Anda di halaman 1dari 14

RESPON GURU PADA BUKU AJAR BERPAHAM RADIKAL DI SEKOLAH DAN

MADRASAH

Terdapat kesimpulan berdasar 3 jurnal yang berbeda yaitu:

A. Berdasarkan penelitian dalam jurnal Rokhmad Abu, “RADIKALISME ISLAM


DAN UPAYA DERADIKALISASI PAHAM RADIKAL”, Jurnal Walisongo, Vol
XX, No 1, 2012.
Menjelaskan bahwa ketika ditanyakan tentang dugaan-dugaan sekolah umum
mulai di pengaruhi paham-paham islam radikal, jawaban guru-guru PAI pada SMU di
Semarang dapat di kategorikan menjadi 3 bagian:
1. Sebagian besar guru PAI (6 guru dari 9 guru yang di wawancara) mengakuia adanya
penyebaran virus radikalisme di kalangan siswa-siswi SMU.
Abdul Aziz, guru PAI SMA Sultan Agung mengatakan: “Ya, bisa jadi.
Gerakan-gerakan (Islam radikal yang) mempengaruhi anak-anak muda itu mungkin
terjadi. Hal itu biasanya terjadi di sekolahsekolah umum yang doktrin agamanya
masih lemah dan menjalankan ajaran agama secara mentah. (Para guru)
memasukkan (paham-paham) radikal kepada siswa SMA yang masih dangkal
pemahamannya tentang Islam. Bisa juga (disebabkan karena) memahami dalil al-
Qur’an hanya parsial, sepotong-potong, dan tidak menyeluruh, (misalnya,
memahami ayat) ashiddāu ‘alā al-kuffār, keras terhadap orang kafir (secara
sepotong).”
Menurut Hidayatul Azizah (guru PAI SMA 14 Semarang), memang
kebanyakan anak yang berpikir radikal adalah siswa dari sekolah umum. Mereka
kebanyakan tidak memiliki dasar agama yang kuat sehingga mudah dipengaruhi
dengan paham agama yang harfiah dan instan. Sri Istiqomah juga mengakui
kemungkinan pengaruh paham radikal pada anak-anak SMU disebabkan kurangnya
pendidikan agama sehingga memudahkan mereka membaca buku (bertema) Islam
yang radikal.
Siti Nur Rohmah membetulkan dugaan pengaruh radikalisme di kalangan
pelajar SMU. Hal demikian terjadi disebabkan kurangnya pelajaran agama di
sekolah. Hal ini mendorong mereka (untuk menambah pengetahuan agamanya)
dengan membaca buku-buku agama dan mengikuti tambahan (ekstra) kegiatan
keagamaan di dalam maupun di luar sekolah. Buku-buku yang dibaca dan kegiatan
keagamaan yang diikuti mungkin lebih keras ajarannya sehingga mempengaruhi
paham peserta didik ketika berinteraksi di sekolah.
Menurut guru PAI di SMA 7 Semarang (Budi dan seorang lainnya yang tidak
mau disebut namanya), indikasi ke arah dugaan sekolah umum mulai dipengaruhi
oleh paham-paham Islam radikal memang ada. Hal itu dapat dilihat dari (sikap) para
siswa yang menyerang (ofensif) bila ajaran (yang disampaikan guru) tidak sesuai
dengan poin-poin dasar (fundamental) agama.
Kata ‘menyerang’ di atas menarik untuk dianalisis lebih jauh karena tampak
inline dengan karakter keras dalam paham Islam radikal. Menyerang dalam
pengertian lisan sudah menjadi sifat dasar Islam radikal. Mereka suka menyerang
paham dan amalan orang lain di luar kelompok mereka sebagai bid’ah, kafir dan
syirik. Di dalam sikap ‘menyerang’ itu sebenarnya muncul sikap kritis tetapi
harfiah. Umumnya kelompok Islam selalu mempertanyakan apakah sebuah amalan
misalnya, adakah sumber hukumnya dari al- Qur’an atau hadits? Jika ada dan itu
shahih berarti harus dilaksanakan. Sebaliknya, bila dalilnya dianggap ada tetapi
menurut mereka berkualitas daif (lemah), biasanya mereka akan menyerangnya
dengan kata-kata ahli bid’ah. Mereka menyerang jauh lebih keras jika mendapati
Muslim lain mengamalkan suatu ajaran dan menurut mereka sama sekali tidak ada
dasar hukumnya, biasanya mereka akan melabeli dengan kata-kata syirik atau
musyrik.
2. seorang guru menolak dugaan adanya sekolah umum yang mulai dipengaruhi
paham-paham islam radikal. Secara tegas, Ahmad Dhuha, guru PAI SMU
Kesatrian, menolak sinyalemen di atas.
“Pandangan umum, sekolah umum mendapatkan stigma demikian saya tidak
setuju, tidak sepakat. Mereka (Islam radikal) dalam menyampaikan ajaran
(dilakukan) secara tidak terbuka. (Sasaran ajaran mereka adalah kepada) seseorang
(yang) bimbang dan agak galau (sehingga mau menerima ajaran yang kurang tepat).
Kalau kayak sampeyan (yang memiliki dasar-dasar ilmu agama yang kuat), sudah
kebal (tidak mempan) diajarkan kayak begitu, pasti gagal. Model perekrutan (Islam
radikal) itu (bersifat) personal, tidak terbuka, bukan pula kelembagaan, tapi ia
mempunyai semacam jaringan.”
Ketika ditanyakan lebih lanjut, apakah dalam pembelajaran PAI diselipkan
wacana soal radikalisme? Ahmad Dhuha menjelaskan: “Ajaran itu kan (berisi)
contoh yang nyata. (Seseorang) harus mencontohkan perilaku terpuji dan
(menghindari perilaku) tercela. Misalnya, orang itu mengaku Islam kemudian ia
mengebom kepada orang-orang yang itu juga Islam. (Sesama Muslim) tidak boleh
dianiaya. (Seperti kata Nabi Muhammad SAW dalam sebuah sabdanya): barang
siapa memerangi kafir dzimmi berarti memerangi saya. Saya tidak pernah
menyampaikan kepada anak-anak selain itu. Tidak ada sisipan (paham radikal,
kecuali) hanya memperjelas keterangan sebagai contoh saja.”
3. Dua guru PAI mengaku tidak tahu atau tidak tegas menjawab soal dugaan adanya
sekolah umum yang mulai dipengaruhi paham-paham islam radikal, dengan dua
model jawaban. Yang pertama menyatakan tidak tahu karena disekolahnya tidak
ada (penyebaran paham islam radikal). Seandainya ada (penyebaran paham
tersebut), tapi tidak kelihatan. Jawaban ini diwakili oleh Abas, guru PAI AMK
Negri 2 Semarang, Maftuhatun Nikmah, guru PAI dari SMK 5 Semarang
menyatakan perlu diwaspadai adanya penyebaran paham radikal dikalangan siswa
SMU. Oleh karena itu, edukasi dan sosialisasi ajaran islam yang benar dan moderat
perlu terus menerus dilakukan.
Kesimpulan dalam jurnal tersebut adalah Pertama, sebagian guru mengakui
bahwa paham Islam radikal kemungkinan telah tersebar di kalangan siswa karena
minimnya pengetahuan keagamaan mereka. Keikutsertaan siswa/i dalam kegiatan
kerohanian Islam di luar kontrol guru PAI yang moderat, dapat mendukung
pandangan asumsi paham Islam radikal di lingkungan sekolah. Pengaruh
radikalisme itu tidak hanya terhadap siswa tapi para guru PAI.
Kedua, unit-unit Kerohanian Islam (Rohis) yang berada di sekolahsekolah yang
menjadi sampel penelitian ini berjalan dengan baik namun tidak ada jaminan steril
dari elemen-elemen radikalisme Islam karena sebagian proses pembelajarannya
diserahkan kepada pihak ketiga, yaitu ustadz-ustadz dari luar sekolah yang belum
diketahui jelas latar belakang dan diduga berafiliasi dengan ormas/orpol tertentu
yang mengusung ideologi dan mendorong pelaksanaan agama secara kaku dan tidak
toleran. Kegiatan ekstra kerohanian Islam seperti mabit dan dawrah adalah suatu
kegiatan penanaman ideologi Islam tertentu yang dapat berpotensi mendorong
siswa untuk beragama secara kaku.
Ketiga, di dalam buku paket dan LKS bermunculan berbagai statemen yang
dapat mendorong siswa membenci atau anti terhadap agama dan bangsa lain. Tafsir
soal Yahudi dan Nasrani, soal memilih pemimpin yang tidak boleh dari kalangan
Yahudi dan Nasrani, kemunduran umat Islam disebabkan karena pengaruh Barat,
dan nikah beda agama akan menjadi pintu masuk bagi munculnya sikap
permusuhan terhadap agama. Sikap ini menjadi salah satu akar paham radikalisme
di kalangan umat Islam.
Keempat, pada dasarnya deradikalisasi dapat dimulai, baik elemen maupun akar
radikalisme. Dalam penelitian ini disimpulkan deradikalisasi pencegahan
(preventive deradicalization) dan pemeliharaan (preservative deradicalization)
Islam moderat. Dengan model ini, deradikalisasi bersifat proaktif dan tidak
menunggu sampai terjadi aksi terorisme. Strategi deradikalisasi yang dilakukan
oleh guru-guru PAI adalah:
a. Re-edukasi (me mahami Islam lebih utuh).
b. Kampanye ukhuwwah islāmiyyah.
c. Anti radikalisme.
Di samping itu, deradikalisasi juga dapat dilakukan setelah seseorang
menjadi radikal (curative deradicalization). Model ini bersifatmenyembuhkan
bagi pelaku radikalisme, baik sebelum maupun setelah terjadi aksi radikal
(teror). Selain membutuhkan strategi deradikalisi yang pertama, juga dibutukan
langkah-langkah yang lain, seperti:
1) dialog intensif
2) pendekatan konseling dan psikologis.
Aktor yang terlibat dalam deradikalisasi model yang pertama ini adalah
guru PAI, pihak sekolah dan orang tua. Jika seseorang sudah melakukan
tindakan teror, yang berhasil ditangkap, diadili dan dipenjarakan, maka strategi
deradikalisasi mengacu kebijakan pemerintah yang dilakukan oleh BNPT.
B. Berdasarkan penelitian dalam jurnal Fuad, A. Jauhar, “REKONSTRUK BUKU
AJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERMUATAN PAHAM RADIKAL DI
SEKOLAH, jurnal proceeding ancoms 2017.
Sekolah merupakan arena yang sangat potensial. Sekolah sebagai arena akan
menemukan titik perkembangannya ketika di sana didapatkan adanya modal sosial
seperti suntikan dari para perikrut untuk mendapatkan pemahaman keagamaan yang
radikal. Sebagi bukti misalnya:
1. belakangan, sekolah-sekolah formal juga mulai mengajarkan elemen-elemen Islam
garis keras. Dua sekolah (SMP Al-Irysad Tawangmangu dan SD Al-Albani
Matesih) berbasis agama yang melarang siswa menghormat Bendera Merah Putih
di Karanganyar.
2. hasil penelitian yang dilakukan oleh LaKIP Jakarta sungguh mengejutkan, bahwa
penelitian menegaskan guru PAI dan siswa (SMP dan SMA) di Jabodetabek
menunjukkan bahwa 49 % siswa setuju dengan aksi radikalisme demi agama:
84,8% siswa juga menyatakan setuju dengan penegakan syariat Islam. Sementara
itu, didapat data bahwa sebanyak 25,8% menganggap bahwa Pancasila sudah tidak
sesuai lagi sebagai ideologi negara.
3. hasil penelitian melaporkan bahwa di Yogyakarta terdapat beberapa sekolah
menengah atas yang memiliki kecenderungan keras (radikal) dalam memahami
keagamaan yang selama ini dianut. Radikalisasi yang mereka anut terjadi karena
peran-peran para mentor (pendamping kegiatan bimbingan belajar atau kegiatan
keagaman) yakni para alumni SMA tersebut dalam memberikan pemahaman
tentang keislaman pada para siswa SMA tersebut.
4. lebih khusus paham ini mulai masuk melalui buku teks, seperti pada mata
pelajaran PAI di SMA kelas XI yang isinya “orang yang menyembah selain Allah
atau non muslim boleh dibunuh”, lebih lanjut mata pelajaran Akidah Akhlah di MA,
Fiqih di MA dan buku SKI MTs kelas VII. Penulis memahami muatan yang
diajarkan dalam buku teks tersebut bermuara pada menebar kebencian terhadap
sesama manusia yang berujung pada radikalisme.
Kesimpulan dalam jurnal tersebut adalah deradikalisasi dapat dilakukan
tidak hanya dengan menggunakan pendekatan repersif tetapi juga dapat dilakukan
pendekatan persuasif. Pencegahan munculnya paham radikal jauh lebih pentng
sebelum terjadinya aksi teror. Dengan memberikan pemahaman agama yang benar
kepada generasi muda terutama pada para siswa, menjadi satu langkah yang
bijaksana agar aksi teror tidak terulang kembali dimasa-masa yang akan datang.
Pendekatan ini dilakukan dengan mengkontruksi ulang bahan ajar pendidikan
agama islam yang dipelajari siswa pada semua satuan pendidikan.
C. Berdasarkan penelitian jurnal Zada Khamami, “RADIKALISME DALAM
PAHAM KEAGAMAAN GURU DAN MATA PELAJARAN FIKIH DI
MADRASAH ALIYAH”, Jurnal penelitian keagamaan dan kemasyarakatan Vol
28, No 1, 2015
Paham Keagamaan Guru :
1. Nikah Beda Agama
Nikah beda agama merupakan isu yang sangat kontroversial di mata pelajaran
Fikih MA. Karena itulah, pembahasan tentang nikah beda agama diletakkan dalam
persyaratan pernikahan yang melarang perempuan Muslimah menikah dengan laki-
laki non-Muslim. Sedangkan laki-laki Muslim diperbolehkan menikah dengan
perempuan ahlul kitab. Ketentuan dasar ini kemudian dipahami bahwa untuk
menemukan ahlul kitab yang masih orisinil sulit ditemukan. Karena itu, Ahli Kitab,
baik laki-laki maupun perempuan sudah tidak ada lagi (Zaenudin dan Suparta 2011,
74).
Romi Fazla, Lc, guru Fikih MA Darul Marhamah al-Irsyad, Cibubur Bogor
mengatakan, bahwa nikah beda agama ada yang dihukumi halal dan ada yang
dihukumi haram. Menikahi wanita ahlul kitab yang dihukumi halal dalam fikih
karena ahlul kitab pada zaman Nabi masih ada yang murni (belum dipalsukan).
“Nah, persoalannya tentang ahlul kitab. Di Islam, ulama kan berbeda pendapat, ada
yang mengatakan sampai sekarang masih ada, ada ulama yang mengatakan mereka
sudah tidak ada. Tapi dalam Al-Qur’an kan Allah mengatakan yuharrifunal kalima
an mawaḍi’ihi, mereka sudah melakukan inhirāf, perubahan di dalam kitab sucinya.
Jadi mereka sudah tidak murni. Jadi dengan acuan di situ, dari Depag. Ini cocok
dengan yang saya pegang, bahwa ahlul kitab memang sudah tidak ada. Karena itu,
diharamkan” (Romi Fazla, guru fikih MA Darul Marhamah al-Irsyad, Cibubur,
Bogor).
Marwanih, guru MA Darul Maarif Jakarta juga berpandangan, bahwa nikah
beda agama dengan ahlul kitab di masa Nabi masih ada, tetapi sekarang sudah tidak
ada ahlul kitab yang murni lagi.
Guru Fikih MA Persis Koja, Jakarta Utara dalam soal nikah beda agama, peserta
didik diberikan pemahaman, bahwa Islam telah memberikan kriteria mengenai
siapa yang seyogyanya dipilih untuk menjadi pasangan hidup.
Guru MAN 4 Model Jakarta Selatan, Sutheli dan Indrayanti menjelaskan
kepada siswa mengenai pernikahan beda agama. Penanaman pertama kepada siswa
adalah dikembalikan ke ayat, “la tankihū…” “Artinya di sini, bahwa dilarang untuk
menikah ketika berbeda agama, baik laki-laki maupun perempuan, tetapi juga di
sini saya jelaskan ketika calon suami itu Muslim dan calon istri itu non-Muslim ya
harus dimuslimkan dulu sebelum terjadi pernikahan. Ini sebuah dasar, bahwa dari
pernikahan inilah sebuah keluarga dan kehidupan dimulai, jika kita memulainya
dengan salah, maka akan menjadi buruk pada tatanan seterusnya.” Itu sebabnya bagi
guru MA Tapak Sunan perkawinan beda agama memiliki dampak negatif, di
antaranya adalah berpindahnya agama dan dikucilkan dari keluarga, sehingga putus
hubungan silaturrahmi dengan keluarga.
Pemahaman guru MA di atas ini menunjukkan, bahwa guru MA masih bersikap
hati-hati dalam memahami hukum nikah beda agama. Mereka merujuk pada
pendapat ulama kontemporer yang mengharamkan pernikahan perempuan
Muslimah dengan laki-laki non-Muslim dan juga mengharamkan laki-laki Muslim
dengan perempuan ahlul kitab karena dipandang ahlul kitab di zaman sekarang
sudah dipalsukan atau tidak murni lagi, seperti pada masa Nabi. Posisi pemahaman
ini tidak menunjukkan pemahaman yang intoleran karena tidak ada unsur sikap
yang mengarah pada indikator intoleransi.
2. Waris Beda Agama
Buku ajar Fikih MA membahas persoalan waris, termasuk waris bagi orang
yang berlainan agama yang pada umumnya dihukumi tidak dapat saling mewarisi.
Karena itu, jika ada orang Islam keluar dari agamanya (murtad), hilanglah hak waris
mewarisinya terhadap keluarganya yang Muslim sebab menjadi berlainan
agamanya (Hadna 2012, 122; Zainudin dan Suparta 2011, 108). Posisi buku ini
sesungguhnya menempatkan ajaran fikih pada umumnya yang tidak
memperbolehkan non-Muslim dan murtad mendapatkan waris. Muatan isi ini
menunjukkan ketatnya pewarisan dalam buku ajar, yang membatasi hanya
diberikan kepada keluarga satu agama. Dalam muatan ini, tentu saja ada potensi
intoleransi/ radikal jika diajarkan secara berlebihan oleh guru, terutama yang
mengandung unsur permusuhan dan kebencian.
Di MA Persis Koja, Jakarta Utara, dalam hal warisan, peserta didik diberikan
penjelasan, bahwa dalam Islam sudah ada aturan mengenai siapa saja yang berhak
menjadi ahli waris. Terhadap orang murtad dan non-Muslim, Islam memberikan
aturan yang jelas untuk tidak memberikan warisan. Namun demikian, bila memang
ada keluarga yang murtad atau non-Muslim, harta warisan dapat diberikan kepada
mereka dalam bentuk wasiat atau hadiah. Jadi bukan berarti, orang yang murtad dan
non-Muslim tidak mendapatkan apa-apa dari harta warisan. Hanya beda istilah saja.
Dengan penjelasan seperti ini, peserta didik diberikan pemahaman mengenai
bagaimana kedudukan orang murtad dan non-Muslim dalam kaitannya dengan
harta warisan (Rusyana, guru MA Persis Koja Jakarta Utara).
Demikian ini pula yang dipahami Romi Fazla, Lc, guru Fikih MA Darul
Marhamah al-Irsyad, Cibubur Bogor, bahwa beda agama tidak saling mewarisi.
“Atau misalnya pembunuh karena ingin mendapat waris, kan juga tidak mewarisi.
Apalagi yang beda agama, murtad saja tidak boleh, meskipun bapaknya Muslim
lalu anaknya yang murtad atau sebaliknya. Itu otomatis putus,” kata Romi Fazla.
Senada dengan di atas, Sutheli dan Indrayanti, guru MAN 4 Model Jakarta Selatan
juga berpandangan tidak boleh mendapatkan warisan orang yang berbeda agama.
Penjelasan ini benar-benar ditanamkan kepada siswa, sehingga siswa dapat
memahami dengan benar, bahwa beda agama menyebabkan tidak mendapatkan
warisan.
Dalam kasus anak yang orang tuanya Muslim, tetapi dia non- Muslim, pada
dasarnya tetap tidak akan mendapatkan warisan sedikitpun dari orang tuanya yang
Muslim, tetapi demi belas kasihan, maka diberikan hibah atau pemberian yang
dilakukan oleh orang tua kepada anak. Alternatif ini tidak termasuk dalam warisan.
Konsep dasar dalam Islam yang tidak memberikan harta warisan kepada ahli waris
murtad dan beda agama telah dipahami oleh guru dan dijelaskan kepada siswa.
Namun demikian, guru juga memberikan skema yang memungkinkan ahli waris
murtad dan beda agama dapat mendapatkan harta melalui mekanisme hadiah atau
wasiat.
Hal ini menunjukkan, bahwa guru-guru Fikih MA tidak memiliki paham yang
kuat untuk membatasi hak non-Muslim secara permanen. Dengan mengacu pada
dasar-dasar keislaman, guru-guru Fikih MA tidak mau terjebak pada pada
pemahaman dan sikap yang intoleran/radikal.
3. Qișaș dan Ḥudūd

Penegakan qișaș dan ḥudūd merupakan isu yang cukup lama diperdebatkan oleh
kalangan Muslim. Karena di satu sisi, Islam menghendaki penegakan hukum qișaș
dan ḥudūd, tetapi di sisi lain, Indonesia sebagai negara bukan Islam tidak
memberlakukan qișaș dan ḥudūd. Kesenjangan antara ajaran dan praktik tentang
qișaș dan ḥudūd merupakan isu yang cukup sulit bagi guru-guru dalam memahami
dan mengajarkan qișaș dan ḥudūd di kelas. \Dalam kesenjangan yang seperti ini,
Romi Fazla, Lc, guru Fikih MA Darul Marhamah al-Irsyad, Cibubur Bogor dapat
memahami tidak ditegakkannya qișaș dan ḥudūd.

“Jadi saya jelaskan, menurut din kan begini, hukum qișaș begini. Tetapi karena
negara kita meski penduduknya Muslim, tapi hukum Islam belum ditegakkan,
seperti di Arab Saudi, maka tidak bisa dipraktikkan. Tetapi di Saudi juga saya
bilang, tidak semua diterapkan, kita hanya bisa berusaha. Alhamdulillah di Aceh
sudah sebagian bisa diterapkan. Tetapi untuk qișaș belum bisa, karena prosedurnya
harus ke pusat. Jadi apa yang dilakukan oleh orang Aceh kita hormati, jangan
memandang sebelah mata. Karena itu, memang yang harus dilakukan, meski tidak
semua. Di Arab Saudi qișaș pun tidak dilakukan semua, tapi hanya pada para
pendatang, sampai saat ini, ustaz sendiri, belum pernah mendengar orang Saudi
sendiri di-qișaș. Wallahu a’lam kalau sudah, tapi saya belum pernah mendengar
beritanya.”

Di Madrasah Aliyah Persis Koja Jakarta Utara, materi qișaș dan ḥudūd
dijelaskan kepada peserta didik dengan terlebih dahulu diberikan penjelasan
mengenai kedudukan syariat dalam suatu negara seperti Indonesia. Sebagai
Muslim, peserta didik tidak diajarkan untuk menegakkan syariat melalui paksaan
atau cara-cara kekerasan. Dalam negara seperti Indonesia, umat Islam harus
mentaati peraturan serta hukum yang ditetapkan pemerintah. Namun demikian,
syariat Islam, termasuk di dalamnya penegakan qișaș dan ḥudūd harus terus
diperjuangkan. Peserta didik didorong agar mereka terus belajar hingga dapat
menjadi pemimpin. Ketika menjadi pemimpin dan memiliki kekuasaan, perjuangan
untuk menegakkan syariat menjadi terbuka (Rusyana, guru MA Persis Koja Jakarta
Utara).

Dalam praktik pembelajaran di MAN 4 Model Jakarta Selatan, para siswa


diberikan dasar hukumnya terlebih dahulu, yaitu hukum qișaș dan ḥudūd harus
ditegakkan, seperti mencuri dihukum potong tangan dan membunuh dihukum qișaș
(dibunuh). Dengan diajarkan hukum dasar ini, maka diharapkan siswa enggan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang akan dikenakan hukuman.

Pemahaman guru-guru MA yang tidak memaksakan pemberlakuan qișaș dan


ḥudūd di Indonesia menunjukkan, bahwa guru-guru MA berpaham toleran. Artinya,
guru-guru MA tidak memaksakan diri dan memaksakan siswa untuk segera
memberlakukan qișaș dan ḥudūd dengan cara-cara kekerasan. Justru guru-guru MA
mengajarkan kepada siswa agar dapat memahami situasi ini.

4. Khilāfah dan Aḥl al-Ḥalli wa al-‘Aqdi

Khilāfah merupakan konsep politik yang menunjuk pada istilah negara. Konsep
ini kemudian dibatasi pada persoalan khilāfah Islamiyah atau negara Islam. Konsep
yang telah merujuk pada berdirinya negara Islam dan presiden non-Muslim
mengundang perdebatan di kalangan masyarakat Muslim. Apakah Indonesia harus
menjadi negara Islam atau menjadi negara yang berdasarkan Pancasila.

Guru Fikih MA Persis, Rusyana berpandangan, bahwa mendirikan khilāfah


adalah farḍu kifāyah. Oleh Rusyana, peserta didik diberikan pengertian dalam
pembahasan terkait pendirian khilāfah secara bebas. Di kelas, pembahasan
mengenai khilāfah dibicarakan sebagai sebuah ilmu. Artinya, nuansa akademik
dalam hal ini lebih ditonjolkan. Peserta didik diberikan pemahaman, bahwa khilāfah
bukan satu-satunya bentuk sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan selain
khilāfah sangat dibolehkan asal sesuai dengan ajaran-ajaran Islam sendiri.

Dalam pandangan Romi Fazla, guru Fikih MA Darul Marhamah Al-Irsyad,


Cibubur Bogor, khalifah berarti kepemimpinan seperti presiden. Presiden adalah
pemimpin satu negara, sedangkan khilāfah adalah pemimpin dunia Islam. Karena
itu, mendirikan khilāfah hukumnya adalah farḍu kifāyah, sedangkan mendirikan
negara adalah farḍu 'ain.

Dalam posisi demikian, Romi Fazla, guru Fikih MA Darul Marhamah Al-
Irsyad, Cibubur Bogor menyampaikan, bahwa sistem khilāfah dapat dilakukan
pemilihan kepala negaranya melalui dua cara, langsung maupun tidak langsung.
Misalnya, lewat wasiat dari pemimpin sebelumnya, sedangkan jika secara langsung
sama seperti demokrasi. Ditegakkannya sistem khilāfah pun tidak langsung
berhasil, tetapi memerlukan penyatuan pikiran umat Islam di setiap negara, karena
negara-negara juga beda-beda. Ada yang berpaham Ahlus Sunnah seratus persen,
ada yang tidak,

warga negara Iran dan Irak juga banyak yang berpaham Syiah. Menurut Romi
Falah, HTI adalah sekelompok kecil saja di antara kelompok-kelompok di
Indonesia yang bercita-cita mendirikan khilāfah, tetapi mendirikan khilāfah
sekarang ini belum diperlukan (Romi Fazla, Lc., guru Fikih MA Darul Marhamah
al-Irsyad).

“Tetapi Alhamdulillah, saya bilang, di Islam ada muktamarnya OKI (Organisasi


Konferensi Islam), nah di situlah mereka menyatukan pendapat mereka di bahThul-
bahThul masā'il mereka soal-soal kontemporer. Bahkan di sana tidak menutup akan
ditegakkan khilāfah, di mana dan bagaimana akan dibahas. Bisa jadi. Dan tidak
menutup kemungkinan Indonesia menjadi pusat. Itu wallahu a’lam, nah itu
mungkin akan dibahas di OKI”.

Dalam pandangan Sutheli dan Indrayanti, guru MAN 4 Model Jakarta Selatan,
khilāfah harus ditegakkan. Persepsi yang dibangun bukan karena negara Indonesia
bukan negara Islam yang tidak menegakkan khilāfah, tetapi karena umat Islam
belum mampu untuk menegakkan khilāfah. Mengenai khilāfah ditanamkan kepada
siswa bahwa ajaran atau hukum Islam tetap harus ditegakkan, sehingga
kegoncangan-kegoncangan yang ada di negara Indonesia dapat diredam. Akan
tetapi, sebagai warga negara di negara yang menganut sistem republik, khilāfah
tetap ditegakkan melalui hukum-hukum yang berlaku dan muamalah dengan
sesama umat manusia dengan menggunakan cara-cara Islam. Meskipun, menurut
guru Fikih MA Darul Maarif Jakarta, sistem khilāfah di Indonesia sulit ditegakkan,
tetapi sebagai umat Muslim wajib menjalankan syariat secara menyeluruh.

Dalam posisi yang demikian ini, guru-guru Fikih MA masih berpegang pada
konsep, bahwa khilāfah adalah bentuk negara yang dipraktikkan dalam Islam yang
harus ditegakkan. Namun demikian, guru-guru fikih MA tidak memaksakan
pembentukkan khilāfah dengan cara-cara kekerasan. Bahkan, masih ada yang
memandang, bahwa demokrasi yang dipraktikkan di Indonesia relevan dengan
konsep Islam, meskipun tidak seluruhnya. Karena itulah, sistem pemerintahan
dalam Islam masih dipahami sebagai cita-cita oleh guru-guru Fikih MA. Dengan
cara pandang ini, bukan berarti mereka berpaham intoleran atau radikal, justru
mereka dapat memahami kesulitan mendirikan khilāfah. Di MA Persis, Koja
Jakarta Utara, dalam kaitan dengan Aḥl al-Ḥalli wa al- ‘Aqdi, peserta didik
diberikan penjelasan, bahwa hendaknya yang dipilih untuk duduk menjadi dewan
perwakilan adalah dari kalangan Muslim. Namun jika yang terpilih dari kalangan
non-Muslim, itulah fakta. Terpilihnya non-Muslim untuk menduduki jabatan
sebagai dewan perwakilan menjadi cerminan masyarakat yang memilihnya. Dalam
praktiknya, di dalam kelas, guru memberikan penjelasan, bahwa perwakilan dari
kalangan Muslim harus tetap menjadi prioritas (Rusyana, guru MA Persis Koja
Jakarta Utara). Guru Fikih MAN 4 Model Jakarta Selatan memiliki pandangan yang
berbeda. Aḥl al-Ḥalli wa al-‘Aqdi boleh diambil dari non-Muslim, asalkan benar-
benar adil dan bijaksana serta tidak menyusup pada wilayah akidah (Sutheli dan
Indrayanti, guru MAN 4 Model Jakarta Selatan).
Pemahaman yang lebih toleran justru tampak dalam konsep Aḥl al-Ḥalli wa al-
‘Aqdi yang cenderung menerima perwakilan Aḥl al-Ḥalli wa al-‘Aqdi dari kalangan
non- Muslim. Ini menunjukkan, bahwa guru-guru Fikih MA memiliki pemahaman
yang ketat dalam soal presiden dengan harus beragama Islam dengan Aḥl al-Ḥalli
wa al- ‘Aqdi yang tidak harus beragama Islam.

Kesimpulan dalam jurnal tersebut adalah Paham keagamam radikal yang


berpotensi masuk ke dalam madrasah, khususnya dalam materi Fikih di Madrasah
Aliyah ternyata tidak terbukti. Dalam SKKD, buku ajar dan pemahaman guru-guru
Fikih MA dalam materi pernikahan, kewarisan, dan politik, tidak ditemukan paham
intoleran dan radikal, melainkan sekadar pembatasan hak-hak non-Muslim.
Pembatasan ini didasarkan pada doktrin Islam yang menegaskan, bahwa non-
Muslim tidak mendapatkan hak-hak tertentu, seperti kewarisan, kepemimpinan, dan
perwakilan.

Kecenderungan ini menunjukkan, bahwa SKKD, buku ajar dan guru-guru Fikih
MA tidak berpaham intoleran atau radikal karena tidak ditemukan indikasi
penghinaan terhadap agama lain, penyebaran permusuh-an kepada agama lain,
pemaksaan keimanan, penyebaran kebencian kepada agama lain, penyingkiran dari
komunitas, pembatasan hak, dan provokasi kekerasan. Bahkan, guru-guru Fikih
MA justru dapat memahami kesenjangan antara doktrin dan realitas. Misalnya,
dalam penegakan qișaș dan ḥudūd, dengan cenderung tidak memahami dan
mengajarkan kepada siswa untuk berbuat kekerasan demi penegakan ajaran Islam.
Ini berarti, bahwa tidak ditemukan intoleransi atau radikal dalam paham keagamaan
guru di bidang fikih.

Anda mungkin juga menyukai