KELAS : PB 2016
NIM : 16020074131
I. PENDAHULUAN
Psikologi humanistik merupakan salah satu aliran dalam psikologi yang
muncul pada tahun 1950-an, dengan akar pemikiran dari kalangan
eksistensialisme yang berkembang pada abad pertengahan. Pada akhir tahun
1950-an, para ahli psikologi, seperti : Abraham Maslow, Carl Rogers dan Clark
Moustakas mendirikan sebuah asosiasi profesional yang berupaya mengkaji
secara khusus tentang berbagai keunikan manusia, seperti tentang : self (diri),
aktualisasi diri, kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, hakikat, individualitas dan
sejenisnya. Kehadiran psikologi humanistik muncul sebagai reaksi atas aliran
psikoanalisis dan behaviorisme serta dipandang sebagai “kekuatan ketiga “
dalam aliran psikologi. Psikoanalisis dianggap sebagai kekuatan pertama dalam
psikologi yang awal mulanya datang dari psikoanalisis ala Freud yang berusaha
memahami tentang kedalaman psikis manusia yang dikombinasikan dengan
kesadaran pikiran guna menghasilkan kepribadian yang sehat. Kelompok
psikoanalis berkeyakinan bahwa perilaku manusia dikendalikan dan diatur oleh
kekuatan tak sadar dari dalam diri. Kekuatan psikologi yang kedua adalah
behaviorisme yang dipelopori oleh Ivan Pavlov dengan hasil pemikirannya
tentang refleks yang terkondisikan. Kalangan Behavioristik meyakini bahwa
semua perilaku dikendalikan oleh faktor-faktor eksternal dari lingkungan itu
sendiri.
Dalam mengembangkan teorinya, psikologi humanistik sangat memperhatikan
tentang dimensi manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya secara
manusiawi dengan menitik-beratkan pada kebebasan individu untuk
mengungkapkan pendapat dan menentukan pilihannya, nilai-nilai, tanggung
jawab personal, otonomi, tujuan dan pemaknaan. Dalam hal ini, James Bugental
(1964) mengemukakan tentang 5 (lima) dalil utama dari psikologi humanistik,
yaitu:
(1) keberadaan manusia tidak dapat direduksi ke dalam komponen-komponen;
(2) manusia memiliki keunikan tersendiri dalam berhubungan dengan manusia
lainnya;
(3) manusia memiliki kesadaran akan dirinya dalam mengadakan hubungan
dengan orang lain;
(4) manusia memiliki pilihan-pilihan dan dapat bertanggung jawab atas pilihan-
pilihanya;
(5) manusia memiliki kesadaran dan sengaja untuk mencari makna, nilai dan
kreativitas.
Terdapat beberapa ahli psikologi yang telah memberikan sumbangan
pemikirannya terhadap perkembangan psikologi humanistik. Sumbangan Snyggs
dan Combs (1949) dari kelompok fenomenologi yang mengkaji tentang
persepsi. Dia percaya bahwa seseorang akan berperilaku sejalan dengan apa
yang dipersepsinya. Menurutnya, bahwa realitas bukanlah sesuatu yang yang
melekat dari kejadian itu sendiri, melainkan dari persepsinya terhadap suatu
kejadian. Dari pemikiran Abraham Maslow (1950) yang memfokuskan pada
kebutuhan psikologis tentang potensi-potensi yang dimiliki manusia. Hasil
pemikirannya telah membantu guna memahami tentang motivasi dan aktualisasi
diri seseorang, yang merupakan salah satu tujuan dalam pendidikan humanistik.
Morris (1954) meyakini bahwa manusia dapat memikirkan tentang proses
berfikirnya sendiri dan kemudian mempertanyakan dan mengoreksinya. Dia
menyebutkan pula bahwa setiap manusia dapat memikirkan tentang perasaan-
perasaannya dan juga memiliki kesadaran akan dirinya. Dengan kesadaran
dirinya, manusia dapat berusaha menjadi lebih baik. Carl Rogers berjasa besar
dalam mengantarkan psikologi humanistik untuk dapat diaplikasikan dalam
pendidikan. Dia mengembangkan satu filosofi pendidikan yang menekankan
pentingnya pembentukan pemaknaan personal selama berlangsungnya proses
pembelajaran dengan melalui upaya menciptakan iklim emosional yang kondusif
agar dapat membentuk pemaknaan personal tersebut. Dia memfokuskan pada
hubungan emosional antara guru dengan siswa.
Berkenaan dengan epistemiloginya, teori-teori humanistik dikembangkan
lebih berdasarkan pada metode penelitian kualitatif yang menitik-beratkan pada
pengalaman hidup manusia secara nyata (Aanstoos, Serlin & Greening, 2000).
Kalangan humanistik beranggapan bahwa usaha mengkaji tentang mental dan
perilaku manusia secara ilmiah melalui metode kuantitatif sebagai sesuatu yang
salah kaprah. Tentunya hal ini merupakan kritikan terhadap kalangan
kognitivisme yang mengaplikasikan metode ilmiah pendekatan kuantitatif dalam
usaha mempelajari tentang psikologi. Sebaliknya, psikologi humanistik pun
mendapat kritikan bahwa teori-teorinya tidak mungkin dapat memfalsifikasi dan
kurang memiliki kekuatan prediktif sehingga dianggap bukan sebagai suatu ilmu
(Popper, 1969, Chalmers, 1999).
Hasil pemikiran dari psikologi humanistik banyak dimanfaatkan untuk
kepentingan konseling dan terapi, salah satunya yang sangat populer adalah dari
Carl Rogers dengan client-centered therapy, yang memfokuskan pada kapasitas
klien untuk dapat mengarahkan diri dan memahami perkembangan dirinya, serta
menekankan pentingnya sikap tulus, saling menghargai dan tanpa prasangka
dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogers
menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang
dihadapinya dan tugas konselor hanya membimbing klien menemukan jawaban
yang benar. Menurut Rogers, teknik-teknik asesmen dan pendapat para konselor
bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment atau pemberian bantuan
kepada klien.
Selain memberikan sumbangannya terhadap konseling dan terapi,
psikologi humanistik juga memberikan sumbangannya bagi pendidikan alternatif
yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik (humanistic education).
Pendidikan humanistik berusaha mengembangkan individu secara keseluruhan
melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental,
dan keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan
humanistic ini.
c. Tahap konseptualisasi
Tahap ketiga dalam proses belajar adalah seseorang sudah mulai
berupaya untuk membuat abstraksi ,mengembangkan suatu teori
,konsep atau hukum dan prosedur tentang sesuatu yang menjadi
objek perhatiannya.Berfikir induktif banyak di lakukan untuk
merumuskan suatu aturan umum atau generalisasi dari berbagai
contoh peristiwa yang di alaminya.Walaupun kejadian-kejadian yang
di amati tampak berbeda-beda,namun memiliki komponen-
komponen yang sama yang dapat di jadikan dasar aturan bersama.
d. Tahap eksperimentasi aktif
Tahap terakhir dari peristiwa belajar menurut Kolb adalah
melakukan eksperimentasi secara aktif. Pada tahap ini seseorang
sudah mampu mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori atau
aturan-aturan ke dalam situasi nyata. Berfikir deduktif banyak di
gunakan untuk mempraktekkan dan menguji teori-teori serta konsep-
konsep di lapangan. Ia tidak lagi mempertanyakan asal usul teori
atau suatu rumus, tetapi ia mampu menggunakan teori atau rumus-
rumus tersebut untuk memecahkan masalah yang di hadapinya, yang
belum pernah ia jumpai sebelumnya.
Tahap-tahap belajar demikian di lukiskan oleh kolb sebagai suatu
siklus yang berkesinambungan dan berlangsung di luar kesadaran
orang yang belajar. Secara teoritis tahap-tahap belajar tersebut
memang dapat di pisahkan, namun dalam kenyataannya proses
peralihan dari satu tahap ke tahap belajar di atasnya sering kali
terjadi begitu saja sulit untuk di tentukan kapan terjadinya.
2.2. Pandangan Honey dan Mumford Terhadap Belajar
Tokoh teori humanistik lainnya adalah Honey dan Mumford.
Pandangannya tentang belajar di ilhami oleh pandangan Kolb mengenai
tahap-tahap belajar di atas. Honey dan Mumford menggolong-golongkan
orang yang belajar ke dalam 4 macam atau golongan, yaitu kelompok
aktivis, golongan reflector, kelompok teoritis dan golongan pragmatis.
Masing-masing kelompok memiliki karakteristik yang berbeda dengan
kelompok lainnya.
Karakteristik yang di maksud adalah:
a. Kelompok Aktivis
Orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok aktivis adalah
mereka yang senang melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam
berbagai kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh pengalaman-
pengalaman baru. Orang-orang tipe ini mudah di ajak berdialog,
memiliki pemikiran terbuka, menghargai pendapat orang lain, dan
mudah percaya pada orang lain. Namun dalam melakukan sesuatu
tindakan sering kali kurang pertimbangan secara matang, dan lebih
banyak di dorong oleh kesenangannya untuk melibatkan diri. Dalam
kegiatan belajar, orang-orang demikian senang pada hal-hal yang
sifatnya penemuan-penemuan baru, seperti pemikiran baru,
pengalaman baru,dan sebagainya, sehingga metode yany cocok
adalah problem solving, brainstorming. Namun mereka akan cepat
bosan dengan kegiatan-kegiatan yang implementasinya memakan
waktu lama.
b. Kelompok Reflektor
Mereka yang termasuk dalam kelompok reflector mempunyai
kecendrungan yang berlawanan dengan mereka yang termasuk
kelompok aktivis. Dalam melakukan suatu tindakan, orang-orang
tipe reflector sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan.
Pertimbangan-pertimbangan baik buruk dan untung rugi, selalu di
perhitungkan dengan cermat dalam memutuskan sesuatu. Orang-
orang demikian tidak mudah di pengaruhi, sehingga mereka
cenderung bersifat konservatif.
c. Kelompok Teoris
Lain halnya dengan orang-orang tipe teoris, mereka memiliki
kecenderungan yang sangat kritis , suka menganalisis, selalu berfikir
rasional dengan menggunakan penalarannya. Segala sesuatu sering
di kembalikan kepada teori dan konsep-konsep atau hukum-hukum.
Mereka tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya
subjektif. Dalam melakukan atau memutuskan sesuatu, kelompok
teoris penuh dengan pertimbangan, sangat skeptis dan tidak
menyukai hal-hal yang bersifat spekulatif. Mereka tampak lebih
tegas dan mempunyai pendirian yang kuat, sehingga tidak mudah
terpengaruh oleh pendapat orang lain.
d. Kelompok pragmatis
Berbeda dengan orang-orang tipe pragmatis, mereka memiliki sifat-
sifat yang praktis, tidak suka berpanjang lebar dengan teori-teori,
konsep-konsep, dalil-dalil dan sebagainya. Bagi mereka yang
penting adalah aspek-aspek praktis, sesuatu yang nyata dan dapat di
laksanakan. Sesuatu hanya bermanfaat jika dapat di praktekkan.
Teori, konsep, dalil, memang penting, tetapi jika itu semua tidak
dapat di praktekkan maka teori, konsep, dalil, dan lain-lain itu tidak
ada gunanya. Bagi mereka, sesuatu adalah baik dan berguna jika
dapat di praktekkan dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
2.3. Pandangan Habermas Terhadap Belajar
Menurut Habermas, belajar baru akan terjadi jika ada interaksi antara
individu dengan lingkungannya. Lingkungan belajar yang di maksud di
sini adalah lingkungan alam maupun lingkungan social, sebab antara
keduanya tidak dapat di pisahkan. Dengan pandangannya yang
demikian, ia membagi tipe belajar menjadi tiga, yaitu : 1) belajar teknis
(technical learning), 2) belajar praktis (practical learning), dan 3)
belajar emansipatoris (emancipator learning). Masing-masing tipe
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Belajar Teknis (technical learning)
Yang di maksud belajar teknis adalah belajar bagaimana seseorang
dapat berinteraksi dengan lingkungan alamnya secara benar.
Pengetahuan dan ketrampilan apa yang di butuhkan dan perlu di
pelajari agar mereka dapat menguasai dan mengelola lingkungan
alam sekitarnya dengan baik. Oleh sebab itu, ilmu-ilmu alam atau
sains amat di pentingkan dalam belajar teknis.
b. Belajar Praktis (Practical learning)
Yang di maksud belajar praktis adalah belajar bagaimana seseorang
dapat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, yaitu dengan orang-
orang di sekelilingnya dengan baik. Kegiatan belajar ini lebih
mengutamakan terjadinya interaksi yang harmonis antar sesama
manusia. Untuk itu bidang-bidang ilmu yang berhubungan dengan
sosiologi, komunikasi, psikologi, antrophologi, dan semacamnya,
amat di perlukan. Sungguh pun demikian,mereka percaya bahwa
pemahaman dan ketrampilan seseorang dalam mengelola lingkungan
alamnya tidak dapat di pisahkan dengan kepentingan manusia pada
umumnya. Oleh sebab itu,interaksi yang benar antara individu
dengan lingkungan alamnya hanya akan tampak dari kaitan atau
relevansinya dengan kepentingan manusia.
c. Belajar Emansipatoris (emancipatory learning)
Lain halnya dengan belajar emansipatoris, belajar emansipatoris
menekankan upaya agar seseorang mencapai suatu pemahaman dan
kesadaran yang tinggi akan terjadinya perubahan atau transformasi
budaya dalam lingkungan sosialnya. Dengan pengertian demikian
maka di butuhkan pengetahuan dan ketrampilan serta sikap yang
benar untuk mendukung terjadinya transformasi kultural tersebut.
Untuk itu, ilmu-ilmu yang berhubungan dengan budaya dan bahasa
amat di perlukan. Pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi
cultural inilah yang oleh Habermas di anggap sebagai tahap belajar
yang paling tinggi, sebab transformasi cultural adalah tujuan
pendidikan yang paling tinggi.
2.4. Pandangan Bloom dan Krathwohl Terhadap Belajar
Selain tokoh-tokoh di atas, Bloom dan Krathwohl juga termasuk
penganut aliran humanis. Mereka lebih menekankan perhatiannya
pada apa yang mesti di kuasai oleh individu (sebagai tujuan belajar),
setelah melalui peristiwa-peristiwa belajar. Tujuan belajar yang di
kemukakannya di rangkum ke dalam tiga kawasan yang di kenal
dengan sebutan Taksonomi Bloom. Melalui Taksonomi Bloom
inilah telah berhasil memberikan inspirasi kepada banyak pakar
pendidikan dalam mengembangkan teori-teori maupun praktek
pembelajaran. Pada tataran praktis, taksonomi Bloom ini telah
membantu para pendidik dan guru untuk merumuskan tujuan-tujuan
belajar yang akan di capai, dengan rumusan yang mudah di pahami.
Berpijak pada Taksonomi Bloom ini pulalah para praktisi
pendidikan dapat merancang program-program pembelajarannya.
Setidaknya di Indonesia, Taksonomi Bloom ini telah banyak di kenal
dan paling populer di lingkungan pendidikan. Secara ringkas, ketiga
kawasan dalam taksonomi Bloom tersebut adalah sebagai berikut :
a. Domain kognitif, terdiri atas 6 tingkatan, yaitu :
1). Pengetahuan (mengingat, menghafal)
2). Pemahaman (menginterpretasikan)
3). Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan masalah)
4). Analisis (menjabarkan suatu konsep)
5). Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu
konsep utuh)
6). Evaluasi (membandingkan nilai-nilai, ide, metode, dsb.)
Semakin jauh hal-hal yang terjadi di luar diri seseorang (dunia) dari
pusat lingkaran lingkaran (persepsi diri), semakin kurang pengaruhnya
terhadap seseorang. Sebaliknya, semakin dekat hal-hal tersebut dengan
pusat lingkaran, maka semakin besar pengaruhnya terhadap seseorang
dalam berperilaku. Jadi jelaslah mengapa banyak hal yang dipelajari
oleh murid segera dilupakan, karena sedikit sekali kaitannya dengan
dirinya.
II.6. Teori Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada
dua hal :
a. suatu usaha yang positif untuk berkembang
b. kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam
upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis.
Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut
seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk
mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki
dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan
untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya
semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar
dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri(self).
Maslow berpendapat, bahwa manusia memiliki hierarki kebutuhan yang
dimulai dari kebutuhan jasmaniah-yang paling asasi- sampai dengan
kebutuhan tertinggi yakni kebutuhan estetis. Kebutuhan jasmaniah
seperti makan, minum, tidur dan sex menuntut sekali untuk dipuaskan.
Apabila kebutuhan ini terpuaskan, maka muncullah kebutuhan
keamanan seperti kebutuhan kesehatan dan kebutuhan terhindar dari
bahaya dan bencana. Berikutnya adalah kebutuhan untuk memiliki dan
cinta kasih, seperti dorongan untuk memiliki kawan dan berkeluarga,
kebutuhan untuk menjadi anggota kelompok, dan sebagainya.
Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan ini dapat mendorong seseorang
berbuat lain untuk memperoleh pengakuan dan perhatian, misalnya dia
menggunakan prestasi sebagai pengganti cinta kasih. Berikutnya adalah
kebutuhan harga diri, yaitu kebutuhan untuk dihargai, dihormati, dan
dipercaya oleh orang lain.
Apabila seseorang telah dapat memenuhi semua kebutuhan yang
tingkatannya lebih rendah tadi, maka motivasi lalu diarahkan kepada
terpenuhinya kebutuhan aktualisasi diri, yaitu kebutuhan untuk
mengembangkan potensi atau bakat dan kecenderungan tertentu.
Bagaimana cara aktualisasi diri ini tampil, tidaklah sama pada setiap
orang. Sesudah kebutuhan ini, muncul kebutuhan untuk tahu dan
mengerti, yakni dorongan untuk mencari tahu, memperoleh ilmu dan
pemahaman. Sesudahnya, Maslow berpendapat adanya kebutuhan
estetis, yakni dorongan keindahan, dalam arti kebutuhan akan
keteraturan, kesimetrisan dan kelengkapan.
Maslow membedakan antara empat kebutuhan yang pertama dengan
tiga kebutuhan yang kemudian. Keempat kebutuhan yang pertama
disebutnya deficiency need (kebutuhan yang timbul karena
kekurangan), dan pemenuhan kebutuhan ini pada umumnya bergantung
pada orang lain. Sedangkan ketiga kebutuhan yang lain dinamakan
growth need (kebutuhan untuk tumbuh) dan pemenuhannya lebih
bergantung pada manusia itu sendiri.
Implikasi dari teori Maslow dalam dunia pendidikan sangat penting.
Dalam proses belajar-mengajar misalnya, guru mestinya
memperhatikan teori ini. Apabila guru menemukan kesulitan untuk
memahami mengapa anak-anak tertentu tidak mengerjakan pekerjaan
rumah, mengapa anak tidak dapat tenang di dalam kelas, atau bahkan
mengapa anak-anak tidak memiliki motivasi untuk belajar. Menurut
Maslow, guru tidak bisa menyalahkan anak atas kejadian ini secara
langsung, sebelum memahami barangkali ada proses tidak terpenuhinya
kebutuhan anak yang berada di bawah kebutuhan untuk tahu dan
mengerti. Bisa jadi anak-anak tersebut belum atau tidak melakukan
makan pagi yang cukup, semalam tidak tidur dengan nyenyak, atau ada
masalah pribadi / keluarga yang membuatnya cemas dan takut, dan lain-
lain.
Psikologi humanistik sangat relevan dengan dunia pendidikan, karena aliran ini
selalu mendorong peningkatan kualitas diri manusia melalui penghargaannya
terhadap potensi-potensi positif yang ada pada setiap insan. Seiring dengan
perubahan dan tuntutan zaman, proses pendidikan pun senantiasa berubah.
Dengan adanya perubahan dalam strategi pendidikan dari waktu ke waktu,
humanistik memberikan arahan yang signifikan dalam pencapaian tujuan ini.
Menurut teori humanistic tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia.
Proses belajar dianggap berhasil jika siswa telah memahami lingkungannya dan
dirinya sendiri. Dengan kata lain, siswa telah mampu mencapai aktualisasi diri
secara optimal. Teori humanistic cenderung bersifat eklektik, maksudnya teori
ini dapat memanfaatkan teori apa saja asal tujuannya tercapai.
Aplikasi teori humanistik dalam kegiatan pembelajaran cenderung mendorong
siswa untuk berfikir induktif. Teori ini juga amat mementingkan factor
pengalaman dan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar.