Anda di halaman 1dari 9

EPISTEMOLOGI LEIBNIZ

Disusun Sebagai Tugas Dalam Menempuh Mata Kuliah Epistemologi

Disusun Oleh:
Antonius H. F. W. 15/382221/FI/04076
Ni Luh A. F. Aphrodita 16/397391/FI/04256
Ravika Septharika D 16/ 393447/FI/04182

Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Madas
Yogyakarta
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terbuatnya makalah ini. Serta
untuk berbagai bacaan yang mendukung bertambahnya materi yang membantu saya
menyelesaikan makalah.
Makalah tentang Leibniz ini tidak hanya membahas tentang biografinya saja tetapi juga ada
pengalamannya dalam mencari pengetahuan, tentang pemikiran-pemikirannya serta segala tentang
pengetahuan Leibniz serta cara mendapatkan pengetahuan itu.
Tak luput dari kesalahan, kami mohon maaf atas kekurangan-kekurangan yang ada dalam
makalah ini yang berasal dari kondisi, kekurangan referensi atau kesalahan yang kami buat sendiri.
Semoga menjadi makalah yang inspiratif terhadap pembaca.

Yogyakarta, Oktober 2017

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam perkembangannya filsafat dapat diklasifikasikan dalam beberapa masa yaitu : Filsafat
Yunani, Filsafat abad pertengahan, Filsafat Islam dan Filsafat Modern. Runtuhnya kebudayaan
Abad pertengahan disusul oleh periode pertentangan disusul oleh periode pertentangan pemisahan
dan perubahan-perubahan mendalam dalam bidang politik, ekonomi dan agama. Sehingga
timbulah filsafat Modern. Salah satu yang aliran yang memberikan wajah baru dalam filsafat
modern dimana aliran ini juga mengubah kebudayaaan Eropa Barat yaitu aliran rasionalisme.
Aliran Rasionalisme dalam perjalannnya tidak luput dari beberapa tokoh filsafat yang terkenal dan
paling berpengaruh dalam aliran ini yaitu Got tfried Wilhelm Liebniz. Pemikirannya dimulai dan
berkembang pada tahun 1646-1716 di Yunani.
Banyak kisah yang dialami oleh Leibniz dalam memperoleh pengetahuan tentang dunia dan
penciptanya, ia adalah seorang kristen. Ia lahir saat akan dimulainya masa perang, maka
pemikirannya dipengaruhi oleh kejadian tersebut sehingga ia ingin menyatukan berbagai aspek
kehidupan termasuk menyatukan agama.

1.2 Rumusan Masalah


1. Pemikiran apakah yang dicetuskan oleh Leibniz ?
2. Bagaimana cara menyatukan pemikirannya tersebut dengan kenyataan yang ada di dunia ?

1.3 Tujuan
Makalah ini ditulis untuk mengetahui pemikiran filosofis dari salah satu tokoh pemikir
filsafat barat yaitu Leibniz sehingga dapat diperoleh pemahaman secara menyeluruh pemikiran
kefilsafatan beliau dan mengambil manfaat dari pemikiran beliau sehingga bisa diterapkan dalam
kehidupan praktis sehari-hari khususnya dalam menghadapi kehidupan yang rumit ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi Leibniz
Gottfried W. Leibniz lahir pada tanggal 1 Juli 1646 di Leipzig, Jerman. Putra dari Friedrich
Leibniz, seorang professor filsafat moral di Leipzig, Jerman. Friedrich Leibniz berkompeten di
bidangnya walaupun pendidikannya tidak tinggi.

Ibu Gottfried W. Leibniz, Catharina Schmuck adalah istri ketiga Friedrich Leibniz. Ayah
Gottfried W. Leibniz meninggal dunia ketika ia berumur 6 tahun. Nilai moral dan religius
memegang peranan penting dalam kehidupan dan falsafah hidupnya. Pada usia 7 tahun, Leibniz
memasuki sekolah Nicolai di Leipzig. Walaupun ia belajar bahasa Latin di sekolah, namun jauh
lebih maju bahasa Latin yang ia pelajari sendiri dan beberapa bahasa Yunani pada usianya yang
ke-12 tahun. Leibniz tampaknya telah termotivasi oleh keinginan untuk membaca buku-buku
ayahnya.
Pada tahun 1661, pada usia ke-14 tahun, Leibniz masuk ke Universitas Leipzig. Ia cukup
muda untuk memasuki universitas. Ia lulus dengan gelar Sarjana Muda di tahun 1663 dengan thesis
De Principio Individual (Pada Prinsip Individu).Selain seorang filsuf ia pernah menjadi penasehat
raja, pustakawan sejarawan, ilmuwan, matematikawan, doctor dalam dunia dan hukum gereja. Ia
dianggap sebagai jiwa Universalis zamannya dan merupakan salah seorang filsuf yang paling
berpengaruh pada abad masanya.

Bahkan ia juga menemukan logika matematika, kalkulus dan energy Kinetik (Fisika). Ia
merupakan penganut filsafat rasionalisme Descartes, yakni pengetahuan manusia yang
sesungguhnya diperoleh dengan akal dan panca indera, bukan dari pengalaman (empirisme).

2.2 Hal-Hal Yang Mempengaruhi Pemikiran Leibniz


Leibniz lahir tiga tahun sebelum terjadinya perang besar yang dikenal dengan”Perang Tiga
Puluh Tahunan”. Maka, pemikiran-pemikiran Leibniz mencoba untuk menyatukan berbagai
konflik, terutama mengenai pemahaman keagamaan yang berbeda. Ia ingin mengharmoniskan
hubungan antara kaum Protestan dan kaum Katolik Roma. Bahkan dia berusaha menyatukan ilmu,
teologi, dan flsafat. Leibniz juga hendak menyelesaikan pertentangan lama antara realisme dan
nominalisme, dengan mengatakan bahwa teori teori secara universal adalah real. Tetapi sungguh-
sungguh yang hadir objektif adalah yang partikular. Atas dasar ini maka dalam arti tertentu
pandangan Leibniz dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk ”sinkretisme”
Seperti halnya Descartes dan Spinoza,Leibniz mendasarkan filsafatnya pada konsep
substansi,tetapi secara radikal pendapatnya sangat berbeda, terutama berkaitan dengan masalah
hubungan jiwa dan materi dan jumlah substansi.

2.3 Pemikiran Leibniz


Filsafat Leibniz dimulai dari dua doktrin. Pertama, doktrin yang implisit rasional, yaitu
ada hukum dasar pikiran yang jika diterapkan dengan tepat akan cukup menentukan struktur
realitas yang mendasar. Leibniz mengajarkan bahwa ilmu alam adalah perwujudan dunia yang
tampil secara matematis. Dunia yang terihat dengan nyata hanya dapat dikenal melalui penerapan
dasar-dasar pertama pemikiran, dan tanpa itu orang tidak dapat melakukan penyelidikan ilmiah.
Pandangan ini berkaitan dengan dasar epistemologi Leibniz yakni tentang “kebenaran logis” atau
kebenaran pasti dan kebenaran fakta atau kebenara pengalaman. Dua jenis kebenaran ini
dihubungkan dengan beberapa prinsip yang dikemukakan Leibniz, yaitu prinsip kontradiksi dan
prinsip penalaran yang mencukupi atau prinsip cukup alasan.

Atas dasar pembedaan jenis kebenaran itu, Leibniz membedakan dua jenis pengeteahuan.
Pertama, pengetahuan yang menaruh kebenaran pada kebenaran eternal atau kebenaran logis
Kedua, pengetahuan yang didasarkan pada observasi atau pengamatan, hasilnya disebut
“kebenaran kontingen” atau “kebenaran fakta”. Perbedaan antara kedua jenis kebenaran itu
adalah kebenaran logis bersifat analitik, sedangkan kebenaran fakta bersifat sintetis
(Copleston,1971). Kebenaran fakta berkaitan dengan prinsip “alasan yang mencukupi” (sufficient
reason). Prisip alasan yang mencukupi sebenarnya berlaku bagi semua jenis kebenaran, tetapi
prinsip ini lebih tepat diterapkan pada kebenaran kontingen atau kebenaran fakta sebab prinsip
identitas adalah cukup alasan bagi kebenaran pasti.(Edwards,1967)

Salah satu pemikiran Liebniz ialah tentang subtansi. Menurutnya ada banyak substansi yang
disebut dengan monad (monos= satu; monad= satu unit) jika dalam matematika yang terkecil
adalah titik, dan dalam fisika disebut dengan atom, maka dalam metafisika disebut dengan monad,
terkecil dalam pendapat Leibniz bukan berarti sebuah ukuran, melainkan sebagai tidak
berkeluasan, maka yang dimaksud dengan monad bukan sebuah benda.
Setiap monad berbeda satu dari yang lain dan Tuhan (Supermonad dan satu-satunya monad
yang tidak dicipta) adalah pencipta monad-monad itu. Monad tidak mempunyai kualitas.
Karenanya hanya Tuhan Yang benar-benar mengetahui setiap monad agar Tuhan membandingkan
dan memperlawankan monad-monad itu. Itu disebabkan monad-monad itu memang berbeda satu
dengan yang lainnya.
Pada prinsip metafisika yang dikemukakan Leibniz yang juga disebut prinsip kontroversi
yang dinamakannya “prinsip identitas yang tidak dapat dibedakan”. Tidak akan setiap monad
memiliki sifat yang sama, bahkan Tuhan pun harus mempunyai alasan untuk memperbanyak
monad. Bila ada monad yang sama, untuk apa Tuhan menciptakan yang sama, oleh karena itu tidak
akan ada monad yang sama.

Monad itu adalah sebutan substansi terkecil dalam metafisika yang cukup diri dan terisoloasi-
berpisah diri; yang tak saling berinteraksi dengan substansi-substansi kecil lainnya. Substansi itu
bukan benda jasmaniah, ia murni spiritual-mental. Karena itu, monad tak berkeluasan. Ia semacam
daya purba (force primitives).
Sebagai subtansi nonmaterial, monade bersifat;

- Abadi, tidak bisa dihasilakan, ataupun dimusnahkan


- Tidak bisa dibagi
- Individual atau berdiri sendiri, sehingga tidak ada monade yang sama
- Mampu bekerja berkat daya aktif dari dalam dirinya sendiri. Kerja dari dan oleh dirinya
sendiri ini terdiri dari kegiatan mengamati (perceptio) dan meninginkan (appetitions)
- Tidak beruang dan berwaktu.
Karena sifat-sifat inilah, Leibniz mendefinisikan monade sebagai atom-atom sejati dari alam
dan hanya apabila monade tersebut ada dalam “jasad-jasad organik”, maka monade-monade itu
akan menjaadi “prinsip kehidupan”. Argumen Lebniz Tentang Bukti Adanya Tuhan. Dalam
permikirannya, Leibniz bermaksud untuk membuktikan eksistensi wujud (Tuhan). Bagaimana
keberadaan Tuhan itu benar-benar “ada” didalam kehidupan manusia. Ia membuktikan eksistensi
Tuhan dengan konsepnya tentang monade-monade.

Leibniz berusaha membuktikan keberadaan Tuhan dengan empat Argumen. Pertama, ia


mengatakan bahwa manusia memiliki ide kesempurnaan, maka adanya Tuhan terbukti. Bukti ini
disebut dengan ontologism. Kedua, ia berpendapat adanya alam semesta dan tidak lengkapnya
membuktikan adanya sesuatu yang melebihi alam semesta ini, dan yang transenden ini disebut
dengan Tuhan. Ketiga, ia berpendapat bahwa kita selalu ingin mencapai kebenaran abadi, yaitu
“Tuhan”. Keempat, Leibniz mengatakan bahwa adanya keselarasan antara monade-monade
membuktikan bahwa pada awal mula ada yang mencocokan mereka satu sama lain, yang
mencocokkan itu adalah Tuhan.

Ajaran Leibniz yakni tentang monade-monade ini, menjadi jalan keluar atas keparcayaan
Dualisme, dengan monade ini Leibniz memecahkan kesulitan mengenai hubungan antara jiwa dan
tubuh. Jiwa merupakan suatu monade dan tubuh terdiri dari banyak monade. Suatu monade tidak
dapat mempengaruhi monade lain, sebab masing-masing monade harus dianggap tertutup.

Leibniz juga mempunyai gagasan bahwa Tuhan mungkin tidak bebas untuk menyajikan
contoh kongkret dunia-dunia yang kontradiktoris secara logis, dan tidak ada dunia yang konsisten
secara logis, tempat mahluk-mahluk yang berkehendak bebas sekaligus tidak ada kejahatan.
Menurut Leibniz kehendak bebas adalah sebab dari kejahatan.

Tuhan atau subtansi tidak terbatas, dipahami dengan berfikir secara hati-hati sebab ia adalah
alam rasional, sifat-sifatnya berkembang dalam pemikiran, jadi idenya tidak dimulai dari
pemikiran tapi dengan langsung pada esensi itu sendiri. Tuhan memiliki kekuatan kreatif, sehingga
dalam pandangan Leibniz bahwa monad bergerak menyusun dunia, yang telah diprogramkan
kedalam diri mahluk pada saat penciptaan. Leibniz menyakini, bahwa alam semesta dikuasai oleh
akal, dan Tuhan telah menciptakan bumi sebagai dunia yang terbaik diantara segala dunia.
Hubungan akal dengan wahyu menurut Leibniz adalah wahyu itu dinyatakan dengan injil, dan akal
merupakan karunia Tuhan maka keduanya harus diserasikan.

Sesudah menciptakan dunia, Tuhan tidak perlu memperhatikan lagi, Ia sudah menyusun
sebelumnya semua gerak sehingga alam semesta untuk selamanya akan berjalan secara selaras.
Maka tidak ada campur Tuhan dalam jalannya dunia, baik secara biasa maupun secara luar biasa.
Leibniz mengumpamakan dengan jam dinding, bahwa penciptaan alam seperti jam dinding,
sehingga ia membuat pertanyaan, mana yang lebih sempurna, jam dinding yang terus-menerus
perlu dicampuri dan dibetulkan, atau jam dinding yang sudah dibangun sedemikian sempurna
hingga berjalan dengan amat persis tanpa perlu terus dipasang kembali? Pandangan ini juga disebut
dengan Deisme.

2.4 Keburukan yang ada dalam Pemikiran Leibniz


Leibniz membuat suatu perbedaan tentang arti keburukan, pertama, keburukan metafisik
(misalnya bencana alam) keburukan ini sudah dengan sendirinya termuat dalam pengertian “alam
ciptaan”. Jika alam ciptaaan ini sempurna, lalu apakah perbedaan antara ciptaan dan penciptanya?
Kedua, keburukan fisik (misalnya penyakit, penderitaan). Apabila dilihat dari perspektif yang
lebih luas, keburukan seperti ada manfaatnya, misalnya agar kita lebih berhati-hati dalam menjaga
kesehatan. Namun, mungkin juga keburukan ini merupakan hukuman bagi kita agar memperbaiki
diri. Ketiga, keburukan moral; ini adalah dosa atau kejahatan dalam arti sesungguhnya.

Bahwa adanya kejahatan merupakan akibat langsung dari kebebasan manusia yang disalah
gunakan. Tuhan tidak menghendaki kejahatan, namun ia membiarkan dosa atau kejahatan, agar
manusia tetap bebas. Tuhan Tuhan tidak menghendaki kejahatan, namun ia membiarkan dosa atau
kejahatan, agar manusia tetap bebas. Tuhan mencintai manusia dan melarang tindakan kejahatan
dalam bentuk apapun. Namun, manusia yang dicintai Tuhan adalah manusia bebas yang justru
karena itu bias melakukan apa sebenarnya dilarang Tuhan. mencintai manusia dan melarang
tindakan kejahatan dalam bentuk apapun. Namun, manusia yang dicintai Tuhan adalah manusia
bebas yang justru karena itu bias melakukan apa sebenarnya dilarang Tuhan. Jiwa bagi Leibniz
adalah abadi, sehingga ia berpegang teguh pada keadilan Tuhan yang mutlak sesudah mati.

Substansi adalah monade. Kenyataan terdiri dari monade-monade, yaitu bagian-bagian yang
terkecil, yang semuanya itu merupakan substansi-substansi. Monade-monade tidak memiliki
ukuran. Monade-monade dapat dianggap sebagai titik-titik yang mempunyai kuantitas energy
tertentu dan arah-arah tertentu. Monade-monade itu seperti jiwa karena semua monade memiliki
kesadaran. Monade-monade pada taraf anorganis (benda tak hidup), mempinyai kesadaran yang
hanya dalam “mimpi”. Kesadaran monade pada taraf tumbuhan dan hewan sudah lebih tinggi.

Pembeanaran Tuhan atau Teodise. Kebaikan Tuhan tidak bertentangan dengan kejahatan.
Kebebasan manusuia tidak bertentangan dengan kemahakuasaan Tuhan. Dari semua dunia yang
mungkin, Tuhan telah menciptakan yang paling baik. Dunia merupakan suatu hasil maksimal,
semua kemungkinan lain itu lebih jelek.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Atang,Abdul dkk. 2008. Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia.
F. Budi, Hardiman. 2006. Akal dan Hati Pada zaman modern. Jakarta: Gramedia Utama.
Mudhofir, Ali.2009. Kamus filsuf barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muzairi.2009.Filsafat Umum. Yogyakarta: Teras.
Sartika, Dewi.2006.“Dadaisme”. Jakarta: Gramedia Widya Sarana Indonesia.
Syadali, Ahmad.2005. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia.

Tafsir, Ahmad.2007.Filsafat Umum Akal & Hati Sejak Thales sampai dengan James. Bandung:
Remaja Rodakarya Offset.
Maksum, Ali.2011.Pengantar Filsafat:Dari Masa Klasik hingga Postmodernism. Jogjakarta:Ar-
Ruzz Media

Siswanto, Joko. 1998. Sistem-Sistem Metafisika Barat: dari Aristoteles sampai Derrida.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Mahasiswa PMT Kelas B Semester I 2011. 2011. Pengantar Filsafat. Surabaya: Prima Media
Grafika

Anda mungkin juga menyukai