoman perkaderan yang ada.
c) Latihan Kursus Kohati (LKK)
LKK merupakan kegiatan yang juga diselenggarakan oleh
pengurus HMI cabang, namun panitia pelaksana yang
bertanggung jawab penuh dalam kegiatan ini adalah para
pengurus HMI-Wati (KOHATI), dimana kegiatan ini
mendelegasikan peserta dari HMI-Wati yang ada di
komisariat-komisariat setiap perguruan tinggi yang ada di
Cabang.
d) Follow Up LK
Disamping pelaksanaan fungsi-fungsi perkaderan HMI,
juga terdapat beberapa bentuk Follow Up perkaderan HMI.
Proses perkaderan memerlukan pembinaan baik jangka
pendek, menengah, maupun jangka panjang secara
terencana, teratur dan kontinue. Kegiatan ini dilakukan baik
secara formal, melalui forum-forum perjuangan dan
kegiatan individu dalam kehidupan sehari-hari. Bisa
dikatakan bahwa follow up ini mencakup training in
practice. Pelaksanaan follow up merupakan tanggung jawab
kader yang sudah menjadi pengurus pada setiap tingkatan
kepengurusan organisasi. Misalnya melalui model study
club, mengadaan riset pengembangan diri dan organisasi.
Menyusun kertas kerja, bvmengambangkan dinamika
kelompok, job training dan fungsi-fungsi kepanitiaan baik
ditingkat internal maupun eksternal.26
e) Up-Grading kepengurusan,

26
Sidratahta Mukhtar, HMI dan Kekuasaan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006),
Hal. 97-98

22
Up Grading dimaksudkan sebagai media perkaderan HMI
yang menitikberatkan pada pengembangan nalar, minat dan
kemampuan peserta pada bidang tertentu yang bersifat
praktis, sebagai kelanjutan dari perkaderan yang
dikembangkan melalui Latihan Kader I.27 Up Grading disini
lebih di tekankan pada pengembangan kemampuan dalam
mengelola organisasi secara baik.28 Jadi Up Grading
kepengurusan ialah sebuah training yang melatih para kader
tentang sebuah manajemen organisasi.
e. Unsur-Unsur Training HMI
Yang dimaksud dengan unsur-unsur training adalah komponen
yang terlibat dalam kegiatan pelaksanaan perkaderan di HMI. Unsur-
unsur yang dimaksud adalah :
1) Pengurus HMI, yang meliputi :
a) Pengurus HMI cabang.
Pengurus HMI Cabang berperan dalam
menyelenggarakan Pelaksanaan Latihan Kader II
(Intermediate Training) yang berstatus sebagai panitia
pelaksana LK II, serta mengatur rvegulasi pelaksanaan
latihan kader I (Basic Training), dan legalisasi atas
pengukuhan kelulusan peserta yang dituangkan dalam
surat keputusan tentang pengukuhan dan pengesahan
Anggota Biasa Himpunan Mahasiswa Islam. Di
samping itu pengurus cabang juga bertanggung jawab
atas pelaksanaan training PUSDIKLAT Pimpinan HMI,
Senior Course, serta Latihan Kader Kohati (LKK).
b) Pengurus HMI Komisariat
Pengurus HMI Komisariat bertanggung jawab
atas terlaksananya latihan kader I (Basic Training)

27
Hasil-Hasil Kongres HMI XXVII, Depok 05-10 november 2010, Hal. 311
28
Ibid, Hal. 351

23
sebagai penyelenggara kegiatan, serta progam-progam
yang ada di komisariat.
c) Badan Pengelola Latihan (BPL)
Badan Pengelola Latihan (BPL) merupakan
institusi yang bertanggung jawab atas terlaksananya
semua progam perkaderan dan training.
2) Organizing Committee(OC);
Bertugas dan bertanggung jawab terhadap segala
sesuatu hal yang berhubungan dengan teknis
penyelenggaraan kegiatan.
Tugas-tugas OC secara garis besar adalah sebagai
berikut:
a) Mengusahakan tempat, akomodasi, konsumsi
dan fasilitas lainnya.
b) Mengusahakan pembiayaan dan perijinan
latihan.
c) Menjamin kenyamanan suasana dan keamanan
latihan.
d) Mengusahakan ruangan, peralatan dan
penerangan.
e) Bekerja sama dengan unsur-unsur lainnya dalam
rangka mensukseskan jalannya latihan. Kriteria
yang harus dipenuhin adalah : anggota biasa
HMI, telah mengikuti follow up dan Up Grading
LK I, minimal 30 hari diangkat oleh pengurus
HMI komisariat dengan surat keputusan.
3) Steering Committee (SC);
Bertugas dan bertanggung jawab atas pengarahan
dan pelaksanaan latihan.
Tugas-tugas SC secara garis besar adalah sebagai
berikut:

24
a) Menyiapkan perangkat lunak latihan.
b) Mengarahkan OC dalam pelaksanaan latihan.
c) Menentukan pemateri, instruktur serta
fasilitator.
d) Menentukan pemandu / Master Of Training
(MOT). Kriteria yang harus dipenuhi adalah :
memenuhi kualifikasi umum pengelola latihan,
terlibat aktif dalam perkaderan HMI,
diutamakan anggota BPL cabang, pernah
menjadi Organizing Committee(OC) LK I.
4) Pemandu/Master Of Training; bertugas dan bertanggung
jawab untuk memimpin, mengawasi, dan mengarahkan
latihan. Sejak dibukanya training, tanggung jawab
pengelolaan latihan berada sepenuhnya dalam tanggung
jawab pemandu/ Master Of Training sampai latihan di
nyatakan ditutup.
Tugas-tugas pemandu/ Master Of Training secara
garis besar sebagai berikut:
a. Memimpin latihan, baik dalam forum ataupun
diluar forum.
b. Memberikan materi apabila pemateri/instruktur/
fasilitator tidak dapat hadir.
c. Melakukan penajaman pemahaman atas materi
yang telah diberikan.
d. Melakukan evaluasi terhadap peserta.
e. Mengadakan koordinasi diantara unsur-unsur yang terlibat
langsung dalam latihan.

Kriteria yang harus dipenuhi adalah: memenuhi


kualifikasi umum dan khusus pengelola latihan.
Terlibat aktif dalam perkaderan HMI,

25
memahami dan menguasai materi LK I, dapat
menjadi suri tauladan yang baik, ditentukan oleh
SC.

5) Pemateri/instruktur/fasilitator; bertugas untuk


menyampaikan materi latihan yang dipercayakan
kepadanya.29 Dalam kegiatan perkaderan tentunya tidak
lepas oleh para instruktur yang berfungsi sebagai elemen
yang menentukan jalannya sistem perkaderan HMI.
Instruktur biasanya diambil dari aktivis HMI yang senior
yang dianggap telah matang memahami dan mendalami
proses perkaderan disertai barbagai pengalaman keHMIan.
Instruktur bertugas untuk menyampaikan materi, wawasan,
bimbingan, pembinaan dan membentuk kader-kader HMI.
Seorang trainer (instruktur) harus melakukan pembinaan
dan pendidikan secara efektif dan komprehensip. Mereka
harus mengarahkan kader-kader HMI yang lebih junior
untuk mencapai profil ideal kaderkader HMI yang
membentuk integritas dan kepribadian, pengembangan
kualitas intelektual dan pengambangan kemampuan
professional yang terpadu dan integralistik. Dalam
perkaderan HMI, para instruktur mempunyai syarat-syarat
yang harus dipenuhi meliputi:
a) Lulus Latihan Kader 1 (LK 1)
b) Mengikuti kursus senior course, yaitu suatu
wadah yang melatih untuk menjadi instruktur,
yang didalamnya dilakukan pendalaman
materimateri pokok maupun materi pendukung
lainnya.30 Semantara itu dalam buku manajemen

29
Hasil-Hasil Kongres HMI XXVII, Depok 05-10 november 2010, Hal. 369-370
30
Sidratahta Mukhtar, HMI dan Kekuasaan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006),
hal. 96

26
sumber daya manusia di jelaskan bahwa syarat-
syarat menjadi pelatih sebuah training antara
lain:31
(1) Teaching Skills.
Seorang pelatih harus mempunyai
kecakapan untuk mendidik atau
mengajarkan, membimbing, memberikan
petunjuk, dan mentransfer pengetahuannya
kepada peserta pengembangan. Ia harus
dapat memberikan semangat, membina, dan
mengembangkan agar peserta mampu untu
bekerja mandiri serta dapat menumbuhkan
kepercayaan pada dirinya.
(2) Communication Skills
Seorang pelatih harus mempunyai
kecakapan berkomunikasi, baik lisan
maupun tulisan secara efektif. Jadi dapat
dikatakan seorang peltih harus mampunyai
suara jelas, tulisan baik, dan kata-katanya
mudah difahami peserta.
(3) Personality Authority. Seorang pelatih harus
memiliki kewibawaan terhadap peserta. Ia
harus berperilaku baik, sifat dan
kepribadiannya disenangi, kemampuan dan
kecakapannya diakui.
(4) Social Skills. Seorang pelatih harus
mempunyai kemahiran dalam bidang sosial
agar terjamin kepercayaan dan kesetiaan dari
para peserta pengembangan. Ia harus suka

31
Malayu S.P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2000), Hal. 73-74

27
menolong, objektif, dan senang jika anak
didiknya maju serta dapat menghargai
pendapat orang lain.
(5) Technical Competent. Seorang pelatih harus
berkemampuan teknis, kecakapan teoritis,
dan tangkas dalam mengambil suatu
keputusan.
(6) Emotion Stability. Seorang pelatih tidak
boleh berprasangka jelek terhadap anak
didiknya, tidak boleh cepat marah,
mempunyai sifat kebapakan, keterbukaan,
tidak pendendam, serta memberikan nilai
objektif.
6) Peserta; adalah calon-calon kader yang telah lulus seleksi
dan telah dinyatakan sebagai peserta oleh penyelenggara.
Kriteria yang harus dipenuhi adalah : terdaftar sebagai
mahasiswa perguruan tinggi, dan tidak sedang menjalani
skorsing akademik, muslim/muslimah, bisa membaca Al-
Qur’an, Bisa melakukan Sholat (hafal bacaan sholat),
bersedia mengikuti seluruh kegiatan training, lulus seleksi.32
7) Metode Training; Berdasarkan hasil-hasil studi mendalam
yang pernah dilakukan HMI, ditetapkan metode
perkaderannya. Metode yang dipakai terutama sejak masa
tahun 1970-an adalah gabungan antara sistem diskusi
(Aloka sistem), sistem ceramah, dialog dan sistem
penugasan. Sistem aloka mengembangkan pemahaman
terhadap materi-materi training HMI melalui model diskusi,
sedangkan materi indoktrinasi dilakukan melalui metode
ceramah. Sedangkan penugasan adalah pemahaman materi-
materi training HMI dengan menggunakan pelatihan

32
Hasil-Hasil Kongres HMI XXVII, Depok 05-10 november 2010, Hal. 370

28
keterampilan peserta dimana sasarannya adalah
membangun kemampuan tertentu melalui penulisan,
laporan kerja dan bentuk-bentuk uji coba lainnya. Akan
tetapi metode yang digunakan dirancang agar tidak kaku
dan disesuaikan dengan keadaan lingkungan terutama
kondisi perguruan tinggi dimana perkaderan itu
dilaksanakan. Metode juga melibatkan unsur peserta untuk
ikut melibatkan diri dalam proses pelaksanaan. Misalnya
ada proses pelibatan peserta dalam kontrol belajar antara
peserta dengan panitia khususnya Master of Training,
sehingga metode pelatihan dan kaderisasi HMI mengikuti
konsep pendidikan politik modern.33

33
Sidratahta Mukhtar, HMI dan Kekuasaan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006),
Hal. 95

29
BAB III

AKTUALISASI REKONSTRUKSI PENDIDIKAN ISLAM

Pendidikan Agama Islam selain sebagai sebuah disiplin ilmu dalam


bidang pendidikan juga merupakan peran bagi tercapainya tujauan pendidikan
itu sendiri. Karena penekanan Pendidikan Agama Islam bukan hanya pada
internalisasi nilainilai teori saja tetapi mencangkup tatanan aplikatif yang lebih
berpengaruh terhadap interaksi sosial. Individu yang berkecimpung didalam
Pendidikan Agama Islam pun tidak kalah penting perannya dalam
mewujudkan tujuan pendidikan Nasional. Mereka adalah para pemberi kabar
gembira dan para pemberi peringatan, mereka adalah agen-agen pemerintah
dalam mewujudkan tujuan pendidikan khusunya yang berkaitan dengan
pembentukan watak yang menjadikan manusia beriman, bertakwa, berakhlak
mulia, demokratis dan bertanggung jawab. Para pendidik agama Islam harus
mewarnai hidup dan kehidupan ini dengan nilai- nilai ilahi, nilai-nilai tuhan,
nilai-nilai sang pencipta alam semesta, baik didalam kehidupannya ataupun
kehidupan orang-orang disekitarnya, baik dilingkungan sekolah, keluarga
ataupun masyarakat.
Peran mendidik adalah peran setiap manusia, karena mendidik dan
dididik adalah tugas dan fitrah setiap manusia. Hal ini bisa dilihat dari apa
yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW bawa “menuntut ilmu wajib bagi
setiap muslim dan muslimah”. Perintah mendidik juga difirmankan Allah
dalam surat al-Ashr “saling menasehatilah dalam kebenaran dan saling
menasehatilah dalam kesabaran”. Hanya manusialah makhluk berpendidikan.
Ini menunjukan bahwa peran mendidik bukan hanya milik guru, dosen, ustadz
dan pendidik-pendidik lainnya saja, tetapi tugas mendidik adalah tugas setiap
manusia. Terutama dalam Pendidikan Agama Islam. Dalam masyarakat
Pendidikan Agama Islam bukanlah sebuah disiplin ilmu ataupun institusi
belaka, tetapi Pendidikan Agama Islam adalah pendidikan jalan hidup untuk
mengarungi kehidupan dunia dan menggapai kebahagiaan di kehidupan
akhirat.

30
Pendidikan Islam yang dilakukan Rasulullah di Makkah merupakan
bentuk dasar dari pendidikan yang bertujuan untuk membina pribadi muslim
agar menjadi kader yang berjiwa kuat dan dipersiapkan menjadi masyarakat
Islam, mubaligh, dan pendidik yang baik. Dan setelah hijrah, disamping
membentuk pribadi muslim pendidikan Islam mengalami perkembangan dan
diarahkan untuk membina seluruh aspek-aspek kehidupan manusia dalam
mengelola dan menjaga kesejahteraan umat manusia.
Kepedulian Rasulullah terhadap pendidikan ini terlihat sekali pada saat
selesai perang Badar, bahwa tawanan perang dari orangorang Quraisy yang
mampu membaca dan menulis ditawari oleh beliau untuk mengajar membaca
dan menulis kepada masyarakat muslim di Madinah untuk menebus
kebebasan mereka, sehingga dalam waktu relatif singkat masyarakat muslim
di Madinah banyak yang mampu membaca dan menulis. Dengan demikian
dapat dikemukakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah sesuai dengan
tujuan hidup manusia, sebab pendidikan hanyalah alat yang digunakan oleh
manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya baik sebagai individu maupun
masyarakat.34
Pendidikan Islam adalah sebuah sarana atau pun furshoh untuk
menyiapkan masyarakat muslim yang benar-benar mengerti tentang Islam. Di
sini para pendidik muslim mempunyai satu kewajiban dan tanggung jawab
untuk menyam-paikan ilmu yang dimilikinya kepada anak didiknya, baik
melalui pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan Islam berbeda
dengan pendidikan yang lain. Pendidikan Islam lebih mengedepankan nilai-
nilai keislaman dan tertuju pada terbentuknya manusia yang ber-akhlakul
karimah serta taat dan tunduk kepada Allah semata. Sedangkan pendidikan
selain Islam, tidak terlalu memprioritaskan pada unsur-unsur dan nilai-nilai
keislaman, yang menjadi prioritas hanyalah pemenuhan kebutuhan inderawi
semata.

34
Thalhah Hasan, Dinamika Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Lantabora
Press. Hal. 58

31
Islam bukanlah agama sekuler yang memisahkan urusan agama dan
dunia. Dalam Islam, agama mendasari aktivitas dunia, dan aktivitas dunia
dapat menopang pelaksanaan ajaran agama. Islam bukan hanya sekedar
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan sebagaimana yang terdapat pada
agama lain, melainkan juga mengatur hubungan manusia dengan manusia dan
manusia dengan dunia. Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya
diwahyukan Allah kepada manusia melalui Nabi Muhammad Saw sebagai
rasul. Islam pada hakikatnya, membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya
mengatur satu segi, tetapi mengenai berbagai segi kehidupan manusia. Sumber
dari ajaran-ajaran yang mengambil berbagai aspek itu ialah Al-Qur`an dan al-
Sunnah.
A. Urgensi Rekonstruksi Pendidikan Islam
Jika diamati dari teori pendidikannya, teori pendidikan seiring
berjalannya waktu akan senantiasa berubah. Hal ini disesbabkan karena
teori pendidikan disusun berdasarkan kebutuan dari masyarakat akan
pendidikan. Kebutuhan dan keinginan manusia senantiasa berubah seiring
berjalannya waktu, sehingga manusia tidak pernah puas dengan adanya
teori pendidikan yang telah diterapkan. Mereka cenderung melakukan
perubahan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan tersebut,
sehingga hal ini menimbulkan kritik terhadap teori-teori yang sudah ada
pada suatu wilayah dan jangka waktu tertentu.
Seiring berkembangnya zaman, cara pandang manusia terhadap
pendidikan juga akan ikut berubah dan berkembang. Pandangan hidup
yang dimiliki ini seringkali menimbulkan ketidak-puasan dalam
memandang sistem pendidikan yang ada. Dampaknya adalah perubahan
sistem pendidikan yang sesuai dengan cara pandang hidupnya. Disamping
itu, pendidikan juga memerlukan kontribusi dari cabang-cabang ilmu yan
lain.35

35
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2006), hal. 26

32
Pendidikan Islam ke depan harus lebih memprioritaskan kepada
ilmu terapan yang sifatnya aplikatif, bukan saja dalam ilmu-ilmu agama
akan tetapi juga dalam bidang teknologi. Bila dianalisis lebih jeli selama
ini, khususnya sistem pendidikan Islam seakan-akan terkotak-kotak antara
urusan duniawi dengan urusan ukhrawi, ada pemisahan antara keduanya.
Sehingga dari paradigma yang salah itu, menyebabkan umat Islam belum
mau ikut andil atau berpartisipasi banyak dalam agenda-agenda yang tidak
ada hubungannya dengan agama, begitu juga sebaliknya. Agama
mengasumsikan atau melihat suatu persoalan dari segi normatif
(bagaimana seharusnya), sedangkan sains meneropong-nya dari segi
objektifnya (bagaimana adanya). Sebagai permisalan tentang sains, sering
kali umat Islam phobia dan merasa sains bukan urusan agama begitu juga
sebaliknya. Dalam hal ini ada pemisahan antara urusan agama yang
berorientasi akhirat dengan sains yang dianggap hanya berorientasi dunia
saja. Di sini sangat jelas dikotomi keilmuan tersebut.
Berkaitan dengan pendidikan Islam, menurut Azyumardi Azra
berbagai masalah amat kompleks yang dihadapi pendidikan Islam pada
dewasa ini. Tantangan abad ke-21 M, bagaimanapun menurutnya,
menuntut respons yang tepat dari sistem pendidikan Islam secara
keseluruhan. Jika umat Islam tidak hanya sekadar survive di tengah
persaingan global yang semakin tajam dan ketat, tetapi juga berharap
mampu tampil di depan. Reorientasi pemikiran mengenai pendidikan
Islam dan restrukturisasi sistem dan kelembagaan yang jelas merupakan
keniscayaan. Cara pandang yang menganaktirikan ilmu pengetahuan dan
teknologi tampak tidak bisa dipertahankan lagi.36
Melihat persoalan tentang pendidikan Islam yang cukup kompleks,
menurut Azyumardi, tidak mungkin dapat dipecahkan sekadar melalui
ekspansi linier dari pendidikan yang ada. Selain itu, tidak bisa terpecahkan
dengan jalan penyesuaian teknis adminisratif di sana sini. Bahkan, tidak

36
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi Dan Modernisasi Menuju Menuju
Millenium Baru (Jakarta: Logos 2000), hal. 186

33
bisa pula dengan pengalihan konsep pendidikan dari teknologi pendidikan
yang berkembang demikian pesar. Hal yang diperlukan untuk
menyelesaikan masalah masalah tersebut, menurutnya, adalah meminjam
kembali konsep atau asumsi yang mendasari seluruh sistem pendidikan
Islam, baik secara makro maupun mikro.37
Atas dasar peminjaman itu, pendidikan Islam perlu dikembangkan
dengan memadukan dua pendekatan, yaitu situasional jangka pendek dan
konseptual jangka panjang. Perpaduan pendekatan itu dibutuhkan karena
Azyumardi memandang hubungan usaha pendidikan Islam dengan
tuntutan zaman merupakan hubungan yang prinsipil dan bukan
insidental.38

B. Masalah Utama Pendidikan Islam

Secara garis besar, pendidikan Islam memiliki tiga masalah


fundamental yang dilihat dari aspek filosofis, (Wardi:2013) yaitu:
1. Problematika ontologis
Ontologi merupakan cabang ilmu filsafat yang
berhubungan dengan hakikat hidup. Ontologi diartikan juga
dengan hakikat apa yang terjadi. Masalah-masalah pendidikan
Islam yang menjadi perhatian ontologi menurut Muhaimin
adalah dalam penyelenggaraan pendidikan Islam diperlukan
pendirian mengenai pandangan manusia, masyarakat dan
dunia.39
Secara mikro, telaah Ilmu Pendidikan Islam
menyangkut seluruh komponen yang termasuk dalam
pendidikan Islam. Sedangkan secara makro, objek formal Ilmu
Pendidikan Islam ialah upaya normatif (sesuai dengan ajaran

37
Ibid
38
Ninik Masruroh & Umiarso, Modernisasi Pendidikan Islam Ala Azyumardi
Azra, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal 164

39
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan
Kerangka Operasionalnya (Bandung: Trigenda karya, 1993), hlm. 115.

34
dan nilai-nilai yang terkandung dalam fenomena qauliyah dan
kauniyah) keterkaitan pendidikan Islam dengan sistem sosial,
politik, ekonomi, budaya dan agama baik dalam skala
kedaerahan, nasional maupun internasional.40
Objek kajian pendidikan Islam senantiasa bersumber
dari landasan normatif Islam yaitu al-Qur’an (qauliyah) melalui
pengalaman batin Nabi Muhammad SAW yang kemudian kita
kenal dengan wahyu, kemudian disampaikan kepada seluruh
umat dan alam semesta (kauniyah). Dari kedua landasan inilah
kemudian digali dan dikaji sehingga melahirkan konsep dan
teori pendidikan yang bersifat universal. Kemudian, teori dan
konsep yang bersifat universal tersebut dikaji melalui kegiatan
eksprimen dan penelitian ilmiah yang pada gilirannya akan
melahirkan teori-teori atau Ilmu Pendidikan Islam dan
diuraikan secara operasional untuk kemudian dikembangkan
menjadi metode, kurikulum dan teknik pendidikan Islam.
Kajian pendidikan Islam senantiasa bertolak pada
problem yang ada di dalamnya, kesenjangan antara fakta dan
realita, kontroversi antara teori dan empiris. Maka dari itulah,
wilayah kajian pendidikan Islam bermuara pada tiga problem
pokok, antara lain:
a) Foundational problems, yang terdiri dari atas
religious foundation and philosophic foundational
problems, empiric fondational problems (masalah
dasar, fondasi agama dan masalah landasan
filosofisempiris) yang didalamnya menyangkut
dimensi-dimensi dan kajian tentang konsep
pendidikan yang bersifat universal, seperti hakikat
manusia, masyarakat, akhlak, hidup, ilmu

40
Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam
(Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 45.

35
pengetahuan, iman, ulul albab dan lain sebagainya.
Yang semuanya bersumber dari kajian fenomena
qauliyah dan fenomena kauniyah yang
membutuhkan pendekatan filosofis.
b) Structural problems (masalah struktural). Ditinjau
dari struktur demografis dan geografis bisa
dikategorikan ke dalam kota, pinggiran kota, desa
dan desa terpencil. Dari struktur perkembangan jiwa
manusia bisa dikategorikan ke dalam masa kanak-
kanak, remaja, dewasa dan manula. Dari struktur
ekonomi dikategorikan ke dalam masyarakat kaya,
menengah dan miskin. Dari struktur rumah tangga,
terdapat rumah tangga karier dan non karier. Dari
struktur jenjang pendidikan bisa dikategorikan ke
dalam pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,
menengah dan pendidikan tinggi.
c) Operational problem (masalah operasional). Secara
mikro akan berhubungan dengan berbagai
komponen pendidikan Islam, misalnya hubungan
interaktif lima faktor pendidikan yaitu tujuan
pendidikan, pendidik dan tenaga kependidikan,
peserta didik dan alat-alat pendidikan Islam
(kurikulum, metodologi, manajemen, administrasi,
sarana dan prasarana, media, sumber dan evaluasi)
dan lingkungan atau konteks pendidikan. Atau bisa
bertolak dari hubungan input, proses dan output.
Sedangkan secara makro, menyangkut keterkaitan
pendidikan Islam dengan sistem sosial, politik,
ekonomi, budaya dan agama baik yang bersifat
Nasional dan Internasional.41

41
Ibid, hal. 45

36
2. Problematika Epistemologi Pendidikan Islam
Dari beberapa literatur dapat disebutkan bahwa
epistemologi adalah teori pengetahuan, yaitu membahas
tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari objek
yang ingin dipikirkan.42 D.W. Hamlyn mendefinisikan
epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan
hakikat dan lingkup pengetahuan dan
pengandaipengandaiannya serta secara umum hal itu dapat
diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki
pengetahuan. Selanjutnya, pengertian epistemologi yang lebih
jelas, diungkapkan oleh Azyumardi Azra bahwa epistemologi
sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian,
struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan.43
Landasan epistemologi memiliki arti yang sangat
penting bagi bangunan pengetahuan, sebab ia merupakan
tempat berpijak. Bangunan pengetahuan menjadi mapan, jika
memiliki landasan yang kokoh. Landasan epistemologi ilmu
adalah metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam
menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan
prosedur dalam mendapatkan pengetahuan. Jadi, ilmu
pengetahuan merupakan pengetahuan yang diperoleh lewat
metode ilmiah. Dengan demikian, metode ilmiah merupakan
penentu layak-tidaknya pengetahuan menjadi ilmu, sehingga
memiliki fungsi yang sangat penting dalam bangunan ilmu
pengetahuan. Dari pengertian, ruang lingkup, objek, dan
landasan epistemologi ini, dapat kita disimpulkan bahwa
epistemologi merupakan salah satu komponen filsafat yang
berhubungan dengan ilmu pengetahuan, khususnya berkenaan

42
Ihsan Hamdani, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998),
hlm. 16.
43
Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam (Jakarta:
Kalam Mulia, 1986), hlm. 4.

37
dengan cara, proses, dan prosedur bagaimana ilmu itu
diperoleh. Dalam pembahasan ini epistemologi pendidikan
Islam lebih diarahkan pada metode atau pendekatan yang dapat
dipakai untuk membangun ilmu pengetahuan Islam, dari pada
komponen-komponen lainnya, sebab metode atau pendekatan
tersebut paling dekat dengan upaya mengembangkan
pendidikan Islam, baik secara konseptual maupun aplikatif.
Epistemologi pendidikan Islam bisa berfungsi sebagai
pengkritik, pemberi solusi, penemu, dan pengembang.
Pendekatan epistemologi memerlukan cara atau metode
tertentu, sebab ia menyajikan proses pengetahuan di hadapan
siswa dibandingkan hasilnya. Pendekatan epistemologi ini
memberikan pemahaman dan keterampilan yang utuh dan
tuntas. Seseorang yang mengetahui proses sesuatu kegiatan
pasti mengetahui hasilnya. Sebaliknya, banyak yang
mengetahui hasilnya tetapi tidak mengetahui prosesnya. Bisa
dipastikan bahwa jika pendekatan epistemologi ini benarbenar
diimplementasikan dalam proses belajar mengajar di lembaga
pendidikan Islam, siswa dapat memiliki kemampuan
memproses pengetahuan dari awal hingga wujud hasilnya. Jika
pendidikan Islam mengedepankan pendekatan epistemologi
dalam proses belajar mengajarnya, maka pendidikan Islam
akan banyak menelorkan lulusan-lulusan yang berjiwa
produsen, peneliti, penemu, penggali, dan pengembang ilmu
pengetahuan. Karena epistemologi merupakan pendekatan yang
berbasis proses, maka epistemologi melahirkan konsekuensi-
konsekuensi logis dan problematika yang sangat kompleks,
yaitu :
a) Pendidikan Islam seringkali dikesankan sebagai
pendidikan yang tradisional dan konservatif, hal ini
wajar karena orang memandang bahwa kegiatan

38
pendidikan Islam dihinggapi oleh lemahnya
penggunaan metodologi pembelajaran yang
cenderung tidak menarik perhatian dan
memberdayakan.
b) Pendidikan Islam terasa kurang concern terhadap
persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama
yang bersifat kognitif menjadi suatu “makna dan
nilai” yang perlu di internalisasikan dalam diri
seseorang lewat berbagai cara, media dan forum.
c) Metodologi pengajaran agama berjalan secara
konvensionaltradisional, yakni menitikberatkan
pada aspek korespondensitekstual yang lebih
menekankan yang sudah ada pada kemampuan anak
didik untuk menghafal teks-teks keagamaan
daripada isu-isu sosial keagamaan yang dihadapi
pada era modern seperti kriminalitas, kesenjangan
sosial dan lain lain.
d) Pengajaran agama yang bersandar pada bentuk
metodologi yang bersifat statis indoktrinatif-
doktriner.44
3. Problematika Aksiologi Pendidikan Islam
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat
nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Di
dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan
dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistemologis,
etika dan estetika. Epistemologi bersangkutan dengan masalah
kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan
estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.45

44
Mujtahid, Reformulasi Pendidikan Islam; Meretas Mindset Baru, Meraih
Paradigma Unggul (Malang: UIN-Maliki Press, 2011), hlm. 37.
45
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta.
Penerbit Tiara Wacana, 1996), hlm. 327.

39
Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah
etika (ethics) atau moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios
(nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis.
Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori
nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan
buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta
tentang cara dan tujuan (means and ends). Secara etimologis,
istilah aksiologi berasal dari Bahasa Yunani Kuno, terdiri dari kata
“aksios” yang berarti nilai dan kata “logos” yang berarti teori. Jadi
aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai.46
Kaum idealis berpandangan secara pasti terhadap tingkatan
nilai, dimana nilai spiritual lebih tinggi daripada nilai non spiritual
(nilai material). Demikian juga dengan kaum realis, mereka
menempatkan nilai rasional dan empiris pada tingkatan atas, sebab
membantu manusia menemukan realitas objektif, dan berfikir
logis. Kaum pragmatis pun berbeda, menurut mereka, suatu
aktifitas dikatakan baik apabila memuaskan kebutuhan yang
penting, dan memiliki nilai instrumental dan sangat sensitif
terhadap nilai-nilai yang menghargai masyarakat.
Dari lima komponen dalam pendidikan Islam (tujuan
pendidikan, pendidik dan tenaga pendidikan, peserta didik dan alat-
alat pendidikan Islam dan lingkungan atau konteks pendidikan.,
ketika dikaitkan dengan dimensi aksiologis, maka terdapat problem
antara lain:
a) Tujuan pendidikan Islam kurang berorientasi pada nilai-
nilai kehidupan masa yang akan datang, belum mampu
menyiapkan generasi yang sesuai dengan kemajuan
zaman.

46
Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Penerbit Alfabeta,
2007), hlm. 36.

40
b) Pendidik dan tenaga pendidikannya mulai memudar
dengan doktrin awal pendidikan Islam tentang konsep
nilai ibadah dan dakwah syiar Islam. Pendidik juga
disibukkan dengan hal-hal teknis seperti tunjangan
honor, tunjangan fungsional dan tunjangan sertifikasi.
c) Di kalangan peserta didikpun dalam menuntut ilmu
cenderung mengesampingkan nilai-nilai ihsan,
kerahmatan dan amanah dalam mengharap ridha
Allah.47

Kemudian, Azyumardi Azra meyoroti beberapa


persoalan- persoalan yang memang secara riil dihadapi oleh
pemikiran dan pendidikan Islam pada umumnya adalah
sebagai berikut.

Pertama, berkait dengan situasi objektif pendidikan


Islam, yaitu dengan adanya krisis konseptual. Krisis
konseptual tentang definisi dan pembatasan ilmu-ilmu di
dalam sistem pendidikan Islam itu sendiri. Krisis
konseptual yang dimaksud di sini adalah tentang
pembagian ilmu-ilmu di dalam Islam, yang implikasinya
bukan hanya dalam keilmuan itu sendiri, melainkan juga
dalam bidang kelembagaan yang selanjutnya akan
menimbulkan krisis kelembagaan. Permasalahan kedua
adalah krisis kelembagaan. Krisis kelambagaan ini adalah
adanya dikotomisasi antara lembaga-lembaga pendidikan
yang menekankan pada salah satu dari ilmu yang ada.
Apakah ilmu- ilmu agama ataukah ilmu-ilmu umum?
Misalnya, dengan adanya dualisme sistem pendidikan,
pendidikan agama yang diawali oleh madrasah dan

47
M. Wardi, PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM DAN SOLUSI ALTERNATIFNYA
(Perspektif Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis) Tadrîs Volume 8 Nomor 1 Juni 2013

41
pesantren dengan pendidikan umum Persoalan ketiga
adalah adanya konflik antara tradisi pemikiran dan
pendidikan Islam dengan modernitas. Persoalan keempat,
krisis metodologi atau pedagogik. Sekarang ini, semakin
tinggi kecenderungan di kalangan lembaga-lembaga
pendidikan Islam bahwa yang terjadi adalah lebih
merupakan proses teaching proses pengajaran, proses
learning, dan proses pendidikan. Persoalan yang kelima
adalah krisis orientasi. Lembaga-lembaga pendidikan Islam
atau sistem pendidikan Islam pada umumnya lebih
berorientasi ke masa silam ketimbang ke masa depan.
Dalam batas-batas tertentu, itu tidak jelek Sebab,
pendidikan atau proses pembelajaran itu juga berarti
"Pengawetan Tradisi”. Akan tetapi, kalau kecenderungan
orientasi ke masa belakang ini sangat kuat, lebih besar
porsinya daripada kecenderungan untuk masa depan, hal itu
akan mempunyai akibat lain.

Dalam menghadapi beberapa persoalan pokok


inilah. Azyumardi Azra mengemukakan beberapa alternatif
ke arah rekonstruksi pemikiran dan praktik pendidikan
Islam. Dalam konteks Islamisasi ilmu dan teknologi,
menurut Azyumardi Azra, merupakan langkah awal untuk
membangun paradigma lebih "Islami". Maka, kaum
Muslimin, terutama kaum terpelajar diharapkan untuk tidak
mengabaikan masalah-masalah yang terdapat pada tingkat
praksis yang belum terpecahkan. Permasalahan tersebut
adalah lemahnya masyarakat ilmiah, kurang integralnya
kebijaksanaan sains nasional, tidak memadainya anggaran
penelitian ilmiah, kurangnya kesadaran di kalangan sektor
ekonomi tentang pentingnya penelitian ilmiah, kurang

42
memadainya fasilitas perpustakaan, dokumentasi, dan pusat
informasi, serta masalah birokrasi, restriksi, dan kurangnya
insentif.

A. Gagasan Rekonstruksi Pendidikan Islam Muhammad Iqbal


Pada abad ke-20, khususnya setelah pemerintah Belanda
mendirikan sekolah-sekolah umum yang khusus dijadikan sebagai
pengkaderan kolonialis, mulai tercipta jurang pemisah yang curam
(Stenbrink, 2001: 10). Jurang pemisah tersebut berkaitan dengan proses
pembelajaran pendidikan Islam, di mana porsi yang diajarkan di sekolah
umum diatur oleh menteri pendidikan nasional. Baik di sekolah negeri
maupun swasta mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.
Kejadian seperti ini menyebabkan timbulnya sebuah dikotomi keilmuan
dalam lingkungan pemikir pendidikan. Sebagian kalangan tokoh
pendidikan beranggapan bahwa ilmu umum hanya terfokuskan pada ranah
intelektual anak didik. Sedangkan ilmu agama lebih fokus pada ranah
spiritual. Sampai-sampai pengistilahan terjadi pada kampus umum dan
kampus agama atau sekolah umum dan sekolah agama. Dengan adanya
dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan agama diperlukan
sebuah pemikiran baru untuk penggabungan keduanya. Muhammad Iqbal
(1877-1938), menjadi salah satu tokoh sentral sebagai pemikir dan
pembaharu yang mencoba menjembatani permasalahan dikotomi keilmuan
tersebut. Pemikirannya yang tajam telah mengusik banyak kalangan untuk
mengkaji dan menelaah lebih lanjut gagasan filosofis maupun praktis dari
pemikirannya (Shah, 2016; Qazi, 2013; Arnel, 1997).
Model pemikiran Iqbal dalam bidang pendidikan Islam dibangun
atas dasar keilmuan yang filologis dan dinamis. Yang berarti perombakan
besar-besaran diperlukan dalam pendidikan, untuk memenuhi kriteria
waktu, yang dimana reformasi harus dibangun atas dasar filosofis.
Gagasan Muhammad Iqbal tentang pendidikan Islam muncul
dengan dilatarbelakangi keadaan umat Muslim yang pada waktu itu

43
terjangkit penyakit dikotomi keilmuan dan pemahaman. Terlebih dalam
bidang pendidikan dengan munculnya dualism sistem pendidikan yaitu
antara pendidikan Barat dan pendidikan Timur (Malik, 1971: 84-86).
Iqbal menggemakan kembali perlunya membuka mata dan hati
untuk memahami realitas, tanpa harus terjebak dan mempunyai semangat
menjunjung tinggi kemanusiaan. Iqbal lewar sajak-sajaknya tidak hanya
mengkritik sistem pendidikan, melainkan ia juga menawarkan gagasan
pendidikannya berangkat dari filsafat manusia yang ditawarkannya.
Gagasan pendidikan Iqbal merupakan pendidikan yang menyeluruh dan
dinamis, dalam artian bahwa proses pendidikan tidak statis melainkan
melaju bersama kemajuan zaman. Sebab dalam konsepsinya tentang
manusia dan kehidupan, ia mengemukakan bahwa manusia mempunyai
kuasa atas hidupnya tidak semata-mata tunduk dan pasrah atas keadaan
kepada Tuhan. Dengan begitu bagi Iqbal pendidikan merupakan suatu
keseluruhan proses daya dan budaya yang mempengaruhi kehidupan
seseorang maupun kelompok masyarakat, yang meliputi prinsip dasar:
konsep individual, pertumbuhan individualitas, keserasian jasmani dan
ruhani, individu dan masyarakat, evolusi kreatif, peranan intelek dan
intuisi, pendidikan watak, tata kehidupan sosial Islam, suatu pandangan
kreatif tentang Pendidikan (Sayidain, 1945: 12). Prinsip dasar tersebut
merupakan gagasan filosofis yang menjadi pondasi dasar bagi terciptanya
pendidikan yang menyeluruh.
Rekonstruksi pendidikan berangkat dari tema sentral Iqbal tentang
filsafat manusia, yang dapat dipahami sebagai pilihan Tuhan, dan individu
merdeka yang berkaitan dengan kebebasan pribadinya, yang
direpresentasikan dalam filsafat khudi (Hassan, 1970: 161). Khudi yang
spenuhnya milik Iqbal ini merupakan fondasi penopang seluruh bangunan
pemikirannya dan sumbangan terbesarnya. Khudi yang secara harfiah
berarti kedirian (selfhood), sebagai ego, pribadi atau individualitas ini,
melukiskan manusia sebagai peerus ciptaan Tuhan yang mencoba
membuat dunia yang belum sempurna. Khudi merupakan suatu kesatuan

44
yang nyata, dan benar-benar mempunyai arti yang merupakan pusat dan
landasan keseluruhan organisasi kehidupan manusia (Sayidain, 1945: 12).
Iqbal mengajak seluruh manusia untuk memahami realitas khudi
(ego) yang ada pada setiap benda di alam semesta ini. Hanya saja,
masingmasing khudi tersebut mempunyai derajat bertingkat-tingkat, dari
yang tingkat rendah hingga tingkat yang tertinggi. Melalui penyadaran
akan khudi-nya sendiri itu, diharapkan tidak lagi mengatasnamakan pihak
lain, seperti atas nama Tuhan dan manusia. Dalam contoh pendidikan
perlu diarahkan menuju penyadaran manusia bahwa nasib manusia di
dunia ini bukan semata-mata sebagai kehendak Tuhan, melainkan juga
sebagai pilihannya sendiri. Di dunia ini, manusia memiliki posisi sebagai
partner kerja (co-worker) Tuhan, yang mempunyai kebebasan untuk
memilih dan melakukan tindakan. Melalui proses inilah akan berakhir
pada derajat khudi tertinggi manusia, yang disebut insan kamil. Terkait
dengan insan kamil yang menjadi tujuan khudi-nya Iqbal, secara eksplisit
ia juga menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam menurut sebagai
pembentukan kepribadian musim insan kamil dengan pola takwa. Insan
kamil berarti manusia yang utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan
berkembang secara wajar dan normal karena takwanya kepada Allah
(Iqbal, 1981: 97).
Dalam pendidikan Islam, insan kamil menjadi titik tuju yang akan
ditempuhnya untuk mengantarkan peserta didik agar mampu menghadapi
masa depan yang baik, di dunia maupun di akhirat. Menurut Iqbal insan
kamil sebenarnya tidak lain dari mukmin sejati. Mukmin sejati dalam
dunia ini adalah harapan dan kerja, perbaikan dan pembinaan, perdamaian
dan keserasian, tidak menjadi lemah karena adanya halangan dan tidak
menjauhi kesukaran (Azzam, 1954: 79).
Bagi Iqbal ciri-ciri insan kamil yaitu; a) manusia yang siap
menjadikan dirinya seolah-olah seperti tuhan, dengan menjelmakan sifat-
sifat Tuhan dalam dirinya. b) manusia yang memposisikan dirinya secara
proporsional bahwa eksistensinya adalah sebagai wakil Tuhan (khalifah

45
Allah) yang berkewajiban mengolah, menata, dan memberdayakan bumi.
c) insan kamil adalah poros (pusat) sesungguhnya dari daya ruhani,
kesejahtteraan, kedamaian, serta keselamatan dunia tergantung kepadanya
(ibid).
Iqbal menunjukkan jalan untuk mencapai kesempurnaan diri (insan
kamil) dengan cara, pertama, penguasaan diri. Penguasaan diri dapat
terwujud dengan menanamkan ketauhidan dalam jiwa. Tauhid menurut
Iqbal, merupakan esensi yang mengubah abu menjadi emas dan
merupakan rahasia pertumbuhan agama, hukum, hikmah, kekuatan, dan
kekuasaan. Ia adalah obat yang mematikan ketakutan dan keraguan serta
membangkitkan kerja dan harapan (Luce, 1985: 92). Kedua, ketaatan
kepada syari’ah. Ketaatan bisa membuat keterpaksaan menjadi kehendak
bebas dan manusia yang bebas bisa menundukkan alam semesta ini,
namun tetap mengikat dirinya dengan hukum syari’ah. Ketiga,
mewujudkan fungsi kekhalifahan Ilahi. Dalam mengemban tugah
kekhalifahan, seorang mukmin tidak menjauhkan diri dari dunia. Seorang
pembangun dunia harus berada di tengah-tengah dunia dan menghargai
alam fisik. Menurut Iqbal, Islam mengatakan “ya” kepada dunia fisik dan
menunjukkan jalan untuk menguasainya (Iqbal, 1981: 10).
B. Indikator Rekonstruksi pendidikan dalam perspektif Muhammad
Iqbal
Dari pemaparan tentang gagasan filosofis Muhammad Iqbal
tentang pendidikan Islam dapat direlevansikan dengan pendidikan Islam
masa kini. Ada bebarapa poin yang dapat dijadikan rekonstruksi dalam
bidang pendidikan Islam yaitu:
a. Pendidikan Islam harus mampu mendidik peserta didik agar
memiliki keberdayaan diri dalam bentuk sumber daya manusia,
yang teraktualisasikan dan terarahkan pada kreasi yang
konstruktif.
b. Upaya pendidikan Islam adalah bagian tak terpisahkan dari
ajaran Islam secara keseluruhan. Karena itu, tujuan akhirnya

46
harus selaras dengan tujuan hidup dalam Islam, tujuan hidup
muslim juga menjadi tujuan akhir pendidikan Islam.
c. Untuk mencapai tujuan tersebut pendidikan harus tertuju pada
pengembangan keseluruhan potensi manusia yang mencangkup
intelektual, fisik dan kemauan untuk maju. Dalam kaitanya
dengan ini Muhammad Iqbal menjelaskan beberapa
pemikiranya tentang kehendak kreatif. Hidup adalah kehendak
kreatif yang oleh Muhammad Iqbal disebut dengan Soz, yaitu
diri yang selalu bergerak kesatu arah. Aktivitas kreatif,
perjuangan tanpa henti dan partisipasi aktif dalam permaslahan
dunia harus menjadi tujuan hidup (Iqbal, 1981: 85). Berkat
kreativitas itulah manusia telah berhasil mengubah dan
menggubah yang belum tergarap dan belum terselesaikan dan
mengisinya dengan aturan dan keindahan.
d. Tujuan pendidikan harus mampu memecahkan masalah-
masalah baru dalam kondisi perorangan dan masyarakat atau
menyesuaikan dengan kondisi masyarakat.

Globalisasi seperti gelombang yang akan menerjang, tidak ada


kompromi, kalau tidak siap maka akan diterjang, kalau tidak mampu
maka akan menjadi orang tak berguna dan hanya akan menjadi penonton
saja. Akibatnya banyak Desakan dari orang tua yang menuntut sekolah
menyelenggarakan pendidikan bertaraf internasional dan desakan dari
siswa untuk bisa ikut ujian sertifikasi internasional. Sehingga sekolah
yang masih konvensional banyak ditinggalkan siswa dan pada akhirnya
banyak pula yang gulung tikar alias tutup karena tidak mendapatkan
siswa. K.G. Saiyidain (1945) dalam buku Iqbal’s Educational Philosophy
mengemukakan bahwa paling tidak ada delapan pandangan Iqbal tentang
pendidikan dalam rangka melaksanakan gagasan rekonstruksi
pemikirannya. Kedelapan pandangan ini adalah:

47
a. Konsep individu; Dengan konsep ini Iqbal menekankan bahwa
hanya manusia yang dapat melaksanakan pendidikan. Yang
dimaksud dengan manusia sempurna menurut Iqbal adalah
manusia yang dapat menciptakan sifat-sifat ketuhanan
menjelma dalam dirinya, sehingga berprilaku seperti Tuhan.
Sifat-sifat ini diserap ke dalam dirinya sehingga terjadi
penyatuan secara total.
b. Pertumbuhan individu; Muhammad Iqbal berpendapat bahwa
manusia sebagai makhluk individu akan mengalami berbagai
perubahan secara dinamis dalam rangka interaksinya dengan
lingkungan. Oleh karena itu, pendidikan dalam hal ini Upaya
memformulasikan kembali teori dan praktek pendidikan Islam
sehingga kontekstual terhadap arus global dengan
menghilangkan batas pendidikan Islam yang dikotomik menuju
pendidikan yang integralistik.
c. Keseimbangan jasmani dan rohani; Perkembangan individu
dalam pandangan Iqbal memiliki implikasi bahwa ia harus
dapat mengembangkan kekayaan batin dari esistensinya.
Pengembangan kekayaan batin ini tidak dapat dilaksanakan
dengan melepaskannya dari kaitan dengan materi.
d. Pertautan individu dengan masyarakat; Pemahaman di latas
memberikan pengertian yang mendalam tentang hakikat
pertautan antara kehidupan individu dengan kebudayaan
masyarakat. Masyarakat adalah tempat individu menyatakan
keberadaannya.
e. Kreativitas individu; Muhammad Iqbal menolak kausalitas
yang tertutup, yang menyebabkan seolah-olah tak ada satu pun
yang baru yang dapat atau mungkin terjadi lagi (Iqbal, 1981:
78).
f. Peran intelek dan intuisi; Ada dua cara untuk dapat menangkap
realita. Masing-masing cara mempunyai peran khusus dalam

48
mengarahkan dan memperkaya kerativitas manusia. Intelek
berperan menangkap realita melaluipancaindera bagian demi
bagian, tidak menyeluruh. Dalam hal ini Iqbal berpendapat
bahwa kebenaran metafisik tidak dapat diraih dengan jalan
melatih intelek. Kebenaran metafisik hanya dapat diperoleh
dengan jalan memusatkan perhatian pada apa yang mungkin
ditangkap oleh suatu kemampuan yang disebut dengan intuisi
(ibid: 120). Maksud dari pernyatan ini adalah bahwa Iqbal
menghendaki pertemuan antara kekuasaan lahir yang diperoleh
dari ilmu pengetahuan dengan kekuasaan batin yang muncul
dari intuisi. Dengan ini Iqbal menyimpulkan bahwa pendidikan
hendaknya memperhatikan aspek intelektual manusia dan
intuisinya sekaligus.
g. Pendidikan watak; Itulah yang disebut Iqbal dengan watak
yang tangguh. Watak ini mencakup sensivitas dan kekuatan.
Sensitif terhadap perikemanusiaan dan nilai –nilai ideal, dan
kekuatan dalam berpegang pada maksud yang telah dicetuskan
dalam kalbu. Untuk dapat mengembangkan watak seperti ini,
menurut Iqbal, pendidikan hendaknya dapat memupuk tiga sifat
yang merupakan unsur utama manusia, yaitu keberanian,
toleransi dan keprihatinan (ibid: 56).
h. Pendidikan sosial; Dengan ini Iqbal bermaksud
mengungkapkan bahwa tata kehidupan sosial seharusnya secara
aktif dapat menguras dan menggali segala kekuatan yang
tersirat dalam ilmu pengetahuan, di samping dapat pula
mengontrol dan mengawasi lingkungan kebendaan. Tidak
mungkin membangun suatu tatanan sosial tanpa disertai dengan
pemupukan ilmu pengetahuan dan pemanfaatannya, demi
mencapai tujuan yang hendak dicapai masyarakat manusia

49
BAB IV

ANALISIS RELEVANSI PERKADERAN HMI DENGAN


AKTUALISASI REKONSTRUKSI PENDIDIKAN ISLAM

A. Substansi materi Perkaderan HMI

Dalam menjalankan fungsinya sebagai organisasi kader, HMI


menggunakan pendekatan sistematik dalam keseluruhan proses
perkaderannya. Semua bentuk Aktivitas /kegiatan perkaderan disusun dalam
semangat integralistik untuk mengupayakan tercapainya tujuan organisasi.
Oleh karena itu sebagai upaya memberikan kejelasan dan ketegasan sistem
perkaderan yang dimaksud harus dibuat pola dasar perkaderan HMI secara
nasional. Pola dasar ini disusun dengan memperhatikan tujuan organisasi dan
arah perkaderan yang telah ditetapkan. Selain itu juga dengan
mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan organsiasi serta tantangan dan
kesempatan yang berkembang di lingkungan eksternal organisasi.48

Pola dasar ini membuat garis besar keseluruhan tahapan yang harus
ditempuh oleh seorang kader dalam proses perkaderan HMI, yakni sejak
rekrutmen kader, pembentukan kader dan gambaran jalur-jalur pengabdian
kader.

Secara garis besar, NDP ini diformalkan menjadi dokumen ideologis


organisasi HMI pada Kongres IX tahun 1969 di Malang.  NDP berguna untuk
menjawab tantangan dan kebutuhan perjuangan kader-kader pemimpin
muslim di HMI dalam misi mewujudkan “masyarakat adil makmur yang
diridhai Allah swt.” NDP juga berfungsi sebagai landasan etis dan  normatif
kader dalam mencapai 5 Kualitas Insan Cita (5KIC), atau
mencapai maqam kesempurnaan (insan kamil). Oleh sebab itu, NDP

48
Hasil-hasil Kongres HMI XXXI, (SURABAYA: Pengurus Besar HMI) 2021, hal.
122

50
merupakan ideologi bagi bagi HMI.49

B. Pola Perkaderan HMI dan Tawaran Solusi Pendidikan Islam Modern


Tujuan Perkaderan Perkaderan HMI disusun untuk pembentukan Kader
Cita HMI. Karateristik ideal tersebut terformulasi dalam ungkapan Al-
Qur’an, ulul albab, dengan kualifikasi sebagai berikut:

1. Hanya takut kepada ALLAH SWT :

a. Berjiwa berani dalam menghadapi tantangan dalam bentuk


apapun

b. Tawakal kepada Allah SWT dan hanya mengharap ridha-


Nya. b. Tekun beribadah,

2. Taat menjalankan ibadah mahdhah yang diajarkan Rasullullah SAW.

a. Rajin mengerjakan amalan–amalan sunnah

b. Suka bangun dan beribadah ditengah malam.

3. Memiliki ilmu dan hikmah :

a. Berpengalaman luas, serta mampu berpikir rasional dan


obyektif.

b. Memiliki kemampuan konseptual, sehingga dapat


memformulasikan dan menjelaskan apa yang diketahui dan
dirasakannya.

c. Sanggup mengantisipasi keadaan dan siap menghadapi segala


perubahan, karena memiliki daya apresiasi, prediksi dan
antisipasi yang tinggi.

d. Memiliki keterampilan praktikal yang menghasilkan karya–


karya nyata.

49
Said Muniruddin, Bintang Arasy; Tafsir Gnostik Tujuan HMI (MW KAHMI
ACEH: ACEH), 2014. Hal 28

51
4. Kritis dan teguh pendirian

a. Bersikap terbuka dan kritis terhadap berbagai macam


pandangan.

b. Bersikap selektif dan apresiatif terhadap berbagai pandangan,


serta inovatif untuk menciptakan karya-karya baru.

c. Sanggup sendirian (istiqomah) dan tidak terjebak pada


pandangan mayoritas.

5. Progresif dalam berdakwah :

a. Bersedia berdakwah dengan sungguh-sungguh.

b. Sanggup dan berani menghadapi segala bentuk resiko.

c. Kreatif dalam strategi dan taktik berdakwah.

d. Memiliki penampilan dan daya tahan fisik serta psikologis


yang tinggi.

Dengan Kualifikasi Insan Ulil Albab itu maka diharapkan kader


akan menjadi seorang: Mu’abid : Kader menjadi insan yang tekun
beribadah, mulai dari ibadah yang terkait pada dirinya maupun terkait
pada lingkungannya. Mujahid : Kader memiliki semangat juang yang
tinggi sehingga ia memiliki pemahaman dan kemampuan berjihad dalam
garis agama Mujtahid : Kader mampu berijtihad sehingga segala
tindakannya didasarkan pada pilihan sadar dari dalam dirinya Mujadid :
Kader menjadi harapan atas usaha organisasi yang memiliki
kekamampuan dalam melakukan pembaharuan dilingkungan sekitarnya.

Perkaderan HMI secara filosofis tersusun dalam tiga tahap,


dimana tahap pertama yaitu Latihan Kader I atau Basic Training,
bertujuan untuk memberikan pemahaman ontologis tentang keislaman.
Kemudian yang ke dua adalah intermediate training atau Latihan Kader

52
II yang lebih bercorak epistimologis dimana sistem pelatihan dan
materinya menekankan pada tujuan agar kadernya memiliki kesadaran
intlektual yang kritis, dinamis, progresif, inovatif. Sedangkan materi
Latihan Kader III memfokusan pada aspek askiologis dimana tujuannya
adalah Memiliki kemampuan kepernimpinan yang amanah, fathanah,
sidiq dan tabligh serta mampu menterjemahkan dan mentransformasikan
pernikiran konsepsional dalam dinamika perubahan sosial. Selain itu juga
bagaimana kader memiliki kemampuan untuk mengorganisir masyarakat
dan mentransformasikan nilai-nilai perubahan untuk mencapai
masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah SWT.

C. Relevansi Ideologi HMI dengan Gagasan Rekonstruksi Pendidikan


Islam Muhammad Iqbal

1. Pemberdayaan diri

Dalam Tafsir Independensi HMI juga disebutkan, bahwa


anggota HMI merupakan investasi manusia yang besar dan berarti,
yang dimasa mendatang akan menduduki jabatan dan fungsi
pimpinan yang sesuai bakat dan profesinya. Dengan sifat dan garis
independen yang menjadi watak, dan menempuh jalan atas dasar
keyakinan dan kebenaran.50

Unsur pemberdayaan diri juga sangat kental dalam salah


satu poin lima kualitas insan cita HMI, 51 lebih tepatnya dalam poin
Insan Pencipta; yang dijabarkan dalam kurikulum pendidikan HMI
sebagai manusia yang memiliki kemampuan:

a. Sanggup melihat kemungkinan-kemungkinan lain


yang lebih dari sekedar yang ada, dan bergairah besar
untuk menciptakan bentukbentuk baru yang lebih baik
dan bersikap dengan bertolak dari apa yang ada (yaitu

50
Agus salim sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI,........, hlm.17.
51
Solichin, HMI Chandradimuka Mahasiswa,........, hlm.34.

53
Allah). Berjiwa penuh dengan gagasan-gagasan
kemajuan, selalu mencari perbaikan dan pembaharuan.

b. Bersifat independen dan terbuka, tidak isolatif, insan


yang menyadari dengan sikap demikian potensi,
kreatifnya dapat berkembang dan menemukan bentuk
yang indah-indah.

c. Dengan ditopang kemampuan akademisnya dia


mampu melaksanakan kerja kemanusiaan yang
disemangati ajaran Islam.

2. Dedikotomisasi Pendidikan Duniawi-Ukhrawi

Dengan kapasitas keilmuan dan keahlian masing-masing,


mereka menyibukkan diri untuk membenah kehidupan dunia.
Mereka memiliki keseimbangan antara sisi ukhrawi dan duniawi,
pribadi dan sosial, ‘ubudiyah dan rububiyah, vertikal
(hablumminallah) dan horizontal (hablumminannas). Mereka ini
sangat rasional dan spiritualis. Secara sosial mereka sangat aktif,
inovatif, dan cenderung pada pengabdian. Karena keseimbangan
antar dimensi inilah yang menjadikan mereka layak mendapat
amanah sebagai khalifah fil ardh (wakil Tuhan), yang misinya
memakmurkan bumi.52

HMI menawarkan pandangan integrative antara misi


keduniaan dan tujuan akhirat, hal ini dapat terlihat dalam gagasan
NDP HMI yang secara sistematis membahas kepercayaan hingga
keadilan social ekonomi, yang di implementasikan lewat Mission
HMI. Secara sederhana dapat digambarkan melalui sketsa berikut
ini:

52
Said Muniruddin, Bintang Arasy; Tafsir Gnostik Tujuan HMI (MW KAHMI
ACEH: ACEH), 2014. Hal

54
3. Pendidikan Yang Menghasilkan
Kehendak Kreatif Manusia

Dalam “Lima Kualitas Insan Cita


HMI”, terdapat poin “Insan
Pencipta”, dimana kurikulum
pendidikan di HMI menekankan
indicator poin tersebut sebagai
berikut:

a. Sanggup melihat kemungkinan-


kemungkinan lain yang lebih dari
sekedar yang ada dan bergairah besar
untuk menciptakan bentuk-bentuk
baru yang lebih baik dan
bersikapdengan bertolak dari yang
Ada (yaitu Allah). berjiwa penuh
dengan dengan gagasan-gagasan
kemajuan, selalu mencari perbaikan
dan pembaharuan.
b. Bersifat independen, terbuka, tidak isolatif, insan yang
menyadari potensi, sehingga dengan demikian kreatifnya dapat
berkembang dan menentukannilai ihsan dalam berkehidupan.
c. Dengan memiliki kemampuan akademis dan mampu
melaksanakan kerja kemanusiaan yang disemangati ajaran
Islam.

4. Pendidikan yang ber-orientasi kemanusiaan dan kemasyarakatan

Bertolak dari landasan-landasan, pola dasar dan arah


perkaderan HMI, maka Aktivitas perkaderan HMI diarahkan dalam
rangka membentuk kader HMI, muslim-intelektual-profesional yang
dalam aktualisasi peranannya berusaha mentransformasikan nilai-

55
nilai ke-Islaman yang memiliki kekuatan pernbebasan (liberation
force). Aspek-aspek yang ditekankan dalam usaha pelaksanaan
kaderisasi tersebut ditujukan pada:

a. Pembentukan integritas watak dan kepribadian Yakni


kepribadian yang terbentuk sebagai pribadi muslim yang
menyadari tanggung jawab kekhalifahannya di muka
bumi, sehingga citra akhlakul karimah senantiasa
tercermin dalam pola pikir, sikap dan perbuatannya.

b. Pengembangan kualitas intelektual Yakni segala usaha


pembinaan yang mengarah pada penguasaan dan
pengembangan ilmu (sain) pengetahuan (knowledge) yang
senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai Islam.

c. Pengembangan kemampuan Profesional Yakni segala


usaha pembinaan yang mengarah kepada peningkatan
kemampuan mentransformasikan ilmu pengetahuan ke
dalam perbuatan nyata sesuai dengan disiplin ilmu yang
ditekuninya secara konsepsional, sistematis dan praksis
untuk mencapai prestasi kerja yang maksirnal sebagai
perwujudan arnal shaleh.

d. Pembentukan karakter kemandirian yakni segala usaha


pembinaan kepribadian mandiri dalam mewujudkan kader
yang kreatif dan inovatif yang senantiasa dilandasi oleh
nilai-nilai islam.

Usaha mewujudkan keempat aspek harus terintegrasi


secara utuh sehingga kader HMI benar-benar lahir menjadi
pribadi dan kader Muslim-Intelektual-Profesional, yang
mampu menjawab tuntutan perwujudan masyarakat adil dan
makmur yang diridhoi Allah SWT.

56
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

HMI sebagai organisasi perkaderan yang didalamnya menanamkan nilai-


nilai pendidikan Islam memiliki pandangan yang dinamis dalam menerjemahkan
ajaran islam sesuai dengan perkembangan zaman. Karena ideologinya tidak
terikat terhadap suatu ajaran atau aliran tertentu, sebab landasan ideologisnya
menekankan pada aspek esensial ajaran Islam dan aspek praksis nya dalam
masyarakat.

Dari hasil kajian literatur yang dilakukan, melalui sistematika tingkatan


perkaderannya, HMI mencoba mencoba menanamkan pemahaman keislaman
yang filosofis melalui trilogy interpretasi puncak dari Nilai-Nilai Dasar
Perjuangannya, yaitu konsep iman sebagai landasan ontologis, ilmu sebagai
landasan epistimologis dan amal sebagai landasan aksiologis. Tiga hal inilah yang
menjadi dasar problem sekaligus solusi tercapainya pendidikan islam yang
berkualitas menurut apa yang sudah dibahas dalam penelitian ini.

B. Saran

Pendidikan Islam yang ada hari ini sebenarnya sudah mulai mengambil
langkah untuk merekonstruksi paradigma pendidikan Islam konvensional. Namun
penerapannya belum maksimal karena kajian dan sistem yang mendukungnya
hanya ada di perguruan tinggi, makimal bisa kita temukan di lembaga pendidikan
Islam non-formal seperti di organisasi-organisasi kemahasiswaan yaitu PMII,
HMI, IMM, KAMMI dan lainnya.

Selain itu masalah lain yang masih mengakar adalah adanya dikotomi
pengelolaan sistem pendidikan agama dan pendidikan umum. Hal inilah yang
membuat peserta didik menganggap seolah-olah di tataran Nasional pendidikan
agama adalah pendidikan kelas II, yang tidak memiliki posisi seperti pendidikan

57
ilmu-ilmu pasti yang bisa dipraktekkan dan dibutuhkan dalam kehidupan sehari-
hari. Maka dari itu saran penulis adalah perumusan kembali sistem pendidikan
agama yang integratif dengan praktek kehidpan sehari-hari peserta didik. Agar
pendidikan agama menjadi landasan utama khazanah keilmuan dan orientasi
peserta didik saat mnginjak tingkat pengabdian dalam masyarakat.

58
DAFTAR PUSTAKA

Agussalim Sitompul, Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah


Perjuangan Bangsa Indonesia, (Yogyakarta: Aditya Media, 1997)

Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi Dan Modernisasi Menuju


Menuju Millenium Baru (Jakarta: Logos 2000)

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia


(Jakarta: Balai Pustaka, 2005)

Garner, Bryan A. Black’ Law Dictionary (ST. Paul Minn: West Group,
1999)

Hamdani, Ihsan. Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: CV Pustaka Setia,


1998)

Hasan, Thalhah, Dinamika Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta:


Lantabora Press.

Hasibuan, Malayu S.P. Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Bumi


Aksara, 2000)

Hasil-Hasil Kongres HMI XXVII (Depok: Pengurus Besar HMI) 2010

Hasil-hasil Kongres HMI XXXI, (SURABAYA: Pengurus Besar HMI)


2021

http://benkwit.blog.friendster.com/2005/12/mencari-format-kaderisasi-
yangmumpuni/ diakses 2 Desember 2022

Kattsoff, Louis O. Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono


(Yogyakarta. Penerbit Tiara Wacana, 1996)

Mangkunegara, Anwar Prabu. Perencanaan dan Pengembangan Sumber


Daya Manusia, (Bandung: Refika Aditama, 2006), Hal. 50

59
Masruroh, Ninik & Umiarso, Modernisasi Pendidikan Islam Ala
Azyumardi Azra, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011)

Muhaimin dan Mujib, Abdul. Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian


Filosofis dan Kerangka Operasionalnya (Bandung: Trigenda karya, 1993)

Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam


(Jakarta: Rajawali Pers, 2011)

Mujtahid, Reformulasi Pendidikan Islam; Meretas Mindset Baru, Meraih


Paradigma Unggul (Malang: UIN-Maliki Press, 2011)

Mukhtar,Sidratahta. HMI dan Kekuasaan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006)

Muniruddin, Said. Bintang Arasy; Tafsir Gnostik Tujuan HMI (ACEH:


MW KAHMI ACEH 2014).

Ngalim Purwanto MP, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja


Rosdakarya, 1996)

Roqib, Moh.. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif


di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat (Yogyakarta: PT.LKiS Printing Cemerlang,
2009)

Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Penerbit


Alfabeta, 2007)

Siswanto, “Model Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Sekolah”,


Tadris, Program Studi Pendidikan Agama Islam Jurusan Tarbiyah STAIN
Pamekasan, Vol. 5 No. 2 (2010)

Said Muniruddin, Bintang Arasy; Tafsir Gnostik Tujuan HMI (ACEH:


MW KAHMI ACEH, 2017)

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2010)

60
Tafsir, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2006)

Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Menurut Perspektif Islam (Bandung: PT


Remaja Rosda Karya, 2010)

Teguh S, Ambar & Rosidah, Manajemen Sumber Daya Manusia,


(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2003)

Wardi, M, PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM DAN SOLUSI


ALTERNATIFNYA (Perspektif Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis) Tadrîs
Volume 8 Nomor 1 Juni 2013

Zaini, Syahminan. Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam


(Jakarta: Kalam Mulia, 1986)

61

Anda mungkin juga menyukai