Anda di halaman 1dari 15

Jurnal Hikmah: Jurnal Pendidikan Islam E-ISSN 2450-5611

Vol. 10 No 2 Juli – Desember 2021 P-ISSN 2085-8663

KONSEP METAFISIKA PERSPEKTIF IBNU SINA DALAM FILSAFAT


PENDIDIKAN ISLAM

Robin Sirait
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Syekh Abdul Halim Hasan Al-Ishlahiyah Binjai
Email: ursrobin23@gmail.com

ABSTRAK
Kajian tentang metafisika sampai saat ini banyak dibahas oleh para filosof salah saatunya
adalah ahli filosof Ibnu Sina menempatkan jiwa manusia pada peringkat yang paling tinggi. Ia
disamping sebagai dasar berfikir, juga mempunyai daya-daya yang terdapat pada jiwa tumbuhan
dan hewan. Penjelasan di atas juga menunjukkan bahwa menurut Ibnu Sina, jiwa manusia
tidak hancur dengan hancurnya jasad. Sedangkan jiwa tumbuhan dan hewan yang ada dalam
diri manusia akan hancur dengan matinya badan dan ia tidak akan dihidupkan kembali di
akhirat. Karena fungsi-fungsinya bersifat fisik dan jasmani, maka pembalasan untuk kedua jiwa
ini ditentukan di dunia.
Ibnu Sina melalui pemikirannya dalam kajian filsafat tentang jiwa merupakan hal yang
sangat penting. Di dalam Al- Qur’an dan Al-Hadis kata jiwa di istilahkan dengan kata an-Nafs,
kata an-Nafs ini adalah sebutan dalam kajian filsafat. Ibnu Sina menjelaskan ada 4 tingkatan
akal, yaitu: pertama, Akal Potensial yaitu potensi akal yang luar biasa dimana akal ini belum
mampu digunakan berpikir dan belum dilatih sedikit pun dan biasanya ada pada anak yang
belum diolah, dan wujud sebenarnya ada pada tiap manusia. Kedua, Akal bil makalat yaitu akal
yang sudah mulai dibentuk, diajari dan memerlukan waktu (pelatihan) lalu akan diarahkan
kemana baiknya. Ketiga, Akal bil fi’li ( actual) yaitu akal yang sudah memiliki kekuatan untuk
berfikir tentang hal-hal yang nyata. Keempat, Akal tertinggi (mustafad), yaitu akal yang sudah
mampu memikirkan pengetahuan yang lebih tinggi dan akal ini biasanya diperoleh melalui
pendidikan.

Kata kunci: Metafisika, Ibnu Sina, Filsafat pendidikan Islam

ABSTRACT

The study of metaphysics to day has been widely discussed by philosophers, one of
which is the philosopher Ibn Sina placing the human soul at the highest rank. Besides being the
basis for thinking, it also has the powers found in the souls of plants and animals. The
explanation above also shows that according to Ibn Sina, the human soul is not destroyed by the
destruction of the body. While the soul of plants and animals that exist in humans will be
destroyed by the death of the body and it will not be revived in the afterlife. Since the functions
are both physical and corporeal, the vengeance for these two souls is determined in the world.
Ibn Sina through his thoughts in the study of philosophy about the soul is very
important. In the Qur'an and Al-Hadith the word soul is termed the word an-Nafs, this word an-
Nafs is a designation in the study of philosophy. Ibn Sina explained that there are 4 levels of
reason, namely: first, Potential Intellect, namely the extraordinary potential of reason where this
mind has not been able to be used to think and has not been trained in the slightest and usually
exists in children who have not been processed, and the actual form is in every human being.
Second, Intellect bil Makalat is a mind that has begun to be formed, taught and requires time
(training) then will be directed where it is good. Third, Intellect bil fi'li (actual) is a mind that
already has the power to think about real things. Fourth, the highest intellect (mustafad), namely

Robin Sirait- Konsep Metafisika Perspektif Ibnu Sina dalam Filsafat Pendidikan Islam Page 105
Jurnal Hikmah: Jurnal Pendidikan Islam E-ISSN 2450-5611
Vol. 10 No 2 Juli – Desember 2021 P-ISSN 2085-8663

the mind that is able to think of higher knowledge and this sense is usually obtained through
education.

Keywords: Metaphysics, Ibn Sina, Philosophy of Islamic education

Robin Sirait- Konsep Metafisika Perspektif Ibnu Sina dalam Filsafat Pendidikan Islam Page 106
A. PENDAHULUAN

Filsafat Islam memiliki kontribusi yang sangat banyak dalam dunia Islam, karena
hasil pemikiran filsafat ini merupakan sumbangan para filosof muslim dengan pemikiran
yang sangat maju dan berusaha menjalin pemikiran filsafat Islam dengan muatan
keilmuawan ilmiah.
Ibnu Sina banyak belajar dari pemikiran Al-Farabi, telah berhasil menegakkan
bangunan pemikiran Aristotelesptolemi secara kosmologi. Dalam pemikirannya Ibnu Sina
dengan mengadospi ilmu pemikiran Al-Farabi, ia berusaha menggabungkan konsep
bernuansa Islami dengan pemunculan alam wujud berdasarkan teori emanasi.1
Kata yang tertulis di cover buku karangan Adelbert Sneijders yang berjudul Seluas
segala kenyataan.2 Barangkali kata itu menimbulkan sebuah pertanyaan. Kata “seluas
segala kenyataan” itu merujuk pada metafisika. Mengenai metafisika, Aristoteles
mengatakan bahwa metafisika terfokus kepada “pengada sekedar pengada” (ens in quantum
ens).
Metafisika Aristoteles dianggap sebagai metafisika yang pertama. Secara
sederhana ia merumuskan metafisika sebagai ada sejauh ada. Metafisika Aristoteles
memiliki (actus prima) potensi yang dimiliki dan (actus formalis) aktus jenis.3 Dalam
perjalanan waktu, metafisika Aristoteles diteruskan oleh para filsuf Arab. Salah satu dari
filsuf Arab itu adalah Ibnu Sina. Pemikiran Ibnu Sina tentang metafisika juga menyatukan
pandangan dan pemikiran al-Farabi dan Plotinos.
Dalam Islam, metafisika merupakan masalah utama sebagai landasan epistemology
(berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits). Ini karena seluruh orientasi kehidupan manusia
selalu mengarah kepada Tuhan. Tuhan dalam kajian filsafat Islam merupakan metafisika
sebagai being absolut. Bagi Al-Kindi, metafisika merupakan argumen rasional
membuktikan wujud Tuhan. Sementara itu, menurut Ibnu Sina, ia memposisikan

1
Nurcholis Majid, Khazana Intelektual Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 166.
2
Adelbert Sneijders, Seluas Segala Kenyataan, (Yogyakarta: Kanisius 2009), hlm, 1
3
Ibid., hlm. 342

Robin Sirait- Konsep Metafisika Perspektif Ibnu Sina dalam Filsafat Pendidikan Islam Page 107
metafisika sebagai bagian terakhir dari filsafatnya.4

B. METODOLOGI PENULISAN
Adapun penulisan jurnal ini menggunakan metodologi penelitian kajian pustaka
atau biasa disebut dengan library research. Data yang diperoleh dari berbagai referensi
(buku) dikumpulkan lalu dianalisis (content analisyst).

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pembuktian Adanya Wujud Tuhan Menurut Ibnu Sina secara Ontologis Dan
Kosmologis
Kajian Ontologis adalah kajian yang berasal dari Yunani kuno dan merupakan
kajian filsafat yang paling tua, di dalamnya membahas tentang keberadaan Tuhan secara
nyata. Adapun kajian kosmologis adalah kajian mempelajari tentang sejarah dan struktur
alam semesta dalam skala besar yang berhubungan dengan asal mula kehidupan.
Para filosof Yunani yaitu seperti Aristoteles dan Plato membicarakan mengenai
teori ketuhanan lalu para filosof Arab mewarisis teori ketuhanan tersebut.5 Salah satu
contoh pemikiran yang disampaikan oleh Aristoteles adalah mengatakan Tuhan sebagai
“penggerak yang tidak bergerak”. Dalam kajian metafisikanya bahwa Tuhan itu ada
disebabkan adanya eksistensi (keberadaanya) menurut Aristoteles.
Menurut teorinya Tuhan menggerakkan alam satu kali gerak saja, karena itu
Aristoteles menyebutkan Tuhan dengan “penggerak yang tidak bergerak. Pada abad ke
Sembilan Belas Masehi para filosof Islam yang muncul pertama seperrti al-Kindi dan
akhirnya diikuti dengan filosof-filosof Islam seperti Ar-Rozi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan
yang lain-lainnya.
Para filosof menemukan hakikat ketuhanan dengan menggunakan dasar berfikir
logis dengan menggunakan akal yang murni lalu di kuatkan dengan pembuktian nash -

4
Amiruddin, Memahami Otentisitas Konsep Tuhan, Kajian Konsep Emanasi, Ontologi,
Dan Kosmologi Filosof Muslim, Jurnal Jurusan Ushuluddin STAI Al Fitrah, Vol 9, Nomor 1,
Februari 2019, hlm. 65
5
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 13

Robin Sirait- Konsep Metafisika Perspektif Ibnu Sina dalam Filsafat Pendidikan Islam Page 108
nash Kitab suci, sehingga mereka menemukan hakikat keberadaan Tuhan yang
sebenarnya.

Untuk memahami secara mendalam kajian ontologi dan kajian kosmologis ini
dalam kajian filsafat, maka harus dipahami dahuli kajian filsafat dengan benar.

2. Argumentasi Ontologi Dan Kosmologi Ibnu Sina

Argumentasi ontologi dan kosmologi ini para filosof Islam memiliki pemahaman
yang sama. Menurut pendapat Al-Farabi ini tidak jauh berbeda dengan Ibnu Sina, ada dua
sifat mengenai akal pertama yang mempunyai yakni sifat wajib wujudnya sebagaimana
pancaran dari Allah dan sifat mumkin wujudnya. sehingga akal pertama mempunyai obyek
pemikiran : (1) adanya Tuhan, (2) Dirinya sebagai wajib wujudnya, (3) Dirinya sebagai
mumkin wujudnya. Sehingga dari pemikiran tentang Tuhan menghasilkan akal, dari
pemikiran tentang dirinya wajib wujudnya menghadirkan jiwa-jiwa.6
Dengan demikian Ibnu Sina melalui pemikirannya bahwa alam semesta tercipta
dari pancaran Tuhan inilah yang disebut dengan teori emanasi. Adapun pemikiran para
mutakallimin yang merupakan para cendikiawan muslim ahli kalam dan ahli teologi Islam
memiliki perbedaan dengan pemikiran Ibnu Sina. para mutakallimin mengatakan bahwa
antara qadim dan baharu lebih sesuai dengan ajaran agama, sedangkan menurut Ibnu Sina
bahwa ia ada sejak qadim yaitu tidak berawal ataupun berpermulaan. 7 :
Berbeda dengan Al-Farabi yang berpendapat, bahwa akal pertama itu mempunyai
satu sifat, yaitu wujud. Dan setiap wujud hanya melahirkan dua macam, yaitu wujud
berikutnya yaitu langit atau planet. Adapun Ibnu Sina berpendapat, bahwa akal pertama
mempunyai dua sifat, yaitu sifat wajib wujud pancaran dari Tuhan dan sifat mungkin
wujud, jika ditinjau dari hakikat darinya. Dengan demikian ia mempunayi tiga obyek
pemikiran, yaitu Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya artinya Allah itu benar adanya.
Berasal dari pemikiran tentang Tuhan timbul akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya
sebagai wajib wujudnya timbul jiwa-jiwa, dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai

6
Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, (Jakarta: Widjaya, 2001), hlm, 258.
7
Harun Nasution, Falsafah Dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hlm. 14.

Robin Sirait- Konsep Metafisika Perspektif Ibnu Sina dalam Filsafat Pendidikan Islam Page 109
mungkin wujudnya timbul langit-langit.8
Para filosof muslim Al-Farabi dan Ibnu Sina memalui pemikirannya
mengajukan teori emanasi dengan mentauhidkan Allah sepenuhnya. Dalam
pandangannya Jika Tuhan berhubungan langsung dengan alam yang plural ini, tentu
dalam pemikiran Tuhan terdapat hal yang plural pula. Hal ini tentu merusak citra tauhid,
ke Esahan Tuhan menjadi ternoda karenanya, jadi menurut Al-Farabi Tuhan tidak mampu
menciptakan langsung dengan alam semesta yang banyak itu karena, karena kalau ia
9
menciptakan secara keseluruhan maka tuhan dianggap banyak.
Pemahaman Ibnu Sina tentang esensidengan mengkombinasikan antara wujud dan
esensi sebagai berikut.10:
a. Esensi yang tidak tampak dan tidak memiliki wujud
b. Esensi mempunyai wujud yang dapat dilihat oleh indera
c. Esensi yang berada diantara keduanya, ada yang memiliki wujud dan ada yang
tidak memiliki wujud.
Dalam kajian metafisiska Ibnu Sina secara ontologi memiliki perbedaan secara
keseluruhan. Pada hakikatnya tergantung kepada keberadaannya sesuai dengan
pengetahuan yang dimilki. Segala sesuatu yang ada di dalam semesta inipada
kenyataannya adalah ada (exist) dan memiliki wujud yang nyata. Allah memiliki wujud
yang murni sebagai pencipta alam semesta ini.11

3. Ontologi Metafisiska Ibnu Sina telaah Kajian Terhadap Wujud


Ibnu Sina mengemukakan satu dalil untuk membuktikan eksistensi keberadaan
Tuhan yaitu dengan teori Wujudiyah (keberadaan Tuhan), yaitu dengan memperhatikan
adanya makhluk yang diciptakan ini maka keberadaan Tuhan itu sudah jelas.
Di dalam bahasa arab “Wujud” yang berari “ada”. Dalam di dalam Al-Qur’anul
Surat Thoha juga dijelaskan tentang keberadaan Allah “ Allah yang maha pemurah yang

8
Ibid., hlm. 98
9
Sayyed Hossein Nasr, Tiga Madzahb Utama Filsafat Islam, (Jogjakarta:,2020), hlm.
51
10
Ibid., hlm. 65
11
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Penterjemah. Yudian Wahyudi
Asmin, (Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, 2004), 120-121

Robin Sirait- Konsep Metafisika Perspektif Ibnu Sina dalam Filsafat Pendidikan Islam Page 110
bersemayam di atas Arsy (QS.Thoha: 5) dan Allah yang maha tunggal, tidak beranak dan
diperanakkan.12
Mumtani (sesuatu yang eksistensinya tidak bisa dibayangkan di alam nyata karena
zatnya. Zat Allah tidak boleh dipikirkan oleh manusia dengan akal pikirannya karena
manusia memiliki kelemahan dan kekuranga. 13
Dalam salah satu kitab An-Najat karangan Ibnu Sina mengatakan sebagai berikut:
Bahwa makhluk sangat membutuhkan Tuhan dalam dirinya. Makhluk tidak akan
mampu melakukan apapun tanpa adanya Tuhan. Bagi Allah sebenarnya ia tidak
membutuhkan makhluk. Adapun teori wajib al wujudnya ini, Ibnu Sina membaginya
menjadi dua bagian yaitu wajib al wujud bi dzatihi dan wajib al wujud bi ghairihi..14
Yang dimaksud dengan ”Wajibul Wujud Bidzatihi” (wajib ada dengan zatnya)
ialah sesuatu yang adanya itu tidak tergantung dengan adanya sebab yang lain, dan karena
itu pula wajubul wujud bidzatihi ini hanya khusus mengenai tuhan saja, wajubul wujud
bidzatihi hanya untuk dirinya sendiri saja. Khusus untuk Wajibul Wujud Bidzatihi ibnu
sina memakai istilah Al - Mabdaul Awwal atau Awwal yaitu Tuhan yang awal. Wajibul
Wujud Bighairihi (wajib ada dengan yang lainnya) ialah segala sesuatu yang adanya itu
berasal dari Sesutu benda lain dari pada dzatnya sendiri hal ini meliputi semua makhluk.
Kategori substansi sendiri terbagi menjadi tiga macam, yakni15 :
a. Akal yang maju (intelek) yang sepenuhnya terlepas dari materi dan
potensialitas, artinya segala sesuatu sebelum dilakukan harus dipikirkan.
b. Jiwa yang ada pada tubuh untuk melakukan tindakan. Karena jika jiwa tidak
ada maka jada tidak berfungsi.
c. Tubuh (jism) sesuatu yang melekat pada makhuk yang bisa diukur.
Dari penjelasan di atas dalam teori ketuhanan maka Ibnu Sina memberikan
penjelasan bahwa ketika Allah memberikan akal yang intelek, jiwa-jiwa yang berfungsi
dengan baik dan tubuh yang terukur maka kita fungsikanlah itu dengan sebaik-baiknya.

12 Fazlur Rahman, Avecenna’s Psychology, (London: Oxford University, 1952), 199


13
A. Hanafi, M. A, Filsafat Skolastik, (Jakarta: Pustaka Alhusna, Cet. Kedua 1983), hlm.61
14
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. Ke IV, 2005), hlm. 28
15
Harun Nasution, Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hlm. 5.

Robin Sirait- Konsep Metafisika Perspektif Ibnu Sina dalam Filsafat Pendidikan Islam Page 111
4. Filsafat Jiwa (An-Nafs) dalam kajian Metafisika Ibnu Sina
Ibnu Sina melalui pemikirannya dalam kajian filsafat tentang jiwa merupakan hal
yang sangat penting. Di dalam Al- Qur’an dan Al-Hadis kata jiwa di istilahkan dengan kata
an-Nafs, kata an-Nafs ini adalah sebutan dalam kajian filsafat. Adapaun dalam kajian
perspektif agama maka ia dikatakan ar-Ruh. Di dalam Al-Qur’an ada banyak surat
yang berbicara tentang an-Nafs dan ar-Ruh ini. Dapat kita lihat di dalam surat dalam
Al-Fajr: 27-30.

٣٠ََٰٰٓٓ‫َٰٓوََٰٰٓٓٱدَٰٓخ ِِلَٰٓج َّن ِِت‬٢٩ََٰٰٓٓ‫ِبى ِدي‬


َٰٓ ‫َِٰٓفَٰٓع‬ َّ َّ
ِ ‫َٰٓ َٰٓفٱدَٰٓخ ِِل‬٢٨ََٰٰٓٓ‫كَٰٓراضِ يةََٰٰٓٓمرَٰٓضِ ي َٰٓة‬ َٰٓ‫عَٰٓإ ِ ى‬
ِ ِ ‫لَٰٓرب‬ َٰٓ‫ج ِ ي‬ َّ َٰٓ ‫يَٰٓأ َّيتَٰٓهآَٰٱنلَّفَٰٓسَٰٓٱلَٰٓم‬
ِ َٰٓ‫ََٰٰٓٓٱر‬٢٧ََٰٰٓٓ‫طمئِنة‬

Artinya : “wahai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah kepada tuhanmu dengan hati
yang ridho dan diridhoi-nya, maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaku, dan
masuklah ke dalam surgaku”.16
Dan terdapat juga di surat-surat yang lain seperti surat Shad ayat 71-72, dan Surat
Al-Isra ayat 58. Para filosof setelah ibnu Sina seperti Fakhruddin al-Razi , Imam Al-Ghazali
serta Ibnu Rusyid akhirnya banyak menjadikan teori nafs yang dikembangkan Ibnu Sina sebagai
rujukan dan mendapat perhatian yang sangat besar, termasuk para pemikir-pemikir barat
yang berbasis sains juga akhirnya menggunakan teori yang dipaparkan Ibnu Sina ini.17
Karena persoalan metafisika ini merupakan ilmu yang sangat mulia dan tinggi, maka
Ibnu Sina mengatakan ada dua alasan penting dalam membahas konsep an-Nafs ini. Yang
pertama adalah karena an-Nafs ini dapat memudahkan manusia dalam menentukan
eksistensinya atau keberadaanya dan yang kedua adalah untuk mengaburkan cara
pandanga manusia tentang persoalan ketuhanan yang mengatakan Tuhan itu tidak mampu
menciptakan alam semesta ini.
Menurut Ibnu Sina dalam kajian metafisika ada tiga cara untuk memahami an-Nafs
yaitu:
1. Hakikat Nafs Perspektif Ibnu Sina
An-Nafs ini merupakan hal yang sangat penting dalam jiwa serta berdiri
sendiri. Walaupun pendapat Ibnu Sina memiliki perbedaan dengan para filsuf lainnya.

Al-Quran, Al-Qur’an Terjemah, (Jakarta : Yayasan PenyelenggaraPenterjemah dan Penafsiran Al-


16

Qur’an Departemen Agama RI. 1984)


17
Nurahman, Khazana Intelektual Islam. . (Jakarta :Bulan Bintang. 1984), hlm. 33

Robin Sirait- Konsep Metafisika Perspektif Ibnu Sina dalam Filsafat Pendidikan Islam Page 112
menurut Democratos dan beberapa mutakallimu>n (ahli kalam) yang mengatakan bahwa
nafs bagian dari jasad yang lembut. Apakah Ar-Ruh dan an-Nafs itu sama? Menurut
Amroini Drajat an-Nafs tidak sama dengan ar-Ruh, an-Nafs (jiwa) dalam kajian filsafat
adapun ruh adalah dalam kajian agama. Ketika yang suci (ruh) menyatu dengan kotoran
(jasad) maka berubahlah sifatnya namuanya an-nafs atau jiwa.18
2. Bukti Keberadaan Nafs
Menurut Ibnu Sina untuk mendukung pendiriannya dalam hal keberadaan jiwa ini
yang memiliki keberadaan tersendiri, sifatnya tidak permanen dan berbentuk jasad.19
Adapaun alasan yang di kemukakan oleh Ibnu Sina dalam mendukung pendiriannya
yaitu:
Pertama yaitu landasan yang berpijak pada perlawanan terhadap gerak natural
berasal dari alam semesta ini yang bisa dikenal dengan Dalil Natural- Psychology dan
landasan berikutnya yang berpijak pada ketercapaian ilmu pengetahuan.
Kedua yaitu landasan pembuktian yang berkesinambungan, dimana Ibnu Sina
menjelaskan bahwa pada masa kini terkandung adanya masa lampau yang sudah berlalu
dan masa akan datang untuk kehidupan selanjutnya yang biasa dikenal dengan Dalil
Continuity (Istimra>r). Kehidupan rohani ini berkaitan dengan hidup kita kemarin tanpa
ada tidur akan tetapi hidup ini bergerak dan berubah.
Jasad senantiasa mengalami perbuhan dengan adanya pergantian sel-sel baru
dan juga menghasilkan sel-sel baru sedangkan nafs akan selalu konstan sehingga tidak
akan mengalami perubahan atau pergantian sel-sel baru. Ibnu Sina ketika akan
menjelaskan penggolongan kajian nafs ini maka ia menelaahnya dalam kajian ilmu
pasti yaitu ilmu fisika walapun kajiannya tampak terbatas, adapaun kajiannya yaitu
nafs yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (al-nafs al-naba>tiyyah) yang digunakan
untuk pertumbuhan hidup manusia dan nafs yang berasal dari hewan (al-nafs al-
h}ayawa>niyyah) untuk pertumbuhan hewan serta nafs yang yang berasal dari manusia (al-
nafs al-insa>niyyah) untuk keberlangsungan hidup manusia itu sendiri. Semua kajian ini

18
Ali, Yunarsil. Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam. (Jakarta : Aksara, 1991), hlm. 133
19
Sayyed Hossein Nasr, Op.,Cit, hlm. 176

Robin Sirait- Konsep Metafisika Perspektif Ibnu Sina dalam Filsafat Pendidikan Islam Page 113
sekarang lebih dikenal dengan kajian ilmu Psikologi.20
3. Potensi-potensi Nafs
Manusia memiliki potensi-potensi yang sangat berharga, potensi pembagian nafs
ini awalnya disusun oleh filosof sebelumnya al- Kindi dan al-Farabi lalu diikuti oleh
Ibnu Sina, lalu Ia membagi potensi nafs ke dalam tiga bagian yang sangat penting
yaitu:
Pertama, Potensi yang berasal d a r i nafs nabati yang berasal dari beberapa
minela yang diserap oleh tubuh. Manausia sangat membutuhkan nabati ini untuk
perkebangan, pertumbuhan dan reproduksi. Makanan yang diserap oleh tubuh
manusia ini maka akan menjadi kekuatan bagi tubuh untuk melakukan aktivitas
kesehariannya. Kadar makanan yang diserap oleh tubuh juga harus diatur dengan
sedemikian rupa, jangan sampai berlebih ataupun berkurang.
Kedua, Potensi yang berasal dari nafs hewani, dimana zat-zat yang berasal
dari hewani ini memiliki kesempurnaan yang utama bagi tubuh. Zat hewani ini
akan mengalami partikiular-partikular yang berubah setiap saat.
Ketiga, Potensi yang berasal dari nafs insani (manusia), manusia memiliki
kesempurnaan karena memiliki akal pikiran, akal pikiran inilah yang digunakan manusia
untuk memikirkan apa-apa yang menajdi suber kekuatan bagi tubuh. Manusia mampu
menyimpulkan sesuatu yang belum tentu mampu disimpulkan oleh hewan.
Secara terperinci Ibnu Sina membagi jiwa ini menjadi dua bagian besar yaitu: 21
a. Fisika, dimana di dalamnya dibicarakan tentang jiwa tumbuh-tumbuhan yang mampu
makan, tumbuh, dan berkembang biak. Artinya bahwa tumbuh-tumbuhan ini juga
berkembangan biak untuk mempertahan kan hidupnya, tentang jiwa binatang yang
memiliki kemampuan untuk bergerak dan menangkap setiap perlakuan yang ada, baik
itu gerakan dari luar atau pun dalam, hewan menggunakan pergerakan indera yang
dimiliki dengan segala kemampuannya, dan tentang Jiwa manusia yang biasa dikenal
dengan (al-nafs al-nathiqah) yang memiliki dua kekuatan daya berfikir secara

20
H. A. Mustofa, Op.,Cit, hlm. 166
21
M.M, Syarif, Para Filosof Muslim. (Bandung: Mizan, Cet. ke-2, 1989), hlm, 103.

Robin Sirait- Konsep Metafisika Perspektif Ibnu Sina dalam Filsafat Pendidikan Islam Page 114
praktis dan kemampuan berfikir secara teoritis sehingga menghasil kekuatan yang luar
biasa.
Ibnu Sina menjelaskan ada 4 tingkatan akal, yaitu:
1. Akal Potensial yaitu potensi akal yang luar biasa dimana akal ini belum mampu
digunakan berpikir dan belum dilatih sedikit pun dan biasanya ada pada anak yang
belum diolah, dan wujud sebenarnya ada pada tiap manusia.
2. Akal bil makalat yaitu akal yang sudah mulai dibentuk, diajari dan memerlukan
waktu (pelatihan) lalu akan diarahkan kemana baiknya.
3. Akal bil fi’li ( actual) yaitu akal yang sudah memiliki kekuatan untuk berfikir
tentang hal-hal yang nyata.
4. Akal tertinggi (mustafad), yaitu akal yang sudah mampu memikirkan
pengetahuan yang lebih tinggi dan akal ini biasanya diperoleh melalui pendidikan.

a. Metafisika, di dalam metafisika ini yang dibicarakan:


Ibnu Sina dalam hal ketika kan membuktikan Wujud jiwa ini atau biasa dikenal
dengan itsbati wujud al-nafsi, ia mengemukakan dalil-dalil sebagai penguat.
1) Dalil yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan fenomena pergerakan
manusia. Manusia akan menenukan adanya gerakan paksaan yang
disebabkan oleh dorongan dari luar. Dan ada juga gerakan yang berajalan
secara alami tanpa adanya gerakan dorongan manusia yang berjalan
sesuai dengan hukum alam yang berlaku seperti halnya ketika manusia
berjalan atau burung yang terbang, ia melakukannya secara alami.
2) Dalil yang memiliki konsep yang didasarkan psikologi seseorang, ketika
orang lain membicarakannya maka ia akan merasakan sesuatu. Oleh
karenanya Ibnu Sina mengajak seseorang untuk mengaktifkan kekuatan
psikologinya.
3) Dalil yang didasarkan pada kontinuitas atau perlakuan yang terus -
menerus dilakukan, dimana jasad dan jiwa manusia akan mengalami
perubahan secara terus-menerus.
4) Dalil yang menyatakan tentang kekuatan manusai yang dapat terbang

Robin Sirait- Konsep Metafisika Perspektif Ibnu Sina dalam Filsafat Pendidikan Islam Page 115
melayang dengan menggunakan kekuatan ilmu pengetahuan yang dimilki.
Inilah yang digunakan oleh Ibnu Sina dengan menggunakan khayalan
sehingga menghasilkan kreasi yang luar biasa. Dengan kekuatan khayalan
ini jika manusia melakukannya dengan mata tertutup seakan-akan jasadnya
terpisah tetapi sebenarnya ia tidak merasakan apapun, sehingga ia tetap
berada pada dirinya. Inilah kekuatan khayala itu.22
4. Hubungan jiwa dengan jasad.
Aristoteles mengemukakan hubungan a n t a r a jiwa dan jasad bersifat esensial.
Sementara Plato mengemukakan hubungan jiwa dan jasad lebih bersifat accident.23
Dalam hal ini Ibnu Sina lebih sepakat dengan teori yang dikemukan oleh Plato
dimana hubungan anatara jiwa dan jasad bersifat accident. Ibnu Sina juga menjaskan
hubungan antara jasad dengan jiwa saling keterkaitan yang dapat membantu antara satu
dengan yang lainnya dan juga merupakan syarat mutlak terciptanya jiwa. Artinya tanpa
adanya jasad jika jiwa tidak diociptakan.
5. Kekekalan jiwa.
Untuk mengetahui kekalan jiwa ini maka Ibnu Sina mengemukakan 3 dasar yang
paling pokok dengan menggunakan dalil-dalil yang kuat yaitu :
Pertama dinamakan dengan dalil al-infishal, yaitu adanya perpaduan antara jasad
dengan jiwa bersifat accident, dimana keduanya memiliki unsur-unsur yang sangat penting
dalam membangun diri sendiri. Pada prinsip jiwa ini berisfat kekal walaupun jasad binasa.
Kedua, dinamakan denga dalil al-basarhat, yang mengatakan bahwa karena jiwa
ini dalam pandangan agama adalah Roh maka jiwa ini tidak akan pernah mati,
sebagaimana juga yang dikatan Imam Asy-Syuyuti bahwa ruh adalah salah satu
amkhluk Allah yang tidak akan hancur sampai kiamat nantinya.
Ketiga, dinamakan dengan dalil al-musyabahat. Dimana landasan ini berisfat
metafisika. Artinya perjalan kehidupan manusia bersifat emanasi yang berasal dari akal

22
Chittick, W. C. Sufism: A Short Introduction. Terj. Zaimul Am, Tasawuf di Mata Kaum
Sufi. (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 176
23
Mubarok, A. Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern: Jiwa dalam Al-Qur’an.
(Jakarta: Paramadina, 2000), hlm, 144

Robin Sirait- Konsep Metafisika Perspektif Ibnu Sina dalam Filsafat Pendidikan Islam Page 116
Fa’al (akal kesepuluh) sebagai awal pemberi bentuk sesuatu.
Dari penjelasan diatas ibnu Sina memberikan pemahaman bahwa yang akan
dibangkita sampai hari kiamat nanti adalah ruh manusia . Sedangkan menurut Imam Al-
Ghazali yang merupakn filosof muslim setelahnya ia mengatakan bahwa pembalasan di
akhirat nanti hanya disediakan untuk roh semata, sedangkan jasad akan lenyap seperti
jasad tumbuhan dan hewan.
Penjelasan diatas juga bahwa Ibnu Sina menempatkan jiwa manusia pada peringkat
yang paling tinggi. Ia disamping sebagai dasar berfikir, juga mempunyai daya-daya yang
terdapat pada jiwa tumbuhan dan hewan. Penjelasan di atas juga menunjukkan bahwa
menurut Ibnu Sina, jiwa manusia tidak hancur dengan hancurnya jasad. Sedangkan
jiwa tumbuhan dan hewan yang ada dalam diri manusia akan hancur dengan matinya
badan dan ia tidak akan dihidupkan kembali di akhirat. Karena fungsi-fungsinya bersifat
fisik dan jasmani, maka pembalasan untuk kedua jiwa ini ditentukan di dunia ini juga.
D. Implementasi dalam Pendidikan Islam
Konsep metafisika dalam perspektif filsafat Pendidikan Islam memiliki peran
yang sangat penting. Dalam masyarakat yang sedang berubah, di tengah kemajuan dan
perkembangan zaman di era globalisasi ini peran dan fungsi Filsafat Pendidikan Islam
semakin penting, karena filsafat ini menjadi landasan strategi dan kompas jalannya
pendidikan Islam. Manusia merupakan unsur utama dalam filsafat pendidikan juga insan
pendidik yang menentukan dan memberikan pendidikan kepada anak didiknya. Selain
itu, manusia dengan segudang karunia yang dianugerahkan kepadanya mampu
memecahkan persoalan pendidikan. Hal ini menjadi bentuk alasan manusia bisa menjadi
khalifah.

Robin Sirait- Konsep Metafisika Perspektif Ibnu Sina dalam Filsafat Pendidikan Islam Page 117
5. KESIMPULAN

Manusia memiliki potensi-potensi yang sangat berharga, potensi pembagian nafs ini
awalnya disusun oleh filosof sebelumnya al- Kindi dan al-Farabi lalu diikuti oleh Ibnu
Sina, lalu Ia membagi potensi nafs ke dalam tiga bagian yang sangat penting yaitu:
Pertama, potensi yang berasal dari nafs nabati yang berasal dari beberapa minela
yang diserap oleh tubuh. Manausia sangat membutuhkan nabati ini untuk
perkebangan, pertumbuhan dan reproduksi. Makanan yang diserap oleh tubuh
manusia ini maka akan menjadi kekuatan bagi tubuh untuk melakukan aktivitas
kesehariannya. Kadar makan yang diserap oleh tubuh juga harus diatur dengan
sedemikian rupa, jangan sampai berlebih ataupun berkurang.
Kedua, Potensi yang berasal dari nafs hewani, dimana zat-zat yang berasal dari
hewani ini memiliki kesempurnaan yang utama bagi tubuh. Zat hewani ini akan
mengalami partikiular-partikular yang beribah setiap saat.
Ketiga, Potensi yang berasal dari nafs insani (manusia), manusia memiliki
kesempurnaan karena memiliki akal pikiran, akal pikiran inilah yang digunakan manusia
untuk memikirkan apa-apa yang menajdi suber kekuatan bagi tubuh. Manusia mampu
menyimpulkan sesuatu yang belum tentu mampu disimpulkan oleh hewan.

Menurut Ibnu Sina menjelaskan ada 4 tingkatan akal, yaitu:


Pertama, Akal Potensial yaitu potensi akal yang luar biasa dimana akal ini belum
mampu digunakan berpikir dan belum dilatih sedikit pun dan biasanya ada pada anak ya
ng belum diolah, dan wujud sebenarnya ada pada tiap manusia.
Kedua, Akal bil makalat yaitu akal yang sudah mulai dibentuk, diajari dan
memerlukan waktu (pelatihan) lalu akan diarahkan kemana baiknya.
Ketiga, Akal bil fi’li ( actual) yaitu akal yang sudah memiliki kekuatan untuk
berfikir tentang hal-hal yang nyata.
Keempat, Akal tertinggi (mustafad), yaitu akal yang sudah mampu memikirkan
pengetahuan yang lebih tinggi dan akal ini biasanya diperoleh melalui pendidik

Robin Sirait- Konsep Metafisika Perspektif Ibnu Sina dalam Filsafat Pendidikan Islam Page 118
DAFTAR PUSTAKA

A. Hanafi, M. A, Filsafat Skolastik, Jakarta: Pustaka Alhusna, Cet. Kedua 1983


Adelbert, Sneijders, Seluas Segala Kenyataan, Yogyakarta: Kanisius 2009.
Ali, Yunarsil. Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam. Jakarta : Aksara, 1991
Al-Quran, Al-Qur’an Terjemah, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah dan Penafsiran
Al-Qur’an Departemen Agama RI. 1984.
Amiruddin, Memahami Otentisitas Konsep Tuhan, Kajian Konsep Emanasi, Ontologi, Dan
Kosmologi Filosof Muslim, Jurnal Jurusan Ushuluddin STAI Al Fitrah, Vol 9, Nomor
1, Februari 2019
Asmin, Jakarta: Bumi Aksara, 2004
Chittick, W. C. Sufism: A Short Introduction. Terj. Zaimul Am, Tasawuf di Mata Kaum Sufi.
Bandung: Mizan, 2002
Madkour, Ibrahim. Aliran dan Teori Filsafat Islam, Penterjemah. Yudian Wahyudi
Majid, Nurcholis. Khazana Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Mubarok, A. Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern: Jiwa dalam Al-Qur’an. Jakarta:
Paramadina, 2000
Nasr, Sayyed Hossein . Tiga Madzahb Utama Filsafat Islam, Jogjakarta: IRCiSoD,2020 ,
Nasution, Harun. Falsafah Dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997
Nasution, Harun. Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1983.
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam , Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. Ke IV, 2005
Nurahman, Khazana Intelektual Islam. Jakarta :Bulan Bintang. 1984.
Rahman, Fazlur. Avecenna’s Psychology, London: Oxford University, 1952
Syarif, M.M. Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan, Cet. ke-2, 1989
Taib,Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Jakarta: Widjaya, 2001

Robin Sirait- Konsep Metafisika Perspektif Ibnu Sina dalam Filsafat Pendidikan Islam Page 119

Anda mungkin juga menyukai