Anda di halaman 1dari 9

FENOMENA RADIKALISME BERAGAMA DI BANDUNG DAN PERAN

PENCEGAHAN YANG DILAKUKAN PESANTREN SEBAGAI INSTITUSI


PENDIDIKAN ISLAM NUSANTARA
Ditulis untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sosiologi Agama
Dosen Pengampu: Sri Damayanti, M.Si

Oleh: Annisa Sausan Shalvana (1218030024)

Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Sunan Gunung Djati Bandung
annisasausan1@gmail.com

PENDAHULUAN
Aksi teror menjadi hal yang sering disandingkan dengan identitas umat muslim.
Gencarnya pemberitaan jelek terkait citra Islam, oknum beragama Islam yang menganut
paham radikalisme, dan peristiwa pengeboman yang selalu menggaet nama Islam ke
dalam permasalahan bisa dikatakan sebagai indikator pendukung atas jatuhnya citra
agama rahmatan lil alamin ke jurang keredupan cahaya Islam yang sesungguhnya. Akar
jaringan terorisme ini sudah mulai menunjukkan eksistensinya sejak tahun 1999. Namun
baru pada tahun 2014, tepatnya di bulan Juni, pelaku penganut paham radikalisme atau
aliran kiri ini memproklamirkan diri sebagai ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) dengan
seorang khalifah atau pimpinan tertingginya bernama Abu Bakar Al Baghdadi. Kelompok
tersebut juga menjadi bagian yang diwaspadai bagi masyarakat dunia anti-terorisme.
Selain merusak citra Islam karena melakukan tindakan keji seperti pembunuhan, bom
bunuh diri, aksi teror dan tindakan penyelewengan lainnya yang selalu mengatasnamakan
agama. Ironisnya, jejaring sayap kelompok ini kian melebar dan menggaet banyak orang
dengan mencuci otak kandidat ‘pejuang syahid’ mereka untuk mencapai tujuan mereka–
membentuk negara Islam Sunni.
Motif ISIS atau aliran kiri ini ada 2; motif keagamaan dan motif sosial-ekonomi-
politik. Mulai dari motif pertama, religi atau keagamaan. Bermula dari wafatnya
rasulullah dan kebebasan dalam menafsirkan al-qur’an tidak terbendung lagi, hingga
terjadilah kesalahan tafsir yang kemudian disebarluaskan dan dijadikan sebagai ‘ajaran’
oleh oknum-oknum tertentu. Umumnya, yang selalu dielu-elukan oleh para pembelot
agama ini adalah pengamalan jihad, di mana mereka memerangi kaum non muslim karena

1
dianggap telah menjajah negara Islam dan perlu disingkirkan. Dan dari pola pemahaman
seperti inilah kelompok jaringan Islam radikal berkembang. Motif kedua adalah sosial-
ekonomi-politik. Motif ini muncul akibat rasa ketertinggalan dan kondisi umat Islam yang
dianggap tertinggal dari kemajuan barat. Dan dengan kondisi itu pula, ISIS mengincar
kandidat anggota dengan mengiming-imingi kesejahteraan hidup agar kandidat tersebut
bisa keluar dari perangkap keterpurukan ekonomi, bahkan mereka berhasil meyakinkan
kandidat-kandidatnya untuk mendapatkan surga jika meninggal ketika melakukan
‘tugas’-nya. Jadi jika disederhanakan, para pengikut ISIS adalah orang-orang yang
memiliki pemahaman atas agama yang keliru, kurang sejahtera, penderita kemiskinan dan
frustasi akan kemajuan yang mengakibatkan mereka sendiri alergi terhadap
perkembangan zaman.
Peristiwa bom bunuh diri telah terjadi baru-baru ini. Berlokasi di Polsek Astana
Anyar Bandung pada hari Rabu, 7 Desember 2022 yang menelan satu korban jiwa dan
menyebabkan sembilan orang luka-luka. Pihak kapolda mengatakan bahwa pelaku
membawa dua bom, namun hanya satu yang sempat diledakan. Kejadian tersebut
merupakan bukti eksistensi kelompok Islam radikal yang terus meluaskan jejaringnya.
Aksi bom bunuh diri, seperti yang disebutkan dalam situs nu.or.id, seolah menjadi tanda
bahwa rekrutmen anggota tersebut masih berjalan hingga sekarang. Dan jika pihak
kepolisian melakukan penangkapan atau penindakan terhadap satu orang teroris, maka
hal tersebut akan berdampak pada kemunculan mereka yang jumlahnya bisa lebih banyak.
Kelompok radikal Islam ini jika ditindak seolah menunjukkan bahwa mereka adalah
wujud dari kalimat ‘mati satu, tumbuh seribu.’
Berjalannya aksi terorisme tersebut pastilah terdapat sosok di balik semuanya.
Yang merupakan pimpinan sekaligus memberi perintah. Karena sejatinya, bom bunuh
diri terjadi atas hasil kerjasama antar anggota terkait, dengan kata lain, aksi itu tidak
dilakukan sendiri dan melibatkan lebih dari satu orang. Entah itu berperan sebagai perakit
bom, penggelontor dana, dan turunnya perintah pemimpin untuk melakukannya.
Hal fundamental yang menjadi tonggak berkembangnya golongan aliran kiri
Islam ini adalah pemahaman. Mengingat kelompok tersebut mengincar sebanyak-banyak
‘pejihad’ dari seluruh penjuru dunia untuk menyukseskan ‘agenda’ mereka, termasuk

2
kaula muda. Di dalam artikel ini, penulis ingin mengetahui tentang bagaimana pesantren
berperan sebagai institusi pendidikan berbasis agama Islam untuk mencegah masuknya
paham radikalisme, mengetahui seperti apa peran kita sebagai generasi muda sekaligus
warga negara untuk melindungi diri dan negara dari paparan kelompok radikal, dan untuk
menelaah bahaya keberadaan kelompok radikal-teroris bagi keutuhan bangsa.
PEMBAHASAN
Peran pesantren dalam mencegah masuknya paham radikalisme
Para generasi muda yang identik dengan daya pikir kritis dan rasa keingintahuan
yang kuat merupakan pintu besar yang terbuka lebar bagi para oknum untuk melancarkan
rencananya. Dimulai dengan pendekatan yang terkesan umum seperti menjadi bagian dari
kegiatan yang dekat dengan anak muda, memilih siapa saja kandidat kompeten, hingga
dilakukan pencucian otak agar mereka mau menerima sekaligus melakukan kelompok
tersebut menjalankan rencana radikalnya.
Peran lembaga pendidikan di sini memiliki peran penting untuk memberikan
pemahaman yang melawan hal melenceng tersebut, apalagi sekolah berbasis keagamaan
seperti pesantren. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Indonesia
mengemukakan bahwa ada beberapa indikator atau ciri dari apakah suatu pondok
pesantren berpotensi menjadi wadah bagi penyaluran pemahaman radikal atau tidak
sebagai berikut.
1. Mengajarkan paham takfiri, yakni sikap menyimpang di mana menunjuk
sesama muslim lain yang berbeda paham sebagai murtad. Sederhananya,
wujud dari ajaran ini adalah sikap mengkafirkan orang lain.
2. Menanamkan sikap eksklusif terhadap lingkungan dan perubahan. Ajaran
yang ditanamkan ini membuat seseorang yang terpengaruh akan merasa
alergi dengan kemajuan zaman dan intoleran pada pluralitas. Hal ini
dikarenakan mereka merasa bahwa hanya diri dan keyakinan mereka lah
yang benar sehingga tidak bisa menerima perbedaan.
3. Doktrin anti pancasila dan pro ideologi khilafah transnasional.
4. Menanamkan sikap berpolitik anti pemimpin atau pemerintahan. Hal ini
dilakukan melalui hate speech, adu domba, dan propaganda fitnah lainnya.

3
5. Mengajarkan sikap anti budaya dan kearifan lokal.
Melihat dari poin-poin di atas terkait ciri pesantren yang mengajarkan aliran
radikal, seolah menjadi peringatan bagi kita sebagai warga negara untuk bisa lebih selektif
lagi dalam memilih tempat menempa ilmu. Walaupun indikator tersebut memang bukan
diperuntukkan atau diarahkan pada seluruh pondok pesantren yang ada di Indonesia,
namun fakta bahwa pondok pesantren mengemban peran sebagai pusat syiar agama Islam
khas nusantara akan tetap ada dan melekat.
Pesantren sendiri identik dengan adanya seorang kyai atau pemimpin, santri atau
pelajar, masjid, asrama, pendidikan keagamaan, formal, dan pendidikan untuk melatih
keterampilan. Pesantren juga memiliki fungsi utama yang mencakup tiga aspek; fungsi
religius (diniyah), fungsi sosial (ijtimaiyah), dan fungsi edukasi (tarbawiyyah). Dalam
kaitannya dengan isu radikalisme, fungsi religius yang dijalankan pesantren sebagai
madrasah atau tempat menuntut ilmu agama Islam. Tempat di mana para santri belajar
membaca sekaligus memahami makna dari teks al-qur’an secara menyeluruh dan sesuai
dengan konteks sosial yang ada. Hal ini sangat penting, mengingat alasan adanya paham
radikalisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu adalah akibat dari
pemahaman agama yang tidak sesuai konteks dengan penafsiran yang dangkal. Pondok
pesantren pun menunjukkan tanggung jawabnya dalam mendidik generasi penerus
bangsa yang beragama dengan memberikan pemahaman dakwah dan jihad dalam agama
Islam dengan sebenar-benarnya demi mencegah adanya paham radikal melenceng,
mengingat para kelompok pembelot memaknai kata jihad dengan artian mengangkat
senjata dan memerangi semua orang yang memiliki perbedaan paham.
Fungsi kedua pesantren adalah fungsi edukasi. Pesantren sebagai lembaga
pendidikan berperan untuk menanamkan nilai-nilai sosial seperti nasionalisme dan
pluralisme. Pelajar atau santri di sana diberi bimbingan untuk memahami nilai sosial
tersebut agar tidak terjerat pada sikap eksklusif terhadap lingkungan dan perubahan yang
justru akan menimbulkan rasa intoleran dan alergi dalam menghadapi perubahan. Karena
munculnya pertikaian antar umat beragama dalam lingkup sosial adalah disebabkan oleh
tingginya egoisme antar umat beragama itu sendiri. Merasa agamanya yang paling benar
dan sikap tersebut ditunjukkan ke ranah publik sehingga menimbulkan kesalahpahaman.

4
Selain itu, penanaman nilai terkait pemahaman kebangsaan juga menjadi penting untuk
mencegah potensi terjerumusnya generasi penerus bangsa ke dalam organisasi atau
kelompok radikal berbasis keagamaan, seperti berpartisipasi dalam mendirikan negara
islam dalam negara Indonesia yang berdaulat. Dan melalui fungsi edukasi inilah
pesantren berperan penting untuk mencegah hal tersebut dengan memberikan
pemahaman terkait nilai agama Islam itu sendiri yang sangat menghargai perbedaan,
menjunjung tinggi toleransi, dan memiliki tujuan untuk menentramkan kehidupan umat
manusia di muka bumi.
Selanjutnya ada fungsi ketiga, yaitu fungsi sosial. Peran pesantren sebagai
lembaga syiar Islam melalui pendidikan juga bertanggung jawab untuk membentuk
karakter santri agar menjadi insan yang dapat bermanfaat bagi masyarakat. Maka dari itu,
pendidikan yang diterapkan di pesantren sekaligus bertujuan untuk membekali santrinya
dengan berbagai kegiatan kemasyarakatan agar santri bisa merasakan kedekatan dengan
lingkungan sosial. Para santri juga dituntut untuk menerapkan atau mengamalkan ajaran
agama dan turut mengambil peran seperti berkhutbah di masjid kampung saat jum’atan,
menjadi imam shalat, dan lain sebagainya. Melalui penanaman nilai peran sosial yang
diterapkan inilah para santri bisa mendapat fasilitas pengarahan untuk menyebarkan
agama Allah dan berjihad dengan benar tanpa harus menimbulkan kerusuhan atau
kerugian bagi orang lain.
Peran santri sebagai generasi muda untuk melindungi diri dan negara dari paparan
kelompok radikal
Santri sebagai generasi muda, maka sudah menjadi tanggung jawab bersama
untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai generasi muda
yang memiliki pengaruh dan peran agent of change, stok pengetahuan dan daya pikir
kritis kita tentu menjadi aset penting yang mesti dijaga agar terhindar dari paparan negatif
ajaran melenceng seperti halnya yang dilakukan kelompok radikal. Seperti yang sudah
dipaparkan sebelumnya, bahwa mengincar anak muda yang di usianya itu sedang gencar
mencari jati diri, ingin mencoba banyak hal, rasa ingin tau tinggi, serta ranah eksplorasi
luas membuat anggota kelompok radikal bisa dengan mudah menyusup dan melakukan
kamuflase ke lingkungan sekitar anak muda untuk mengintai dan melancarkan rencana.

5
Para santri yang notabennya menempuh pendidikan keagamaan, menerima ajaran
agama Islam secara intensif dan dianggap memiliki pemahaman agama yang lebih baik
di tengah lapisan masyarakat memiliki tuntutan untuk tetap bersikap waspada akan paham
radikalisme. Dengan latar belakang ini, maka sudah seharusnya para santri mengamalkan
dan merepresentasikan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin di dalam kehidupan
sosialnya.
Terdapat lima karakter pesantren yang tentu diajarkan pula kepada para santrinya,
seperti tawassuth atau tidak memihak dan melakukan moderasi, tawazun atau menjaga
keseimbangan dan harmoni, tasammuh atau toleransi, tasyawwur yang berarti
musyawarah, adil dalam bersikap, beraksi ataupun bereaksi ( (Iman, 2018). Penanaman
kelima karakter tersebut dianggap dapat menjadi solusi dari penangkalan paham
radikalisme yang bisa diterapkan dan dimaksimalkan oleh pihak pesantren kepada para
santrinya. Hal ini mengingat bahwa pesantren lah yang memiliki akses langsung untuk
memperkenalkan salah satu upaya menjaga keutuhan bangsa dan negara ini kepada para
santri yang belajar di tempatnya.
Merujuk pada sifat kelompok radikal atau terorisme yang jika ditindak maka
justru akan menumbuhkan seratus teroris baru dan bahkan memotivasi golongannya
untuk semakin gencar melakukan pergerakan radikal, maka peran kelompok pesantren—
khususnya para santri—sebagai pilar penangkal radikalisme perlu dimaksimalkan.
Seperti usaha dari segi penyebaran dakwah moderat yang menjadi hal fundamental bagi
kalangan masyarakat Indonesia. Mengingat penyebaran aliran atau pemahaman radikal
ini sangat pesat—penyebarannya bisa melalui media sosial dengan cara membagikan
postingan berupa cerita ‘hijrah’ yang mengundang simpatisan kepada golongan terkait—
dan dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan yang lebih parah bagi umat beragama,
maka moderasi beragama yang digaungkan oleh tokoh keagamaan atau kelompok
masyarakat yang terdidik dan mengenyam pendidikan di lingkungan yang kental dengan
agama menjadi sangat diperlukan.
Atas peran inilah, kreativitas kaum santri dalam menyebarkan ajaran agama Islam
yang sesungguhnya diasah agar bagaimana pun caranya, suntikan pola pikir sehat dari
ajaran yang lurus dapat selalu mendampingi masyarakat luas agar masyarakat sendiri juga

6
dapat mengidentifikasi paham-paham yang bertentangan. Melihat dari kemajuan zaman,
digitalisasi semakin marak dijadikan wadah berkreasi dan unjuk kebolehan bagi siapapun
yang ingin berkarya, maka kesempatan tersebut juga harus digunakan agar celah-celah
yang berpotensi disusupi oleh paham radikal bisa tertutup dengan ajaran rahmatan lil
alamin dengan sebenar-benarnya. Cara-cara konvensional seperti melakukan dakwah di
satu tempat ke tempat lain secara fisik memang masih sering dilakukan, tapi ada baiknya
juga agar dakwah yang telah dilakukan secara konvensional itu dijadi video atau konten
yang dapat disebarluaskan melalui sosial media. Selain itu, diperlukan pula ambisi dari
pihak pesantren selaku lembaga pendidikan keislaman Indonesia, para santri, dan kita
sebagai warga negara yang hendak menjaga keutuhan bangsa untuk tidak memberikan
ruang sesentimeter pun bagi oknum atau pelaku penyelewengan tersebut.
Bahaya kelompok radikalisme-teroris bagi keutuhan bangsa
Bahaya radikalisme yang berujung pada tindak terorisme ini tentu menjadi
perhatian publik global karena betapa berbahayanya pergerakan kelompok tersebut. Atas
dasar hal itu, maka diharapkan adanya aturan tegas untuk menyikapinya. Meskipun
sumber daya manusia yang ingin dijaganya sudah diberi pemahaman secara mendalam
terkait nilai-nilai keagamaan, namun potensi bahaya atau intaian kelompok radikal akan
selalu ada. Dan meskipun sifat dari kelompok radikal itu adalah perwujudan dari ‘mati
satu, tumbuh seribu’, upaya penumpasan secara tegas harus dilakukan negara agar
oknum-oknum pemicu kerusakan seperti itu tidak memiliki ruang dan kesulitan bergerak
hingga akhirnya mati akibat belenggu hukum yang kuat.
Selain itu, mengingat bahwa tujuan radikalisme itu saling berkaitan antara satu
tindakan dengan satu tindakan yang lain, maka pencegahan pun harus dilakukan dari
berbagai sisi incaran mereka, yakni melalui sisi ekonomi, sosial, dan politik. Tingkatkan
ketahanan ekonomi negara sehingga angka kemiskinan atau orang yang berada di bawah
garis kesejahteraan bisa berkurang sehingga tidak ada lagi istilahnya masyarakat yang
masuk ke dalam organisasi terlarang seperti itu dengan membawa alasan faktor ekonomi
dan kesejahteraan yang kurang. Karena seperti yang sudah disampaikan sebelumnya,
bahwa ISIS menggunakan celah ketertinggalan umat Islam dari negara barat untuk
menggaet sebanyak-banyaknya simpatisan dan anggota. Sehingga hal tersebut dapat

7
berdampak pada kemudahan yang mereka peroleh untuk membuat semakin banyak pihak
agar menjadi bagian dari kelompok radikal. Sudah sempat disinggung pula bahwa
kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan seseorang akan terpenuhi bagi siapapun yang
mau atau bersedia bergabung dan turut andil dalam ‘perjuangan’. Tentu saja iming-iming
seperti itu diarahkan pada kalangan kelas menengah ke bawah yang memang
membutuhkan dan mendesak perubahan nasib. Dengan pengetahuan yang kurang,
pengaruh menyimpang pun akhirnya dapat dengan mudah mencuci otak mereka sehingga
mereka berpihak pada sisi yang salah.
Aspek ekonomi juga memengaruhi kondisi psikologis seseorang yang kemudian
menjadi jendela menganga yang siap dimasuki dan dijejali nilai-nilai kelompok radikal.
Mereka sengaja menggunakan kondisi frustasi itu sebagai celah, karena dengan begitu
pikiran mereka akan lebih mudah dicuci hingga kemudian berhasil merubah individu
menjadi bagian dari kelompok berbahaya yang membangkang kedaulatan bangsanya
sendiri. Keinginan untuk memiliki titel di lingkungan sosial juga bisa saja masuk ke
dalam salah satu pendorong yang juga berakar dari problem ekonomi. Rasa tidak puas,
sedih, kecewa, bahkan marah atas kehidupan sosialnya seolah menjadi bahan bakal full
tank yang siap disulut api untuk kemudian diledakan. Dan dari rasa frustasi akan
kehidupan sosial-ekonominya, pikiran mereka pun akhirnya dikonstruk untuk
menyalahkan pemerintahan dan melawan ideology bangsanya sendiri. Hal ini bisa dilihat
dari adanya sikap politik anti pemimpin atau pemerintahan yang mereka coba salurkan
melalui propaganda fitnah dengan dampak skala luas yang menimbulkan perpecahan.
Dari alasan-alasan tersebutlah kenapa kelompok radikal dianggap sebagai kelompok
berbahaya bahkan menjadi ancaman global.
KESIMPULAN
Pesantren memiliki peran sebagai institusi pendidikan keislaman khas nusantara
dalam mencegah masuknya paham radikal dalam proses pembelajarannya dengan
menjalankan tiga fungsi pokoknya, yaitu fungsi religius, fungsi edukasi, dan fungsi sosial.
BNPT atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Indonesia mengemukakan lima
ciri atau indikator terkait apakah suatu pesantren berpotensi menjadi wadah penyebaran
paham radikal atau tidak. Ciri-ciri tersebut antara lain adalah; mengajarkan paham takfiri,

8
menanamkan sikap eksklusif terhadap lingkungan dan perubahan, doktrin anti Pancasila
dan pro ideology khilafah transnasional, menanamkan sikap berpolitik anti pemerintahan
atau anti pemimpin, dan mengajarkan sikap anti budaya dan kearifan lokal.
Selanjutnya, ada peran santri untuk menangkal masuknya paham radikalisme
adalah dengan melakukan syiar dakwah Islam moderat karena itu dianggap sebagai hal
yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam menangkal atau melawan adanya paham yang
disebarkan. Santri sebagai pilar penangkal radikalisme juga diharapkan mampu bergerak
secara aktif dan gencar mendakwahkan moderasi beragama dan kreaif dalam menjangkau
sebanyak-banyaknya khalayak dengan memanfaatkan digitalisasi. Ada pun bahaya dari
eksistensi kelompok radikal bagi keutuhan bangsa, mengingat pergerakan kelompok
radikal itu saling berkaitan satu sama lain, baik dari segi ekonomi, sosial, dan politik.
DAFTAR PUSTAKA
Agustiyanto, Y. (2022). BNPT Beberkan Ciri Ponpes yang Terafiliasi dengan
Teroris dan Paham Radikalisme. Jabarekspres.com.
Arrahmah, S. (2022). Bom Bunuh Diri di Bandung, Pengamat: Jejaring Teroris
Indonesia Masih Aktif. Nu.or.id.
Iman, H, N. (2018). Santri Mempunyai Peran Besar Mencegah Paham
Radikalisme Lho, Apa Saja? #2. Blog.unnes.ac.id.
Laksono, P. (2017). Peran Pesantren dalam Mencegah Fundamentalisme-
Radikalisme Agama (Studi Kualitatif di Pesantren Nurul Ummah Desa Kembang Belor
Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto). Asketik: Jurnal Agama dan Perubahan Sosial,
1(2).
Rochmat, A, M. (2017). Akar Terorisme yang Mengatasnamakan Agama.
Nu.or.id.
Triono, A, L. (2019). Kaum Santri, Pilar Penting Tangkal Radikalisme. Nu.or.id.

Anda mungkin juga menyukai