Anda di halaman 1dari 7

BAHAYA RADIKALISME PADA REMAJA

Muhammad Sabri Setiawan (2240301022)1


Muhammad Syawal (2240301033)2
Habib Afdal (2240301035)3
Muhammad Nizhard Ichwan (2240301040)4
Muhammad Irwan Dika (2240301082)5

ABSTRAK
Negara yang memiliki keunikan multientis dan multimental seperti Indonesia
dihadapkan pada suatu dilematis tersendiri yang di satu sisi membawa Indonesia
menjadi bangsa yang besar sebagai multicultural nation-state, tetapi di sisi lain
menjadi ancaman tersendiri, seperti bara dalam sekam yang mudah tersulut dan
memanas. Penulisan artikel ini menggunakan pendekatan induktif, yakni dengan
mengamati fakta di lapangan kemudian mencoba mengorganisasi fakta menjadi
kesatuan unsur yang bermakna. Mengetahui Eksistensi gerakan radikalisme di
Indonesia. Jika dilihat dari letak Indonesia yang strategis dan merupakan
kumpulan dari pulau - pulaudi Indonesia sering dilewati oleh negara lain. Baik
sebagai tempat transit atau berhenti dengan berbagai tujuan. Pendidikan agama
khususnya yang harus lebih diperhatikan. Ajaran agama yang mengajarkan
toleransi, kesantunan, keramahan, membenci pengerusakan, dan menganjurkan
persatuan tidak sering didengungkan.
Kata Kunci : Radikalisme, Mahasiswa, Agama

PENDAHULUAN
Negara yang memiliki keunikan multientis dan multimental seperti
Indonesia dihadapkan pada suatu dilematis tersendiri yang di satu sisi membawa
Indonesia menjadi bangsa yang besar sebagai multicultural nation-state, tetapi di
sisi lain menjadi ancaman tersendiri, seperti bara dalam sekam yang mudah
tersulut dan memanas. Kondisi ini merupaka suatu kewajaran sejauh
perbedaanperbedaan disadari dan dihayati keberadaannya sebagai sesuatu yang
harus disikapi dengan toleransi. Namun, ketika perbedaan-perbedaan tersebut
mengemuka dan menjadi sebuah ancaman untuk kerukunan hidup, perbedaan
tersebut menjadi masalah yang harus diselesaikan. Masyarakat Indonesia yang
multikultur, multietnis, dan multiagama, memiliki potensi yang besar untuk
terjadinya konflik antarkelompok, etnis, agama, dan suku bangsa. Hal ini mulai
dikhawatirkan terjadi karena munculnya beberapa indikasi ke arah yang
dikhawatirkan.
Salah satu indikasinya yaitu mulai tumbuh suburnya berbagai organisasi
kemasyarakatan, profesi, agama, dan organisasi lainnya yang berjuang dan
bertindak atas nama kepentingan kelompoknya atau kepentingan lainnya yang
dikhawatirkan memicu munculnya berbagai konflik sosial yang bernuansa SARA
(suku, agama, ras dan antar golonganb. Tumbuh suburnya berbagai organisasi
kemasyarakatan, profesi, dan agama, bahkan munculnya berbagai organisasi
radikal yang mengatasnamakan agama tertentu, serta munculnya berbagai aliran
keagamaan merupakan indikasi nyata potensi konflik bernuansa SARA. Agama
yang pada dasarnya merupakan pedoman hidup bagi manusia yang terdiri atas
nilai-nilai kebaikan tidak luput dijadikan suatu legitimasi oleh pemeluk agamanya
menjadi salah satu faktor pemicu konflik.
Munculnya konflik yang berlatar belakang agama pada dasarnya bukan
dipicu oleh ajaran agamanya, tetapi dipicu oleh umat beragama yang menjadikan
agama sebagai legitimasi paling ampuh bagi manusia untuk melakukan suatu
perbuatan, termasuk perbuatan-perbuatan yang memicu konflik. Burhani (2001:
22b mengatakan bahwa “ekstrimisme dan radikalisme banyak menjalar dan agama
merupakan medan yang paling subur untuk tumbuhnya tindakan-tindakan itu.
Tidak ada satu kelompok agama pun yang imun atau kebal terhadap masalah ini”.
Munculnya konflik baru sebagai manifestasi lahirnya berbagai organisasi radikal
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktornya dipengaruhi oleh
paradigma bahwa kelompok lain, golongan lain, atau agama lain adalah salah dan
hanya kelompoknya yang benar. Organisasi radikal ini menjadi ancaman bagi
tatanan masyarakat yang sudah ada serta kepentingan dari kelompok lainnya. Hal
ini menggambarkan semakin berkembang sikap etnosentrisme, yang menganggap
hanya kelompok dan golongannya saja yang paling baik, benar, dan sempurna,
sedangkan kelompok yang lainnya jelek dan salah, serta berbagai kekurangan
lainnya.
Radikalisme agama merupakan ancaman tidak hanya bagi multikultur
tetapi juga menjadi ancaman bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRIb.
Ironisnya kasus-kasus kekerasan atas nama agama ini menjadikan mahasiswa
sebagai sasaran utamanya. Hal ini terlihat dari munculnya kasus cuci otak NII
pada mahasiswa dibeberapa kampus, hingga kasus penculikan mahasiswa yang
disinyalir dilakukan oleh gerakan NII KW IX yang terjadi pada pertengahan tahun
2010. Gerakan Negara Islam Indonesia (NIIb yang disinyalir menjadi dalang dari
kasus-kasus cuci otak dan radikalime agama marak terjadi terutama di lingkungan
kampus. Kasus ini menjadi kecemasan bagi kampus sebagai lingkungan yang
kental dengan dunia pendidikan dan dakwah kampus.

METODE
Materi yang diberikan dalam kegiatan pengabdian ini disesuaikan dengan
peroalan yang melatar belakangi kegiatan pengabdian ini, yakni persoalan yang
mengantarkan pada pentingnya upaya penguatan wawasan kebangsaan bagi
generasi muda. Materi tersebut sebagai strategi penguatan yang diharapkan
menjawab masalah sebagaimana diuraikan di atas. Secara garis besar materi
termaksud meliputi: pengertian nasionalisme, lingkup nilai-nilai nasionalisme,
problem nasionalisme, Generasi muda dan tantangan nasionalisme era disruption,
dan strategi pemecahan masalahnya. Penulisan artikel ini menggunakan
pendekatan induktif, yakni dengan mengamati fakta di lapangan kemudian
mencoba mengorganisasi fakta menjadi kesatuan unsur yang bermakna. Apa
urgensi kegiatan yang dilakukan, bentuk kegiatannya seperti apa, di mana
kegiatan itu dilakukan, materi kegiatan apa, tahap pelaksanannya bagaimana,
prosesi pelaksanaan pembelajaran di lapangan, dan hasil kegiatan.

PEMBAHASAN
Mengetahui Eksistensi gerakan radikalisme di Indonesia. Jika dilihat dari
letak Indonesia yang strategis dan merupakan kumpulan dari pulau - pulaudi
Indonesia sering dilewati oleh negara lain. Baik sebagai tempat transit atau
berhenti dengan berbagai tujuan. Selain ituIndonesia terdiri dari beraneka
ragam budaya sehingga radikalisme dapat dengan mudah masuk ke indonesia.
Baik melalui jalur darat maupun laut bahkan karena luasnya Indonesia banyak
wilayah yang belum terjangkau oleh aparatur negara. Selain agama radikalisme
juga sudah “menjangkiti” aliran-aliran sosial politik budyya dan ekonomi.
Ada anggapan di kalangan masyarakat awam bahaya radikalisme hanya dilakukan
oleh agama tertentu saja. sebenarnya bukan karena agamanya namun lebih kepada
perilaku manusia itu sendiri. Di indonesia aksi kekerasan (terorb yang terjadi
selama ini kebanyakan dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan
dan mendompleng agama tertentu. Agama dijadikan tameng oleh mereka untuk
melakukan aksinya. Selain itu mereka juga memelintir sejumlah pengertian dari
kitab suci. Teks agama dijadikan dalih oleh mereka untuk melakukan tindak
kekerasan atas nama jihad.
Proses radikalisasi ternyata juga menjangkau kampus khususnya kalangan
mahasiswa. Salah satu buktinya adalah tertangkapnya lima dari tujuh belas
anggota jaringan Pepi Fernando berpendidikan sarjana, tiga di antaranya
merupakan lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Perguruan tinggi umum lebih mudah menjadi target rekrutmen gerakan-gerakan
radikal, sementara perguruan tinggi berbasis keagamaan dianggap lebih sulit.
Kalau ternyata faktanya menunjukkan bahwa gerakan radikal juga sudah marak
dan subur dikampus-kampus berbasis keagamaan, maka ini dapat membuktikan
dua hal. Pertama, telah terjadi perubahan di dalam perguruan tinggi berbasis
keagamaan itu sendiri. Kedua, telah terjadi metamorfosa bentuk dan strategi
gerakan di internal gerakan-gerakan radikal.
“Ada peribahasa mengatakan, di mana bumi dipijak, di situ langit
dijunjung. Di beberapa kampus melarang mahasiswanya untuk menggunakan
penutup wajah atau cadar, kebijakan di kampus tersebut pun menjadi perdebatan,
karena ada yang mengatakan bahwa itu sebagai ekspresi beragama. Lantas
kemudian dikaitkan dengan budaya, maka kita harus hati-hati karena
perbincangan di media sosial itu kadang tidak mengindahkan norma-norma
berbangsa dan bernegara. “Beberapa hal yang paling utama ketika seorang
mahasiswa masuk di kampus itu dia mendapatkan pembekalan yang biasa disebut
masa taaruf, bahwa suasana akademik di kampus itu seperti apa, struktur
akademik bagaimana, pergaulannya bagaimana, tata aturannya bagaimana itu
yang yang kita sampaikan agar dipahami oleh mahasiswa. Di semester awal ada
mata kuliah Kewarganegaraan, Pancasila, Baitul Arqam, Kemuhammadiyahan,
dan sebagainya menjadi bekal untuk memperdalam ajaran agama untuk
meningkatkan kualitas kepribadian dan karakter mahasiswa, sehingga tetap berada
pada jalur Islam watsaniyah.”
Salah satu sasaran radikalisme saat ini adalah di lingkungan kampus,
kenapa demikian? Karena kampus memiliki pengaruh yang besar dan signifikan
bagi paham radikal jika tidak dicegah sejak dini. Dapat kita bayangkan bagaimana
pengaruhnya jika seorang yang terpelajar, dianggap sebagai tokoh panutan di
masyarakat namun menyebarkan paham radikal, sudah tentu hal ini bukan tanpa
pengikut, bahkan sebaliknya, bisa saja pengikutnya bisa berpuluh-puluh kali lipat
dibandingkan jika yang menyebarkan paham radikal adalah orang biasa (tanpa
latar belakang pendidikan dan ketokohan dimasyarakat). Ada beberapa faktor
penyebab munculnya paham radikalisme dikalangan mahasiswa, Pertama,
mahasiswa berada pada usia yang selalu ingin melakukan perubahan. Dalam fase
ini, mereka membuka diri terhadap berbagai informasi. Kedua, terbuka informasi
melalui internet membuat paham radikal bisa menyebar dengan pesat. Dunia siber
adalah ruang imajiner yang memungkinkan orang-orang untuk membangun
identitas dan dunia mereka yang baru. Sekaligus menjalin komunikasi dengan
orang lain yang melakukan penyebaran paham radikal. Ketiga, banyak mahasiswa
yang terpapar paham radikal adalah mereka yang tidak, atau belum memiliki
konsep diri yang jelas.
Mahasiswa radikalis ini memiliki daerah terbuka yang sempit. Mereka
menutup diri dari informasi yang bertententangan dengan pemahaman nya.
Keempat, adanya pengaruh dari alumni dan pengurus orgaisasi kemahasiswaan
yang sudah terpapar sebelumnya. Seniorlah yang mendoktrin juniornya.
Mahasiswa yang terpapar radikalisme memiliki ciri-ciri anti sosial, mengalami
perubahan emosi dan tingkah laku, mereka memang bergaul dengan komunitas
akan tetapi komunitas atau organisasi nya tersembunyi atau bersifat rahasia.
Mereka juga kerap menggunakan kekerasan, untuk meraih keinginannya.
Biasanya berupa gerakan revolusioner atau perubahan. Mereka juga membuat
hoax atau berita bohong, berita palsu yakni berdasarkan pikiran dan
keinginannya. 
Oleh karenanya, kampus berpotensi menjadi ladang yang basah bagi
pertumbuhan dan penyebaran radikalisme. Sekalipun pendidikan bukanlah faktor
langsung yang dapat menyebabkan munculnya gerakan radikal yang berujung
pada perilaku teror, akan tetapi dampak yang dihasilkan dari suatu pendidikan
yang keliru juga sangat berbahaya.
Bentuk kegiatan yang dilakukan oleh Lembaga Kemahasiswaan dilakukan
melalui tiga pendekatan yaitu pendekatan keilmuan, kesejahteraan dan
keprofesian. Hal ini dipandang sebagai cara yang efektif untuk mencegah paham
radikalisme masuk pada dunia kampus karena jika menggunakan pendekatan yang
bersifat hukum, hal tersebut dirasa kurang manusiawi dan cenderung bersifat
indoktrinasi, maka perlu melakukan pendekatan lain, seperti pendekatan
kesejahteraan agar mahasiswa bisa lebih fokus untuk memahami kenegaraan
dengan baik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pendekatan yang dilakukan oleh
perguruan tinggi sebagai upaya deradikalisasi pada mahasiswa, tidak hanya
dilakukan melalui cara-cara keilmuan dari segi keagamaan atau kenegaraan, akan
tetapi menyentuh pada ranah kesejahteraan mahasiswa dan pengembangan profesi
mahasiswa.

PENUTUP
Pendidikan agama khususnya yang harus lebih diperhatikan. Ajaran agama
yang mengajarkan toleransi, kesantunan, keramahan, membenci pengerusakan,
dan menganjurkan persatuan tidak sering didengungkan. Retorika pendidikan
yang disuguhkan kepada ummat lebih sering bernada mengejek daripada
mengajak, lebih sering memukul daripada merangkul, lebih sering menghardik
daripada mendidik. Maka lahirnya generasi umat yang merasa dirinya dan
kelompoknyalah yang paling benar sementara yang lain salah maka harus
diperangi, adalah akibat dari sistem pendidikan kita yang salah.
Pahaman ini tidak boleh masuk sedikitpun ke dalam lingkungan kampus
yang bersih dari nilai-nilai negatif perusak keutuhan bangsa, kampus harus
menjadi pilar pemersatu bangsa melalui para lulusan/alumni di berbagai bidang.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi bangsa Indonesia berkaitan dengan
perkembangan gerakan radikal tersebut adalah berkembangnya ideologi radikal di
dalam lingkungan perguruan tinggi dengan menjadikan mahasiswa sebagai target.
Fenomena radikalisme di kalangan mahasiswa benar adanya, sesuatu yang
dapat dipegang dan dipelajari meskipun pada dasarnya gerakan seperti ini
menggunakan sistem sel yang kasat mata, adanya ibarat angin yang bisa dirasakan
tapi sulit dipegang. Namun demikian, kasus penangkapan terhadap jaringan Pepi
Fernando menjadi bukti nyata sekaligus menegasikan bahwa gerakan radikal di
kalangan mahasiswa sudah bisa dipegang dan dipelajari.

REFERENSI
Mulyadi. 2017. Peran Pemuda dalam Mencegah Paham Radikalisme. Palembang:
Prosiding Seminar nasional PPs. Universitas PGRI
CNN Indonesia. (2018). Peran Keluarga untuk Tangkal Sebaran Radikalisme
Pada Anak. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/gaya-
hidup/20180515104408-284-298275/peran-keluarga-untuk-tangkal-
sebaran-radikalisme-pada-anak
Huda, U. (2019). Strategi Penanggulangan Radikalisme di Perguruan Tinggi,.
Jurnal An-Nidzam, 5(1), 52.
Nuzuli, A. K. (2019). Pengaruh Intensitas Membaca Travel.Detik.Com dan
Interaksi dengan Kelompok Rujukan terhadap Minat untuk Berwisata.
JURNAL PIKMA PUBLIKASI ILMU KOMUNIKASI MEDIA DAN
CINEMA, 2(1), 162–183.
https://doi.org/https://doi.org/10.24076/PIKMA.2019v1i2.389

Anda mungkin juga menyukai