Anda di halaman 1dari 119

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Pendidikan ialah suatu pembinaan jasmani dan rohani yang menuju

kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dalam arti yang

sesungguhnya1. Dalam setiap perkembangan hidup manusia, pendidikan

memiliki peranan penting untuk tujuan utamanya yaitu untuk mencapai

kesempurnaan sifat kemanusiaan manusia itu sendiri melalui berbagai keadaan

dan cara yang pada akhirnya manusia dapat menemukan tujuan hidupnya.

Pendidikan bertujuan untuk menimbulkan pertumbuhan yang seimbang dari

kepribadian total manusia melalui latihan spiritual, intelektual, rasional diri,

perasaan dan kepekaan tubuh manusia, oleh karena itu pendidikan seharusnya

memenuhi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya : spiritual,

intelektual, imaginatif, fisik, ilmiah, linguistik, baik secara individual maupun

secara kolektif dan memotivasi semua aspek untuk mencapai kebaikan dan

kesempurnaan.

Kalau kita melihat kembali pengertian pendidikan Islam maka akan

terlihat dengan jelas sesuatu yang diharapkan terwujud setelah orang

mengalami pendidikan Islam secara keseluruhan, yaitu kepribadian seseorang

yang membuatnya menjadi “insan kamil” dengan pola taqwa. Insan kamil

artinya manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara

wajar dan normal karena taqwanya kepada Allah SWT. Ini mengandung arti

1
Natsir, Muhammad. Capita Selecta. (Jakarta: Bulan Bintang, 1954), hlm. 85.

1
2

bahwa pendidikan Islam itu diharapkan menghasilkan manusia yang berguna

bagi dirinya dan masyarakatnya serta senang dan gemar mengamalkan dan

mengembangkan ajaran Islam dalam berhubngan dengan Allah dan dengan

manusia sesamanya, dapat mengambil manfaat yang semakin meningkat dari

alam semesta ini untuk kepentingan hidup di dunia dan di akhirat nanti.

Esensi pendidikan Islam pada hakikatnya terletak pada kriteria iman

dan komitmennya terhadap ajaran agama Islam. Hal ini sejalan dan senada

dengan definisi pendidikan Islam yang disajikan oleh Ahmad D. Marimba

yang menyatakan bahwa “pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan

rohani berdasarkan hokum-hukum ajaran Islam menuju terbentuknya

kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam, yaitu kepribadian muslim”2.

Pendidikan Islam menurut Syed Ali Ashraf dan Syed Sajjad Husein

sebagaimana dikutip oleh Fadhlan, dapat dipahami sebagai suatu pendidikan

yang melatih jiwa para siswa dengan cara sebegitu rupa sehingga dalam sikap

hidup tindakan, keputusan dan pendekatan mereka terhadap segala jenis ilmu

pengetahuan, mereka dipengaruhi oleh nilai-nilai spiritual dan sangat sadar

akan nilai etis Islam. Lebih lanjut, Fadhlan mengungkapkan bahwa mereka

dilatih dan mentalnya menjadi begitu disiplin sehingga mereka ingin

mendapatkan ilmu pengetahuan bukan semata-mata untuk memuaskan rasa

ingin tahu intelektual mereka atau hanya untuk memperoleh keuntungan

materiil saja, melainkan untuk berkembang sebagai makhluk rasional yang

2
Ahmad D. Marimba. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung: Al-Ma’arif.
1989:56), hlm. 56
3

berbudi luhur dan melahirkan kesejahteraan spiritual, moral dan fisik bagi

keluarga, bangsa dan seluruh umat manusia3.

Berbicara tentang pendidikan Islam, pastilah berbicara tentang konsep

pendidikannya. Konsep-konsep pendidikan Islam yang ada saat ini terutama di

Indonesia tidak lepas dari konsep-konsep para tokoh pemikir pendidikan Islam

Indonesia. Banyak para tokoh pemikir pendidikan Islam di Indonesia yang

menyumbangkan pemikirannya untuk kemajuan pendidikan di negeri ini.

Diantara tokoh-tokoh pendidikan Islam Indonesia tersebut, penulis mencoba

menjabarkan konsep pendidikan Islam menurut Mohammad Natsir dan Hasan

Langgulung, yang dari keduanya memiliki persamaan dan perbedaan konsep

pendidikan Islam.

Terjadinya dinamika pertumbuhan dan perkembangan pendidikan

Islam pada saat ini tidak terlepas dari kiprah para tokoh yang menyumbangkan

pemikiran dan idenya dalam membangun pendidikan Islam di Indonesia,

seperti Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung dua tokoh yangmempunyai

reputasi yang sangat besar dalam mengembangkan dunia pendidikan Islam di

Indonesia, pandangan yang luas dan wawasan yang dalam terhadap ajaran

Islam mempengaruhi pemikiran kedua tokoh dalam memandang persoalan

pendidikan Islam. Oleh karena itu sejumlah ide dan pemikiran muncul dari

kedua tokoh dalam menata sistem pendidikan yang sesuai dengan ajaran

Islam.

3
Syed Ali Ashraf dan Syed Sajjad Husein. Krisis dalam Pendidikan Islam. Terj. Fadhlan
Mudhafir. (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2000), hlm. 74
4

Mohammad Natsir yang selain dikenal sebagai pejuang kemerdekaan,

beliau merupakan tokoh politisi muslim yang sudah terkenal di masyarakat

luas karena kiprah politiknya yang tidak hanya di dalam negeri saja, tetapi

dunia juga mengenal tokoh Indonesia ini. Beliau juga termasuk tokoh pemikir

muslim di Indonesia yang sudah banyak menuangkan pemikiran-

pemikirannya dalam beberapa karyanya terutama dalam bidang pendidikan

Islam di Indonesia.

Sedangkan Hasan Langgulung merupakan tokoh pemikir pendidikan

Islam yang sudah melalang buana dalam dunia pendidikan tidak hanya di

Indonesia, bahkan hingga mancanegara. Dari pengalamannya tersebut

melahirkan beberapa rumusan mengenai konsep pendidikan Islam.

Suatu rumusan konsep pendidikan maupun tujuannya harus

mempunyai subyektifitas dari yang merumuskannya, artinya setiap pemikiran

dari seorang tokoh pasti menggambarkan tokoh tersebut, contohnya seperti

tokoh pemikir pendidikan Islam yang seringkali mengaitkan tujuan suatu

pendidikan dengan kebahagiaan yang abadi setelah kehidupan dunia, yakni

kebahagiaan di akhirat. Sedangkan jika dilihat dari pendidikan umum,

biasanya hanya berorientasi pada masalah kehidupan dunia, seperti pekerjaan

yang akan didapat setelah menyelesaikan pendidikan. Masing-masing

bertumpu pada pemikiran yang dilandasi oleh latar belakang pendidikan tokoh

yang bersangkutan serta konsentrasi masing-masing yang dianggap sebagai

permasalahan bersifat urgensif.


5

Berdasarkan uraian di atas yang merupakan gambaran untuk

memperoleh hasil pembelajaran yang lebih baik lagi mengenai konsep

pendidikan, maka penulis tertarik untuk membahas masalah ini dalam sebuah

karya ilmiah dalam bentuk skripsi yang berjudul “Studi Komparatif

Pemikiran Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung Tentang

Pendidikan”.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

a. Islam menghendaki esensi dari pendidikan hakikatnya terletak pada

kriteria iman dan komitmennya terhadap ajaran agama Islam.

b. Konsep-konsep pendidikan Islam tidak lepas dari konsep-konsep para

tokoh pemikir pendidikan Islam termasuk yang ada di Indonesia.

c. Banyak tokoh pemikir pendidikan Islam di Indonesia yang

menyumbangkan pemikirannya untuk kemajuan pendidikan di negeri

ini. Diantara tokoh-tokoh pendidikan tersebut, pendapatnya ada yang

sejalan dan ada pula yang berbeda pandangan

d. Kajian skripsi ini penulis mencoba menjabarkan konsep pendidikan

Islam menurut Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung, yang dari

keduanya memiliki persamaan dan perbedaan konsep pendidikan

Islam.

2. Batasan Masalah

Batasan masalah dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:


6

a. Kajian tentang konsep pendidikan Islam dalam pandangan Mohammad

Natsir ditinjau dari tujuan pendidikan Islam, kurikulum pendidikan

Islam dan metode pendidikan Islam.

b. Kajian tentang konsep pendidikan Islam dalam pandangan Hasan

Langgulung ditinjau dari tujuan pendidikan Islam, kurikulum

pendidikan Islam dan metode pendidikan Islam.

c. Menganalisis persamaan dan perbedaan dari pendapat Mohammad

Natsir dan Hasan Langgulung tentang pendidikan Islam.

3. Perumusan Masalah

Pembahasan kajian dalam skripsi ini untuk terfokus hanya kepada

pembahasan tentang konsep pendidikan Islam menurut Muhammad Natsir dan

Hasan Langgulung yang meliputi tujuan, kurikulum dan metode pendidikan.

Dari latar belakang dan pembatasan masalah di atas, penulis merumuskan

masalah sebagai berikut :

a. Bagaimana Konsep Pendidikan Islam Mohammad Natsir?

b. Bagaimana Konsep Pendidikan Islam Hasan Langgulung?

c. Bagaimana Persamaan dan Perbedaan Konsep Pendidikan antara M.

Natsir dan Hasan Langgulung?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini

adalah sebagai berikut:

a. Untuk mendeskripsikan Konsep Pendidikan Islam Mohammad Natsir.

b. Untuk mendeskripsikan Konsep Pendidikan Islam Hasan Langgulung.


7

c. Untuk mendeskripsikan Persamaan dan Perbedaan Konsep Pendidikan

antara M. Natsir dan Hasan Langgulung.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan nantinya akan memberi manfaat sebagai

berikut:

1. Secara Teoretis

a. Memberi kejelasan secara teoritis tentang konsep pendidikan Islam

dari Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung.

b. Menambah dan memperkaya keilmuan di dunia pendidikan Islam.

c. Memberi sumbangan data ilmiah di bidang pendidikan bagi Fakultas

Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Pendidikan Agama Islam di IAIC

Tasikmalaya.

d. Memberikan manfaat dan menambah khasanah keilmuan terutama

dalam memahami kajian keIslaman serta dapat digunakan untuk

menambah literatur bagi khazanah ilmiah dunia pendidikan.

2. Secara Praktis

a. Menambah wawasan bagi penulis dalam mengetahui konsep

pendidikan Islam menurut Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung

b. Memberikan manfaat bagi pembaca umumnya dan khususnya bagi

penulis sendiri tentang konsep pendidikan Islam.

c. Menambah khazanah keilmuan bagi para praktisi pendidikan dalam

mengkaji konsep pendidikan Islam.


8

d. Memberikan manfaat bagi praktisi pendidikan untuk dapat

mengembangkan konsep pendidikan Islam yang lebih baik.

e. Mendorong berpikir objektif dalam menilai dan mengambil keputusan

tentang suatu masalah berdasarkan realita dan autentifikasi data.


9

BAB II

KAJIAN TEORITIK

A. Landasan Teoritik

1. Pengertian Studi Komparatif M. Natsir dan Hasan Langgulung

Secara umum komparasi diartikan sebagai perbandingan. Menurut

Winarno Surakhmad dalam bukunya Pengantar Pengetahuan Ilmiah,

komparasi adalah penyelidikan deskriptif yang berusaha mencari pemecahan

melalui analisis tentang hubungan sebab akibat, yakni memilih faktor-faktor

tertentu yang berhubungan dengan situasi atau fenomena yang diselidiki dan

membandingkan satu faktor dengan faktor lain4.

Menurut Nazir penelitian komparasi adalah sejenis penelitian

deskriptif yang ingin mencari jawaban secara mendasar tentang sebab-akibat,

dengan menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya ataupun munculnya

suatu fenomena tertentu5. Menurut pengertian ini studi komparasi adalah suatu

bentuk penelitian yang membandingkan antara variable-variabel yang saling

berhubungan dengan mengemukakan perbedaan-perbedaan ataupun

persamaan-persamaan dalam sebuah kebijakan dan lain-lain. Secara sederhana

dapat dikatakan bahwa studi komparasi mengandung arti perbandingan.

Penelitian Komparasi pada pokonya adalah penelitian yang berusaha

untuk menemukan persamaan dan perbedaan tentang benda, tentang orang,

tentang prosesur kerja, tentang ide, kritik terhadap orang, kelompok, terhadap

suatu ide atau suatu prosedur kerja. Dapat juga dilaksanakan dengan maksud
4
Winarno Surakhmad. Pengantar Pengetahuan Ilmiah (Bandung: Tarsito,2006), hlm. 84)
5
Moh. Nazir. Metode Penelitian. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), hlm.58

9
10

membandingkan kesamaan pandangan dan perubahan pandangan orang, grup,

atau negara terhadap kasus, terhadap peristiwa, atau terhadap ide6.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa studi

komparasi adalah suatu suatu bentuk penelitian yang membandingkan antara

variable-variabel yang saling berhubungan dengan mengemukakan perbedaan-

perbedaan ataupun persamaan-persamaan dalam sebuah kebijakan dan lain-

lain. Dalam penelitian ini penelitian komparasi yang dimaksudkan adalah

penelitian untuk mengetahui dan atau menguji persamaan dan perbedaan dua

pendapat antara M. Natsir dan Hasan Langgulung berkaitan dengan

pendidikan.

2. Ha kikat Pendidikan

Pembahasan tentang hakikat pendidikan secara umum, pada bab ini

diuraikan pengertian pendidikan, tujuan pendidikan, perkembangan kurikulum

pendidikan dan metodologi pendidikan.

a. Pengertian Pendidikan

Menurut Rulam Ahmadi, pendidikan dapat dilihat dari dua sudut

pandang, yaitu sebagai proses dan sebagai hasil. Pendidikan dari sudut

pandang proses didefinisikan sebagai suatu aktivitas interaksi manusia

dengan lingkungannya. Sedangkan dilihat dari sudut pandang hasil,

pendidikan didefinisikan sebagai perubahan yang merupakan hasil

interaksi manusia dengan lingkungannya, yakni perubahan perilaku7

6
Anas Sudijono. Pengantar Statistik Pendidikan. (Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2010),
hlm. 274
7
Rulam Ahmadi. Pengantar Pendidikan. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2016), hlm. 39
11

Menurut UU No.20 tahun 2003: Pendidikan adalah usaha membina

dan mengembangkan kepribadian manusia baik dibagian rohani atau

dibagian jasmani. Ada juga para beberapa orang ahli mengartikan

pendidikan itu adalah suatu proses pengubahan sikap dan tingkah laku

seseorang atau sekelompok orang dalam mendewasakan melalui

pengajaran dan latihan. Dengan pendidikan kita bisa lebih dewasa karena

pendidikan tersebut memberikan dampak yang sangat positif bagi kita, dan

juga pendidikan tersebut bisa memberantas buta huruf dan akan

memberikan keterampilan, kemampuan mental, dan lain sebagainya.

Seperti yang tertera didalam UU No.20 tahun 2003 Pendidikan adalah

usaha dasar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan, yang

diperlukan dirinya, masyarakat, dan Negara8 .

Muhibbin Syah mengatakan bahwa pendidikan adalah usaha yang

secara sengaja dari orang tua yang selalu diartikan mampu menimbulkan

tanggung jawab moril dari segala perbuatannya9.

Berdasarkan beberapa pengertian mengenai pendidikan tersebut,

maknanya dapat dilihat dari beberapa sudut pandang yang berbeda-beda

antara dari titik sudut psikologis maupun titik sudut pandang sosiologis.

8
Haryanto, 2012: dalam artikel “pengertian pendidikan menurut para akhli
http://belajarpsikologi. com/pengertian-pendidikan-menurut-ahli/ diakes pada tanggal 9 april 2017
9
Muhibbin, Syah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. (Bandung. Remaja
Rosdakarya. 2007), hlm. 11
12

Terdapat banyak pengertian maupun definisi yang membahas mengenai

pendidikan, tergantung dalam melihat pendidikan melalui titik sudut

manapun. Akan tetapi dalam inti sari mengenai pemaknaan konsep

pendidikan mengarah pada satu tujuan yaitu suatu upaya yang dijadikan

proses dalam membina diri seseorang maupun masyarakat secara umum

supaya dapat menjembatani langkah-langkah dalam menjalani kehidupan

sehingga bisa meraih hidup yang diimpikan oleh semua orang yaitu

menikmati kehidupan yang serba dilandasi pegetahuan dan hidup

sejahtera, semua kebutuhan terpenuhinya dengan munculnya ide kreatif

dan inovatif yang hanya bisa didapat dengan proses mengenyam

pendidikan. Pendidikan merupakan modal yang sangat penting dalam

menjalani kehidupan bermasyarakat. Pendidikan di Indonesia kita dapat

memperoleh banyak pengetahuan seperti pengetahuan tentang moral,

agama, kedisiplinan dan masih banyak lagi yang lainnya. Pengembangan

pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau di perguruan

tinggi melalui bidang studi yang dipelajari dengan cara pemecahan soal-

soal, pemecahan berbagai permasalahan, menganalisis sesuatu serta

menyimpulkannya.

b. Tujuan Pendidikan

Hakikat pendidikan tidak akan terlepas dari hakikat manusia, sebab

urusan utama pendidikan adalah manusia. Wawasan yang dianut oleh


13

pendidik dalam hal ini guru, tentang manusia akan mempengaruhi strategi

atau metode yang digunakan dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

Disamping itu konsep pendidikan yang dianut saling berkaitan erat dengan

hakikat pendidikan.

Pendidikan sebagai proses kegiatan usaha sadar tentunya

memerlukan tujuan yang dirumuskan. Karena tanpa tujuan, maka

pelaksanaan pendidikan akan kehilangan arah. Tujuan pendidikan

dijadikan sebagai sebuah pedoman bagaimanakah proses pendidikan

seharusnya dilaksanakan, dan hasil apa yang diharapkan dalam proses

pendidikan. Tujuan merupakan standar usaha yang dapat ditentukan, serta

mengarahkan usaha yang akan dilalui dan merupakan titik pangkal untuk

mencapai tujuan-tujuan lain. Di samping itu, tujuan dapat membatasi

ruang gerak usaha agar kegiatan dapat terfokus pada apa yang diimpikan,

dan yang terpenting adalah dapat memberi penilaian atau evaluasi terhadap

usaha-usaha pendidikan. Tujuan pendidikan adalah hal pertama dan

terpenting dalam merancang, membuat program, serta mengevaluasi

pendidikan.

Berdasarkan TAP.MPR No.II/MPR/1993, tentang GBHN

dijelaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah meningkatkan

ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, ketrampilan,

mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertinggi

semangat kebangsaan agar tumbuh manusia-manusia pembangunan yang


14

dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggungjawab

atas pembangunan bangsa.

Tujuan pendidikan merupakan kristalisasi nilai-nilai yang di

wujudkan dalam pribadi peserta didik yang terintegrasikan dalam pola

kepribadian dan kehidupan yang ideal dan utuh, di landasi keimanan dan

ketakwaan. Tujuan pendidikan mencakup dimensi nilai, filosofis,

psikologis, sisiologis, sosial, pribadi, dan budaya10. Secara umum,

pendidikan bertujuan mengembangkan manusia agar memiliki kualitas

pribadi terintegrasi, bermoral, dan berakhlak mulia, serta mengembangkan

sumber daya manusia yang memliki pribadi, ilmu, dan profesionalisme

yang tinggi. Tujuan tersebut di rinci sebagai berikut:

1) Mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi mausia

dengan kualitas pribadi yang terintegrasi, bermoral, berakhlak

mulia, berbudi luhur, dan berilmu.

2) Mengembangkan sumber daya manusia yang memiliki idealisme

nasional dan keunggulan profesional, serta memiliki kompetensi

bermakna untuk dimanfaatkan bagi kepentinagn bangsa dan

negara.

3) Mengembangkan ilmu, teknologi, dan seni dalam disiplin ilmu

pendidikan, pendidikan disiplin ilmu, dan disiplin lainnya.

10
Natawidjaja. (2009). Ilmu Pendidikan Sebagai Ilmu Pengetahuan. (Jakarta: UKAJ), hlm
4
15

4) Memberikan konribusi yang signifikan terhadap pembangunan

sosial, politik, ekonomi, dan budaya dengan berperan sebagai

kekuatan moral yang mandiri.

5) Meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif

kelembagaan.

6) Mewujudkan peran aktif dalam pembangunan masyarakat yang

religius, demokratis, adil dan makmur, cinta damai, cinta ilmu, dan

bermanfaat dalam keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang

Maha Esa11.

Tujuan Pendidikan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan

bangsa dan mengembangkan manusia Indoensia seutuhnya, yaitu manusia

yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi

pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani

dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung

jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dengan adanya pendidikan, maka

akan timbul dalam diri seseorang untuk berlombalomba dan memotivasi

diri kita untuk lebih baik dalam segala aspek kehidupan.

Berdasarkan UUD 1945 (versi Amandemen), tujuan pendidikan

Nasional dijelaskan sebagai berikut12:

1) Pasal 31, ayat 3 menyebutkan, “Pemerintah mengusahakan dan

menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang

meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam


11
Sukmadinata. Batang Tubuh Ilmu Pendidikan. (Bandung: Unpblished. 2005),hlm. 27
12
Ditjen Dikti. Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1996-2005.
(Jakarta: Ditjen Dikti-Depdikbud. 2004)
16

rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan

undang-undang.”

2) Pasal 31, ayat 5 menyebutkan, “Pemerintah memajukan ilmu

pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai

agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta

kesejahteraan umat manusia.”

Tujuan Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang No. 20, Tahun

2003 Jabaran UUD 1945 tentang pendidikan dituangkan dalam Undang-

Undang No. 20, Tahun 2003 Pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan nasional

berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik

agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan

menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”13

Adapun tujuan pendidikan terbagi atas empat yaitu14

1) Tujuan umum pendidikan nasional yaitu untuk membentuk

manusia Pancasila.

2) Tujuan institusional yaitu tujuan yang menjadi tugas dari lembaga

pendidikan tertentu untuk mencapainya.

3) Tujuan kurikuler yaitu tujuan bidang studi atau mata pelajaran.

13
Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, Kurikulum dan Pembelajaran,
(Bandung: MKDP, 2009), hlm. 139.
14
ibid
17

4) Tujuan instruksional yaitu tujuan materi kurikulum yang berupa

bidang studi terdiri dari pokok bahasan dan sub pokok bahasan,

terdiri atas tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional

khusus.

c. Perkembangan Kurikulum Pendidikan

Kurikulum adalah sesuatu yang direncanakan sebagai pegangan

guna mencapai tuhuan pendidikan apa yang direncanakan bersifat ideal,

suatu cita-cita tentang manusia atau warga negara yang akan dibentuk.

Mengembangkan kurikulum bukan sesuatu yang mudah dan sederhana

karena banyak hal yang akan dipertimbangkan. Pelaksanaan kurikulum

tugas guru adalah mengkaji kurikulum tersebut melalui kegiatan

perseorangan atau kelompok. Dengan demikian guru dan kepala sekolah

memahami kurikulum tersebut sebelum dilaksanakan.

Kurikulum dapat diartikan sebagai sebuah dokumen perencanaan

yang berisi tentang tujuan yang harus dicapai, isi materi dan pengalaman

belajar yang harus di lakukan siswa, strategi dan cara yang dapat

dikembangkan, evaluasi yang dapat dirancang untuk mengumpulkan

informasi tentang pencapaian tujuan, serta implementasi dari dokumen

yang dirancanguntuk dalam bentuk nyata15.

Landasan pengembangan kurikulum pada hakikatnya merupakan

faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan pada waktu

mengembangkan kurikulum lembaga pendidikan, baik di lingkungan


15
Andi Murniati, Pengembangan Kurikulum, (Pekanbaru; Al-Mujtahadah Press, 2010),
hlm.. 23
18

sekolah maupun luar sekolah. Landasan pengembangan dari kurikulum

yaitu landasan filosofis, ilmu pengetahuan (epistemology), masyarakat dan

kebudayaan, individu /peserta didik, dan teori-teori belajar.

1) Landasan Filosofis

Landasan filosofis mengacu pada pentingnya filsafat dalam

melaksanakan, membina, dan mengembangkan, kurikulum di

sekolah. Dalam pengertian umum, filsafat adalah cara berpikir

yang radikal, menyeluruh, dan mendalam (Socrates) atau suatu

cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-sedalamnya. Plato

menyebut filsafat sebagai ilmu pengetahuan tentang kebenaran.

Fisafat berupaya mengkaji berbagai masalah yang ddihadapi

manusia, termasuk masalah pendidikan. Menurut Mudyahardjo

(1989), terdapat tiga sistem pemikiran filsafat yang sangat besar

pengaruhnya dalam pemikiran pendidikan pada umumnya, dan

pendidikan di Indonesia pada khususnya. Ketiga system filsafat

tersebut, yaitu idealisme, realisme, dan pragmatisme. Filsafat akan

menentukan arah kemana siswa dibawa. Filsafat merupakan

perangkat nilai-nilai yang melandasi dan membimbing kearah

pencapaian tujuan pendidikan. Oleh sebab itu, filsafat yang dianut

oleh suatu bangsa atau kelompok masyarakat tertentu atau yang

dianut oleh perorangan (dalam hal ini guru) akan sangat

mempengaruhi tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Falsafah

yang dianut oleh suatu negara bagaimanapun akan mewarnai


19

tujuan pendidikan di negara tersebut. Dengan demikian, tujuan

pendidikan di suatu negara akan berbeda dengan negara lainnya,

disesuaikan dengan falsafah yang dianut oleh negara-negara

tersebut. Tujuan pendidikan pada dasarnya merupakan rumusan

yang komprehensif mengenai apa yang seharusnya dicapai. Tujuan

ini memuat pernyataan-pernyataan (statements) mengenai

kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki oleh siswa selaras

dengan sistem nilai dan filsafat yang dianut. Di Indonesia pada

masa penjajahan Belanda, kurikulum yang dianut sangat

berorientasi kepada kepentingan politik kerajaan Belanda saat itu.

Begitu pula pada saat penjajahan Jepang, kurikulum yang ada

berpijak pada filsafat yang dianut negara Matahari Terbit itu. Pada

masa orde baru, garapan pendidikan nasional khususnya kurikulum

pendidikan disesuaikan dengan tuntutan dan kebutuhan serta

filsafat yang dianut bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.

2) Landasan Psikologis

Landasan Psikologis Psikologi adalah ilmu yang mempelajari

tingkah laku manusia, sedangkan kurikulum adalah upaya

menentukan program pendidikan untuk mengubah perilaku

manusia. Oleh sebab itu, pengembangan kurikulum harus dilandasi

oleh psikologi sebagai acuan dalam menentukan apa dan

bagaimana perilaku itu harus dikembangkan.

3) Landasan Sosiologis
20

Landasan sosiologis mengarahkan kajian mengenai kurikulum

yang dikaitkan dengan masyarakat, kebudayaan, dan

perkembangan ilmu pengetahuan. Masyarakat adalah suatu

kelompok individu yang terorganisasi yang berpikir tentang dirinya

sebagai suatu yang berbeda dengan kelompok atau masyarakat

lainnya. Kurikulum sebagai program atau rancangan pendidikan

harus dapat menjawab tantangan dan tuntutan masyarakat, bukan

hanya dari segi isi programnya tetapi juga dari segi pendekatan dan

strategi pelaksanaanya. Penerapan teori, prinsip, dan hukum yang

terdapat dalam semua ilmu pengetahuan yang ada dalam kurikulum

harus sesuai dengan kondisi masyarakat setempat sehingga hasil

belajar yang dicapai siswa akan lebih bermakna dalam hidupnya.

Kebudayaan pada dasarnya merupakan pola kelakuan yang secara

umum terdapat dalam satu masyarakat. Seluruh nilai yang telah

disepakati masyarakat dapat pula disebut kebudayaan. Kebudayaan

adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa manusia yang diwujudkan

dalam tiga hal. Pertama, ide, konsep, gagasan, nilai, norma, dan

peraturan, kedua, kegiatan dan ketiga benda hasil karya manusia.

Sekolah mempunyai tugas khusus untuk memberikan pengalaman

kepada para siswa dengan salah satu alat yang disebut kurikulum.

Kurikulum pada dasarnya merupakan refleksi dari cara orang

berpikir, berasa, bercita-cita, atau kebiasaan-kebiasaan. Oleh


21

karena itu, dalam mengembangkan suatu kurikulum guru perlu

memahami kebudayaan.

4) Ilmu Pengetahuan dan Iptek

Pengaruh iptek cukup luas, meliputi segala bidang kehidupan

seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, keagamaan, keamanan,

dan pendidikan. Dengan perkembangan teknologi yang semakin

pesat ini maka kurikulum harus berlandaskan ilmu pengetahuan

dan teknologi.

Implementasi kurikuum 2013 yang berlaku saat ini membentuk

perpaduan antara sikap, pengetahuan dan keterampilan. Belajar tidak

hanya pada ranah kognitif tapi juga kepada ranah afektif dan psikomotor.

Selain itu kurikulum 2013 menanamkan nilai-nilai agama pada tiap-tiap

materi pembelajaran kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-

hari. Kurikulum 2013 menjanjikan lahirnya generasi penerus bangsa yang

produktif, kreatif, inovatif dan berkarakter16.

Implementasi kurikulum 2013 akan menghasilkan insan Indonesia

yang produktif, kreatif, inovatif, afektif melalui penguatan sikap,

keterampilan dan keterampilan yang terintegrasi. Dalam hal ini,

implementasi kurikulum 2013 difokuskan pada pembentukan kompetensi

dan karakter peserta didik, berupa paduan pengetahuan, keterampilan, dan

sikap serta penanaman nilai agama yang dapat didemontrasikan peserta

didik sebagai wujud pemahaman terhadap kosep yang dipelajarinya secara

16
Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, (Bandung: PT.Remaja
Rosdakarya. 2013), hlm. 66
22

kontektual. Kurikulum 2013 merupakan tindak lanjutdari kurikulum

berbasis kompetensi (KBK) yang pernah diujicobakan pada tahun 200417.

d. Metodologi dalam Pendidikan dan Pengajaran

Metodologi bentuk jamak dari metode. Metode berasal dari bahasa

Yunani“Greek”, yakni“Metha”berarti melalui ,dan “Hodos” artinya cara,

jalan, alat atau gaya. Dengan kata lain, metode artinya jalan atau cara yang

harus ditempuh untuk mencapai tujuan tertentu18. Purwadarminta

menjelaskan bahwa, metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik

untuk mencapai suatu maksud19. Menurut Zulkifli metode adalah cara

yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah

disusun dalambentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan

pembelajaran20.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa metode

merupakan suatu cara agar tujuan pengajaran tercapai sesuai dengan yang

telah dirumuskan oleh pendidik. Oleh karena itu pendidik perlu

mengetahui, mempelajari beberapa metode mengajar, serta dipraktekkan

pada saat mengajar. Metode disini hanya sebagai alat, dan bukan sebagai

tujuan sehingga metode mengandung implikasi bahwasannya proses

penggunaannya harus sistematis dan kondisional. Maka hakekatnya

penggunaan metode dalam proses belajar mengajar adalah pelaksanaan

17
Ibid, hlm. 67
18
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Buna Aksara, 1997), hlm. 97
19
Sudjana. Metode dan Tehnik Pembelajaran Partisipatif, (Bandung: Falah Prodution,
2010), hlm. 7
20
Zulkifli, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab, (Pekanbaru: Zanafa Publising, 2011),
hlm. 6
23

sikap hati-hati dalam pekerjaan mendidik dan mengajar. Karena metode

berarti cara yang paling tepat dan cepat, maka urutan kerja dalam suatu

metode harus diperhitungkan benar-benar secara ilmiah.

Metode dalam proses belajar mengajar merupakan sebagai alat

untuk mencapai tujuan, perumusan tujuan dengan sejelas-jelasnya

merupakan syarat terpenting sebelum seseorang menentukan dan memilih

metode mengajar yang tepat. Apabila seorang guru dalam memilih metode

mengajar kurang tepat akan menyebabkan kekaburan tujuan yang

menyebabkan kesulitan dalam memilih dan menentukan metode yang akan

digunakan. Selain itu pendidik juga dituntut untuk mengetahui serta

menguasai beberapa metode dengan harapan tidak hanya menguasai

metode secara teoritis tetapi pendidik dituntut juga mampu memilih

metode yang tepat untuk bisa mengoperasionalkan secara baik21.

Salah satu usaha yang tidak pernah guru tinggalkan adalah

bagaimana memahami kedudukan metode sebagai salah satu komponen

yang ikut ambil bagian untuk keberhasilan kegiatan belajar mengajar.

Sehingga berkaitan dengan pelaksanaan proses belajar mengajar, bahwa

yang paling menentukan adalah guru. Maka seorang guru dengan latar

belakang pendidikan keguruanakan lain kemampuannya bila dibandingkan

dengan seseorang dengan latar belakang pendidikan bukan keguruan.

Kemampuan guru yang berpengalaman tentu lebih berkualitas

dibandingkan dengan kemampuan guru yang kurang berpengalaman

dengan pendidikan dan pengajaran. Dalam proses interaksi edukatif


21
Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), hlm.13
24

kedudukan metode tidaklah hanya sekedar suatu cara, akan tetapi

sekaligus merupakan teknik di dalam proses penyampaian materi

pengajaran. Oleh sebab itu metode mengajar akan meliputi kemampuan,

mengorganisir kegiatan dan teknik mengajar sampai kepada evaluasi.

Terhadap perbedaan daya serap anak didik sebagaimana tersebut di

atas, memerlukan strategi pengajaran yang tepat. Metode adalah satu

jawabannya. Untuk sekelompok anak didik boleh jadi mereka mudah

menyerap pelajaran bila guru menggunakan tanya jawab, tetapi untuk

sekelompok anak didik yang lain lebih mudah menyerap pelajaran bila

guru menggunakan metode diskusi atau metode demonstrasi atau metode

yang lainnya. Karena itu, dalam kegiatan belajar mengajar guru harus

memiliki strategi agar anak didik dapat belajar secara efektif dan efisien,

mengenai tujuan yang diharapkan. Salah satu langkah untuk memiliki

strategi itu adalah harus menguasai teknik-teknik penyajian atau biasanya

disebut metode mengajar.

3. Hakikat Pendidikan Islam

a. Pengertian Pendidikan Islam

Secara terminologis pendidikan Agama Islam berorientasi tidak

hanya sekedar memberikan ilmu pengetahuan agama yangsifatnya

Islamologi, melainkan lebih menekankan aspek mendidik dengan arah

pembentukan pribadi Muslim yang ta’at, berilmu dan beramal shalih.

Karena itu rumusan Pendidikan Agama Islam menurut beberapa ahli

pendidikan adalah:
25

Pendidikan yang didefinisikan Natsir adalah satu pimpinan jasmani

dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat

kemanusiaan dengan arti yang sesungguhnya22.

Zuhairini mengatakan bahwa pendidikan Agama Islam berarti

usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik

supaya hidup sesuai dengan ajaran Islam23.

Menurut Ahmad Tafsir memberikan pengertian bahwa Pendidikan

Agama Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada

seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran

Islam. Bila disingkat, pendidikan agama Islam adalah bimbingan terhadap

seseorang agar menjadi muslim semaksimal mungkin24.

Menurut Abdur Rahman An-Nahlawi, pendidikan Islam adalah

pengaturan pribadi dan masyarakat sehingga dapat memeluk Islam secara

logis dan sesuai secara keseluruhan baik dalam kehidupan individu

maupun kolektif25.

Memperhatikan definisi mengenai Pendidikan Agama Islam di

atas, jelaslah bahwa proses pendidikan agama Islam sekalipun konteksnya

sebagai suatu bidang studi. Tidak sekedar menyangkut pemberian ilmu

pengetahuan agama kepada siswa, melainkan yang lebih utama

22
Muhammad Natsir. Capita Selecta. (Jakarta: Bulan Bintang. 1954), hlm.82.
23
Zuhairini. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara. 2008), hlm. 27.
24
Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. (Bandung: Remaja
Rosdakarya. 2007), hlm. 32
25
An-Nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat.
(Jakarta: Gema Insani Press. 2007), 204
26

menyangkut pembinaan, pembentukan dan pengembangan kepribadian

muslim yang ta’at beribadah dan menjalankan kewajibannya.

b. Tujuan Pendidikan Islam

Pendidikan Agama Islam merupakan bidang studi yang dipelajari

di sekolah, mulai dari tingkat Taman kanak-kanak sampai ke perguruan

tinggi. Hal ini menunjukan betapa pentingnya pendidikan Agama Islam

dalam rangka pembentukan suatu kepribadian yang sesuai dengan tujuan

dan tuntunan serta falsafah bangsa dan agama yang dianutnya. Oleh karena

itu, dalam pelaksanaannya Pendidikan Agama Islam di sekolah

mempunyai dasar-dasar yang cukup kuat.

Pada hakekatnya pendidikan agama Islam mempunyai tujuan yang

hendak dicapai, baik itu tujuan yang bersifat umum maupun tujuan yang

sifatnya khusus. Ahmad Supardi mengemukakan bahwa tujuan pendidikan

agama Islam adalah membenamkan taqwa dan akhlak serta menegakkan

kebenaran untuk membentuk manusia yang berkepribadian luhur menurut

ajaran Islam26. Sementara itu Ahmad D. Marimba yang dikutip oleh

Ahmad Tafsirberpendapat bahwa tujuan pendidikan agama Islam adalah

terbentuknya orang yang berkepribadian Muslim 27. Arifin mengatakan

bahwa tujuan pendidikan Agama Islam adalah untuk merealisasikan

idealitas Islami28.

26
Ahmad Supardi. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung: Angkasa. 1999), hlm
179
27
Op. Cit, hlm. 46
28
Arifin. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara. 2000), hlm.119
27

Hasan Langgulung merumuskan tujuan pendidikan Islam dalam

dua tahap, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Yang dimaksud dengan

tujuan umum adalah maksud atau perubahan-perubahan yang dikehendaki

yang diusahakan oleh pendidikan untuk mencapainya. Tujuan ini dianggap

kurang merata dan lebih dekat dari tujuan tertinggi, tetapi kurang khusus

jika dibandingkan dengan tujuan khusus29.

c. Kurikulum Pendidikan Islam

Menurut Arifin yang dikutip oleh Ahmadi dan mengemukakan

pendapatnya, bahwa Pendidikan sebagai usaha membentuk pibadi

manusia harus melalui proses yang panjang, dengan resultat (hasil) yang

tidak dapat diketahui dengan segera, berbeda dengan membentuk benda

mati yang dapat dilakukan sesuai dengan keinginan pembuatnya 30. Proses

pembentukan tersebut diperlukan suatu perhitungan yang matang dan hati-

hati berdasarkan pandangan dan pikiran-pikiran atau teori yang tepat,

sehingga kegagalan atau kesalahan-kesalahan langkah pembentuknya

terhadap anak didik dapat dihindarkan. Oleh karena itu, lapangan tugas

dan sasaran pendidikan adalah makhluk yang sedang tumbuh dan

berkembang yang mengandung berbagai kemungkinan. Bila kita salah

membentuk, maka kita akan sulit memperbaikinya.

29
Hasan Langgulung Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi, Filsafat dan
Pendidikan. (Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru. 2004),hlm.51
30
Nur Uhbiyanti. Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyanti. Ilmu Pendidikan. (Jakarta: Rineka
Cipta.1998), hlm.18
28

Pendidikan Islam pada khususnya yang bersumberkan nilai-nilai

agama Islam disamping menanamkan atau membentuk sikap hidup yang

dijiwai nilai-nilai tersebut, juga mengembangkan kemampuan berilmu

pengetahuan sejalan dengan nilai-nilai Islam yang melandasinya adalah

merupakan proses ikhtiariah yang secara paedagogis mampu

mengembangkan hidup anak didik kepada arah kedewasaan/kematangan

yang menguntungkan dirinya. Oleh karena itu, usaha ikhtiariah tersebut

tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan atas trial and error (coba-coba)

atau atas dasar keinginan dan kemauan pendidik tanpa dilandasi dengan

teori-teori kependidikan yang dapat dipertanggungjawabkan secara

paedagogis.

Islam sebagai agama wahyu yang dturunkan oleh Allah dengan

tujuan untuk mensejahterakan dan membahagiakan hidup dan kehidupan

umat manusia di dunia dan akhirat, baru dapat mempunyai arti fungsional

dan aktual dalam diri manusia bilamana dikembangkan melalui proses

kependidikan yang sistematis. Oleh karena itu, teori-teori pendidikan

Islam yang disusun secara sistematis merupakan avcuan bagi proses

tersebut. Allah Swt berfirman di dalam QS. Al-‘Alaq ayat 1-5 :

‫ ( ِاْق َر ْأ َو َر ُّب َك‬٢) ‫( َخ َلَق اِاْلْن َس اَن ِم ْن َع َلٍۚق‬١ ) ‫ِاْق َر ْأ ِباْس ِم َر ِّبَك اَّلِذ ْي َخ َلَق‬

(٥) ‫( َع َّلَم اِاْلْن َس اَن َم ا َلْم َي ْع َلْۗم‬٤) ‫( اَّلِذ ْي َع َّلَم ِباْلَقَلِۙم‬٣) ‫اَاْلْك َر ُۙم‬

.
Artinya: "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan
(1), Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2),
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia(3), Yang mengajar
29

(manusia) dengan pena (4), Dia mengajarkan manusia apa yang


tidak diketahuinya (5)."

Bila kita mengkaji ruang lingkup kependidikan Islam, mencakup

segala bidang kehidupan manusia di dunia dimana manusia mampu

memanfaatkan sebagai tempat menanam benih-benih amaliah yang

buahnya akan dipetik di akhirat nanti. Maka pembetukan sikap dan nilai-

nilai amaliah dalam pribadi manusia baru dapat efektif bilamana

dilakukan melalui proses kependidikan yang berjalan di atas kaidah-kaidah

ilmu pengetahuan kependidikan.

Teori-teori, hipotesa dan asumsi-asumsi kependidikan yang

bersumberkan ajaran-ajaran Islam sampai kini masih belum tersusun

secara ilmiah meskipun bahan bakunya tersedia, baik dalam kitab suci Al-

Qur’an, Al-Hadis, maupun Qaul ulama. Untuk itu diperlukan penyusunan

secara sistematis yang didukung dengan hasil penilaian yang luas.

Ilmu pendidikan Islam memiliki arti dan peranan penting dalam

kehidupan. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Ahmadi dan

Uhbiyanti mengemukakan bahwa ilmu pendidikan Islam mempunyai

fungsi melakukan pembuktian terhadap teori-teori kependidikan Islam

yang merangkum aspirasi atau cita-cita Islam yang harus diiktisharkan

agar menjadi kenyataan31.

Selain itu juga, pendidikan agama Islam memberikan bahan-bahan

informasi tentang pelakasanaan Pendidikan Islam tersebut. Ia memberikan

bahan masukan yang berupa (Input) kepada ilmu ini, mekanisme proses

31
Ibid, hlm. 16-17
30

kependidikan Islam dari segi operasional dapat dipersamakan dengan

proses mekanisme yang berasal dari penerimaan in put (bahan masukan),

lalu di proses dalam kegiatan pendidikan (dalam bentuk kelembagaan atau

nonkelembagaan yang disebut-truput). Kemudian berakhir pada output

(hasil yang yang diharapkan). Dari hasil yang diharapkan itu timbul

umpan balik (feed back) yang mengoreksi bahan masukan (input).

Mekanisme proses semacam ini berlangsung terus selama proses

kependidikan terjadi. Semakin banyak diperoleh bahan masukan (input)

dari pengalaman operasional itu, maka semakin berkembang pula

pendidikan agama Islam.

Di samping itu juga, pendidikan agama Islam mengoreksi

(korektor) terhadap kekurangan teori-teori yang terdapat dalam ilmu

pendidikan Islam itu sendiri. Sehingga kemungkinan pertemuan antara

teori dan praktek smakin dekat, dan hubungan antara keduanya semakin

bersifat interaktif (saling mempengaruhi).

Dengan memperhatikan hal tersebut di atas, maka pendidikan

agama Islam perlu dipelajari setiap Muslim, sebab fungsi pendidikan

agama Islam adalah menyediakan segala fasilitas yang dapat

memungkinkan tugas pendidikan tercapai dan berjalan dengan lancar.

Penyediaan fasilitas ini mengandung arti dan tujuan yang bersifat

struktural dan institusional.

Dari uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa fungsi Pendidikan

Agama Islam, yaitu mengarahkan Pendidikan Islam agar dapat mencapai


31

tujuan dari hidup seorang Muslim yakni berserah diri sepenuhnya kepada

Allah, memberikan usaha-usaha pemupukan nilai-nilai luhur Islam

terhadap kehidupan seorang Muslim dan yang paling penting adalah

fungsi pendidikan agama Islam adalah membimbing, mengarahkan dan

menuntun pendidik dan peserta didik agar selalu berpedoman kepada dasar

pendidikan Islam, yakni Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Berkaitan dengan kurikulum pendidikan Islam, Natsir32 dalam

bukunya yang berjudul “Islam dan Akal Merdeka”, menekankan bahwa

sebuah pendidikan atau bimbingan harus didasari oleh ketauhidan.

Kurikulum pendidikan harus perpatokan pada prinsip ketauhidan kekpada

Allah SWT. Dengan demikian kurikulum pendidikan Islam berprinsip

pada pokok aqidah Islamiyah.

d. Metodologi Pendidikan Islam

Konsep pengajaran agama Islam mendefinisikan metode adalah

suatu cara, seni dalam mengajar33. Menurut Ahmadi dan Uhbiyati metode

berasal dari dua perkataan yaitu meta yang artinya melalui dan hodos yang

artinya jalan atau cara. Jadi metode artinya suatu jalan yang dilalui untuk

mencapai tujuan34.

Menurut An-Nahlawi, metode pendidikan Islam adalah metode

dialog, metode kisah Qurani dan Nabawi, metode perumpaan Qurani dan

Nabawi, metode keteladanan, metode aplikasi dan pengamalan, metode


32
M. Natsir. Islam dan Akal Merdeka. (Jakarta: Sega Arsy. 2015), hlm. 14
33
Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulya, 2001),
hlm.107
34
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyanti, Op.cit, hlm. 99
32

ibrah dan nasihat serta metode targhib dan tarhib. Dari kutipan tersebut

tergambar bahwa Islam mempunyai metode tepat untuk membentuk

pribadi anak didik sesuai dengan ajaran Islam 35. Dengan metode tersebut

memungkinkan umat Islam/ masyarakat Islam mengaplikasikannya dalam

dunia pendidikan. Dengan demikian diharapkan akan mampu memberi

kontribusi besar terhadap perbaikan akhlak anak didik, untuk memperjelas

metode-metode tersebut akan di bahas sebagian metode sebagai berikut:

1) Metode Dialog Qurani dan Nabawi

Menurut Sudjana, metode dialog adalah proses belajar mengajar

dimana terjadi interaksi antara kegiatan mengajar yang dilakukan

guru dan kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa. Dialog

berhubungan dengan cara guru menjelaskan bahan kepada siswa

sedangkan belajar mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan

kegiatan siswa dalam mempelajari bahan yang disampaikan guru.

Oleh karena itu kegiatan belajar erat hubungannya dengan metode

mengajar36.

Menurut an-Nahlawi, metode dialog adalah metode menggunakan

tanya jawab, apakah pembiacaaan antara dua orang atau lebih,

dalam pembicaraan tersebut mempunyai tujuan dan topik

pembicaraan tertentu. Metode dialog berusaha menghubungakn

pemikiran seseorang dengan orang lain, serta mempunyai manfaat

35
Abdurrahman an-Nahlawi. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat.
(Jakarta: Gema Insani Press. 2007), hlm. 201.
36
Nana Sudjana. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. (Bandung: PT. Sinar Baru
Algesindo. 1998), hlm. 72
33

bagi pelaku dan pendengarnya37. Uraian tersebut memberi makna

bahwa dialog dilakukan oleh seseorang dengan orang lain, baik

mendengar langsung atau melalui bacaan.

An-Nahlawi menambahkan bahwa pembaca dialog akan mendapat

keuntungan berdasarkan karakteristik dialog, yaitu topic dialog

disajikan dengan pola dinamis sehingga materi tidak

membosankan, pembaca tertuntun untuk mengikuti dialog hingga

selesai, melalui dialog perasaan dan emosi pembaca akan

terbangkitkan, topic pembicaraan disajikan bersifat realistik dan

manusiawi. Dalam al-Quran banyak memberi informasi tentang

dialog, di antara bentuk-bentuk dialog tersebut adalah dialog

khitabi, taabbudi, deskritif, naratif, argumentative serta dialog

Nabawiyah. Metode dialog sering dilakukan oleh Nabi Muhammad

Saw dalam mendidik akhlak para sahabat. Dialog akan memberi

kesempatan kepada anak didik untuk bertanya tentang sesuatu yang

tidak mereka pahami.

2) Metode kisah Qurani dan Nabawi

Rahman Shaleh (2002: 210) mengungkapkan bahwa “cerita adalah

penggambaran tentang sesuatu secara verbal. Melalui bercerita

anak diajak berkomunikasi, berfantasi, berkhayal, dan

mengembangkan kognisinya. Bercerita merupakansuatu stimulan

yang dapat membangkitkan anak terlibat secara mental” 38. Menurut


37
Abdurrahman An-Nahlawi, Op.cit, hlm. 201
38
Rahman Shaleh Abdullah. Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur‟an. (Jakarta:
PT. Rineka Putra, 2005), hlm. 210.
34

Musfiroh, “cerita dapat menjadi metode pembelajaran yang

menyenangkan. Selain karena mengandung hiburan (entertaint),

cerita jugamenjadi metode pembelajaran yang tidak menggurui dan

fleksibel”39

Metode mendidik melalui kisah akan memberi kesempatan bagi

anak untuk berfikir, merasakan, merenungi kisah tersebut, sehingga

seolah ia ikut berperan dalam kisah tersebut. Adanya keterkaitan

emosi anak terhadap kisah akan memberi peluang bagi anak untuk

meniru tokoh-tokoh berakhlak baik, dan berusaha meninggalkan

perilaku tokoh-tokoh berakhlak buruk.

Salah satu metode kisah diceritakan dalam QS. Lukman ayat. 13

sebagai berikut:

‫َو ِإْذ َق اَل ُلْق َٰم ُن ٱِلْبِنِهۦ َو ُه َو َيِع ُظ ُهۥ َٰي ُبَن َّى اَل ُتْش ِر ْك ِبٱِهَّللۖ ِإَّن ٱلِّش ْر َك َلُظْل ٌم َع ِظ يٌم‬
Artinya: Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya,
di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman
yang besar".

Cerita mengusung dua unsur negatif dan unsur positif, adanya dua

unsure tersebut akan memberi warna dalam diri anak jika tidak ada

filter dari para orang tua dan pendidik. Metode mendidik akhlak

melalui cerita/ kisah berperan dalam pembentukan akhlak, moral

dan akal anak.

39
Tadkiroatun Musfiroh. Bermain Sambil Belajar dan Mengasah Kecerdasan. (Jakarta.
Depdiknas, 2005), hlm. 83
35

Berdasarkan kutipan tersebut dapat diambil pemahaman bahwa

cerita/kisah dapat menjadi metode yang baik dalam rangka

membentuk akhlak dan kepribadian anak. Cerita mempunyai

kekuatan dan daya tarik tersendiri dalam menarik simpati anak,

perasaannya aktif, hal ini memberi gambaran bahwa cerita

disenangi orang, cerita dalam al-Quran bukan hanya sekedar

memberi hiburan, tetapi untuk direnungi, karena cerita dalam al-

Quran memberi pengajaran kepada manusia. Dapat dipahami

bahwa cerita dapat melunakkan hati dan jiwa anak didik, cerita

tidak hanya sekedar menghibur tetapi dapat juga menjadi nasehat,

memberi pengaruh terhadap akhlak dan perilaku anak, dan terakhir

kisah/ cerita merupakan sarana ampuh dalam pendidikan, terutama

dalam pembentukan akhlak anak.

3) Metode Mauidzah

Menurut tafsir al-Manar sebagai dikutip oleh An-Nahlawi

dinyatakan bahwa nasihat mempunyai beberapa bentuk dan konsep

penting yaitu, pemberian nasehat berupa penjelasan mengenai

kebenaran dan kepentingan sesuatu dengan tujuan orang diberi

nasehat akan menjauhi maksiat, pemberi nasehat hendaknya

menguraikan nasehat yang dapat menggugah perasaan afeksi dan

emosi, seperti peringatan melalui kematian peringatan melalui sakit


36

peringatan melalui hari perhitungan amal. Kemudian dampak yang

diharapkan dari metode mauizah adalah untuk membangkitkan

perasaan ketuhanan dalam jiwa anak didik, membangkitkan

keteguhan untuk senantiasa berpegang kepada pemikiran

ketuhanan, perpegang kepada jamaah beriman, terpenting adalah

terciptanya pribadi bersih dan suci40.

Al-Quran menganjurkan kepada manusia untuk mendidik dengan

hikmah dan pelajaran yang baik. Firman Allah Swt di dalam QS.

An-Nahl ayat 125:

‫ا ْد ُع ِإَلٰى َس ِب ي ِل َر ِّبَك ِبا ْل ِح ْك َم ِة َو ا ْل َم ْو ِع َظِة ا ْل َح َس َن ِة ۖ َو َج ا ِد ْل ُه ْم ِبا َّلِت ي‬


‫ِب ِلِه‬ ‫ِب‬ ‫ِإ‬ ‫ِه‬
‫َي َأْح َس ُن ۚ َّن َر َّبَك ُه َو َأْع َل ُم َم ْن َض َّل َع ْن َس ي ۖ َو ُه َو َأْع َل ُم‬
َ‫ِبا ْل ُم ْه َت ِد ين‬
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-
orang yang mendapat petunjuk”.

Berdasarkan ayat tersebut dapat diambil pokok pemikiran bahwa

dalam memberi nasehat hendaknya dengan baik, kalau pun mereka

membantahya maka bantahlah dengan baik. Sehingga nasehat akan

diterima dengan rela tanpa ada unsur terpaksa. Metode mendidik

akhlak anak melalui nasehat sangat membantu terutama dalam

penyampaian materi akhlak mulia kepada anak, sebab tidak semua

anak mengetahui dan mendapatkan konsep akhlak yang benar.

40
Abdurrrahman an-Nahlawi, Op,cit, hlm. 202.
37

Nasehat menempati kedudukan tinggi dalam agama karena agama

adalah nasehat, hal ini diungkapkan oleh Nabi Muhammad sampai

tiga kali ketika memberi pelajaran kepada para sahabatnya. Di

samping itu pendidik hendaknya memperhatikan cara-cara

menyampaikan dan memberikan nasehat, memberikan nasehat

hendaknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi, pendidikan

hendaknya selalu sabar dalam menyampaikan nasehat dan tidak

merasa bosan/ putus asa. Dengan memperhatikan waktu dan tempat

tepat akan memberi peluang bagi anak untuk rela menerima

nasehat dari pendidik.

4) Metode Keteladanan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, secara terminologi kata

“keteladanan” berasal dari kata “teladan” yang artinya “perbuatan

atau barang dan sebagainya yang patut ditiru atau dicontoh” 41.

Sementara itu secara etimologi pengertian keteladanan yang

diberikan oleh Al-Ashfahani, sebagaimana dikutip Arief, bahwa

menurut beliau “al-uswah” dan “al-Iswah” sebagaimana kata “al-

qudwah” dan “al-Qidwah” berarti “suatu keadaan ketika seorang

manusia mengikuti manusia lain, apakah dalam kebaikan,

kejelekan, kejahatan, atau kemurtadan”42.

Dengan demikian keteladanan menjadi penting dalam pendidikan

akhlak, keteladanan akan menjadi metode ampuh dalam membina


41
Purwadarminta, Op.cit, hlm. 129
42
Armai Arief. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam . (Jakarta: Penerbit
Ciputat Pers. 2002) , hlm. 117
38

akhlak anak. Mengenai hebatnya keteladanan Allah mengutus

Rasul untuk menjadi teladan yang paling baik, Muhammad adalah

teladan tertinggi sebagai panutan dalam rangka pembinaan akhlak

mulai, sebagaimana firman Allah Swt. di dalam QS. Al-Ahzab ayat

21:

‫َّلَقْد َك اَن َلُك ْم ِفى َر ُسوِل ٱِهَّلل ُأْس َو ٌة َح َس َن ٌة ِّلَم ن َك اَن َي ْر ُجو۟ا ٱَهَّلل َو ٱْل َي ْو َم ٱْل َء اِخَر‬
‫َو َذ َك َر ٱَهَّلل َك ِثيًر ا‬

” Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan


yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah.”

Keteladanan sempurna, adalah keteladanan Muhammad Saw

menjadi acuan bagi pendidik sebagai teladan utama, di lain pihak

pendidik hendaknya berusaha meneladani Muhammad Saw sebagai

teladannya, sehingga diharapkan anak didik mempunyai figure

yang dapat dijadikan panutan.

5) Metode Targhib dan Tarhib

Targhib adalah janji yang disertai bujukan dan rayuan untuk

menunda kemaslahatan, kelezatan, dan kenikmatan. Sedangkan

tarhib adalah ancaman, intimidasi melalui hukuman. Dari kutipan

di atas dapat dipahami bahwa metode pendidikan akhlak dapat

berupa janji/pahala/hadiah dan dapat juga berupa hukuman. Dalam

al-Quran dinyatakan orang berbuat baik akan mendapatkan pahala,


39

mendapatkan kehidupan yang baik.” Firman Allah Swt di dalam

QS. An-Nahl ayat 97:

ۖ ‫َم ْن َعِمَل َٰص ِلًح ا ِّمن َذ َك ٍر َأْو ُأنَث ٰى َو ُه َو ُمْؤ ِم ٌن َف َلُنْح ِيَي َّن ُهۥ َح َي ٰو ًة َط ِّي َب ًة‬

‫َو َلَن ْج ِز َي َّن ُهْم َأْج َر ُهم ِبَأْح َس ِن َم ا َك اُنو۟ا َي ْع َم ُلوَن‬

Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki


maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka
Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan
yang baik[839] dan Sesungguhnya akan kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang Telah mereka kerjakan”.

Berdasarkan ayat di atas dapat diambil konsep metode pendidikan

yaitu metode pemberian hadiah bagi siswa berprestasi atau

berakhlak mulai, dengan adanya hadian akan memberi motivasi

siswa untuk terus meningkatkan atau paling tidak mempertahankan

kebaikan akhlak yang telah dimiliki. Di lain pihak, temannya yang

melihat pemberian hadiah akan termotivasi untuk memperbaiki

akhlaknya dengan harapan suatu saat akan mendapatkan

kesempatan memperoleh hadiah. Hadiah diberikan berupa materi,

doa, pujian atau yang lainnya.

Dalam memberi sanksi hendaknya dengan cara bertahap, dalam arti

diusahakan, dengan tahapan paling ringan, diantara tahapan

ancaman dalam al-Quran adalah diancam dengan tidak diridhoi

oleh Allah, diancam dengan murka Allah secara nyata, diancam

dengan diperangi oleh Allah dan Rasul-Nya, diancam dengan

sanksi akhirat, diancam dengan sanksi dunia. Kutipan tersebut


40

menunjukkan bahwa dalam melaksanakan hukuman dituntut

berdasarkan tahapan-tahapan, sehingga ada rasa keadilan dan

proses sesuai prosedur hukuman.

B. Kerangka Pemikiran

Dinamika pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam pada

saat ini tidak terlepas dari kiprah para tokoh yang menyumbangkan pemikiran

dan idenya dalam membangun pendidikan Islam di Indonesia, seperti

Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung dua tokoh yang mempunyai

reputasi yang sangat besar dalam mengembangkan dunia pendidikan Islam di

Indonesia. Pandangan yang luas dan wawasan keduanya terhadap ajaran Islam

mempengaruhi pemikiran kedua tokoh dalam memandang persoalan

pendidikan Islam. Oleh karena itu sejumlah ide dan pemikiran muncul dari

kedua tokoh dalam menata sistem pendidikan yang sesuai dengan ajaran

Islam. Terdapat persamaan dan perbedaan di antara keduanya dalam

memberikan konsep dan gagasan pendidikan berkaitan dengan tujuan,

kurikulum, dan metode pendidikan.

Penelitian ini menyoroti persamaan dan perbedaan konsep dari kedua

tokoh pendidikan Islam dengan harapan dapat dijadikan acuan dalam kegiatan

pembelajaran saat ini. Tentu saja masing-masing pendapat memiliki kelebihan

dan kelemahan. Namun dalam pengaplikasiannya tidak terlepas dari

penyesuaian dengan situasi dan kondisi yang sedang berlangsung di mana

kegiatan pendidikan dilaksanakan.


41

C. Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian yang hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh

penulis, yaitu Adian Husaini dan Bambang Galih Setiawan (2020) dalam

kajiannya berjudul: “Pemikiran dan Perjuangan M. Natsir dan HAMKA dalam

Pendidikan”. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa Kedua tokoh tersebut

tidak dimungkiri sebagai tokoh besar yang memiliki peran penting dalam

perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Ketokohan M. Natsir dalam dunia

pendidikan telah dibuktikannya melalui pemikiran dan karya nyata. Demikian

juga dengan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) , beliau seorang

tokoh yang sangat gigih dalam mengembangkan ilmu dan perjuangan dakwah

Islam. Al-Hsil keduanya termasuk tokoh dan ulama Islam yang sangat

menonjol perannya dalam dunia keilmuan dan pendidikan.

Persamaan dengan penelitian yang penulis lakukan yaitu berkaitan

dengan sejarah dan perjuangan tokoh pendidikan, M. Natsir dan Hasan

Langgulung serta gagasan-gagasan yang disampaikan untuk kemajuan duania

pendidikan. Perbedaannya: (1) terletak pada aspek studi dengan melakukan

kajian persamaan dan perbedaan di antara dua tokoh dalam memberikan

konsep pendidikan Islam, (2) tokoh yang diangkat untuk dikaji gagasannya

adalah M. Natsir dan HAMKA versus M.Natsir dan Hasan Langgulung, dan

(3) focus kajiannya pada tujuan, kurikulum dan metode pendidikan Islam

menurut M. Natsir dan Hasan Langgulung.


42

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah

penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang

dialami subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan

lain-lain, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata
43

dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan

memanfaatkan berbagai metode alamiah43. Obyek utama penelitian ini adalah

karya M. Natsir dan Hasan Langgulung terkait dengan pendidikan.

Ciri-ciri yang menonjol dalam penelitian kualitatif adalah (1) sumber

datanya langsung berupa data situasi alami dan peneliti adalah instrumen

kunci; (2) bersifat deskriptif; dan (3) lebih menekankan makna proses

daripada hasil, perilaku, dan dengan pandangan pendirian yang diperoleh dari

pengamatan. Dalam penelitian ini, penerapan model kualitatif dilakukan

secara deskriptif, yakni data yang dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk

fenomena deskriptif, tetapi tidak berupa angka-angka atau koefesien tentang

hubungan antarvariabel.

2. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kualitatif secara komparatif. Kualitatif


43
secara komparatif adalah melakukan analisis untuk mencari dan menemukan

persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan fenomena44. Analisis dalam

penelitian ini menyoroti persamaan dan perbedaan konsep dari dua tokoh

pendidikan yaitu M. Natsir dan Hasan Langgulung. Harapan dari hasil

penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam kegiatan pembelajaran saat ini.

43
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2010), hlm. 6
44
Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. (Jakarta: Bina
Aksara, 2010), hlm. 194
44

Walaupun dapat dipastikan masing-masing pendapat memiliki kelebihan dan

kelemahan.

B. Jenis dan Sumber Data

1. Jenis Data

Menurut Ali Mauludi, data adalah keterangan yang dapat

memberikan gambaran tentang suatu keadaan atau masalah. Data harus

obyektif, komprehensif, representatif, mempunyai galat baku (standar eror)

yang kecil, up to date, dan harus ada hubungan dengan persoalan yang akan

dipecahkan sehingga dapat menjadi sumber yang valid dan dapat

dipertanggungjawabkan45. Jenis data dalam penelitian ini termasuk data

kualitatif, yaitu data yang berbentuk selain angka. Data kualitatif dapat

dikumpulkan dengan cara analisis dokumen, observasi, pemotretan gambar

atau perekaman video. Umumnya data kualitatif pada akhirnya dituangkan

dalam bentuk kata per-kata.

2. Sumber Data

a. Sumber Data Primer

Sumber primer di sini adalah data yang penulis ambil dari karya tulis

asli dari tokoh yang dibahas dalam penulisan sekripsi ini, di antaranya

sebagai berikut:

1) Mohammad Natsir, 1954, Capita Selecta, Jakarta: Bulan Bintang

2) Mohammad Natsir, 1947, Islam dan Aqal Merdeka, Jakarta: Media

Da‟wah.
45
Ali Mauludi, Teknik Memahami Statistika 1, (Jakarta Timur: Alim’s Publishing, 2012),
hlm. 1
45

3) Mohammad Natsir, 1980, Islam Sebagai Ideologi, Jakarta:

Penyiaran Ilmu.

4) Hasan Langgulung, 2004, Manusia dan Pendidikan, Jakarta : PT.

Pustaka Al Husna Baru.

5) Hasan Langgulung, 2002, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Al

Husna Zikra.

6) Hasan Langgulung, 1988, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke

21, Jakarta: PT. Pustaka Al Husna.

b. Sumber Sekunder

Data skunder yaitu referensi pendukung yang ada hubungannya

dengan penyusunan skripsi ini, di antaranya:

1) Abudin Nata. 2005, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di

Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

2) Thohir Luth. 1999, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta:

Gema Insani Press.

3) Ramayulis dan Syamsul Nizar. 2005. Ensiklopedi Tokoh

Pendidikan Islam. Jakarta: Quantum Teaching.

4) Saidan. 2011. Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam Antara

Hasan Al-Banna dan Mohammad Natsir. Kementerian Agama RI.

C. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research).

Penelitian ini dilakukan dengan bertumpu pada data kepustakaan tanpa diikuti

dengan uji empirik. Jadi, studi pustaka disini adalah studi teks yang seluruh
46

substansinya diolah secara filosofis dan teoritis46. Ada beberapa teknik yang

bisa digunakan untuk mengumpulkan data, satu sama lain memiliki fungsi

yang berbeda. Teknik yang peling tepat digunakan adalah yang sesuia dengan

tujuan penelitian, jenis data serta keadaan sumber informasi penelitian. Maka

dari itu, teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah telaah dokumen

atau telaah kepustakaan, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel-

variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, internet

dan sebagainya47.

D. Analisis Data

Melihat objek penelitian buku-buku atau literatur, maka penelitian ini

menggunakan teknik analisa dengan cara deskriptif, filosofis, kontekstual dan

kritik.

1. Metode Analisa Content atau isi. Analisis isi merupakan analisis ilmiah

tentang isi pesan suatu komunikasi48. Menurut Burhan Bungin, analisis isi

adalah teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi (proses

penarikan kesimpulan berdasarkan pertimbangan yang dibuat sebelumnya

atau pertimbangan umum; simpulan) yang dapat ditiru (Replicabel), dan

sahih data dengan memperhatikan konteksnya49.

46
Noeng Muhajir. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Yoyakarta: Rake Sarasin. 1996), hlm.
158-159.
47
Suharsimi Arikunto. Op.Cit, hlm. 200
48
Noeng Muhajir. Op.Cit, hlm. 76.
49
Bungin Burhan. Metodologi Penelitian Kualitatif Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam
Varian Kontemporer. (Jakarta : Rajawali Pers 2001), hlm. 172-173.
47

2. Metode analisa historis, dengan metode ini penulis bermaksud untuk

menggambarkan sejarah biografis Muhammad Natsir yang meliputi

riwayat hidup, pendidikan, karir politik, serta karya-karyanya50.

3. Metode analisa deskriptif, yaitu suatu metode yang menguraikan secara

teratur seluruh konsepsi dari tokoh yang dibahas dengan lengkap tetapi

ketat51.

4. Metode komparatif, yaitu peneliti membandingkan keadaan satu variabel

atau lebih pada dua atau lebih sampel yang berbeda, atau dua waktu yang

berbeda52. Penelitian ini membandingkan pendapat Mohammad Natsir dan

Hasan Langgulung tentang pendidikan.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Biografi Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung

1. Biografi Mohammad Natsir

M. Natsir merupakan anak dari pasangan Mohammad Idris Sutan

Saripado dan Khadijah. Ayahnya bekerja sebagai seorang pegawai rendah

yang pernah menjadi juru tulis pada kantor kontroler di Maninjau dan sipir

50
Anton Bakker. Metodologi Penelitian Filsafat. (Yogyakarta: Kanisius.1990), hlm. 70
51
Sidarto. Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1997), hlm.100
52
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. (Bandung: Alfabeta.2014),
hlm. 54
48

penjara di Sulawesi selatan. Beliau lahir di Jembatan Berukir, Alahan

Panjang, Kabupaten Solok, Sumatra Barat, pada hari Jumat‟ 17 Jumadil Akhir

1326 Hijriah, bertepatan dengan 17 Juli 1908 Masehi. Orang tua M. Natsir

dikaruniai empat anak yang salah satunya bernama Mohammad Natsir dan

ketiga saudara kandungnya bernama Yukinan, Rubiah dan Yohanusun53.

Ramayulis dan Nizar menjelaskan bahwa M. Natsir sering berpindah-

pindah begitu juga dengan pendidikannya. Ia beberapa kali pindah sekolah

saat menginjak sekolah di Holland Islands School (HIS). Pada akhirnya M.

Natsir lulus dari HIS Pemerintah di Padang. Kemudian melanjutkan

pendidikan MULO di Padang juga dan AMS di Tasikmalaya. Setelah lulus M.

Natsir mendirikan Lembaga Pendidikan Islam, di sinilah ia bertemu dengan

Putri Nur Nahar54.

Lebih lanjut Thohir Luth (1999:26) menguraikan kehidupan kehidupan

keluarga M. Natsir. Beliau melangsungkan pernikahannya dengan Putri Nur

Nahar yang merupakan guru Taman Kanak-kanak Pendidikan Islam. Mereka

menikah pada tanggal 20 Oktober 1934. Pernikahan dilaksanakan dengan

sederhana saja. Tamu-tamu makan di 48


langgar yang terletak di depan rumah

tempat pernikahan dilangsungkan55.

Pertemuan Natsir dan Putri Nur Nahar sebenarnya telah berlangsung

bahkan sejak mereka bekerja di Lembaga Pendidikan Islam. Pergaulan selama

53
Thohir Luth. M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya. (Jakarta: Gema Insani Press, 1999),
hlm.22.
54
Ramayulis dan Syamsul Nizar. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. (Jakarta:
Quantum Teaching. 2005), hlm. 305
55
Thohir Luth. M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya. opcit, hlm.26
49

dua tahun sesama pengasuh Pendidikan Islam, menambah perkenalan

sebelumnya tatkala keduanya sama-sama aktif di JIB, telah mengeratkan

kedua insan yang sama-sama tulus mengabdikan hidupnya bagi kemajuan

umat Islam. Natsir wafat pada tanggal 6 Februari 1993, bertepatan dengan

tanggal 14 Sya‟ban 1413 H, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta,

dalam usia 85 tahun. Berita wafatnya menjadi berita utama diberbagai media

cetak dan elektronik. Berbagai komentar muncul, baik dari kalangan kawan

seperjuangan maupun lawan politiknya karena saat itu beliau merupakan

politikus yang dikenal banyak orang. Ada yang bersifat pro terhadap

kepemimpinannya dan ada pula yang bersifat kontra. Mantan Perdana Menteri

Jepang yang diwakili oleh Nakadjima, menyampaikan bela sungkawa atas

kepergian Natsir dengan ungkapan, “Berita wafatnya Natsir terasa lebih

dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hirosima”56.

Usia delapan tahun M. Natsir memasuki sekolah formal di tempat

ayahnya bertugas sehari-hari yaitu sebuah sekolah yang didirikan Belanda

yang bernama Hollands Islands School (HIS) yang diperuntukkan bagi anak

demang atau anak pegawai pemerintahan saat itu. Beruntung M. Natsir dapat

diterima di sekolah itu sekalipun ia anak pegawai rendahan. Hanya saja ia

tidak sampai selesai ataupun sampai menamatkan pendidikannya di sekolah

tersebut, sebab tidak lama sesudah itu ia pindah lagi bersama ayahnya ke Kota

Padang dan kemudian bersekolah di HIS Adabiah Padang57.

56
Ibid
57
Saidan. Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam Antara Hasan Al-Banna dan
Mohammad Natsir. (Jakarta: Kementerian Agama RI. 2011), hlm. 141
50

Selama lima bulan pertama di Padang, ia melewati kehidupan dengan

perjuangan berat. Ia memasak nasi, mencuci pakaian sendiri, dan mencari

kayu bakar di pantai. Kehidupan yang berat tersebut dilalui dengan senang

hati. Keadaan ini melatih kemandirian M. Natsir dalam menjalani kehidupan.

Kemudian ia dipindahkan ke HIS Pemerintah di Solok oleh ayahnya setelah

beberapa bulan sekolah di Padang. Ia langsung duduk di kelas yang dianggap

prioritas atas pertimbangan kepintarannya. Di Solok inilah ia pertama kali

belajar bahasa Arab dan mempelajari hukum fikih kepada Tuanku Mudo

Amin yang dilakukannya pada sore hari di Madrasah Diniyah dan mengaji Al-

Qur‟an pada malam harinya58.

Saidan menjelaskan bahwa setelah menamatkan pendidikan di HIS

Pemerintah kota Padang, Mohammad Natsir melanjutkan pendidikannya ke

Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) – setingkat Sekolah Lanjutan

Tingkat Pertama (SMP) - sampai tamat. Kemudian setelah mengantongi ijazah

dengan nilai yang cukup memuaskan, ia melanjutkan pendidikan ke

Algememe Midelbare School (AMS) di Tasikmalaya. Di kota Tasikmalaya

inilah bermula sejarah panjang ia alami karena ia bertemu dengan sorang

tokoh yang cukup terkenal saat itu bernama Ahmad Hasan pendiri Persis yang

oleh M. Natsir sendiri mengakui bahwa, ia banyak terpengaruh dengan

pemikiran tokoh ini59.

Dalam usia 22 tahun, Mohammad Natsir telah memperoleh ijazah

AMS yang sudah memungkinkannya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi,

58
Thohir Luth. M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya. opcit, hlm.22
59
Saidan. Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam Antara Hasan Al-Banna dan
Mohammad Natsir. (Jakarta: Kementerian Agama RI. 2011), hlm. 143
51

apalagi dengan nilai yang cukup tinggi. Ia telah mendapatkan kesempatan

untuk mendapat beasiswa, akan tetapi ditolaknya tawaran tersebut. Bekerja

sebagai guru yang mengajar di salah satu MULO yang ada di Tasikmalaya

menjadi pilihannya saati itu. Profesi sebagai guru ia tekuni selama bertahun-

tahun, bahkan melalui kiprahnya sebagai guru itu ia dapat menyalurkan

pemikirannya yang selama ini terpendam dalam dirinya, yaitu keinginan untuk

mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum, karena

pengajaran agama di sekolah-sekolah umum saat itu sungguh sangat sedikit

bahkan kurang dapat perhatian60.

Saidan juga mengutip pernyataan Mohammad Natsir seperti yang

tertera dalam karyanya “Politik Melalui Jalur Dakwah”, tokoh yang ditengarai

dan dikenal sebagai integrator Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

ini bertutur :

“Saya mulai mengajar di sekolah MULO. Salah satu muridnya ialah


Dahlan Djambek yang belakangan terlibat PRRI. Saya mengajar
karena terdorong untuk mengajar agama. Tidak dikasih gaji apa-
apa. Saya juga mengajar kursus pegawai kereta api. Bentuk
pengajarannya sistem diskusi. Ketika saya melihat sekolah-sekolah
kita sama sekali kosong dari pengajaran agama, saya berniat
membentuk pendidikan modern yang sejalan dengan pendidikan
agama. Kemudian saya dirikan sekolah pendidikan Islam (Pendis).
Dengan gaya Muhammadiyah, tidak begitu beda. Cuma kami lebih
praktis. Misalnya, waktu itu, kami mempelopori sholat jum‟at di
sekolah. Juga mengajarkan kesenian untuk menghaluskan perasaan.
Saya yang mengajar main bola, tapi, ya tidak gila-gilaan. Yang
mengajar punya motivasi perjuangan.”61

Meski aktif di dunia politik beliau adalah seorang cendekiawan

Muslim yang sangat produktif menulis. Baginya menulis adalah cara yang

60
Ibid
61
Ibid,
52

sangat efektif untuk berjuang menegakkan kebenaran. Tulisan-tulisan itu

banyak terdapat di artikel-artikel, majalah, dan juga buku yang terkumpul

lebih dari sembilan puluh buku.

Dalam salah satu laporannya, Yusuf Abdullah Puar menyebutkan

ada 52 judul telah ditulis M. Natsir dalam berbagai kesempatan sejak tahun

1930. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan 52 judul tulisan M. Natsir

tersebut, apakah itu judul yang telah dihimpun menjadi buku atau

judulartikel lepas yang berada di berbagai media massa. Kalau betul ke-25

judul itu berupa buku yang telah tercetak, ini bisa dimengerti karena

berbagai buku M. Natsir itu isinya berupa kumpulan artikel-artikel, seperti

Kapita Selekta I dan II dan sebagainya. Akan tetapi, jika judul tersebut juga

termasuk tulisan lepas M. Natsir, menurut penulis, lebih dari itu62.

2. Biografi Hasan Langgulung

Hasan Langgulung adalah seorang ilmuwan putra Indonesia yang

menekuni dunia pendidikan dan psikologi. Beliau lahir pada tanggal 16

Oktober 1934 di Rappang, sebuah bandar kecil di Sulawesi Selatan. Dalam

meniti kehidupannya, beliau berhasil membina kehidupan berumah tangga

dengan menyunting Nur Timah binti Mohammad Yunus sebagai istri. Dari

pernikahannya dikaruniai tiga orang anak yaitu: Ahmad Taufiq, Nurul Huda

dan Siti Zariah63.

62
Thohir Luth. M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya. opcit, hlm.28
63
Abdul Kholiq,dkk. Pemikiran Pendidikan Islam Tokoh Klasik dan Kontemporer.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999), hlm. 33.
53

Hasan Langgulung memiliki latar belakang yang luas dalam bidang

pendidikan dan psikologi. Oleh karena itu, beliau banyak menghasilkan karya

dalam bidang ini. Dari karya-karya beliau tersebut terlihat bahwa Hasan

Langgulung merupakan seorang yang kompeten dan profesional dalam bidang

ini.

Jenjang pendidikan yang telah ditempuh oleh Hasan Langgulung

adalah sebagai berikut64:

1) Sekolah Dasar di Rappang dan Ujung Pandang.

2) Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Islam di Ujung

Pandang, 1949-1952.

3) Sekolah Guru Islam Atas di Ujung Pandang 1957-1962.

4) B.I. Inggris di Ujung Pandang, 1957-1962.

5) B.A. dalam Islamic Studies dari Fakultas Dar- Al-Ulum, Cairo

University, 1957-1962.

6) Diploma of Education (General), Ein Shanas University, Cairo, 1963-

1964.

7) Special-Diploma of Education (Mental-Hygene), Ein Shams

University, Cairo, 1964.

8) Diploma dalam Sastra Arab Modern dari Institute of Higher Arab

Studies, Arab League, Cairo, 1964.

9) M.A. dalam Psikologi dan Mental-Hygene, Ein Shams University,

Cairo, 1967.
64
Hasan Langgulung. Pendidikan dan Peradaban Islam Suatu Analisa Sosio-Psikologi.
(Jakarta: PT. Pustaka Al Husna. 1985),hlm. 248.
54

10) Ph.D. dalam Psikologi, University of Georgia, Amerika Serikat, 1971.

Gelar M.A. dalam psikologi dan Mental-Hygene dari Ein Shams

University, Cairo, tahun 1967 diraihnya dengan tesis:”Al-Murahiq al-

Indonesia, Ittijahatuh wa Darjat Tawafuq „Indahu.” Sedang disertasi Ph.D.

University of Georgia, Amerika Serikat tahun 1971 adalah:”A Cross Cultural-

Study of the Child Conception of Situational-Causality In India, Western

Samoa, Mexico and the United States”65.

Hasan Langgulung adalah seorang pakar dan ilmuan yang tidak

diragukan lagi kemampuannya dalam bidang pendidikan dan psikologi. Hal

ini terbukti dengan banyaknya karya yang beliau hasilkan. Beberapa buku

yang pernah beliau tulis dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori, yaitu

bidang psikologi, bidang pendidikan dan bidang filsafat. Karya-karya buku

Prof. Dr. Hasan Langgulung antara lain66:

a. Teori-teori Kesehatan Mental Manusia(1986)

b. Psikologi dan Kesehatan Mental di Sekolah-sekolah (1979)

c. Pendidikan Islam suatu Analisa Sosio-Psikologikal (1979)

d. Beberapa Tinjauan dalam Pendidikan Islam (1985)

e. Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisis Psikologi dan Pendidikan

(1986)

f. Asas-asas Pendidikan Islam (1987)

65
Hasan Langgulung. Pendidikan dan Peradaban Islam Suatu Analisa Sosio-Psikologi.
op.cit, hlm. 248.

66
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam: Ibnu
Sina, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Hasan Al-Banna, Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy‟ari, Hamka, Basiuni Imran,
Hasan Langgulung, Azyumardi Azra. (Yogyakarta: Ar-ruzz Media. 2011), hlm. 272
55

g. Pendidikan Islam menghadapi Abad ke 21 (1988)

B. Deskripsi Hasil Penelitian

1. Konsep Pendidikan Mochamad Natsir

Konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Mohammad Natsir

mendefinisikan pendidikan sebagai bimbingan kepada peserta didik agar dapat

tujuan pendidikan itu sendiri. Tujuan pendidikan yang dirumuskan oleh Natsir

adalah menjadikan peserta didik sebagai hamba yang bertakwa kepada Allah

SWT. dengan tidak meninggalkan pengembangan potensi kemampuan dan

keterampilan untuk melalui kehidupan di dunia dengan kesuksesan. Oleh

karena itu, untuk mencapai tujuan yang diinginkan maka diperlukan

kurikulum yang berlandaskan tauhid dan tidak memisahkan antara ilmu

pengetahuan umum dengan ilmu agama. Kedua ilmu tersebut memilki peran

yang sama pentingnya dalam proses pendidikan. Beliau juga menambahkan

bahasa sebagai sarana komunikasi dalam pendidikan, terutama bahasa Arab.

Dalam pembelajaran, metode merupakan alat bagi guru untuk menyampaikan

ilmu. Natsir menerapkan metode cerita dan metode keteladanan. Kedua

metode tersebut lebih efektif dalam pembelajaran.

2. Konsep Pendidikan Hasan Langgulung

Konsep pendidikan Hasan Langgulung bahwa tujuan pendidikan itu

untuk membentuk peserta didik kepada tujuan awal penciptaannya yaitu

sebagai khalifah atau memiliki sifat-sifat seorang khalifah dalam diri masing-

masing peserta didik, serta menyiapkan peserta didik dari segi kognitif,
56

sosiologis dan keterampilan untuk mencapai kesuksesan di dunia dan

kebahagiaan di akhirat. Dalam segi kurikulum, Hasan Langgulung memiliki

konsep Islamisasi ilmu yang artinya memadukan antara ilmu-ilmu umum dan

ilmu agama sehingga akan tercapai tujuan pendidikan Islam yang diinginkan.

Dalam pembelajaran, metode yang digunakan harus mempertimbangkan

tujuan dari pendidikan yang akan dicapai serta tindakan-tindakan yang perlu

untuk memotivasi dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan dalam

menyikapi hasil dari pendidikan tersebut seperti dengan memberikan hadiah

dan hukuman.

3. Perbandingan Pemikiran Mochamad Natsir dan Hasan Langgulung

tentang Pendidikan

Persamaan yang ditemukan dalam penelitian ini adalah pada aspek

tujuan pendidikan yaitu bahwa keduanya berpendapat tujuan pendidikan

adalah membentuk peserta didik menjadi manusia yang bertakwa kepada

Allah dan memiliki akhlakul karimah. Selain itu, keduanya juga

menginginkan adanya keterpaduan antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan

dalam materi pendidikan walaupun ada sedikit perbedaan bahwa Hasan

Langgulung menghendaki tidak hanya materi pendidikan saja yang

terintegrasi, tetapi juga dalam komponen kurikulum yang lain seperti tujuan,

metode dan penilaian.


57

Sedangkan perbadaan yang paling terlihat adalah pada segi metode

pendidikannya, jika Natsir lebih menerapkan metode cerita dan keteladanan,

Langgulung menggunakan metode diskusi aktif, simulasi, ceramah dan

metode-metode yang umum digunakan dengan memperhatikan tujuan yang

ingin dicapai dan tindakan dari hasil pembelajaran.

Dua tokoh pendidikan yaitu Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung

merupakan pemberi gagasan dalam menentukan tujuan pendidikan, metode

pendidikan dan kurikulum pendidikan. Pada saat ini pemberlakuan kurikulum

2013 yang di dalamnya memuat beberapa kompetensi dan metode pendidikan

yang dipergunakan merupakan langkah penyempurnaan dari gagasan-gagasan

dua tokoh tersebut. Implementasi kurikuum 2013 yang berlaku saat ini

membentuk perpaduan antara sikap, pengetahuan dan keterampilan. Belajar

tidak hanya pada ranah kognitif tapi juga kepada ranah afektif dan psikomotor.

Selain itu kurikulum 2013 menanamkan nilai-nilai agama pada tiap-tiap

materi pembelajaran kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Kurikulum 2013 menjanjikan lahirnya generasi penerus bangsa yang

produktif, kreatif, inovatif dan berkarakter67.

Matta menjelaskan beberapa kaidah pembentukan karakter sebagai

berikut68:

a. Kaidah kebertahapan, artinya proses perubahan, perbaikan dan

pengembangan harus dilakukan secara bertahap. Anak tidak bisa

67
Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, (Bandung: PT.Remaja
Rosdakarya. 2013), hlm. 66
68
Muhammad Anis Matta. Membentuk Karakter Islam. (Jakarta: Al-I’tishom Cahaya
Umat. 2013), hlm. 67.
58

berubah secara tiba-tiba namun melalui tahapan-tahapan yang harus

dilalui dengan sabar, sehingga orientasinya tidak pada hasil tetapi pada

proses.

b. Kaidah kesinambungan, artinya perlu ada latihan yang dilakukan

secara terus menerus. Karena proses yang berkesinambungan akan

membentuk rasa dan warna berfikir seseorang yang lama-lama akan

menjadi kebiasaan dan seterusnya akan menjadi karakter pribadi anak

yang kuat.

c. Kaidah momentum, artinya menggunakan berbagai momentum

peristiwa untuk fungsi pendidikan dan latihan. Misalnya menggunakan

bulan Ramadhan untuk mengembangkan sifat sabar, kemauan yang

kuat dan kedermawanan.

d. Kaidah motivsi intrinsik, artinya karakter anak akan terbentuk secara

kuat dan sempurna jika didorong oleh keinginan-keinginan sendiri

bukan paksaan dari orang lain. 5. Kaidah pembimbing, artinya perlu

bantuan orang lain untuk mencapai hasil yang lebih baik daripada

dilakukan sendiri. Pembentukan karakter tidak bisa dilakukan tanpa

seorang guru, selain untuk memantau dan mengevaluasi perkembangan

anak, guru juga berfungsi sebagai unsur perekat, tempat curhat dan

saran tukar pikiran bagi anak-anak didiknya. Strategi pendidikan

karakter dapat dilakukan melalui multiple talent approach (multiple

intelligent).
59

Strategi pendidikan karakter ini memiliki tujuan yaitu untuk

mengembangkan seluruh potensi anak didik yang manifestasi pengembangan

potensi akan membangun self concept yang menunjang kesehatan mental.

Konsep ini menyediakan kesempatan bagi anak didik untuk mengembangkan

bakat emasnya sesuai dengan kebutuhan dan minat yang dimilikinya. Ada

banyak cara untuk menjadi cerdas, dan cara ini biasanya ditandai dengan

prestasi akademik yang diperoleh di sekolahnya dan anak didik tersebut

mengikuti tes intelengensi. Cara tersebut misalnya melalui kata-kata, angka,

musik, gambar, kegiatan fisik atau kemamuan motorik atau lewat cara

sosialemosional.

C. Pembahasan Hasil Penelitian

1. Konsep Pendidikan Mochamad Natsir

a. Tujuan Pendidikan

Mohammad Natsir merupakan salah satu tokoh nasional yang sudah

sangat tersohor di seluruh penjuru nusantara. Beliau banyak dikenal karena

jejaknya di dunia perpolitikan negeri bahkan hingga mancanegara. Kiprahnya

masih hangat di benak kita adalah prestasi beliau menjadi tangan kanan

presiden pertama republik ini, yaitu sebagai Perdana Menteri sekaligus orang

kepercayaan Soekarno. Walaupun pada perjalanannya kedua tokoh

kemerdekaan ini memiliki ideologi yang berbeda dalam membangun negeri.


60

Warna perdebatan dan pertentangan intelektual di setiap jejak langkah mereka

menjadi saksi terbentuknya negara yang kuat dan menjunjung tinggi azas

persatuan.

Natsir sebagai mujahid dakwah yang sangat gigih memperjuangkan

Islam di negeri ini melalui berbagai cara antara lain dari karya-karyanya di

media massa maupun juga dalam dunia politik ketika beliau diberi amanah

menjabat di pemerintahan maupun melalui organisasi yang didirikannya.

Meskipun dakwahnya tidak selalu diterima terutama dari kalangan

pemerintah, akan tetapi beliau tidak pernah mundur. Beliau memakai cara-

cara yang lain, salah satunya adalah melalui pendidikan.

Beliau memang seorang pendidik sehingga tahu apa dan bagaimana

pendidikan itu. Menyadari betapa pentingnya pendidikan bagi suatu bangsa

yang ingin maju. Pada tahun 1949, Natsir memimpin sebuah program

pendidikan yang didirikan oleh tokoh-tokoh Islam di daerah yang dikuasai

Darul Islam. Pengalamannya sebagai pemimpin pendidikan membuat cara

pandangnya mengenai pendidikan semakin luas. Bahkan jauh sebelum itu,

tepatnya tanggal 17 Juni 1934, ia menyampaikan pidatonya dalam Rapat

persatuan Islam di Bogor. Judul pidatonya nampak sederhana, tetapi kajiannya

cukup mendasar, yaitu “Ideologi Pendidikan Islam”69.

Perhatian Natsir terhadap dunia pendidikan memang sudah diakui

dengan melihat rekam jejaknya. Seperti dalam pidatonya yang disebut sebagai

“Ideologi Pendidikan Islam” mengajak seluruh elemen masyarakat agar dapat

memahami arti penting dan tujuan sebagai dasar pendidikan Islam. Beliau
69
Thohir Luth. M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya. opcit, hlm.94
61

menjelaskan dengan bahasa yang cukup mudah untuk dipahami dan dapat

diterima sebagai ideologi yang dapat diimplementasikan terutama dalam

pendidikan..

Beliau mengatakan bahwa maju atau mundurnya salah satu kaum

bergantung sebagian besar kepada pelajaran dan pendidikan yang berlaku

dalam kalangan mereka. Tak ada satu bangsa yang terbelakang menjadi maju,

melainkan sesudah mengadakan dan memperbaiki pendidikan anak-anak dan

pemuda mereka. Bangsa jepang, satu bangsa Timur yang sekarang menjadi

buah mulut orang seluruh dunia karena majunya, masih akan terus tinggal

dalam kegelapan sekiranya mereka tidak membukakan pintu negerinya yang

selama ini tertutup rapat bagi orang-orang pintar dan ahli-ahli ilmu negeri lain

yang akan memberikan pendidikan dan ilmu pengetahuan bagi pemuda-

pemuda mereka, disamping mengirim pemuda-pemuda pereka ke luar negeri

mencari ilmu. Spanyol, satu negeri di benua Barat, yang selama ini termasuk

golongan kelas satu, jatuh merosot ke kelas bawah sesudah enak dalam

kesenangan mereka dan tidak memperdulikan pendidikan pemuda-pemuda

yang akan menggantikan pujangga-pujangga di hari kelak70.

Dua negara yang ditampilkan Natsir mewakili negara-negara di Timur

dan di Barat, adalah contoh konkret betapa pentingnya pendidikan untuk

kemajuan bangsa. Maksudnya adalah kemajuan suatu negara bergantung

kepada kepedulian negara tersebut terhadap pendidikan. Demikian pula

merosot atau keterbelakangan suatu negara terletak pada ketidakpedulian

negara tersebut terhadap pendidikan. Kemajuan suatu bangsa tidak tergantung


70
Mohammad Natsir. Islam Sebagai Ideologi. (Jakarta: Penyiaran Ilmu. 1980), hlm. 77.
62

dari letak negara tersebut, entah itu di Barat atau di Timur, apakah negara

tersebut di kelilingi negara maju atau tidak, tetapi tergantung pada pendidikan

para pemuda-pemuda dari negara tersebut apakah baik atau tidak. Semua

tergantung pada kesadaran dan kemauan untuk berubah menjadi lebih baik

dan lebih maju dari sebelumnya. Dalam Al-Qur‟an surat ar-Ra‟du ayat 11

Allah telah berfirman yang artinya:”Sesungguhnya Allah tidak akan merubah

nasib suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri

mereka sendiri.” Jika kita sadar akan kekurangan kita dan memiliki kemauan

untuk berubah agar menjadi lebih baik maka jika Allah mengizinkan kita akan

menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Kenyataan ini tidak hanya dirasakan oleh dua negara yang disebut

Natsir dalam pidatonya, tetapi telah dirasakan dan disadari oleh berbagai

negara di dunia ini, termasuk negara Republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat

dari perkembangan pendidikan Indonesia yang dari tahun ke tahun terus

mengevaluasi pendidikannya, salah satunya yaitu kurikulum yang berubah

sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin maju. Dengan demikian,

pendidikan merupakan tolok ukur peradaban orang perorangan atau suatu

bangsa.

Natsir yang mengaku berguru politik pada H. Agus Salim dan Syeikh

Ahmad Surkati, ternyata memiliki wawasan yang luas tentang berbagai masalah,

termasuk soal pendidikan. Sejak belajar di Algememe Midelbare School (AMS),

Natsir mulai tertarik pada pergerakan Islam dan belajar politik di perkumpulan

Jong Islamieten Bond (JIB), sebuah organisasi pemuda Islam yang anggotanya

adalah pelajar-pelajar bumi putera yang belajar di sekolah Belanda. Organisasi ini
63

mendapat pengaruh intelektual dari Haji Agus Salim 71. Haji Agus Salim

merupakan salah satu tokoh Sarekat Islam sedangkan Syeikh Ahmad Surkati

adalah pendiri Al-Irsyad. Selama di Tasikmalaya Natsir banyak bertemu

tokoh-tokoh nasional yang membentuk cara berpikir dan kemampuan

berpolitiknya.

Perhatian Natsir terhadap dunia pendidikan yang besar dapat kita lihat

melalui pidato tersebut. Beliau menekankan pentingnya pendidikan bagi

kemajuan bangsa ini, terlebih pendidikan dasar sebagai pondasi yang kokoh

bagi generasi yang akan menggantikan generasi saat ini. Dengan pengetahuan

yang beliau miliki, mampu mengilustrasikan dengan baik dan mudah diterima

bagi pendengarnya. Dua negara yang disebutkan beliau merupakan contoh

yang konkrit bagaimana pendidikan memiliki peran yang sangat penting bagi

kemajuan bangsa. Hal ini menjelaskan bagaimana sebuah bangsa dapat

dengan cepat berkembang pesat diantara bangsa-bangsa yang lain dan

sebaliknya sebuah bangsa juga dapat tenggelam dalam kebodohan yang semua

itu tergantung pada perhatian terhadap pendidikannya terutama bagi pemuda-

pemuda karena mereka adalah generasi penerus bangsa.

Pendidikan yang didefinisikan Natsir adalah satu pimpinan jasmani

dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat

kemanusiaan dengan arti yang sesungguhnya72. Pimpinan disini dapat

diartikan sebagai bimbingan atau pengarahan kepada yang dibimbing atau

yang diarahkan. Bimbingan dalam pengertian ini tidak hanya untuk

71
Thohir Luth. M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya. opcit, hlm.94
72
Muhammad Natsir. Capita Selecta. (Jakarta: Bulan Bintang. 1954), hlm 82.
64

meningkatkan kemampuan intelektual dan keterampilan saja, akan tetapi sikap

spiritual dan sikap sosial juga tidak boleh ditinggalkan dalam proses

pendidikan tersebut.

Pengertian pendidikan Natsir memiliki kesamaan dengan para ahli

pendidikan Islam seperti Ahmad D. Marimba yang mengemukakan bahwa

pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik

terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju

terbentuknya kepribadiannya yang utama (insan kamil), serta pendapat

Ahmad Tafsir yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan bimbingan

yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai

dengan ajaran Islam73. Ketiga pendapat tersebut memiliki persamaan bahwa

pendidikan merupakan proses bimbingan dan pengajaran dari seorang

pendidik agar dapat mengembangkan potensi jasmani dan rohani peserta didik

secara optimal sesuai ajaran Islam.

Pendidikan tidak identik dengan pengajaran yang hanya terbatas pada

usaha mengembangkan intelektualitas manusia. tugas pendidikan bukan

melulu meningkatkan kecerdasan, melainkan mengembangkan seluruh aspek

kepribadian manusia74. Oleh karena itu, pendidikan dapat meliputi beberapa

aspek dalam kehidupan manusia, karena pada dasarnya melalui pendidikanlah

dapat membentuk dan melengkapi sifat-sifat kemanusiaannya, atau lebih

jelasnya bahwa pendidikan merupakan proses pembentukkan karakter peserta

didik yang berlandaskan ideologi Islam.


73
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Ciputat Press.
2005), hlm. 32
74
Zuhairini. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara. 1995), hlm. 149.
65

Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang memiliki kelengkapan

jasmani dan rohani. Dengan kelengkapan jasmaninya , ia dapat melaksanakan

tugas-tugas yang memerlukan dukungan fisik, dan dengan kelengkapan

rohaninya ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang memerlukan dukungan

mental. Selanjutnya agar kedua unsur tersebut dapat berfungsi dengan baik

dan produktif, maka perlu dibina dan diberikan bimbingan. Dalam hubungan

ini pendidikan memegang peranan yang amat penting 75. Terutama Pendidikan

Islam yang membangun kecerdasan spiritual yang memberikan pemahaman

terhadap agama dan membentuk kecerdasan emosional agar peserta didik

memiliki mental yang kuat untuk menghadapi kehidupan yang akan dilalui

oleh mereka.

Sebagai suatu kegiatan yang terencana, pendidikan Islam memiliki

kejelasan tujuan yang ingin dicapai. Kita sulit membayangkan dalam benak,

jika ada suatu kegiatan tanpa memiliki kejelasan tujuan. Hal itu bisa

dimengerti karena tujuan pendidikan mempunyai kedudukan yang amat

penting. Ahmad D. Marimba, misalnya menyebutkan ada empat fungsi tujuan

pendidikan yaitu76:

a. Tujuan berfungsi mengakhiri usaha,

b. Tujuan berfungsi mengarahkan usaha,

c. Tujuan berfungsi sebagai titik pangkal untuk mencapai tujuan-

tujuan yang lain, dan

75
Abuddin Nata. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997), hlm.
35.
76
Ahmad D Marimba. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung: PT. Al-Ma’arif.
1989), hlm. 45.
66

d. Tujuan memberi nilai (sifat) pada usaha itu.

Dari uraian di atas maka tampak jelas pentingnya merumuskan tujuan

pendidikan sebelum pendidikan itu dilaksanakan. Dengan begitu para pelaku

pendidikan dapat mengambil langkah-langkah dan merencanakan proses

pendidikan yang mengacu pada tujuan tersebut.

Menurut Natsir, suatu pendidikan harus memiliki setidaknya dua hal,

yaitu77:

1) Satu tujuan yang mengarahkan pendidikan itu sendiri, dan

2) Satu asas yang menjadi dasar dari pendidikan tersebut.

Pendidikan tersebut tidak akan berjalan sebagaimana yang

direncanakan jika tidak ada salah satu dari kedua hal tersebut. Tujuan

pendidikan kita tidak dapat dipisahkan dari tujuan hidup kita sendiri karena

keduanya adalah sama. Tujuan dari pendidikan adalah tujuan hidup, M. Natsir

menjelaskan dengan mengutip ayat dalam Al-Qur‟an surah Adz Dzariat ayat

56:

‫َو َم ا َخ َلْق ُت ٱْلِج َّن َو ٱِإْلنَس ِإاَّل ِلَي ْع ُبُد وِن‬

Artinya : “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya

mereka mengabdi kepada-Ku.”

Tujuan hidup setiap muslim telah ada dalam al-Qur‟an yaitu hanya

untuk menyembah kepada Allah Tuhan semesta alam. Dalam pengertian

sederhana, menyembah adalah mengamalkan segala perintahNya seperti

77
Muhammad Natsir. Capita Selecta. opcit, hlm 54.
67

mendirikan sholat lima waktu dan berpuasa di bulan Ramadhan. Selain itu,

tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama.

Pengertian “menyembah Allah” dalam konteks tujuan hidup disini

memiliki makna yang sangat luas, yang mencakup ibadah khusus (hablum

min Allah) dan ibadah umum (hablum min al-khalqiah) melalui aktivitas yang

memposisikan manusia sebagai khalifah Tuhan di dunia ini. Pengertian

penyembahan secara spesifik dalam pendidikan adalah : “melengkapi ketaatan

dan ketundukan manusia kepada semua perintah Ilahi yang membawa kepada

kejayaan duniawi dan kemenangan ukhrawi, serta menjauhkan diri dari segala

laraangan yang dapat menghalangi tercapainya kemenangan dunia dan akhirat

itu”. Dengan demikian urgensi penyembahan bukanlah untuk kepentingan

Allah karena Allah tidak membutuhkan sesuatu apapun dari makhluk-Nya,

tapi merupakan “kebutuhan dasar” bagi manusia dalam upaya pembebasan

dari penghambaan diri dan rasa ketergantungan terhadap sesama makhluk

Tuhan yang terkadang lebih rendah martabatnya dari manusia78.

Sebagai makhluk, sudah seharusnya manusia menyembah penciptanya,

hal tersebut merupakan kebutuhan bagi manusia sendiri dan bukan karena

Allah membutuhkan. Allah adalah Sang Pencipta, Dia tidak membutuhkan

apapun karena Dia memiliki segalanya. Manusia seharusnya menyadari hal

tersebut sehingga hanya Allah-lah tempatnya bergantung, bukan pada sesama

makhluk. Hal tersebut dapat dikatakan juga bahwa menjadi hamba Allah

merupakan tujuan dari pendidikan, Natsir mengemukakan bahwa yang disebut

hamba Allah ialah orang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah, sebagai
78
Ramayulis dan Syamsul Nizar. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. opcit, hlm. 307
68

pemimpin untuk manusia. mereka mematuhi segala perintah Allah, dan

berbuat baik kepada sesama makhluk, serta menunaikan ibadah terhadap

Tuhannya, seperti yang terdapat dalam Q.S. al-Baqarah: 177 yang artinya:

“ Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu


kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada
Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-
orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya,
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang
menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-
orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang
bertakwa”79.

Disisi lain Natsir menambahkan bahwa untuk dapat meraih

kemenangan hidup dunia dan akhirat, setiap individu harus didukung dengan

penguasaan ilmu pengetahuan, karena penguasaan ilmu pengetahuanlah yang

dapat membuat posisi seseorang menjadi terhormat, baik di sisi Allah maupun

di sisi sesama makhluk. Untuk melengkapi pendapatnya, Natsir mengutip

firman Allah:

‫َو ِمَن ٱلَّن اِس َو ٱلَّد َو ٓاِّب َو ٱَأْلْن َٰع ِم ُم ْخ َت ِلٌف َأْلَٰو ُنُهۥ َك َٰذ ِلَك ۗ ِإَّن َم ا َي ْخ َش ى ٱَهَّلل ِم ْن ِع َباِدِه‬

‫ٱْلُع َلَٰٓم ُؤ ۟ا ۗ ِإَّن ٱَهَّلل َع ِز يٌز َغ ُفوٌر‬

Artinya :” Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata


dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam
warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah
di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah
Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fathir : 28).

79
Muhammad Natsir. Capita Selecta. opcit, hlm 57.
69

Bertolak dari ayat diatas, maka kecintaan dalam menuntut ilmu

merupakan bagian dari penyembahan diri kepada Allah sekaligus menjadi

salah satu tujuan dari pendidikan yang diinginkan Islam. Menurut Natsir,

secara khusus tujuan pendidikan Islam adalah menumbuhkembangkan potensi

manusia sehingga menjadi makhluk yang selalu berada dalam keseimbangan,

keseimbangan-keseimbangan tersebut antara lain:

1) Seimbang antara perkembangan jasmani dan rohani,

2) Seimbang antara pertumbuhan akal dan budi pekertinya,

3) Seimbang antara ilmu dan imannya,

4) Seimbang antara doa dan ikhtiarnya,

5) Seimbang hubungannya dengan sesama makhluk beserta alam

sekitarnya, dan

6) Seimbang hubungannya dengan pencipta seluruh alam semesta, yakni

Allah Rabb al-alamin (Ramayulis dan Nizar, 2005:308).

Dalam pandangan Natsir, setiap peserta didik memiliki potensi dasar

yang berbeda antara satu dan yang lainnya. Potensi tersebut dapat tumbuh dan

berkembang secara dinamis, baik ke arah yang positif maupun ke arah yang

negatif. Inti proses pendidikan adalah terletak pada upaya

menumbuhkembangkan potensi tersebut secara optimal dan seimbang ke arah

yang baik. Sedangkan hasil yang ingin dicapai adalah terbentuknya manusia

yang memiliki integritas pribadi yang utuh dan dapat memberikan

kebermaknaan hidup bagi diri sendiri, keluarganya, masyarakat dan alam

lingkungan sekitarnya. Beliau mengatakan bahwa yang menjadi tujuan hidup


70

dan tujuan pendidikan kita, bukanlah suatu perhambaan yang memberi

keuntungan kepada obyek yang disembah, tetapi perhambaan yang memberi

kekuatan kepada yang memperhambakan dirinya. Dalam uraian selanjutnya

Natsir mengutip Q.S. al-Naml: 40 :

ٌ‫َو َمْن َش َك َر َفِإ َّنَم ا َيْش ُك ُر ِلَنْف ِس ِه ۖ َو َمْن َك َف َر َفِإ َّن َر ِّبي َغ ِنٌّي َك ِر يم‬
Artinya: “Dan Barangsiapa yang bersyukur, maka Sesungguhnya Dia
bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang
ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha
Mulia".

Selanjutnya ia mengatakan bahwa akan menjadi orang yang

memperhambakan segenap rohani dan jasmaninya kepada Allah SWT. untuk

kemenangan dirinya dengan arti yang seluas-luasnya yang dapat dicapai oleh

manusia, itulah tujuan hidup manusia di atas dunia. Dan itulah tujuan

pendidikan yang kita berikan kepada anak-anak kita kaum Muslimin80.

Gagasan M. Natsir juga diperkuat dengan rumusan hasil kongres

pendidikan Islam sedunia yang diselenggarakan di Islamabad pada tahun 1980

yang intinya menetapkan bahwa pendidikan Islam harus ditujukan ke arah

tercapainya pertumbuhan yang berkeseimbangan dari seluruh kepribadian

manusia melalui latihan spiritual, kecerdasan, perasaan, dan pancaindera. Oleh

karenanya pendidikan semestinya dapat memberikan pelayanan pada

pertumbuhan manusia dalam semua aspek kehidupannya yang meliputi aspek

spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah, linguistik, baik individual

maupun kolektif, serta mendorong ke arah kebaikan dan pencapaian

80
Abuddin Nata. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997), hlm.
50.
71

kesempurnaan agar terlaksana aktivitas pengabdian kepada Allah SWT sesuai

dengan tuntunan yang telah digariskan Islam81.

b. Kurikulum Pendidikan

Dalam bukunya yang berjudul “Islam dan Akal Merdeka”, Natsir

menekankan bahwa sebuah pendidikan atau bimbingan harus didasari oleh

ketauhidan. Beliau menceritakan kehidupan seorang yang bernama Paul

Ehrenfest, beliau merupakan seorang yang terpelajar yang diberi gelar Guru

Besar dalam Ilmu Fisika di Amsterdam. Ia berasal dari keluarga yang baik dan

mendapat pendidikan yang sebaik-baiknya ditempat kelahirannya. Beliau

telah melampaui kemampuan berfikir manusia di zamannya dengan otak

geniusnya. Terus menyelidiki ilmu pengetahuan dan mengajarkanya kepada

dunia luar. Memiliki kepribadian yang santun, penyayang, bergaul dengan

orang yang baik pula, tak pernah terdengar melakukan perbuatan tercela.

Akan tetapi, tiba-tiba melakukan perbuatan yang dibenci dan melebihi

perbuatan penjahat atau pencuri sekalipun. Beliau membunuh anaknya dan

setelah itu bunuh diri. Kejadian ini membuat orang-orang disekitarnya

bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Setelah diselidiki dari surat yang

ditinggalkannya untuk teman sejawatnya terungkap bahwa peristiwa itu bukan

karena nafsu belaka, tetapi merupakan hal yang telah dipikirkan sejak lama82.

Beliau telah kehilangan tujuan hidup. Beliau tidak mendapatkan

kebutuhan rohaninya, walaupun dari sisi jasmani atau intelektualnya sangat

terpenuhi. Beliau tidak dapat menemukan hubungannya dengan Tuhan, yang

81
Ramayulis dan Syamsul Nizar. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. opcit, hlm. 307
82
Muh. Natsir. Islam dan Akal Merdeka. (Yogyakarta: Sega Arsy. 2015), hlm. 14.
72

sejak kecil tidak pernah dikenalkan kepada Tuhan. Pendidikan yang demikian

sebenarnya adalah mempertukarkan alat dengan tujuan.

Itulah pendidikan yang ketinggalan dasar! Mengenal Tuhan,

mentauhidkan Tuhan, mempercayai dan menyerahkan diri kepada Tuhan, tak

dapat tidak harus menjadi dasar bagi tiap-tiap pendidikan yang hendak

diberikan kepada generasi yang kita latih, jikalau kita sebagai guru ataupun

sebagai ibu bapak, betul-betul cinta kepada anak-anak yang telah dipetaruhkan

Allah kepada kita itu. Meninggalkan dasar ini berarti melakukan suatu

kelalaian yang amat besar, yang tidak kurang besar bahayanya daripada

berkhianat terhadap anak-anak yang kita didik, walaupun sudah kita

sempurnakan makan dan minumnya dan telah kita cukupkan pakaian dan

perhiasannya serta sudah kita lengkapkan pula ilmu pengetahuan untuk bekal

hidupnya. Semua ini tak ada artinya apabila ketinggalan memberikan dasar

Ketuhanan seperti diterangkan diatas itu83.

Dari keterangan sebelumnya dapat penulis simpulkan bahwa yang

menjadi dasar utama dalam pendidikan atau lebih khususnya pendidikan Islam

adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan. Dengan memiliki ketauhidan

atau mengakui keesaan Tuhan maka manusia tidak akan memiliki keraguan

dalam jiwanya karena mengetahui bahwa hanya kepada Tuhan lah tempat

bergantungnya.

Natsir memberikan contoh seperti kisah Luqman di dalam Al-qur‟an

yang memberikan nasihat kepada anaknya berupa wasiat: “Perhatikanlah

ketika Luqman berkata kepada anaknya yang sedang dididik: “Hai anakku,
83
Ibid
73

janganlah engkau menyekutukan Tuhan, sesungguhnya syirik itu ialah

sebesar-besar kezaliman. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat

baik) kepada kedua ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam

keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun,

Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu bapakmu. Hanya kepada-

Kulah kembalimu”84.

Melalui prinsip tauhid itu akan melahirkan pandangan bahwa

pendidikan Islam itu sebenarnya bersifat utuh/menyatu (integral), tanpa

memisahkan persoalan dunia dari urusan akhirat. Sebab dalam ajaran Al-

Qur‟an sendiri, dunia dengan segala kenikmatannya adalah sebagai sarana

untuk kehidupan di akhirat kelak. Hal ini didasari firman Allah dalam surat

Al-Qashash (28:77) yang artinya: “Dan carilah pada apa yang telah

dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah

kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah

(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan

janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak

menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”85.

Maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang ditawarkan oleh

Natsir dalam hal ini merupakan pendidikan integral. Pendidikan yang tidak

memisahkan antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama, tetapi dengan

menjadikan kedua ilmu tersebut agar menjadi utuh atau satu kesatuan yang

mengantarkan peserta didik mencapai tujuan pendidikannya. Tidak ada


84
Ibid, hlm. 16
85
Saidan. Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam Antara Hasan Al-Banna dan
Mohammad Natsir. Opcit, hlm. 228
74

pemisah antara ilmu umum dan ilmu agama karena pada hakikatnya keduanya

berasal dari Allah dan sama-sama dibutuhkan bagi peserta didik dalam

mencapai tujuan dari pendidikan itu sendiri.

Dalam hal materi pendidikan, antara ilmu umum dan ilmu agama tidak

ada yang lebih penting karena keduanya sama pentingnya dalam pelaksanaan

pendidikan. Semua adalah ilmu Allah, tidak bias jika dibatasi sebab saling

berkaitan. Dalam kurikulum sekarang, bahkan baik ilmu-ilmu umum maupun

agama dipadukan untuk kemajuan dalam pembelajaran untuk mencapai

tujuan yang diinginkan.

Natsir juga menekankan pentingnya bahasa dalam pendidikan.

Bahasa merupakan pintu menuju dunia luar dan lebih

banyak pengetahuan. Jembatan bagi anak bangsa untuk mendapatkan ilmu

yang lebih luas, tetapi juga tidak boleh meninggalkan bahasa negeri sendiri. M.

Natsir mengatakan: “Soal bahasa adalah salah satu soal ketjerdasan bangsa

jang terpenting! Bahasa-ibu, bahasa kita sendiri, adalah mendjadi sjarat bagi

berdiri tegaknja kebudajaan kita. Akan tetapi kebudajaan jang hidup tidak

tjukup hanja dengan tinggal berdiri tegak sadja. Ia perlu tumbuh, bertambah,

berubah, bergerak, „dinamis‟, kata orang sekarang. Dan untuk ini perlu

kepada pertukaran „udara‟ perlu kepda tambahan „pupuk‟, perlu kepada

tambahan „air‟ jang mendjadi sjarat hidupnja. Tidak ada kebudajaan djadi

hidup baik, apabila ia dikurung dan diikat menurut tradisi berbilang abad.

Kebudajaan itu akan hidup, bertambah kekuatannja, akan bangun bibit

kemungkinannja jang masih tersembunji, apabila dapat kesempatan


75

berhubungan dengan sumber-sumber kebudajaan diluar lingkungan daerahnja.

Satu kebudajaan, hidup dengan perhubungan antara satu kebudajaan dengan

kebudajaan jang lain, ringkasnja dengan ”akulturasi‟86.

Jika kita dapat memahami bahasa dari kebudayaan atau Negara yang

lain, maka kita akan dapat berkomunikasi dengan bangsa tersebut. Begitu pula

dengan pendidikan yang pada dasarnya dilaksanakan melalui proses

komunikasi antara pendidik dan peserta didik. Dengan mengetahui bahasa

dari bangsa lain, kita akan dapat memperoleh informasi atau pengetahuan

yang belum kita ketahui.

Natsir mengungkapkan bahwa kemunduran dan kemajuan itu, tidak

bergantung kepada ketimuran dan kebaratan, tidak bergantung kepada putih,

kuning atau hitamnya warna kulit, tetapi bergantung kepada ada atau tidaknya

sifat-sifat dan bibit-bibit kesanggupan dalam salah satu umat, yang

menjadikan mereka layak atau tidaknya menduduki tempat yang mulia di atas

dunia ini87.

Pendidikan Islam bukannya pendidikan Timur, dan pendidikan Barat

bukannya lawan pendidikan Islam. Sesuatu yang baik harus dipungut

sekalipun itu berasal dari Barat, sebab Barat dan Timur itu kepunyaan Allah.

Oleh karena itu, seorang pendidik dalam Islam tidak usah membesar-besarkan

antagonisme (pertentangan) antara Barat dan Timur. Islam itu bukan anti

Barat dan Pro Timur, khususnya dalam pendidikan. Islam hanya mengenal

antagonisme antara haq dan bathil. Inilah salah satu point terpenting dari

86
Muhammad Natsir. Capita Selecta. opcit, hlm 103.
87
Muhammad Natsir. Capita Selecta. opcit, hlm 78.
76

pemikiran Natsir terutama dalam melihat sifat keuniversalan ajaran Islam dan

keberadaan pengetahuan yang berimplikasi terhadap kemajuan pandidikan

Islam88.

Maka di sinilah pendidikan berperan penting dalam membentuk

pribadi manusia dalam mencapai tujuan utamanya. Pendidikan yang bersifat

universal ini yang ditawarkan oleh Natsir, pendidikan yang menyamaratakan

peserta didik yang ingin mengenyam pendidikan, hanya kemampuan mereka

sendirilah yang menjadi pembedanya. Seperti yang telah dijabarkan dalam

pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa setiap warga negara berhak

mendapat pendidikan. Maka sudah semestinya negara menyelenggarakan

pendidikan bagi seluruh warga negara tanpa melihat latar belakang suku, ras,

agama, adat, dan budaya dari peserta didik. Itu semua karena kita seluruh

warga negara Indonesia memiliki semboyan yang sama yaitu Bhineka

Tunggal Ika, semboyan yang menjadi lambang persatuan.

c. Metode Pendidikan Islam

Natsir meyakini bahwa Islam adalah agama fitrah, yaitu agama yang

ajaran-ajarannya sejalan dengan fitrah manusia yang memerlukan bimbingan

Tuhan dengan tujuan agar jiwanya tumbuh dan berkembang sesuai dengan

fitrahnya itu. Untuk itu Natsir menyarankan agar pendidikan dilakukan

dengan metode yang tepat dan efektif dengan kata-kata yang menyejukkan

88
Saidan. Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam Antara Hasan Al-Banna dan
Mohammad Natsir. op,cit, hlm. 214
77

dan menimbulkan kesan yang dalam serta senantiasa diingat oleh peserta

didik89.

Dengan cara itu, peserta didik dapat lebih mudah dalam memahami

apa yang disampaikan oleh pendidik. Akan tetapi, bukan hanya penyampaian

saja yang dapat menjadi faktor keberhasilan dalam pendidikan. Hal-hal yang

lain seperti kondisi atau situasi kelas juga berpengaruh.

Pemikiran Natsir dalam bidang pendidikan Islam seperti yang

digambarkan sebelumnya tidak saja sebatas materi yang harus relevan dengan

tuntutan kebutuhan umat yang berlandaskan tauhid dalam arti luas, akan tetapi

juga termasuk dalam aspek metodologi pembelajaran. Metode pendidikan

yang di terapkanya sangat variatif sesuai dengan kondisi dan tujuan yang akan

dicapai, metode tersebut secara garis besarnya meliputi ;

1) Metode Cerita

Metode cerita digunakan Natsir dalam menanamkan pelajaran

Tauhid terhadap peserta didik dilembaga yang dirintisnya. Ia mengajak

pembaca menengok bagaimana Luqman mengajarkan tauhid kepada

anaknya seperti yang dikisahkan dalam Al-quran. Kisah luqman ini

sekaligus mengisyaratkan betapa pentingnya pendidikan akidah

ditanamkan sedini mungkin kepada anak didik terutama oleh orang

tuanya. Dari uraian tersebut dapat di deskripsikan bahwa pembelajaran

akidah seperti yang diterapkan oleh Mohammad Natsir itu sangat tepat

89
Ramayulis dan Syamsul Nizar. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. opcit, hlm. 309
78

sekali mengingat peserta didik secara umum cenderung kepada cerita-

cerita90.

Relevansi metode cerita di lingkungan sekolah menurut

Abdurrahman Saleh Abdullah seolah-olah seperti benar-benar terjadi

dengan sesungguhnya. Cerita-cerita yang dimaksudkan merupakan metode

yang sangat bermanfaat untuk menyampaikan informasi dan pelajaran 91.

Maka kewajiban pendidik muslim adalah berkehendak merealisasikan

peranannya untuk membentuk sikap-sikap yang merupakan bagian

integral dari tujuan pendidikan Islam.

Metode ini masih banyak digunakan oleh para pendidik karena

dirasa masih merupakan metode yang efektif untuk mendapatkan hasil

yang diinginkan. Pendidik menggambarkan pengetahuan melalui cerita

yang diilustrasikan dengan konkrit di kehidupan sehari-hari sehingga

peserta didik lebih mudah memahami apa yang ingin disampaikan kepada

mereka. Dengan metode ini, pendidik akan menjadi pusat perhatian ketika

bercerita dan peserta didik dapat memahami apa yang dimaksudkan

pendidik dalam ceritanya yang berisi pengetahuan yang ingin

disampaikan.

2) Metode keteladanan

Melihat gerak langkah Natsir dalam membina umat Islam, baik

sebelum Indonesia merdeka maupun sesudahnya,-dalam bentuk

90
Saidan. Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam Antara Hasan Al-Banna dan
Mohammad Natsir. Op.cit, hlm. 235
91
Abdurrahman Saleh Abdullah. Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur‟an.
(Jakarta: PT. Rineka Putra. 2005), hlm. 209.
79

pendidikan formal maupun nonformal- ia menerapkan dakwah bi al-hal.

Artinya melalui perbuatan nyata secara praktis. Mohammad Natsir tidak

saja pandai mengajak orang lain untuk melakukan atau memperbuat

sesuatu,akan tetapi malah ia sendiri yang pertama-tama melakukanya.

Pemikiran Natsir seperti ini diyakini karena ia menyadari bahwa

pendidikan islam itu tidak hanya sebatas mengantarkan anak-anak didik

menjadi orang pintar. Akan tetapi disamping itu, haruslah membina

mereka menjadi manusia-manusia sempurna, baik segi kognitif maupun

aspek afektif dan psikomotorik. Keteladanan pendidik dalam kaca mata

Mohammad Natsir sangat menentukan dalam keberhasilan sebuah proses

pendidikan apalagi dalam pendidikan Islam. Oleh karena itu, salah satu

persyaratan yang menjadi prinsip bagi Natsir yang mesti dimiliki pendidik

adalah akhlak karimah (akhlak mulia)92.

Jika kita lihat pada zaman sekarang atau bahkan sejak dahulu,

manusia cenderung memiliki sifat imitasi atau senang meniru orang lain.

Dalam konteks pendidikan, peserta didik akan lebih banyak mengamati

pendidiknya sehingga hal ini seharusnya menyadarkan para pendidik agar

tidak hanya memperhatikan proses pemberian ilmu pengetahuan. Seorang

pendidik juga menjadi figur yang menjadi contoh atau teladan bagi peserta

didik karena mereka memiliki sifat imitasi tersebut.

Abdurrahman An Nahlawi mengemukakan bahwa Rasulullah

sebagai figur pendidik islami, mengisyaratkan agar pihak-pihak yang

92
Saidan. Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam Antara Hasan Al-Banna dan
Mohammad Natsir. Op.cit, hlm. 237
80

berkecimpung dalam dunia pendidikan mengarahkan anak didiknya

melalui teladan dan contoh perbuatan secara langsung. Dan yang tak kalah

pentingnya, para pendidik pun dituntut untuk mengarahkan pandangan

anak didik untuk meneladani perbuatannya. Tentu saja, pendidik yang

bersangkutan harus mengacukan perbuatannya sesuai dengan perilaku

Rasulullah saw., sehingga dia termotivasi untuk menyempurnakan shalat,

ibadah lain, dan perilakunya. Pendidik yang demikian telah membuat

jejak-jejak kebaikan93.

2. Konsep Pendidikan Hasan Langgulung

a. Tujuan Pendidikan

Tujuan atau matlamat pendidikan adalah serupa dengan tujuan hidup

manusia. sebab pendidikan hanyalah suatu alat yang digunakan oleh manusia

untuk memelihara kelanjutan hidupnya, sebagai individu dan sebagai

masyarakat. Jadi tujuan pendidikan adalah perkara yang teramat penting,

sebab tujuan itulah yang menentukan sifat-sifat metode dan kandungan

pendidikan. Namun, ini tidaklah bermakna bahwa dua komponen yang lain itu

tidak penting94.

Tujuan pendidikan dapat dikatakan sebagai tujuan hidup manusia

karena pada hakikatnya seluruh kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan

dari pendidikan, atau dalam hal ini dapat dikatakan “belajar”. Setiap kegiatan

93
An-Nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat.
(Jakarta: Gema Insani Press. 1995), hlm. 268.

94
Hasan Langgulung. Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi, Filsafat dan
Pendidikan. (Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru. 2004), 47
81

manusia dimulai dari membuka mata mengawali hari hingga tidur kembali

sangat berhubungan dengan belajar, bahwa setiap hal baru yang kita temukan,

kita lihat dan kita lakukan, tanpa kita sadari kita sedang belajar. Belajar

memahami apa yang kita lihat, merasakan apa yang kita sentuh,

mendengarkan hal yang belum pernah kita dengar serta mengucapkan apa

yang tidak pernah kita ucapkan. Semua itu adalah bagian dari pendidikan.

Maka tidak salah apabila dikatakan bahwa tujuan pendidikan merupakan

tujuan hidup manusia.

Tujuan hidup seperti yang disebutkan dalam Al-Qur‟an (51:yang

bermakna: “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka

menyembah kepadaKu ”. Itulah tujuan kejadian manusia, dan segala usaha

untuk menjadikan manusia menjadi „abid inilah tujuan tertinggi pendidikan

dalam Islam. Begitu juga ayat Al-Qur’an (2:30) yang bermakna : “Ingatlah

ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat: Aku akan menciptakan khalifah di

bumi”. Jadi segala usaha untuk membentuk watak manusia sebagai khalifah di

bumi ini itulah pendidikan menurut pandangan Islam95.

Menurut Hasan Langgulung, pendidikan Islam merupakan suatu

proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan memindahkan

pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia

untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat. Pendidikan tidak

berarti sekedar transfer of knowledge, tetapi juga transfer of value dan

berorientasi dunia akhirat. Untuk trasfer of value ini perlu ada nilai yang

dimiliki oleh pendidik sebagai pelaku atau subyek dan juga ilmu itu sendiri
95
Ibid, hlm. 48
82

sebagai objek yang ditransfer. Islam memandang pendidikan adalah sebagai

bentuk ibadah umat Islam yang menyebarkan nilai-nilai umum yang

didasarkan pada al-Qur‟an sebagai sumber dasar dan pokok dari berbagai

cabang disiplin ilmu pengetahuan, dan juga al-Hadis96.

Hasan Langgulung merumuskan tujuan pendidikan Islam dalam dua

tahap, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Yang dimaksud dengan tujuan

umum adalah maksud atau perubahan-perubahan yang dikehendaki yang

diusahakan oleh pendidikan untuk mencapainya. Tujuan ini dianggap kurang

merata dan lebih dekat dari tujuan tertinggi, tetapi kurang khusus jika

dibandingkan dengan tujuan khusus97. Supaya lebih jelas dapat dikatakan

bahwa tujuan tertinggi pendidikan tidak tergantung pada institusi pendidikan

tertentu, atau pada tahap pendidikan tertentu, atau pada jenis pendidikan

tertentu, atau pada masa dan umur tertentu. Sedangkan pada tujuan umum dan

tujuan khusus ia dapat dikaitkan dengan institusi pendidikan tertentu, dan

masa atau umur tertentu.

1) Tujuan Umum Pendidikan

Hasan Langgulung mengutip rumusan tujuan umum pendidikan

Islam dari Al-Abrasyi. Muhammad Athiyah al-Abrasyi adalah seorang

tokoh pendidikan yang hidup pada masa pemerintahan Abd. Nasser yang

memerintah Mesir pada tahun 1954-1970. Beliau adalah satu dari

96
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam: Ibnu
Sina, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Hasan Al-Banna, Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy‟ari, Hamka, Basiuni Imran,
Hasan Langgulung, Azyumardi Azra. Op.cit, hlm. 272
97
Hasan Langgulung. Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi, Filsafat dan
Pendidikan. Op.cit, 51
83

sederetan nama yang tidak boleh dilupakan oleh para cendekiawan Arab

dan muslimin. Beliau adalah penulis tentang pendidikan keislaman dan

pemikiran, umurnya yang mendekati 85 tahun akan selalu terasa

pengaruhnya bagi generasi sesudahnya. Beliau dilahirkan pada awal April

tahun 1897 dan wafat pada tanggal 17 Juli 1981. Al-Abrasyi dalam

kajiannya tentang pendidikan Islam telah menyimpulkan lima tujuan

umum bagi pendidikan Islam, yaitu98 :

1) Untuk mengadakan pembentukan akhlak yang mulia. Kaum

Muslimin dari dahulu kala sampai sekarang setuju bahwa

pendidikan akhlak adalah inti pendidikan Islam, dan bahwa

mencapai akhlak yang sempurna adalah tujuan pendidikan yang

sebenarnya.

2) Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.

Pendidikan Islam bukan hanya menitik beratkan pada keagamaan

saja, atau pada keduniaan saja, tetapi pada kedua-duanya, sekali.

3) Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi manfaat,

atau lebih terkenal sekarang ini dengan nama tujuan-tujuan

vokasional dan profesional.

4) Menumbuhkan semangat ilmiah pada pelajar dan memuaskan

keinginan tahu (curiosity) dan memungkinkan ia mengkaji ilmu

demi ilmu itu sendiri.

98
Moh. Athiyah Al Abrasyi. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam. (Jakarta: Bulan
Bintang. 1974), hlm. 2
84

5) Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknikal dan pertukangan

supaya dapat menguasai profesi tertentu, dan keterampilan

pekerjaan tertentu agar dapat ia mencari rezeki dalam hidup

disamping memelihara segi kerohanian dan keagamaan.

2) Tujuan Khusus Pendidikan

Sebagai seorang pemikir terakhir dari zaman keemasan tamaddun

Islam yang banyak menulis mengenai pendidikan, terutama pada karyanya

yang terkenal, yaitu Muqaddimah, Ibn Khaldun membagikan tujuan-

tujuan pendidikan itu kepada :

1) Mempersiapkan seseorang dari segi keagamaan yaitu mengajarkan

syiar-syiar agama menurut al-Qur’an dan sunnah, sebab dengan

jalan itu potensi iman itu diperkuat, sebagaimana halnya dengan

potensi-potensi lain yang jika telah mendarah daging maka ia

seakan-akan menjadi fitrah.

2) Menyiapkan seseorang dari segi akhlak.

3) Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial.

4) Menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan.

Dikatakannya bahwa mencari dan menegakkan hidupnya mencari

pekerjaan, sebagaimana ditegaskannya pentingnya pekerjaan

sepanjang hidup manusia, sedang pengajaran atau pendidikan

dianggapnya termasuk diantara keterampilan-keterampilan itu.


85

5) Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran, sebab dengan

pemikiran seseorang itu dapat memegang berbagai pekerjaan dan

pertukangan atau keterampilan tertentu seperti telah diterangkan di

atas.

6) Menyiapkan seseorang dari segi kesenian, di sini termasuklah

musik, syair, khat, seni bina dan lain-lain.

Tujuan akhir (ultimate aim) pendidikan dalam Islam adalah

pembentukan pribadi khalifah bagi anak didik yang memiliki fitrah, roh di

samping badan, kemauan yang bebas, dan akal99.

Dalam proses pendidikan, tujuan akhir merupakan tujuan tertinggi

yang akan dicapai. Tujuan akhir pendidikan Islam merupakan kristalisasi

nilai-nilai ideal Islam yang diwujudkan dalam pribadi anak didik. Oleh

karena itu tujuan akhir itu harus meliputi semua aspek yang terintegrasi

dalam pola kepribadian yang ideal. Dalam konsepsi Islam, pendidikan

berlangsung sepanjang hayat manusia. Oleh karena itu tujuan pendidikan

Islam harus terefleksi sepanjang kehidupan manusia. Dengan demikian

tujuan akhir pendidikan Islam pada dasarnya sejajar dengan tujuan hidup

manusia dan peranannya sebagai makhluk ciptaan Allah. Sebagaimana

kata Hasan Langgulung: bahwa “segala usaha untuk menjadikan manusia

menjadi ’abid (penyembah Allah) inilah tujuan tertinggi pendidikan

Islam”100.

99
Hasan Langgulung. Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi, Filsafat dan
Pendidikan. Op.cit, 55

100
Abdul Kholiq,dkk. Pemikiran Pendidikan Islam Tokoh Klasik dan Kontemporer.
Op.cit, hlm. 47.
86

Tujuan utama dari pendidikan Islam seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya dapat dirumuskan bahwa pendidikan Islam sesungguhnya

menjadikan peserta didik memiliki sifat-sifat seperti halnya seorang

khalifah. Seorang khalifah hendaknya memiliki akhlakul karimah atau

akhlak yang baik sehingga dapat memiliki hubungan sosial yang baik pula

dalam kehidupan bermasyarakat atau dapat dikatakan bahwa pendidikan

adalah proses pembentukan karakter pribadi peserta didik.

Hasan Langgulung menjelaskan ciri-ciri seorang khalifah menurut

Al-Qur‟an, diantaranya adalah sebagai berikut101:

a) Fitrah

Manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, ia tidak mewarisi dosa

karena Nabi Adam a.s.meninggalkan syurga.

b) Roh

Interaksi antara badan dan roh menghasilkan khalifah. Inilah dua

sifat yang membedakan khalifah dari makhluk yang lain.

c) Kebebasan kemauan

Kebebasan untuk memilih tingkahlakunya sendiri. Khalifah itu

menerima dengan kemauan sendiri amanah yang tidak dapat

dipikul oleh makhluk-makhluk lain.

d) Aqal

Aqal dapat menjadikan manusia membuat pilihan antara yang

betul dan yang salah. Selain itu, dapat memiliki kemampuan

101
Hasan Langgulung. Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi, Filsafat dan
Pendidikan. Op.cit, hlm. 29
87

pengetahuan dan keterampilan yang handal sehingga dapat

meraih kesuksesan dan kebahagiaan di dunia. Akan tetapi, yang

paling penting dari itu semuaadalah seorang khalifah harus

memiliki keimanan yang kuat, yang memiliki kesadaran penuh

bahwa dirinya merupakan makhluk dansudah seharusnya jika

makhluk adalah penyembah Sang Pencipta yaitu Allah SWT.

dengan cara beribadah sesuai yang telah ditetapkan. Hal itulah

yang akan mengantarkannya pada kebahagiaan di akhirat.

Pendapat Hasan Langgulung tentang tujuan pendidikan senada

dengan hasil dari World Conference on Muslim Education yang

didefinisikan sebagai berikut:

“Education should aim at the balanced growth of the total personality


of man through the training of man‟s spirit, intellect, the rational
self, feelings and bodily sense. Education should therefore cater for
the growth of man in all its aspects towards goodness and the
attainment of perfection. The ultimate aim of Muslim education lies
in the realization of complete submission to Allah on the level of
individual, the comunity of large.”102.
Pendidikan Islam seharusnya bertujuan untuk mencapai

pertumbuhan yang seimbang dari seluruh kepribadian manusia melalui

latihan spiritual, kecerdasan, perasaan, dan pancaindera. Oleh karenanya

pendidikan semestinya dapat memberikan pelayanan pada pertumbuhan

manusia dalam semua aspek kehidupannya yang meliputi aspek spiritual,

intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah, linguistik, baik individual

maupun kolektif, serta mendorong ke arah kebaikan dan pencapaian

kesempurnaan agar terlaksana aktivitas pengabdian kepada Allah SWT.


102
Hasan Langgulung. Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi, Filsafat dan
Pendidikan. Op.cit, hlm. 133
88

Pemikiran Hasan Langgulung sejalan dengan Zakiah Daradjat

yang mengemukakan bahwa tujuan pendidikan dalam Islam secara

besarnya adalah untuk membina manusia agar menjadi hamba Allah yang

saleh dengan seluruh aspek kehidupannya, perbuatan, pikiran dan

perasaannya103.

Potensi manusia sebagai karunia Tuhan itu haruslah

dikembangkan, sedang pengambangan potensi sesuai dengan petunjuk

Tuhan itulah yang disebut „ibadah. Jadi kalau tujuan kejadian manusia

adalah ibadah, dalam pengertian pengembangan potensi-potensi, maka

kita lihat di sini bahwa ia bertemu dengan tujuan tertinggi pendidikan

Islam seperti yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu mencipta manusia

abid. Manusia yang mengaktualisasikan segala potensi yang dikaruniakan

Tuhan akan mencapai derajat yang paling tinggi sebagai waliy104.

b. Kurikulum Pendidikan

Kurikulum merupakan salah satu komponen pendidikan yang memiliki

peran yang sangat penting dalam proses pendidikan. Kurikulum dapat

dikatakan sebagai acuan maju tidaknya proses pendidikan yang telah

direncanakan. Hasan Langgulung mendefinisikan perkataan “kurikulum”,

berasal dari bahasa latin “curriculum” yang berarti suatu kursus, terutama

suatu kursus di Universitas. Beliau menyimpulkan definisi kurikulum dari

103
Zakiah Daradjat,. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. (Jakarta: CV.
Ruhama. 1993), hlm. 95
104
Hsan Langgulung. Kreativitas dan Pendidikan Islam. (Jakarta: PT. Pustaka Al- Husna.
1991), hlm. 363
89

beberapa pemikir-pemikir pendidikan bahwa, “Kurikulum adalah sejumlah

pengalaman pendidikan, kebudayaan, sosial, olahraga dan kesenian yang

disediakan oleh sekolah bagi murid-muridnya di dalam dan di luar sekolah

dengan maksud menolongnya untuk berkembang secara menyeluruh dalam

segala segi dan merubah tingkahlaku mereka sesuai dengan tujuan-tujuan

pendidikan”105.

Hasan langgulung menambahkan bahwa menurut konsep yang luas

dan menyeluruh, yang merupakan sumber kurikulum pada zaman modern ini,

maka kurikulum itu mempunyai empat unsur atau aspek utama, yaitu106:

1) Tujuan-tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh kurikulum itu.

2) Pengetahuan (knowledge), ilmu-ilmu, data-data, aktivasi-aktivasi dan

pengalaman-pengalaman darimana terbentuk kurikulum itu.

3) Metode dan cara-cara mengajar dan bimbingan yang diikuti murid-

murid untuk mendorong mereka belajar dan membawa mereka ke arah

yang dikehendaki dan tujuan yang dirancangkan.

4) Metode dan cara penilaian yang digunakan dalam mengukurdan

menilai kurikulum dan hasil proses pendidikan yang dirancangkan

dalam kurikulum.

Atau dengan kata lain yang lebih ringkas lagi kurikulum pada

pengertiannya yang luas terdiri dari tujuan-tujuan, kandungan, metode

mengajar dan metode penilaian. Dalam keterangan lain Hasan Langgulung

105
Hasan Langgulung. Asas-asas Pendidikan Islam. (Jakarta: Al Husna Zikra. 2002), hlm.
241
106
Hasan Langgulung. Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi, Filsafat dan
Pendidikan. Op.cit, hlm. 29
90

menyebutkan, kurikulum adalah serangkaian kegiatan belajar mengajar yang

direncanakan dan diprogram secara terperinci bagi peserta didik di bawah

bimbingan sekolah, baik di luar maupun di dalam sekolah demi mencapai

tujuan yang diinginkan107.

Dari definisi yang telah dijelaskan sebelumnya, Hasan Langgulung

mengemukakan bahwa kurikulum berfungsi sebagai alat untuk mencapai

tujuan pendidikan. Sehubungan dengan itu, perlu adanya pembaruan dan

pengembangan kurikulum pada setiap saat karena pengembangan kurikulum

merupakan upaya konstruktif untuk mencapai tujuan pendidikan108.

Hasan Langgulung menangkap suatu kondisi yang sangat

memprihatinkan dalam dunia pendidikan, beliau memandang perlu mengubah

paradigma ilmu pengetahuan yang telah kehilangan identitas Islam melalui

proses islamisasi ilmu terhadap salah satu komponen dalam pendidikan Islam

yaitu kurikulum. Hasan menguraikan proses islamisasi ilmu melalui

penyusunan kembali dasar-dasar kurikulum oleh karena pendidikan Islam

selama ini telah kehilangan makna dan jauh dari tujuan pendidikan yang

diharapkan. Menurutnya proses islamisasi ilmu tidak hanya fokus pada segi

ilmu pengetahuan saja, tetapi juga meliputi tiga komponen kurikulum yakni

tujuan pendidikan, metodologi pengajaran dan penilaian109.

107
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam:
Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Hasan Al-Banna,
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy‟ari, Hamka, Basiuni
Imran, Hasan Langgulung, Azyumardi Azra. Op.cit, hlm. 278
108
Hasan Langgulung. Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi, Filsafat dan
Pendidikan. Op.cit, hlm. 32
109
Hasan Langgulung. Asas-asas Pendidikan Islam. op.cit, hlm. 296
91

Salah satu gagasan Hasan Langgulung dalam pendidikan Islam di

Indonesia adalah tentang konsep Islamisasi ilmu. Islamisasi ilmu pengetahuan

sebenarnya telah ada sebelum dikemukakan oleh Hasan Langgulung. Beliau

bukanlah satu-satunya ilmuwan pendidikan yang mengangkat gagasan tentang

Islamisasi ilmu karena beberapa ilmuwan juga telah mengemukakannya.

Islamisasi ilmu pengetahuan pertama kali dilontarkan oleh Syed

Muhammad Naquib al-Attas. Definisi Islamisasi ilmu dalam konsepsi al-Attas

lahir dari pengetahuan dan pemahamannya terhadap konsep Islamisasi ilmu

secara umum sebagaimana yang terjadi dalam sejarah Islam. Al-Attas

mendefinisikan Islamisasi ilmu secara umum yaitu: Islamisasi adalah

pembebasan manusia, pertama dari tradisi magis, mitos, animis, dan faham

kebangsaan dan kebudayaan pra-Islam kemudian dari kendali sekuler atas

nalar dan bahasanya110.

Islamisasi merupakan upaya untuk mengembalikan kembali sifat-sifat

manusia sesuai yang digariskan dalam Islam. Beberapa hal yang melekat

dalam diri manusia sendiri yang sering disebut tradisi ataupun kebiasaan

seperti adat umat manusia sebelum Islam datang perlu untuk di-Islamisasi.

Ditambah pada masa sekarang dimana paham sekuler yang semakin

berkembang, dan jika terus seperti itu akan mengendalikan sifat manusia itu

sendiri.

Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah suatu respon

terhadap krisis masyarakat modern ynag disebabkan karena pendidikan Barat

110
Syed Muhammad Naquib Al-Attas,. 1996. Konsep Pendidikan Dalam Islam. Jakarta:
Mizan. 1996), hlm. 95
92

yang bertumpu pada suatu pandangan dunia yang bersifat materialistis dan

relavistis, menganggap bahwa pendidikan bukan untuk membuat manusia

bijak, yakni mengenali dan mengakui posisi masing-masing dalam tertib

realitas, tetapi memandang realitas sebagai suatu yang bermakna secara

material bagi manusia111.

Untuk mencapai kurikulum yang diharapkan, menurut Hasan

Langgulung kurikulum pendidikan Islam hendaknya mengacu pada dasar-

dasar pokok sebagai berikut112:

a. Keutuhan, kurikulum pendidikan Islam harus utuh. Proses ini

menunjukkan bahwa pendidikan Islam harus memeperhatikan seluruh

aspek manusia: badan, jiwa, akal dan rohnya. Sedangkan dari segi

pelaksanaannya, harus meliputi segala aktivitas pendidikan formal,

non-forlam dan informal seperti pendidikan di rumah, masjid,

pekerjaan, lembaga sosial dan budaya.

b. Keterpaduan, kurikulum pendidikan Islam harus memedukan berbagai

macam komponen dari segala jenis dan tahap pendidikan, memadukan

individu dengan masyarakat luas, dan memadukan individu itu sebdiri

dengan kepribadiannya: jasad, jiwa, akal dan roh yang berkaitan secara

organik dan berbaur satu dengan yang lain sehingga apabila terjadi

perubahan pada salah satu komponennya, maka akan berlaku

perubahan pada komponen-komponen yang lain.

111
Abudin Nata. Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam: Isu-isu Kontemporer Tentang
Pendidikan Islam. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2013), hlm. 126
112
Hasan Langgulung. Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke 21. (Jakarta: PT. Pustaka
Al-Husna. 1988), hlm. 142.
93

c. Kesinambungan, kurikulum yang digunakan hendaknya memiliki

kesinambungan dari segi umur, jenjang persekolahan dan suasana.

Sistem pembelajarannya dibangun dari yang mudah sampai pada yang

sulit yang diberikan secara terus menerus dan antara materi yang satu

dengan yang lain saling terkait.

d. Keaslian, kurikulum pendidikan Islam hendaknya mengambil

komponen, tujuan, kandungan dan metodologi dari ajaran Islam tanpa

menolak unsur yang datang dari luar selama tidak bertentangan dengan

ruh ajaran Islam. Pendidikan Islam harus memberikan prioritas

terhadap pendidikan kerohanian yang diajarkan oleh Islam,

mengangkat derajat manusia tanpa meninggalkan alam kebendaan.

e. Bersifat ilmiah, kurikulum pendidikan Islam hendaknya memandang

sains dan teknologi sebagai salah satu komponen terpenting dari

peradaban modern, hanya dalam mengaplikasikannya harus sesuai

dengan semangat Islam.

f. Bersifat praktikal, kurikulum pendidikan Islam tidak hanya mengacu

pada tataran teoritis saja, tetapi harus mengandung nilai-nilai praktikal

yang dapat dimanfaatkan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Tugas

pendidikan Islam selain membentuk manusia yang beriman pada

ajaran Islam juga membentuk pekerja produktif dalam bidang ekonomi

dan individu yang aktif dalam masyarakat.

g. Kesetiakawanan, diantara ajaran yang terpenting dalam Islam adalah

kerjasama, persaudaraan dan keterpaduan di kalangan kaum Muslim.


94

Kurikulum pendidikan Islam harus menenamkan dan menumbuhkan

rasa setia kawan dan persaudaraan di kalangan kaum muslimin, dan

antara pendidik dan peserta didik.

h. Keterbukaan, dalam kurikulim pendidikan Islam harus ditanamkan

rasa kesaman hak antar individu dan menghilangkan rasa fanatisme

karena dalam Islam tidak ada etnisitas, hanya takwa dan iman yang

membedakan seseorang. Pendidikan Islam adalah pendidikan

kemanusiaan yang berdiri di atas persaudaraan seiman dan perutusan

untuk umat manusia seluruhnya.

Hasan Langgulung mengungkapkan, langkah selanjutnya adalah

penjenisan kembali (reclassification) pengetahuan yang ada ini berdasar pada

dua sumber, wahyu dan akal. Dan selanjutnya menamakannya pengetahuan

abadi (perennial) dan pengetahuan diperoleh (acquired) sebagai berikut113 :

1) “Planning of education to be based on the classification of knowledge

into two categories:

2) “Perennial” knowledge derived from the Quran and The Sunnah


meaning all Sharia oriented knowledge relevant and related to them,
and …
3) “acquired” knowledge susceptible to quantitative growth and
multiplication, limited variavons and cross-cultural borrowings as long
as consistency with the Sharia as the sources of value is maintained”.

Pengertian bentuk pertama (perennial) diterima melalui wahyu yang

terdapat dalam Al Qur‟an dan Hadits, sedang bentuk kedua (acquired)

diperoleh melalui imajinasi dan pengalaman-indera. Hanya

pengetahuan bentuk terakhir inilah yang kita pelajari melalui falsafah


113
Hasan Langgulung. Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi, Filsafat dan
Pendidikan. Op.cit, hlm. 137
95

dan model Barat, sedang wahyu hanya diajarkan di sekolah-sekolah

agama atau sekolah-sekolah non-formal, atau pun ditempelkan dalam

kurikulum sebagai mata pelajaran tambahan, bukan dasar, padahal

menurut konsepsi Islam agar kurikulum itu bersifat Islam haruslah

konsep Islam berpadu dengan mata pelajaran yang lain.

c. Metode Pendidikan Islam

Metode bermakna cara atau jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan

pendidikan. Tiga aspek pokok yang berkaitan dengan seorang guru yang

berdedikasi yang penuh kesadaran tentang tenggung jawabnya sebagai

seorang Muslim terhadap orang-orang yang ada di bawah tanggungjawabnya.

Hasan Langgulung mengemukakan bahwa menggunakan metode yang

akan digunakan harus memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut114 :

1) Aspek pertama tentang kaitan metode pendidikan dengan tujuan utama

pendidikan Islam untuk membina karakter. Manusia dilahirkan dalam

keadaan fitrah yang baik, sudah tentu kepercayaan akan baiknya fitrah

akan mempunyai implikasi praktikal terhadap metode-metode yang

akan digunakan oleh guru. Tidak cukup seseorang guru hanya

berusaha melindungi murid-muridnya dari pengaruh-pengaruh buruk

dan menunggu agar sifat-sifat asalnya itu berkembang sendiri. Seorang

pendidik Islam bertanggungjawab mengasuh seorang murid dengan

cara-cara tertentu. Peranannya bukan hanya mengusahakan suasana

pengajaran dan membiarkan pelajar menentukan sendiri pilihan tanpa


114
Ibid, hlm. 36
96

mempertimbangkan akibat pilihan itu. Dia tidak boleh duduk diam

sedang murid-muridnya memilih jalan yang salah. Ini berbeda sekali

dengan sikap Rosseau, yang membincangkan masa kanak-kanak awal,

yang mengatakan : “....pendidikan permulaan seharusnyalah semata-

mata bersifat negatif. Ia terdiri bukan dari mengajarkan kebaikan dan

kebenaran, tetapi menjaga jiwa dari dosa dan fikiran dari kesalahan".

2) Terkait dengan aspek kedua, yaitu metode-metode yang digunakan

dalam pendidikan Islam, telah diterangkan juga di atas bahwa seorang

guru tidak dapat memaksa muridnya dalam cara yang bertentangan

dengan fitrahnya. Salah satu cara ialah lemah lembut, seperti

dinyatakan dalam berbagai ayat Al-Qur‟an dan Hadis dalam

menyebarkan dakwah. Tetapi guru-guru yang ingin agar pengajaran

yang diberikan kepada murid-muridnya itu mudah diterima, tidaklah

cukup hanya bersifat lemah-lembut saja, ia haruslah memikirkan

metode-metode yang akan digunakannya, seperti memilih waktu yang

tepat, memulai dengan yang mudah, kemudian yang susah,

mempelbagaikan metode yang digunakan dalam mengajarkan suatu

mata pelajaran, bercerita, berulang-ulang, menanyakan soalan-soalan

deduksi, dan lain-lain lagi metode-metode yang digunakan ahli-ahli

pendidikan Islam dari zaman dahulu lagi yang memang ada bukti-

buktinya dalam ayat-ayat Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah SAW.

3) Aspek ketiga daripada metode pendidikan yang perlu perhatian kita

adalah bagaimana guru menggalakkan murid-muridnya belajar


97

menerima ganjaran dan hukuman. Berkesannya ganjaran dan hukuman

bertitik tolak dari fakta bahwa mereka sangat berkaitan dengan

kebutuhan-kebutuhan individu. Seorang murid yang menerima

ganjaran memahaminya sebagai suatu tanda penerimaan terhadap

pribadinya, yang menyebabkan ia merasa tenteram. Sedang

ketentraman itu adalah salah satu kebutuhan asas dari segi psikologi,

dan hukuman sangat dibenci sebab ia mengancam ketentraman. Jadi

metode pendidikan yang kita kemukakan di sini mencakup pendidikan

dalam pengertian yang luas, yaitu formal, non-formal, dan informal.

Dan bila pendidikan diartikan sebagai usaha untuk mengembangkan

potensi-potensi yang baik dan mencegah potensi-potensi yang buruk,

maka tepatlah ganjaran dan hukuman sebagai alatnya.

Hasan Langgulung menegaskan pendidikan sebagai mengubah dan

memindahkan nilai-nilai kebudayaan kepada setiap individu masyarakat

melalui pelbagai proses. Proses pemindahan tersebut ialah pengajaran, latihan

dan indoktrinasi. Pemindahan nilai-nilai melalui pengajaran ialah

memindahkan pengetahuan dari individu kepada individu yang lain; dan

latihan ialah membiasakan diri melakukan sesuatu bagi memperoleh

kemahiran. Sementara, indoktrinasi juga menjadikan seseorang dapat meniru

apa yang dilakukan oleh orang lain. Ketiga aspek ini berjalan serentak dalam

masyarakat primitif dan modern115.

Hasan Langgulung memberikan penjelasan tentang metode pengajaran

adalah jalan untuk mencapai tujuan. Jadi jalan itu bermacam-macam, begitu
115
Ibid, hlm. 274
98

juga dengan metode. Tidak ada metode terbaik untuk segala pengajaran.

Mungkin ada yang baik untuk mata pelajaran tertentudan oleh guru tertentu

tetapi belum tentu untuk mata pelajaran dan guru yang berbeda.

Di dalam pendidikan agama Islam terdiri dari beberapa unsur baik dari

segi kognitif, afektif maupun psikomotorik. Seperti misalnya pendidikan

akhlak yang merupakan salah satu aspek afektif dalam pendidikan agama

Islam tidak dapat diajarkan hanya dengan metode kognitif seperti ceramah.

Hal tersebut menegaskan pendapat Hasan Langgulung bahwa metode

pengajaran itu sangat kondisional dan situasional, artinya seorang guru bisa

memilih dan menggunakan metode yang ada seperti116:

1) Metode ceramah
2) Metode tanya jawab
3) Metode diskusi
4) Metode pemberian tugas belajar(resitasi)
5) Metode demonstrasi dan eksperimen
6) Metode kelompok
7) Metode sosio drama dan bermain peran
8) Metode karya wisata
9) Metode drill
10) Metode team teaching

Metode-metode tersebut haruslah diaplikasikan dengan menyesuaikan

materi yang akan diajarkan dengan waktu yang ditentukan. Selain itu, untuk

memotivasi para peserta didik dan mencegah hal yang tidak diinginkan dalam

pembelajaran perlu adanya apresiasi dan hukuman sebagai salah satu cara agar

peserta didik dapat mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan.

3. Perbandingan Pemikiran Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung

tentang Pendidikan
116
Hasan Langgulung. Asas-asas Pendidikan Islam. op.cit, hlm. 74
99

a. Perbandingan pada Aspek Tujuan Pendidikan Menurut

Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung

Mengenai pemahaman pendidikan dari M. Natsir, pendidikan dalam

pengertian beliau merupakan suatu bimbingan atau pengarahan dari para

pendidik bukan hanya dari segi jasmani seperti kemampuan intelektual,

keterampilan, ataupun ketangkasan dan keahlian dalam suatu bidang tertentu

yang diberikan kepada peserta didik, akan tetapi juga dari segi rohaninya

seperti kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional juga merupakan hal-hal

yang seharusnya diberikan sebagai suatu keseimbangan. Pendidikan dari

kedua segi tersebut pada hakikatnya adalah suatu cara yang digunakan agar

para peserta didik dapat mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki

sebagaimana sifat-sifat kemanusiaan yang seharusnya dimiliki oleh peserta

didik sehingga dapat dikatakan menjadi manusia yang utuh baik jasmani

maupun rohani.

Dari definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat diambil salah satu

hal terpenting dalam pendidikan yang tidak boleh diabaikan, yaitu mengenai

tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri. Dari uraian pengertian pendidikan

tersebut dapat dikatakan bahwa tujuan dari pendidikan adalah untuk

melengkapi dan menyempurnakan sifat-sifat kemanusiaan dari peserta didik.

Sifat-sifat tersebut sebenarnya telah ada dalam diri masing-masing peserta

didik, akan tetapi mereka belum bisa untuk mengerti sepenuhnya. Maka tugas

dari pendidik yaitu agar membimbing dan mengarahkan agar peserta didik

dapat menjadi pribadi-pribadi yang memahami segala potensi dalam dirinya


100

dan dapat menggunakannya untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di

akhirat.

Pada akhirnya pendidikan merupakan suatu bekal bagi peserta didik

untuk melalui kehidupan yang akan dijalani. Maka tidak salah jika dalam

pandangan M. Natsir tujuan dari pendidikan itu adalah tujuan hidup dari setiap

peserta didik itu sendiri. Beliau memperkuat pendapatnya dengan mengutip

dari ayat Al-Qur‟an surat Adz-Dzariat(56) yang artinya “...dan Aku tidak

menciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah kepada-Ku.” Dari

ayat tersebut dapat terlihat jelas apa yang menjadi tujuan penciptaan manusia

atau tujuan hidup manusia itu sendiri, Yaitu agar setiap makhluk menyembah

hanya kepada Allah semata, Pencipta Alam Semesta.

Sebagai seorang hamba, manusia seharusnya dapat melaksanakan apa

yang diperintahkan dan meninggalkan segala yang dilarang. Dalam Al-Qur‟an

surat Al-Baqarah ayat 177 bahwa seorang hamba adalah yang beriman kepada

Allah, Hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan

memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,

orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang

yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat,

dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia

berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan

dalam peperangan. Untuk dapat melaksanankan semua itu maka diperlukan

ilmu dan salah satu jalan mendapatkan ilmu adalah melalui pendidikan.
101

Dengan melihat sejarah bahwa Natsir yang hidup dari masa awal

kemerdekaan hingga Orde Baru di mana sistem pendidikannya masih

merupakan warisan dari para penjajah, maka beliau ingin mengubah orientasi

pendidikan yang bisa dibilang sekuler tersebut agar dapat terintegrasi dengan

pendidikan Islam. Oleh karena itu, Natsir merumuskan tujuan dari pendidikan

Islam agar kembali pada ajaran-ajaran Islam.

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi

tujuan pendidikan Islam adalah membentuk peserta didik yang memiliki

akhlak sebagai seorang hamba Allah yang senantiasa patuh dan taat dengan

segala yang diperintahkan Allah SWT serta sebisa mungkin menghindari dan

berusaha menjauhi apa saja yang dilarang oleh Allah SWT. selain itu, peserta

didik juga harus memiliki penguasaan ilmu pengetahuan dengan

mengembangkan segala potensi yang dimiliki sehingga menjadi lulusan yang

dapat meraih kesuksesan di dunia. Dengan memiliki kedua hal tersebut

diharapkan peserta didik menjadi makhluk yang berada dalam keseimbangan

baik jasmani maupun rohani serta ilmu maupun imannya.

Sedangkan pendidikan Islam dalam perspektif Hasan Langgulung,

beliau mengartikan pendidikan sebagai proses untuk menyiapkan peserta didik

sebagai generasi penerus yang akan menggantikan pendidik untuk

meneruskan pengetahuan dan nilai-nilai yang telah diperolehnya kepada

generasi setelahnya. Hal ini berarti bahwa pendidikan merupakan suatu alat

untuk mentransfer pengetahuan dan nilai-nilai dari pendidik kepada peserta

didik secara berkelanjutan atau tidak hanya pada satu generasi saja.
102

Dalam pengertian tersebut, dalam proses pendidikan tidak hanya

memberikan pemahaman pengetahuan dalam ranah kognitif saja. Pendidikan

juga merupakan salah satu alat membentuk kepribadian peserta didik dengan

nilai-nilai karakter baik yang diajarkan secara langsung oleh pendidik melalui

pembelajaran maupun secara tersirat dalam sikap dan kepribadian pendidik.

Figur pendidik dalam proses pembentukan karakter peserta didik memiliki

peran yang besar. Hal tersebut dikarenakan oleh pola pikir peserta didik yang

secara langsung ataupun tidak langsung menjadikan pendidik sebagai model

figur yang telah mencapai tujuan dari pendidikan tersebut.

Terkait dengan tujuan pendidikan Islam, Hasan langgulung membagi

tujuan pendidikan Islam menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

Tujuan khusus lebih kepada memperdalam apa yang dijabarkan dalam tujuan

umum. Meskipun kedua tujuan tersebut memiliki konteks yang berbeda, akan

tetapi pada hakikatnya memiliki substansi yang sama yaitu tujuan tertinggi

dari pendidikan Islam itu sendiri. Secara ringkas, tujuan pendidikan Islam

adalah menjadikan manusia sebagaimana tujuan Allah menciptakannya, yaitu

sebagai khalifah yang menyembah hanya kepada Allah. Maka dari itu

pendidikan Islam memiliki peranan penting dalam membentuk karakter

peserta didik menuju kesempurnaan sifatnya sebagai seorang khalifah yang

memiliki akhlakul karimah.

Disamping itu agar memperoleh kesuksesan di dunia, pendidikan

Islam menyiapkan peserta didik dari segi sosiologis untuk dapat hidup dalam

masyarakat sosial dengan baik. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk


103

sosial yang tidak dapat hidup seorang diri, di sinilah fungsi pendidikan yang

selain menciptakan lingkungan pembelajaran juga memiliki andil besar dalam

mengasah sikap sosial dari peserta didik. Lebih lanjut bahwa peserta didik

disiapkan untuk memiliki keterampilan ataupun keahlian, karena dengan itu

seseorang dapat memiliki berbagai pekerjaan.

Maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam yang digagas

oleh Hasan Langgulung adalah membentuk peserta didik menjadi khalifatullah fil

ardh sebagaimana tujuan Allah menciptakan manusia yang dapat mengelola

segala hal yang berhubungan dengan kehidupan di bumi. Manusia dapat

dikatakan sebagai pemimpin diantara makhluk yang lain karena Allah SWT

menciptakannya dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Selain diberikan roh dan

badan, manusia dianugerahi kemauan yang bebas dan dengan berpikir

menggunakan akalnya manusia memiliki kemampuan yang lebih. Untuk dapat

menjadi apa yang dicita-citakan pendidikan Islam yaitu sebagai khalifah, maka

peserta didik harus siap dari segi keagamaan termasuk di dalamnya adalah

pendidikan akhlaknya, siap dalam sosial bermasyarakatnya, serta siap dari

segi keterampilannya dalam rangka mencari dan menegakkan hidupnya

melalui pekerjaan yang akan didapatkan.

Dengan melihat pemikiran pendidikan dari kedua tokoh tersebut dapat

diketahui bahwa tujuan pendidikan Islam dari Hasan Langgulung lebih mudah

dipahami secara rinci karena beliau menjabarkannya dengan konkrit sampai

ke substansinya. Sedangkan Mohammad Natsir menjelaskan tujuan

pendidikan Islam lebih umum. Akan tetapi, terdapat persamaan dari kedua

pemikiran ini yaitu bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk menjadikan
104

peserta didik sebagai makhluk yang senantiasa menyembah Allah sebagai

penciptanya dalam arti luas.

Fokus utama dari rumusan tujuan pendidikan Mohammad Natsir dan

Hasan langgulung terletak pada penekanan pendidikan akhlak agar peserta

didik memiliki akhlak yang mulia sehingga dapat meningkatkan keimanan

dari peserta didik itu sendiri. Selain itu, pendidikan Islam yang diinginkan

tidak mengesampingkan kehidupan dunia dengan memiliki keterampilan

khusus sehingga bisa mendapatkan pekerjaan yang diinginkan sebagai jalan

rezeki baginya.

b. Perbandingan pada Aspek Kurikulum Pendidikan Menurut

Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung

Mengenai kurikulum pendidikan Islam yang digagas oleh Natsir,

beliau tidak mendefinisikan secara langsung mengenai kurikulum pendidikan

Islam. Dalam menyusun kurikulum pendidikan Islam beliau mengemukakan

bahwa tidak ada pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum seperti yang

pernah terjadi pada pendidikan di masa penjajahan dan awal kemerdekaan

karena hal tersebut merupakan sistem dari sekularisme barat. Untuk mencapai

tujuan pendidikan Islam seperti yang diinginkan perlu adanya integrasi antara

ilmu umum dan ilmu agama dengan mempertimbangkan kebutuhan sesuai

dengan potensi yang dimiliki peserta didik. Dengan begitu, akan tertanam

sikap kemandirian bagi setiap peserta didik dalam menyikapi realitas

kehidupannya.
105

Dalam kurikulum pendidikan saat ini konsep integrasi ilmu tersebut

telah berjalan dengan diberlakukannya kurikulum 2013. Kurikulum tersebut

mengintegrasikan pelajaran-pelajaran yang sebelumnya berdiri sendiri ke

dalam tema-tema dan subtema-subtema tertentu sesuai dengan muatan

pelajaran dan tujuan dari kurikulum itu sendiri.

Beliau meletakkan tauhid sebagai dasar atau landasan dalam

pendidikan Islam yang akan diselenggarakan. Hal ini merupakan sebuah

keharusan karena jika dilihat dalam sudut pandang agama, Islam memiliki

ajaran-ajaran yang dilaksanankan oleh pemeluknya yang mana ajaran-ajaran

tersebut pada intinya bermuara pada ketauhidan makhluk kepada Allah SWT.

Tuhan semesta alam ini. Beliau memberikan contoh tentang betapa

pentingnya ketauhidan bagi seorang makhluk dalam kehidupan nyata. Sebagai

makhluk, manusia seharusnya sadar bahwa dia tidak memiliki daya dan upaya

selain daya dan upaya yang telah Allah berikan. Allah merupakan segalanya

bagi manusia, termasuk tempat bergantung dan berserah diri karena pada

hakikatnya apa yang ada pada diri manusia bukanlah milik manusia itu, akan

tetapi adalah milik Sang Pencipta yaitu Allah SWT.

Natsir menambahkan tentang penguasaan bahasa sebagai alat untuk

mendapatkan pengetahuan yang lebih luas lagi seperti pengetahuan yang

terdapat di negeri orang. Dengan bahasa, pemahaman tentang pengetahuan

yang belum pernah didapatkan dari para ahli di seluruh dunia akan lebih

mudah dimengerti. Hal tersebut disebabkan karena pada intinya pendidikan

adalah proses komunikasi yang terjalin antara pendidik dan peserta didik,
106

bahasa merupakan sarana komunikasi yang mudah untuk berkomunikasi

dengan orang dari budaya yang lain atau daerah yang lain, bahkan negara di

belahan dunia yang lain.

Sedangkan Hasan Langgulung mendefinisikan kurikulum sebagai

perencanaan program pendidikan bagi peserta didik yang dibuat dan diawasi

oleh sekolah secara penuh untuk mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan.

Hal ini berarti bahwa setiap kegiatan pendidikan yang diselenggarakan telah

direncanakan secara seksama dari pelaksanaan belajar mengajar hingga

pengawasan harus diperhatikan dan dilaksanakan dengan baik oleh sekolah

dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan.

Lebih lanjut Hasan Langulung menjelaskan bahwa kurikulum

memiliki unsur-unsur yang terdapat dalamnya diantaranya yaitu tujuan,

materi, metode dan penilaian. Beliau mengemukakan bahwa kurikulum

berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Sehubungan dengan

itu, perlu adanya pembaruan dan pengembangan kurikulum pada setiap saat

karena pengembangan kurikulum merupakan upaya konstruktif untuk

mencapai tujuan pendidikan.

Berbicara tentang ilmu, sumber utama ilmu sendiri merupakan berasal

dari Sang Pencipta ilmu itu sendiri yaitu Allah SWT. Akan tetapi secara garis

besar sumber ilmu diklasifikasikan menjadi dua, yaitu yang berasal dari

wahyu dan akal atau yang selanjutnya dinamakan pengetahuan abadi dan

pengetahuan yang diperoleh.


107

Pengetahuan abadi yang dimaksudkan adalah pengetahuan yang

berasal dari Al-Qur‟an dan Hadis. Kedua sumber ilmu tersebut merupakan

sumber ilmu yang akan terus digunakan sepanjang hidup manusia bahkan

setelah meninggalkan dunia. Akan tetapi pada masa Hasan Langgulung,

pengetahuan ini masih diajarkan hanya di sekolah agama atau pondok

pesantren dan sekolah non-formal. Sedangkan pengetahuan yang diperoleh

merupakan hasil dari pemikiran dengan menggunakan akal. Pengetahuan ini

mengharuskan kita untuk mencari pengetahuan yang belum pernah kita

ketahui. Pengetahuan ini telah didapatkan di sekolah-sekolah umum yang

setiap hari dipelajari.

Hal ini menjadi perhatian karena tidak sesuai dengan konsepsi Islam

dalam pendidikan. Pendidikan agama yang masih dianggap hanya sebagai

ilmu tambahan dan sebagai pelengkap, sedangkan ilmu-ilmu seperti sosiologi,

matematika, biologi, fisika dan kimia menjadi dasar dalam pendidikan kita.

Agar sesuai dengan konsepsi Islam, maka selain ilmu-ilmu pengetahuan yang

telah disebutkan sebelumnya tidak boleh meninggalkan ilmu agama sebagai

dasar dalam pendidikan agar tercapai tujuan pendidikan yang diinginkan.

tidak boleh meninggalkan salah satunya, baik ilmu pengetahuan maupun ilmu

agama katena keduanya memiliki perannya masing-masing dalam kehidupan

manusia.

Hasan Langgulung mengungkapkan konsep Islamisasi ilmu yang

merupakan respon dari penolakan terhadap pendidikan Barat yang bersifat

materialistis dan relavistis atau dapat diartikan sebagai sifat yang memandang
108

realitas sebagai sesuatu yang bermakna secara material bagi manusia. Sifat-

sifat tersebut tidak mengakui sesuatu yang tidak bermateri sebagai suatu

realitas. Hasan Langgulung ingin mengembalikan pemahaman pendidikan

pada ajaran Islam yang membuat manusia mengenali dan mengakui posisi

masing-masing baik itu yang bermateri maupun yang tidak dalam realitasnya.

Maka dari itu, melalui pendidikan agama Islam diperlukan dalam

menjawab respon tersebut. Dalam hal ini beliau mengaitkan dengan isi

kurikulum, dalam pendidikan seharusnya tidak ada pemisahan antara ilmu

umum dan ilmu agama. Hal itu dikarenakan menurut konsepsi Islam agar

kurikulum itu bersifat Islam haruslah konsep Islam berpadu dengan mata

pelajaran yang lain.

Konsep Islamisasi ilmu yang digagas oleh Hasan Langgulung

merupakan Islamisasi ilmu yang bersifat modern dengan merumuskan

kembali kurikulum yang telah kehilangan jiwa Islamnya agar kembali sejalan

dengan konsepsi Islam. Dalam merumuskan konsep kurikulum harus dimulai

dari dasar-dasar kurikulum itu sendiri agar sesuai dengan tujuan pendidikan

yang diinginkan. Hal ini berarti proses Islamisasi ilmu tidak hanya dilakukan

pada materi pendidikannya saja, akan tetapi juga pada komponen-komponen

kurikulum yang lain seperti tujuan pendidikan, metode pendidikan dan

penilaian. Dengan adanya Islamisasi ilmu tersebut diharapkan kurikulum

mampu menyentuh seluruh potensi peserta didik dan seluruh aspek kehidupan

manusia dalam upayanya mencapai tujuan pendidikan Islam.


109

Dari gagasan kurikulum pendidikan Islam yang dikemukakan oleh

Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung, keduanya memiliki kesamaan

bahwa tidak ada pemisahan atau dikotomi ilmu pengetahuan dengan ilmu

agama. Keduanya harus berjalan bersamaan dalam pendidikan agar dapat

mencapai tujuan pendidikan Islam yang diinginkan.

Perbedaan dari pemikiran keduanya tentang kurikulum adalah bahwa

Natsir menginginkan agar ilmu agama bisa memiliki tempat dalam dunia

pendidikan sehingga tidak semakin terbawa oleh arus sekularisme dengan cara

mengintegrasikan antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan. Sedangkan Hasan

Langgulung tidak hanya sebatas mengintegrasikan kedua ilmu tersebut dari

segi materi pendidikan saja, tetapi juga seluruh aspek kurikulum. Disamping

itu, adanya upaya untuk mengembalikan sistem pendidikan sesuai dengan

konsep Islam.

c. Perbandingan pada Aspek Metode Pendidikan Menurut Moh.

Natsir dan Hasan Langgulung

Membahas mengenai metode pendidikan Islam yang digunakan dalam

pembelajaran, Natsir menerapkan metode yang disesuaikan dengan kondisi

dan tujuan yang ingin dicapai. Metode yang digunakan adalah metode cerita

dan metode keteladanan. Metode cerita merupakan metode yang lazim dan

telah sejak dulu digunakan oleh para pendidik dalam proses pembelajaran.

Metode ini dinilai masih menjadi metode yang efektif untuk keberhasilan

pembelajaran. Sedangkan untuk metode keteladanan lebih terpusat pada


110

seorang pendidik yang diharuskan memiliki akhlak yang mulia karena

menjadi teladan bagi para peserta didik.

Kedua metode yang diterapkan oleh Natsir membutuhkan kemampuan

seorang pendidik untuk dapat mencapai keberhasilan dalam pembelajaran.

Maka dari itu, perlu peningkatan kualitas seorang pendidik terutama

kemampuannya dalam menarik perhatian ataupun simpati dari peserta didik

yang akan beermanfaat dalam menerapkan metode cerita. Sedangkan untuk

metode keteladanan, sebenarnya jika seseorang telah memiliki jiwa seorang

pendidik maka sudah seharusnya berusaha untuk menjaga setiap sikap,

tindakan dan ucapan yang mengarah pada kebaikan karena pada dasarnya

secara langsung maupun tidak langsung setiap sikap, tindakan dan ucapan

seorang pendidik akan ditirukan oleh para peserta didiknya.

Maka keberhasilan pembelajaran tidak hanya tergantung pada hal-hal

yang bersifat teknis saja seperti dalam proses pembelajaran di kelas, akan

tetapi juga yang bersifat di luar teknis seperti dalam kehidupan sehari-hari.

Yang terakhir mengenai metode pendidikan yang digunakan dalam

proses pembelajaran, Hasan Langgulung menggunakan metode yang tidak

jauh berbeda dengan metode yang digunakan para ahli pendidikan Islam.

Metode-metode tersebut diantaranya adalah ceramah interaktif, diskusi aktif,

simulasi dan lain sebagainya dengan menggunakan sesuai dengan waktu dan

materi yang akan disampaikan.

Metode pendidikan yang digagas oleh Hasan Langgulung tidak hanya

merupakan langkah-langkah yang berkaitan dengan pembelajaran saja, akan

tetapi juga berkaitan dengan aspek-aspek yang lain seperti tujuan pendidikan
111

Islam sendiri dan tindakan-tindakan yang dilakukan sesuai dengan hasil dari

pembelajaran yang telah berlangsung.

Untuk lebih memotivasi para peserta didik maka diberikanlah sebuah

hadiah yang sedang mereka suka, keinginan untuk mendapatkan hadiah

membuat peserta didik belajar lebih giat sehingga prestasinya meningkat.

Tetapi untuk mencegah peserta didik yang tidak disiplin dalam proses

pembelajaran, maka sudah tepat jika memberikan hukuman sebagai

pendidikan sikapnya. Ganjaran dan hukuman diberikan sesuai dengan

kebutuhan dari peserta didik sendiri.

Dari uraian kedua tokoh tersebut mengenai metode pendidikan Islam,

terdapat perbedaan diantara keduanya. Mohammad Natsir dalam metodenya

lebih terfokus pada pendidik sehingga figur pendidik sangat berperan besar

terhadap keberhasilan pembelajaran. Sedangkan Hasan Langgulung lebih

kompleks karena dalam menggunakan metode-metode yang banyak

digunakan, tetapi harus memperhatikan dari segi tujuan pendidikan Islam itu

sendiri serta pembelajaran yang berlangsung. Beliau menambahkan perlu

adanya tindakan dari hasil pendidikan berupa ganjaran sebagai motivasi dalam

belajar dan hukuman sebagai usaha pencegahan dari potensi-potensi yang

buruk.

Pemikiran dan gagasan mengenai konsep pendidikan Islam dari

Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung dipengaruhi oleh latar belakang

sosial historis atau dapat dikatakan kondisi sosial yang melingkupi. Kedua

tokoh yang hidup di masa perjuangan kemerdekaan hingga setelah

kemerdekaan dimana pendidikan Islam yang mengalami dikotomi ilmu. Natsir


112

merupakan tokoh pemikir pendidikan Islam yang mengalami masa tersebut

sehingga menjadikan pola pikir untuk mengubah wajah pendidikan di

Indonesia agar sesuai dengan ajaran Islam.

Hasan Langgulung juga merupakan tokoh yang hidup di masa yang

tidak jauh berbeda dari Natsir. Akan tetapi, beliau menghabiskan pendidikan

tingginya di luar negeri, sehingga pola pikir yang muncul dari Langgulung

adalah dari kacamata yang lebih luas dengan melihat pendidikan Islam di

lingkup dunia internasional.

Dengan melihat perbandingan pemikiran Mohammad Natsir dan

Hasan Langgulung terutama dari segi tujuan, kurikulum dan metode

pendidikan Islam menunjukkan bahwa perlu adanya upaya untuk

menyempurnakan konstruk pendidikan Islam secara berkelanjutan. Penelitian

mengenai pendidikan Islam telah dilakukan oleh banyak pemikir-pemikir

besar pendidikan Islam sebelum Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung,

seperti Al-Ghozali, Ibn Khaldun, Al-Attas, Al-Faruqi. Salah seorang yang

berkompeten dan gigih dalam upaya melihat dan mencari kosepsi ilmu

pengetahuan yang tidak menafikan dimensi spiritual menjadi urgen adalah

Seyyed Hossein Nasr117.

Seyyed Hossein Nasr merupakan sosok cendekiawan yang piawai

dalam bidang filsafat dan sejarah ilmu, serta merupakan sosok yang otoritatif

untuk berbicara tentang perjumpaan antara tradisi dan modernitas, Timur dan

Barat. Posisi ini ditambah perspektif tradisionalnya, menjadikan pemikiran

117
Asfa Widiyanto. Konstruk Ilmu Pengetahuan dan Signifikansinya Dalam Upaya
Restorasi Pendidikan Islam. (Salatiga: LP2M Press IAIN Salatiga. 2015), hlm. 4
113

Nasr tentang ilmu mempunyai karakter tersendiri. Pemikiran Nasr tentang

ilmu tersebut merupakan hal yang urgen karena bisa dijadikan dasar untuk

membangun kerangka filosofis dan sistem pendidikan Islam118.

Menurut Asfa Widiyanto, pemikiran Natsir tentang ilmu juga bisa

digunakan untuk menata ulang sistem pendidikan Islam. Restorasi pendidikan

Islam yang dapat dilihat dari komponen-komponen pendidikan itu sendiri,

seperti tujuan pendidikan Islam, menurut Natsir, mengacu dan mengarah pada

totalitas manusia yang mencakup aspek rasional, moral dan spiritual. Metode

pendidikan ynag dikembangkan Natsir berbasiskan tradisional seperti oral-

transmission, modelling, penalaran logis dan sebagainya. Materi pendidikan

Islam mencakup ilmu-ilmu naqli dan ilmu-ilmu aqli yang diberikan secara

seimbang. Pendidik, dalam perspektif Natsir, harus memiliki kematangan

intelektual, emosional dan spiritual, yang model tertingginya bisa dilihat

dalam sosok hakim. Peserta didik diharapkan tidak lepas dari akar tradisinya,

sehingga bisa memahami dan mengimplementasikan ilmu Islam secara baik119.

Konsepsi Natsir tentang pendidikan Islam dapat dijadikan sebagai

rujukan konstruksi sistem pendidikan Islam pada umumnya serta khususnya di

Indonesia. Dalam bentuk sistem pendidikan Islam di Indonesia yang masih

berkembang, konstruk pemikiran Nasr dapat menjadi acuan untuk mencapai

tujuan pendidikan Islam yang diinginkan.

118
Ibid, hlm. 73
119
Ibid, hlm. 74
114

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian tentang “Studi Komparatif Pemikiran Mohammad

Natsir dan Hasan Langgulung Tentang Pendidikan”, dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1. Konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Mohammad Natsir

mendefinisikan pendidikan sebagai bimbingan kepada peserta didik agar

dapat tujuan pendidikan itu sendiri. Tujuan pendidikan yang dirumuskan

oleh Natsir adalah menjadikan peserta didik sebagai hamba yang bertakwa
115

kepada Allah SWT. dengan tidak meninggalkan pengembangan potensi

kemampuan dan keterampilan untuk melalui kehidupan di dunia dengan

kesuksesan. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan yang diinginkan maka

diperlukan kurikulum yang berlandaskan tauhid dan tidak memisahkan

antara ilmu pengetahuan umum dengan ilmu agama. Kedua ilmu tersebut

memilki peran yang sama pentingnya dalam proses pendidikan. Beliau

juga menambahkan bahasa sebagai sarana komunikasi dalam pendidikan,

terutama bahasa Arab. Dalam pembelajaran, metode merupakan alat bagi

guru untuk menyampaikan ilmu. Natsir menerapkan metode cerita dan

metode keteladanan. Kedua metode tersebut lebih efektif dalam

pembelajaran.

2. Konsep pendidikan Hasan Langgulung bahwa tujuan pendidikan Islam itu

untuk membentuk peserta didik kepada tujuan awal penciptaannya yaitu

sebagai khalifah atau memiliki sifat-sifat seorang khalifah dalam diri


116
masing-masing peserta didik, serta menyiapkan peserta didik dari segi

kognitif, sosiologis dan keterampilan untuk mencapai kesuksesan di dunia

dan kebahagiaan di akhirat. Dalam segi kurikulum, Hasan Langgulung

memiliki konsep Islamisasi ilmu yang artinya memadukan antara ilmu-

ilmu umum dan ilmu agama sehingga akan tercapai tujuan pendidikan

Islam yang diinginkan. Dalam pembelajaran, metode yang digunakan

harus mempertimbangkan tujuan dari pendidikan yang akan dicapai serta

tindakan-tindakan yang perlu untuk memotivasi dan mencegah hal-hal


116

yang tidak diinginkan dalam menyikapi hasil dari pendidikan tersebut

seperti dengan memberikan hadiah dan hukuman.

3. Persamaan yang ditemukan dalam penelitian ini adalah pada aspek tujuan

pendidikan yaitu bahwa keduanya berpendapat tujuan pendidikan adalah

membentuk peserta didik menjadi manusia yang bertakwa kepada Allah

dan memiliki akhlakul karimah. Selain itu, keduanya juga menginginkan

adanya keterpaduan antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan dalam

materi pendidikan walaupun ada sedikit perbedaan bahwa Hasan

Langgulung menghendaki tidak hanya materi pendidikan saja yang

terintegrasi, tetapi juga dalam komponen kurikulum yang lain seperti

tujuan, metode dan penilaian. Sedangkan perbadaan yang paling terlihat

adalah pada segi metode pendidikannya, jika Natsir lebih menerapkan

metode cerita dan keteladanan, Langgulung menggunakan metode diskusi

aktif, simulasi, ceramah dan metode-metode yang umum digunakan

dengan memperhatikan tujuan yang ingin dicapai dan tindakan dari hasil

pembelajaran.

B. Saran

Saran-saran yang dapat penulis sampaikan sehubungan dengan skripsi

ini adalah sebagai berikut :

1. Banyak aspek yang dapat ditelaah dari kedua tokoh pemikir pendidikan

dalam penelitian ini. Yang dapat penulis lakukan dalam penelitian ini

hanya sebatas pada masalah konsep pembaruan pendidikan yang

dilakukan oleh Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung. Untuk itu


117

penulis menyarankan kepada peneliti lain agar berkenan melakukan

penelitian terhadap pemikiran kedua tokoh tersebut ditinjau dari aspek

yang lain.

2. Kepada para praktisi pendidikan pada umumnya, dan pendidikan Islam

pada khususnya, diharapkan untuk banyak mengambil intisari dari

pemikiran Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung dalam upaya untuk

mengadakan pembaruan dan inovasi pada pendidikan Islam. Serta untuk

lebih meningkatkan dan mengembangkan mutu dan kualitas pendidikan di

Indonesia, baik yang diselenggarakan di lembaga pendidikan Islam

maupun lembaga pendidikan umum.

3. Kepada para praktisi pendidikan pada umumnya dan kepada penulis pada

khususnya, hendaknya mengetahui dan memahami konsep pendidikan

yang dikemukakan oleh Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung bahwa

pendidikan agama dan pendidikan umum itu harus diselaraskan sehingga

membentuk manusia yang berakhlak mulia serta iman yang kuat.

DAFTAR BACAAN

Abdullah, Abdurrahman Saleh. 2005. Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-


Qur‟an. Jakarta: PT. Rineka Putra.

Achmadi. 1992. Islam Sebagai Paradigma Pendidikan. Yogyakarta: Aditya


Media.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1996. Konsep Pendidikan Dalam Islam.


Jakarta: Mizan

Al-Rasyidin dan Samsul Nizar. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat
Press.
118

An-Nahlawi, Abdurrahman. 1995. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan


Masyarakat. Jakarta: Gema Insani Press.

Arikunto, Suharsimi. 1992. Prosedur Penelitian ; Suatu Pendekatan Praktik.


Jakarta: Rineka Cipta

Bakker, Anton. 1999. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Daradjat, Zakiah. 1993. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta:
CV. RUHAMA.

Kholiq, Abdul.,dkk. 1999. Pemikiran Pendidikan Islam Tokoh Klasik dan


Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kurniawan, Syamsul dan Erwin Mahrus. 2011. Jejak Pemikiran Tokoh


Pendidikan Islam: Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, Muhammad
Abduh, Muhammad Iqbal, Hasan Al-Banna, Syed Muhammad Naquib Al-
Attas, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy‟ari, Hamka, Basiuni Imran,
Hasan Langgulung, Azyumardi Azra. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.

Langgulung, Hasan. 1985. Pendidikan dan Peradaban Islam Suatu Analisa Sosio-
Psikologi. Jakarta: PT. Pustaka Al Husna.

______. 1988. Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke 21. Jakarta: PT. Pustaka
Al-Husna.

______. 1991. Kreativitas dan Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Pustaka Al- Husna.

______. 2002. Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: Al Husna Zikra.

______. 2004. Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi, Filsafat dan
Pendidikan. Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru.

Luth, Thohir. 1999. M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya. Jakarta: Gema Insani
Press.

Marimba, Ahmad D. 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT.


Al-Ma‟arif.

Muhadjir, Noeng. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yoyakarta: Rake


Sarasin.

Moh. Athiyah Al Abrasyi. 1974. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta:


Bulan Bintang
119

Nata, Abuddin. 1997. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

______. 2013. Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam: Isu-isu Kontemporer


Tentang Pendidikan Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Natsir, Muhammad. 1954. Capita Selecta. Jakarta: Bulan Bintang.

______. 2015. Islam dan Akal Merdeka. Yogyakarta: Sega Arsy.

______. Mohammad. 1980. Islam Sebagai Ideologi. Jakarta: Penyiaran Ilmu.

Ramayulis dan Syamsul Nizar. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam.


Jakarta: Quantum Teaching.

Saidan. 2011. Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam Antara Hasan Al-


Banna dan Mohammad Natsir. Kementerian Agama RI.

Widiyanto, Asfa. 2015. Konstruk Ilmu Pengetahuan dan Signifikansinya Dalam


Upaya Restorasi Pendidikan Islam. Salatiga: LP2M Press IAIN Salatiga

Zuhairini. 1995. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Anda mungkin juga menyukai