Anda di halaman 1dari 30

NAMA : ERFIN NIKMATUS SOFIYAH

JURUSAN : PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

KELAS : PB 2016

NIM : 16020074131

TEORI BELAJAR HUMANISTIK SERTA PENERAPANNYA DALAM


PEMBELAJARAN

I. PENDAHULUAN
Psikologi humanistik merupakan salah satu aliran dalam psikologi yang
muncul pada tahun 1950-an, dengan akar pemikiran dari kalangan
eksistensialisme yang berkembang pada abad pertengahan. Pada akhir tahun
1950-an, para ahli psikologi, seperti : Abraham Maslow, Carl Rogers dan Clark
Moustakas mendirikan sebuah asosiasi profesional yang berupaya mengkaji
secara khusus tentang berbagai keunikan manusia, seperti tentang : self (diri),
aktualisasi diri, kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, hakikat, individualitas dan
sejenisnya. Kehadiran psikologi humanistik muncul sebagai reaksi atas aliran
psikoanalisis dan behaviorisme serta dipandang sebagai “kekuatan ketiga “
dalam aliran psikologi. Psikoanalisis dianggap sebagai kekuatan pertama dalam
psikologi yang awal mulanya datang dari psikoanalisis ala Freud yang berusaha
memahami tentang kedalaman psikis manusia yang dikombinasikan dengan
kesadaran pikiran guna menghasilkan kepribadian yang sehat. Kelompok
psikoanalis berkeyakinan bahwa perilaku manusia dikendalikan dan diatur oleh
kekuatan tak sadar dari dalam diri. Kekuatan psikologi yang kedua adalah
behaviorisme yang dipelopori oleh Ivan Pavlov dengan hasil pemikirannya
tentang refleks yang terkondisikan. Kalangan Behavioristik meyakini bahwa
semua perilaku dikendalikan oleh faktor-faktor eksternal dari lingkungan itu
sendiri.
Dalam mengembangkan teorinya, psikologi humanistik sangat memperhatikan
tentang dimensi manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya secara
manusiawi dengan menitik-beratkan pada kebebasan individu untuk
mengungkapkan pendapat dan menentukan pilihannya, nilai-nilai, tanggung
jawab personal, otonomi, tujuan dan pemaknaan. Dalam hal ini, James Bugental
(1964) mengemukakan tentang 5 (lima) dalil utama dari psikologi humanistik,
yaitu:
(1) keberadaan manusia tidak dapat direduksi ke dalam komponen-komponen;
(2) manusia memiliki keunikan tersendiri dalam berhubungan dengan manusia
lainnya;
(3) manusia memiliki kesadaran akan dirinya dalam mengadakan hubungan
dengan orang lain;
(4) manusia memiliki pilihan-pilihan dan dapat bertanggung jawab atas pilihan-
pilihanya;
(5) manusia memiliki kesadaran dan sengaja untuk mencari makna, nilai dan
kreativitas.
Terdapat beberapa ahli psikologi yang telah memberikan sumbangan
pemikirannya terhadap perkembangan psikologi humanistik. Sumbangan Snyggs
dan Combs (1949) dari kelompok fenomenologi yang mengkaji tentang
persepsi. Dia percaya bahwa seseorang akan berperilaku sejalan dengan apa
yang dipersepsinya. Menurutnya, bahwa realitas bukanlah sesuatu yang yang
melekat dari kejadian itu sendiri, melainkan dari persepsinya terhadap suatu
kejadian. Dari pemikiran Abraham Maslow (1950) yang memfokuskan pada
kebutuhan psikologis tentang potensi-potensi yang dimiliki manusia. Hasil
pemikirannya telah membantu guna memahami tentang motivasi dan aktualisasi
diri seseorang, yang merupakan salah satu tujuan dalam pendidikan humanistik.
Morris (1954) meyakini bahwa manusia dapat memikirkan tentang proses
berfikirnya sendiri dan kemudian mempertanyakan dan mengoreksinya. Dia
menyebutkan pula bahwa setiap manusia dapat memikirkan tentang perasaan-
perasaannya dan juga memiliki kesadaran akan dirinya. Dengan kesadaran
dirinya, manusia dapat berusaha menjadi lebih baik. Carl Rogers berjasa besar
dalam mengantarkan psikologi humanistik untuk dapat diaplikasikan dalam
pendidikan. Dia mengembangkan satu filosofi pendidikan yang menekankan
pentingnya pembentukan pemaknaan personal selama berlangsungnya proses
pembelajaran dengan melalui upaya menciptakan iklim emosional yang kondusif
agar dapat membentuk pemaknaan personal tersebut. Dia memfokuskan pada
hubungan emosional antara guru dengan siswa.
Berkenaan dengan epistemiloginya, teori-teori humanistik dikembangkan
lebih berdasarkan pada metode penelitian kualitatif yang menitik-beratkan pada
pengalaman hidup manusia secara nyata (Aanstoos, Serlin & Greening, 2000).
Kalangan humanistik beranggapan bahwa usaha mengkaji tentang mental dan
perilaku manusia secara ilmiah melalui metode kuantitatif sebagai sesuatu yang
salah kaprah. Tentunya hal ini merupakan kritikan terhadap kalangan
kognitivisme yang mengaplikasikan metode ilmiah pendekatan kuantitatif dalam
usaha mempelajari tentang psikologi. Sebaliknya, psikologi humanistik pun
mendapat kritikan bahwa teori-teorinya tidak mungkin dapat memfalsifikasi dan
kurang memiliki kekuatan prediktif sehingga dianggap bukan sebagai suatu ilmu
(Popper, 1969, Chalmers, 1999).
Hasil pemikiran dari psikologi humanistik banyak dimanfaatkan untuk
kepentingan konseling dan terapi, salah satunya yang sangat populer adalah dari
Carl Rogers dengan client-centered therapy, yang memfokuskan pada kapasitas
klien untuk dapat mengarahkan diri dan memahami perkembangan dirinya, serta
menekankan pentingnya sikap tulus, saling menghargai dan tanpa prasangka
dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogers
menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang
dihadapinya dan tugas konselor hanya membimbing klien menemukan jawaban
yang benar. Menurut Rogers, teknik-teknik asesmen dan pendapat para konselor
bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment atau pemberian bantuan
kepada klien.
Selain memberikan sumbangannya terhadap konseling dan terapi,
psikologi humanistik juga memberikan sumbangannya bagi pendidikan alternatif
yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik (humanistic education).
Pendidikan humanistik berusaha mengembangkan individu secara keseluruhan
melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental,
dan keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan
humanistic ini.

II. KAJIAN TEORI

1. Pengertian Belajar Menurut Teori Humanistik


Menurut teori humanistik, proses belajar harus di mulai dan di tujukan
untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu,teori
belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian
filsafat,teori kepribadian,dan psikoterapi,dari pada bidang kajian psikologi
belajar.Teori humanistik sangat mementingkan isi yang di pelajari dari pada
proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang
konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang di cita-
citakan,serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal.
Dengan kata lain,teori ini lebih tertarik pada pengertian belajar dalam
bentuknya yang paling ideal dari pada pemahaman tentang proses belajar
sebagaimana apa adanya,seperti yang selama ini di kaji oleh teori-teori
belajar lainnya.
Dalam pelaksanaannya,teori humanistik ini antara lain tampak juga
dalam pendekatan belajar yang di kemukakan oleh Ausubel. Pandangannya
tentang belajar bermakna atau “Meaningful Learning” yang juga tergolong
dalam aliran kognitif ini,mengatakan bahwa belajar merupakan asimilasi
bermakna. Materi yang di pelajari di asimilasikan dan di hubungkan dengan
pengetahuan yang telah di miliki sebelumnya. Faktor motivasi dan
pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa belajar,sebab tanpa
motivasi dan keinginan dari pihak si belajar,maka tidak akan terjadi asimilasi
pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang telah di milikinya.Teori
humanistic berpendapat bahwa teori belajar apapun dapat di
manfaaatkan,asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai
aktualisasi diri,pemahaman diri ,serta realisasi diri orang yang belajar,secara
optimal.
Pemahaman terhadap belajar yang di idealkan menjadikan teori
humanistic dapat memanfaatkan teori belajar apapun asal tujuannya untuk
memanusiakan manusia.Hal ini menjadikan teori humanistic bersifat sangat
eklektik.Tidak dapat di sangkal lagi bahwa setiap pendirian atau pendekatan
belajar tertentu ,akan ada kebaikan dan ada pula kelemahannya. Dalam arti
ini eklektisisme bukanlah suatu system dengan membiarkan unsur-unsur
tersebut dalam keadaan sebagaimana adanya atau aslinya. Teori humanistic
akan memanfaatkan teori-teori apapun,asal tujuannya tercapai,yaitu
memanusiakan manusia.
Manusia adalah makhluk yang kompleks. Banyak ahli di dalam
menyusun teorinya hanya terpukau pada aspek tertentu yang sedang menjadi
pusat perhatiannya. Dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu setiap ahli
melakukan penelitiannya dari sudut pandangnya masing-masing dan
menganggap bahwa keterangannya tentang bagaimana manusia itu belajar
adalah sebagai keterangan yang paling memadai. Maka akan terdapat
berbagai teori tentang belajar sesuai dengan pandangan masing-masing.
Dari penalaran di atas ternyata bahwa perbedaan antara pandangan yang satu
dengan pandangan yang lain sering kali hanya timbul karena perbedaan
sudut pandangan semata,atau kadang-kadang hanya perbedaan
aksentuasi.Jadi keterangan atau pandangan yang berbeda-beda itu hanyalah
keterangan mengenai hal yang satu dan sama di pandang dari sudut yang
berlainan. Dengan demikian teori humanistic dengan pandangannya yang
eklektik yaitu dengan cara memanfaatkan atau merangkumkan berbagai teori
belajar dengan tujuan untuk memanusiakan manusia bukan saja mungkin
untuk di lakukan,tetapi justru harus di lakukan.
2. Tokoh-tokoh Humanistik
Banyak tokoh penganut aliran humanistic,di antaranya adalah Kolb yang
terkenal dengan “Belajar Empat Tahap”nya,Honey dan Mumford dengan
pembagian tentang macam-macam siswa,Hubermas dengan “Tiga macam
tipe belajar”nya,serta Bloom dan Krathwohl yang terkenal dengan
“Taksonomi Bloom”nya. Pandangan masing-masing tokoh terhadap belajar
di deskripsikan sebagai berikut :
2.1. Pandangan Kolb Terhadap Belajar
Kolb seorang ahli penganut aliran humanistic membagi tahap-tahap
belajar menjadi 4 yaitu : a) Tahap pengalaman konkret, b) Tahap
pengamatan aktif dan reflektif, c) Tahap konseptualisasi , dan d) Tahap
eksperimentasi aktif.
a. Tahap pengalaman konkret
Pada tahap paling awal dalam peristiwa belajar adalah seseorang
mampu atau dapat mengalami suatu peristiwa atau suatu kejadian
sebagaimana adanya.Ia dapat melihat dan merasakannya,dapat
menceritakan peristiwa tersebut sesuai dengan apa yang di alaminya.
Namun dia belum memiliki kesadaran tentang hakikat dari peristiwa
terebut.Ia hanya dapat merasakan kejadian tersebut apa adanya,dan
belum dapat memahami serta menjelaskan bagaimana peristiwa itu
terjadi.Ia juga belum dapat memahami mengapa peristiwa tersebut
harus terjadi seperti itu.Kemampuan inilah yang terjadi dan di miliki
seseorang pada tahap paling awal dalam proses belajar.
b. Tahap pengamatan aktif dan reflektif.
Tahap kedua dalam peristiwa belajar adalah bahwa seseorang makin
lama akan semakin mampu melakukan observasi secara aktif
terhadap peristiwa yang di alaminya.Ia mulai berupaya untuk
mencari jawaban dan memikirkan kejadian tersebut.Ia melakukan
refleksi terhadap peristiwa yang di alaminya,dengan
mengembangkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana hal itu bisa
terjadi,dan mengapa hal itu mesti terjadi.Pemahamannya terhadap
peristiwa yang di alaminya semakin berkembang.Kemampuan inilah
yang terjadi dan di miliki seseorang pada tahap kedua dalam belajar.

c. Tahap konseptualisasi
Tahap ketiga dalam proses belajar adalah seseorang sudah mulai
berupaya untuk membuat abstraksi ,mengembangkan suatu teori
,konsep atau hukum dan prosedur tentang sesuatu yang menjadi
objek perhatiannya.Berfikir induktif banyak di lakukan untuk
merumuskan suatu aturan umum atau generalisasi dari berbagai
contoh peristiwa yang di alaminya.Walaupun kejadian-kejadian yang
di amati tampak berbeda-beda,namun memiliki komponen-
komponen yang sama yang dapat di jadikan dasar aturan bersama.
d. Tahap eksperimentasi aktif
Tahap terakhir dari peristiwa belajar menurut Kolb adalah
melakukan eksperimentasi secara aktif. Pada tahap ini seseorang
sudah mampu mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori atau
aturan-aturan ke dalam situasi nyata. Berfikir deduktif banyak di
gunakan untuk mempraktekkan dan menguji teori-teori serta konsep-
konsep di lapangan. Ia tidak lagi mempertanyakan asal usul teori
atau suatu rumus, tetapi ia mampu menggunakan teori atau rumus-
rumus tersebut untuk memecahkan masalah yang di hadapinya, yang
belum pernah ia jumpai sebelumnya.
Tahap-tahap belajar demikian di lukiskan oleh kolb sebagai suatu
siklus yang berkesinambungan dan berlangsung di luar kesadaran
orang yang belajar. Secara teoritis tahap-tahap belajar tersebut
memang dapat di pisahkan, namun dalam kenyataannya proses
peralihan dari satu tahap ke tahap belajar di atasnya sering kali
terjadi begitu saja sulit untuk di tentukan kapan terjadinya.
2.2. Pandangan Honey dan Mumford Terhadap Belajar
Tokoh teori humanistik lainnya adalah Honey dan Mumford.
Pandangannya tentang belajar di ilhami oleh pandangan Kolb mengenai
tahap-tahap belajar di atas. Honey dan Mumford menggolong-golongkan
orang yang belajar ke dalam 4 macam atau golongan, yaitu kelompok
aktivis, golongan reflector, kelompok teoritis dan golongan pragmatis.
Masing-masing kelompok memiliki karakteristik yang berbeda dengan
kelompok lainnya.
Karakteristik yang di maksud adalah:
a. Kelompok Aktivis
Orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok aktivis adalah
mereka yang senang melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam
berbagai kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh pengalaman-
pengalaman baru. Orang-orang tipe ini mudah di ajak berdialog,
memiliki pemikiran terbuka, menghargai pendapat orang lain, dan
mudah percaya pada orang lain. Namun dalam melakukan sesuatu
tindakan sering kali kurang pertimbangan secara matang, dan lebih
banyak di dorong oleh kesenangannya untuk melibatkan diri. Dalam
kegiatan belajar, orang-orang demikian senang pada hal-hal yang
sifatnya penemuan-penemuan baru, seperti pemikiran baru,
pengalaman baru,dan sebagainya, sehingga metode yany cocok
adalah problem solving, brainstorming. Namun mereka akan cepat
bosan dengan kegiatan-kegiatan yang implementasinya memakan
waktu lama.
b. Kelompok Reflektor
Mereka yang termasuk dalam kelompok reflector mempunyai
kecendrungan yang berlawanan dengan mereka yang termasuk
kelompok aktivis. Dalam melakukan suatu tindakan, orang-orang
tipe reflector sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan.
Pertimbangan-pertimbangan baik buruk dan untung rugi, selalu di
perhitungkan dengan cermat dalam memutuskan sesuatu. Orang-
orang demikian tidak mudah di pengaruhi, sehingga mereka
cenderung bersifat konservatif.
c. Kelompok Teoris
Lain halnya dengan orang-orang tipe teoris, mereka memiliki
kecenderungan yang sangat kritis , suka menganalisis, selalu berfikir
rasional dengan menggunakan penalarannya. Segala sesuatu sering
di kembalikan kepada teori dan konsep-konsep atau hukum-hukum.
Mereka tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya
subjektif. Dalam melakukan atau memutuskan sesuatu, kelompok
teoris penuh dengan pertimbangan, sangat skeptis dan tidak
menyukai hal-hal yang bersifat spekulatif. Mereka tampak lebih
tegas dan mempunyai pendirian yang kuat, sehingga tidak mudah
terpengaruh oleh pendapat orang lain.
d. Kelompok pragmatis
Berbeda dengan orang-orang tipe pragmatis, mereka memiliki sifat-
sifat yang praktis, tidak suka berpanjang lebar dengan teori-teori,
konsep-konsep, dalil-dalil dan sebagainya. Bagi mereka yang
penting adalah aspek-aspek praktis, sesuatu yang nyata dan dapat di
laksanakan. Sesuatu hanya bermanfaat jika dapat di praktekkan.
Teori, konsep, dalil, memang penting, tetapi jika itu semua tidak
dapat di praktekkan maka teori, konsep, dalil, dan lain-lain itu tidak
ada gunanya. Bagi mereka, sesuatu adalah baik dan berguna jika
dapat di praktekkan dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
2.3. Pandangan Habermas Terhadap Belajar
Menurut Habermas, belajar baru akan terjadi jika ada interaksi antara
individu dengan lingkungannya. Lingkungan belajar yang di maksud di
sini adalah lingkungan alam maupun lingkungan social, sebab antara
keduanya tidak dapat di pisahkan. Dengan pandangannya yang
demikian, ia membagi tipe belajar menjadi tiga, yaitu : 1) belajar teknis
(technical learning), 2) belajar praktis (practical learning), dan 3)
belajar emansipatoris (emancipator learning). Masing-masing tipe
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Belajar Teknis (technical learning)
Yang di maksud belajar teknis adalah belajar bagaimana seseorang
dapat berinteraksi dengan lingkungan alamnya secara benar.
Pengetahuan dan ketrampilan apa yang di butuhkan dan perlu di
pelajari agar mereka dapat menguasai dan mengelola lingkungan
alam sekitarnya dengan baik. Oleh sebab itu, ilmu-ilmu alam atau
sains amat di pentingkan dalam belajar teknis.
b. Belajar Praktis (Practical learning)
Yang di maksud belajar praktis adalah belajar bagaimana seseorang
dapat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, yaitu dengan orang-
orang di sekelilingnya dengan baik. Kegiatan belajar ini lebih
mengutamakan terjadinya interaksi yang harmonis antar sesama
manusia. Untuk itu bidang-bidang ilmu yang berhubungan dengan
sosiologi, komunikasi, psikologi, antrophologi, dan semacamnya,
amat di perlukan. Sungguh pun demikian,mereka percaya bahwa
pemahaman dan ketrampilan seseorang dalam mengelola lingkungan
alamnya tidak dapat di pisahkan dengan kepentingan manusia pada
umumnya. Oleh sebab itu,interaksi yang benar antara individu
dengan lingkungan alamnya hanya akan tampak dari kaitan atau
relevansinya dengan kepentingan manusia.
c. Belajar Emansipatoris (emancipatory learning)
Lain halnya dengan belajar emansipatoris, belajar emansipatoris
menekankan upaya agar seseorang mencapai suatu pemahaman dan
kesadaran yang tinggi akan terjadinya perubahan atau transformasi
budaya dalam lingkungan sosialnya. Dengan pengertian demikian
maka di butuhkan pengetahuan dan ketrampilan serta sikap yang
benar untuk mendukung terjadinya transformasi kultural tersebut.
Untuk itu, ilmu-ilmu yang berhubungan dengan budaya dan bahasa
amat di perlukan. Pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi
cultural inilah yang oleh Habermas di anggap sebagai tahap belajar
yang paling tinggi, sebab transformasi cultural adalah tujuan
pendidikan yang paling tinggi.
2.4. Pandangan Bloom dan Krathwohl Terhadap Belajar
Selain tokoh-tokoh di atas, Bloom dan Krathwohl juga termasuk
penganut aliran humanis. Mereka lebih menekankan perhatiannya
pada apa yang mesti di kuasai oleh individu (sebagai tujuan belajar),
setelah melalui peristiwa-peristiwa belajar. Tujuan belajar yang di
kemukakannya di rangkum ke dalam tiga kawasan yang di kenal
dengan sebutan Taksonomi Bloom. Melalui Taksonomi Bloom
inilah telah berhasil memberikan inspirasi kepada banyak pakar
pendidikan dalam mengembangkan teori-teori maupun praktek
pembelajaran. Pada tataran praktis, taksonomi Bloom ini telah
membantu para pendidik dan guru untuk merumuskan tujuan-tujuan
belajar yang akan di capai, dengan rumusan yang mudah di pahami.
Berpijak pada Taksonomi Bloom ini pulalah para praktisi
pendidikan dapat merancang program-program pembelajarannya.
Setidaknya di Indonesia, Taksonomi Bloom ini telah banyak di kenal
dan paling populer di lingkungan pendidikan. Secara ringkas, ketiga
kawasan dalam taksonomi Bloom tersebut adalah sebagai berikut :
a. Domain kognitif, terdiri atas 6 tingkatan, yaitu :
1). Pengetahuan (mengingat, menghafal)
2). Pemahaman (menginterpretasikan)
3). Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan masalah)
4). Analisis (menjabarkan suatu konsep)
5). Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu
konsep utuh)
6). Evaluasi (membandingkan nilai-nilai, ide, metode, dsb.)

b. Domain psikomotor, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu :


1). Peniruan (menirukan gerak)
2). Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak)
3). Ketepatan (melakukan gerak dengan benar)
4). Perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan
benar)
5). Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar)

c. Domain Afektif, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu :


1). Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu)
2). Merespon (aktif berpartisipasi)
3). Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai
tertentu)
4). Pengorganisasian (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang di
percayainya)
5).Pengamalan (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola
hidupnya).

2.5. Teori Arthur Combs (1912-1999)


Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan
banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti)
adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila
mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi
yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak
tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena
mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan
penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya
tak lain hanyalah dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan
sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.
Perasaan, persepsi, keyakinan dan maksud merupakan perilaku-perilaku
batiniah yang menyebabkan seseorang berbeda dengan yang lain. Agar
dapat memahami orang lain, seseorang harus melihat dunia orang lain
tersebut, bagaimana ia berpikir dan merasa tentang dirinya. Itulah
sebabnya, untuk mengubah perilaku orang lain, seseorang harus
mengubah persepsinya.
Menurut Combs, perilaku yang keliru atau tidak baik terjadi karena
tidak adanya kesediaan seseorang melakukan apa yang seharusnya
dilakukan sebagai akibat dari adanya sesuatu yang lain, yang lebih
menarik atau memuaskan. Misalkan guru mengeluh murid-muridnya
tidak berminat belajar, sebenarnya hal itu karena murid-murid itu tidak
berminat melakukan apa yang dikehendaki oleh guru. Kalau saja guru
tersebut lalu mengadakan aktivitasaktivitas yang lain, barangkali murid-
murid akan berubah sikap dan reaksinya (Rumini, dkk. 1993).

Sesungguhnya para ahli psikologi humanistik melihat dua bagian


belajar, yaitu diperolehnya informasi baru dan personalisasi informasi
baru tersebut. Adalah keliru jika guru berpendapat bahwa murid akan
mudah belajar kalau bahan pelajaran disusun dengan rapi dan
disampaikan dengan baik, sebab arti dan maknanya tidak melekat pada
bahan pelajaran itu; murid sendirilah yang mencerna dan menyerap arti
dan makna bahan pelajaran tersebut ke dalam dirinya. Yang menjadi
masalah dalam mengajar bukanlah bagaimana bahan pelajaran itu
disampaikan, tetapi bagaimana membantu murid memetik arti dan
makna yang terkandung di dalam bahan pelajaran tersebut, yakni
apabila murid dapat mengaitkan bahan pelajaran tersebut dengan hidup
dan kehidupan mereka, guru boleh bersenang hati bahwa missinya telah
berhasil.

Semakin jauh hal-hal yang terjadi di luar diri seseorang (dunia) dari
pusat lingkaran lingkaran (persepsi diri), semakin kurang pengaruhnya
terhadap seseorang. Sebaliknya, semakin dekat hal-hal tersebut dengan
pusat lingkaran, maka semakin besar pengaruhnya terhadap seseorang
dalam berperilaku. Jadi jelaslah mengapa banyak hal yang dipelajari
oleh murid segera dilupakan, karena sedikit sekali kaitannya dengan
dirinya.
II.6. Teori Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada
dua hal :
a. suatu usaha yang positif untuk berkembang
b. kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam
upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis.
Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut
seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk
mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki
dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan
untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya
semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar
dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri(self).
Maslow berpendapat, bahwa manusia memiliki hierarki kebutuhan yang
dimulai dari kebutuhan jasmaniah-yang paling asasi- sampai dengan
kebutuhan tertinggi yakni kebutuhan estetis. Kebutuhan jasmaniah
seperti makan, minum, tidur dan sex menuntut sekali untuk dipuaskan.
Apabila kebutuhan ini terpuaskan, maka muncullah kebutuhan
keamanan seperti kebutuhan kesehatan dan kebutuhan terhindar dari
bahaya dan bencana. Berikutnya adalah kebutuhan untuk memiliki dan
cinta kasih, seperti dorongan untuk memiliki kawan dan berkeluarga,
kebutuhan untuk menjadi anggota kelompok, dan sebagainya.
Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan ini dapat mendorong seseorang
berbuat lain untuk memperoleh pengakuan dan perhatian, misalnya dia
menggunakan prestasi sebagai pengganti cinta kasih. Berikutnya adalah
kebutuhan harga diri, yaitu kebutuhan untuk dihargai, dihormati, dan
dipercaya oleh orang lain.
Apabila seseorang telah dapat memenuhi semua kebutuhan yang
tingkatannya lebih rendah tadi, maka motivasi lalu diarahkan kepada
terpenuhinya kebutuhan aktualisasi diri, yaitu kebutuhan untuk
mengembangkan potensi atau bakat dan kecenderungan tertentu.
Bagaimana cara aktualisasi diri ini tampil, tidaklah sama pada setiap
orang. Sesudah kebutuhan ini, muncul kebutuhan untuk tahu dan
mengerti, yakni dorongan untuk mencari tahu, memperoleh ilmu dan
pemahaman. Sesudahnya, Maslow berpendapat adanya kebutuhan
estetis, yakni dorongan keindahan, dalam arti kebutuhan akan
keteraturan, kesimetrisan dan kelengkapan.
Maslow membedakan antara empat kebutuhan yang pertama dengan
tiga kebutuhan yang kemudian. Keempat kebutuhan yang pertama
disebutnya deficiency need (kebutuhan yang timbul karena
kekurangan), dan pemenuhan kebutuhan ini pada umumnya bergantung
pada orang lain. Sedangkan ketiga kebutuhan yang lain dinamakan
growth need (kebutuhan untuk tumbuh) dan pemenuhannya lebih
bergantung pada manusia itu sendiri.
Implikasi dari teori Maslow dalam dunia pendidikan sangat penting.
Dalam proses belajar-mengajar misalnya, guru mestinya
memperhatikan teori ini. Apabila guru menemukan kesulitan untuk
memahami mengapa anak-anak tertentu tidak mengerjakan pekerjaan
rumah, mengapa anak tidak dapat tenang di dalam kelas, atau bahkan
mengapa anak-anak tidak memiliki motivasi untuk belajar. Menurut
Maslow, guru tidak bisa menyalahkan anak atas kejadian ini secara
langsung, sebelum memahami barangkali ada proses tidak terpenuhinya
kebutuhan anak yang berada di bawah kebutuhan untuk tahu dan
mengerti. Bisa jadi anak-anak tersebut belum atau tidak melakukan
makan pagi yang cukup, semalam tidak tidur dengan nyenyak, atau ada
masalah pribadi / keluarga yang membuatnya cemas dan takut, dan lain-
lain.

II.7. Teori Carl Rogers


Carl R. Rogers adalah seorang ahli psikologi humanistik yang gagasan-
gagasannya berpengaruh terhadap pikiran dan praktek psikologi di
semua bidang, baik klinis, pendidikan, dan lain-lain. Lebih khusus
dalam bidang pendidikan, Rogers mengutarakan pendapat tentang
prinsip-prinsip belajar yang humanistik, yang meliputi hasrat untuk
belajar, belajar yang berarti, belajar tanpa ancaman, belajar atas inisiatif
sendiri, dan belajar untuk perubahan (Rumini,dkk. 1993).
Adapun penjelasan konsep masing-masing prinsip tersebut adalah
sebagai berikut :
a. Hasrat untuk Belajar
Menurut Rogers, manusia mempunyai hasrat alami untuk belajar.
Hal ini terbukti dengan tingginya rasa ingin tahu anak apabila diberi
kesempatan untuk mengeksplorasi lingkungan. Dorongan ingin tahu
untuk belajar ini merupakan asumsi dasar pendidikan humanistik.
Di dalam kelas yang humanistik anak-anak diberi kesempatan dan
kebebasan untuk memuaskan dorongan ingin tahunya, untuk
memenuhi minatnya dan untuk menemukan apa yang penting dan
berarti tentang dunia di sekitarnya.
b. Belajar yang Berarti
Belajar akan mempunyai arti atau makna apabila apa yang dipelajari
relevan dengan kebutuhan dan maksud anak. Artinya, anak akan
belajar dengan cepat apabila yang dipelajari mempunyai arti
baginya.
c. Belajar Tanpa Ancaman
Belajar mudah dilakukan dan hasilnya dapat disimpan dengan baik
apabila berlangsung dalam lingkungan yang bebas ancaman. Proses
belajar akan berjalan lancer manakala murid dapat menguji
kemampuannya, dapat mencoba pengalaman-pengalaman baru atau
membuat kesalahan-kesalahan tanpa mendapat kecaman yang
bisaanya menyinggung perasaan.
d. Belajar atas Inisiatif Sendiri
Belajar akan paling bermakna apabila hal itu dilakukan atas inisiatif
sendiri dan melibatkan perasaan dan pikiran si pelajar. Mampu
memilih arah belajarnya sendiri sangatlah memberikan motivasi dan
mengulurkan kesempatan kepada murid untuk “belajar bagaimana
caranya belajar” (to learn how to learn ). Tidaklah perlu diragukan
bahwa menguasai bahan pelajaran itu penting, akan tetapi tidak
lebih penting daripada memperoleh kecakapan untuk mencari
sumber, merumuskan masalah, menguji hipotesis atau asumsi, dan
menilai hasil. Belajar atas inisiatif sendiri memusatkan perhatian
murid baik pada proses maupun hasil belajar.
Belajar atas inisiatif sendiri juga mengajar murid menjadi bebas,
tidak bergantung, dan percaya pada diri sendiri. Apabila murid
belajar atas inisiatif sendiri, ia memiliki kesempatan untuk
menimbang-nimbang dan membuat keputusan, menentukan pilihan
dan melakukan penilaian. Dia menjadi lebih bergantung pada
dirinya sendiri dan kurang bersandar pada penilaian pihak lain.
Di samping atas inisiatif sendiri, belajar juga harus melibatkan
semua aspek pribadi, kognitif maupun afektif. Rogers dan para ahli
humanistik yang lain menamakan jenis belajar ini sebagai whole-
person learning, belajar dengan seluruh pribadi, belajar dengan
pribadi yang utuh. Para ahli humanistik percaya, bahwa belajar
dengan tipe ini akan menghasilkan perasaan memiliki (feeling of
belonging ) pada diri murid. Dengan demikian, murid akan merasa
terlibat dalam belajar, lebih bersemangat menangani tugas-tugas dan
yang terpenting adalah senantiasa bergairah untuk terus belajar.
e. Belajar dan Perubahan
Prinsip terakhir yang dikemukakan oleh Rogers ialah bahwa belajar
yang paling bermanfaat ialah bejar tentang proses belajar. Menurut
Rogers, di waktu-waktu yang lampau murid belajar mengenai fakta-
fakta dan gagasan-gagasan yang statis. Waktu itu dunia lambat
brerubah, dan apa yang diperoleh di sekolah sudah dipandang cukup
untuk memenuhi tuntutan zaman. Saat ini perubahan merupakan
fakta hidup yang sentral. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi selalu
maju dan melaju. Apa yang dipelajari di masa lalu tidak dapat
membekali orang untuk hidup dan berfungsi baik di masa kini dan
masa yang akan dating. Dengan demikian, yang dibutuhkan saat ini
adalah orang yang mampu belajar di lingkungan yang sedang
berubah dan akan terus berubah.
30. Aplikasi Teori Belajar Humanistik Dalam Kegiatan
Pembelajaran
Humanisme dalam Islam sebenarnya sudah terumuskan dalam
konsep khalifatullah dalam Islam. Allah berfiman dalam surat Al-
Baqarah ayat 30 - 32:30. Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah)
di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau?"
Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui."
31. Dan Dia mengajarkan kepada Adam
nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya
kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku
nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang
benar!"
32.Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau,
tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau
ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana
Konsep pembelajaran khalifatullah dalam Islam yang termaktub
dalam surat Al-Baqarah ayat 30 - 32; substansinya mengandung tiga
hal secara jelas, yaitu: (1) manusia adalah pilihan Tuhan; (2)
keberadaan manusia dengan segala kelebihannya dimaksudkan
sebagai wakil Tuhan di atas bumi (khalifatullah fi al-ardl), dan (3)
manusia adalah pribadi yang bebas yang menanggung segala risiko
atas perbuatannya.
Terkait dengan konsep di atas, sistem pengajaran di lembaga
pendidikan, termasuk lembaga pendidikan Islam yang bermasalah,
paling tidak ditandai oleh beberapa hal berikut: (1) pengajaran
materi secara umum termasuk pengajaran agama belum mampu
melahirkan creativity. Akar masalah di sini terletak pada satu
kenyataan bahwa bahan pengajaran di kurikulum kita terlalu
overload; (2) morality atau akhlak di sekolah umum masih menjadi
masalah utama, dan (3) punishment atau hukuman dalam berbagai
bentuk lebih tampak dari reward atau penghargaan.
Berikut banyak sekali hal-hal yang merupakan aplikasi dari teori-
teori humanistik, walaupun hanya akan ditampilkan sebagian
aplikasi dalam proses pembelajaran, dikarenakan keterbatasan ruang
dan waktu.
1. Pendidikan Terbuka (Open Education)
Pendidikan Terbuka adalah proses pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada murid untuk bergerak secara bebas di sekitar
kelas dan memilih aktivitas belajar mereka sendiri. Guru hanya
berperan sebagai pembimbing. Ciri utama dari proses ini adalah
lingkungan fisik kelas yang berbeda dengan kelas tradisional,
karena murid bekerja secara individual atau dalam kelompok-
kelompok kecil. Dalam proses ini mensyaratkan adanya pusat-
pusat belajar atau pusat-pusat kegiatan di dalam kelas yang
memungkinkan murid mengeksplorasi bidang-bidang pelajaran,
topik-topik, ketrampilan ketrampilan atau minat-minat tertentu.
Pusat ini dapat memberikan petunjuk untuk mempelajari suatu
topik tanpa hadirnya guru dan dapat mencatat partisipasi dan
kemajuan murid untuk nantinya dibicarakan dengan guru
(Rumini, 1993).
Adapun kriteria yang disyaratkan dengan model ini adalah
sebagai berikut :
a. Tersedia fasilitas yang memudahkan proses belajar, artinya
berbagai macam bahan yang diperlukan untuk belajar harus ada.
Murid tidak dilarang untuk bergerak secara bebas di ruang
kelas, tidak dilarang bicara, tidak ada pengelompokan atas dasar
tingkat kecerdasan.
b. Adanya suasana penuh kasih sayang, hangat, hormat dan
terbuka. Guru menangani masalah-masalah perilaku dengan
jalan berkomunikasi secara pribadi dengan murid yang
bersangkutan, tanpa melibatkan kelompok.
c. Adanya kesempatan bagi guru dan murid untuk bersamasama
mendiagnosis peristiwa-peristiwa belajar, artinya murid
memeriksa pekerjaan mereka sendiri, guru mengamati dan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
d. Pengajaran yang bersifat individual, sehingga tidak ada tes
ataupun buku kerja
e. Guru mempersepsi dengan cara mengamati setiap proses yang
dilalui murid dan membuat catatan dan penilaian secara
individual, hanya sedikit sekali diadakan tes formal.
f. Adanya kesempatan untuk pertumbuhan professional bagi
guru, dalam arti guru boleh menggunakan bantuan orang lain
termasuk rekan sekerjanya.
g. Suasana kelas yang hangat dan ramah sehingga mendukung
proses belajar yang membuat murid nyaman dalam melakukan
sesuatu.

Perlu untuk diketahui, bahwa penelitian tentang efektivitas


model ini menunjukkan adanya perbedaan dengan proses
pendidikan tradisional dalam hal kreativitas, dorongan
berprestasi, kebebasan dan hasil-hasil yang bersifat afektif
secara lebih baik. Akan tetapi dari segi pencapaian prestasi
belajar akademik, pengajaran tradisional lebih berhasil
dibandingkan poses pendidikan terbuka ini.

2. Cooperative Learning atau Belajar Kooperatif


Belajar kooperatif merupakan fondasi yang baik untuk
meningkatkan dorongan berprestasi murid. Dalam prakteknya,
belajar kooperatif memiliki tiga karakteristik :
a. Murid bekerja dalam tim-tim belajar yang kecil (4 – 6 orang
anggota), dan komposisi ini tetap selama beberapa minggu.
b. Murid didorong untuk saling membantu dalam mempelajari
bahan yang bersifat akademik dan melakukannya secara
berkelompok.
c. Murid diberi imbalan atau hadiah atas dasar prestasi
kelompok.

Adapun teknik-teknik dalam belajar koperatif ini ada 4 (empat)


macam, yakni :
a. Team-Game Turnamen
Dalam teknik ini murid-murid yang kemampuan dan jenis
kelaminnya berbeda disatukan dalam tim yang terdiri dari empat
sampai lima orang anggota. Setelah guru menyajikan bahan
pelajaran, lalu tim mengerjakan lembaran-lembaran kerja, saling
mengajukan pertanyaan, dan belajar bersama untuk persiapan
menghadapi perlombaan atau turnamen yang diadakan sekali
seminggu. Dalam turnamen penentuan anggota tim berdasarkan
kemampuan pada minggu sebelumnya. Hasilnya, murid-murid
yang berprestasi paling rendah pada setiap kelompok memiliki
peluang yang sama untuk memperoleh poin bagi timnya sebagai
murid yang berprestasi paling tinggi.
Adapun jalannya turnamen adalah para murid secara bergantian
mengambil kartu dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
tertera pada kartu itu, yakni pertanyaan yang sesuai dengan
materi yang telah dipelajari selama seminggu itu. Pada akhir
turnamen, guru menyiapkan lembar berikut tentang tim-tim
yang berhasil dan skor-skor tertinggi yang dicapai.
Meskipun keanggotaan tim tetap sama, tetapi tiga orang yang
mewakili tim untuk bertanding dapat berubah-ubah atas dasar
penampilan dan prestasi masing-masing anggota. Misalnya saat
ini prestasi murid rendah dan ia bertanding dengan murid lain
yang kemampuannya serupa, maka minggu berikutnya ia bisa
saja bertanding melawan murid-murid yang berprestasi tinggi
manakala ia menjadi lebih baik.
b. Student Teams-Achievement Divisions
Teknik ini menggunakan tim yang terdiri dari empat sampai
lima orang anggota, akan tetapi kegiatan turnamen diganti
dengan saling bertanya selama lima belas menit, dimana
pertanyaanpertanyaan yang diajukan terlebih dulu disusun oleh
tim. Skorskor pertanyaan diubah menjadi skor-skor tim, skor-
skor yang tertinggi memperoleh poin lebih dari pada skor-skor
yang lebih rendah, disamping itu juga ada skor perbaikan.
c. Jigsaw
Murid dimasukkan ke dalam tim-tim kecil yang bersifat
heterogen, kemudian tim diberi bahan pelajaran. Murid
mempelajari bagian masing-masing bersama-sama dengan
anggota tim lain yang mendapat bahan serupa. Setelah itu
mereka kembali ke kelompoknya masing-masing untuk
mengajarkan bagian yang telah dipelajarinya bersama dengan
anggota tim lain tersebut, kepada teman-teman dalam timnya
sendiri. Akhirnya semua anggota tim dites mengenai seluruh
bahan pelajaran. Adapun skor yang diperoleh murid dapat
ditentukan melalui dua cara, yakni skor untuk masing-masing
murid dan skor yang digunakan untuk membuat skor tim.
d. Group Investigation
Disini para murid bekerja di dalam kelompok-kelompok kecil
untuk menanggapi berbagai macam proyek kelas. Setiap
kelompok membagi tugas tersebut menjadi sub-sub topik yang
dibebankan kepada setiap anggota kelompok untuk menelitinya
dalam rangka mencapai tujuan kelompok. Setelah itu setiap
kelompok mengajukan hasil penelitiannya kepada kelas.
Berdasarkan penelitian, teknik-teknik belajar kooperatif pada
umumnya berefek positif terhadap prestasi akademik. Selain itu
teknik ini juga meningkatkan perilaku kooperatif dan altruistik
murid. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teknik ini
merupakan teknik mengajar yang efektif untuk mencapai tujuan
instruksional kelas.
2. Independent Learning (Pembelajaran Mandiri)
Pembelajaran Mandiri adalah proses pembelajaran yang
menuntut murid menjadi subjek yang harus merancang,
mengatur dan mengontrol kegiatan mereka sendiri secara
bertanggung jawab. Proses ini tidak bergantung pada subjek
maupun metode instruksional, melainkan kepada siapa yang
belajar (murid), mencakup siapa yang memutuskan tentang apa
yang akan dipelajari, siapa yang harus mempelajari sesuatu hal,
metode dan sumber apa saja yang akan digunakan, dan
bagaimana cara mengukur keberhasilan upaya belajar yang telah
dilaksanakan (Lowry, dalam Harsono, 2007).
Dalam pelaksanaannya, proses ini cocok untuk pembelajaran di
tingkat atau level sekolah menengah ataupun perguruan tinggi,
karena menuntut kemandirian yang tinggi dari peserta didik. Di
sini pendidik beralih fungsi menjadi fasilitator proses belajar,
bukan sebagai penentu proses belajar. Meski demikian, pendidik
harus siap untuk menjadi tempat bertanya dan bahkan
diharapkan pendidik betul-betul ahli di bidang yang dipelajari
peserta.
Agar tidak terjadi kesenjangan hubungan antara peserta dan
pendidik, perlu dilakukan negosiasi dalam perancangan
pembelajaran secara keseluruhan (Harsono, 2007). Perancangan
pembelajaran ini merupakan alat yang fleksibel tetapi efektif
untuk membantu peserta didik dalam penentuan tujuan belajar
secara individual. Tanggung jawab peserta didik dan pengajar
harus dibuat secara eksplisit dalam perancangan pembelajaran.
Partisipasi para peserta didik dalam penentuan tujuan belajar
akan membuat mereka lebih berkomitmen terhadap proses
pembelajaran.

4. Student Centered Learning (Belajar yang Terpusat pada


Siswa)

Student Centered Learning atau disingkat SCL merupakan


strategi pembelajaran yang menempatkan peserta didik secara
aktif dan mandiri, serta bertanggung jawab atas pembelajaran
yang dilakukan. Dengan SCL peserta diharapkan mampu
mengembangkan ketrampilan berpikir secara kritis,
mengembangkan system dukungan social untuk pembelajaran
mereka, mampu memilih gaya belajar yang paling efektif dan
diharapkan menjadi life-long learner dan memiliki jiwa
entrepreneur.
Sama seperti model sebelumnya, SCL banyak diterapkan dalam
system pendidikan di tingkat Sekolah Menengah (Harsono,
2007). Dengan SCL siswa memiliki keleluasaan untuk
mengembangkan segenap potensinya (cipta, karsa dan rasa),
mengeksplorasi bidang yang diminatinya, membangun
pengetahuan dan mencapai kompetensinya secara aktif, mandiri
dan bertanggung jawab melalui proses pembelajaran yang
bersifat kolaboratif, kooperatif dan kontekstual. Adapun
metode-metode SCL antara lain :
a. Cooperative Learning (Pembelajaran Kooperatif)
Prinsip metode ini adalah siswa belajar dari dan dengan teman-
temannya untuk mencapai suatu tujuan belajar dengan secara
penuh bertanggung jawab atas hasil pembelajaran yang dicapai
(Afiatin, 2007). Disini Guru membagi otoritas dengan para
siswa. Secara detail prosedur yang dilakukan dalam metode ini
adalah :
 Guru menjelaskan topik yang akan dipelajari
 Kelas dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil, setiap
kelompok terdiri dari 4 – 6 orang
 Guru membagi sub-sub topik kepada masing-masing
kelompok, disertai dengan pertanyaan atau tugas-tugas yang
berkaitan dengan masing-masing sub topik
 Guru meminta masing-masing kelompok mendiskusikan,
menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas-tugas pada
masing-masing sub topik
 Guru meminta masing-masing kelompok mempresentasikan
hasil diskusi atau pekerjaannya dalam kelompok
 Guru memfasilitasi pembahasan topik secara menyeluruh
dalam kelas

b. Collaborative Learning (Pembelajaran Kolaboratif)


Prinsip dari Pembelajaran Kolaboratif adalah bahwa
pembelajaran merupakan proses yang aktif. Siswa
mengasimilasi informasi dan menghubungkannya dengan
pengetahuan baru melalui kerangka acuan pengetahuan
sebelumnya. Pembelajaran memerlukan suatu tantangan yang
akan membuka wawasan para siswa untuk secara aktif
berinteraksi dengan temannya. Di sini siswa akan mendapatkan
keuntungan lebih jika mereka saling berbagi pandangan yang
berbeda dengan temannya (Afiatin, 2007).
Pembelajaran terjadi dalam lingkungan sosial yang
memungkinkan terjadinya komunikasi dan saling bertukar
informasi, yang akan memudahkan siswa menciptakan kerangka
pemikiran dan pemaknaan terhadap hal yang dipelajari. Siswa
ditantang baik secara sosial maupun emosional ketika
menghadapi perbedaan perspektif dan memerlukan suatu
kemampuan untuk dapat mempertahankan ide-idenya. Dengan
demikian melalui proses ini siswa belajar menciptakan keunikan
kerangka konseptual masing-masing dan secara aktif terlibat
dalam proses membentuk pengetahuan.
Adapun prosedur pembelajaran kolaboratif adalah sebagai
berikut:
1. Guru menjelaskan topik yang akan dipelajari
2. Guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil yang
terdiri dari 5 orang
3. Guru membagi lembar kasus yang terkait dengan topik yang
dipelajari
4. Siswa diminta membaca kasus dan mengerjakan tugas yang
terkait dengan persepsi dan solusi terhadap kasus
5. Siswa diminta mendiskusikan hasil pekerjaannya dalam
kelompok kecil masing-masing dan mendiskusikan kesepakatan
kelompok
6. Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi
kelompoknya dalam kelas dan meminta kelompok lain untuk
memberikan tanggapan.
c. Competitive Learning (Pembelajaran Kompetitif)
Prinsip pembelajaran ini adalah memfasilitasi siswa saling
berkompetisi dengan temannya untuk mencapai hasil terbaik.
Kompetisi dapat dilakukan secara individual maupun kelompok.
Kompetisi individual berarti siswa berkompetisi dengan dirinya
sendiri dibandingkan dengan pencapaian prestasi sebelumnya.
Kompetisi kelompok dilakukan dengan membangun kerjasama
kelompok untuk dapat mencapai prestasi tertinggi (Afiatin,
2007).
Prosedur proses pembelajaran kompetitif adalah sebagai berikut
1. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran
2. Guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil
dengan jumlah anggota 5 – 7 orang
3. Guru menjelaskan prosedur tugas yang akan dikompetisikan
dan standar penilaiannya
4. Guru memfasilitasi kelompok untuk dapat mengerjakan tugas
dengan sebaik-baiknya
5. Masing-masing kelompok menunjukkan kinerjanya
6. Guru memberikan penilaian terhadap kinerja kelompok
berdasar standar kinerja yang telah disepakati

d. Case Based Learning (Pembelajaran Berdasar Kasus)


Prinsip dasar dari metode ini adalah memfasilitasi siswa untuk
menguasai konsep dan menerapkannya dalam praktek nyata.
Dalam hal ini analisis kasus yang dikuasai tidak hanya
berdasarkan common sense melainkan dengan bekal materi
yang telah dipelajari. Pada akhirnya metode ini memfasilitasi
siswa untuk berkomunikasi dan berargumentasi terhadap
analisis suatu kasus (Afiatin, 2007)
Prosedur yang dilakukan dalam metode ini adalah :
1. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan metode yang akan
digunakan
2. Guru meminta siswa mempelajari konsep dasar yang
berkaitan dengan tujuan pembelajaran, dengan cara membaca
buku teks yang membahas materi tersebut.
3. Guru membagikan lembar kasus yang telah dipersiapkan,
dimana kasus ini haruslah relevan dengan tujuan dan materi
pembelajaran
4. Guru membagikan lembar pertanyaan yang harus dijawab
oleh siswa berkaitan dengan pembahasan kasus tersebut.
Pertanyaan harus disusun sedemikian rupa sehingga menjadi
panduan siswa untuk dapat menganalisis kasu berdasarkan
konsep dasar yang telah dipelajari
5. Guru meminta masing-masing siswa mempresentasikan hasil
analisis kasusnya. Siswa dan Guru dapat memberikan tanggapan
terhadap presentasi yang disajikan.

Pada intinya, pembelajaran dengan SCL sangat bertentangan


dengan proses pembelajaran konvensional yang cenderung
Teacher Centered Instruction, yakni proses pembelajaran yang
mengandalkan guru atau guru sebagai sentralnya. Di sini
nampak aplikasi dari aliran humanistik, yang sangat
‘memanusiakan’ peserta didik.
III. PENUTUP

Psikologi humanistik sangat relevan dengan dunia pendidikan, karena aliran ini
selalu mendorong peningkatan kualitas diri manusia melalui penghargaannya
terhadap potensi-potensi positif yang ada pada setiap insan. Seiring dengan
perubahan dan tuntutan zaman, proses pendidikan pun senantiasa berubah.
Dengan adanya perubahan dalam strategi pendidikan dari waktu ke waktu,
humanistik memberikan arahan yang signifikan dalam pencapaian tujuan ini.
Menurut teori humanistic tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia.
Proses belajar dianggap berhasil jika siswa telah memahami lingkungannya dan
dirinya sendiri. Dengan kata lain, siswa telah mampu mencapai aktualisasi diri
secara optimal. Teori humanistic cenderung bersifat eklektik, maksudnya teori
ini dapat memanfaatkan teori apa saja asal tujuannya tercapai.
Aplikasi teori humanistik dalam kegiatan pembelajaran cenderung mendorong
siswa untuk berfikir induktif. Teori ini juga amat mementingkan factor
pengalaman dan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar.

IV. DAFTAR RUJUKAN


Afiatin, T. 2007. Strategi Pembelajaran dengan Paradigma Student Centered
Learning (makalah dalam Lokakarya Peningkatan Pembelajaran melalui SCL,
FPISB UII, Yogyakarta, 4 April 2007).
Budiningsih, A. 2008. Belajar dab Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Harsono, 2007. Student Centered Learning (makalah dalam Lokakarya
Peningkatan Pembelajaran melalui SCL, FPISB UII, Yogyakarta, 4 April 2007).
Koswara, E. 1991. Teori-teori Kepribadian. Bandung: PT Eresco.
Roberts, T. B., 1975. Four Psychologies Applied to Education : Freudian,
Behavioral, Humanistic, Transpersonal. New York: Schenkman Pub. Co.
Rumini, S. dkk. 1993. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta
ANALISIS

Teori belajar humanistik merupakan teori belajar yang bersifat abstrak.


Abstrak mengandung arti bahwa teori tersebut cenderung lebih jelas dan rinci
yang mendekati bidang psikologi belajar. Teori humanistik mengatakan bahwa
teori belajar bertujuan untuk memanusiakan manusia agar bisa mencapai
pemahaman diri secara efektif. Teori humanistic juga bersifat eklektik,
maksudnya adalah teori ini dapat memanfaatkan teori apa saja asal tujuannya
tercapai dalam kegiatan pembelajaran. Dalam teori humanistik terdapat tokoh-
tokoh terkenal yang menganut teori ini di antaranya adalah Kolb yang terkenal
dengan “Belajar Empat Tahap”, Honey dan Mumford dengan pembagian tentang
macam-macam siswa, Hubermas dengan “Tiga macam tipe belajar”, serta
Bloom dan Krathwohl yang terkenal dengan “Taksonomi Bloom”.
Ahli psikologi humanistik melihat dua bagian belajar, yaitu
diperolehnya informasi baru dan personalisasi informasi baru. Menurut pendapat
Maslow, bahwa manusia memiliki kebutuhan yang dimulai dari kebutuhan
jasmani sampai dengan kebutuhan estetis. Ketidakmampuan memenuhi
kebutuhan dapat mendorong seseorang berbuat lain untuk memperoleh suatu
perhatian. Teori Maslow dalam dunia pendidikan sangat penting seperti dalam
proses belajar-mengajar. Dalam teori Humanistik dapat diterapkan dalam
pembelajaran yaitu dengan metode Pembelajaran Kooperatif yaitu dengan
prinsip siswa belajar untuk mencapai tujuan belajar dengan penuh tanggung
jawab atas hasil pembelajaran yang dicapai (Afiatin, 2007). Metode selanjutnya
yaitu dengan Pembelajaran Mandiri yaitu proses pembelajaran yang harus
merancang, mengatur dan mengontrol kegiatan secara bertanggung jawab.
Proses ini lebih cocok digunakan untuk pembelajaran di perguruan tinggi,
karena menuntut kemandirian yang tinggi dari peserta didik. Di sini pendidik
beralih fungsi menjadi fasilitator proses belajar, bukan sebagai penentu proses
belajar. Meski demikian, pendidik harus siap untuk menjadi tempat bertanya dan
bahkan diharapkan pendidik betul-betul ahli di bidang yang dipelajari peserta.

Anda mungkin juga menyukai