Anda di halaman 1dari 14

Makalah Tentang Pemalsuan Hadits

By Portgas on Friday, 9 March 2012

A.
PENDAHULUAN
Hadis merupakan sumber kedua setelah al-Qur'an. Dengan demikian, kedudukannya menjadi
sangat penting dalam ajaran Islam, sehingga dalam setiap penetapan atau menguatkan sebuah
argumen, baik dalam bidang aqidah, ibadah maupun mu'amalah, hadis selalu diikutsertakan.
Selain itu, hadis juga digunakan sebagai bayan ayat-ayat al-Qur'an yang global. Tanpa
penjelasan hadis, sangat sulit bagi umat Islam untuk bisa melaksanakan ajaran al-Qur'an
dengan sempurna yang pada akhirnya syari'ah Islam pun tidak bisa dijalankan dengan baik.
Hal ini mendorong berbagai kalangan untuk untuk mengkaji hadis secara lebih mendalam
sehingga lahirlah berbagai macam ilmu pengetahuan baru yang membahas tentang hadis.
Walaupun demikian, perjalanan hadis tidaklah semulus yang diinginkan, apalagi hadis baru
dibukukan kurang lebih seabad setelah Rasululullah SAW wafat, sehingga ada sebagian
kalangan yang meragukan otentisitasnya, bukan hanya dari golongan orientalis, yang note
bene memang sengaja mencari-cari kelemahan Islam, bahkan dari kalangan umat Islam
sendiri ada yang ikut-ikutan latah menolak keberadaan hadis secara secara keseluruhan.
Memang harus diakui bahwa tidak semua hadis yang ada pada saat ini bisa diterima secara
keseluruhan. Namun demikian, bukan berarti keberadaan hadis tersebut lalu ditolak secara
keseluruhan. Hal ini juga diakui oleh para ulama, baik salaf maupun khalaf, dan juga tidak
ada klaim dari mereka yang mengatakan dan meyakini bahwa seluruh hadis yang ada itu asli
atau sahih semuanya. Sebaliknya, tidak pula mereka berkeyakinan bahwa semua hadis yang
ada
itu
palsu.
Kesenjangan waktu antara masa hidup Rasulullah SAW dengan masa mulai dibukukannya
hadis, tidak dipungkiri, telah memberi celah kepada sebagian orang atau kelompok-kelompok
tertentu melakukan pemalsuan terhadap hadis demi kepentingan pibadi atau kelompok serta
memenuhi keinginan hawa nafsu mereka. Apalagi semasa hidupnya, Rasulullah SAW
melarang para sahabat untuk mencatat apa yang beliau ucapkan sebelum mengizinkannya[1]
karena kekhawatiran beliau, menurut sebagian ulama, tercampurnya antara ayat-ayat alQur'an dengan hadis-hadis beliau. Kesempatan inilah yang dipergunakan oleh sebagian orang
yang tidak bertanggung jawab untuk memutarbalikkan fakta dengan membuat hadis-hadis
baru kemudian menyandarkannya kepada Rasulullah SAW, dan bahkan ada yang secara
sengaja memalsukan hadis dengan tujuan yang dianggapnya positif dan mengklaimnya
berasal dari Rasulullah SAW padahal beliau tidak pernah mengatakan atau melakukan seperti

yang diklaim oleh para pemalsu tersebut. Mereka telah membuat kepalsuan atas nama
Rasulullah SAW tanpa mengindahkan peringatan beliau bagi para pembohong yang
mengatasnamakan dirinya, sabda beliau:
,
"Sesungguhnya berdusta atas diriku tiodaklah seperti berdusta atas seseorang (selain diriku).
Barangsiapa berdusta atas diriku maka bersiap-siaplah ia mengambil tempatnya di neraka".
(HR.
Bukhari
dan
Muslim)
B.
PENGERTIAN
HADITS
MAUDHU'
Hadis maudhu' kadang disebut juga al-mukhtalaqu, al-muhtala'u, al-mashnu' dan al-makdzub.
Ungkapan-ungkapan tersebut memiliki arti yang hampir sama. Pemakaiannya secara
bersama-sama merupakan suatu pengukuhan bahwa hadis semacam itu semata-mata dusta.
Kata maudhu' berasal dari term wa-dha-'a yang merupakan ism maf'ul. Menurut bahasa
berarti al-isqath (meletakkan; menyimpan), al-iftira, wa al-ikhtilaq (mengada-ada atau
membuat-buat), dan al-tarku (ditinggal). Secara terminologis, Subhi al-Shalih[2]
mendefinisikan hadis maudhu' sebagai berikut:

"Berita yang diciptakan oleh para pendusta dan mereka menisbahkan atas nama Rasululullah
SAW
secara
sengaja
dengan
dasar
mengada-ngada".
Sedangkan Mahmud Abu Rayyah[3] mendefinisikan hadis maudhu' sebagai berikut:
.
"Hadis yang dibuat-buat oleh seseorang dan hadis tersebut dinisbahkannya kepada Rasulullah
SAW secara palsu dan bohong, tidak ada bedanya hal tersebut baik disengaja maupun tidak."
Dan Muhammad 'Ajjaj al-Khatib[4] mendefinisikan hadis maudhu' sebagai berikut:
.
"Hadis yang disandarkan kepada Rasulullah SAW secara dibuat-buat dan dusta, padahal
beliau
tidak
mengatakan,
melakukan
atau
menetapkannya."
Berdasarkan ketiga definisi di atas, dipahami bahwa setiap yang disandarkan kepada
Rasaulullah SAW, baik bersifat positif maupun negatif, jika Rasulullah SAW tidak pernah
melakukan atau mengatakannya maka hal itu adalah maudhu'. Bahkan jika penyandaran palsu
tersebut dilakukan kepada para sahabat maupun tabi'in, menurut Ramli,[5] termasuk dalam
kategori
ini.
C.
SEJARAH
AWAL
PEMALSUAN
HADITS
Ada beberapa pendapat mengenai awal terjadinya pemalsuan hadis. Kelompok pertama
menyatakan bahwa hadis maudhu' sudah muncul pada masa Rasulullah SAW masih hidup.
Pendapat ini dikemukakan antara lain oleh Ahmad Amin dan Hasyim Ma'ruf al-Husaini.
Mereka mendasarkankan pendapatnya pada sinyalemen Nabi yang mengungkapkan ancaman
keras terhadap orang yang berusaha melakukan pendustaan atas nama beliau, sebagaimana
sabdanya:

Barangsiapa yang berbohong secara sengaja dengan mengatasnamakan diriku, hendaklah ia
bersiap-siap
untuk
mendapatkan
tempatnya
di
neraka.
(HR.Muslim)

Menurut Ahmad Amin, hadis di atas membawa indikasi bahwa pada masa Rasulullah SAW
hidup pernah terjadi pendustaan terhadap beliau dengan mengatasnamakan dirinya. Demikian
pula pendapat Hasyim, bahwa tidak mungkin Nabi Muhammad SAW mengeluarkan statemen
yang demikian jika tidak didahului oleh adanya gerakan-gerakan pemalsuan hadis.[6]
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh kedua tokoh di atas mendapat kritikan dari Musthafa
al-Sibai'i.[7] Menurutnya, alasan yang dikemukakan tersebut hanyalah sebuah dugaan yang
tidak mempunyai alasan historis dan tidak ditemukan dalam kitab asbab al-wurud. Jika
memang pernah terjadi pemalsuan pada masa itu tentu para sahabat akan menuturkannya
secara mutawattir karena itu merupakan suatu perbuatan jahat yang sangat buruk.
Adapun mengenai riwayat oleh al-Thahawi dalam kitabnya Musykil al-Atsar, berasal dari
Abdullah ibn Buraydah, yang diperoleh dari ayahnya yang mengatakan: Seseorang datang
ke suatu kaum dekat kota Madinah, lalu ia berkata, Rasulullah SAW menyuruh aku membuat
keputusan hukum untuk kamu berkenaan dengan perkara ini dan itu dengan mengikuti
pendapatku sendiri. Orang itu telah melamar seorang wanita dari kalangan kaum tersebut
pada masyarakat jahiliah namun mereka menolak untuk mengawinkannya, lalu ia pergi
sampai ia bertemu wanita bersangkutan. Maka kaum itu mengirim utusan kepada Rasulullah
SAW untuk menannyakan hal itu, maka beliau bersabda, Musuh Allah itu telah berbohong.
Kemudian beliau mengutus seseorang dan bersabda, Jika kau dapatkan orang itu masih
hidup, maka hantamlah tengkuknya. Tapi aku tidak melihat engkau mendapatkannya masih
hidup. Dan jika engkau dapatkan ia telah mati, maka bakarlah. Ternyata didapatkannya orang
itu telah dipatuk ular dan mati, lalu dibakarnya mayat itu. Pada saat itulah Rasulullah SAW
bersabda, Barangsiapa sengaja berbohongdan seterusnya. Dan at-Thabrani dalam
kitabnya al-Awsath juga meriwayatkan hal yang senada. Untuk bisa tidaknya diterima kedua
Riwayat ini menurut al-Sibai[8] dapat ditinjau dari beberapa sisi: Pertama, isi hadis itu tidak
dapat diterima, dan mengandung indikasi pemalsuan yang jelas. Sebab selama Rasulullah
SAW hidup, tidak pernah tercatat dalam sejarahnya beliau memerintahkan membakar mayat,
walau hanya sekali. Kedua, sanad kedua riwayat tersebut lemah karena ada di antara
perawinya yang hadisnya tidak bisa diterima. Bahkan sebagian ulama menganggapnya hadis
palsu. Ketiga, kalaupun kedua riwayat itu benar, namun keduanya merupakan pemalsuan
dalam perkara duniawi bukan hadis keagamaan umum, dan bersifat khusus bagi pemalsu itu
sendiri, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah untuk menunjukkan bahwa pemalsuan telah
terjadi sejak masa Rasulullah SAW masih hidup. Dan keempat, kedua riwayat tersebut tidak
menunjukkan secara jelas siapa pelakunya, dan tidak termasuk di antara para sahabat. Karena
itu tidak bisa dijadikan sandaran oleh mereka yang meragukan kehandalan para sahabat.
Muhammad 'Ajjaj al-Khatib juga menolak pendapat kelompok pertama ini. Menurutnya, para
sahabat sangat jauh dari kemungkinan berbuat dusta dan memalsukan hadis. Apalagi mereka
sangat sering mendengar peringatan Rasulullah SAW yang mengecam keras setiap tindakan
dusta yang mengatasnamakan diri beliau, sehingga tidak masuk akal jika salah seorang di
antara mereka ada yang berani membuat-buat dan memalsukan sesuatu yang disabdakan oleh
Rasulullah SAW. Mustahil juga mereka berani mengenyampingkan cahaya kenabian yang
selalu membimbing hati dan jiwa cahaya kenabian yang selalu membimbing hati dan jiwa
mereka kemudian memadamkan cahaya itu hanya demi kemenangan suatu partai atau untuk
menjilat seseorang. Dengan demikian, setiap upaya upaya untuk membuktikan terjadinya
pemalsuan hadis oleh para sahabat akan gagal karena adanya dalil qath'i yang menunjukkan
sifat wara' dan khasyyah mereka, sehingga jauh kemungkinan mereka melakukan maksiat.[9]

Selain itu, para sahabat juga memilki idealisme yang membuat mereka teguh dalam
menegakkan kebenaran. Mereka tidak bisa bersikap diam terhadap orangtua dan orang-orang
terhormat di antara mereka yang menyimpang dari jalan yang benar. Mereka juga tidak bisa
dihambat, bahkan oleh pihak penguasa sekalipun, dalam menjelaskan kebenaran dan mereka
tidak takut akan siapapun kecuali Allah.[10] Mereka adalah orang-orang yang sangat keras
menjaga Syari'ah dan hukum-hukumnya, serta mendalami dan menyiarkannya kepada orang
banyak sebagaimana mereka memperolehnya dari Rasulullah dengan kesediaan berkorban
untuk
itu.[11]
Kelompok kedua ulama hadis seperti Ajjaj al-Khatib, Mushtafa as-SibaI, Nur al-Dien Itr,
Muhammad Abu Zahrah, Muhammad abu Syuhbah, dan Abd al-Fatah Abu Ghuddah.[12]
berpendapat bahwa perekayasaan hadits muncul dan semakin sering terjadi sejak pertengahan
abad pertama hijriyyah, khususnya setelah terjadi sebuah peristiwa yang dikenal dengan alfitnah al-kubra[13] yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan dan
berakhir dengan terbunuhnya diri beliau. Pasca tragedi tersebut, berbagai macam aliran
politik dan teologi bermunculan. Dalam mewujudkan identitas dan membela kekuatan serta
sistem perpolitikan, setiap kelompok mencari justifikasi normatif yang diambil dari dalil-dalil
al-Qur'an maupun al-Hadits. Semula mereka mencari dari al-Qur'an yang dapat ditafsirkan
sesuai dengan aliran politik mereka. Namun upaya mereka tersebut gagal karena pada masa
itu para sahabat dan penghafal al-Qur'an masih banyak yang hidup, sehingga mereka
kesulitan mencari celah untuk bisa direkayasa dalam rangka memenuhi kebutuhan hawa
nafsunya. Akhirnya mereka beralih ke hadis-hadis nabawi yang bisa diinterpretasikan dengan
tujuan yang sama tetapi juga gagal. Karena itulah mereka mengambil jalan pintas yaitu
dengan cara memalsukan hadis atau membuat riwayat-riwayat dusta untuk menjustifikasi
sikap
politik
yang
mereka
jalani.
Menengahi kedua pendapat tersebut di atas, Shalahuddin al-Adlaby[14] menyatakan bahwa
kemunculan hadis maudhu' yang berkenaan dengan urusan dunia sudah terjadi pada masa
Rasulullah SAW, tetapi masalah agama belum terjadi. Al-Adlaby mendasarkan alasannya
pada kedua riwayat yang disampaikan oleh al-Thahawi dan al-Thabrani di atas. Dari ketiga
pendapat di atas, para sejarawan Islam dan juga muhadditsin lebih bersepakat pada pendapat
kelompok kedua yang beranggapan bahwa pemalsuan terjadi setelah Rasulullah SAW wafat.
D. FAKTOR PENDORONG TERJADINYA PEMALSUAN HADITS DAN
LINGKUNGAN
PERTUMBUHANNYA
Munculnya perselisihan politik yang terjadi pada masa-masa akhir pemerintahan khalifah
Usman dan masa-masa awal pemerintahan Ali merupakan batas pemisah antara kemurnian
hadis dan kebebasannya dari kebohongan dengan pemalsuan yang digunakan sebagai alat
untuk melayani kepentingan politik. Apalagi setelah terjadinya al-fitnah al-kubra, berbagai
aliran politik dan teologi bermunculan dengan berusaha mencari justifikasi dari al-Qur'an dan
al-Hadits, dan jika mereka tidak menemukan dalil yang mendukung maka dengan tidak
segan-segan mereka merekayasa hadis sedemikian rupa demi tercapainya tujuan yang mereka
cita-citakan. Sehingga, tidaklah mengherankan pada masa itu banyak para pendusta dan
pemalsu hadis bermunculan, bahkan di Irak merupakan basis pemalsuan hadis terbesar pada
masa itu, sampai-sampai Imam Malik berkata, Perlakukanlah hadis-hadis yang bersumber
dari penduduk Irak seperti berita-berita yang bersumber dari Ahlu al-Kitab. Jangan engkau
membenarkan dan jangan pula mendustakan mereka. Pada masa itu, setiap hari, di Irak,
tidak kurang dari 400 hadis yang diriwayatkan, jumlah ini 40 kali lipat lebih banyak dari
hadis yang diriwayatkan di Madinah, sehingga Irak dijuluki sebagai dar al-dharb (rumah
percetakan).[15]

Pemalsuan hadis yang terjadi secara besar-besaran pada masa itu mengakibatkan sulit
membedakan mana yang benar-benar shahih dan mana yang palsu. Setiap kelompok bahkan
perorangan nampaknya berlomba-lomba untuk menciptakan hadisnya sendiri-sendiri dengan
rangkaian kata-kata yang indah dan terlihat seolah-olah benar kemudian menyandarkannya
kepada Rasulullah SAW. Adapun beberapa sebab yang mendorong terjadinya pemalsuan
hadis menurut al-Sibai[16] dapat diringkas sebagai berikut:

Pertama, pertikaian politik. Akibat dari pertikaian politik ini, setiap kelompok
berusaha mencari pembenaran yang mendukung kelompok masing-masing, baik dari
al-Qur'an maupun al-Hadits, dan jika gagal, perekayasaan hadis pun mereka lakukan
demi tercapainya tujuan. Sebagian besar tema-tema hadis politik ini berkenaan
dengan keutamaan atau kelebihan sosok-sosok tertentu, atau mendukung sebuah
pendapat atau pemikiran teologis dan aliran-aliran politik tertentu. Seperti hadis-hadis
tentang keutamaan Muawiyyah yang dimunculkan kelompoknya berkenaan dengan
kedudukannya sebagai orang yang dipercaya Allah SWT, hadis tentang hak Imamah
Ali RA yang diriwayatkan kelompok Syiah, serta hadis tentang keutamaan Abu Bakar,
Umar dan Usman yang dimunculkan oleh kelompok Sunni.

Kedua, kezindikan. Yaitu sikap benci kepada Islam, baik sebagai agama maupun
sebagai kekuasaan. Hadis ini dimunculkan oleh kelompok orang-orang yang kalah
dan tersisih dengan kemunculan dan kejayaan Islam. Mereka yang dulunya berkuasa
dan bisa bertindak semena-mena kehilangan harapan untk bisa berkuasa kembali.
Untuk itu, mereka mencari jalan lain untuk melakukan balas dendam dan celah yang
paling mudah adalah dengan membuat hadis-hadis palsu. Hal ini ditujukan untuk
merusak akidah umat Islam dan mengaburkan segi-segi kebaikannya serta memecah
belah barisan para pengikut dan kekuasaan militernya. Berbagai cara mereka lakukan,
baik dengan cara menyusup dikelompok-kelompok tertentu, menyamar sebagai
seorang zahid dan sufi, maupun berkedok ahli filsafat dan ilmu hikmah.

Ketiga, Fanatisme rasial, suku, bahasa, daerah, dan imam. Hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh kelompok ini diakibatkan oleh adanya rasa bangga yang berlebihan
dari suatu kelompok tertentu dan rasa rendah diri dari kelompok yang lain. Untuk
menunjukkan kehebatannya diriwayatkanlah hadis-hadis yang menyanjung etnis atau
bahasa tertentu dan yang lainnya pun tidak mau kalah memuji kelompok mereka
sendiri. Sehingga tidaklah mengherankan jika bermunculan beberapa hadis seperti
yang berbunyi, Jika Tuhan murka, maka Dia turunkan wahyu dalam Bahasa Arab,
dan jika Dia senang, maka Dia turunkan dalam Bahasa Persi. Hadis ini kemudian
dibalas oleh sebagian orang Arab dengan kebalikannya. Dan kadang mereka yang
fanatik dengan imam-imam tertentu pun juga meriwayatkan hadis yang menyanjung
secar berlebihan para imamnya.

Keempat, kisah-kisah dan peringatan-peringatan. Hal ini dilakukan oleh para


pendongeng yang hanya mementingkan keberhasilan mereka dalam menyampaikan
cerita dalam pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan. Mereka berusaha membuat
pendengarnya terhanyut dan takjub dengan cerita yang disampaikan sehingga derma
yang didapatkan pun bisa lebih banyak. Untuk mendukung ceritanya, tidak segansegan mereka menisbahkannya kepada Rasulullah SAW. Diungkapkanlah cerita
tentang surga secara berlebih-lebihan, begitu juga tentang amalan-amalan atau

kalimat-kalimat tertentu yang jika diucapkan akan diberikan ganjaran yang banyak
dan diselingi dengan hal-hal yang menakjubkan. Walaupun para ulama mengetahui
kebohongan mereka, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena masyarakatnya
pada saat itu sangat menggemari cerita-cerita yang demikian. Bahkan ketika alThabari (ahli tafsir) mencoba menentang mereka, para penduduk yang awam di
Baghdad malah melempari rumahnya.

Kelima, perbedaan dalam mazhab-mazhab fiqih dan ilmu kalam. Sebagaimana para
pendukung partai politik yang menopang pendapat-pendapat mereka dengan cara
memalsukan hadis, para pendukung mazhab-mazhab pun, baik mazhab-mazhab fiqih
maupun teologi, melakukan hal yang tidak jauh berbeda. Kebanyakan para pelakunya
adalah kalangan orang-orang fasik dan miskin pengetahuan, tetapi ada pula yang
memalsukan hadis dari kalangan ulama penganut faham tertentu untuk menarik
simpati masyarakat mengikuti dan mendukung paham mereka. Sebagaimana
pengakuan Muhriz Abu Raja, seorang yang sebelumnya menganut paham seperti
paham Qadariyah tetapi kemudian menarik diri, yang diriwayatkan oleh Zuhair bin
Mu'awiyah ia berkata, "Jangan engkau meriwayatkan sesuatu dari salah seorang
pengikut Qadriyah. Demi Allah, kami telah membuat-buat hadis yang dengan hadishadis itu, kami bermaksud menarik manusia ke dalam paham Qadariyah, dan hal ini
kami lakukan semata-mata karena mengharapkan ridha Allah. Kami berhasil menarik
4000 orang." Zuhair berkata, "Kemudian aku bertanya,'Apa yang kamu lakukan
terhadap orang yang berhasil kamu tarik?' ia menjawab,'Aku berusaha mengeluarkan
mereka satu demi satu.'" Dan ada pula yangmeriwayatkan hadis palsu untuk
menyalahkan mazhab tertentu atau mendukung mazhab yang diikutinya. Misalnya
sebuah hadis yang berbunyi "Barangsiapa mengangkat kedua tangannya dalam shalat
maka shalatnya tidak sah", atau hadis lain yang berbunyi "Malaikat Jibril menjadi
imam shalat untukku di sebelah ka'bah dan ia mengeraskan bacaan
Bismillahirrahmannirrahim", dan masih banyak lagi hadis palsu lainnya. Mazhab ilmu
kalam juga meriwayatkan beberapa hadis palsu seperti sebuah hadis yang berbunyi
"Barangsiapa yang berpendapat bahwa al-Qur'an itu makhluq maka ia telah kafir."

Keenam, tiadanya pengetahuan agama namun berkeinginan berbuat baik. Hadis ini
kebanyakan dibuat oleh sebagian orang saleh, zahid, dan ahli ibadah yang prihatin
dengan perpecahan dan kerusakan di kalangan umat Islam. Hal ini mereka lakukan
untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai dan mengangkat kedudukan para
pemimpin mereka. Mereka juga prihatin melihat kondisi umat yang mulai disibukkan
urusan keduniaan dan mengabaikan akhirat. Karena itulah, mereka meriwayatkan
beberapa hadis palsu, kebanyakan hadis yang diriwayatkan berupa targhib dan tarhib
dengan semata-mata berharap ridha Allah SWT, serta hadis-hadis yang berkaitan
dengan keutamaan keutamaan surah demi surah al-Qur'an. Akan tetapi, hal yang patut
disesalkan, "kesalehan" yang mereka tampakkan dan kepercayaan masyarakat telah
disalahgunakan untuk "mengelabui" mereka dengan meriwayatkan hadis-hadis palsu
yang walaupun menurut pandangan mereka baik tetapi membahayakan agama. Dan
jika mereka diingatkan dengan peringatan Rasulullah bagi si pendusta yang
mengatasnamakan diri beliau, maka mereka menjawab, "Kami tidak berbuat dusta
yang merugikan Rasulullah SAW. Kami hanya berdusta untuk kebaikan
(menguntungkan) beliau."

Ketujuh, usaha untuk pendekatan kepada para raja dan para penguasa dengan hal-hal
yang menyenangkan mereka. Hal ini kebanyakan dilakukan oleh para penjilat

penguasa untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan membuat hadis-hadis yang


dapat memuaskan mereka. Hal seperti ini benar-benar terjadi pada masa khlaifah
Abbasiah. Sebagaimana diungkapkan oleh al-Hakim dari Harun Ubaidillah, dari
ayahnya, ia berkata, "Khalifah al-Mahdi bertanya, 'Tidakkah engkau mengetahui apa
yang dikatakan oleh Muqatil kepadaku?' Ia berkata, 'jika engkau menghendaki, saya
akan membuat hadis-hadis untuk mengangkat Dinasti Abbasiah. 'Al-Mahdi berkata,
'Saya tidak memerlukan hadis-hadis itu." Salah contoh hadis palsu seperti yang dibuat
oleh Ghiyats bin Ibrahim, yaitu ketika ia masuk menemui khalifah al-Mahdi yang kala
itu sedang bermain lomba merpati, ia menyampaikan sebuah hadis yang masyhur,
"Tidak boleh ada perlombaan kecuali dalam permainan panahan atau pedang." Lalu
hadis ini diberinya tambahan "atau dalam permainan menerbangkan burung" untuk
menyenangkan hati al-Mahdi. Maka al-Mahdi pun menghadiahinya sepuluh ribu
dirham. Kemudian al-Mahdi berkata tentang Ghiyats, "Saya bersaksi atas jejakmu.
Sesungguhnya itu adalah jejak pendusta atas Rasulullah SAW."
Selain sebab-sebab yang telah disebutkan di atas, beberapa hadis dipalsukan karena di dorong
oleh hawa nafsu atau tujuan-tujuan tertentu, seperti keinginan untuk mengemukakan suatu
hadis yang aneh, baik dari sisi matan maupun sanadnya, atau untuk mengambil simpati orang
lain, dendam pada suatu kelompok tertentu, dan atau untuk memperlaris dagangan dengan
memberikan pujian atau keutamaan barang-barang tertentu seperti bahan makanan, wangiwangian, dan jenis-jenis pakaian tertentu. Beberapa contoh hadis tersebut diantaranya,
"Sebaik-baik barang daganganmu adalah kain kapas dan sebaik-baik pekerjaanmu adalah
melubangi dan menjahit kulit." Contoh lainnya hadis yang berbunyi "Di antara (tanda)
kepemimpinan seseorang adalah orang yang memiliki bulu cambang yang tipis."[17]
E. UPAYA PADA SAHABAT, TABI'IN, DAN TABI' TABI'IN MEMBENDUNG
GERAKAN
PEMALSUAN
HADITS
Para pemalsu hadis telah melakukan perbuatan yang sangat keji dengan mencorengkan noda
hitam di wajah Islam, mencemarkan namanya, dan mengotorinya dengan ajaran yang sama
sekali bukan ajaran Islam. Namun, Allah SWT senantiasa menjaga Islam beserta ajarannya.
Masih terlahirnya orang-orang yang dapat dipercaya yang dengan tulus ikhlas menelusuri
secara seksama jejak para pemalsu hadis dengan menggunakan metodologi ilmiah yang
sebaik-baiknya untuk kritik dan riset sehingga mereka bisa membedakan antara hadis yang
batil dan yang shahih. Adapun upaya-upaya yang telah mereka lakukan dalam rangka
memelihara As-Sunnah antara lain adalah sebagai berikut:[18]
1. Keharusan
mengisnadkan
hadis
Dalam hal ini para sahabat sangat teliti dan seksama dalam menerima sebuah hadis,
khususnya setelah terjadinya peristiwa al-fitnah al-kubra. Mereka tidak akan
menerima sebuah hadis kecuali jika diketahui bagaimana jalan penuturannya dan
diketahui secara mantap kejujuran dan kehandalan para perawinya.
2. Otentifikasi hadis
Untuk menguji otentisitas hadis para ulama, khususnya tabi'in, tidak segan-segan
melakukan perjalanan jauh dari kota ke kota, guna mendengarkan hadis-hadis yang
mantap dari perawi-perawinya yang dapat dipercaya. Bahkan mereka juga berusaha
menemui para sahabat yang masih hidup untuk mendengar secara langsung
(konfirmasi) atas riwayat yang mereka sampaikan.

3. Mengkritisi para perawi


Dalam hal ini, para ulama berusaha memeriksa seteliti mungkin kejujuran para
perawi. Dengan demikian, akan lebih memudahkan mereka mengklasifikasikan antara
hadis yang otentik dan yang palsu, antara hadis yang kuat dengan yang lemah. Secara
cermat mereka mempelajari mengikuti para perawi hadis dan mempelajari kehidupan
mereka, riwayat dan biografi mereka, baik yang nampak maupun yang tersembunyi.
Untuk tujuan itu para ulama telah meletakkan prinsip-prinsip tentang siapa orang
yang dapat dipercaya dan siapa yang tidak, siapa yang boleh dikutip dan siapa yang
tidak. Adapun hadis yang harus ditinggalkan menurut penelitian mereka adalah hadis
yang diterima dari orang-orang berikut ini:
o Mereka yang melakukan kebohongan tentang Rasulullah SAW
o Mereka yang dalam pembicaraan pada umumnya suka berbohong, meskipun
tidak pernah berbohong atas Rasulullah SAW
o Mereka para penganut bid'ah dan hawa nafsu
o Kaum zindiq, fasik, pelupa yang tidak mengerti apa yang mereka tuturkan,
serta setiap orang yang padanya tidak banyak ditemukan sifat-sifat keteguhan,
kejujuran, dan kepahaman.
4. Diletakkannya prinsip-prinsip umum untuk klasifikasi hadis dan evaluasinya.
Dalam hal ini, para ulama membagi hadis menjadi tiga macam: shahih (otentik),
hasan (bagus), dan dha'if (lemah). Sebuah hadis dikatakan shahih apabila rangkaian
penutur atau sanadnya bersambungan, melalui penuturan oleh tokoh-tokoh yang jujur
dan tegar, sampai akhirnya kepada Rasulullah SAW atau sampai kepada seorang
sahabat atau yang lainnya yang menjadi ujung rangkaian itu, serta hadis itu tidak
termasuk eksentrik, tidak pula tertolak ataupun mengandung cacat secara serius.
Hadis hasan, menurut al-Hafidh ada dua macam: pertama, hadis yang tokoh-tokohnya
tidak terlepas dari sesuatu (cacat) yang belum jelas, namun belum terbukti ia
menyandang cacat itu, dan ia bukanlah jenis orang yang pelupa dan membuat banyak
kesalahan, lagipula tidak tercurigai dengan kebohongan; dan hal yang serupa atau
sejalan dengan asli (matan) hadis itu telah diriwayatkan dengan cara lain. Kedua,
hadis hasan itu hendaknya perawinya termasuk orang yang terkenal kejujurannya dan
kehandalannya, namun tidak mencapai derajat kesasihan dalam hafalan dan ketelitian,
kemudian hadis-hadis yang secara khusus diriwayatkannya itu tidak mengenai hal
terlarang dan matannya tidak eksentrik ataupun bercacat. Sedangkan hadis dha'if
adalah hadis yang padanya tidak terdapat kualitas sebagai hadis shahih ataupun hasan.
Para ahli menamai kedha'ifan hadis serupa itu dari sudut pertimbangan sanad atau
matannya. Hadis dha'if ini terbagi kedalam beberapa bagian seperti hadis mursal,
hadis munqathi', hadis syadzdz, hadis munkar dan, hadis mudhtarib.
5. Membuat kaidah-kaidah untuk mengetahui hadis palsu (maudhu')
Sebagaimana para ulama telah merumuskan tentang kadah-kaidah yang mendetail
tentang bagaimana cara mengetahui atau mengenali kebenaran sebuah hadis sehingga
bisa diklasifikasikan kedudukannya sebagai hadis yang shahih, hasan, ataupun dha'if,

mereka juga membuat kaidah untuk mengetahui hadis palsu. Untuk mengetahui hal
ini, ada beberapa patokan yang bisa dijadikan alat untuk mengidentifikasinya, yaitu
dilihat
dari
sisi
sanad
dan
matan
hadis
tersebut:[19]
a. Tanda tanda kepalsuan sanad
o Jika hadis itu dirawikan oleh seorang pembohong yang diketahui banyak
orang kebohongannya itu, sedangkan hadis itu tidak diriwayatkan oleh perawi
lain yang tsiqah. Dalam hal ini, para ulama telah memberikan perhatian yang
khusus dengan meneliti biografi para perawi secara seksama sehingga sangat
kecil kemungkinan mereka lengah dari hadis yang dipalsukannya.
o Atas dasar pengakuan pembuat hadis palsu itu sendiri, seperti pengakuan yang
dilakukan oleh Abu Ishmah Nuh bin Abi Maryam tentang hadis-hadis
keutamaan surah demi surah dalam al-Qur'an. Dan pengakuan yang dibuat
oleh Abd al-Karim bin Abi al-'Awja' yang telah memalsukan sekitar 4000-an
hadis yang menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal.
o Adanya indikasi yang menunjukkan kebohongannya, seperti seorang perawi
yang meriwayatkan sebuah hadis dari seorang guru padahal ia tidak pernah
bertemu dengannya, atau dilahirkan setelah guru tersebut meninggal, dan atau
meriwayatkan sebuah hadis dari seorang guru di suatu negeri padahal ia belum
pernah berkunjung ke negeri tersebut. Untuk itu, pengenalan terhadap sejarah
sangat diperlukan oleh seorang peneliti hadis, kapan dan di mana perawi itu
dilahirkan, di mana mereka menetap, ke mana saja mereka melakukan
perjalanan, siapa saja guru-gurunya, dan kapan mereka wafat, dengan
demikian ia bisa dengan mudah mengenali kebenaran sebuah hadis pada satu
sisi.
o Indikasi lainnya adalah dengan mengenali prilaku atau keadaan perawi serta
dorongan-dorongan psikologisnya. Apakah ada unsur-unsur kepentingan dari
si perawi dengan apa yang diriwayatkannya atau tidak. Seperti sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh seorang pedagang harisah, Muhammad bin al-Hajjaj
al-Nakh'i, yang berbunyi "Harisah (daging masak yang ditumbuk bersama
gandum) menguatkan punggung".
b.
Tanda-tanda
kepalsuan
matan
Tanda-tanda kepalsuan matan juga cukup banyak, hal ini akan bisa dikenali, terlebih
lagi oleh para pengkaji hadis yang seolah-olah hidup bersama Rasulullah SAW karena
setiap hari ia bergaul dengan hadis-hadis Rasulullah, sehingga ia mengenal betul
bentuk redaksinya, baik mengenai perintah maupun larangannya, berita dan
seruannya, prilaku beliau sehari-hari, apa yang disukai dan tidak disukai, serta segala
hal yang yang disyariatkan kepada umatnya. Adapun tanda-tanda yang menunjukkan
hadis palsu dari segi matannya adalah sebagai berikut:
o Buruknya redaksi hadis. Dalam hal ini, orang yang memahami bahasa secara
mendalam akan mengetahui bahwa kalimat tersebut bukan berasal dari
Rasulullah SAW, karena beliau dikenal sebagai orang yang sangat fasih di
antara orang yang fasih dalam berbahasa.

o Kelemahan dari segi makna. Yaitu jika sebuah hadis menyalahi kepastiankepastian rasional tanpa kemungkinan untuk menakwilkannya, menyalahi
kaedah-kaedah umum di bidang hukum dan akhlak, mendorong nafsu syahwat
dan perbuatan merusak, menyalahi indera dan wujud lahiriah, menyalahi
kaedah ilmu kedokteran yang sudah disepakati, menyalahi prinsip
transendensi dan ke-Mahamulia-an Tuhan menurut akal sehat, menyalahi halhal yang secara historis telah diketahui atau sunatullah dalam alam dan
manusia. Hadis palsu juga bisa dikenali dari matannya yang hanya memuat
hal-hal sepele dan tidak mungkin diterima oleh mereka yang berpikiran waras,
seperti "Ayam jantan putih adalah kekasihku, dan kekasih dari kekasihku
adalah malaikat Jibril." Karena itu, semua hal yang bertentangan dengan akal
secara pasti adalah palsu dan tidak dapat diterima. Dalam hal ini al-Jauzi
berkata, "Setiap hadis yang kudapatkan bertentangan dengan akal dan
menyalahi berbagai prinsip yang ada serta bukti-bukti tertulis menunjukkan
kebalikannya, maka ketahuilah itu palsu." Juga dikatakan dalam kitab alMahshul, setiap hadis yang menimbulkan dugaan akan adanya kebatilan dan
tidak mungkin ditakwilkan maka ia itu dusta atau nilainya, berkenaan dengan
yang meniadakan dugaan itu, menjadi turun.
o Hadis yang bertentangan dengan al-Qur'an, sunnah mutawattir, atau ijma' yang
qath'i. Seperti hadis, "Anak hasil zina tidak akan masuk surga sampai tujuh
turunan," bertentangan dengan firman Allah, "Seorang tidak akan menanggung
dosa orang lain". Contoh lainnya adalah hadis yang menyatakan bahwa dunia
ini berumur 7000 tahun, padahal hanya Allah yang mengetahui umur dunia
(QS. Al-'Araf: 187), atau hadis yang mengatakan "Barangsiapa mendapatkan
seorang anak dan memberinya nama Muhammad maka anak itu dan
orangtuanya akan masuk surga." Sebab hadis ini bertentangan dengan ajaran
al-Qur'an yang tidak menyangkutpautkan keselamatan seseorang dengan nama
atau gelar yang disandangnya.
o Hadis yang menyalahi fakta-fakta sejarah yang diketahui pada masa
Rasulullah SAW. Misalnya hadis bahwa Nabi mewajibkan penduduk Khaibar
untuk membayar jizyah dan membebaskan mereka dari usaha dan kerja paksa
dengan persaksian Sa'd bin Mu'adz dan catatan Mua'wiyah bin Abi Sufyan.
Padahal menurut fakta sejarah, jizyah tersebut belum dikenal dan belum
ditetapkan pada tahun peristiwa Khaibar, dan ayat tentang jizyah baru turun
setelah perang Tabuk, apalagi menurut catatan sejarah Sa'd bin Muadz
meninggal pada perang Khandaq, sedangkan Mu'awiyah masuk Islam pada
tahun pembebasan Makkah.
o Hadis yang berkaitan dengan aliran atau mazhab si perawi, dan ia dikenal
sangat fanatik dengan alirannya tersebut. Seperti hadis yang mengunggulkan
ahl al-bayt yang dituturkan oleh penganut Syi'ah Rafidhah, atau seorang
Murji'ah yang meriwayatkan hadis tentang paham alirannya seperti yang
diriwayatkan Habbah bin Juwayn yang mengatakan, "Pernah kudengar Ali Ra
berkata, 'Aku menyembah Allah bersama Rasul-Nya lima sampai tujuh tahun
sebelum seorangpun dari ummat ini menyembah-Nya." Habbah, menurut Ibnu
Hibban, adalah seorang yang sangat fanatik terhadap Syi'ah dan ia bersikap
meremehkan hadis.

o Hadis yang mengandung sesuatu yang seharusnya diriwayatkan oleh banyak


orang karena terjadi dengan persaksian orang banyak, namun hadis tersebut
tidak dikenal dan tidak ada orang yang meriwayatkannya kecuali seorang.
Misalnya hadis "Ghadir Khum", yaitu hadis tentang penobatan Ali RA sebagai
pengganti sepeninggal Rasulullah SAW. Hadis ini dinilai palsu karena sangat
jauh kemungkinan para sahabat bersepakat menyembunyikan hadis ini saat
pengangkatan Abu Bakr RA sebagai khalifah, apalagi hadis tersebut diucapkan
Rasulullah SAW dihadapan orang banyak.
o Hadis yang mengandung sifat berlebihan dalam soal pahala yang besar atas
perbuatan yang mudah. Misalnya, "Barangsiapa megucapkan Lailahaillallah,
maka Allah akan menciptakan untuknya seekor burung yang mempunyai 70
ribu lidah, setiap lidah menguasai 70 ribu bahasa, dan semuanya memohonkan
ampun bagi orang itu."
Dengan adanya upaya-upaya yang telah berlangsung sejak masa sahabat tersebut kedudukan
syari'ah pun menjadi semakin mantap dengan dikukuhkannya sendi-sendi Sunnah yang
menjadi sumber primer kedua bagi syari'ah setelah al-Qur'an. Kaum muslim pun menjadi
semakin tenteram dengan adanya hadis nabi yang terjamin ke-shahih-annya, dan agama Islam
pun semakin terpelihara dari upaya-upaya destruktif dan penistaan agama, baik dari kalangan
Islam yang masih jahil maupun dari luar seperti kaum zindiq. Dari upaya-upaya
penyelamatan hadis tersebut, khazanah keilmuan kaum muslimin pun menjadi semakin kaya,
dan beberapa karya yang cukup fenomenal pun terlahir, adapun beberapa manfaat terpenting
yang didapat umat adalah sebagai berikut:[20]
1. Dibukukannya hadis dalam kitab-kitab yang lengkap.
Pada masa Rasulullah SAW, hanya sedikit para sahabat yang mencatat dan
mengumpulkan hadis. Banyak di antara mereka hanya menghafalkan hadis-hadis
tersebut, apalagi pada masa-masa awal Rasulullah SAW pernah memberikan larangan
untuk mencatat hadis sebelum mengizinkannya. Namun karena semakin
merajalelanya pemalsuan hadis oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab,
akhirnya muncullah inisiatif untuk mengumpulkan hadis-hadis tersebut dalam sebuah
kitab yang lengkap, sehingga lahirlah beberapa kitab hadis seperti Shahih Bukhari,
Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi dan sebagainya.
2. Lahirnya ilmu Mushtalah al-Hadits
Upaya untuk membendung gerakan pemalsuan hadis telah melahirkan salah satu
cabang ilmu baru dalam Islam yang dikenal dengan Ilmu Mushtalah al-Hadits. Ilmu
Mushtalah al-Hadits adalah ilmu yang membahas tentang klasifikasi berita menjadi
shahih, hasan, atau dha'if dengan berbagai persyaratan yang dituntut atas perawi dan
tokoh sumber riwayat. Selain itu, juga dijelaskan tentang hal-hal yang mempengaruhi
kualitas hadis, hadis yang tertolak atau ditangguhkan sampai adanya unsur
pendukung, dan dibeberkan juga tentang bagaimana hadis itu didengar, dipelihara dan
disimpan, serta keterangan tentang akhlaq perawi hadis itu dan lain sebagainya.
Begitu lengkapnya teori-teori yang disusun oleh para ulama hadis tersebut sehingga
saat ini dinilai sebagai metode ilmiah modern paling absah untuk mengoreksi beritaberita dan riwayat-riwayat.

3. Lahirnya ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil


Ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil merupakan salah satu buah dari upaya pembendungan
pemalsuan hadis. Ilmu ini membicarakan hal-ihwal para perawi hadis, baik dari sisi
positif maupun negatifnya. Dalam hal ini, para ulama meneliti secara seksama tokohtokoh hadis yang hidup sezaman dengan mereka serta mencari informasi perawiperawi terdahulu yang tidak sezaman dengannya. Hasil dari penelitian itu kemudian
dipublikasikan tanpa bermaksud jahat ataupun dosa, tetapi semata-mata upaya untuk
memelihara agama Allah dan sunnah Rasul-Nya. Dengan demikian, upaya untuk
mengklasifikasikan kedudukan sebuah hadis pun menjadi semakin mudah
4. Lahirnya berbagai cabang ilmu hadis
Dari upaya-upaya yang telah dilakukan telah terlahir berbagai cabang ilmu
pengetahuan baru yang berkaitan dengan hadis. Menurut Abu 'Abdullah al-Hakim
dalam kitabnya, Ma'rifat 'Ulum al-Hadits, merinci sebanyak lima puluh dua disiplin
ilmu, bahkan al-Nawawi dalam kitabnya, al-Tarqib, merinci lebih banyak lagi, yaitu
sebanyak enam puluh lima disiplin ilmu. Ilmu-ilmu hadis tersebut diantaranya adalah
ilmu yang mengetahui tentang hadis yang Musnad, mengetahui Mawquf dari Atsar,
ilmu Thabaqat al-Hadits dan sebagainya.
5. Dibukukannya hadis-hadis palsu serta para pemalsunya, dan juga lahirnya
kitab-kitab hadis yang menjelaskan tentang hadis yang shahih, yang dha'if, dan
yang palsu didalamnya.
Salah satu upaya mempersempit ruang gerak para pemalsu hadis adalah dengan
dikumpulkannya hadis-hadis palsu dan memberikan peringatan agar orang tidak
terkecoh dengannya. Dari upaya-upaya itu lahirlah beberapa kitab hadis-hadis palsu
seperti "al-Mawdhu'at" oleh Abi al-Faraj al-Jawzi, "al-Mughni 'an al-Hifzh wa alKitab" oleh Abu 'Umar bin Badr al-Mawshuli, "Tadzkirat al-Mawdhu'at" oleh Ibnu
Thahir al-Maqdisi dan sebagainya. Selain itu juga terlahir kitab-kitab yang
didalamnya juga menjelaskan tentang kedudukan sebuah hadis, baik itu shahih, dha'if,
atau palsu seperti kitab "Tamyiz al-Thayyib min al-Khabits Fi Ma Yaduru 'ala alsinat
al-Nas min al-Hadits, oleh Ibn al-Diba al-Syaibani al-Atsri, dan "Hasan al_Atsar fi ma
fi-hi Dhu'f wa Ikhtilaf min Hadits wa Khabar wa Atsar" oleh Syekh Muhammad alHut al-Bairuti.
F. ANALISIS DAN KESIMPULAN TENTANG PEMALSUAN HADITS
Berkembangnya hadis palsu di dunia Islam tidak terlepas dari berbagai faktor yang saling
pengaruh mepengaruhi antara satu dengan yang lainnya, baik faktor tersebut bersifat internal
maupun bersifat eksternal. Dari dunia Islam sendiri, sebagaimana telah dijelaskannya
sebelumnya, kemunculan hadis palsu pada mulanya disebabkan oleh hal-hal yang bersifat
politis terkait dengan perebutan kekuasaan, seperti munculnya hadis-hadis yang
mengkultuskan individu tertentu dengan berbagai macam khasha'ish atau kelebihankelebihannya, dan juga dipergunakan dalam rangka meraih posisi atau jabatan tertentu.
Dalam perkembangannya hadis-hadis palsu tersebut mulai "menginfeksi" ke bidang teologis
yang melahirkan pahim aqidah yang, menurut bahasanya Muhajirin,[21] fanatik sektarian
parsial. Masing-masing kelompok yang menganut paham tertentu berusaha "memodifikasi",
atau bila perlu "memproduk" sendiri hadis-hadis yang bisa dijadikan alat justifikasi untuk
mendukung aliran-aliran atau mazhab yang dianutnya. Akhirnya untuk bisa meraih "peminat"

yang sebanyak-banyaknya, terjadilah saling melecehkan, saling merendahkan antara paham


yang satu dengan yang lainnya, dan mengagung-agungkan pemimpin mereka secara
berlebihan. Rasulullah SAW hanya mereka jadikan sebagai "alat" legimitasi demi tercapainya
tujuan penganut paham tersebut. Tidak hanya sampai di situ, pemalsuan hadis, bagaikan
wabah epidemi, mulai menulari orang-orang yang note bene, dilihat secara kasat mata,
"saleh" dan orang-orang awam yang miskin -- untuk tidak mengatakan bodoh, walaupun
sebenarnya mereka memang benar-benar bodoh -- pengetahuan . Bagaikan sebuah
perlombaan, masing-masing orang seolah "berkarya" untuk menghasilkan hadisnya sendirisendiri yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik itu yang ditujukan untuk
mendekatkan diri kepada Allah maupun untuk motivasi-motivasi lainnya, seperti untuk
mencari
rezeki,
menjilat
penguasa,
mencari
popularitas
dan
sebagainya.
Sebagian dari hadis-hadis palsu juga datang dari kaum muslim yang "non muslim", mereka
adalah orang-orang zindik, orang-orang munafik, orang-orang yang "terpaksa" masuk Islam
karena kelompok mereka dikalahkan oleh Islam. Sebagai bentuk balas dendam, mereka
memilih jalan yang paling aman yaitu melakukan penggerogotan Islam dari dalam dengan
berusaha menyimpangkan mereka dari aqidah yang benar serta memecah belah persatuannya
dengan
membuat
hadis-hadis
yang
tidak
benar.
Begitu merajalelanya perkembangan hadis palsu tersebut, membuat para ulama "geram".
Berbagai cara pun dilakukan untuk membendung dan mempersempit ruang gerak para
pembuat hadis palsu. Lahirlah berbagai cabang ilmu pengetahuan baru untuk mendeteksi
kebenaran sebuah hadis, baik dari sisi sanadnya maupun dari sisi matannya. Tapi yang patut
disayangkan, tidak ada tindakan tegas, baik dari 'ulama maupun pemerintah, yang dilakukan
terhadap para pemalsu hadis. Sanksi yang diberikan hanya berupa sanksi moral bahkan ada
yang didiamkan begitu saja. Sebagai contoh, ketika para penjilat penguasa seperti Ghiyats bin
Ibrahim memalsukan sebuah hadis di hadapan Khalifah al-Mahdi, ia hanya berkata
"Sesungguhnya itu adalah jejak pendusta atas Rasulullah SAW", dan bahkan ia memberikan
uang sebesar sepuluh ribu dirham kepadanya. Dan begitu pula ketika al-Bukhturi melakukan
hal yang serupa dihadapan Khalifah Harun Al-Rasyid, ia tidak lebih hanya sekedar
menghardiknya
dan
memerintahkannya
untuk
keluar.
Melihat kondisi yang demikian, wajar jika sebagian kalangan meragukan otentisitas dari
hadis-hadis Rasulullah SAW yang sampai kepada umat Islam saat sekarang ini. Apalagi jarak
antara kehidupan Rasulullah SAW dengan ditadwinkannya hadis merupakan waktu yang
tidak sebentar, sehingga sangat besar kemungkinan banyak hal yang dilupakan dan
terlupakan, celah untuk merekayasa hadis pun menjadi sangat lebar. Dari kalangan orientalis,
sebut saja seperti Goldziher, memandang bahwa munculnya hadis sebagian besar hasil
perkembangan Islam dalam bidang politik dan sosial dan mereka juga meragukan bahwa
matan hadis yang disampaikan secara verbal oleh Rasulullah SAW yang disampaikan kepada
umat Islam persis sebagaimana dari Rasulullah SAW tanpa penambahan sedikitpun oleh para
perawi. Pendapat ini pun kemudian dibantah oleh para ulama dengan berbagai macam
argumennya
pula.
Terlepas dari apa motivasi dibalik kajian-kajian hadis yang dilakukan, khususnya kalangan
orientalis seperti Ignaz Goldziher, Schacht, Goston Wite, John Wansbrough, dan Juynboll, hal
ini membuktikan bahwa hadis telah menarik berbagai kalangan untuk mencermati dan
menelitinya. Walaupun pada satu sisi terkadang merugikan umat Islam, tapi disisi lain itu
mendorong umat Islam untuk mengkaji secara lebih cermat dan teliti sehingga celah untuk
menggoyahkan posisi hadis sebagai sumber pokok kedua setelah al-Qur'an menjadi semakin

sempit.
Akhirnya, semoga makalah ini semakin menumbuhkan kecintaan kita terhadap Rasulullah
SAW,
dan
semoga
bermanfaat
untuk
kita
semua.
Footnote:
1. Rasulullah SAW telah melarang para sahabat untuk menulis apa yang beliau ucapkan dengan sabdanya:
, " Janganlah kalian menulis apa-apa dari aku selain alQur'an, barang siapa menulis apa-apa dari aku selain al-Qur'an (yakni: hadis), hendaklah menghapuskannya".
(HR. Muslim) Menurut sebagian ulama, hal ini dikarenakan pada masa-masa awal Islam masih banyak sahabat
Nabi yang "ummi" sedang waktu itu wahyu Ilahi masih turun. Nabi mengkhawatirkan kalau-kalau mereka tidak
dapat membedakan al-Qur'an dan hadis, sehingga terjadi percampuran antara keduanya. Menurut sebagian yang
lain, hadis tersebut telah dinasakh oleh hadis Nabi SAW yang membolehkan penulisan hadis dengan sabdanya:
," Tulislah dari aku, demi dzat yang diriku berada dalam
kekuasaanNya, tidaklah keluar dari mulutku kecuali yang haq/ benar". (HR. Abu Daud) Walau demikian, setelah
wafatnya Rasulullah SAW para sahabat belum ada yang membukukannya meskipun pada waktu itu keberadaan
hadis sangat diperlukan di samping al-Qur'an sebagai pedoman untuk permasalahan-permasalahan baru yang
muncul yang sebelumnya belum pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW masih hidup. Barulah saat memasuki
abad kedua hijriah, para ulama hadis mulai berinisiatif untuk membukukan hadis seperti Ibnu Juraij (w. 150H),
al-Auza'i
(w.156H),
Sofyan
ats-Tsauri
(w.
161H)
dan
Imam
Malik
w.
179H).
2. Subhi al-Shalih, 'Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu (Beirut: Dar al-'Ilm li al-Al-Malayin, 1973), 263.
3. Mahmud Abu Rayyah, Adhwa 'Ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah (Mesir: Dar al-Ma'arif), 119.
4. Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits wa Mushthalahuhu (Beirut: Dar el-Fikr, 1989), 415.
5. Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis (Bandung: Citrapustaka Media, 2005), 235. Ibid., 236. Lihat juga 6.
Muhajirin, Implikasi al-Fitnah al-Kubra Bagi Lahirnya Hadits Maudhu' dalam Al-Insan: Jurnal Kajian Islam,
Hadits
Nabi:
Otentisitas
dan
Upaya
Destruksinya,
No.
2,
Vol.
1,
2005,
86.
7. Lihat. Musthafa al-Sibai, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri al-Islami, diterjemahkan oleh Nurkholish
Madjid, Sunnah dan Peranannya dalam Menetapkan Hukum Islam: Sebuah Pembelaan Kaum Sunni (Pustaka
Firdaus:
Jakarta,
1991),
186.
8.
Lihat.
Ibid.,
189.
9. M. 'Ajjaj al-Khatib, Al-Hadits Qabla al_Tadwin (Beirut: Dar el-Fikr, 1993),192.
10.
Ibid.,
193.
11.
Musthafa
al-Sibai,
Op.Cit.,
37.
12.
Utang
Ranuwijaya,
Ilmu
Hadis
(Gaya
Media
Pratama:
Jakarta,
2001),
190.
13. Peristiwa ini bermula dari kebijakan khalifah Utsman yang dinilai masyarakat mulai menyimpang karena
terlalu mementingkan keluarganya untuk menempati posisi-posisi strategis dalam pemerintahan, padahal
sebagian dari pejabat yang diangkatnya tersebut tidak memiliki kredibilitas dan keilmuan yang mendukung
posisi yang mereka tempati. Akibat dari kebijakan beliau tersebut, sebagian masyarakat merasakan
ketidakpuasan, berbagai macam propaganda pun menyebar di kalangan masyarakat, saling fitnah, saling tuduh
dan masing-masing pihak merasa paling benar. Ketegangan semakin memuncak ketika sebagian masyarakat
berdemonstrasi menuntut sikap dan pola pemerintahan yang dijalankan khalifah Utsman dan berakhir dengan
terbunuhnya
khalifah
Usman
(35H).
14.
Lihat
Muhajirin,
Op.Cit.,
87.
15.
Lihat.
Ajjaj
al-Khatib,
Loc.
Cit.,
Lihat
juga
Mushtafa
al-Sibai,
hal
40.
16. Musthafa al-Sibai, Op.Cit., 41-52. Lihat juga, Ajjaj al-Khatib, 195-218. Mahmud Abu Rayyah, Op.Cit.,
119-126. G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960) (Bandung: Mizan, 1999), 146-148. Dan
Munzier
Suparta,
Ilmu
Hadis
(Jakarta:
PT
RajaGrafindo
Persada,
2003),
181-189.
17.
Musthafa
al-Siba'i,
Op.Cit.,
53.
18.
Lihat
Ibid.,
55-72.
Lihat
Juga
Ajjaj
al-Khatib,
Op.Cit.,
220-248.
19. Lihat Musthafa al-Siba'i, Op.Cit., 64-72. Bandingkan 'Ajjaj al-Khatib, Op.Cit., 239-248.
20.
Musthafa
al-Siba'i,
Op.Cit.,
73-96.
Lihat
juga
Munzier
Suparta,
Op.Cit.,
193.
21. Muhajirin, Op.Cit., 91.

Anda mungkin juga menyukai