Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PEMBUKAAN

A. Latar Belakang
Kompetensi penalaran dan pemecahan masalah merupakan dua kompetensi
dari tiga kompetensi yang ditekankan dalam kurikulum (KTSP) matematika
sekolah. Kedua kompetensi ini erat kaitannya satu dengan yang lainnya.
Karena dalam memecahkan suatu masalah matematika harus melibatkan
aktivitas berpikir yang cukup kompleks seperti berpikir kritis, kreatif, analitis
dan lain- lain. Demikian sebaliknya, menurut Suharnan (2005: 188) bahwa:
penalaran merupakan kemampuan berpikir atau keterampilan intelktual yang
dapat ditingkatkan melalui pelatihan- pelatihan secara langsung dan intensif.
Adapun yang dimaksud dengan pelatihan penalaran adalah serangkaian tugas
mengerjakan soal- soal atau problem- problem penalaran yang dilakukan
secara berulang- ulang, sehingga seseorang atau sekelompok orang menjadi
lebih terampil di dalam menarik kesimpulan- kesimpulan menurut prinsip-
prinsip penalaran.
Selanjutnya bila kita perhatikan karakteristik matematika, salah satu
karakteristiknya menganut pola pikir deduktif (penalaran deduktif), meskipun
dalam proses penalaran deduktif itu
Sukayasa /Penalaran dan Pemecahan
M-546
kadang kala menggunakan pola pikir induktif. Menurut Soedjadi (2000: 45)
bahwa “dalam pembelajaran matematika pola pikir deduktif itu tetap penting
dan merupakan salah satu tujuan yang bersifat formal yang memberikan
tekanan kepada penataan nalar”. Hal ini mengindikasikan bahwa betapa
pentingnya peranan pola pikir deduktif untuk mengembangkan tata nalar siswa
dalam proses pembelajaran matematika. Untuk mengembangkan tata nalar
siswa dalam proses pembelajaran matematika termasuk geometri tentu tidak
bisa terlepas dari pendekatan pembelajaran yang digunakan termasuk
pendekatan (sajian) bahan ajar yang akan digunakan. Menurut Depdiknas
(dalam Shadiq, 2004: 3) bahwa “materi matematika dan penalaran matematika
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi matematika
dipahami melalui penalaran dan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui
belajar matematika”. Untuk melatih penalaran siswa dapat juga dilakukan
dengan membiasakan diri siswa memecahkan masalah- masalah matematika
(geometri). Bila pendekatan pembelajaran termasuk pendekatan dalam
penyajian bahan ajar dirancang sedemikian rupa dalam pembelajaran
pemecahan masalah matematika, maka kompetensi penalaran siswa mungkin
dapat ditingkatkan. Untuk itu kreativitas guru dalam merancang pembelajaran
pemecahan masalah matematika sangat diharapkan. Geometri merupakan

1
salah satu topik penting dalam matematika sekolah. Menurut Suydam (dalam
Clements dan Battista 1992: 421) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran
geometri adalah untuk: - develop logical thinking abilities (mengembangkan
berpikir logis); - develop spatial intuition about the real word (mengembangkan
intuisi keruangan (spatial) tentang dunia nyata); - impart the knowlagde needed
to study more mathematics (menanamkan pengetahuan yang diperlukan untuk
belajar matematika lebih lanjut); - teach the reading and interpretation of
mathematical arguments (mengajar membaca dan menginterprestasikan
argumen- argumen secara matematik). Dari pendapat tersebut
mengindikasikan bahwa aspek penalaran merupakan salah satu tujuan dalam
pembelajaran geometri di sekolah. Karena melalui belajar geometri selain
dapat mengembangkan kemampuan berpikir logis juga dapat mengembangkan
kemampuan spatial (keruangan) sehingga anak didik dapat mengembangkan
potensi kompetensi yang dimiliki secara utuh.
B. Rumusan Masalah
a. Apa yang di maksud dengan penalaran ?
b. Apa yang di maksud dengan masalah ?
c. Apa yang di maksud dengan pemecahan masalah ?
d. Bagaimana jenis-jenis masalah dalam matematika beserta contohnya ?
e. Bagaimana jenis – jenis pemecahan masalah ?
C. Tujuan
a. Mengetahui pengertian penalaran
b. Mengetahui pengertian masalah
c. Mengetahui pengertian pemecahan masalah
d. Mengetahui jenis-jenis masalah dalam matematika beserta contohnya
e. Mengetahui jenis – jenis pemecahan masalah

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Penalaran dan Penalaran Dalam Matematika
Copi (1978) mengungkapkan bahwa “reasoning is a special kind of thinking in
which inference takes place, in which conclusions are drawn from premisses
(bernalar merupakan jenis khusus dari berpikir yang berkenaan dengan
pengambilan kesimpulan yang ditarik dari premispremis)”. Tidak semua jenis
berpikir dapat dikatakan bernalar. Misalnya mengingat atau membayangkan
sesuatu (melamun). Penalaran merupakan kegiatan berpikir yang mempunyai
karakteristik tertentu untuk menemukan kebenaran. Karakteristik tertentu yang
dimaksud adalah pola berpikir yang logis dan proses berpikirnya bersifat analitis.
Sedangkan Gie (1991) menyatakan bahwa penalaran adalah proses pemikiran
manusia yang berusaha tiba pada pernyataan baru yang merupakan kelanjutan
runtut dari pernyataan lain yang diketahui. Pernyataan yang diketahui itu sering
disebut dengan pangkal pikir (premis), sedangkan pernyataan baru yang ditemukan
disebut kesimpulan. Angeles (dalam
www.io.uwinipeg.ca/~walton/papers%20in%20pdf/90reasoning.pdf)
mendefinisikan penalaran dalam tiga cara yakitu:

(1) The process of inferring conclusions from statements (Proses penarikan


kesimpulan dari pernyataan- pernyataan).
(2) The application of logic and/or abstract thought patterns in the solution of
problems or the act of planning (Penggunaan logika dan/ atau pola- pola berpikir
abstrak dalam penyelesaian dari masalah- masalah atau kegiatan dari perencanaan.

(3) The ability to know some things without recourse directly to sense
perceptions or immediate experience (Kemampuan untuk mengetahui sesuatu tanpa
cara langsung terhadap tanggapan pancaindera atau pengalaman langsung).

Kemudian Soekadijo (1983: 7) menambahkan bahwa “proses penalaran


meliputi aktivitas mencari proposisi-proposisi untuk disusun menjadi premis,
menilai hubungan proposisi-proposisi di dalam premis itu, dan menentukan
konklusinya”. Berdasarkan pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
penalaran adalah proses berpikir yang berkenaan dengan pengambilan kesimpulan.
Bernalar matematika merupakan salah satu kemampuan yang diharapkan untuk
dimiliki siswa dalam mempelajari matematika, baik pada Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) maupun pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Penalaran matematika merupakan komponen penting dalam belajar matematika dan
merupakan alat untuk memahami abstraksi (Russel, 1999). Sedangkan menurut
Jones (1999) dan NCTM (2000) bahwa penalaran matematika merupakan fondasi

3
dalam memahami dan doing matematika. Sedangkan Artzt & Yaloz (1999)
menjelaskan bahwa penalaran matematika merupakan bagian integral dari
pemecahan masalah (problem solving). Jika dikaitkan dengan berpikir (thinking),
maka penalaran matematika merupakan komponen utama dari berpikir yang
melibatkan pembentukan generalisasi dan menggambarkan konklusi yang valid
tentang ide dan bagaimana ide-ide itu dikaitkan (Artzt & Yaloz, 1999; Peressini &
Webb, 1999). Bernalar matematika dapat juga dipandang sebagai aktivitas dinamis
yang melibatkan suatu variasi cara berpikir dalam memahami ide, merumuskan ide,
menemukan relasi antara ideide, menggambarkan konklusi tentang ide-ide dan
relasi antara ide-ide (Jones, 1999). Penalaran matematika terjadi ketika siswa: 1)
mengamati pola atau keteraturan, 2) merumuskan generalisasi dan konjektur
berkenaan dengan keteraturan yang diamati, 3) menilai/menguji konjektur; 4)
mengkonstruk dan menilai argumen matematika, dan 5) menggambarkan
(menvalidasi) konklusi logis tentang sejumlah ide dan keterkaitannya (NCTM,
2000; Artzt & Yaloz, 1999). Pada makalah ini yang dimaksud dengan penalaran
matematika adalah proses pengambilan kesimpulan tentang sejumlah ide dan
keterkaitannya dalam menyelesaikan masalah matematika (geometri). Menurut
Suharnan (2005) secara umum penalaran dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu
penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif adalah penalaran
yang menghasilkan kesimpulan lebih luas daripada premis- premisnya. Sedangkan
penalaran yang menghasilkan kesimpulan yang tidak lebih luas daripada premis-
premisnya disebut penalaran deduktif. Menurut Jacobs (1982: 32) menyatakan
bahwa “deductive reasoning is a method of
Sukayasa /Penalaran dan Pemecahan
M-548

drawing conclusions from facts that we accept as true by using logic


(penalaran deduktif adalah suatu cara penarikan kesimpulan dari pernyataan atau
fakta- fakta yang dianggap benar dengan menggunakan logika)”. Menurut Soedjadi
(2007:22) bahwa “bernalar biasanya perlu mengaitkan dengan “alasan” atau
“argumentasi” serta “simpulan” atau “konklusi”. Seseorang yang sudah biasa
bernalar tidak terlalu sulit untuk menemukan “kembali” argumen atau simpulan
yang mungkin tersembunyi itu”. Penalaran deduktif diawali dengan menetapkan
sekumpulan konsep tertentu yang tidak didefinisikan, misalnya titik, garis, dan
sebagainya. Dengan menggunakan pengertian pangkal ini disusunlah pernyataan-
pernyataan yang sebenarnya merupakan kesepakatan dan tidak memerlukan
pembuktian, inilah yang disebut dengan aksioma. Misalnya aksioma “melalui dua
titik berlainan dapat dibuat suatu garis lurus”. Selanjutnya berdasarkan pengertian

4
pangkal dan aksioma diturunkan definisi dan teorema untuk mendapatkan
pengertian baru. Demikian seterusnya dengan menggunakan pola pikir deduktif itu
maka konsep- konsep matematika termasuk geometri dapat berkembang sesuai
konteks semestanya.. Contoh penalaran deduktif dalam matematika, misalnya
siswa telah diberi tentang definisi (pengertian) segitiga, rumus dan teorema “jika
dua garis sejajar dipotong garis lain, maka sudut- sudut dalam berseberangan sama
besar” ,

maka dengan menggunakan pengetahuan tersebut siswa akan dapat


membuktikan pernyataan: “Jumlah besar sudut- sudut suatu segitiga adalah 1800”.
Walaupun dalam matematika sebagai “ilmu” penalaran (pola pikir) yang diterima
adalah penalaran deduktif, namun dalam proses pembelajaran matematika dapat
digunakan penalaran induktif. Penalaran induktif yang digunakan dimaksudkan
untuk menyesuaikan dengan tahap perkembangan intelektual siswa (Soedjadi,
2000). Misalnya untuk membuktikan pernyataan di atas: “jumlah besar sudut- sudut
suatu segitiga adalah 1800” dengan cara induktif, maka siswa atau sekelompok
siswa diminta untuk:
(a) membuat model segitiga sembarang dari kertas; (
b) menggunting sudut- sudut segitiga tersebut dan;

(c) mengimpitkannya sudut- sudut segitiga tersebut sehingga pada akhirnya


membentuk sudut lurus.

Dengan berbagai jenis segitiga yang dilakukan dengan cara yang sama
seperti di atas, maka dapat ditarik kesimpulan berdasarkan fakta- fakta tersebut
bahwa jumlah besar sudut- sudut suatu segitiga adalah 1800. Demikian banyak
topik matematika yang penyajiannya perlu diawali dengan langkahlangkah induktif
namun akhirnya tetap diarahkan agar siswa dapat bernalar secara deduktif. Jadi
penalaran induktif kesimpulannya berasal dari alasan-alasan yang bersifat khusus
menjadi bersifat umum. Jadi, penalaran induktif memerlukan pengamatan yang
dijadikan sebagai dasar argumentasi. Pengamatan itu terbatas dan tidak cermat,
walaupun menggunakan alat-alat yang mutakhir dan canggih. Dengan kata lain
pernyataan atau kesimpulan yang diperoleh dari penalaran induktif masih mungkin
bernilai salah. Karena itu dalam matematika kesimpulan yang diperoleh melalui
proses penalaran induktif masih merupakan dugaan (conjecture). Oleh karena itulah
penalaran yang diterima dalam matematika adalah penalaran deduktif yang
menghasilkan kesimpulan sahih. Karena itu Shadiq (2004) menyatakan bahwa
deduksi yang valid atau sahih, kesimpulan yang diperoleh tidak akan pernah salah
bila premis- premisnya bernilai benar (truth preserving). Inilah kelebihan penalaran
deduktif dibandingkan penalaran induktif.

5
B. Pengertian Masalah
Suatu masalah biasanya memuat suatu situasi yang mendorong seseorang
untuk menyelesaikannya akan tetapi tidak tahu secara langsung apa yang harus
dikerjakan untuk menyelesaikannya. Jika suatu masalah diberikan kepada seorang
anak dan anak tersebut langsung mengetahui cara menyelesaikannya dengan benar,
maka soal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai masalah.
Beberapa ahli pendidikan matematika menyatakan bahwa masalah merupakan
pertanyaan yang harus dijawab atau direspon. Namun tidak setiap pertanyaan
otomatis merupakan suatu masalah. Suatu pertanyaan disebut masalah tergantung
kepada pengetahuan yang dimiliki penjawab. Dapat terjadi bahwa bagi seseorang,
pertanyaan itu dapat dijawab dengan menggunakan prosedur rutin tetapi bagi orang
lain untuk menjawab pertanyaan tersebut memerlukan pengorganisasian
pengetahuan yang telah dimiliki secara tidak rutin.
Jadi suatu pertanyaan dapat menjadi masalah bagi seseorang tetapi bisa hanya
menjadi pertanyaan biasa bagi orang lain. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Schoenfeld (1985) yaitu bahwa definisi masalah selalu relatif bagi
setiap individu. Kategori pertanyaan menjadi masalah atau pertanyaan hanyalah
pertanyaan biasa ditentukan oleh ada atau tidaknya tantangan serta belum
diketahuinya prosedur rutin pada pertanyaan tersebut.
Hal ini dikatakan oleh Cooney, 1975 bahwa suatu pertanyaan akan menjadi
masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya tantangan yang tidak dapat
dipecahkan oleh suatu prosedur rutin yang sudah diketahui oleh si pelaku.
Suatu pertanyaan akan merupakan suatu masalah hanya jika seseorang tidak
mempunyai aturan/hukum tertentu yang dapat segera dipergunakan untuk
menemukan jawaban pertanyaan tersebut.
Suatu pertanyaan merupakan masalah bergantung kepada individu dan waktu.
Artinya, suatu pertanyaan merupakan suatu masalah bagi seorang anak, tetapi
mungkin bukan suatu masalah bagi anak lain. Demikian juga suatu pertanyaan
merupakan suatu masalah bagi seorang anak pada suatu saat, tetapi bukan
merupakan suatu masalah lagi bagi anak tersebut pada saat berikutnya, bila anak
tersebut sudah mengetahui cara dan proses penyelesaian masalah tersebut.
Syarat suatu masalah bagi seorang siswa adalah :
1. Pertanyaan yang dihadapkan kepada seorang siswa haruslah dapat dimengerti
oleh siswa tersebut, namun pertanyaan itu harus merupakan tantangan baginya
untuk menjawabnya.
2. Pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang telah
diketahui siswa. Karena itu, faktor waktu untuk menyelesaikan masalah janganlah
dipandang sebagai hal yang esensial.
Pertanyaan yang dihadapkan kepada siswa disebut soal. Soal-soal matematika
dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

6
1. Latihan yang diberikan pada saat belajar matematika adalah bersifat berlatih agar
terampil atau sebagai aplikasi dari pengertian yang baru saja diajarkan
2. Untuk menyelesaikan suatu masalah, siswa tersebut harus menguasai hal-hal yang
telah dipelajari sebelumnya yaitu mengenai pengetahuan, keterampilan dan
pemahaman.
Menurut Polya (1973), terdapat dua macam masalah, yaitu :
1. Masalah untuk menemukan, dapat teoritis atau praktis, abstrak atau konkrit,
termasuk teka-teki. Bagian utama dari masalah ini adalah :
a. Apakah yang dicari?
b. Bagaimana data yang diketahui?
c. Bagaimana syaratnya?

Ketiga bagian utama tersebut sebagai landasan untuk dapat menyelesaikan


masalah jenis ini.
2. Masalah untuk membuktikan adalah untuk membuktikan bahwa suatu pernyataan
itu benar atau salah atau tidak kedua-duanya. Bagian utama dari masalah ini adalah
hipotesa dan konklusi dari sebuah teorema yang harus dibuktikan kebenarannya.
Kedua bagian utama tersebut sebagai landasan untuk dapat menyelesaikan
masalah jenis ini.
Masalah untuk menemukan lebih penting dalam matematika elementer,
sedangkan masalah untuk membuktikan lebih penting dalam matematika lanjut.

C. Pengertian Pemecahan Masalah


Pada awal abad ke sembilan belas, pemecahan masalah dipandang sebagai
kumpulan keterampilan bersifat mekanis, sistematik, dan seringkali abstrak
sebagaimana keterampilan yang digunakan pada penyelesaian soal sistem
persamaan. Penyelesaian masalah seperti ini seringkali hanya berlandaskan pada
solusi logis yang bersifat tunggal (Kirkley, 2003).
Menurut Garofalo dan Lester (dalam Kirkley, 2003), pemecahan masamasah
mencakup proses berpikir tingkat tinggi seperti proses visualisasi, asosiasi,
abstraksi, manipulasi, penalaran, analisis, sintesis, dan generalisasi yang masing-
masing perlu dikelola secara terkoordinasi.
Menurut NCTM (2000) memecahkan masalah berarti menemukan cara atau
jalan mencapai tujuan atau solusi yang tidak dengan mudah menjadi nyata.
Sedangkan menurut Polya (dalam Hudoyo, 1979) definisi pemecahan masalah
adalah sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai tujuan
yang tidak dengan segera dapat dicapai.
Pemecahan masalah merupakan suatu proses untuk mengatasi kesulitan yang
dihadapi untuk mencapai suatu tujuan yang hendak dicapai. Memecahkan suatu
masalah matematika itu bisa merupakan kegiatan menyelesaikan soal cerita,

7
menyelesaikan soal yang tidak rutin, mengaplikasikan matematika dalam
kehidupan sehari-hari atau keadaan lain dan membuktikan atau menciptakan atau
menguji konjektur.
Menurut Polya (Dardiri, 2007 : 28) menjelaskan bahwa pemecahan masalah
merupakan suatu aktivitas intelektual yang sangat tinggi sebab dalam pemecahan
masalah siswa harus dapat menyelesaikan dan menggunakan aturan-aturan yang
telah dipelajari untuk membuat rumusan masalah. Aktivitas mental yang dapat
dijangkau dalam pemecahan masalah antara lain adalah mengingat, mengenal,
menjelaskan, membedakan, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi.
Selain itu, Dahar (Furqon, 2006 : 40) mengungkapkan bahwa pemecahan
masalah merupakan kegiatan manusia yang mengaplikasikan konsep-konsep dan
aturan-aturan yang diperoleh sebelumnya. Bila seorang siswa memecahkan
masalah secara tidak langsung terlibat dalam perilaku berpikir.
Proses belajar menggunakan pemecahan masalah memungkinkan siswa
membangun atau mengkonstruksi pengetahuannya sendiri didasarkan pengetahuan
yang telah dimilikinya sehingga proses belajar yang dilakukan akan berjalan aktif
dan dinamis.
Berdasarkan uraian tersebut, pemecahan masalah dalam matematika dipandang
sebagai proses dimana siswa menemukan kombinasi aturan-aturan atau prinsip-
prinsip matematika yang telah dipelajari sebelumnya yang digunakan untuk
memecahkan masalah.
Menurut Polya (1971), solusi soal pemecahan masalah memuat empat langkah
fase penyelesaian, yaitu memahami masalah, merencanakan
penyelesaian, menyelesaikan masalah sesuai rencana, dan melakukan pengecekan
kembali terhadap semua langkah yang telah dikerjakan.
Fase pertama adalah memahami masalah. Tanpa adanya pemahaman terhadap
masalah yang diberikan, siswa tidak mungkin mampu menyelesaikan masalah
tersebut dengan benar. Setelah siswa dapat memahami masalahnya dengan benar,
selanjutnya mereka harus mampu menyusun rencana penyelesaian masalah.
Kemampuan melakukan fase kedua ini sangat tergantung pada pengalaman siswa
dalam menyelesaikan masalah. Pada umumnya, semakin bervariasi pengalaman
mereka, ada kecenderungan siswa lebih kreatif dalam menyusun rencana
penyelesaian suatu masalah. Jika rencana penyelesaian suatu masalah telah dibuat,
baik secara tertulis atau tidak, selanjutnya dilakukan penyelesaian masalah sesuai
dengan rencana yang dianggap paling tepat. Dan langkah terahir dari proses
penyelesaian masalah menurut Polya adalah melakukan pengecekan atas apa yang
telah dilakukan mulai dari fase pertama sampai fase penyelesaian ketiga. Dengan
cara seperti ini maka berbagai kesalahan yang tidak perlu dapat terkoreksi kembali
sehingga siswa dapat sampai pada jawaban yang benar sesuai dengan masalah yang
diberikan.

8
Tingkat kesulitan soal pemecahan-masalah harus disesuaikan dengan tingkat
kemampuan anak. Berdasarkan hasil penelitian Driscoll (1982), pada anak usia
sekolah dasar kemampuan pemecahan masalah erat sekali hubungannya dengan
kemampuan pemecahan-masalah. Sedangkan pada anak yang lebih dewasa,
misalkan siswa SMU, kaitan antar kedua hal tersebut sangat kecil.

D. Jenis-jenis Masalah dalam Matematika Beserta Contohnya


Masalah dalam matematika dapat dibagi atas beberapa macam. Para ahli
membagi masalah tersebut dalam berbagai jenis berdasarkan sudut pandang
masing-masing.
Menurut Polya (1957) (dalam Dindyal, 2005: 70), masalah dibagi atas dua
macam, yaitu masalah rutin dan masalah tidak rutin. Hal ini sejalan dengan
pendapat Sternberg dan Ben-Zeev (1996: 32) bahwa masalah matematika terbagi
atas masalah rutin dan masalah tidak rutin.
Masalah rutin adalah suatu masalah yang semata-mata hanya merupakan
latihan yang dapat dipecahkan dengan menggunakan beberapa perintah atau
algoritma. Contoh: (54 - 45) + (74 – 65) = ___. Ini Adalah masalah rutin untuk
semua siswa sekolah menengah karena apa yang hendak dilakukan sudah jelas dan
secara umum siswa tahu bagaimana menghitungnya.
Masalah tidak rutin lebih menantang dan diperlukan kemampuan kreativitas
dari pemecah masalah. Menurut Sternberg dan Ben-Zeev (1996: 32), masalah yang
tidak rutin muncul ketika pemecah masalah mempunyai suatu masalah tetapi tidak
segera mengetahui bagaimana memecahkannya. Contoh:
Dalam sebuah pesta rakyat, banyak pengunjung pria dibandingkan pengunjung
wanita adalah 5 : 2. Bila di antara pengunjung pria itu ada 6 orang yang
meninggalkan pesta sebelum pesta usai, maka perbandingan pengunjung pria dan
pengunjung wanita menjadi 2 : 1. Tentukan banyak pengunjung pesta rakyat itu?
Soal di atas merupakan soal yang tidak rutin karena apa yang dilakukan tidak
jelas. Siswa dapat saja menyelesaikan soal ini dengan jelas tapi salah dalam
merepresentasikan masalahnya.
Menurut Sternberg dan Ben-Zeev (1996: 32), beberapa masalah dapat disebut
rutin untuk seorang pemecah masalah tetapi tidak rutin untuk orang lain. Jika siswa
mengetahui rumus jarak = kecepatan x waktu, dan familiar dengan masalah jarak-
kecepatan-waktu, maka soal berikut adalah soal rutin:
Jarak pulau Siompu dan pulau Kabaena adalah 240 mil. Seorang nelayan
menggunakan sebuah perahu motor berangkat dari pulau Siompu pukul 04.30

9
WITA menuju pulau Kabaena dengan kecepatan rata-rata 75 mil/jam. Di tengah
diperjalanan ia beristirahat 40 menit sambil memancing ikan. Pada pukul berapakah
nelayan tersebut tiba di pulau Kabaena?
Contoh terakhir di atas menjadi soal yang tidak rutin jika siswa tidak
mengetahui atau belum memahami secara baik hubungan antara jarak, kecepatan,
dan waktu atau belum familiar terhadap hubungan ketiganya.
Contoh-contoh masalah yang dikemukakan dalam bentuk soal-soal di atas itu
disebut juga masalah dunia nyata dan merupakan salah satu jenis dari masalah
matematika. Di dalam Wikipedia (2008: 1) disebutkan bahwa masalah matematika
dapat dibagi atas dua macam, yaitu: (1) masalah dunia nyata (real world problem)
atau masalah alami yang lebih abstrak (a problem of a more abstract nature); dan
(2) masalah matematika murni itu sendiri (nature mathematics).
Masalah matematika dunia nyata adalah suatu pertanyaan yang dikaitkan
dengan keadaan konkrit (Wikipedia, 2008: 1). Masalah dunia nyata digunakan
dalam pendidikan matematika untuk mengajarkan kepada siswa keterkaitan situasi
dunia nyata dengan bahasa matematika yang abstrak. Keterkaitan matematika
dengan dunia nyata yang tampak pada setiap pernyataan atau soal matematika yang
diberikan akan berdampak pada banyak aspek dalam diri siswa seperti lebih tertarik
untuk mempelajari matematika dan meningkatkan kemampuan berpikirnya. Oleh
karena itu, siswa perlu diarahkan untuk memahami bagaimana menyelesaikan
masalah dunia nyata secara lebih baik.
Sehubungan dengan masalah yang tidak rutin ini, menurut Polya (1973) (dalam
Hudojo, 2001: 164), di dalam matematika terdapat dua macam masalah, yaitu: (1)
masalah untuk menemukan, dapat teoritis atau praktis, abstrak atau konkret,
termasuk teka-teki; dan (2) masalah untuk membuktikan adalah untuk
menunjukkan bahwa suatu pernyataan itu benar atau salah - tidak kedua-duanya.
Bagian utama dari masalah menemukan adalah: ”Apakah yang dicari? Bagaimana
data yang diketahui? Bagaimana syaratnya?”, sehingga masalah seperti ini lebih
penting dalam matematika elementer, sedangkan masalah membuktikan lebih
penting dalam matematika lanjut. Kedua macam masalah ini merupakan bagian tak
terpisahkan dari kegiatan siswa mempelajari matematika. Setiap masalah dalam
matematika memerlukan pemecahan dan pemecahan itu harus dapat dibuktikan
atau dapat dikomunikasikan sehingga dapat diterima oleh orang lain.
Jenis masalah dalam pembelajaran SD ada 4 yaitu:
1. Masalah Translasi

10
Masalah translasi adalah masalah yang berhubungan aktivitas sehari-hari
siswa.
Contoh: Ade membeli permen Sugus 12 buah.Bagaimana cara Ade membagikan
kepada 24 orang temannya agar semua kebagian dengan adil?
2. Masalah Aplikasi
Masalah aplikasi adalah masalah yang menerapkan suatu konsep,rumus
matematika dalam sebuah soal-soal matematika.
Contoh : suatu kolam berbentuk persegipanjang yang berukuran panjang 20 meter
dan lebar 10 meter.Berapa luas kolam tersebut?
3. Masalah Proses/Pola
Masalah proses/pola adalah masalah yang memiliki pola, keteraturan dalam
penyelesainnya.
Contoh: 2 4 6 8 ... Berapa angka berikutnya?
4. Masalah Teka-teki
Masalah teka-teki adalah masalah yang sifat menerka atau dapat berupa
permainan namun tetap mengacu pada konsep dalam matematika.
Contoh:Aku adalah anggota bilangan Asli,aku adalah bilangan perkasa,jika
kelipatannku dijumlahkan angka-angkanya hasilnya adalah aku,siapakah aku?
Masalah di dalam matematika dapat diklasifikasi dalam dua jenis (Pusat
Kurikulum, 2002 a, b, dan c), yaitu :
1. Penemuan (Problem to find), yaitu mencari, menentukan, atau mendapatkan nilai
atau objek tertentu yang tidak diketahui dari soal serta memenuhi kondisi atau
syarat yang sesuai dengan soal.
2. Pembuktian (Problem to prove), yaitu prosedur untuk menentukan apakah suatu
pernyataan benar atau tidak benar. Soal membuktikan terdiri atas bagian hipotesis
dan kesimpulan. Untuk membuktikan kita harus membuat atau memproses
pernyataan yang logis dari hipotesis menuju kesimpulan, sedangkan untuk
membuktikan bahwa suatu pernyataan tidak benar kita harus memberikan contoh
penyangkalnya sehingga pernyataan tersebut menjadi tidak benar.
Perhatikan beberapa contoh soal berikut:
a. Apa langkah pertama yang harus dilakukan dalam mengerjakan 3 1/2: 5 1/4?
b. Tentukan hasilnya bila 1/4 x 6 : 2 1/2 ?
c. Manakah yang lebih luas, kebun yang berbentuk persegipanjang dengan panjang
314 m dan lebar 12 m atau kolam renang yang berbentuk lingkaran dengan jari-jari
lingkaran 12 m?

11
d. Ani lebih tua dari Budi, Budi lebih tua daripada Chandra, Chandra lebih muda
daripada Deni. Siapakah yang paling muda di antara mereka?
e. Diketahui sejumlah bangun geometri datar, yaitu persegi, persegipanjang, segitiga,
lingkaran, belahketupat, jajargenjang, laying-layang, dan trapesium. Buatlah
hubungan di antara mereka dalam bentuk diagram peta konsep!
f. Dengan cara bagaimana kita menunjukkan 6 dibagi 3 adalah 2?
g. Jelaskan mengapa?

h. Mengapa bilangan-bilangan ganjil dikalikan dengan bilangan genap selalu


menghasilkan bilangan genap?
i. Mengapa setiap persegi adalah pesegi panjang?
j. Mengapa sebuah relasi belum tentu merupakan fungsi?
Dari soal-soal di atas soal no a-e merupakan masalah penemuan, sedangkan
soal no 6-10 merupakan masalah pembuktian, karena :
a. Pada soal poin a siswa akan menentukan langkah pertama untuk mendapatkan nilai
dari 3 ½ : 5 ¼ (masalah penemuan).
b. Pada soal poin b siswa akan mencari nilai dari 1/4 x 6 : 2 1/2 (masalah penemuan).
c. Pada soal poin c siswa akan menentukan mana yang lebih luas dengan mencari luas
kebun dan kolam renang dengan ukuran masing-masing yang sudah di
tentukan (masalah penemuan).
d. Pada soal poin d siswa akan menentukan kondisi yang sesuai soal dengan yang
diberikan (masalah penemuan).
e. Pada soal poin e siswa akan mencari, menentukan, dan mendapatkan hubungan
bangun geometri datar yang diberikan dalam diagram peta konsep (masalah
penemuan).
f. Pada soal poin f siswa akan menunjukkan bahwa 6 dibagi 3 adalah 2 merupakan
pernyataan yang bernilai benar (masalah pembuktian).
g. Pada soal poin g siswa akan menunjukkan bahwa adalah benar (masalah
pembuktian).
h. Pada soal poin h, i dan j merupakan masalah pembuktian diserahkan kepada Anda
sebagai latihan.
Pemecahan masalah memerlukan strategi dalam
menyelesaikannya.Kebenaran,ketepatan,keuletan dan kecepatan adalah suatu hal
yang diperlukan dalam penyelesaian masalah.Keterampilan siswa dalam menyusun
suatu strategi adalah suatu kemampuan yang harus dilihat oleh guru.Jawaban benar

12
bukan standar ukur mutlak,namun proses yang lebih penting darimana siswa dapat
mendapatkan jawaban tersebut.Variasi strategi yang diharapkan muncul dalam
pembelajaran siswa SD.

E. Jenis-jenis Pemecahan Masalah


Berikut ini beberapa adalah jenis pemecahan masalah yang diterapkan dalam
pembelajaran siswa sekolah dasar :
1. Bekerja Mundur
Cara ini digunakan ketika pemecah masalah mendapati suatu masalah yang
memiliki titik akhir (end-point) namun mendapati terlalu banyak/rumit cara untuk
menyelesaikan masalah ketika melalui titik awal permasalahan.
Contoh :
Evelyn, Henry, dan Al bermain suatu permainan. Pemain yang kalah pada setiap
rondenya harus memberikan uang sebanyak uang lawan pada saat itu kepada
masing-masing pemain tersebut. Pada ronde pertama, Evelyn kalah dan memberi
Henry dan Al uang sejumlah yang mereka punya. Pada ronde kedua, Henry kalah,
dan memberi Evelyn dan Al uang sebanyak yang mereka punya masing-masing. Al
kalah pada ronde ketiga, dan memberi Evelyn dan Henry uang sebanyak yang
mereka punya. Mereka memutuskan untuk berhenti bermain pada saat itu dan
menemukan bahwa uang mereka masing-masing adalah $24.
Berapa banyak uang mereka masing-masing pada awal permainan?

Penyelesaian :
Pemecah masalah biasanya memulai mengerjakan soal ini dengan membuat sistem
persamaan tiga variabel. Namun, soal menuntut banyak peran dari pengurangan dan
penyederhanaan tanda kurung sehingga dikhawatirkan kemungkinan terjadi
kesalahan menjadi lebih besar.
Lain halnya jika dikerjakan dengan cara mundur. Pemecah masalah tidak perlu
berhadapan dengan sistem aljabar.
Evelyn Henry Al
Akhir ronde 3 24 24 24
Akhir ronde 2 12 12 48
Akhir ronde 1 6 42 24
Awal Bermain 39 21 12

13
2. Mencari Pola
Salah satu kecantikan matematika adalah kelogisan dan keteraturan yang menjadi
sifat alaminya. Kelogisan tersebut dapat terlihat secara ‘fisik’ sebagai pola maupun
serangkaian pola.
Bergitupula permasalahan matematika, dengan meluangkan sedikit waktu untuk
berpikir, pola dari permasalahan akan muncul dan memberi jalan bagi pemecah
masalah untuk menyelesaikan soal tersebut.
3. Mengadopsi Sudut Pandang yang Berbeda
Mengerjakan soal matematika dengan menyelesaikan secara langsung memang
memberikan solusi tetapi belum tentu cara tersebut efesien. Terkadang, akan sangat
menguntungkan bagi pemecah masalah ketika mencoba mengadopsi sudut pandang
yang berbeda dari suatu permasalahan.
.
4. Menyelesaikan dengan analogi yang lebih sederhana
Sekarang kita telah mengetahui bahwa terdapat banyak cara dalam memecahkan
masalah matematika. Namun, yang menjadi fokus dalam setiap permasalahan
adalah bagaimana menemukan dan menentukan metode yang terbaik, dan paling
efesien.
Salah satu metode yang kadangkala dapat memunculkan jawaban adalah dengan
mengubah soal dalam bentuk yang lebih mudah untuk dikerjakan. Dengan
mengerjakan soal ini diharapkan pemecahan masalah mendapatkan pengetahuan
untuk mengerjakan soal yang sebenarnya. Metode ini digunakan ketika suatu
masalah tidak menuntut jawaban yang exact.
5. Meninjau Kasus Ekstrim
Beberapa soal dapat dipecahkan dengan mudah dengan meninjau kasus ekstrim
dalam soal tersebut. Dengan meninjau kasus ekstrim kita mungkin merubah
variabel tetapi hanya variabel yang tidak mempengaruhi soal awal.
Contoh :
Sebuah mobil berjalan dengan kecepatan konstan 55 km/jam. Pengemudi itu
mendapati bahwa mobil kedua tepat km di belakangnya. Mobil kedua tersebut
berhasil mendahului mobil pertama, tepat 1 menit kemudian. Berapakah kecepatan
mobil kedua berjalan?
Penyelesaian :
Asumsikan bahwa mobil pertama berjalan dengan kecepatan sangat lambat, yaitu 0
km/jam. Dalam kondisi ini, mobil kedua berjalan km dalam 1 menit untuk

14
mendahului mobil pertama. Maka, mobil kedua berjalan dengan kecepatan 30
km/jam. Ketika mobil pertama beranjak dari 0 km/jam, maka mobil kedua akan
berjalan 30 km/jam lebih cepat. Sehingga, jika mobil pertama melintas dengan
kecepatan 55 km/jam, maka mobil kedua akan melintas pada kecepatan 85 km/jam.

6. Membuat Gambar (Visualisasi Masalah)


Membuat gambar/visualisasi dalam geometri bukanlah suatu hal yang baru. Namun
bagaimana jika dibuat untuk jenis soal lain? Gambar/visualisasi akan berfungsi
sebagai fasilitator untuk menyelesaikan masalah dibanding sebagai unsur-unsur
dari permasalahan.
7. Menghitung Semua Kemungkinan
Strategi ini seringkali disebut dengan “mengeliminasi/menghilangkan
kemungkinan” yakni strategi di mana pemecah masalah menghilangkan
kemungkinan jawaban sampai menyisakan jawaban yang benar.
Tentunya cara ini membutuhkan waktu lebih lama daripada cara-cara lainnya. Tapi
ada kalanya suatu permasalahan lebih baik diselesaikan dengan cara ini ketika cara
yang lain tidak menjanjikan sebuah jawaban atau terlalu abstrak.
Terkadang proses pengeliminasian kemungkinan jawaban dapat terjadi secara
mental (tanpa melibatkan tulisan).
Contoh :
Jika 4 koin dilempar, berapakah peluang bahwa paling sedikit 2 angka muncul ?
Penyelesaian :
Satu-satunya cara yang dapat dilakukan adalah dengan mendata semua
kemungkinan kejadian karena akan terlalu rumit untuk mencoba memformulasi
permasalahan ini. Adapun semua kemungkinannya adalah sebagai berikut:
AAAA AAAG AAGA AGAA
GAAA GGAA AGAG GAAG
AGGA GAGA GGAA AGGG
GAGG GGAG GGGA GGGG
Terdapat 11 kemungkinan kejadian bahwa minimal 2 angka muncul. Oleh karena
itu, peluang kejadiannya adalah 11/16.

8. Mengorganisasi Data
Beberapa orang kadang kebingungan mengerjakan soal yang memuat atau
mengandung unsur-unsur informasi seperti data dsb. Mengorganisasi ulang data

15
yang diberikan mungkin bisa menjadi alternatif dalam memandang suatu
soal/permasalahan secara visual.

9. Penalaran Logis
Tanpa kita sadari kita sering melakukan penalaran secara logis. Kemampuan
melakukan penalaran logis bergantung pada banyak latihan maupun pengalaman
yang telah didapat. Karena materi matematika salng berhubungan, maka dalam
permasalahan matematika, valid-nya suatu penalaran akan sangat bergantung
terhadap keluwesan dan penguasaan materi-materi matematika tersebut.

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari pembahasan di atas, maka dapat diperoleh
gambaran bahwa pengintegrasian pemecahan masalah memiliki peranan
penting, antara lain:
a. dapat meningkatkan kompetensi penalaran siswa, sehingga siswa lebih
cermat dan analitis mengambil keputusan pada setiap menghadapi masalah. b.
siswa lebih bersikap kritis terhadap permasalahan yang dihadapi.
c. dapat lebih terampil menerapkan pengetahuan yang telah dimilikinya dalam
menyelesaikan soal- soal matematika.
d. dapat memotivasi siswa dalam mempelajari konsep- konsep dan matematika
pada umumnya.
Oleh karena itu menurut Soedjadi (2000: 138) menyatakan bahwa tujuan
pendidikan matematika haruslah memperhatikan:
(1) tujuan yang bersifat formal, yaitu penataan nalar serta pembentukan
pribadi anak didik, dan
(2) tujuan yang bersifat material, yaitu penerapan matematika serta
keterampilan matematik. Keduanya perlu dilaksanakan secara proporsional,
sesuai dengan jenis dan jenjang lembaga pendidikan yang memerlukan
matematika

B. Kritik dan Saran


Diharapkan pembaca dapat memahami mata kuliah Statistik Dasar dan
mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata.
Penulis dalam menulis makalah ini menyadari masih banyak kekurangan, jadi,
oleh pembaca diharapkan memberikan kritik dan saran jika menemukan
kesalahan dalam penulisan makalah ini.

17
DAFTAR PUSTAKA
www.google.com
http://infoupdate-today.com
Dahar, W.R. (1989). Teori- Teori Belajar. Bandung. Erlangga.
Depdiknas. (2006). Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 45
Tahun 2006 tanggal 13 Nopember 2006. Jakarta. ----------- . (2007). Kajian
Kebijakan Kurikulum Matapelajaran Matematika. Jakarta. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kurikulum.

18

Anda mungkin juga menyukai