OLEH
SAHRIANI
XII MIPA 3
NIS. 018191719
Secara etimologis, kata radikal sesungguhnya netral. Radikalis, kata sifat ini berasal dari
bahasa Latin, radix atau radici. Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), istilah radikal
berarti ‘akar’, ‘sumber’, atau ‘asal-mula’. Dimaknai lebih luas, istilah radikal mengacu pada hal-
hal mendasar, prinsip-prinsip fundamental, pokok soal, dan esensial atas bermacam gejala, atau
juga bisa bermakna “tidak biasanya” (unconventional).
Selama berabad-abad, makna istilah radikal selalu terkait-mait dengan asal-usulnya, yaitu
akar. Karena memiliki konotasi yang luas, kata itu tak sedikit mendapatkan makna teknis dalam
berbagai ranah keilmuan: kedokteran, botani, filsafat, psikologi, bahkan filologi, matematika,
kimia, dan musik.
Sebutlah ilmu kedokteran, misalnya. Bidang ini mengenal pembedahan radikal sebagai
pembedahan untuk menghilangkan penyakit hingga ke sumber utamanya. Dalam ilmu filsafat,
berpikir radikal yang bermakna upaya menggali kenyataan atau ide hingga ke akar-akarnya,
jelas merupakan syarat mutlak untuk membangun diskursus rasionalisme dan kritisisme.
Bahkan dalam ilmu kimia, tak kecuali, ternyata juga dikenal istilah radikal bebas.
Radikalisme adalah suatu pandangan, paham dan gerakan yang menolak secara menyeluruh
terhadap tatanan, tertib sosial dan paham politik yang ada dengan cara perubahan atau
perombakan secara besar-besaran melalui jalan kekerasan.
Istilah radikalisme berasal dari bahasa Latin, yaitu radix yang artinya akar, sumber atau
asal mula. Istilah radikal memiliki arti ekstrem, menyeluruh fanatik, revolusioner, fundamental.
Sedangkan radikalisme adalah doktrin atau praktek yang mengenut paham radikal (Widiana,
2012).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2007), radikalisme adalah (1) paham
atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau
pembaharuan sosial dengan cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik.
Dalam Kamus Politik, yang dimaksud radikal adalah orang yang ingin membawa ide-ide
politiknya ke akar-akarnya, dan mempertegas dengan cara yang sempurna doktrin-doktrin yang
dihasilkan oleh usaha tersebut.
Radikalisme merupakan gejala umum yang bisa terjadi dalam suatu masyarakat dengan
motif beragam, baik sosial, politik, budaya maupun agama, yang ditandai oleh tindakan-
tindakan keras, ekstrim, dan anarkis sebagai wujud penolakan terhadap gejala yang dihadapi.
Radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang
menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan
menggunakan cara-cara penekanan dan ketegangan yang pada akhirnya mengakibatkan
kekerasan. Berikut definisi dan pengertian radikalisme dari beberapa sumber buku:
Menurut Kartodirdjo (1985), radikalisme adalah gerakan sosial yang menolak secara
menyeluruh tertib sosial yang sedang berlangsung dan ditandai oleh kejengkelan moral
yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang memiliki hak-hak
istimewa dan yang berkuasa.
Menurut Rubaidi (2007), radikalisme merupakan gerakan-gerakan keagamaan yang
berusaha merombak secara total tatanan sosial dan politik yang ada dengan jalan
menggunakan kekerasan.
Menurut Hasani dan Naipospos (2010), radikalisme adalah pandangan yang ingin
melakukan perubahan yang mendasar sesuai dengan interpretasinya terhadap realitas
sosial atau ideologi yang dianutnya.
Menurut Partanto dan Al Barry (1994), radikalisme adalah paham politik kenegaraan
yang menghendaki perubahan dan perombakan besar sebagai jalan untuk mencapai
taraf kemajuan.
CIRI-CIRI RADIKALISME
Menurut Masduqi (2012), seseorang atau kelompok yang terpapar paham radikalisme ditandai
dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Mengklaim kebenaran tunggal dan menyesatkan kelompok lain yang tak sependapat.
Klaim kebenaran selalu muncul dari kalangan yang seakan-akan mereka adalah Nabi
yang tak pernah melakukan kesalahan ma’sum padahal mereka hanya manusia biasa.
Oleh sebab itu, jika ada kelompok yang merasa benar sendiri maka secara langsung
mereka telah bertindak congkak merebut otoritas Allah.
2. Radikalisme mempersulit agama Islam yang sejatinya samhah (ringan) dengan
menganggap ibadah sunnah seakan-akan wajib dan makruh seakan-akan haram.
Radikalisme dicirikan dengan perilaku beragama yang lebih memprioritaskan persoalan-
persoalan sekunder dan mengesampingkan yang primer.
3. Berlebihan dalam beragama yang tidak pada tempatnya. Dalam berdakwah mereka
mengesampingkan metode gradual yang digunakan oleh Nabi, sehingga dakwah mereka
justru membuat umat Islam yang masih awam merasa ketakutan dan keberatan.
4. Kasar dalam berinteraksi, keras dalam berbicara dan emosional dalam berdakwah. Ciri-
ciri dakwah seperti ini sangat bertolak belakang dengan kesantunan dan kelembutan
dakwah Nabi.
5. Kelompok radikal mudah berburuk sangka kepada orang lain di luar golongannya.
Mereka senantiasa memandang orang lain hanya dari aspek negatifnya dan
mengabaikan aspek positifnya. Berburuk sangka adalah bentuk sikap merendahkan
orang lain. Kelompok radikal sering tampak merasa suci dan menganggap kelompok lain
sebagai ahli bid’ah dan sesat.
6. Mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda pendapat. Kelompok ini mengkafirkan
orang lain yang berbuat maksiat, mengkafirkan pemerintah yang menganut demokrasi,
mengkafirkan rakyat yang rela terhadap penerapan demokrasi, mengkafirkan umat
Islam di Indonesia yang menjunjung tradisi lokal, dan mengkafirkan semua orang yang
berbeda pandangan dengan mereka sebab mereka yakin bahwa pendapat mereka
adalah pendapat Allah.
Sedangkan menurut Rubaidi (2007), ciri-ciri gerakan radikalisme dalam agama ditandai dengan
hal-hal sebagai berikut:
1. Menjadikan Islam sebagai ideologi final dalam mengatur kehidupan individual dan juga
politik ketatanegaraan.
2. Nilai-nilai Islam yang dianut mengadopsi sumbernya di Timur Tengah secara apa adanya
tanpa mempertimbangkan perkembangan sosial dan politik ketika Al-Quran dan hadits
hadir di muka bumi ini, dengan realitas lokal kekinian.
3. Karena perhatian lebih terfokus pada teks Al-Quran dan hadits, maka purifikasi ini
sangat berhati-hati untuk menerima segala budaya non asal Islam (budaya Timur
Tengah) termasuk berhati-hati menerima tradisi lokal karena khawatir mencampuri
Islam dengan bid'ah.
4. Menolak ideologi Non-Timur Tengah termasuk ideologi Barat, seperti demokrasi,
sekularisme dan liberalisasi. Sekali lagi, segala peraturan yang ditetapkan harus merujuk
pada Al-Quran dan hadits.
5. Gerakan kelompok ini sering berseberangan dengan masyarakat luas termasuk
pemerintah. Oleh karena itu, terkadang terjadi gesekan ideologis bahkan fisik dengan
kelompok lain, termasuk pemerintah.
Menurut Azyumardi (2012), terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab atau sumber
masalah tumbuhnya paham radikalisme pada seseorang adalah sebagai berikut:
Selain itu, menurut Hikam (2016), terdapat beberapa aspek yang mempengaruhi masuknya
paham radikalisme di Indonesia, yaitu:
Faktor Geografi , letak geografi Republik Indonesia berada di posisi silang antara dua
benua merupakan wilayah yang sangat strategis secara geostrategic tetapi sekaligus
,rentang terhadap ancaman terorisme internasional. Dengan kondisi wilayah yang
terbuka dan merupakan negara kepulauan, perlindungan keamanan yang konprenshif
sangat diperlukan.
Faktor Demografi, penduduk Indonesia adalah mayoritas beragama Islam dan mengikuti
berbagai aliran pemikiran (schools of thought) serta memiliki budaya yang majemuk.
Oleh karena itu hal ini berpotensi untuk dieksploitasi dan dimanipulasi oleh kelompok
radikal.
Faktor Sumber Kekayaan Alam, sumber daya kekayaan Indonesia yang melimpah, tapi
belum dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat juga berpotensi dipergunakan oleh
kelompok radikal untuk mengkampanyekan ideologi. Hal ini dilakukan mereka melalui
isu-isu sensitif seperti kemiskinan, ketidakadilan, kesenjangan ekonomi dan
ketidakmerataan kesejahteraan antar penduduk dan wilayah.
Faktor Ideologi, kondisi politik pasca reformasi yang masih belum reformasi dan
seimbang telah memberikan peluang bagi proses pergeseran dan bahkan degradasi
pemahaman ideologi. Munculnya berbagai ideologi alternatif dalam wacana kiprah
politik nasional serta ketidaksiapan pemerintah menjadi salah satu penyebab masuknya
pemahaman radikal. Belum lagi, pemerintah yang belum mampu menggalakkan kembali
sosialisasi nilai-nilai dasar dan ideologi nasional Pancasila dalam masyarakat, ditambah
lagi karut marut dalam bidang politik adalah beberapa faktor penyebab utamanya.
Faktor Politik, problem dalam kehidupan politik yang masih mengganjal adalah belum
terwujudnya check and balances sebagaimana yang dikehendaki oleh konstitusi,
terutama dalam rangka sistem pemerintahan Presidensil. Hal ini berakibat serius bagi
pemerintah yang selalu mendapat intervensi partai politik di Parlemen sehingga upaya
pemulihan kehidupan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat terganggu.
Ketidakseimbangan antara harapan rakyat pemilih dengan kinerja pemerintah dan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menciptakan ketidakpercayaan publik yang tinggi. Hal
ini membuka peluang bagi upaya Destabilisasi politik melalui berbagai cara dan saluran
termasuk media massa dan kelompok penekan (Preasure Grups).
Faktor Ekonomi, kemiskinan, pengangguran kesenjangan antara kaya-miskin dan
kesenjangan antara kota dan desa, serta antar daerah. Pengaruh ekonomi global yang
belum kunjung pulih dan stabil, bagaimanapun juga, membuat ekonomi Indonesia yang
tergantung dengan fluktuasi ekonomi pasar global masih belum bisa berkompetisi
dengan pesaing-pesaingnya baik di tingkat regional maupun internasional.
Faktor Sosial Budaya, bangsa Indonesia yang majemuk kemudian kehilangan jangkar jati
dirinya sehingga mudah terbawa oleh pengaruh budaya cosmopolitan dan pop (popular
culture) yang ditawarkan oleh media (TV, Radio, Jejaring Sosial dan sebagainya). Kondisi
anomie dan alienasi budaya dengan mudah menjangkit kawula muda Indonesia
sehingga mereka sangat rentang terhadap pengaruh negatif seperti hedonism dan
kekerasan.
Faktor Pertahanan dan Keamanan , kelompok teroris di Indonesia masih terus
melakukan kegiatan propaganda ideologi dan tindak kekerasan. Hal ini dapat dilihat
pada aksi di beberapa daerah di Indonesia. Ketidaksiapan aparat keamanan dalam
berkoordinasi dengan para penegak hukum masih cukup mengkhawatirkan dalam hal
penanggulangan terorisme di waktu-waktu yang akan datang.
Deradikalisasi mempunyai makna yang luas, mencakup hal-hal yang bersifat keyakinan,
penanganan hukum, hingga pemasyarakatan sebagai upaya mengubah yang radikal menjadi
tidak radikal. Oleh karena itu deradikalisasi dapat dipahami sebagai upaya menetralisasi paham
radikal bagi mereka yang terlibat aksi terorisme dan para simpatisasinya, hingga meninggalkan
aksi kekerasan.
Istilah teroris dan terorisme berasal dari kata latin, yaitu terrere yang artinya membuat
gemetar atau menggetarkan. Secara etimologi terorisme berarti menakut-nakuti (to terrify).
Kata terorisme dalam bahasa Indonesia berasal dari kata teror, yang dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) memiliki arti usaha untuk menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman
oleh seseorang atau golongan tertentu (KBBI, 2008).
Menurut Black’s Law Dictionary, terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur
kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang
melanggar hukum pidana, yang jelas dimaksudkan untuk mengintimidasi penduduk sipil,
memengaruhi kebijakan pemerintah dan memengaruhi penyelenggaraan negara dengan
cara penculikan atau pembunuhan (Ali, 2012).
Menurut Manulang (2006), terorisme adalah suatu cara untuk merebut kekuasaan dari
kelompok lain, dipicu oleh banyak hal seperti pertentangan agama, ideologi dan etnis,
kesenjangan ekonomi, serta terhambatnya komunikasi masyarakat dengan pemerintah,
atau karena adanya paham separatisme dan ideologi fanatisme.
JENIS-JENIS TERORISME
Menurut Firmansyah (2011), beberapa tindak kejahatan yang termasuk dalam kategori
tindak pidana terorisme adalah sebagai berikut:
1. Irrational Terrorism. Irrational terrorism adalah teror yang motif atau tujuannya bisa
dikatakan tak masuk akal sehat, yang bisa dikategorikan dalam kategori ini misalnya saja
salvation (pengorbanan diri) dan madness (kegilaan). Pengorbanan diri ini kerap
menjadikan para pelaku teror melakukan aksi ekstrem berupa bom bunuh diri.
2. Criminal Terrorism. Criminal Terrorism adalah teror yang dilatarbelakangi motif atau
tujuan berdasarkan kepentingan kelompok agama atau kepercayaan tertentu dapat
dikategorikan ke dalam jenis ini. Termasuk kegiatan kelompok dengan motif balas
dendam (revenge).
3. Political Terrorism. Political Terrorism adalah teror bermotifkan politik.Batasan
mengenai political terrorism sampai saat ini belum ada kesepakatan internasional yang
dapat dibakukan. Contoh; seorang figur Yasser Arrafat bagi masyarakat israel adalah
seorang tokoh teroris yang harus dieksekusi, tetap bagi bangsa Palestina dia adalah
seorang Freedom fighter, begitu pula sebaliknya dengan founding father negara Israel
yang pada waktu itu dicap sebagai teroris, setelah israel merdeka mereka dianggap
sebagai pahlawan bangsa dan dihormati.
4. State Terrorism. Istilah state teorrism ini semula dipergunakan PBB ketika melihat
kondisi sosial dan politik di Afrika Selatan, Israel dan negara-negara Eropa Timur.
Kekerasan negara terhadap warga negara penuh dengan intimidasi dan berbagai
penganiayaan serta ancaman lainnya banyak dilakukan oleh oknum negara termasuk
penegak hukum. Teror oleh penguasa negara, misalnya penculikan aktivis. Teror oleh
negara bisa terjadi dengan kebijakan ekonomi yang dibuatnya. Terorisme yang
dilakukan oleh negara atau aparatnya dilakukan dan atas nama kekuasaan, stabilitas
politik dan kepentingan ekonomi elite.
Menurut USA Army Training and Doctrine Command (2007), berdasarkan motivasi yang digunakan,
tindakan terorisme dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
Peledakan bom/pengeboman, pengeboman adalah taktik yang paling umum digunakan oleh
kelompok teroris dan merupakan aksi teror yang paling populer dilakukan karena selain
mempunyai nilai mengagetkan (shock value), aksi ini lebih cepat mendapat respon karena
korbannya relatif lebih banyak. Selain itu pengeboman juga sebagai salah satu yang paling sering
digunakan dan paling disukai karena biayanya murah, bahannya mudah didapat, mudah dirakit
dan mudah digunakan serta akibatnya bisa dirasakan langsung dan dapat menarik perhatian
publik dan media massa.
Pembunuhan, pembunuhan adalah bentuk aksi teroris yang tertua dan masih digunakan hingga
saat ini. Dengan model pembunuhan yang sering digunakan yaitu pembunuhan terpilih/selektif,
yaitu tindakan serangan terhadap target atau sasaran yang dipilih atau pembunuhan terhadap
figur yang dikenal masyarakat (public figure) dengan sasaran pejabat pemerintah, pengusaha,
politisi dan aparat keamanan. Semakin tinggi tingkatan target dan semakin memperoleh
pengamanan yang baik, akan membawa efek yang cukup besar dalam kehidupan masyarakat.
Pembajakan, pembajakan adalah perebutan kekuasaan dengan paksaan terhadap kendaraan
dipermukaan, penumpang-penumpangnya, dan/atau barang-barangnya. Dengan kata lain,
pembajakan adalah kegiatan merampas barang atau hak orang lain. Pembajakan yang sering
dilakukan oleh para teroris adalah pembajakan terhadap sebuah pesawat udara, karena dapat
menciptakan situasi yang menghalangi sandera bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain,
yang melibatkan sandera-sandera dari berbagai bangsa dengan tujuan agar menimbulkan
perhatian media atau publik.
Penghadangan, aksi terorisme juga sering menggunakan taktik penghadangan. Dimana
penghadangan tersebut biasanya telah dipersiapkan terlebih dahulu secara matang oleh para
teroris dengan melakukan berbagai latihan-latihan terlebih dahulu, serta perencanaan medan
dan waktu. Oleh karena itu taktik ini disinyalir jarang sekali mengalami kegagalan.
Penculikan dan penyanderaan, penculikan adalah salah satu tindakan terorisme yang paling
sulit dilaksanakan, tetapi bila penculikan tersebut berhasil, maka mereka akan mendapatkan
uang untuk pendanaan teroris atau melepaskan teman-teman seperjuangan yang di penjara
serta mendapatkan publisitas untuk jangka panjang. Sementara itu, perbedaan antara
penculikan dan penyanderaan dalam dunia terorisme sangatlah tipis. Berbeda dengan
penculikan, penyanderaan menyebabkan konfrontasi atau perlawanan dengan penguasa
setempat. Misi penyanderaan sifatnya kompleks dari segi penyediaan logistik dan berisiko tinggi,
termasuk aksi penculikan, membuat barikade dan penyanderaan (mengambil alih sebuah
gedung dan aksi mengamankan sandera).
Perampokan, taktik perampokan biasa dilakukan para teroris untuk mencari dana dalam
membiayai operasional-nya, teroris melakukan perampokan bank, toko perhiasan atau tempat
lainnya. Karena kegiatan terorisme sesungguhnya memiliki biaya yang sangat mahal.
Perampokan juga dapat digunakan sebagai bahan ujian bagi program latihan personil baru.
Pembakaran dan Penyerangan dengan Peluru Kendali (Firebombing) pembakaran dan
penyerangan dengan peluru kendali lebih mudah dilakukan oleh kelompok teroris yang biasanya
tidak terorganisir. Pembakaran dan penembakan dengan peluru kendali diarahkan kepada hotel,
bangunan pemerintah, atau pusat industri untuk menunjukkan citra bahwa pemerintahan yang
sedang berkuasa tidak mampu menjaga keamanan objek vital tersebut.
Serangan bersenjata, serangan bersenjata oleh teroris telah meningkat menjadi sesuatu aksi
yang mematikan dalam beberapa tahun belakangan ini. Teroris Sikh di India dalam sejumlah
kejadian melakukan penghentian bus yang berisi penumpang, kemudian menembak sekaligus
membunuh seluruh penumpang yang beragama hindu yang berada di bus tersebut dengan
menggunakan senapan mesin yang menewaskan sejumlah korban, yaitu anak-anak, wanita dan
orang tua seluruhnya.
Penggunaan Senjata Pemusnah Massal, perkembangan teknologi tidak hanya berkembang dari
dampak positifnya untuk membantu kehidupan umat manusia, akan tetapi juga membunuh
umat manusia itu sendiri dengan kejam. Melalui penggunaan senjata-senjata pembunuh massal
yang sekarang mulai digunakan oleh para terorisme dalam menjalankan tujuan dan sebagai
salah satu bentuk teror yang baru dikalangan masyarakat.
Menurut Wahid dan Sidiq (2004), terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadi
tindakan terorisme, antara lain yaitu sebagai berikut:
Kesukuan, nasionalisme dan separatisme, tindak teror ini terjadi di daerah yang dilanda konflik
antar etnis atau suku pada suatu bangsa yang ingin memerdekakan diri. Menebar teror akhirnya
digunakan pula sebagai satu cara untuk mencapai tujuan atau alat perjuangan, sasarannya yaitu
etnis atau bangsa lain yang sedang diperangi. Bom-bom yang dipasang di keramaian atau
tempat umum lain menjadi contoh paling sering. Aksi teror semacam ini bersifat acak, korban
yang jatuh pun bisa siapa saja.
Kemiskinan, kesenjangan, serta globalisasi, kemiskinan dan kesenjangan ternyata menjadi
masalah sosial yang mampu memantik terorisme. Kemiskinan memiliki potensi lebih tinggi bagi
munculnya terorisme. Dengan terjadinya kesenjangan dan kemiskinan dapat menimbulkan
terorisme, ini timbul karena merasa tidak adanya keadilan dalam kehidupan.
Non demokrasi, negara non demokrasi juga disinyalir sebagai tempat tumbuh suburnya
terorisme. Di negara demokratis semua warga negara memiliki kesempatan untuk menyalurkan
semua pandangan politiknya, iklim demokratis menjadikan rakyat sebagai representasi
kekuasaan tertinggi dalam pengaturan negara, artinya rakyat merasa dilibatkan dalam
pengelolaan negara, hal serupa tentu tidak terjadi di negara non demokratis. Selain tidak
memberikan kesempatan partisipasi masyarakat penguasa non demokratis sangat mungkin juga
melakukan tindakan represif terhadap rakyatnya. Keterbatasan ini menjadi kultur subur bagi
tumbuhnya awal mula kegiatan terorisme.
Pelanggaran harkat kemanusiaan, aksi teror akan muncul jika ada diskriminasi antar etnis atau
kelompok dalam masyarakat. Ini terjadi saat ada satu kelompok diperlakukan tidak sama hanya
karena warna kulit, agama, atau lainnya. Kelompok yang direndahkan akan mencari cara agar
mereka didengar, diakui, dan diperlakukan sama dengan yang lain. Atmosfer seperti ini akan
mendorong berkembang biaknya teror.
Radikalisme Ekstrimisme Agama, butir ini nampaknya tidak asing lagi, peristiwa teror yang
terjadi di Indonesia banyak terhubung dengan sebab ini. Radikalisme agama menjadi penyebab
unik karena motif yang mendasari kadang bersifat tidak nyata. Beda dengan kemiskinan atau
perlakuan diskriminatif yang mudah diamati, radikalisme agama sebagian ditumbuhkan oleh
cara pandang dunia para penganutnya. Kesalahan dalam pemahaman jihad menjadikan teroris
mengatas namakan jihad dalam tindak terorisme, ini jelas sudah salah dalam pemahaman jihad
karena mereka menganggap jihad adalah berperang.
Putus Asa dan Tidak Berdaya, kondisi psikologis ini sangat rawan untuk diprovokasi karena
orang yang merasa terabaikan dalam lingkungan masyarakat, menderita secara sosial ekonomi
dan merasa diperlakukan tidak adil secara politis akan dengan mudah diberikan sugesti untuk
meluapkan kemarahan dengan cara kekerasan untuk memperoleh perhatian dari masyarakat
sekeliling maupun pemerintah yang berkuasa.
Pada tahun 2010, Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan "Workshop on the Regional
Implementation of the United Nations Global Counter-Terrorism Strategy in Southeast Asia", bekerja
sama dengan UN CTITF. Hasil pertemuan telah dilaporkan pada pertemuan tingkat menteri International
Counter-Terrorism Focal Points Conference on Addressing Conditions Conducive to the Spread of
Terrorism and Promoting Regional Cooperation di Jenewa pada tahun 2013.
Peran penting Indonesia dalam penanggulangan terorisme internasional telah diakui oleh PBB
dengan terpilihnya kembali Indonesia sebagai anggota dari Dewan Penasihat UN Counter-Terrorism
Center untuk periode 2015-2018.
Indonesia juga menggarisbawahi pentingnya hukum internasional dalam penanggulangan
terorisme internasional. Dalam kaitan ini, Indonesia telah meratifikasi 8 (delapan) konvensi internasional
terkait penanggulangan terorisme yang memperkuat kerangka hukum nasional.
Terkait isu Foreign Terrorist Fighters (FTF), Indonesia merupakan co-sponsor dari Resolusi DK PBB
2178 (2014) yang meminta negara-negara untuk melakukan berbagai upaya yang diperlukan dalam
penanganan isu FTF, termasuk pencegahan rekrutmen dan fasilitasi keberangkatan para FTF,
pengawasan perbatasan, saling tukar informasi, serta program rehabilitasi dan reintegrasi. Lebih lanjut,
Indonesia telah menyelenggarakan sejumlah regional workshops dan konferensi internasional yang
melibatkan banyak negara untuk saling tukar informasi dan good practices, serta peluang penguatan
kerja sama internasional dalam penanganan isu FTF.
Selain dukungan Indonesia yang berkesinambungan di bawah kerangka PBB, Indonesia juga
berpartisipasi aktif dalam Global Counter-Terrorism Forum (GCTF), terutama sebagai co-chairs Southeast
Asia Capacity Building Working Group (SEAWG) bersama Australia untuk periode 2011-2013, dan
melanjutkan peran aktifnya bersama Australia sebagai co-chairs dari Detention and Reintegration
Working Group (DRWG). Pembentukan working group ini digagas oleh Indonesia dengan tujuan untuk
memperkuat kapasitas para pemangku kepentingan yang menangani pengelolaan violent extremist
offenders di lembaga pemasyarakatan, serta menjawab kebutuhan untuk saling tukar informasi dan
good practices terkait. Dalam kaitan ini, Indonesia telah menjadi tuan rumah penyelenggaraan Inaugural
Meeting GCTF DRWG di Bali pada tanggal 12-13 Agustus 2014 yang telah mengadopsi work plan DRWG
untuk periode 2014-2016. Lebih lanjut, dalam kerangka DRWG, Indonesia juga telah menjadi tuan
rumah penyelenggaraan Workshop on Capacity Building and Training for the Appropriate Management
of Violent Extremist Offenders di Medan pada tanggal 8-9 April 2015. GCTF DRWG juga bekerja sama
dengan Global Center on Cooperative Security (GCCS) telah menyelenggarakan Workshop on Education,
Life Skill Courses and Vocational Training for Incarcerated Violent Extremist Offenders di Nairobi, Kenya,
pada 7-8 Oktober 2015. Selain itu, Indonesia dan Australia telah menyelenggarakan pertemuan pleno
kedua GCTF DRWG di Sydney pada tanggal 2-3 November 2015. Pertemuan Pleno Kedua GCTF DRWG ini
telah membahas mengenai pengelolaan lapas dan upaya penguatan keamanan lapas, program
rehabilitasi dan reintegrasi, dan program pengembangan kapasitas untuk petugas lapas.
Indonesia juga berkontribusi aktif dalam penguatan kapasitas bagi para aparat penegak hukum
yang menangani isu terorisme dan kejahatan lintas negara. Dalam kaitan ini, Indonesia bekerja sama
dengan Australia telah mendirikan Jakarta Centre for Law Enforcement Cooperation (JCLEC). Sejak
terbentuknya di tahun 2004, JCLEC telah menyelenggarakan 768 program pelatihan yang melibatkan
18.398 peserta dan 4.385 pelatih dari 70 negara.
Pada tingkat nasional, Indonesia memiliki strategi komprehensif dalam penanggulangan terorisme
yang mengkombinasikan hard dan soft approach. Dalam kaitannya dengan hard approach, Indonesia
telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penanggulangan Terorisme dan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme. Lebih lanjut, dalam rangka penguatan upaya penanggulangan pendanaan
terorisme, Indonesia juga telah mengesahkan Peraturan Bersama tentang Pencantuman Identitas Orang
dan Korporasi dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris dan Pemblokiran secara Serta Merta
atas Dana Milik Orang atau Korporasi yang Tercantum dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi
Teroris.
Dalam kaitannya dengan soft approach, Indonesia melakukan program deradikalisasi dan kontra-
radikalisasi. Dalam kaitan ini, Indonesia melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme telah
meluncurkan Blueprint Deradikalisasi serta mendirikan Pusat Deradikalisasi bagi narapidana teroris.
Mengacu pada dokumen Blueprint, program deradikalisasi mencakup rehabilitasi, reintegrasi, dan
reedukasi bagi narapidana teroris dengan memberdayakan para tokoh agama serta psikolog untuk
memberikan counter-narratives.
SUMBER MATERI
https://kemlu.go.id/portal/id/read/95/halaman_list_lainnya/indonesia-dan-upaya-
penanggulangan-terorisme
https://www.kajianpustaka.com/2019/12/pengertian-ciri-penyebab-dan-pencegahan-
radikalisme.html?m=1
https://indonesia.go.id/ragam/budaya/sosial/istilah-radikal-harus-diganti#:~:text=Kamus
%20Besar%20Bahasa%20Indonesia%20(KBBI,ketiga%2C%20sikap%20ekstrem%20dalam
%20aliran
https://www.kajianpustaka.com/2020/09/terorisme.html?m=1