Anda di halaman 1dari 40

1

2
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Filsafat merupakan pokok dari segala disiplin ilmu sebagai refleksi rasionil atas
keseluruhan keadaan untuk mencapai hakikat dan memperoleh hikmah. Berfilsafat
adalah berfikir sedalam-dalamnya dengan bebas dan teliti tentang segala sesuatu yang masuk
ke dalam pikiran, baik yang diluar maupun yang ada di dalam diri. Maka timbulah suatu
pertanyaan:”Dapatkah seorang Muslim itu berfilsafat?”. Timbulnya pertanyaan ini ialah karena
seorang Muslim itu selamanya terikat dan didoktrin oleh ajaran-ajaran agamanya. Maka
bolehkah dia meninggalkan agamanya untuk berfilsafat ? Di dunia Islam Timur, filsafat
mengalami perkembangan yang sangat signifikan, terbukti dengan munculnya tokoh-tokoh
filosof Islam seperti Al-Khindi, Al-Razi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, Ibnu Sina, Ibn Khaldun, dan
lain-lain. Para tokoh tersebut memberikan kontribusi yang penting bagi umat Islam di dunia,
khususnya dalam hal filsafat Islam. Atas dasar ini, maka kami mencoba untuk mengulas
pemikiran tokoh filsafat Islam yakni, Al-Ghazali, Ibnu Sina, dan Ibnu Khaldun. Dalam hal ini
penulis akan mengulas tentang pemikiran filosofi dari ke tiga tokoh tersebut dan pandangan
mereka terhadap pendidikan. Kemudian penulis akan mencoba membandingkan konsep
pemikiran mereka tentang pendidikan Islam, apakah konsep yang mereka ungkapkan sama
ataukah berbeda ? Tujuannya agar kita bisa mengetahui pemikiran tokoh-tokoh penting dalam
dunia Islam. Pendidikan bukan saja dimiliki oleh barat yang terkenal saat ini, tetapi pendidikan
sejak dahulu telah dimiliki oleh dunia Islam lewat tokoh-tokohnya, mudah-mudahan
bermanfaat.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas maka pembahasan makalah ini akan difokuskan pada
masalah-masalah sebagai berikut:
1. Apa pemikiran pendidikan Imam Al-Ghazali?
2. Apa pemikiran pendidikan Ibnu Maskawayh?
3. Apa pemikiran pendidikan Ibnu Khaldun?
4. Apa pemikiran pendidikan Kyai Haji Ahmad Dahlan?
5. Apa pemikiran pendidikan Rahmah EL-Yunusiah?
6. Apa pemikiran pendidikan Abdul Halim Iskandar?
1.3 Tujuan Makalah
Adapun tujuan dari pembahasan pada makalah ini adalah sebagai berikut
1. Mengetahui dan memahami pemikiran pendidikan Imam Al-Ghazali.
2. Mengetahui dan memahami pemikiran pendidikan Ibnu Maskawayh
3. Mengetahui dan memahami pemikiran pendidikan Ibnu Khaldun
4. Mengetahui dan memahami pemikiran pendidikan Kyai Haji Ahmad Dahlan
5. Mengetahui dan memahami pemikiran pendidikan Rahmah EL-Yunusiah
6. Mengetahui dan memahami pemikiran pendidikan Abdul Halim Iskandar?

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pemikiran Pendidikan Islam menurut Imam Al-Ghazali
Di antara pemikirannya tentang pendidikan Islam dapat dilihat dari tiga buku karangannya,
yaitu Fatihat Al-Kitab, Ayyuha Al-Walad, dan Ihya Ulumuddin. Sebagai seorang ilmuwan Al-
Ghazali memiliki pemikiran dalam segala ilmu filsafat, fiqh, Ilmu-ilmu sosial, Ilmu alam
termasuk didalamnya adalah pemikiran tentang pendidikan. Maka untuk menggali khazanah
keilmuan,dianggap penting untuk membahas kembali untuk melengkapi teori-teori pendidikan,
termasuk khazanah pendidikan di Indonesia.
Secara umum, Corak pendidikan Al-Ghazali memiliki dua aspek penting yaitu:
Pengajaran moral relegius dengan tanpa mengabaikan kepentingan dunia. Proses pemikiran
Al-Ghazali, dimulai dari cara pengenalan sistem pendidikan yang dilaksanakan pada
zamannya, jika diteliti lebih akurat tidak menutup kemungkinan bahwa pemikirannya menjadi
bagian terpenting dalam melengkapi aturan dan etika pendidikan kita. Adapun sistem itu antara
lain, yaitu :
1. Peranan Pendidikan
Al-Ghazali termasuk ke dalam kelompok sufistik yang banyak menaruh perhatian terhadap
pendidikan, karena pendidikan yang banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa.
Demikian hasil pengamatan Ahmad Fuad Al-Ahwani terhadap pemikiran Al-Ghazali.
Sementara itu, H.M. Arifin guru besar dalam bidang pendidikan mengatakan,”Selain itu, bila
dipandang dari segi filosofis, Al-Ghazali adalah penganut paham idealisme yang konsekuen
terhadap agama sebagai dasar pandangannya.
Dalam masalah pendidikan Al-Ghazali lebih cenderung bersifat empirisme. Hal ini antara
lain disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik.
Menurutnya, seorang anak tergantung kepada orangtua dan orang yang mendidiknya. Hati
seorang anak itu bersih, murni, laksana permata yang sangat berharga, sederhana, dan bersih
dari gambaran apapun. Hal ini sejalan denuan pesan Rasulullah Saw. yang menegaskan:

Artinya:Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan bersih, kedua orangtuanyalah yang
menyebabkan anak itu menjadi penganut Yahudi, Nasrani, Majusi. (HR. Muslim).

Jadi, dapat dipahami bahwa seorang anak akan menjadi baik akhlaknya jika
pendidikannya baik. Dan anak tersebut akan menjadi jelek akhlaknya jika pendidikannya tidak
baik. Maka, dapat diambil kesimpulan bahwa peranan pendidikan adalah sebagai sarana untuk
membentuk pribadi anak didik. Terutama pendidikan dalam keluarga. Karena keluarga adalah
lembaga pendidikan yang pertama dan utama bagi anak.
2. Tujuan Pendidikan
Dalam melaksanakan aktivitas pendidikan, terlebih dahulu kita harus mengerti tujuan
pendidikan itu sendiri, karena dengan demikian akan mengarahkan rotasi pengelolaan
pendidikan dan pengajaran di sekolah atau di madrasah. Tujuan Pendidikan menurut Al-
Ghazali harus mengarahkan kepada realisasi tujuan kegamaan dan akhlak, dengan titik
penekanannya pada perolehan keutamaan dan taqarrub kepada Allah dan bukan untuk
mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Sebab jika tujuan

4
pendidikan diarahkan selain untuk mendekati diri kepada Allah akan menyebabkan kesesatan
dan kemudharatan.
Masalah yang kita bahas di atas penting ditanamkan sejak awal pembelajaran, agar siswa
benar-benar meyakini bahwa dengan belajar, siswa akan mengerti apa sebenarnya yang
menjadi tujuan dari pendidikan, Sekolah tidak sekadar pondasi untuk mencari pekerjaan,
meskipun itu perlu secara formal dan administrasi, Tapi hal yang terpenting adalah bagaimana
sekolah itu bisa membentuk jati diri siswa dan menggali bakat yang ada, serta menumbuhkan
skill yang akan digelutinya kelak.
Konsep pendidikan tersebut, juga diharapkan mampu untuk mengasah otak kita dalam
membangun kecerdasan moral, spritual, dan kecerdasan Intelektual.
Bagi Al-Ghazali yang dikatakan orang berakal sehat adalah orang yang dapat menggunakan
dunia untuk tujuan akhirat kelak. Ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan menurut Al-
Ghazali tidak sama sekali menistakan dunia, melainkan dunia itu hanya sebagai alat untuk
mencapai tujuan.
Jadi, Al-Ghazali memandang pendidikan itu sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada
Allah, bukan unruk mencari kemewahan dunia. Jika manusia telah berorientasi kepada dunia,
maka ia akan sulit mencapai kedudukan yang mulia di sisi Allah.
Jadi, pemikirannya tentang tujuan pendidikan dapat diklasifikasikan kepada tiga
pembagian, yaitu :

● Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu


sendiri dan sebagai wujud ibadah kepada Allah;
● Tujuan utama pendidikan Islam adalah untuk membentuk akhlaqul kariimah;
● Tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan di
dunia dan akhirat.

Pemikiran tentang tujuan pendidikan Al-Ghazali sesuai dengan firman Allah dalam Alquran
surat Ad-Dhuha ayat 4:

Artinya:Dan Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang
(permulaan).

3. Pendidik

Sejalan dengan pendidikan, maka aspek pendidik pun harus diperhatikan agar tercapai
tujuan pendidikan. Menurut Al-Ghazali, pendidik adalah orang yang berusaha membimbing,
meningkatkan, menyempurnakan, dan menyucikan hati sehingga menjadi dekat dengan
khaliknya. Seorang pendidik dituntut memiliki beberapa sifat keutamaan yang menjadi
kepribadiannya. Di antara sifat-sifat tersebut adalah:

1. Sabar dalam menanggapi pertanyaan murid


2. Senantiasa bersifat kasih dan tidak pilih kasih
3. Duduk dengan sopan dan tidak riya’ dan pamer

5
4. Tidak takabur, kecuali terhadap orang yang zalim dengan maksud mencegah
tindakannya
5. Bersifat tawadhu dalam setiap pertemuan ilmiah
6. Sikap dan pembicaraan hendaknya tertuju pada topik persoalan
7. Memiliki sifat bersahabat dengan anak-anak muridnya
8. Menyantuni dan tidak membentak orang-orang yang bodoh
9. Membimbing dan mendidik murid dengan cara yang sebaik-baiknya
10. Berani berkata tidak tahu terhadap persoalan yang memang belum diketahui
11. Menampilkan hujjah yang benar apabila ia berada di kondisi yang salah
12. Mencintai muridnya seperti anak kandungnya
13. Jangan mengharapkan materi (upah) sebagai tujuan utama dari pekerjaannya
14. Mengingatkan murid agar tujuannya menuntut ilmu bukan untuk kebanggan diri atau
mencari keuntungan pribadi, akan tetapi hanyalah untuk mendekatkan diri kepada
Allah
15. Mendorong muridnya untuk mencari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang dapat
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat
16. Memberikan contoh yang baik kepada murid-muridnya
17. Memberikan pelajaran sesuai dengan intelektual yang dimilikinya dan kemampuan
anak didiknya
18. Mengamalkan apa yang diajarkannya, karena ia menjadi idola bagi murid-muridnya
19. Seorang guru harus memahami minat, bakat, dan jiwa anak didiknya, sehingga di
samping tidak akan salah mendidik anak didik, juga akan terjalin hubungan yang akrab
dan baik dengan anak didiknya
20. Guru harus menanamkan keimanan ke dalam pribadi anak didiknya

Dari beberapa kepribadian yang harus dimiliki oleh pendidik di atas, intinya adalah seorang
pendidik harus memahami posisinya sebagai pendidik, agar tidak salah dalam memberikan
ilmu.

4. Murid/Peserta Didik

Al-Ghazali mengungkapkan bahwa peserta didik selaras dengan konsepnya tentang tujuan
pembelajaran pendidikannya Belajar dari ibadah guna mencapai derajat hamba tang mulia di
sisi khaliknya, Untuk itu seorang peserta didik harus berusaha menyucikan jiwanya dari akhlak
yang tercela . Dengan sikap rendah hati, harus merasa satu bangunan dengan siswa lainnya
serta berkasih sayang antar siswa sesamanya.

Al-Ghazali juga berpendapat bahwa peserta didik adalah makhluk yang telah dibekali
potensi dan fitrah untuk beriman kepada Allah Swt. Fitrah itu sesuai dengan kejadian manusia,
cocok dengan tabiat asalnya yaitu sesuai dengan agama tauhid (Islam). Untuk itu, peserta didik
harus selalu mengembangkan fitrah yang telah Allah berikan kepadanya.

Dalam menjalani pendidikan, peserta didik harus lebih bersikap rendah hati dan menaati
pendidik. Maka, sifat-sifat yang harus diperhatikan oleh seorang peserta didik adalah:

6
1. Belajar dengan niat beribadah karena Allah;
2. Mengurangi kecenderungan terhadap duniawi;
3. Bersikap tawadhu (rendah hati);
4. Menjaga pertentangan yang timbul dari berbagai aliran;
5. Memuliakan guru;
6. Merasa satu bangunan dengan murid lainnya sehingga tercipta saling menyayangi di
antara sesama saudara;
7. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk duniawi maupun ukhrawi;
8. Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah
menuju pelajaran yang sukar, atau dari pelajaran yang bersifat fardhu’ain menuju
pelajaran yang bersifat fardhu kifayah;
9. Mempelajari ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih kepada ilmu yang lainnya;
10. Mengenal nilai-nilai ilmiah terhadap ilmu yang dipelajari;
11. Mengutamakan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu-ilmu duniawi;
12. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang dapat
bermanfaat yang dapat membahagiakan, menyejahterakan, dan memberi keselamatan
dunia dan akhirat.

Oleh sebab itu, peserta didik yang baik adalah peserta didik yang tidak mendahulukan dunia
daripada akhirat. Tujuannya bukan untuk dunia, tetapi untuk kehidupan akhirat. Dengan tujuan
untuk akhirat, maka akan terbentuklah keimanan yang tercermin dalam kepribadian peserta
didik.

5. Kurikulum

Secara singkat, kurikulum merupakan rancangan pembelajaran yang berisi materi-materi


yang akan diajarkan. Kurikulum merupakan komponen yang utama dalam pendidikan. Karena
dengan adanya kurikulum, maka pembelajaran akan lebih efektif sesuai dengan target dan
tujuan akan lebih mudah dicapai. Pandangan Al-Ghazali tentang kurikulum dapat dipahami
dari pandangannya mengenai ilmu pengetahuan. Ia membagi ilmu pengetahuan kepada yang
terlarang dan wajib yang dipelajari oleh anak didik menjadi tiga kelompok, yaitu:

● Ilmu yang tercela. Yaitu banyak atau sedikitnya ilmu ini tidak akan ada manfaatnya
bagi manusia di dunia dan akhirat, misalnya ilmu sihir dan ilmu pedukunan. Bila ilmu
ini dipelajari akan membawa kesyirikan. Maka ilmu ini harus dijauhi.
● Ilmu-ilmu yang terpuji. Yaitu banyak atau sedikit dipelajari akan membawa manfaat
dan dapat menyucikan hati dan dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt. Contohnya
ilmu tauhid dan ilmu fikih.
● Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam, karena ilmu ini akan
membawa kegoncangan iman, seperti ilmu filsafat.

Dari ketiga kelompok ilmu ini, Al-Ghazali membagi lagi ilmu yang bermanfaat tersebut
menjadi dua kelompok, yaitu:

7
1. Ilmu yang fardhu ‘ain untuk dipelajari, yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh semua
orang, seperti ilmu tentang tatacara salat.
2. Ilmu yang fardhu kifayah untuk dipelajari, yaitu ilmu yang tidak semua orang wajib
mempelajarinya yang berhubungan dengan urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran,
ilmu teknik, dan ilmu industri.

Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa penting atau tidak pentngnya sebuah ilmu dapat
dilihat dari dua aspek, yaitu aspek manfaat dan aspek tidak bermanfaat. Jika ilmu tersebut
bermanfaat, maka hendaklah dipelajari, terutama ilmu yang bersifat fardhu ‘ain, bahkan
hukumnya menjadi wajib. Jika ilmu tersebut tidak bermanfaat, maka harus ditinggalkan dan
tidak boleh dipelajari, karena akan membawa kepada bahaya kepada diri sendiri, baik bahaya
dunia maupun akhirat.

6. Metode dan Media

Dalam penerapkan pengajaran Al-Ghazali, terdapat tiga metode yang diterapkan dalam
pembelajaran. Dalam tiga aspek yaitu, psikologis, sosiologis dan pragmatis dalam rangka
keberhasilan pembelajaran. Dalam pembelajaran Al-Ghazali bahwa metode yang digunakan
misalnya Metode Mujahadah dan Riyatlah, Pendidikan praktik kedisiplinan, pembiasaan,
penyajian dalil naqli dan aqli serta bimbingan nasihat.

Pemikiran di atas dalam tataran kekinian menjadi hal yang penting kembali untuk
dilakukan , Disamping untuk memadukan metode dan media yang modern, Sehingga akan
tercipta kelas Ideal dalam pembelajaran. Kebanyakan yang kita lihat sekarang pendidik jarang
memadukan metode dan media dalam pembelajarannya.

Lebih bersifat menonton dan hal itu membuat siswa merasa jenuh dan bosan sehingga
pembelajaran yang terjadi tidak ada interaksi yang baik, serta cenderung menurunkan gairah
dan hasil belajar siswa itu sendiri. Maka Pendidik sekarang perlu mengubah pola pikirannya
dalam menerapkan metode dan media pembelajaran yang untuk saat ini semakin mudah
mendapatkan informasi dan alatnya.

7. Proses Pembelajaran

Proses Pengajaran Al-Ghazali adalah mengajukan konsep pengintegrasian antara materi,


metode dan media atau alat pengajarannya. Upaya itu dilakukan untuk memaksimalkan hasil
belajar yang lebih baik. Untuk itu, Proses Pembelajaran mestilah diatur dengan menempatkan
proporsi keilmuan pada tahap yang sebenarnya, artinya materi yang diberikan kepada siswa
hendaknya melihat kemampuan siswa dalam pembelajaran, Jika sulit dicerna dalam pelajaran
maka diperlukan teknik secara perlahan untuk merangsang otak siswa untuk menahan materi
pelajaran dengan baik. Proses pembelajaran juga dapat menentukan tercapainya tujuan
pendidikan. Dengan kata lain, proses pembelajaran yang baik akan membantu meningkatkan
kemampuan peserta didik sehingga tujuan akan mudah dicapai. Oleh karena itu, proses

8
pembelajaran haruslah memenuhi kriteria-kriteria tertentu, salah satunya kondisi lingkungan
yang bersifat kondusif.

8. Relevansi Kekinian Pemikiran Al-Ghazali dalam Konteks Keindonesiaan

Bila dilihat dalam khazanah pendidikan di Indonesia, pemikiran Al-Ghazali masih belum
maksimal diterapkan. Hal ini menjadi perhatian bagi guru, juga murid. Jika guru belum mampu
mengamalkan akhlak-akhlak yang baik, tentu murid pun akan ikut menyontoh perilaku
gurunya. Oleh sebab itu, setiap guru terlebih dahulu memperbaiki akhlaknya, barulah ia
menjadi contoh yang baik bagi muridnya.

Juga kita perhatikan sekarang, nasehat-nasehat yang baik jarang sekali keluar dari seorang
guru. Bahkan yang lebih memprihatinkan, adanya guru yang mencela anak muridnya jika anak
muridnya belum mengerti tentang materi yang diajarkan. Oleh sebab itu, hal ini dapat membuat
semangat murid menjadi kendur. Bahkan bisa membuat murid melawan gurunya.

Dilihat dari sisi sosiologis, guru haruslah paham kondisi sosial anak muridnya, bagaimana
kehidupan ekonominya, sehingga guru bisa membantu anak muridnya yang kurang mampu.

2.2 Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Ibnu Maskawyh


a. Biografi
Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Yaqub
ibnMiskawaih. Ia lahir di kota Ray (Iran) pada 320 H (932) M) dan wafat di Asfahan 9 Safar
421 H (16 Februari 1030 M). Ia belajar sejarah dan filsafat, serta pernah menjadi khazin
(pustakawan) Ibnal-‘Abid dimana dia dapat menuntut ilmu dan memperoleh banyak hal positif
berkat pergaulannya dengan kaum elit. Setelah itu Ibnu Miskawaih meninggalkan Ray menuju
Bagdad dan mengabdi kepada istana Pangeran Buwaihi sebagai bendaharawan dan beberapa
jabatan lain. Akhir hidupnya banyak dicurahkannya untuk studi dan menulis.
Ibnu Miskawaih lebih dikenal sebagai filsuf akhlak (etika) walaupun perhatiannya luas
meliputi ilmu-ilmu yang lain seperti kedokteran, bahasa, sastra, dan sejarah. Bahkan dalam
literatur filsafat Islam, tampaknya hanya Ibnu Miskawaih inilah satu-satunya tokoh filsafat
akhlak. I
bnu Miskawaih meninggalkan banyak karya penting, jumlah buku dan artikel yang
telah ditulis IbnMiskawaih tidak kurang dari 40 buah. Menurut Ahmad Amin, semua karya
IbnMiskawaih tersebut tidak luput dari kepentingan filsafat akhlak. Sehubungan dengan itu
tidak mengherankan jika IbnMiskawaih selanjutnya dikenal sebagai moralis. Diantara
karyanya misalnya tahdzibulakhlaq (kesempurnaan akhlak), tartib as-sa’adah (tentang akhlak
dan politik), al-siyar (tentang tingkah laku kehidupan), dan jawidankhirad (koleksi ungkapan
bijak).
Dalam bidang pekerjaan, tercatat, bahwa pekerjaan IbnMiskawaih adalah
bendaharawan,sekretaris, pustakawan dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihi. Selain
akrab dengan penguasa, dia juga banyak bergaul dengan para ilmuan seprti Abu Hayyanat-
Tauhidi, Yahya bin Hadi dan Ibn Sina.

9
b. Pemikirannya

Ibnu Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak.
Karena dasar pendidikan Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak, maka konsep pendidikan yang
dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak. Menurut Ibnu Miskawaih dasar pendidikan:
Pertama, syariat, Ibnu Miskawaih tidak menjelaskan secara pasti tentang dasar pendidikan.
Namun secara tegas ia menyatakan bahwa syari’at agama merupakan faktor penentu bagi
lurusnya karakter manusia, yang menjadikan manusia terbiasa melakukan perbuatan terpuji,
yang menjadikan jiwa mereka siap menerima kearifan (hikmah), dan keutamaan (fadilah),
sehingga dapat memperoleh kebahagiaan berdasarkan penalaran yang akurat. Dengan
demikian syariat agama merupakan landasan pokok bagi pelaksanaan pendidikan yang
merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, prinsip syariat harus diterapkan dalam
proses pendidikan, yang meliputi aspek hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan
sesamanya dan manusia dengan makhluk lainnya.
Kedua, Psikologi. Menurut Ibnu Miskawaih, antara pendidikan dan pengetahuan tentang
jiwa erat kaitannya. Untuk menjadikan karakter yang baik, harus melalui
perekayasaan (shina’ah) yang didasarkan pada pendidikan serta pengarahan yang sistematis.
Itu semua tidak akan tercapai kecuali dengan mengetahui jiwa lebih dahulu. Jika jiwa
dipergunakan dengan baik, maka manusia akan sampai kepada tujuan yang tertinggi dan mulia
serta akhlak mulia.
Maka dari itu, jiwa merupakan landasan yang penting bagi pelaksanaan pendidikan.
Pendidikan tanpa pengetahuan psikologi laksana pekerjaan tanpa pijakan. Dengan demikian
teori psikologi perlu diaplikasikan dalam proses pendidikan. Dalam hal ini Ibnu Miskawaih
adalah orang yang pertama kali melandaskan pendidikan kepada pengetahuan psikologi. Ia
adalah perintis psikologi pendidikan dan konsep pendidikan akhlak dari Ibn Miskawaih
dikemukakan sebagai berikut:
1. Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan oleh Ibn Miskawaih adalah terwujudnya sikap
batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai
baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna.
Dengan alasan ini, maka Ahmad Abd Al-Hamid As-sya’ir dan Muhammad yusuf musa
menggolongkan Ibn Miskawaih sebagai filosof yang bermazhab as-Sa’adat di bidang
akhlak. Al-Sa’adat memang merupakan persoalan utama dan mendasar bagi hidup manusia dan
sekaligus bagi pendidikan akhlak, makna as-Sa’adah sebagaimana dinyatakan M. Abd Hak
Anshari tidak mungkin dapat dicari padanan katanya dalam bahasa inggris walaupun secara
umum diartikan Happiness, menurutnya as-Sa’adah merupakan konsep komprehensif yang di
dalamnya terkandung unsur kebahagiaan (happiness), kemakmuran (prosperity), keberhasilan
(success), kesempurnaan (perfection), kesenangan (blesednes), dan kecantikan (beautitude).
Berdasarkan uraian diatas maka tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibnu Miskawaih
bersifat menyeluruh, yakni mencakup kebahagiaan hidup manusia dalam arti yang seluas-
luasnya.

2. Materi Pendidikan Akhlak

10
Pada materi pendidikan Ibn Miskawaih ditujukan agar semua sisi kemanusiaan
mendapatkan materi didikan yang memberi jalan bagi tercapainya tujuan pendidikan. Materi-
materi yang dimaksud diabdikan pula sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Ibnu
Miskawaih menyebutkan tiga hal yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya
yaitu: Hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, Hal-hal yang wajib bagi jiwa dan
Hal-hal yang wajib bagi hubungannya.
Materi pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia antara lain shalat,
puasa dan sa’i. selanjutnya materi pendidikan ahklak yang wajib dipelajari bagi kebutuhan jiwa
dicontohkan oleh Ibn Miskawaih dengan pembahasan akidah yang benar, mengesakan Allah
dengan segala kebesaran-Nya serta motivasi senang kepada ilmu dan materi yang terkait
dengan keperluan manusia dengan manusia dicontohkan dengan materi ilmu Muammalat,
perkawinan, saling menasehati, mempererat hubungan silaturahim, saling membantu, saling
mengingatkan, saling tolong menolong dalam kebaikan, dan sebagainya.Tujuan pendidikan
akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih memang terlihat mengarah kepada terciptanya
manusia agar sebagai filosof.Karena itu Ibn Miskawaih memberikan uraian tentang sejumlah
ilmu yang dapat dipelajari agar menjadi seorang filosuf.Ilmu tersebut ialah:Matematika,
Logika dan Ilmu kealaman. Jadi, jika dianalisa dengan secara seksama, bahwa berbagai ilmu
pendidikan yang diajarkan Ibn Miskawaih dalam kegiatan pendidikan seharusnya tidak
diajarkan semata-mata karena ilmu itu sendiri atau tujuan akademik tetapi kepada tujuan yang
lebih pokok yaitu akhlak yang mulia. Dengan kata lain setiap ilmu membawa misi akhlak yang
mulia dan bukan semata-mata ilmu. Semakin banyak dan tinggi ilmu seseorang maka akan
semakin tinggi pula akhlaknya.

3. Pendidik dan Anak Didik


Pendidik dan anak didik mendapat perhatian khusus dari Ibn Miskawaih. Menurutnya,
orang tua tetap merupakan pendidik yang pertama bagi anak-anaknya karena peran yang
demikian besar dari orang tua dalam kegiatan pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang
harmonis antara orang tua dan anak yang didasarkan pada cinta kasih. Kecintaan anak didik
terhadap gurunya menurut Ibn Miskawaih disamakan kedudukannya dengan kecintaan hamba
kepada Tuhannya, akan tetapi karena tidak ada yang sanggup melakukannya maka Ibn
Miskawaih mendudukan cinta murid terhadap gurunya berada diantara kecintaan terhadap
orang tua dan kecintaan terhadap Tuhan.
Seorang guru menurut Ibn Miskawaih dianggap lebih berperan dalam mendidik kejiwaan
muridnya dalam mencapai kejiwaan sejati. Guru sebagai orang yang dimuliakan dan kebaikan
yang diberikannya adalah kebaikan illahi. Dengan demikian bahwa guru yang tidak mencapai
derajat nabi, terutama dalam hal cinta kasih anak didik terhadap pendidiknya, dinilai sama
dengan seorang teman atau saudara, karena dari mereka itu dapat juga diproleh ilmu dan adab.
Cinta murid terhadap guru biasa masih menempati posisi lebih tinggi daripada cinta anak
terhadap orang tua, akan tetapi tidak mencapai cinta murid terhadap guru idealnya. Jadi posisi
guru dapat juga diperoleh ilmu dan adab.
Adapun yang dimaksud guru biasa oleh Ibn Miskawaih adalah bukan dalam arti guru
formal karena jabatan, tetapi guru biasa memiliki berbagai persyaratan antara lain: bisa
dipercaya, pandai, dicintai, sejarah hidupnya tidak tercemar di masyarakat, dan menjadi cermin
atau panutan, dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang dididiknya.

11
Perlu hubungan cinta kasih antara guru dan murid dipandang demikian penting, karena
terkait dengan keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar yang
didasarkan atas cinta kasih antara guru dan murid dapat memberi dampak positif bagi
keberhasilan pendidikan.

4. Lingkungan Pendidikan
Seperti pera dikemukakan sebelumnya, Ibn Miskawaih berpendapat bahwa usaha mencapai
kebahagiaan(as-sa’adat) tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus bersama atas dasar saling
menolong dan saling melengkapi. Kondisi demikian akan trcipta apabila sesame manusia
saling mencintai. Setiap pribadi merasa bahwa kesempurnaan dirinya akan terwujud karena
kesempurnaan yang lainnya. Jika tidak demikian, maka kebahagiaan tidak dapat dicapai
dengan sempurnah. Atas dasar itu, maka setiap induvidu mendapati posisi sebagai salah satu
anggota dari seluruh anggota badan. Manusi menjadi kuat dikarenakan kesempurnaan anggota-
anggota badannya.
5. Metodologi Pendidikan
Metodologi Ibn Miskawaih sasarannya adalah perbaikan akhlak, metode ini berkaitan
dengan metode pendidikan akhlak. Ibn Miskawaih berpendirian bahwa masalah perbaikan
akhlak bukanlah merupakan bawaan atau warisan melainkan bahwa akhlak seorang dapat
diusahakan atau menerima perubahan yang diusahakan. Maka usaha-usaha untuk
mengubahnya diperlukan adanya cara-cara yang efektif yang selanjutnya dikenal dengan istilah
metodologi.
Terdapat beberapa metode yang diajukan Ibn Miskawaih dalam mencapai akhlak yang
baik. Pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus menerus dan
menahan diri (al-’adat wa al-jihad)untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang
sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Metode ini ditemui pula karya etika para filosof
lain seperti halnya yang dilakukan Imam Ghazali, Ibn Arabi, dan Ibn Sina. Metode ini termasuk
metode yang paling efektif untuk memperoleh keutamaan jiwa. Kedua, dengan menjadikan
semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya. Adapun
pengetahuan dan pengalaman yang dimaksud dengan pernyataan ini adalah pengetahuan dan
pengalaman berkenaan dengan hukum-hukum akhlak yang berlaku bagi sebab munculnya
kebaikan dan keburukan bagi manusia. Dengan cara ini seorang tidak akan hanyut ke dalam
perbuatan yang tidak baik karena ia bercermin kepada perbuatan buruk dan akibatnya yang
dialami orang lain. Manakala ia mengukur kejelekan atau keburukan orang lain, ia kemudian
mencurigai dirinya bahwa dirinya juga sedikit banyak memiliki kekurangan seperti orang
tersebut, lalu menyelidiki dirinya. Dengan demikian, maka setiap malam dan siang ia akan
selalu meninjau kembali semua perbuatannya sehingga tidak satupun perbuatannya terhindar
dari perhatiannya.

c. Dari berbagai karyanya,


Ibnu Miskawaih banyak
12
membahas persoalan-
persoalan
d. filsafat. Pemikirannya
tentang pendidikan
bertumpu pada tema
manusia, jiwa, dan akhlak
e. (Mahmud, 2011) berikut
pemaparannya:
f. 1. Konsep Manusia
g. Ketika orang memahami
kata al-insan berasal dari
kata al-nasyan, seakan-
akan ia

13
h. memberikan justifikasi
bahwa, ketika manusia tidak
menepati janji atau
mengerjakan hal-hal
i. yang bersifat negative
dengan alasan lupa
merupakan kesalahan yang
wajar-wajar saja.
j. Memang manusia selalu
luput dari kesalahan,
sebagaimana yang telah
disabdakan oleh Nabi
k. Muhammad saw:
“Setiap keturunan Adam
14
pasti berbuat kesalahan
dan sebaik-baik kesalahan
l. adalah pertaubatan”.
Bahkan dikatakan pula
dalam pepatah “manusia
adalah tempat salah dan
m. lupa”.
n. Kata Insan ialah bentuk
mufrat/tunggal, sama
dengan kata anas. Insan
menurut Ibn
o. Madzur dapat diambil
dari tiga akar kata yaitu;
Anas, Annisa, Nasia.
15
p. a) Annas yang artinya :
q. 1) ’Abshara: melihat,
bernalar, dan berpikir.
Dengan itu manusia dapat
mengambil pelajaran
r. dari apa yang dilihatnya.
s. 2) ’Alima: mengetahui,
berilmu. Dengan ilmu
manusia
t. Dari berbagai karyanya,
Ibnu Miskawaih banyak
membahas persoalan-
persoalan

16
u. filsafat. Pemikirannya
tentang pendidikan
bertumpu pada tema
manusia, jiwa, dan akhlak
v. (Mahmud, 2011) berikut
pemaparannya:
w. 1. Konsep Manusia
x. Ketika orang memahami
kata al-insan berasal dari
kata al-nasyan, seakan-
akan ia
y. memberikan justifikasi
bahwa, ketika manusia tidak

17
menepati janji atau
mengerjakan hal-hal
z. yang bersifat negative
dengan alasan lupa
merupakan kesalahan yang
wajar-wajar saja.
aa. Memang manusia selalu
luput dari kesalahan,
sebagaimana yang telah
disabdakan oleh Nabi
bb. Muhammad saw:
“Setiap keturunan Adam
pasti berbuat kesalahan
dan sebaik-baik kesalahan
18
cc. adalah pertaubatan”.
Bahkan dikatakan pula
dalam pepatah “manusia
adalah tempat salah dan
dd. lupa”.
ee. Kata Insan ialah bentuk
mufrat/tunggal, sama
dengan kata anas. Insan
menurut Ibn
ff. Madzur dapat diambil
dari tiga akar kata yaitu;
Anas, Annisa, Nasia.
gg. a) Annas yang artinya :

19
hh. 1) ’Abshara: melihat,
bernalar, dan berpikir.
Dengan itu manusia dapat
mengambil pelajaran
ii. dari apa yang dilihatnya.
jj. 2) ’Alima: mengetahui,
berilmu. Dengan ilmu
manusia
kk. Dari berbagai karyanya,
Ibnu Miskawaih banyak
membahas persoalan-
persoalan
ll. filsafat. Pemikirannya
tentang pendidikan
20
bertumpu pada tema
manusia, jiwa, dan akhlak
mm. (Mahmud, 2011)
berikut pemaparannya:
nn. 1. Konsep Manusia
oo. Ketika orang memahami
kata al-insan berasal dari
kata al-nasyan, seakan-
akan ia
pp. memberikan justifikasi
bahwa, ketika manusia tidak
menepati janji atau
mengerjakan hal-hal

21
qq. yang bersifat negative
dengan alasan lupa
merupakan kesalahan yang
wajar-wajar saja.
rr. Memang manusia selalu
luput dari kesalahan,
sebagaimana yang telah
disabdakan oleh Nabi
ss. Muhammad saw:
“Setiap keturunan Adam
pasti berbuat kesalahan
dan sebaik-baik kesalahan
tt. adalah pertaubatan”.
Bahkan dikatakan pula
22
dalam pepatah “manusia
adalah tempat salah dan
uu. lupa”.
vv. Kata Insan ialah bentuk
mufrat/tunggal, sama
dengan kata anas. Insan
menurut Ibn
ww. Madzur dapat diambil
dari tiga akar kata yaitu;
Anas, Annisa, Nasia.
xx. a) Annas yang artinya :
yy. 1) ’Abshara: melihat,
bernalar, dan berpikir.

23
Dengan itu manusia dapat
mengambil pelajaran
zz. dari apa yang dilihatnya.
aaa. 2) ’Alima:
mengetahui, berilmu.
Dengan ilmu manusia
2.3 Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Ibnu Khaldun

Ibnu khaldun adalah seseorang yang memiliki julukan sebagai bapak historiografi,
sosiologi, dan ekonomi yang merupakan sejarawan muslim yang berasal dari Tunisia. Beliau
memiliki nama lengkap Abu Zayd 'Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami,
lahir pada tanggal 27 Mei 1332/732H dan wafat pada 19 Maret 1406/808H. Proses belajar yang
panjang dan melelahkan telah beliau jalani sampai berusia 20 tahun, dengan ditandai berbagai
ijazah tadris dari para gurunya. Buah dari itu semua dapat kita saksikan dari karya tulis beliau
yang sangat fundamental dan monumental, yaitu: “Muqoddimah Ibn Khaldun” yang
merupakan jilid pertama dari kitab yang berjudul, : “Al-‘Ibrar wa Diwan Al Mubtada wa Al
Khabar fi Ayyam Al-‘Arabi wa Aal Ajam wa Al barbar wa Man Asrahum min Zawi A Sulthan
Al Akbar”.

A.Pengertian Pendidikan menurut Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun telah banyak membahas mengenai pendidikan dalam bukunya yang berjudul,
Muqaddimah. Ibnu Khaldun beranggapan bahwasanya pendidikan merupakan hakikat
eksistensi dari manusia. Dikatakan sedemikian rupa karena manusia memiliki kesanggupan
untuk memahami keadaan dengan daya pemahaman melelui perantara pemikirannya dibalik
panca indra. Ibnu Khaldun juga berpendapat bahwa pendidikan adalah upaya untuk
memperoleh suatu kepandaian, pengertian dan kaidah-kaidah yang baru. Karena setiap diri
manusia bisa berubah setiap saat, setiap kehidupan yang terjadi merupakan proses dari
pendidikan yang besar dan luas. Ibnu Khaldun juga memberikan rumusan tentang pendidikan
yaitu pendidikan merupakan proses mentranformasikan nilai-nilai dari pengalaman untuk
berusaha mempertahankan eksistensi manusia dalam berbagai bentuk kebudayaan serta zaman
yang terus berkembang, dan untuk mempertahankan diperlukan satu kemampuan dan

24
keberanian, berbuat dan bertindak yang didasarkan kepada pendidikan, pengalaman, pergaulan
dan sikap mental serta kemandirian yang biasanya disebut dengan sumber daya manusia yang
berkualitas.

B.Konsep Pendidikan Ibnu Khaldun

1. Pandangan Tentang Peserta Didik

Jika membicarakan tentang manusia, Ibnu Khaldun tidak terlalu menekankan pada segi
kepribadiannya, sebagaimana yang telah dibicarakan dari para filosof, baik itu Islam ataupun
di luar Islam. Ia lebih melihat manusia dalam hubungannya dengan kelompok-kelompok yang
ada di masyarakat. Ia mempunyai asumsi-asumsi kemanusiaan sebelumnya lewat pengetahuan
yang ia peroleh dalam ajaran Islam. Banyak konsepsi kemanusian dari Ibnu Khaldun yang
berasal dari hasil penelitian dan pemikiran Ibnu Khaldun untuk membuktikan dan memahami
asumsi dari Al-Qur’an melalui gejala dan aktivitas kemanusiaan. Ibnu Khaldun memandang
manusia sebagai makhluk yang berbeda dengan berbagai mahluk lainnya. Menurut Ibnu
Khaldun manusia adalah makhluk berpikir. Oleh karena itu, manusia mampu mengembangkan
berbagai pengetahuan dan teknologi. Sifat seperti ini tidak bisa dimiliki oleh makhluk lain
kecuali hanya manusia semata. Lewat kemampuan berpikirnya manusia mampu membuat
suatu kehidupan dengan pola kehidupan masing-masing dan juga mampu menaruh perhatian
terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses seperti ini yang akan mampu
melahirkan suatu peradaban. Menurut Ibnu Khaldun, untuk mencapai pengetahuan yang
bermacam-macam tidak hanya membutuhkan ketekunan, tetapi juga bakat. Berhasilnya suatu
keahlian dalam satu bidang ilmu atau disiplin ilmu atau disiplin memerlukan pengajaran.

2. Pandangan Tentang Ilmu Penegetahuan

Diantaranya sebagai berikut:

● Tidak adanya pemisahan antara ilmu praktik dengan teoretis. Tampak pada penjelasan
Ibnu Khaldun tentang malakah yang terbentuk dari pengajaran ilmu atau pencarian ilmu
ketrampilan, yang tidak lain adalah buah dari suatu aktivitas; intelektual fisik, di dalam
suatu waktu
● Orientasi pada keseimbangan ilmu agama dengan ilmu aqliyah. Walaupun Ibnu
Khaldun meletakkan ilmu agama pada tempat pertama jika dilihat dari segi keguruan
bagi murid karena membantu untuk lebih baik.
● Orientasi pada pendapat bahwa tugas mengajar adalah alat terpuji untuk memperoleh
rizki.
● Orientasi menjadikan pengajaran yang lebih bersifat umum yang mencakup beberapa
aspek dari ilmu pengetahuan. Dengan orientasi – orientasi tersebut dapat dituliskan
bahwa ilmu pengetahuan berperan sebagai pengembangan potensi manusia agar
manusia dapat hidup dan berkembang dalam masa yang semakin maju sesuai dengan
arus perkembangan zaman.

25
C.Metode Pengajaran
Menurut Ibnu Khaldun, mengajarkan pengajaran kepada siswa akan bermanfaat apabila
dilakukan secara bertahap dan berangsur – angsur, Ibnu Khaldun menganjurkan agar pendidik
bersikap sopan dan halus kepada muridnya baik dalam proses pembelajaran atau tidak dalam
proses pembelajaran. Hal ini juga harus ada dorongan dari pihak orang tua anaknya, karena
orang tua adalah pendidik yang lebih utama. Menurut Ibnu Khaldun seseorang yang dahulunya
diajarkan dengan cara kasar, keras dan cacian akan dapat mengakibatkan gangguan jiwa pada
siswa. Siswa yang demikian akan cenderung menjadi siswa yang pemalas, pendusta, pemurung
dan tidak percaya diri.

D.Tujuan Pendidikan Menurut Ibnu Khaldun


Pandangan Ibnu Khaldun tentang pendidikan berpijak pada konsep dan pendekatan
filisofis-empiris. Melalui pendekatan ini, ia memberikan arahan terhadap visi tujuan
pendidikan Islam secara ideal dan praktis. Menurut Ibnu Khaldun ada tiga tingkatan tujuan
yang hendak dicapai dalam proses pendidikan, yaitu:
● Pengembangan kemahiran (al-malakah atau skill) dalam bidang tertentu. Seseorang
pasti mempunyai pengetahuan dan pemahaman akan tetapi kemahiran tidak dapat
dimiliki oleh tiap orang tanpa adanya usaha untuk mengembangkannya. Untuk
memiliki kemahiran tertentu diperlukan usaha yaitu dengan pendidikan yang dilakukan
dengan cara terus menerus sampai mendapatkan apa yang diinginkan.
● Penguasaan keterampilan profesional sesuai dengan tuntutan zaman. Pendidikan
seharusnya dipergunakan untuk memperoleh keterampilan yang tinggi pada profesi
tertentu. Hal ini dapat menunjang kemajuan zaman. Pendidikan seharusnya meletakkan
keterampilan sebagai salah satu tujuan yang akan dicapai, supaya dapat
mempertahankan dan memajukan peradaban sesuai tuntutan kemajuan zaman.
● Pembinaan pemikiran yang baik. Dengan pembinaan diharapkan dapat mencapai tujuan
pendidikan yang sebenarnya, karena dengan adanya pemikiran yang baik dapat
menciptakan peserta didik yang mampu berpikir secara jernih karena didasarkan pada
pengetahuan dan kemampuan berpikir yang baik. Tujuan pendidikan dapat
mengarahkan kepada segala aktivitas manusia untuk berusaha.

E.Tantangan Pendidikan Masa Kini


Tantangan pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah pendidikan dapat mewujudkan
sumber daya manusia yang berkualitas yaitu melahirkan masyarakat yang berbudaya serta
berusaha untuk melestarikan dan meningkatnya untuk eksistensi masyarakat selanjutnya
dengan menghargai kebudayaan tersebut.

2.4 Pemikiran Pendidikan Islam Menurut KH Ahmad Dahlan

26
A. Biografi KH Ahmad Dahlan
KH. Ahmad Dahlan dilahirkan di Kauman, Yogyakarta pada tanggal 1 Agustus
1868 dan meninggal dunia di Yogyakarta pada tanggal 23 Februari 1923.Beliau berasal
dari keluarga berpengaruh dan terkenal di lingkungan kesultanan Yogyakarta. Ayahnya
bernama Abu Bakar bin Sulaiman, seorang ulama dan khatib terpandang di Masjid
Besar Kesultanan Yogyakarta pada masa itu. Ibunya adalah putri H. Ibrahim yang juga
menjabat penghulu Kesultanan Yogyakarta pada masa itu. K.H. Ahmad Dahlan
sewaktu kecilnya bernama Muhammad Darwisy. Beliau merupakan anak keempat dari
tujuh bersaudara yang keseluruhan saudaranya adalah perempuan, kecuali adik
bungsunya. Dalam silsilahnya, beliau termasuk keturunan yang kedua belas dari
Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali
Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam
ditanah Jawa, demikian dijelaskan oleh Hasan Basri dalam bukunya Filsafat
Pendidikan Islam. Hasan Basri melanjutkan bahwa pada umur 15 tahun, Ahmad
Dahlan pergi haji dan tinggal di Mekkah selama 5 tahun. Pada waktu ini, Ahmad
Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam,
seperti Muhammad Abduh, Al-afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. Ketika
kembali kekampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Sekembalinya dari Mekkah, beliau menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri,
anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan,
seorang Pahlawan Nasional dan pendiri Aisyiah. Dari perkawinannya dengan Siti
Walidah, LH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj
Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. Hampir seluruh hidupnya
digunakan utnuk beramal demi kemajuan umat islam dan bangsa. KH. Ahmad Dalhlan
meninggal pada tanggal 7 Rajab 1340 H atau 23 Pebruari 1923 M dan dimakamkan di
Karang Kadjen, Kemantren, Mergangsan, Yogyakarta.

2.4 Pemikiran Pendidikan Islam Menurut KH. Ahmad Dahlan


Menurut KH. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat islam
dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui
pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada pondasi utama dalam proses
pembangunan umat. Mereka hendaknya dididik agar cerdas, kritis dan memiliki daya
analisis yang tajam dalam memeta dinamika kehidupannya pada masa depan. Adapun
kunci untuk meningkatkan kemajuan umat Islam adalah dengan kembali pada Al-
Qur’an dan Hadis, mengarahkan umat pada pemahaman ajaran Islam secara
komfrehensif, dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Adapun upaya untuk
mengaktualisasikan gagasan tersebut maka konsep pendidikan Islam menurut KH.
Ahmad Dahlan ini meliputi:
1. Tujuan Pendidikan
Menurut Ahmad Dahlan Pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada
usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, yaitu alim dalam
agama, luas pandangan, yaitu alim dalam ilmu-ilmu umum dan bersedia
berjuang untuk kemajuan masyarakat, hal ini berarti bahwa pendidikan Islam
merupakan upaya pembinaan pribadi muslim sejati yang bertaqwa baik sebagai

27
hamba Allah maupun khalifah dimuka bumi. Untuk mencapai tujuan ini proses
pendidikan Islam hendaknya mengakomodasi berbagai ilmu pengetahuan baik
umum maupun agama, untuk mempertajam daya intelektualitas dan
memperkokoh spiritualitas peserta didik. Menurut Ahmad Dahlan upaya ini
akan terealisasikan manakala proses pendidikan bersifat integral yang mampu
menghasilkan manusia yang lebih berkualitas. Untuk menciptakan peserta didik
yang demikian, maka sumber ilmu pengetahuan Islam hendaknya dijadikan
landasan metodologis dalam kurikulum dan bentuk pendidikan yang
dilaksanakan. Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan
pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren
dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya
bertujuan utnuk menciptakan individu yang salih dan mengalami ilmu agama.
Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler
yang didalamnya tidak diajarkan agma sama sekali. Akibat dialisme pendidikan
tersebut lahirlah dua kutub intelegensia : lulusan pesantren yang menguasai
agama tetapi tidak menguasai ilmu umum dan sekolah Belanda yang menguasai
ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu agama. Melihat keganjalan tersebut
KH. Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna
adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum,
material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi KH. Ahmad Dahlan kedua
hal tersebut (agama-umum, material-spritual dan dunia-akhirat) merupakan hal
yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa
KH. Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di
Madrasah Muhammadiyah.

2. Materi Pendidikan
Menurut Toto Suharto, Ahmad Dahlan memadukan antara pendidikan
Agama dan pendidikan umum sedemikian rupa, dengan tetap berpegang kepada
ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selain kitab-kitab klasik berbahasa Arab,
kitab-kitab kontemporer berbahasa Arab juga dipelajari dilembaga
Muhammadyah yang dipadukan dengan pendidikan umum. Berangkat dari
tujuan pendidikan tersebut KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum
atau materi pendidikan hendaknya meliputi:
a. Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan
karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b. Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan
kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara perkembangan
mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek serta antara dunia dengan
akhirat.
c. Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk
menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.

3. Metode Pembelajaran

28
Ada dua sistem pendidikan yang berkembang di Indonesia, yaitu
pendidikan pesantren dan pendidikan Barat. Pandangan Ahmad Dahlan, ada
problem mendasar berkaitan dengan lembaga pendidikan di kalangan umat
Islam, khususnya lembaga pendidikan pesantren. Menurut Syamsul Nizar,
dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, menerangkan bahwa problem
tersebut berkaitan dengan proses belajar-mengajar, kurikulum, dan materi
pendidikan.
Pertama, dalam proses belajar-mengajar, sistem yang dipakai masih
menggunakan sorogan (khalaqah), ustadz/kiyai dianggap sebagai sumber
kebenaran yang tidak boleh dikritisi. Kondisi ini membuat pengajaran nampak
tidak demokratis. Fasilitas-fasilitas modern yang sebenarnya baik untuk
digunakan dilarang untuk dipakai karena menyamai orang kafir.

Kedua, materi dan kurikulum yang disajikan masih berkisar pada studi
Islam klasik, misalnya, fikih, tasawuf, tauhid, dan sejenisnya. Ilmu-ilmu itu
wajib syar'i untuk dipelajari. Sementara ilmu modern tidak diajarkan karena
ilmu itu termasuk ilmu Barat yang haram hukumnya bagi orang Islam untuk
mempelajarinya. Ilmu-ilmu selain studi Islam klasik tersebut dianggap bukan
ilmu Islam. Padahal kalau diteliti, ilmu-ilmu yang berkembang di Barat itu
merupakan pengembangan lebih lanjut dari ilmu yang sudah dikembangkan
oleh umat Islam pada zaman keemasan Islam.

Ketiga, pendidikan modern hanya mengajarkan ilmu-ilmu yang


diajarkan di dunia Barat. Metode pengajaran sudah menggunakan metode
modern. Pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial Belanda ini
tidak diajarkan ilmu-ilmu keislaman. Kebanyakan siswa yang bisa masuk dalam
pendidikan ala Barat ini adalah orang-orang priyayi atau pegawai pemerintah
Belanda.

Dari realitas pendidikan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan menawarkan sebuah metode sintesis antara
metode pendidikan modern Barat dengan metode pendidikan pesantren. Dari sini tampak
bahwa lembaga pendidikan yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan berbeda dengan lembaga
pendidikan yang dikelola oleh masyarakat pribumi saat ini. Sebagai contoh, K.H. Ahmad
Dahlan mula-mula mendirikan SR di Kauman dan daerah lainnya di sekitar Yogyakarta,
lalu sekolah menengah yang diberi nama al-Qism al-Arqam yang kelak menjadi bibit
madrasah Mu’allimin dan Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta. Metode pembelajaran
yang dikembangkan K.H. Ahmad Dahlan bercorak kontekstual melalui proses dialogis dan
penyadaran. Contoh klasik adalah ketika beliau menjelaskan surat al-Ma’un kepada santri-
santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan
supaya kita memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan harus mengamalkan isinya.
Hal ini karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami secara kognitif,
tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi. Adapun perbedaan model belajar yang
digunakan antara pendidikan di pesantren dengan pendidikan yang diajarkan oleh Ahmad
Dahlan adalah sebagai berikut:

29
a. Cara belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem Weton dan Sorogal, madrasah yang
dibangun Ahmad Dahlan menggunakan sistem masihal seperti sekolah Belanda.
b. Bahan pelajaran di pesantren mengambil kitab-kitab agama. Sedangkan di madrasah yang
dibangun Ahmad Dahlan bahan pelajarannya diambil dari buku-buku umum.
c. Hubungan antara guru-murid, di pesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter
karena para kiai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah yang
dibangun Ahmad Dahlan mulai mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab.

4. Pendidikan Integralistik
K.H Ahmad Dahlan adalah tipe man of action sehingga sudah pada tempatnya apabila
mewariskan cukup banyak amal usaha bukan tulisan. Oleh sebab itu untuk menelusuri
bagaimana orientasi filosofis pendidikan beliau musti lebih banyak merujuk pada
bagaimana beliau membangun sistem pendidikan, hal ini sebagaimana dijelaskan oleh
Amir Hamzah Wirjosukarto dalam bukunya yang berjudul Pembaharuan Pendidikan dan
Pengajaran Islam . Amir Hamzah Wirjosukarto, melanjutkan memaparkan mengenai
pribadi K.H. Ahmad Dahlan yang merupakan pencari kebenaran hakiki yang menangkap
apa yang tersirat dalam tafsir Al-Manar sehingga meskipun tidak punya latar belakang
pendidikan Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam
sendiri, menyerukan ijtihad dan menolak taqlid. Dia dapat dikatakan sebagai suatu “model”
dari bangkitnya sebuah generasi yang merupakan “titik pusat” dari suatu pergerakan yang
bangkit untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi golongan Islam yang berupa
ketertinggalan dalam sistem pendidikan dan kejumudan paham agama Islam. Berbeda
dengan tokoh-tokoh nasional pada zamannya yang lebih menaruh perhatian pada persoalan
politik dan ekonomi, K.H. Ahmad Dahlan mengabdikan diri sepenuhnya dalam bidang
pendidikan. Pendidikan di Indonesia pada saat itu terpecah menjadi dua, pendidikan
sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, yang tak mengenal ajaran-ajaran yang berhubungan
dengan agama; dan pendidikan di pesantren yang hanya mengajar ajaran-ajaran yang
berhubungan dengan agama saja. Kondisi internal pendidikan pesantren di satu pihak,
model penyelenggaraan, krakter dan produk alumni model ala Barat di pihak lain, seperti
dijelaskan di atas mendorong Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Melalui
Muhammadiyah Ahmad Dahlan ingin mendirikan lembaga pendidikan yang memadukan
dua karakter dari dua model lembaga pendidikan yang berkembang saat itu, mengajarkan
semangat Islam dan semangat modern. Dengan demikian, umat Islam tidak hanya fasih
berbicara tentang Islam, seperti alumni pesantren, tetapi juga berwawasan luas tentang
perkembangan modern.

2.5 Pemikiran filsafat pendidikan islam Rahmah El-Yunasiah


Rahmah El-Yunasiah berasal dari keluarga taat dalam masalah keagamaan. Kondisi
inilah nantinya yang akan berpengaruh pada pembentukan pribadi Rahmat. Ia menjadi
orang yang cinta mendalami ajaran-ajaran agama serta memiliki perhatian sangat besar
terhadap kondisi masyarakat pada masanya khususnya kalangan kaum wanita. Perempuan

30
dalam pandangan Rahmah mempunyai peran penting dalam kehidupan. Perempuan adalah
pendidik anak yang akan mengendalikan jalur kehidupan mereka selanjutnya. Atas dasar
itu, untuk meningkatkan kualitas dan memperbaiki kedudukan perempuan diperlukan
pendidikan khusus kaum perempuan yang diajarkan oleh kaum perempuan itu sendiri.
Dalam hal ini perlu adanya upaya untuk meningkatkan kemampuan kaum perempuan, baik
dibidang intelektual, kepribadian ataupun keterampilan. Ketika ia mendirikan gedung
perguruannya pada tahun 1927 dan mengalami kekurangan biaya penyelesaian gedung
tersebut, ia menolak bantuan yang diulurkan kepadanya dengan halus dan bijaksana. Ia
ingin memperlihatkan kepada kaum laki-laki bahwa wanita yang selama ini dipandang
lemah dan rendah derajatnya dapat berbuat sebagaimana laki-laki, bahkan bisa
melebihinya.
Tampaknya pikiran Rahmah El-Yunasiah setengah abad yang lalu sejalan dengan
pendapat kaum wanita saat ini yaitu “ membangun masyarakat tanpa mengikutsertakan
kaum wanita adalah sebagai seekor burung yang ingin terbang dengan satu sayap saja.
Mendidik seorang wanita berarti mendidik seluruh manusia “. Adapun cita-citanya dalam
bidang pendidikan adalah ia sangat ingin melihat kaum wanita indonesia memperoleh
kesempatan penuh menuntut ilmu pengetahuan yang sesuai dengan fitrah wanita sehingga
dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dan mendidik mereka sanggup berdiri sendiri
diatas kekuatan kaki sendiri, yaitu menjadi ibu pendidik yang cakap dan aktif serta
bertanggung jawab kepada kesejahteraan bangsa dan tanah air, dimana kehidupan agama
mendapat tempat yang layak. Selanjutnya cita-cita pendidikannya ini ia rumuskan menjadi
tujuan perguruan Diniyah putri yang dididrikannya yaitu: “ melaksanakan pendidikan dan
pengajaran berdasarkan ajaran islam dengan tujuan membentuk putri yang berjiwa islam
dan ibu pendidik yang cakap, aktif serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan
masyarakat dan tanah air dalam pengabdian kepada Allah SWT. Perhatianya terhadap
kaum perempuan tidak hanya diperjuangkan di Padang saja, tetapi juga di kota-kota lain.
Ia mendirikan Diniyah School Putri di Kwitang dan Tanah Abang, di Jatinegara dan
Rawasari, Jakarta. Selain berkiprah di dunia pendidikan, ia juga aktif berjuang untuk
mencapai kemerdekaan Indonesia. Kiprahnya dimulai dari pembentukan Tentara
Keamanaan Rakyat (TKR), kemudian mengayomi laskar pejuang yang dibentuk oleh
organisasi Islam seperti Hizbullah dan Sabilillah, memimpin dapur umum untuk TNI dan
Laskar pejuang di Padang Panjang.

Pada 1952-1954, ia menjadi anggota dewan pimpinan pusat Masyumi di Jakarta,


dan terpilih sebaghai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (1955-1958). Pada
1958, ia berseberangan dengan Presiden Soekarno yang saat itu lebih condong kepada PKI.
Perjuangan Rahmah El-Yunusiah dalam pendidikan Islam sangat luar biasa karena ia
adalah seorang muslimah pertama yang mencetuskan sekolah bagi perempuan. Semua
dasar pendidikan Islam diajarkan di surau-surau yang terdapat di Mingkabau. Semua surau
yang ada diberdayakan untuk mengembangkan pendidikan Islam. Rahmah sebagai sosok
perempuan yang memandang ilmu pengetahuan sebagai bagian yang sangat penting bagi
kehidupan perempuan. Pendidikan bagi perempuan akan membebaskan jiwa dan pikiranya
dari belenggu kebodohan. Laki-laki dan peremopuan di beri hak yang sama dalam mencari
ilmu, hukum mencari ilmu wajib bukan hanya untuk laki-laki tetapi juga untuk perempuan.

31
2.6 Pemikiran filsafat pendidikan islam Abdul Halim Iskandar

K.H.Abdul Halim adalah salah seorang pejuang kemerdekaan bangsa yang berasal dari
Jawa Barat dan mempunyai andil besar dalam mempersiapkan kelahiran Republik Indonesia.
Tokoh Ummat Islam ini adalahi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Kemerdekaan Indonesia). Atas jasa pengabdian sebagai salah satu pendiri Republik ini
KH.Abdul Halim kemudian memperoleh tanda kehormatan BINTANG MAHAPUTERA
UTAMA dari Presiden Republik Indoensia.
Abdul Halim lahir tanggal 26 Juni 1887 di Desa Sutawangi, Kecamatan Jatiwangi,
Majalengka Jawa Barat. Ia adalah putera bungsu KH.Iskandar dan Nyi Hj.Siti Mutmainnah,
dari tujuh saudara. Latar belakang keluarga beliau memang dikenal taat dalam beragama,
bahkan ibunya masih keturunan dari Sultan Syarif Hidayatullah. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika pendidikan yang menyangkut pelajaran agama Islam, sudah didapatinya
sejak usia dini, dan pada usia 21 tahun setelah tamat belajar dari berbagai pesantren di
Majalengka pada tahun 1908, beliau menunaikan ibadah haji lalu menetap di Mekah sambil
menambah wawasan keilmua

A. Biografi Abdul Halim Iskandar


ABDUL HALIM dilahirkan oleh ibunya yang bernama Hajjah Siti Mutmainah binti
Imam Safari di Desa Cibolerang, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka,pada tanggal 26 Juni
1887,bertepatan pada tanggal 4 Syawal 1304 Hijriyah.Ia terlahir dengan nama Otong
Syatori.Ayahnya bernama Kyai Haji Muhammad Iskandar, penghulu Kawedanan Jatiwangi.
Latar belakang keluarga beliau memang dikenal taat dalam beragama, bahkan ibunya masih
keturunan dari Sultan Syarif Hidayatullah. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
pendidikan yang menyangkut pelajaran agama Islam, sudah didapatinya sejak usia dini. Pada
usia 10 tahun ia sudah belajar membaca al Qur’an, kemudian menjadi santri pada beberapa
orang kiai di berbagai daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah sampai mencapai usia 22 tahun.
Kiai yang pertama kali ia didatangi ialah Kyai Haji Anwar di Pondok Pesantren Ranji Wetan,
Majalengka , kemudian berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Ia
menjalani setiap pesantren antara 1 sampai dengan 3 tahun. Tercatat beberapa kiai yang
menjadi gurunya, antara lain:
1.Kyai Haji Abdullah di Pesantren Lontangjaya, desa Penjalin, Kecamatan Leuwimunding,
Majalengka,Kyai Haji Sijak di Pesantren Bobos, Kecamatan Sumber, Cirebon;
2.Kyai Haji Ahmad Sobari di Pesantren Ciwedas, Cilimus, Kuningan;dan
3.Kyai Haji Agus di Pesantren Kedungwangi, Pekalongan, Jawa Tengah.
Setelah menjalani pendidikan agama di ketiga pesantren tersebut,kemudian kembali
lagi ke Pesantren Ciwedus. Di sela-sela kehidupan pesantren, Otong menyempatkan diri
berdagang, seperti berjualan batik, minyak wangi, dan kitab-kitab pelajaran agama.
Pengalaman dagangnya ini mempengaruhi langkah-langkahnya kelak dalam upaya
membaharui sistem ekonomi masyarakat pribumi. Ia kemudian menikah dengan Siti Murbiyah,
putri Kyai Haji Mohammad Ilyas, pejabat Hoofd Penghulu Landraad Majalengka (sebanding
dengan kepala Kandepag Kapubaten sekarang).

32
Pada usia 22 tahun Otong berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan
mendalami ilmu agama. Ia bermukim di sana selama 3 tahun. Pada kesempatan ini ia mengenal
dan mepelajari tulisan-tulisan Sayid Jamaluddin al-Afgani dan Syeikh Muhammad Abduh.
Untuk mendalami pengetahuan agama di sana, ia belajar kepada Syeikh Ahmad Khatib, imam
dan kahtib Masjidil haram, dan Syeikh Ahmad Khayyat, ketika di sana pula ia bertemu dengan
KH. Mas Mansyur dari Surabaya (tokoh Muhammadiyah) dan KH. Abdul Wahab Hasbullah
(tokoh Nahdatul Ulama). Pada tahun 1328 H/1911 M ia kembali ke Indonesia,dan mengubah
namanya menjadi ABDUL HALIM.
Di samping menguasai bahasa Arab, ia juga mempelajari bahasa Belanda dari Van
Houven (salah seorang dari Zending Kristen di Cideres) dan bahasa Cina dari orang Cina yang
bermukim di Mekah. Dengan pengalaman pendidikan dan tukar pikirannya dengan para tokoh
besar, baik di luar maupun dalam negri, Abdul Halim semakin mantap dan teguh dalam prinsip.
Ia tidak mau bekerja sama dengan pihak kolonial. Ketika oleh mertuanya ditawari menjadi
pegawai pemerintah, ia menolaknya.
Dengan berbekal semangat juang dan tekad yang kuat, sekembalinya dari Mekah, ia
mulai melakukan perbaikan untuk mengangkat derajat masyarakat, sesuai dengan hasil
pengamatan dan konsultasinya dengan beberapa tokoh di Jawa. Usaha perbaikan ini
ditempuhnya melalui jalur pendidikan (At-Tarbiyah) dan penataan ekonomi (Al-Iqtisadiyah).
Dalam merealisasi cita-citanya untuk pertama kalinya Abdul Halim mendirikan
Majlisul Ilmi (Majelis Ilmu) pada tahun 1911 sebagai tempat pendidikan agama dalam bentuk
yang sangat sederhana pada sebuah surau yang terbuat dari bambu. Pada majlis ini ia meberikan
pengetahuan agama kepada para santrinya. Dengan bantuan mertuanya, Kyai Haji Muhammad
Ilyas, serta dukungan masyarakat Abdul Halim dapat terus mengembangkan idenya. Pada
perkembangan berikutnya, di atas tanah mertuanya ia dapat membangun tempat pendidikan
yang dilengkapi dengan asrama sebagai tempat tinggal para santri.
Setahun kemudian,pada tahun 1912,Kyai Haji Abdul Halim menyempurnakan Majlisul
Ilmi menjadi organisasi yang lebih besar dengan nama Hayatul Qulub yang aktivitasnya
disamping berupaya meningkatkan kualitas pendidikan juga mendorong kegiatan ekonomi
rakyat terutama dalam menghadapi persaingan pengusaha asing yang menguasai pasar juga
melawan penindasan Belanda terhadap rakyat yang memeras tenaga mereka. Hayatul Qulub
memelopori berdirinya perusahaan percetakan, pembangunan, pabrik tenun serta
pengembangan usaha-usaha pertanian . Suatu hal yang menarik adalah penerapan sistem
pemilikan saham-saham perusahaanbagi guru-guru yang aktif mengajar. Langkah-langkah
perbaikannya meliputi delapan bidang perbaikan yang disebut dengan Islah As-Samaniyah,
yaitu islah Al-Aqidah (perbaikan bidang aqidah), islah Al-Ibadah (perbaikan bidang ibadah),
islah At-Tarbiyah (perbaikan bidang pendidikan), islah Al-Ailah (perbaikan bidang keluarga),
islah Al-Adah (perbaikan bidang kebiasaan), islah Al-Mujtama (perbaikan masyarakat), islah
Al-Iqtisad (perbaikan bidang perekonomian), dan islah Al-Ummah (perbaikan bidang
hubungan umat dan tolong-menolong).
Secara bertahap, organisasi yang dipimpinnya dapat memperbaiki keadaan masyarakat,
khususnya masyarakat kecil. Melihat kemajuan dan hasil yang telah dicapainya, pemerintah
kolonial Belanda mulai menaruh curiga. Secara diam-diam pemerintah kolonial mengutus
polisi rahasia (yang disebut Politiek Inlichtingn Dienst/PID) untuk mengawasi pergerakan
Abdul Halim dan setiap orang yang dicurigai. Pada tahun 1915 organisasi yang dipimpinnya

33
ini dibubarkan sebab dinilai oleh pemerintah sebagai penyebab terjadinya beberapa kerusuhan
(terutama antara pribumi dan Cina). Sejak itu Hayatul Qulub secara resmi dibubarkan dengan
alasan menganggu keamanan.Akan tetapi KH.Abdul Halim tetap gigih dan tidak pernah
menyerah kegiatan-kegiatan perjuangannya tetap berjalan.
Pada tanggal 16 Mei 1916 Abdul Halim mendirikan Jam’iyah I’anah al-Muta’alimin
sebagai upaya untuk terus mengembangkan bidang pendidikan. Untuk ini ia menjalin
hubungan dengan Jam’iyat Khair dan al-Irsyad di Jakarta. Melihat sambutan yang cukup tinggi,
yang dinilai oleh pihak kolonial dapat merongrong pemerintahan, maka pada tahun 1917
organisasi ini pun dibubarkan. Dengan dorongan dari sahabatnya, Haji Oemar Said (HOS)
Tjokroaminoto (Presiden Sarekat Islam pada waktu itu), pada tahun itu juga ia mendirikan
Persyarikatan Oelama(PO) sebagai pengganti Hayatul Qulub. Tahun 1924 Persyarikatan
Oelama semakin berkembang dan hampir menjangkau ke seluruh wilayah Jawa dan Madura.
Organisasi ini diakui oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tanggal 21 Desember 1917.
Pada tahun 1924 daerah operasi organisasi ini sampai ke seluruh Jawa dan Madura, dan pada
tahun 1937 terus disebarkan ke seluruh Indonesia.
Untuk mendukung organisasi ini, terutama pada sektor keuangan/dana, Abdul Halim
mengembangkan usaha bidang pertanian dengan membeli tanah seluas 2,5 ha pada tahun 1927,
kemudian mendirikan percetakan pada tahun 1930. Pada tahun 1939 ia mendirikan perusahaan
tenun dan beberapa perusahaan lainnya, yang langsung di bawah pengawasannya. Untuk
mendukung lajunya perusahaan di atas, kepada para guru diwajibkan menanam saham sesuai
dengan kemampuan masing-masing. Abdul Halim juga mendirikan sebuah yayasan yatim piatu
yang dikelola oleh persyarikatan wanitanya, Fatimiyah.
Abdul Halim juga memandang perlu memberikan bekal keterampilan kepada anak
didik agar kelak hidup mandiri tanpa harus tergantung pada orang lain atau menjadi pegawai
pemerintah. Ide ini direalisasinya dengan mendirikan sekolah /pesantren kerja bersama
bernama Santi Asromo pada bulan April 1942, yang bertempat di Desa Pasirayu, Kecamatan
Sukahaji, Majalengka. Di samping mengembangkan bidang pendidikan, Abdul Halim juga
memperluas usaha bidang dakwah. Ia selalu menjalin hubungan dengan beberapa organisasi
lainnya di Indonesia, seperti dengan Muhammadiyah di Yogyakarta, Sarekat Islam, dan Ittihad
al-Islamiyah (AII) di Sukabumi. Inti dakwahnya adalah mengukuhkan ukhuwah Islamiah
(kerukunan Islam) dengan penuh cinta kasih, sebagai usaha menampakkan syiar Islam, guna
mengusir penjajahan. Dalam bidang aqidah dan ibadah amaliah Abdul Halim menganut paham
Ahlus sunnah waljama’ah, yang dalam fikihnya mengikuti paham Syafi’iyah. Pada tahun 1942
ia mengubah Persyarikatan Ulama menjadi Perikatan Umat Islam yang (kemudian) pada tahun
1952 melakukan fusi dengan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII), menjadi “Persatuan
Umat Islam” (PUI), yang berkedudukan di Bandung.
Selain aktivitasnya membina organisasi PUI, ia aktif berperan dalam berbagai kegiatan
politik menentang pemerintahan kolonial. Pada tahun 1912 ia menjadi pimpinan Sarekat Islam
cabang Majalengka. Pada tahun 1928 ia diangkat menjadi pengurus Majelis Ulama yang
didirikan Sarekat Islam bersama-sama dengan KH. M. Anwaruddin dari Rembang dan KH.
Abdullah Siradj dari Yogyakarta. Ia juga menjadi anggota pengurus MIAI (Majlis Islam
A’la Indonesia) yang didirikan pada tahun 1937 di Surabaya. Pada tahun 1943, setelah MIAI
diganti dengan Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia), ia menjadi salah seorang
pengurusnya.

34
Pada tahun 1940, ia bersama Kyai Haji A. Ambari menghadap Adviseur Voor Indische
Zaken, Dr. GF. Pijper, di Jakarta untuk mengajukan beberapa tuntutan yang menyangkut
kepentingan umat Islam. Salah satu kegiatan yang menonjol adalah program pertolongan
kepada para pelajar dengan membentuk I’anatul Muta’allimin. Antara tahun 1917-1920 telah
dibangun 40 Madrasah, sebagian besar di Jawa, dengan metode pengajaran modern, yang pada
saat itu mendapat tentangan dari berbagai pihak. Pada Kongres ke IX P.O., KH.Abdul Halim
melahirkan ide untuk membangun sebuah pondok Pesantren, dimana santri tidak saja belajar
agama tetapi juga dilatih berbagai kerajinan dan keterampilan. Ide ini mendapat sambutan
positif yang pada akhirnya berdiri pondok pesantren yang dikenal dengan sebutan Santi
Asromo.
Ia kemudian menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI/Dokuritsu Junbi Cosakai).
Pada tanggal 17 Agustus 1945,Indonesiapun merdeka.Ketika terjadi Agresi Militer
Belanda yang pertama atau Aksi Polisionil pada 21 Juli sampai 5 Agustus 1947, ia bersama
rakyat dan tentara mundur ke pedalaman untuk menyusun strategi melawan Belanda. Ia juga
menentang keras berdirinya negara Pasundan yang didirikan pada tahun 1948 oleh Belanda.
Dalam mempertahankan kemerdekaan Abdul Halim berbasis di Gunung Ciremai untuk
menghadapi Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak dengan berperang gerilya. Ia
memimpin dalam penghadangan militer Belanda di wilayah Keresidenan Cirebon.
Pada tahun 1952, Perikatan Ummat Islam berfusi dengan Persatuan Ummat Islam
Indonesia (PUII) pimpinan K.H. Ahmad Sanusi yang berbasis di Sukabumi, kemudian menjadi
Persatuan Ummat Islam (PUI) dengan kedudukan di Bandung.Ia kemudian menjadi anggota
Komite Nasional indonesia Pusat (KNIP).Pada tahun 1955,ia kemudian menjadi anggota
Konstituante.Di kalangan kawan-kawannya ia dikenal sebagai orang yang sederhana, pengasih,
dan mengutamakan jalan damai dalam menyelesaikan persoalan daripada melalui kekerasan.
B. Karya Pemikiran Pendidikan
Mengenai pemikiran dan karyanya; Abdul Halim adalah ulama yang dapat dikatakan
sebagai seorang penulis yang produktif. Banyak tulisan-tulisannya yang sempat diterbitkan.
Tulisan-tulisan tersebut dipublikasikan di kalangan anggota Persyarikatan Ulama dalam bentuk
brosur dan buku kecil. Tetapi, sebagian besar tulisannya sudah terbakar sewaktu Agresi Militer
Belanda ke dua. Di antara karyanya adalah;

1. Risalah Petunjuk bagi Sekalian Manusia;


2. Ekonomi dan Koperasi dalam Islam;
3. Ketetapan Pengajaran di Sekolah Ibtidaiyah Persyarikatan Ulama (sebagai Ketua Tim
Penyusunan);
4. Da’watul Amal;
5. Tarikh Islam;
6. Neraca Hidup;
7. Risalah;
8. Ijtimaiyah Wailajuha;
9. Kitab Tafsir Tabarok;
10. Kitab 262 Hadits Indonesia;
11. Babul Rizqi, dll.

35
Dari nama-nama kitab karangan Abdul Halim ini, yang masih tersisa tinggal 3 yaitu:
1.Kitab Petunjuk bagi Sekalian Manusia;
2.Ekonomi dan Koperasi dalam Islam;dan
3.Ketetapan Pengajaran di Sekolah Ibtidaiyah Persyarikatan Ulama (sebagai Ketua Tim
Penyusunan).
Selain itu, tulisan-tulisan Abdul Halim juga dimuat dalam beberapa majalah, seperti
Suara Persyarikatan Ulama, As-Syuro, al-Kasyaaf dan Pengetahuan Islam. Abdul Halim juga
menulis di Suara Muslimin Indonesia, Suara MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) dan di situ,
ia menjadi pengisi artikel Ruangan Hadits. Ia juga menulis dalam lembaran-lembaran lain yang
beredar dalam bentuk tercetak atau stensil, terutama untuk kalangan organisasi Persyarikatan
Ulama.
Di dalam tulisan-tulisan tersebut, dapat dilihat pemikiran Abdul Halim tentang gagasan
dan cita-citanya. Meski pun uraiannya dihubungkan dengan masalah keagamaan, tetapi pokok-
pokok pikirannya dapat dipahami dari interpretasi yang dikemukakannya.
Pada garis besarnya, pokok-pokok pikiran Abdul Halim bersumber dari penafsirannya
tentang konsepp al-Salam. Karena menurut pemahamannya, agama Islam memuat ajaran-
ajaran yang bertujuan untuk membimbing manusia agar mereka dapat hidup selamat di dunia,
dan memperoleh kesejahteraan hidup di akhirat. Kedua macam keselamatan hidup ini disebut
al-Salam.
Berdasarkan pengertian ini, Abdul Halim melihat, bahwa kesejahteraan hidup di akhirat
erat kaitanhnya dengan keselamatan hidup di dunia, karena untuk memperoleh kehidupan yang
sejahtera di akhirat, terlebih dahulu manusia mesti hidup selamat di dunia, yaitu hidup yang
sejalan dengan tuntutan agama (Abdul Halim: 1938). Makanya, menurut Abdul Halim antara
ke dua macam kehidupan tersebut, terhadap hubungan kausalitas (timbal-balik).
Selanjutnya, pemikiran-pemikiran ini, membawa Abdul Halim kepada 3 kesimpulan,
yang kemudian diterapkan dalam kehidupannya. Baik mengenai konsep keagamaan,
pendidikan, dan kesejahteraan.
1. Konsep al-Salam;
2. Konsep Santi Asromo;dan
3. Konsep Santri Lucu.
Pada saat menginjak usia 74 tahun, di Desa Pasirayu, Kecamatan Sukahaji, Majalengka,
pada tahun 1962,bertepatan pada tahun 1381 Hijriyah,beliau meninggal dunia.Atas jasa-
jasanya, Gelar pahlawan nasional diberikan kepada Abdul Halim bertepatan pada peringatan
Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri
Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh pada tanggal 2
November 2008 di Jakarta berdasarkan SK Presiden nomor 041 /TK/2008 (6 November
2008).Dan juga,almarhum kemudian memperoleh tanda kehormatan BINTANG
MAHAPUTERA UTAMA dari Presiden Republik Indoensia.

36
37
38
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pendidikan Islam bukan sekedar proses penanaman nilai-nilai moral untuk
membentengi diri dari akses negatif globalisasi. Tetapi yangpaling urgen adalah bagaimana
nilai-nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam tersebut mampu berperan sebagai
kekuatan pembebasan dari himpitan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan sosial
budaya dan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikanIslam memiliki peran yang
sangat penting dalam proses pembentukan individu yang yang tidak hanya cerdas, tapi juga
berkepribadian yang baik serta memilliki pemahaman beragama yang tidak hanya dipahami
tapi juga diterapkan dalam kehidupan.

39
DAFTAR PUSTAKA

Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, ( Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), hlm: 293
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm: 234
Delias Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm 85
Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers,2002), hlm: 107
Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam ( Jember :
Mutiara Offset, 1985)
Ardiansyah, Lilik.2013. Pemikiran Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan. Yogyakarta.
H. Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Cet. 2; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2001), h. 5.
Ahmad Amin, Zhural-Islam, Vol. 2. (Cet. 3; Kairo: t.p., 1962), 17
Hasan Tamim ‘al-Muqaddimah ‘dalam Tahzibal-AkhlaqwaTathbiral-‘A’raq (Beirut: Mansyurah Dar al-
Maktabahal-Hayat, 1398 H), h. 5-8

40

Anda mungkin juga menyukai