Anda di halaman 1dari 18

Khafidz Baidowi Kurikulum Sekolah dan Madrasah dalam

Menangkal Radikalisme

Kurikulum Sekolah dan Madrasah dalam


Menangkal Radikalisme

Khafidz Baidowi1

1IAIN Kediri, Jl. Sunan Ampel No. 7, Kota Kediri, Jawa Timur,
64127, Indonesia.
Email: khafidzbaidowi5@gmail.com

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk


pencegahaan radikalisme di sekolah dan madrasah MA Al -
Hikmah Purwoasri. Penelitian ini dilatar belakangi oleh faham
radikalis dan isu terorisme, terlebih pada masa yang
berkembang saat ini. Di era digital pada umumnya generasi
muda mengenal sosial media, dari situlah faham radikalisme
dan terorisme mudah mempengaruhi generasi muda. Oleh
karenanya, sekolah dan madrasah yang berbasis pesantren ini
memiliki peran yang penting dalam menanamkan nilai dan
norma keagamaan. Pendekatan dan jenis penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Data
dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara secara
mendalam, observasi dan dokumentasi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa menangkal radikalisme di MA Al-Hikmah
Purwoasri dilakukan dengan cara Pertama, (1) melalui kurikulum
formal, (2) melalui kurikulum tersembunyi (hidden kurikulum).
Kedua, dengan cara penanaman: (1) Imaniyah (2) Ilmiyah dan (3)
Amaliyah. Ketiga, memberikan pemahaman dan penyadaran
kepada siswa tentang nilai-nilai karakter: (1) religius, (2) jujur,
(3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri,
(8) demokrasi, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan,
yang semua nilai karakter itu akan memberikan dampak
terhadap ideologi siswa yang posistif dan jauh dari radikalisme.

Kata Kunci: Madrasah, Pesantren, Radikalisme, Sekolah.

1. Pendahuluan
Paham radikal saat ini mulai masuk dan berkembang kedalam
lembaga pemdidikan formal. Berkembang paham radikal yang masuk
kedalam lembaga pendidikan formal sekolah. Kegiatan seperti Osis,
Rohis, maupun ekstrakurikuler lain tidak terlepas dari ancaman
penyebaran paham radikal. Kondisi tersebut semakin mengkhawatirkan

Vol. 5 November 2022 269


Pascasarjana IAIN Kediri
Kurikulum Sekolah dan Madrasah dalam Khafidz Baidowi
Menangkal Radikalisme

mengingat institusi sekolah memiliki keterbatasan untuk mengawasi


seluruh kegiatan sekolah. Untuk mengatasi hal ini, perlu langkah yang
serius dari pemilik yayasan melukan sejumlaj langkah atas ancaman
radikalisme disekolah.
Hasil penelitian survey yang dilakukan oleh Lembaga Kajian
Islam dan Perdamaian (LaKIP) Jawa Timur pada tahun 2021 sungguh
mengejutkan, sebanyak 48,9% siswa di Purwoasri menyatakan
persetujuannya terhadap aksi radikal. Hasil survey di atas sekaligus bisa
menyadarkan para guru, khususnya guru Pendidikan Agama Islam
(PAI), bahwa ada bahaya yang sedang mengancam para siswanya.
Persetujuan atau penerimaan terhadap suatu nilai adalah tahap awal dari 5
tahapan ranah sikap atau afektif seseorang dalam pandangan David R.
Krathwohl. Ini berarti, jika persetujuan siswa terhadap tindakan radikal
itu dibiarkan, bisa jadi akan mengakibatkan mereka memiliki
kepribadian yang suka berbuat kekerasan sebagai cara yang ditempuh
untuk mencapai tujuan. Radikalisme setidaknya pada tataran pemikiran
telah memeroleh dukungan dari masyarakat sekolah [1].
Di beberapa kampus perguruan tinggi umum, kecenderungan
mahasiswa untuk mendukung tindakan radikalisme juga sangat tinggi.
Hal ini terungkap dalam penelitian tentang Islam Kampus yang
melibatkan 2466 sampel mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi
ternama di Indonesia. Ketika para mahasiswa ditanya tentang
pelaksanaan amar makruf nahi munkar dalam bentuk sweeping tempat-
tempat yang dianggap sumber maksiyat, mereka menjawab sebagai
berikut: sekitar 65% (1594 responden) mendukung dilaksanakannya
sweeping kemaksiatan, 18% (446 responden) mendukung sekaligus
berpartisipasi aktif dalam kegiatan sweeping. Sekitar 11% (268 responden)
menyatakan tidak mendukung sweeping, dan sisanya, 6% (158 responden)
tidak memberikan jawabannya. Selanjutnya, mereka yang mendukung
sweeping beralasan bahwa kegiatan sweeping tersebut sebagai bagian dari
perintah agama (88%), mendukung sweeping karena berpendapat bahwa
aparat keamanan tidak mampu menegakkan hukum (4%), dan karena
alasan dekadensi moral (8%) [2].
Banyaknya responden yang berpendapat aktifitas sweeping termasuk
perintah agama ialah suatu yang sangat disayangkan. Jika Islam melarang
kemaksiatan yaitu benar, namun Islam sangat menekankan ditempuhnya cara-
cara dakwah yang santun baik dalam amar makruf ataupun nahi munkar.
Sebaliknya aktivitas sweeping tempat-tempat kemaksiatan justeru hendak
melahirkan ketegangan- ketegangan baru dengan mereka yang terletak di
tempat- tempat tersebut. Misi nahi munkar yang sangat mulia, ialah

270 Vol. 5 November 2022


Pascasarjana IAIN Kediri
Khafidz Baidowi Kurikulum Sekolah dan Madrasah dalam
Menangkal Radikalisme

menyadarkan orang dari perbuatan kemaksiatan akan berganti menjadi


sumber konflik.
Pada sisi yang lain, gerakan sweeping justeru menampakkan
wajah “garang” Islam itu sendiri. Bahwa aparat keamanan kurang tanggap
dalam memberantas kemaksiyatan dan kejahatan mungkin saja benar, tetapi
hal itu tidak bisa dimaknai dengan kebolehan warga sipil untuk mengambil
alih tugas aparat.
Fenomena kekerasan atas nama agama yang kerap diketahui dengan
radikalisme agama terus menjadi nampak garang kala timbul bermacam
peristiwa teror pemboman di tanah air. Sebagian peristiwa teror dalam wujud
pengeboman sudah memakan banyak korban serta berakibat luas terhadap
kehidupan sosial warga Indonesia. Paling tidak sudah terjalin lebih dari 20 kali
peristiwa pemboman semenjak tahun 2.000 hingga saat ini. Bermacam
fenomena radikalisme ataupun kekerasan tersebut di atas, pasti tidak timbul
dengan sendirinya. Tulisan ini berupaya mengurai beberapa aspek pemicu
munculnya faham radikalisme di bidang agama yang disinyalir sudah
memasuki di dunia pembelajaran, serta gimana upaya yang dapat dicoba buat
mengestimasi faham destruktif ini.
Apakah guru agama islam disekolah mengajarkan ideologi radikalis
yang dicanangkan oleh para teroris dengan melatar belakangi jihad
sebagai alasan untuk menjadi teroris? Karena beberapa riset
mengungkapkan, bahwa dari beberapa anggota teroris banyak dari usia -
usia muda. Sementara itu mantan instruktur bidang persenjataan
akademik militer mujahidin afganistan, Muhammad Nashir Bin Abbas
menuturkan, ideologi radikal cepat berkembang dikalangan remaja dan
anak muda khususnya ditingkat SLTA/ sederajat [3].
Di Indonesia, seperti yang pernah dikemukakan oleh mantan
Mendiknas Mohammad Nuh, bahwa terkait dengan banyaknya gejala
radikalisme yang lahir dan tumbuh dilingkungan sekolah disebabkan
karena tigginya jumlah pelajar di Indonesia. Maka tidak mengherankan
jika gerakan radikalisme banyak beredar disekolah. Dikarenakan remaja
seusia mereka sedang mengalami pencarian jati diri, yang mudah terkena
bujuan ketika itu dianggap bisa meyakinkan diri mereka.
Guru pendidikan agama islam di sekolah ataupun madrasah
berperan penting juga dalam memberikan pemahaman tentang isu-isu
atau potensi-potensi yang terkait dengan adanya radikalisme, shingga
para generasi muda bisa mendapatkan pemahaman tentang kecintaam
terhadap tanah air, pentingnya persatuan dan kesatuan, kerukunan
hidup beragama, dan perbedaan pendapat. Melalui pemahaman yang

Vol. 5 November 2022 271


Pascasarjana IAIN Kediri
Kurikulum Sekolah dan Madrasah dalam Khafidz Baidowi
Menangkal Radikalisme

baik terhadap hal-hal tersebut diharapkan dapat menghidarkan dari


paham dan potensi-potensi yang memicu radikalisme dan terorisme.
Dengan latar belakang yang peneliti paparkan, peneliti
berksimpulan bahwa peranan guru mata pelajaran agama islam buka
hanya sekedar penyampaian materi pelajaran yang sudah ditentukan di
dalam buku pegangan, melainkan perlunya mengaitkan masalah-
masalah yang ada sekarang terutama yang berkaitan dengan pemahaman
akidah islam itu sendiri. Misalnya masalah radikalisme yang dapat
menimbulkan dampak signifikan terhadap keyakinan dalam beragama
dan tingkah laku peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
Peneliti menerima infornasi dari staff guru MA Al-Hikmah
menyatakan bahwa akhir-akhir ini penyebaran paham radikalisme yang
menyebar disekolah dapat masuk melalui kegiatan ekstrakurikuler, salah
satunya ROHIS (rohani islam) yang bergerak dibidang keagamaan.
Didalamnya mereka diajari benih-benih tentang keyakinan yang
diarahkan kepada radikalisme. Sedangkan para peserta didik belum bisa
memahami akan dibawa kerah mana. Mereka hanya bisa mengikuti dan
mencoba menjalankan dari apa yang mereka dengar. Ketika apa saja
yang mereka dapat kemudian ditelan secara mentah-mentah dapat
berdampak buruk terhadap keyakinan dan diikuti dengan tingkah laku
mereka. Untuk mengetahui bagaimana penangkalan radikalisme di
sekolah dan madrasah, peneliti bermaksud untuk mengkaji lebih lanjut
tentang pencegahan radikalisme di madrasah Mts Al-Hikmah Purwoasri.

2. Metode
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode
phenomenology. Merupakan salah satu penelitian dalam studi kualitatif.
Kata Fenomenologi (Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani
phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen
berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio,
pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat
diartikan sebagi kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak.
Fenomenologis, adalah merupakan salah satu jenis penelitian kualitatif,
di mana peneliti melakukan pengumpulan data dengan observasi
partisipan untuk mengetahui fenomena esensial partisipan dalam
pengalaman hidupnya [4].
Adapun Subyek dan Objek Penelitian adalah 1) Informan utama,
yaitu siswa/i yang terdiri dari siswa/i dari kelas VII,VIII, dan IX masing-
masing 3 orang; 2) Informan pendukung, yaitu terdiri dari kepala
Sekolah, 2 orang guru dan 3 orang tua siswa. Sementara obyek penelitian
adalah MTs Al-Hikmah Purwoasri, yang beralamat di Jalan Raya No.86,
Templek, Purwoasri, Kec. Purwoasri, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.

272 Vol. 5 November 2022


Pascasarjana IAIN Kediri
Khafidz Baidowi Kurikulum Sekolah dan Madrasah dalam
Menangkal Radikalisme

Alasan memilih MTs Al-Hikmah Purwoasri sebagai objek penelitian


adalah: 1) Belum ada yang meneliti tentang pendidikan karakter dalam
upaya menangkal radikalisme di MTs Al-Hikmah Purwoasri; 2) Tempat
kedinasan sebagai Guru PAI, agar memudahkan penelitian.
Dalam hal ini data kuantitatif yang diperlukan adalah: jumlah
guru, siswa dan karyawan, jumlah sarana dan prasarana, dan hasil
angket. Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data
dapat diperoleh [5]. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua
sumber data yaitu: 1) Sumber data primer, yaitu data yang langsung
dikumpulkan oleh peneliti dari sumber pertamanya.[6] Adapun yang
menjadi sumber data primer dalam penelitian ini adalah siswa/i di MTs
Al-Hikmah Purwoasri; 2) Sumber data skunder, yaitu data yang diambil
dari guru, orangtua siswa dan kepala sekolah dengan sifat data deskriptif
kualitatif.

3. Hasil
Berdasarkan paparan konsep, analisis teori dan hasil penelitian,
maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, bahwa pendidikan karakter dalam upaya menagkal
radikalisme di MA Al-Hikmah Purwoasri dilakukan dengan cara: (1)
melalui kurikulum formal, melalui pembelajaran pada mata pelajaran
PAI, Bimbingan Konsling, dan mata pelajaran lainya, (2) melalui
kurikulum tersembunyi (hidden kurikulum), yaitu kegiatan pembiasaan
dalam penanaman nilai-nilaikarakter yang berkaitan dengan
penangkalan radikalisme bagi kehidupan sehari-hari peserta didik di
lingkungan sekolah, baik dalam kegiatan intrakulikuler maupun
ekstrakulikuler.
Kedua, upaya menangkal radikalisme di MA Al-Hikmah
Purwoasridilakukan dengan cara penanaman: (1) Imaniyah (keimanan
dan ketakwaan), (2) Ilmiyah (keilmuan yang mumpuni), dan (3)
Amaliyah (perilaku/perbuatan yang sesuai dengan keimanan dan
ketakwaan serta sesuai dengan keilmuan yang mumpuni). Ketiga cara ini
diterapkan pada peserta didik secara intensif, sehingga
diharapkantercapainya tujuan pendidikan karakter dalam upaya
menangkal radikalisme di MA Al-Hikmah Purwoasri.
Ketiga, peran pendidikan karakter dalam upaya menangkal
radikalisme sangat efektif, karena pendidikan karakter memberikan
pemahaman dan penyadaran kepada siswa tentang nilai-nilai karakter:
(1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif,
(7) mandiri, (8) demokrasi, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan,

Vol. 5 November 2022 273


Pascasarjana IAIN Kediri
Kurikulum Sekolah dan Madrasah dalam Khafidz Baidowi
Menangkal Radikalisme

yang semua nilai karakter itu akan memberikan dampak terhadap


ideologi siswa yang posistif dan jauh dari radikalisme.
Paparan di atas menunjukan bahwa literatur keagamaan memiliki
peran strategis. Jika kondisi literatur keagamaan ini dibiarkan atau liar,
maka diprediksi akan menyuburkan potensi radikalisme di dunia
pendidikan, sehingga pelajar atau siswa di sekolah dan madrasah akan
dengan mudah terpapar paham radikal.

4. Pembahasan
A. Kurikulum Sekolah
Banyak pemikir dan praktisi pendidikan mengungkapkan bahwa
pendidikan telah turut memberi pengaruh terhadap terjadinya aliansi
peserta didik dari konteks sosial-budayanya. Politik pendidikan Orde
Baru yang menganut pespektif homogenisasi yang tercermin pada
pendekatan sentralisasi pengelolaan pendidikan dalam berbagai
aspeknya telah berdampak pada reduksi keragaman masyarakat
Indonesia [3].
Akibatnya, ketika peserta didik menyelesaikan pendidikan
formalnya, baik pada jenjang pendidikan dasar, menengah bahkan
pendidikan tinggi, mereka merasa asing dan pada gilirannya mereka
tidak mampu memberi kontribusi nyata terhadap masyarakat yang
mengitarinya. Sehingga, tidaklah terlalu berlebihan, bila dalam
kenyataanya, kemudian sering terdengar ungkapan yang menyatakan
bahwa semakin tinggi pendidikan semakin lebar gave antara dirinya
dengan lingkungan sosial yang mengitarinya.
Kata “kurikulum” berasal dari bahasa Yunani yang semula
digunakan dalam bidang olah raga, yaitu currere yang berarti “jarak
tempuh lari”, yakni yang harus ditempuh dalam kegiatan berlari mulai
dari start hingga finish. Pengertian ini kemudian diterapkan dalam
bidang pendidikan. Dalam bahasa Arab, untuk istilah “kurikulum”
digunakan kata manhaj, yaitu “jalan yang terang”, atau jalan terang yang
dilalui oleh manusia pada bidang kehidupannya [7].
Dalam konteks pendidikan, kurikulum berarti jalan terang yang
dilalui oleh guru dengan peserta didik untuk mengembangkan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap serta nilai-nilai. Kurikulum, dalam
pengertiannya yang lama, dipandang sebagai sekumpulan mata
pelajaran yang telah diprogramkan (syllabus) untuk dipelajari oleh
peserta didik [8].
Kurikulum juga mencakup pengalaman belajar, sebagaimana
dikemukakan oleh Marsh & Willis (1999): “Curriculum is an interrelated set
of plans and experience that a student undertakes under the guidance of the
school” [9]. (Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengalaman

274 Vol. 5 November 2022


Pascasarjana IAIN Kediri
Khafidz Baidowi Kurikulum Sekolah dan Madrasah dalam
Menangkal Radikalisme

belajar yang di laksanakan oleh peserta didik di bawah bimbingan


sekolah).
Sebagai lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan diakui oleh
masyarakat sekitar dengan sistem asrama (pondokan) yang santri-
santrinya menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau
madrasah yang sepenuhnya dibawah kedaulatan dan kepemimpinan
seorang atau beberapa orang kyai dengan ciri khas yang bersifat
karismatis serta independen dalam segala hal, pondok pesantren tumbuh
subur di tanah Indonesia jauh hari sebelum Indonesia merdeka [10].
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan.
Hal tersebut terlihat bahwa di Indonesia kurang memperhatikan adanya
pendidikan di Indonesia. Pemerintah selalu sibuk dengan urusan yang
lainnya, sehingga acuh tak acuh dalam menghadapi permasalahan
pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, banyak masalah yang muncul
akibat rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia tersebut. Seperti
rendahnya kualitas sumber daya manusia di Indonesia.
Setelah kita amati, terlihat jelas bahwa masalah yang serius dalam
peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya kualitas
pendidikan di berbagai jenjang pendidikan terbukti dalam masalah
kurikulum pendidikannya. Sehingga muncul reorientasi kurikulum
didasari pada kesadaran bahwa perkembangan dan perubahan yang
terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di
Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perubahan global, perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta seni dan budaya. Perubahan
secara terus menerus ini menuntut perlunya perbaikan sistem
pendidikan nasional, termasuk penyempurnaan kurikulum untuk
mewujudkan masyarakat yang mampu bersaing dan menyesuaikan diri
dengan perubahan.
Sebuah kurikulum meliputi unsur tujuan, materi, proses
pembelajaran, evaluasi, dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang
semuanya dimaksudkan untuk mengembangkan potensi peserta didik.
Unsur-unsur ini menunjukkan banyaknya variabel yang mempengaruhi
kurikulum.

B. Radikalisme Agama
Istilah radikalisme berasal dari bahasa Latin “radix” yang artinya
akar, pangkal, bagian bawah, atau bisa juga berarti menyeluruh,
habis-habisan dan amat keras untuk menuntut perubahan. Menurut
Kamus Besar Bahasa .Indonesia (KBBI) radikalisme berarti (1) paham
atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang

Vol. 5 November 2022 275


Pascasarjana IAIN Kediri
Kurikulum Sekolah dan Madrasah dalam Khafidz Baidowi
Menangkal Radikalisme

menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan


cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik [11].
Setidaknya, radikalisme bisa dibedakan ke dalam dua level, yaitu
level pemikiran dan level aksi atau tindakan. Pada level pemikiran,
radikalisme masih berupa wacana, konsep dan gagasan yang masih
diperbincangkan, yang intinya mendukung penggunaan cara-cara
kekerasan untuk mencapai tujuan. Adapun pada level aksi atau
tindakan, radikalisme bisa berada pada ranah sosial-politik dan agama.
Pada ranah politik, faham ini tampak tercermin dari adanya tindakan
memaksakan pendapatnya dengan cara-cara yang inkonstitusional,
bahkan bisa berupa tindakan mobilisasi masa untuk kepentingan politik
tertentu dan berujung pada konflik sosial.
Dalam bidang keagamaan, fenomena radikalisme agama
tercermin dari tindakan-tindakan destruktif-anarkis atas nama agama
dari sekelompok orang terhadap kelompok pemeluk agama lain
(eksternal) atau kelompok seagama (internal) yang berbeda dan
dianggap sesat. Termasuk dalam tindakan radikalisme agama adalah
aktifitas untuk memaksakan pendapat, keinginan, dan cita-cita
keagamaan dengan jalan kekerasan. Radikalisme agama bisa menjangkiti
semua pemeluk agama, tidak terkecuali di kalangan pemeluk Islam.
Lebih detil, Rubaidi menguraikan lima ciri gerakan radikalisme.
Pertama, menjadikan Islam sebagai ideologi final dalam mengatur
kehidupan individual dan juga politik ketata negaraan. Kedua, nilai-nilai
Islam yang dianut mengadopsi sumbernya dari Timur Tengah secara
apa adanya tanpa mempertimbangkan perkembangan sosial dan politik
ketika Al-Quran dan hadits hadir di muka bumi ini, dengan realitas lokal
kekinian. Ketiga, karena perhatian lebih terfokus pada teks Al-Qur’an dan
hadist, maka purifikasi ini sangat berhati-hati untuk menerima segala
budaya non asal Islam (budaya Timur Tengah) termasuk berhati-hati
menerima tradisi lokal karena khawatir mencampuri Islam dengan bid’ah.
Keempat, menolak ideologi Non-TimurTengah termasuk ideologi Barat,
seperti demokrasi, sekularisme dan liberalisme. Sekali lagi, segala
peraturan yang ditetapkan harus merujuk pada Al-Qur’an dan hadist.
Kelima, gerakan kelompok ini sering berseberangan dengan masyarakat
luas termasuk pemerintah. Oleh karena itu, terkadang terjadi gesekan
ideologis bahkan fisik dengan kelompok lain, termasuk pemerintah [12].
Peningkatan radikalisme keagamaan banyak berakar pada
kenyataan kian merebaknya berbagai penafsiran, pemahaman, aliran,
bahkan sekte di dalam (intra) satu agama tertentu. Menurut Azyumardi
Azra, di kalangan Islam, radikalisme keagamaan itu banyak bersumber
dari:

276 Vol. 5 November 2022


Pascasarjana IAIN Kediri
Khafidz Baidowi Kurikulum Sekolah dan Madrasah dalam
Menangkal Radikalisme

1) Pemahaman keagamaan yang literal, sepotong-sepotong


terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
Pemahaman seperti itu hampir tidak memberikan ruang
bagi akomodasi dan kompromi dengan kelompok-kelompok
muslim lain yang umumnya moderat, dan karena itu menjadi
arus utama (mainstream) umat. Kelompok umat Islam yang
berpaham seperti ini sudah muncul sejak masa al-Khulafa’ al-
Rasyidun keempat Ali ibn Abi Thalib dalam bentuk kaum
Khawarij yang sangat radikal dan melakukan banyak
pembunuhan terhadap pemimpin muslim yang telah mereka
nyatakan ‘kafir’.

2) Bacaan yang salah terhadap sejarah Islam


Bacaan yang salah terhadap sejarah Islam yang
dikombinasikan dengan idealisasi berlebihan terhadap Islam
pada masa tertentu. Ini terlihat dalam pandangan dan gerakan
Salafi, khususnya pada spektrum sangat radikal seperti
Wahabiyah yang muncul di Semenanjung Arabia pada akhir
abad 18 awal sampai dengan abad 19 dan terus merebak sampai
sekarang ini.
Tema pokok kelompok dan sel Salafi ini adalah pemurnian
Islam, yakni membersihkan Islam dari pemahaman dan praktek
keagamaan yang mereka pandang sebagai ‘bid’ah’, yang tidak
jarang mereka lakukan dengan cara-cara kekerasan. Dengan
pemahaman dan praksis keagamaan seperti itu, kelompok dan sel
radikal ini ‘menyempal’ (splinter) dari mainstream Islam yang
memegang dominasi dan hegemoni otoritas teologis dan hukum
agama dan sekaligus kepemimpinan agama.
Karena itu, respon dan reaksi keras sering muncul dari
kelompok-kelompok ‘mainstream’, arus utama, dalam agama.
Mereka tidak jarang mengeluarkan ketetapan, bahkan fatwa, yang
menetapkan kelompok-kelompok sempalan tersebut sebagai sesat
dan menyesatkan. Ketetapan atau fatwa tersebut dalam
prakteknya tidak jarang pula digunakan kelompok-kelompok
mainstream tertentu sebagai dasar dan justifikasi untuk melakukan
tindakan main hakim sendiri.

Vol. 5 November 2022 277


Pascasarjana IAIN Kediri
Kurikulum Sekolah dan Madrasah dalam Khafidz Baidowi
Menangkal Radikalisme

3) Deprivasi politik, sosial dan ekonomi yang masih bertahan


dalam masyarakat.
Pada saat yang sama, disorientasi dan dislokasi sosial-
budaya, dan ekses globalisasi, dan semacamnya sekaligus
merupakan tambahan faktor-faktor penting bagi kemunculan
kelompok-kelompok radikal. Kelompok-kelompok sempalan
tersebut tidak jarang mengambil bentuk kultus (cult), yang sangat
eksklusif, tertutup dan berpusat pada seseorang yang dipandang
kharismatik.
Kelompok-kelompok ini dengan dogma eskatologis
tertentu bahkan memandang dunia sudah menjelang akhir zaman
dan kiamat; sekarang waktunya bertobat melalui pemimpin dan
kelompok mereka. Doktrin dan pandangan teologis-eskatologis
seperti ini, tidak bisa lain dengan segera dapat menimbulkan
reaksi dari agama-agama mainstream, yang dapat berujung pada
konflik sosial.
Radikalisme keagamaan jelas berujung pada
peningkatan konflik sosial dan kekerasan bernuansa intra dan
antar agama; juga bahkan antar umat beragama dengan negara.
Ini terlihat jelas, misalnya, dengan meningkatnya aktivitas
penutupan gereja di beberapa tempat dimana kaum Muslim
mayoritas, seperti di Bekasi, Bogor dan Temanggung belum
lama ini. Selain itu penutupan masjid dan mushala di daerah
mayoritas non-muslim diberbagai tempat di tanah air, seperti di
Bali pasca bom Bali Oktober 2002; termasuk pula anarkisme
terhadap berbagai fasilitas dan masjid-masjid Ahmadiyah serta
para jamaahnya.
Berbagai tindak kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah
juga masih terus terjadi di sejumlah tempat mulai dari NTB,
Parung, Cikeusik dan berbagai lokasi lain. Lalu ada juga
kelompok-kelompok hardliners atau garis keras di kalangan
muslim, menegakkan hukumnya sendiri–atas nama syari’ah
(hukum Islam)–seperti pernah dilakukan Lasykar Jihad di Ambon
ketika terjadinya konflik komunal Kristen-Muslim; atau razia-razia
yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI) dalam beberapa tahun
terakhir ini, khususnya pada Ramadhan, atas diskotik, dan tempat-
tempat hiburan lainnya atas nama al-amr bial-ma’ruf wa al-nahy ‘anal-
munkar (menyeru dengan kebaikan dan mencegah
kemungkaran). Bagi mereka tidak cukup hanya amar ma`ruf
dengan lisan, perkataan; harus dilakukan pencegahan terhadap
kemungkaran dengan tangan (al-yad), atau kekuatan.

278 Vol. 5 November 2022


Pascasarjana IAIN Kediri
Khafidz Baidowi Kurikulum Sekolah dan Madrasah dalam
Menangkal Radikalisme

Tindakan-tindakan seperti ini juga dapat memicu


terjadinya konflik sosial. Umat Islam mainstream seperti diwakili
NU, Muhammadiyah, dan banyak organisasi lain berulangkali
menyatakan, mereka menolak cara-cara kekerasan, meski untuk
menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran sekalipun.
Tetapi, seruan organisasi-organisasi mainstream ini sering tidak
efektif; apalagi di dalam organisasi-organisasi ini juga terdapat
kelompok garis keras yang terus juga melakukan tekanan internal
terhadap kepemimpinan organisasi masing-masing.

4) Peristiwa-Peristiwa Radikal Diluar Lingkungan Sekolah


Aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar
(28/03/2021) dan serangan terhadap Mabes Polri oleh perempuan
berinisial ZA (31/03/2021) adalah rentetan aksi terorisme yang
terjadi dalam sepekan terakhir dan membuat khawatir
masyarakat Indonesia. Dua peristiwa mengerikan ini seolah
membuka kembali memori kita akan serangkaian tindakan
terorisme yang terjadi dalam beberapa tahun lalu, seperti Bom
Thamrin (2016) dan Bom Surabaya (2018). Laporan Global Index
Terrorim (GTI) tahun 2020 yang dirilis oleh Institute for
Economics and Peace (IEP) menunjukkan bahwa dalam skala
global Indonesia berada di peringkat 37 dengan skor 4.629 dari
135 negara yang terdampak oleh terorisme, sedangkan di Asia
Pafisik Indonesia berada di posisi ke-4.
Alasan pelibatan perempuan dalam gerakan terorisme
sangatlah beragam. Hal ini dikarenakan mereka bisa melakukan
banyak peran antara lain sebagai educator (pendidik) keluarga
untuk perpanjangan ideologi, agen perubahan, pendakwah,
pengumpul dana, penyedia logistik, hingga pelaku bom bunuh
diri. Tidak hanya itu, kelompok muda (pelajar/mahasiswa) juga
kerap menjadi sasaran perekrutan kelompok radikal. Usia muda
yang identik dengan pancarian jati diri dan ketidakstabilan emosi
kerap dimanfaatkan untuk menginfiltrasi ideologi radikal kepada
kaum muda. Selain itu, kelompok muda yang berada dalam garis
kemiskinan juga merupakan salah satu alasan utama mereka
bergabung dengan organisasi radikal sehingga jihad diambil
sebagai jalan pintas untuk mengakhiri penderitaan.
Pada tahun 2018, PPIM kembali merilis hasil penelitian
dengan tema “Ancaman Radikalisme di Sekolah”. Dalam
temuannya, PPIM menyatakan bahwa paham radikal tidak kasat

Vol. 5 November 2022 279


Pascasarjana IAIN Kediri
Kurikulum Sekolah dan Madrasah dalam Khafidz Baidowi
Menangkal Radikalisme

masuk menginfiltrasi institusi sekolah melalui literatur maupun


kegiatan ekstra kurikuler. Salah satu rekomendasi penelitian
tersebut adalah Kementerian Agama dan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pemegang otoritas
perbukuan di Indonesia, perlu dibentuk lajnah pentashih buku
agar buku PAI bebas dari konten radikal dan intoleran [13].

C. Upaya Penanggulangan Radikalisme di Institusi Pendidikan


Fenomena masuknya faham radikalisme islam kesekolah tentu
perlu segera diambil tindakan penanggulangan dan pencegahan.
Beberapa upaya yang dapat ditempuh antara lain memberikan penjelasan
tentang islam secara memadai. Misi ajaran islam yang sebenarnya sangat
mulia dan luhur seringkali mengalami distorsi akibat pemahaman yang
keliru terhadap beberapa aspek ajaran islam yang berpotensi
menimbulkan faham radikalisme.
Salah satu pembahasan yang rawan terjadi distorsi adalah
pemaknaan jihad. Sebagian ulama memaknai jihad sebagai usaha
mengarahkan segala kemampuan yang ada atau sesuatu yang dimiliki
untuk menegakkan kebenaran dan kebaikan serta menentang kebatilan
dan kejelekan dengan mengharap ridho Allah Swt. [14] Menurut Sjuhada
Abduh dan Nahar Nahrawi, setidaknya ada beberapa pengertian yang
berkaitan dengan jihad, yaitu:
1) Perang Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk tidak
pernah gentar berperang di jalan Allah. Apabila kaum
muslimin dizalimi, fardhu kifayah bagi kaum muslim utuk
berjihad dengan harta, jiwa dan raga. Jihad dalam bentuk
peperangan diijinkan oleh Allah dengan beberapa syarat:
untuk membela diri, dan melindungi dakwah. Hal ini
dijelaskan dalam firman Allah dalam Qs. Aan-nisa’ [4]:75, dan
ayat” diijinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi,
karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah
maha kuasa meonolong mereka itu” (Qs. Al-hajj[22]:39 ).
2) Haji mabrur merupakan. Haji yang mabrur merupakan ibadah
yang setara dengan jihad. Bahkan, bagi perempuan, haji yang
mabrur merupakan haji yang utama. Hal ini ditegaskan dalam
beberapa hadits, diantaranya sebagai berikut: Aisyah ra
berkata: Aku menyatakan kepada Rosululloh SAW: tidakkah
kamu keluar berjihad bersamamu, aku tidak melihat ada
amalan yang lebih baik dari pada jihad, Rosululloh SAW
menyatakan: tidak ada, tetapi untukmu jihad yang labih baik
dan lebih indah adalah melaksanakan haji menuju haji yang
mabrur.

280 Vol. 5 November 2022


Pascasarjana IAIN Kediri
Khafidz Baidowi Kurikulum Sekolah dan Madrasah dalam
Menangkal Radikalisme

3) Menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang zalim,


perintah jihad melawan penguasa yang zalim disebutkan,
antara lain, dalam hadits riwayat at-Tirmizi bersabda:
Sesungguhnya diantara jihad yang paling besar adalah
menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang zalim. Kata
Adzam pada hadits diatas, menunjukan bahwa upaya
menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang zalim
merupakan suatu perjuangan yang sangat besar. sebab, hal itu
sangat mungkin mengandung resiko yang cukup besar pula.
4) Berbakti kepada orang tua. Jihad yang lainya adalah berbakti
kepada orang tua. Islam mengajarkan kepada pemeluknya
untuk menghormati dan berbakti kepada orang tua, tidak
hanya ketika mereka masih hidup tetapi jugasampai kedua
orang tua wafat. Seorang anak tetap harus menghormati orang
tuanya, meskipun seorang anak tidak wajib taat terhadap
orang tuanya yang memaksanya untuk berbuat musyrik (Qs.
Luqman, [31]:14). Seorang datang kepada nabi Muhammad
SAW untuk meminta izin ikut berjihad bersamanya.
Kemudian nabi bertanya: apakah kedua orang tuamu masih
hidup? Ia menjawab: masih, nabi bersabda: terhadap
keduanya maka berjihadlah kamu. Berjihad untuk orang tua,
berarti melaksanakan petunjuk, arahan, bimbingan, dan
kemauan orang tua. Kata fajahid dalam hadits tersebut, berarti
memperlakukan orang tua dengan cara yang baik, yaitu
dengan mengupayakan kesenangan orang tua, menghargai
jasa-jasanya, menyembunyikan kelemahan dan kekuranganya
sertaa berperilaku dengan tutur kata dan perbuatan yang
mulia. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah al-isra
[17] ayat 23.
5) Menuntut ilmu dan mengembangkan pendidikan. Bentuk
jihad yang lainya adalah menuntut ilmu, memajukan
pendidikan masyarakat. Di dalam sebuah hadis diriwayatkan
Imam Ibnu Madjah disebutkan: orang yang datang
kemasjidku ini tidak lain kecuali karena kebaikan yang
dipelajarinya atau diajarkanya, maka ia sama dengan orang
yang berjihad dijalan Allah. Barang siapa yang datang bukan
karena itu, maka sama dengan orang yang melihat
kesenangan orang lain (Riwayat Ibnu Madjah). Orang yang
datang kemasjid nabi untuk mempelajari dan mengajarkan

Vol. 5 November 2022 281


Pascasarjana IAIN Kediri
Kurikulum Sekolah dan Madrasah dalam Khafidz Baidowi
Menangkal Radikalisme

ilmu sebagaimana disebutkan pada hadits diatas, diposisikan


seperti orang yang berjihad di jalan Allah.
6) Membantu fakir miskin. Jihad yang tidak kalah pentingnya
adalah membantu orang miskin, peduli kepada sesama,
menyantuni kaum dhuafa’. Bantuan pemberdayaan dapat
diberikan dalam bentuk perhatian dan perlindungan atau
bantuan material. Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori
berikut ini penjelasanya: orang yang menolong dan
memberikan perlindungan kepada janda dan orang miskin
sama seperti orang yang melakukan jihad dijalan Allah.
Memberikan bantuan finansial dan perlindungan kepada
orang miskin dan janda, merupakan amalan yang sama
nilainya dengan jihad di jalan Allah.[15]
7) Penejelasan tentang toleransi. Ajaran islam sebenarnya sangat
erat dengan nilai-nilai toleransi. Namun sayang, toleransi
sering difahami secara sempit sehingga tidak mampu menjadi
lem perekat antar umat beragama. Setidaknya, ungkapan
Zuhairi Misrawi dalam bukunya Al-Qur’an Kitab Toleransi:
Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, Bisa menjadi
salah satu pijakan dalam menjelaskan toleransi dalam islam.
8) Al-Qur’an yang menegaskan islam sebagai rahmat bagi alam
semesta, secara gamblang mengakui kemajmukan kayakinan
dan agama. Ratusan ayat secara eksplist menyerukan sikap
santun toleransi terhadap umat agama lain. Tapi, aksi
kekerasan dan tindak intoleransi masih kerap kali terjadi.
Anehnya, itu diabsahkan dengan dalil ayat-ayat Al-Qur’an,
jika dibaca lebih cermat, al-Qur’an adalah lumbung ajaran
Toleransi nan adiluhung. Ia akan mengajarkan perdamaian,
kedamaian, dan ko-eksistensi. Dan sebaliknya, mengecam
keras segala bentuk kekerasan dan permusuhan. Jantung dan
spirit uama Al-Qur’an, sebagaimana kitab suci agama-agama
lain, ialah kebaikan dan kebajikan, bukan keburukan atau
kejahatan. Buku ini, sesungguhnya hendak menghadirkan
spirit utama tersebut. Dengan perangkat metodologi klasik
yang diproses dengan beberapa metodologi konteporer,
penulis coba mengeluarkan spirit itu dari untaian ayat-ayat
Al-Quran.[16]
9) Pengenalan tentang hubungan ajaran islam dengan kearifan
lokal Islam yang datang diarabia bukanlah islam yang bebas
dari sejarah lokal yang mengitarinya. Artinya, memahami
Islam tidak bisa dicerabut dari akar sosio-historis masyarakat

282 Vol. 5 November 2022


Pascasarjana IAIN Kediri
Khafidz Baidowi Kurikulum Sekolah dan Madrasah dalam
Menangkal Radikalisme

indonesia yang juga telah memiliki kearifan lokal. Dengan


pemahaman seperti ini, islam bisa diterima dan hidup secara
berdampingan dengan tradisi lokal yang sudah mengalami
proses islamisasi. Pemahaman dan pengalaman ajaran islam
yang formal, puritan, dan kering justru kurang bisa
menyentuh aspek terdalam dari spiritualisme manusia
muslim itu sendiri. Itulah mengapa, tidak ditemukan korelasi
antara ketaatan dalam menjalankan ibadah formal dengan
sikap lasih sayang terhadap semua makhluk Allah SWT.
Di samping itu, beberapa upaya lain yang dapat dilakukan
sebagai bentuk deradikalisasi adalah:
1) Mengedepankan dialog dalam pembelajaran agama islam.
Pembelajaran agama islam yang mengedepankan indoktrinasi
faham tertentu dengan mengesampingkan faham yang lain
hanya akan membuat para siswa memiliki sikap ekslusif yang
pada giliranya kurang menghargai keberadaan liyan atau
others. Sudah saatnya para guru PAI membekali dirinya
dengan pemahaman yang luas dan lintas madzhab sehingga
mampu memenuhi kehausan spiritual siswa dan mahasiswa
dengan pencerahan yang bersendikan kedamaian dan
kesejukan ajaran islam.
2) Pemantauan terhadap kegiatan an materi monitoring
keagamaan. Keberadaan kegiatan monitoring agama islam
atau kegiatan rohis yang lain disekolah sesungguhnya sangat
membantu tercepainya tujuan pendidikan agama islam.
Namun jika guru PAI tidak melakukan pendampingan dan
monitoring, dikhawatirkan terjadi pembelokan kegiatan
mentoring dengan rohis lainya. Bagi pengurus rohis, sudah
seharusnya mereka selalu berkonsultasi dengan pihak guru
agama atau pihak-pihak lain yang dipandang memiliki
wawasan keislaman moderat agar tidak terbawa arus pada
pemahaman islam yang sarat dengan muatan radikalisme.
3) Pengenalan dan penerapan pendidikan multikultural.
pendidikan multikultular pada dasarnya adalah konsep dan
praktek pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai
persamaan tanpa melihat perbedaan latar belakang budaya,
sosial-ekoomi, etnis, agama, gender, dan lain-lain. Semua
orang memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh
hak pendidikan.

Vol. 5 November 2022 283


Pascasarjana IAIN Kediri
Kurikulum Sekolah dan Madrasah dalam Khafidz Baidowi
Menangkal Radikalisme

Dengan penerapan pendidikan multikultural, diharapkan


semangat eksklusif dan merasa merasa benar sendiri sebagai
penyebab terjadinya konflik dengan liyan dan others bisa
dihindari. Seorang multukulturalis sejati adalah pribadi yang
selalu bersikap toleran, menghargai keberadaan liyan tanpa
dia sendiri kehilangan identitasnya.

Kalau tujuan akhir pendidikan adalah perubahan prilaku dan


sikap serta kualitas seseorang, maka pengajaran harus berlangsung
sedemikian rupa sehingga tidak sekedar memberi informasi atau
pengetahuan melainkan harus menyentuh hati, sehingga akan
mendorongnya dapat mengambil keputusan untuk berubah. Pendidikan
agama islam, dengan demikian, disamping bertujuan untuk
mempertangguh keyakinan pada agamanya, juga harus diorentasikan
untuk menanamkan empati, simpati dan solidaritas terhadap sesama.
Dengan demikian, dalam hal ini, semua materi buku-buku yang
diajarkanya tentunya harus menyentuh tentang isu pluralitas. Dari
sinilah kemudian kita akan mengerti urgensinya untuk menyusun bentuk
kurikulum pendidikan madrasah yang berbasis agama.[17]
Lebih spesifik lagi, Untuk mengantisifasi bahaya radikalisme di
sekolah ada beberapa upaya yang bisa dilakukan oleh guru
Pendidikan Agama Islam diantaranya yaitu:
a) Sosialiasai sejak dini. Guru Pendidikan Agama Islam
mengajak semua guru untuk melakukan sosialisasi tentang
bahaya radikalisme.
b) Memberdayakan masjid atau musolah yang ada di
sekolah sebagai pusat kajian keislaman yang moderat, agar
peserta didik memahami, mengajarkan, dan mengamalkan
ajaran agama islam dengan baik dan benar
c) Memproteksi organisasi kesiswaan seperti Rohis (Roahani
Islam).
d) Mengembangkan toleransi, dan menanamkan hidup plural.
Toleransi adalah menghargai dan menghormati setiap
perbedaan yang ada, baik agama, etnis, ras, budaya, dll.
e) Guru Pendidikan Agama Islam dan PKN, serta guru
Bimbingan Konseling sebagai pengintegrasi nilai-nilai
antiradikalisme ke dalam materi-materi pembelajaran.

284 Vol. 5 November 2022


Pascasarjana IAIN Kediri
Khafidz Baidowi Kurikulum Sekolah dan Madrasah dalam
Menangkal Radikalisme

5. Kesimpulan
MA Al-Hikmah Purwoasri menangkal radikalisme dengan
berbagai cara. Pertama, melalui kurikulum formal dan kurikulum
tersembunyi (hidden kurikulum). Kedua, dengan cara penanaman
imaniyah, ilmiyah, dan amaliyah. Ketiga, memberikan pemahaman dan
penyadaran kepada siswa tentang nilai-nilai karakter religius, jujur,
toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokrasi, rasa ingin
tahu, semangat kebangsaan, yang semua nilai karakter itu akan
memberikan dampak terhadap ideologi siswa yang posistif dan jauh dari
radikalisme. Perlu disadari bahwa menanggulangi faham radikalisme
agama yang sudah berada di depan mata bukanlah pekerjaan yang bisa
dilakukan sambil lalu. Perlu kerjasama yang erat antar berbagai elemen
seperti kepala sekolah, guru, siswa, orang tua siswa, dan masyarakat
sekitar agar faham-faham radikalisme tidak tumbuh subur di sekolah.

6. Daftar Referensi
[1] “Munip, Abdul, Gerakan Dakwah Di Sekolah Menengah Atas: Studi
Kasus di SMAN 8 Yogyakarta dan SMAN 1 Jetis Bantul, Laporan
Penelitian Yogyakarta: Lemlit UIN Sunan Kalijaga, 2009.”
[2] A. W. Muqoyyidin, “Membangun kesadaran inklusifmultikultural
untuk deradikalisasi pendidikan Islam,” Jurnal Pendidikan Islam, vol.
2, no. 1, hlm. 131, Jan 1970, doi: 10.14421/jpi.2013.21.131 -151.
[3] “Zuly Qodir, Radikalisme Agama di Indonesia, Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2014, hlm.116.”
[4] “Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.
Bandung: AlFABETA.(2008).”
[5] “Arikunto Suharsimi. 2010.Prosedur Penelitian : Suatu pendekatan
praktik, yogyakarta : Rineka Cipta.”
[6] “adoc.pub_iii-metodologi-penelitian-menurut-sumadi-
suryabrat.pdf.”
[7] A. M. Saifulloh, “PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 201,” hlm. 276.
[8] “Ahmad Abduh Iwad, Metodologi pembelajaran Bahasa Arab,
(Makkah Al-Mukarromah), 2000,9_Al.pdf.”
[9] “Walfajri, ‘Landasan Pengembangan Kurikulum Bahasa Arab’, An-
Nabighoh, Vol. 20, No. 01, 2018, h. 82.pdf.”
[10] “Arifin, M. Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum. Jakarta:
Bumi Aksara. Arni, Muhammad. (2005).”

Vol. 5 November 2022 285


Pascasarjana IAIN Kediri
Kurikulum Sekolah dan Madrasah dalam Khafidz Baidowi
Menangkal Radikalisme

[11] O. W. Budijanto dan T. Y. Rahmanto, “Pencegahan Paham


Radikalisme Melalui Optimalisasi Pendidikan Hak Asasi Manusia di
Indonesia,” j. ham, vol. 12, no. 1, hlm. 57, Apr 2021, doi:
10.30641/ham.2021.12.57-74.
[12] R. Widyaningsih, “Rubaidi, A. , Radikalisme Islam, Nahdlatul
Ulama; Masa Depan Moderatisme Islam di Indonesia , Yogykarta:
Logung Pustaka, 2010,” Open Science Framework, preprint, Feb
2021. doi: 10.31219/osf.io/7ukwx.
[13] N. L. Fauziyah dan A. Syah, “Analisis Sumber Literasi Keagamaan
Guru PAI Terhadap Siswa dalam Mencegah Radikalisme di
Kabupaten Bekasi,” hlm. 16.
[14] “Jurnal Multikurtural & Multireligius Vol. III no.32 hal.6.”
[15] “Sjuhada Abduh dan Nahar Nahrawi, Makna Jihad Respon
Komunitas Muslim Serang Paska Eksekusi Imam Samudra dalam
jurnal Harmoni Vol. VIII No. 32, Oktober – September 2009. hlm.
113-130.”
[16] Z. Misrawi, Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi (Jakarta:
Grasindo, 2010), hlm.75. Jakarta: Al-Qur’an Kitab Toleransi.
[17] “https://kemenag.go.id/berita/read/513398/kemenag-terbitkan-
panduan-kurikulum-darurat-pada-madrasah.”

286 Vol. 5 November 2022


Pascasarjana IAIN Kediri

Anda mungkin juga menyukai