Anda di halaman 1dari 8

PENGEMBANGAN PAI KONTRA RADIKALISME DAN

TERORISME

MAKALAH

disusun guna memenuhi tugas


Mata kuliah Filsafat Pendidikan Agama Islam
Dosen Pengampu: Dr. Mahfud Junaedi, M. Ag

oleh: Najibul Umami


NIM. 2103018003

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2022
A. Pendahuluan
Munculnya radikalisme di Indonesia secara luas dilihat sebagai bagian dari gelombang teror
dan kekerasan sejak tahun 1980 an dan secara khusus mencapai titik puncak peningkatannya
(peak) pada akhir tahun 1990 an, secara khusus paska mundurnya Presiden Soeharto dan serangan
teroris terhadap World Trade Center (WTC) di New York yang jamak dikenal dengan “9/11
event”. Selain itu, survei terkini dari Wahid Foundation (2016) dan Saiful Mujani Research and
Consulting (SMRC) (2016) mengindikasikan bahwa jumlah orang radikal di Indonesia secara
stabil berada di angka sekitar 10%. Dengan kata lain, satu dari sepuluh orang Indonesia
diindikasikan radikal.1
Radikalisme masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Serangkaian kasus kekerasan
mengatasnamakan agama masih sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Perusakan rumah
ibadah di Tolikara, penolakan terhadap kelompok yang berbeda, penolakan memakamkan jenazah
di Jakarta, dan beberapa bom bunuh diri adalah beberapa kasus yang menyita perhatian pubik.
Munculnya kasus-kasus kekerasan dan terorisme mengatasnamakan agama tersebut
dilatarbelakangi oleh fenomena fanatisme keagamaan yang sempit sebagai dampak dari meluasnya
gerakan radikalisme Islam.
Paham radikalisme dan terorisme dalam mendakwahkan maksud dan tujuannya mereka
menawarkan ideologi-ideologi mereka dengan menggunakan cara kekerasan dan menampilkan
aksi-aksi yang dapat merugikan banyak orang. Akan tetapi selain itu, mereka juga masuk ke dalam
lembaga-lembaga pendidikan, baik lembaga formal maupun nonformal. Kegagalan demi
kegagalan menggunakan cara-cara yang cenderung keras menjadikan kelompok-kelompok ekstrim
tersebut bermanufer masuk melalui jalur baru untuk mendapatkan pengikut yakni melalui media
pendidikan formal, bulletin, media elektronik seperti radio televisi, buku-buku, teknologi
Informasi internet dan saat ini merambah pada sector pendidikan formal yang cenderung eksklusif
dan tertutup.2
Dengan tragedi tersebut, Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai mata pelajaran dengan
muatan agama bisa menjadi benteng kuat di sekolah dalam melawan radikalisme dan terorisme.
pendidikan dirasa perlu lebih ekstra memberikan bekal yang cukup terhadap peserta didik tentang
bagaimana mereka mengembangkan sikap toleran terhadap perbedaandan keragaman yang ada di
masyarakat. Oleh karena itu, penyadaran akan urgensi pluralisme dan desain pendidikan inklusif
(terbuka) diharapkan mampu memerankan fungsi edukasi yang mampu membentuk insan ramah
dan berempati kepada kegelisahan setiap insan tanpa terkecuali, termasuk mereka yang
nonmuslim.

1
Habibie, “Radikalisme di Perguruan Tinggi Indonesia”. edisi 04/Mei 2019. Dipublikasikan
http://www.habibiecenter.or.id/img/publication/5c510fdc39962c13c7ddaa102a1f0109.pdf
2
Sri Mulya Nurhakiky. “Pendidikan Agama Islam Penangkal Radikalisme”. IQ (Ilmu Al-qur’an): Jurnal
Pendidikan Islam, (Volume 2 No. 01 2019). Hlm. 103.
B. Sekilas tentang Radikalisme
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, radikalisme memiliki arti paham atau aliran dalam
politik. Paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik
dengan cara kekerasan atau drastis. Sikap ekstrem dalam aliran politik.3 Sedangkan Radikalisme
secara terminologi memiliki arti sebuah paham atau aliran yang sering berpandangan kolot,
bertindak dengan menggunakan kekerasan dan bersifat ekstrem untuk merealisasikan cita-citanya.4
Jadi paham ini lebih ke pemaksaan bahkan kekerasan dalam upaya melaksanakan perubahan atau
mengajarkan keyakinan yang dianut.
Dimensi makna radikalisme terbagi dalam dua wujud, radikalisme dalam pikiran dan
radikalisme dalam gerakan atau tindakan. Ma’arif menyebut radikalisme dalam pikiran sering
disebut fundamentalisme, dan radikalisme dalam tindakan, yang biasanya menghalalkan cara-cara
kekerasan untuk memenuhi kepentingan, kerap disebut terorisme.5 Begitu pula Hasan dan
Naipospos, menyebutkan radikalisme terbagi menjadi dua dimensi, yaitu paham dan gerakan.
Radikal dalam paham diartikan pemikiran untuk mendirikan negara Islam, kekhalifahan Islam,
tanpa menggunakan kekerasan. Radikal dalam gerakan diartikan melakukan perubahan dengan
aksi-aksi kekerasan atas nama agama.6
Pendapat yang hampir sama diutarakan Mahfud. Menurut Mahfud, radikalisme sebagai
gerakan dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu jihadis, reformis, dan rejeksionis. Jihadis adalah
bentuk aksi politik berupa tindakan kekerasan atas nama jihad. Reformis adalah bentuk aksi politik
berupa tekanan terhadap pemerintah tanpa melakukan kekerasan yang akan mengganggu stabilitas
nasional dan menuntut hak-hak sektarian. Rejeksionis adalah aksi politik berupa penolakan
terhadap sistem demokrasi dan melakukan tekanan-tekanan terhadap berbagai kebijakan.7
Thohir menegaskan bahwa akar radikalisme itu setidaknya bersumber dari empat hal, yaitu:8
a. Pemahaman keagamaan sempit, literal, dan sepenggalsepenggal terhadap ayat-ayat al-
Qur’an
b. Bacaan yang salah terhadap sejarah Islam yang dikombinasikan dengan idealisasi berlebihan
terhadap Islam pada masa tertentu
c. Argumentasi deprivasi politik, sosial dan ekonomi yang masih bertahan dalam masyarakat

3
Badan Pengembang dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, KBBI Edisi V, 2021, Aplikasi android versi 0.1.5 Beta.
4
Syamsul Ma’arif, “Ideologi Pesantren Salaf: Deradikalisasi Agama dan Budaya Damai,” Ibda‟ Jurnal
Kebudayaan Islam 12 (2014), Hlm. 200
5
Syamsul Ma’arif, “Ideologi Pesantren Salaf.... Hlm. 201.
6
Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos, Dari Radikalisme Menuju Terorisme: Studi Relasi dan
Transformasi Organisasi Islam Radikal di Jawa Tengah & D.I. Yogyakarta, (Jakarta: SETARA Institute, 2012),
11.
7
Mahfud Junnaedi, Pengembangan PAI Kontra Radikalism, In: Forum Diskusi Ilmiah Dosen Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang, 1 Maret 2018, Semarang. Hlm. 6.
8
Muhammad Thohir, “Radikalisme Versus Pendidikan Agama Menggali Akar Radikalisme Dari
Kekerasan Terhadap Anak Atas Nama Pendidikan Agama,” Nadwa Jurnal Pendidikan Islam 9 (2015). Hlm.
175.
d. Disorientasi dan dislokasi sosial budaya akibat globalisasi.

Masdar Hilmy memaparkan beberapa karakteristik paham keagamaan Islam radikal.


Karakteristik tersebut antara lain sebagai berikut:9
a. Kelompok penganut radikalisme menghendaki pelaksanaan hukum Islam dalam semua
tataran kehidupan. Islam diimplementasikan dalam 3D; din, dunya, dan dawlah sebagai
doktrin agama sekaligus sebagai praktik sosial. Jadi isu tentang politik, ekonomi, sosial, dan
budaya harus berlandaskan teks dalam AlQur’an dan Hadits. Tujuan puncak dari keyakinan
ini adalah pendirian “negara Islam”.
b. Menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara literal tekstualis tanpa melihat konteks sejarah yang
terjadi saat ayat tersebut turun. Bahkan sampai persoalan tentang hubungan sosial, perilaku
keagamaan dan hukuman kejahatan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an secara literal.
Golongan radikalis melihat produk barat seperti demokrasi dan liberalisme sebagai bid‟ah
dan haram karena tidak ada secara eksplisit dalam Al-Qur’an.
c. Penggunaan simbol secara dominan. Kalangan radikalis sangat terobsesi dan mengaitkan
sesuatu yang berkaitan dengan simbol. Demokrasi adalah simbol dominasi manusia di atas
supremasi Tuhan. Kapitalisme adalah simbol arogansi Barat. Gereja dan simbol-simbol lain
di luar Islam dianggap mengganggu keyakinan umat Islam. Hal ini membawa implikasi
terhadap penurunan cara berpikir yang hanya memandang sesuatu secara hanya berdasar
simbol yang dikenakan.
d. Memandang segala sesuatu dengan dua dimensi. Emmanuel Sivan dalam Masdar Hilmy
menyebut dengan cara pandang ini dengan pendekatan Manichean. Dunia hanya terdiri dari
benar dan salah, hitam dan putih, penghargaan (reward) dan hukuman (punishment), halal
dan haram. Kenyataannya dunia tidak sesimpel itu. Mereka tidak mengindahkan produk
ulama terdahulu bahwa ada kategori sunah, makruh, dan mubah.
e. Mengisolir diri dari pengaruh luar. Timbulnya sikap eksklusif dalam diri kaum radikalis.
Apa yang mereka yakini, akan mereka pegang sampai titik darah penghabisan. Mereka tidak
menghiraukan perkembangan politik, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Pola hidup mereka
dibangun dari teks suci. Inilah yang membedakan radikalisme Islam dengan ideologi yang
lain.

Dari gambaran di atas, radikalisme-terorisme muncul tidak dengan sendirinya, selalu ada
sebab yang menyertainya. Menurut Nata, ada empat sebab munculnya radikalisme Islam. Pertama,
karena faktor modernisasi yang dapat dirasakan dapat menggeser nilai-nilai agama dan
pelaksanaannya dalam agama. Kedua, karena pandangan dan sikap politik yang tidak sejalan

9
Masdar Hilmy, “The Politics of Retaliation: The Backlash of Radical Islamists to Deradicalization
Project in Indonesia,”Al-Jami„ah Journal of Islamic Studies, 51 (2013): 133-136.
dengan sikap dan politik yang dianut penguasa. Ketiga, karena ketidakpuasan mereka terhadap
kondisi sosial, ekonomi, politik dan sebagainya yang berlangsung di Indonesia. Keempat, karena
sifat dan karakter dari ajaran Islam yang dianutnya cenderung bersifat rigid (kaku) dan literalis.10
Radikalisme dibagi dalam 3 bentuk: pertama, gerakan yang sekadar memperjuangkan
implementasi syari'at Islam tanpa harus mendirikan negara Islam, cenderung menggunakan cara
atau pendekatan kekerasan, yaitu FPI dan Laskar Jihad. Kedua, kelompok yang memperjuangkan
berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Ketiga, kelompok yang ingin mewujudkan kekhalifahan
Islam dengan syariat Islam sebagai dasarnya, kelompok ini diwakili gerakan Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).11
C. Sekilas tentang Terorisme
Terorisme dalam kaitan ini diartikan sebagai, tindakan kekerasan atau ancaman untuk
melakukan tindakan kekerasan yang ditujukan kepada sasaran acak (tidak ada hubungan langsung
dengan pelaku) yang berakibat pada kerusakan, kematian, ketakutan, ketidakpastian dan
keputusasaan massal. Tindakan terorisme tersebut dilakukan dalam rangka memaksakan kehendak
kepada pihak yang dianggap lawan oleh kelompok teroris, agar kepentingankepentingan mereka
diakui dan dihargai.12
Pendapat yang hampir sama diutarakan Komariah bahwa terorisme merupakan kejahatan
luar biasa (Extraordinary Crime) yang membutuhkan pula penanganan dengan mendayagunakan
cara-cara luar biasa (Extraordinary Measure) karena berbagai hal: 13
a. Terorisme merupakan perbuatan yang menciptakan bahaya terbesar (the greatest danger)
terhadap hak asasi manusia. Dalam hal ini hak asasi manusia untuk hidup (the right to life)
dan hak asasi untuk bebas dari rasa takut.
b. Target terorisme bersifat random atau indiscriminate yang cenderung mengorbankan orang-
orang tidak bersalah.
c. Kemungkinan digunakannya senjata-senjata pemusnah massal dengan memanfaatkan
teknologi modern.
d. Kecenderungan terjadinya sinergi negatif antar organisasi terorisme nasional dengan
organisasi internasional.

Dengan definisi terorisme seperti di atas, maka unsur-unsur yang harus ada dalam
pengertian terorisme adalah tindakan kekerasan yang mempunyai akibat kerusakan, kematian,

10
Abuddin Nata, Peta Keberagamaan Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2001), 19.
11
Mahfud Junnaedi, Pengembangan PAI Kontra Radikalism, In: Forum Diskusi Ilmiah Dosen Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang, 1 Maret 2018, Semarang. Hlm. 5
12
Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal Kriminologi
Indonesia Vol. 2 No. III Desember 2002 : 30 - 38
13
Komariah, Kajian Tindak Pidana Terorisme dalam Persfektif Hukum Pidana Internasional, Jurnal
Galuh Justisi, Vol 5, No 1 (2017). Hlm. 5.
ketakutan, ketidakpastian dan keputusasaan massal; sasaran tindakan adalah sasaran acak yang
tidak ada hubungan langsung dengan pelaku; terakhir, didorong oleh motivasi kepentingan pelaku
yang tidak dapat dikhususkan hanya pada motivasi politik saja mengingat (dalam banyak hal)
kepentingan non politik seperti keyakinan juga merupakan latar belakangnya.
Oleh karena itu paham radikal merupakan aspek yang penting untuk menganalisis
perkembangan terorisme. Pada hakekatnya tidak seorangpun yang dilahirkan menjadi teroris,
sehingga apabila seseorang terlibat dalam kelompok teroris dapat dikategorikan sebagai proses
radikalisasi, oleh karena itu pelaku teror dapat direhabilitasi agar dapat terlepas dari paham radikal
yang menjurus kepada tindakan terorisme. Terdapat enam area yang dapat diidentifikasikan
sebagai akar penyebab terorisme, yaitu negara yang lemah, kemiskinan, konflik yang disusupi oleh
kelompok ekstrimis agama tertentu, adanya pendanaan dari pihak luar, demokrasi yang lemah,
rekrutmen dan mobilisasi transnasional.14
D. Pengembangan PAI Kontra Radikalisme dan Terorisme
Melihat isu radikalisme yang menjadi persoalan genting, perlu adanya respon sebagai upaya
melakukan counter terhadap radikalisme. Jonathan Stevenson memberikan beberapa strategi dalam
merespon munculnya radikalisme, sebagai berikut:15
a. Jalur militer, yakni military of counter terrorism seperti yang dilakukan Amerika Serikat di
Afghanistan, Irak, dan Suriah. Jalur militer dalam beberapa aksinya terbukti “gagal”
menjawab kebutuhan dalam menghadapi kaum radikalis, yang muncul kemudian adalah
bentuk reproduksi terorisme di kemudian hari.
b. Menggunakan counter argument. Respon ini lebih lembut daripada jalur militer. Kelompok
radikalisme mempergunakan argumen yang anti dialog dan menang sendiri direspon dengan
semangat dialog dan kerjasama. Kebencian tidak dibalas kebencian, tetapi dengan kasih
sayang. Counter argument perlu dilakukan untuk menghadirkan agama dalam perspektif
perdamaian dan kemanusiaan.
c. Menggunakan model peningkatan kesejahteraan dengan melakukan perbaikan dalam bidang
sosial ekonomi, politik dan budaya.
d. Melakukan persebaran gagasan perdamaian dunia sebagai counter atas kekerasan atau
pemberontakan seperti gagasan Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, Desmon Tutu.

Mengacu pada pendapat Stevenson di atas, upaya melawan radikalisme bisa menggunakan
counter argument. Upaya ini bisa diejawantahkan melalui pendidikan. Pendidikan menjadi
problem solver vital dalam menghadapi isu radikalisme yang mengatasnamakan agama. Counter

14
Putri Hergianasari, Konsep Deradikalisasi Pada Pendidikan Berbasis Pembelajaran Terpadu,
SCHOLARIA: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 9 No. 3 2019. Hlm. 240.
15
Jonathan Stevenson, “Counter-Terrorist Strategies,” dalam Radical Islam and International Security,
Hillel Frisch dan Efraim Inbar, (London: Routledge, 2008), PDF e-book, bab 12.
argument ini sangat penting dilakukan oleh lembaga pendidikan sebagai upaya membangun
pemahaman kontra radikalisme agama kepada peserta didik.
Pendapat yang hampir sama diutarakan Alwi Shihab bahwa cara pencegahan radikalisme
dengan menanamkan keseimbangan dalam beragama, penerimaan, dan toleransi dalam umat Islam.
Selain itu umat Islam dapat mengimplementasikan nilai-nilai seperti toleransi, moderasi, dan
keadilan dalam pola hubungan sosial dengan orang lain.16
Berdasarkan hal tersebut diperlukan pemahaman kontra radikalisme yang dikembangkan
dalam kurikulum PAI. Di dalam kurikulum PAI memuat proses diskusi atau tabayyun dengan
peserta didik ketika melihat teks, melihat tafsir, transfer transfer nilai-nilai Islam yang moderat,
ramah, dan sejuk. Kemudian disesuaikan dengan konteks sekarang. Konsep ini bisa terealisasi
melalui kurikulum yang dikembangkan ke arah moderasi. Guru PAI berhadapan langsung dengan
peserta didik diharapkan bisa memberikan pemahaman yang komprehensif tentang tema yang
berkaitan dengan radikalisme, misalnya ayat tentang jihad. Melalui proses ini ada pemahaman
secara menyeluruh yang diterima peserta didik. Tujuan yang hendak dicapai munculnya sikap
toleransi dan moderasi dari peserta didik dalam melihat realitas masyarakat yang berbeda-beda.
Dari beberapa literatur di atas, benang merah dalam menangkal radikalisme adalah
pendidikan. Pendidikan dapat menjadi senjata dalam mengonter radikalisme. Tataran praktisnya
tercermin pada kurikulum PAI yang dikembangkan. Hal yang perlu digarisbawahi adalah definisi
kurikulum memiliki jangkauan yang luas. Kurikulum tidak hanya diartikan sebatas mata pelajaran
yang diajarkan guru, tetapi kurikulum melingkupi seluruh pengalaman belajar siswa yang terdiri
dari beberapa komponen. Kurikulum juga dimaknai pengalaman belajar. Pengalaman yang
diperoleh dari dalam maupun luar gedung sekolah.17

16
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1999), 257
17
Tomi Azami, Kurikulum PAI Kontra Radikalisme (Studi Kasus di MA Al-Asror Semarang), Skripsi:
UIN Walisongo Semarang, 2018. Hlm. 88.
DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Peta Keberagamaan Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2001).

Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1999).

Badan Pengembang dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, KBBI Edisi V, 2021, Aplikasi android versi 0.1.5 Beta.

Habibie, “Radikalisme di Perguruan Tinggi Indonesia”. edisi 04/Mei 2019. Dipublikasikan


http://www.habibiecenter.or.id/img/publication/5c510fdc39962c13c7ddaa102a1f0109.pdf

Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos, Dari Radikalisme Menuju Terorisme: Studi Relasi dan
Transformasi Organisasi Islam Radikal di Jawa Tengah & D.I. Yogyakarta, (Jakarta: SETARA
Institute, 2012).

Jonathan Stevenson, “Counter-Terrorist Strategies,” dalam Radical Islam and International Security,
Hillel Frisch dan Efraim Inbar, (London: Routledge, 2008), PDF e-book, bab 12.

Komariah, Kajian Tindak Pidana Terorisme dalam Persfektif Hukum Pidana Internasional, Jurnal
Galuh Justisi, Vol 5, No 1 (2017).

Mahfud Junnaedi, Pengembangan PAI Kontra Radikalism, In: Forum Diskusi Ilmiah Dosen Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang, 1 Maret 2018, Semarang.

Mahfud Junnaedi, Pengembangan PAI Kontra Radikalism, In: Forum Diskusi Ilmiah Dosen Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang, 1 Maret 2018, Semarang.

Masdar Hilmy, “The Politics of Retaliation: The Backlash of Radical Islamists to Deradicalization
Project in Indonesia,”Al-Jami„ah Journal of Islamic Studies, 51 (2013).

Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal Kriminologi


Indonesia Vol. 2 No. III Desember 2002.

Muhammad Thohir, “Radikalisme Versus Pendidikan Agama Menggali Akar Radikalisme Dari
Kekerasan Terhadap Anak Atas Nama Pendidikan Agama,” Nadwa Jurnal Pendidikan Islam 9
(2015).

1
Putri Hergianasari, Konsep Deradikalisasi Pada Pendidikan Berbasis Pembelajaran Terpadu,
SCHOLARIA: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 9 No. 3 2019.

Sri Mulya Nurhakiky. “Pendidikan Agama Islam Penangkal Radikalisme”. IQ (Ilmu Al-qur’an):
Jurnal Pendidikan Islam, (Volume 2 No. 01 2019).

Syamsul Ma’arif, “Ideologi Pesantren Salaf: Deradikalisasi Agama dan Budaya Damai,” Ibda‟ Jurnal
Kebudayaan Islam 12 (2014).

Tomi Azami, Kurikulum PAI Kontra Radikalisme (Studi Kasus di MA Al-Asror Semarang), Skripsi:
UIN Walisongo Semarang, 2018.

Anda mungkin juga menyukai