Anda di halaman 1dari 6

I.

Pendahuluan

Bangsa Indonesia adalah bangsa majemuk yang memiliki berbagai

keanekaragaman budaya, bahasa, suku, ras, adat dan agama. Di mana pada

setiap daerah memiliki perbedaan serta ciri khasnya masing-masing.

Indonesia memiliki jumlah penduduk yang padat dengan wilayah yang luas

serta melimpahnya kekayaan sumber daya alam. Hal tersebut dapat menjadi

kekuatan ataupun bahkan dapat menjadi tantangan serta ancaman bagi Bangsa

Indonesia. Namun perbedaan tersebut bukanlah sebagai penghalang untuk

menyatukan berbagai perbedaan, yang diikat dengan pancasila sebagai

pemersatu Bangsa Indoesia. Pancasila merupakan ideologi, pilar, serta

landasan Bangsa Indoesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan

bernegara dalam menjaga kesatuan dan persatuan. Nilai-nilai yang tertuang

ke dalam setiap silanya adalah sebagai identitas ngara, baik dalam tatanannya

serta untuk mencapai tujuan nasional.

Di era globalisasi saat ini, bermunculan berbagai ideologi sehingga

menantang dan bahkan bertentangan dengan ideologi Pancasila. Selama ini,

ideologi yang sering diwaspadai selama Orde Lama dan Orde Baru adalah

ideologi liberalisme kapitalisme dan ideologi sosialisme komunisme. Kedua

ideologi ini terus dijadikan sebagai musuh bersama karena tidak sesuai

dengan ideologi Pancasila. Bahkan, ideologi sosialisme komunisme sampai

dilarang berkembang di wilayah Indonesia pada masa Orde Baru. Selain itu,

terdapat pula ideologi yang mendasarkan pada agama, yang kemudian ingin

mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lain, yakni ideologi agama


tertentu serta menjadikan negara Indonesia sebagai negara agama, yang

tentunya hal ini sangat bertolak belakang dengan hakekat awal berdirinya

Indonesia sebagai sebuah negara yang didasarkan bukan atas persamaan

agama, melainkan persamaan senasib sepenanggungan dijajah oleh

kolonialisme Belanda.

Di era reformasi sekarang ini, telah menguat kembali ideologi yang

mengatasnamakan agama, yang terefleksikan dalam ideologi, faham, maupun

mazhab radikalisme, fundamentalisme, dan sektarianisme, yang berpotensi

melahirkan terorisme, dan bahkan separatisme. Maraknya aksi menolak

keberagaman, menentang kebhinekaan, dan menolak dasar negara Pancasila

merupakan benih-benih yang dapat mendorong sikap, perilaku dan tindakan

terorisme yang ada di tengah masyarakat. Perilaku radikalisme tercermin

dalam penolakan terhadap agama lain, membakar rumah ibadah agama lain,

menghalalkan “darah” umat agama lain, dan mengkafirkan umat agama lain.

perilaku fundamentalisme terefleksi dari agamanya yang paling benar, agama

lain dianggap salah, dan mengajarkan / menerapkan ajaran agamanya secara

keras/mendasar. Sektarianisme terwujud dalam maraknya ajaran sesat, ajaran

yang mengujarkan kebencian, perilaku ekslusif/tertutup, dan tidak mau

berinteraksi dengan ajaran agama lainnya.

Sikap, perilaku dan tindakan yang berbasis pada fundamentalisme,

sektarianisme, dan radikalisme mengkristal menjadi aksi terorisme. Hal ini

tercermin dari serangkaian aksi terorisme di Indonesia yang marak sejak era

reformasi sampai dengan saat ini. Munculnya kelompok Jemaah Islamiyah


(JI), kemudian menjadi Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), berubah lagi menjadi

Majelis Indonesia Timur (MIT) dan Majelis Indonesia Barat (MIB), yang

akhirnya sampai saat ini telah bermetamorfosa menjadi Jamaah Anshorut

Daulah (JAD), telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia telah mengalami

“darurat ideologi”. Aksi terorisme di Indonesia semakin menguat dengan

adanya ISIS di Irak dan Suriah, dimana banyak sel-sel teroris di Indonesia

berbaiat ke ISIS dan melakukan aksi teror atas perintah dan arahan ISIS. ISIS

dibawah pimpinan Abu Bakar Al Baqdadi sebagai organisasi teroris

internasional seolah-olah menjadi ancaman baru di dunia dan di Indonesia,

menggantikan Al Qaeda pimpinan Osama Bin Laden.

Maraknya praktek radikalisme yang mengarah pada terorisme

sebenarnya bermula dari benih-benih pemikiran dan tindakan intoleran yang

menghinggapi sebagian kecil kelompok masyarakat di Indonesia. Intoleransi

yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia saat ini sudah sangat

mengkhawatirkan karena tidak hanya menjangkiti sebagian kecil ormas

keagamaan, namun juga telah menjadi “virus” yang menyerang pemuda,

remaja, siswa, mahasiswa, dan generasi muda Indonesia. Intoleransi telah

terlanjur menyebar bak penyakit di kalangan dunia pendidikan, baik sekolah

dasar, menengah maupun pendidikan tinggi. Sebagai contoh kecil, bukankah

di sebagian lingkungan SMA, sadar atau tidak sadar, untuk memilih Ketua

OSIS cenderung dari agama mayoritas siswa SMA tersebut? Ditambah lagi

dengan memilih pemimpin diarahkan yang seagama, pendirian rumah ibadah

yang sulit, dan menghalangi orang untuk beribadah. Itu semua contoh
intoleransi, yang sangat membahayakan, karena akan mendorong perilaku

radikalisme, yang menyebabkan aksi terorisme.

Berbagai propaganda paham radikal masih terlihat di beberapa

tempat, seperti perguruan tinggi, organisasi masyarakat, dan bahkan dalam

lingkup pemerintahan seperti baru-baru ini yang terjadi sebanyak 50

penceramah serta pengelola di 41 Masjid di beberapa kementerian, dan

lembaga hingga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terindikasi terpapar

radikalisme. Tak hanya itu, terdapat tujuh perguruan tinggi negeri di

Indonesia yang terindikasi terpapar radikalisme. Badan Nasional

Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga melaporkan hasil survei terkait

radikalisme. Menurut data BNPT, sebanyak 39 % mahasiswa di 15 provinsi

di Indonesia yang menjadi responden terindikasi tertarik kepada paham

radikal. Hasil survei tersebut menguatkan dugaan bahwa generasi muda

adalah target penyebaran radikalisme dan kampus rentan menjadi tempat

penyebarannya.

Pemerintah tidak tinggal diam terhadap segala bentuk yang akan

mengacaukan negara ini. Upaya-upaya preventif musti dilakukan. Antara lain

melalui lembaga pendidikan, guru dan kurikulum dalam memperkuat

wawasan kebangsaan, sikap moderat dan toleran pada generasi muda.

Penanganan radikalisme diatur melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun

2018 dan Permenristekdikti Nomor 55 Tahun 2018 yang mengamanahkan

kepada perguruan tinggi untuk ikut terlibat dalam penangkalan radikalisme.

Pentingnya Perguruan Tinggi turut aktif menangkal radikalisme karena sivitas


akademika yakni dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa secara sendiri-

sendiri atau bersama-sama dapat memiliki pemahaman, sikap dan tindakan

anti-radikalisme.

Seseorang yang terkena paham radikalisme dalam benaknya,

sikapnya dan tindakannya selalu tidak sejalan dengan norma-norma

kehidupan dan kebangsaan Indonesia yang sudah ditetapkan. Pribadinya

merasa yang paling benar dibandingkan dengan pemahaman, sikap dan

tindakan orang lain, baik dalam batas norma sosial, norma agama, dan norma-

norma lain yang berlaku dan ditetapkan dalam undang-undang negara

republik Indonesia.

Segala bentuk tindakan radikalisme merupakan ancaman terhadap

ideologi pancasila serta ancaman bagi keutuhan dan kedaulatan bangsa

Indonesia . Melihat hal tersebut dapat diartikan bahwa seluruh masyarakat

Indonesia sudah seharusnya dapat memahami serta mengimplementasikan

nilai-nilai yang terkandung dalam Ideologi Pancasila sebagai ideologi, dasar

negara maupun sebagai Falsafah bangsa. Oleh karena itu diperlukan

implementasi nilai-nilai Pancasila dalam mencegah berkembangnya tindakan

radikalisme khususnya di lingkungan kampus dalam menjaga kutuhan bangsa

Indonesia dengan persatuan dan kesatuan menyatukan berbagai macam

perbedaan.

Dalam penelitian ini, akan dibahas permasalahan terkait Bagaimana

kerentanan mahasiswa terpapar paham radikalisme? Dan Bagaimana strategi

serta upaya pencegahan radikalisme di lingkungan kampus?


Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian sosial. Dalam penelitian

sosial, metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif

dengan jenis kualitatif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang

menggambarkan suatu peristiwa apa adanya, tanpa adanya fakta dan data

yang ditutupi, menguak sebab akibat, dan mengungkap makna dibalik sebuah

peristiwa, kejadian, dan gejala tertentu

Anda mungkin juga menyukai