Anda di halaman 1dari 16

RADIKALISME DI KALANGAN MAHASISWA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kampus memiliki peran strategis dalam pengembangan sumber daya


manusia melalui tri dharma pendidikan tinggi yaitu penyelenggaraan
pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Selain fungsi tersebut kampus juga menjadi tempat bertemunya mahasiswa
dengan beragam perbedaan,, mulai dari suku, ras, hingga agama, beragam
lintasan perbedaan tersebut berkumpul dalam satu wadah komunitas
intelektual. Sehingga “Bhineka Tunggal Ika” sangat terasa di kampus.

Dengan keragaman yang ada di kampus mahasiswa beserta seluruh


civitas akademik memiliki tanggung jawab menjadi garda terdepan dalam
menjaga dan mengawal ideologi serta menjaga persatuuan bangsa. Peran
kampus adalah mencetak para penerus bangsa, sehingga perannya begitu
penting dalam kemajuan bangsa indonesia. Mahasiswa sebagai bagian dari
pemuda indonesia merupakan aset berharga dari suatu bangsa.

Untuk memupuk keragaman menjadi kekuatan, bangsa indonesia


harus terus-menerus menanamkannya kepada generasi muda khususnya
generasi milenial dan setelahnya. Dengan keragaman yang ada di institusi
pendidikan diharapkan mampu mencetak generasi masa depan bangsa
indonesia dengan menjadikan kampus sebagai pemersatu bangsa. Karena
hanya lewat lembaga pendidikan yang berkualitaslah keberagaman dalam
berbangsa dapat ditanam lewat generasi muda yang berpendidikan..

Kehadiran mahasiswa di perguruan tinggi menjadi pertanda bahwa


pendidikan tinggi masih dipandang sebagai salah satu lembaga penting

1
dalam rangka melahirkan pemuda masa depan sesuai dengan bidang-bidang
ilmu yang digelutinya, tidak ada harapan dari mereka, kecuali agar mampu
memberikan kontribusi positif bagi keberlangsungan dunia pendidikan di
kampusnya masing masing, sekaligus dari mereka muncul komitmen untuk
terus terlibat dalam perbaikan apapun di negeri ini,

Mahasiswa saat ini menghadapi sejumlah tantangan yang dapat


mengancam keutuhan serta persatuan bangsa. Untuk itu sangat penting bagi
para generasi muda khsususnya mahasiswa berperan memberikan sejumlah
solusi terhadap masalah yang mengancam persatuan bangsa indonesia.
Kampus sebagai institusi pendidikan yang mencetak generasi masa depan
pemersatu bangsa karena hanya lewat lembaga pendidikan yang berkualitas
keberagaman dalam berbangsa dapat di tanam lewat generasi muda yang
berpendidikan.

Sumpah pemuda pada tahun 1928, proklamasi 1945, orde baru 1966,
reformasi 1998, semua ini merupakan bukti sejarah kekuatan para pemuda
indonesia, yaitu mahasiswa sebagai tonggak perubahan kehidupan bangsa.
Mahasiswa sebagai solusi permasalahan bangsa dan (agent of change).
Sumber daya manusia terbesar dalam perubahan berada di tangan mahasiswa
(pemuda), karena dari pemikiran pemikirannya yang cerdas tidak mudah
menyerah, dalam setiap langkah mahasiswa akan di dasari dengan ketutlusan
dan keikhlasan dalam melakukan aktifitasnya.

Dewasa ini berperan harapan itu mengalami beragam tantangan,


khususnya berkaitan dengan perubahan cara berfikir mahasiswa yang
berbeda bila dibandingkan ketika masih di tingkat sekolah menengah atas.
Dalam kondisi transisi pola pikir ini, mahasiswa mudah di susupi ideologi
radikal/ekstremisme. Radikalisme yang dimaksud dalam kajian ini adalah
gerakan-gerakan keagamaan yang bercita cita ingin melakukan perubahan
besar dalam politik kenegaraaan dengan cara-cara kekerasan yang ingin

2
mengubah bentuk negara republik indonesia menjadi negara islam. Oleh
kelompok tertentu dengan ragam bentuknya, dengan pendekatan personal
yang berisi ajakan penegakan khilafah islamiyah dan menolak sistem
demokrasi yang dipandang sesat1.

Berbagai tindak kekerasan yang sering terjadi akibat fanatisme


kelompok, golongan hingga mengatasnamakan agama pemahaman seperti
ini merupakan sesuatu yang paradoks karena sesungguhnya agama
mengajarkan nilai-nilai luhur tetapi sering kita menyaksikan kelompok-
kelompok tertentu melakukan kerusakan dengan mengatasnamakan agama.
Isu berkembangnya radikalisme yang mengkhawatirkan sudah meluas
hingga masuk ke dunia kampus sehingga menteri riset teknologi dan
pendidikan tinggi Mohammda Nasir pada beberapa bulan yang lalu
mengumpulkan pimpinan 3000 perguruan tinggi negeri dan mendeklarasikan
melawan paham radikal di perguruan tinggi2.

B. Rumusan Masalah
1. Cdcdv
2. Vfsbgene
3. bfba

1
7 Basri dan Nawang Retno Dwiningrum,” Potensi Radikalisme di Perguruan Tinggi (Studi Kasus di
Poleteknik Negeri Balikpapan), Jurnal JSHP Vol.3 No. 01, 2019, Hal 85.
2
Ibid hal 86

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Radikalisme

Istilah radikalisme berasal dari kata radical yang merupakan kata sifat
dalam bahasa Inggris. Kata itu sendiri berasal dari bahasa Latin radix yang berarti
akar, sehingga radical pada dasarnya berarti mengakar atau hingga ke akar-
akarnya.

Oleh karenanya filsafat dipahami sebagai berpikir radikal, berpikir sampai


ke akar-akarnya. Pada akhir abad ke-18 kata radical di Eropa digunakan di dunia
politik yang dilabelkan pada mereka yang memperpegangi atau mendukung
perombakan politik secara ekstrem dan menyeluruh.

Kaum radikal awal ini memperjuangkan kebebasan bagi semua rakyat dan
mereformasi sistem penentuan pemegang kedaulatan di Inggris yang kemudian
meluas dengan pecahnya Revolusi Prancis3. Mereka menuntut dileburnya kerajaan
dan digantikan dengan republik yang merdeka.

Kaum radikal di masa awal ini juga menuntut dihilangkannya hak-hak


istimewa, menuntut pemerataan dan kebebasan pers.

Pada akhir abad ke-19 istilah radical (radicalism) di Eropa dipahami


sebagai ideologi liberal dan progresif. Pada masa berikutnya radikal tidak saja
digunakan bagi mereka yang menginginkan dan mengupayakan perubahan yang
total, tuntas, dan menyeluruh, akan tetapi bagi mereka upaya perubahan tersebut
harus secara revolusioner, menyeluruh bukan aspectual. Perubahan itu bisa terjadi
secara damai berdasarkan kesepakatan, namun yang lebih sering terjadi adalah
dengan paksaan atau keterpaksaan dan bahkan kekerasan.

3
Syahrin Harahap, Upaya Kolektif Mencegah Radikalisme dan Terorisme, ( Depok: SIRAJA, 2017), hlm 4.

4
Meskipun radikalisme lebih awal tumbuh di dunia politik, akan tetapi
masa belakangan terjadi dalam bidang-bidang lain, terutama dalam bidang sosial
keagamaan.

Pada bidang yang disebut terakhir radikal atau radikalisme dilabelkan bagi
mereka yang berpegang teguh pada keyakinan dan ideologi yang dianutnya secara
kaku sehingga konsekuensinya semua yang lain dan tidak sama dengannya adalah
salah dan keliru.

Setiap kekeliruan dan kesalahan (yang dalam Islam diistilahkan dengan


mungkar) harus diluruskan dan diperbaiki. Hal ini sering dihubungkan dengan
hadis Rasulullah Saw: “Siapa yang melihat kemungkaran hendaklah dia
mengubahnya dengan tangan (power) nya. Apabila dia tidak sanggup, maka
dengan lisannya. Dan apabila dia tidak sanggup, maka dengan hatinya. Dan yang
demikian itu adalah selemah-lemah iman. (HR. Muslim).

Meskipun cara memperbaiki kesalahan/kemungkaran dapat dilakukan


dengan cara damai, karena pemahamannya yang sering kaku dan tekstual terhadap
teks-teks agama, maka jalan yang ditempuh sering kali bersifat kekerasan.

Dengan kondisi yang demikian, maka dalam konteks islam, misalnya,


radikalisme disebut sebagai ektremisme (tatharrufiyyah).

Lebih jauh keinginan untuk meluruskan dan memperbaiki kesalahan serta


kemungkaran ditempuh dengan cara-cara kekerasan, dan bila ada pihak yang
“membandel” tidak mau diperbaiki dan diluruskan, bahkan mengancam
kepentingan, maka dianggap halal darahnya untuk dibunuh dengan cara yang
menimbulkan ketakutan pada yang lain4.

B. Faktor Penyebab Seseorang Terlibat Radikalisme

4
Ibid, hlm 5

5
Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia terdiri dari dua unsur: Unsur ruh
(ruhani) dan jasad (jasmani). Unsur ruh memancarkan kebaikan, kesalehan, dan
kedamaian. Akan tetapi, unsur jasad (jasadiyah) menyembulkan, selain sebagai
fasilitas berbuat baik, juga ketidakbaikan, emosi dan kecenderungan pada
kekerasan.

Sejumlah ahli telah menganalisis apa yang menjadi faktor penyebab


terjadinya radikalisme. Abdullah Saeed melihat bahwa berbgai faktor telah
memunculkan radikalisme dan fundamentalisme. Pertama, respons terhadap
kolonialisme Barat terhadap wilayah-wilayah Islam. Kedua, pembatasan dan
penguasaan sumber-sumber ekonomi negara-negara Muslim, pembiaran negara-
negara Muslim agar tetap lemah, dan pencegahan kekuatan Muslim untuk bangkit
melawan hegemoni barat. Ketiga, politik double standar yang diterapkan oleh
Barat dan pembatasan dakwah Islam. Keempat, perasaan ketidakberdayaan dalam
menghadapi Barat yang power full, yang hampir putus asa untuk melawannya
dengan cara-cara biasa.

Dari berbagai analisis dan penelitian serta dan pengamatan terhadap


radikalisme dapat dikatakan bahwa secara garis besar ada dua faktor penyebab
seseorang terlibat dalam radikalisme. Pertama, faktor internal (faktor dalam),
yaitu kecenderungan destruktif yang ada pada diri manusia dalam drama kosmis
penciptaannya, manusia diklaim malaikat sebagai bersifat destruktif, sebagaimana
tergambar dalam ayat Al-Qur’an berikut:

?‫ض? َخ? لِ? ي?فَ? ةً? ۖ? قَ? ا?لُ? و?ا? أَ? تَ? ْ?ج? َع? ُل‬
ِ ?‫ئِ? َك? ِة? إِ? نِّ? ي? َج? ا? ِ?ع? ٌل? فِ? ي? ا?أْل َ? ْ?ر‬ ‫ك? لِ? ْل? َم? اَل‬
َ ?ُّ?‫َ?و? إِ? ْذ? قَ? ا? َل? َ?ر? ب‬
?‫ك? ۖ? قَ? ا? َ?ل? إِ? نِّ? ي‬ ?َ ?َ‫س? ل‬ ?ُ ?ِّ?‫ك? َ?و? نُ? قَ? د‬
َ ?‫ك? ا?ل?د?ِّ? َم? ا? َء? َو? نَ? ْ?ح? ُ?ن? نُ? َس? ب?ِّ? ُح? بِ? َح? ْم? ِد‬
ُ ?ِ‫َو? يَ? ْس? ف‬ ?‫فِ? ي?هَ? ا? َم? ْ?ن? يُ? ْف? ِس? ُد? فِ? ي?هَ? ا‬
?‫أَ? ْع? لَ? ُم? َم? ا? اَل تَ? ْع? لَ? ُم? و? َن‬

“ Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:” Sesungguhnya Aku


hendak menjadikan khalifah di muka bumi.” Mereka berkata:” Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu (ya Allah) orang yang akan membuat

6
kerusakan padanya dan menumpahkan darah. Padahal Kami senantiasa bertasbih
dengan memuji dan menyucikan-Mu?” Allah berfirman:” Sesungguhnya aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS.Al-Baqarah [2]:30)5.

Akan tetapi, faktor dalam ini tidaklah terwujud dalam tindakan manusia
bila tidak diberi peluang oleh faktor luar.

Faktor kedua adalah faktor eksternal (faktor luar) dari manusia yang
sangat menjemuk (kompleks) sifatnya. Di antaranya, pertama, himpitan sosial
politik, ketidakadilan, dan disparitas (kesenjangan) kesejahteraan.

Problem sosial yang menjemuk (kompleks) berupa ketidakadilan, baik


regional dan nasional maupun global yang sering kali menyebabkan kemiskinan
dan penderitaan hidup, serta disparitas (kesenjangan) kesejahteraan menimbukan
emosi sebagian warga untuk kemudian melakukan kekerasan dan bahkan
pembunuhan, baik personal maupun kelompok, terorganisasi maupun sporadic.

Inilah yang membuat banyak anak muda tertarik menjadi jihadis (pasukan
jihad) ke daerah-daerah konflik karena iming-iming imbalan. Kedua, emosi dan
soladiritas keagamaan. Persaudaraan yang diajarkan agama sering dipahami
secara rigid (kaku) dan literalis (tekstual) sehingga kekacauan dan kekerasan di
daerah tertentu dapat di balas di daerah lain atau penduduk daerah lain
mendatangi daerah yang bergejolak dan melakukan tindakan perlawanan atau
pembalasan.

Ketiga, faktor kultural, menolak sukalarisme. Hal ini dapat dilihat dalam
perkembangannya penolakan dan bahkan kebencian terhadap kultur sukalarisme,
di wilayah-wilayah yang penduduknya menganut kuat keyakinan dan budaya
mengambil tindakan yang sering kali keras terhadapnya.

5
Ibid, hlm 13

7
Keempat, radikalisme juga dapat tumbuh diakibatkan pemahaman yang
tekstualis (harfiah dan secara kaku) dan rigid (kaku) terhadap teks-teks suci6.

Memang terdapat teks-teks suci yang secara harfiah dapat dipahami


secara keras dan melakukan tindakan tegas tanpa kompromi terhadapnya, namun
teks tersebut harus dipahami secara mendalam dan komprehensif agar pesan lain
dari agama tersebut semisal pesan kemanusiaan tidak diabaikan.

Kelima, kebijakan pemerintah yang tidak adil dalam berbagai hal di


berbagai tempat dan wilayah yang menimbulkan kesenjangan, dan kesenjangan
ini sering kali menimbulkan kecemburuan serta menyulut munculnya radikalisme.

Keenam, faktor ideologi anti-Wisternis dan liberalism, yakni ketika


sukaralisme dan liberalisme memengaruhi masyarakat, maka sering kali muncul
reaksi berupa radikalisme dan bahkan terorisme terhadapnya.

Ketujuh, tidak adanya daya banding paham dan kayakinannya terhadap


paham dan keyakinan orang lain. Hal ini terjadi dalay bentuk sikap tertutup
(fermee) dan eksklusif, baik dalam berfikir maupun dalam mengaplikasikan ajaran
agama dalam kehidupannya.

Kedelapan, radikalisme dan terorisme sering menggunakan istilah-istilah


yang berhimpit dengan istilah-istilah agama. Hal ini akan cepat mendapat simpati
dari penganut agama, terutama yang masih dangkal pemahaman dan sedikitnya
daya banding terhadap paham lain.

Berhimpitnya istilah-istilah yang digunakan dalam radikalisme dengan


istilah yang dikenal umat Islam misalnya, terlihat pada istilah jihad. Sebab
perjuangan mereka dalam melawan kemungkaran dan musuh-musuh agama
dengan caranya sendiri diyakini sebagai jihad.

6
Ibid, hlm 15

8
Kesembilan, pengaruh transradikalisme, sebab sering kali seseorang
terlibat dalam radikalisme akibat dipengaruhi oleh pihak luar, baik yang langsung
mengikuti rekrutment atau mengikuti rekrutment melalui internet dan media
sosial, karena kaum radikalis sangat piawai dalam menggunakan media digital.

Kesepuluh, seseorang juga tertarik menjadi radikalis karena kekaguman


mereka terhadap keberhasilan kesatuan politik yang bersifat internasional di masa
lalu7.

C. Kerentanan Paham Radikalisme di Kalangan Mahasiswa

Globalisasi masuk ke dalam masyarakat kita tanpa kita undang, dan


membawa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat termasuk kampus.
Komunitas yang paling rentan adalah mahasiswa/remaja yang baru mengalami
transisi. Pengaruh ini sangat jelas kalau kita lihat dari cara berpikir mereka
tentang kampus, kegiatan kampus dan aktifitas-aktifitas akademik lainnya dan
kadang mereka mengalami pergeseran identitas. Apalagi masa mahasiswa sangat
rentan dengan kondisi “moral panic” (kepanikan moral), sehingga menjadikan
rohani islam menjadi kegiatan alternatif dalam kehidupan remajanya.8

7
Ibid, hlm 17
8
Udik Jatmiko, Pritantina Yuni Lestari, UPAYA PENCEGAHAN PAHAM RADIKALISME DI KALANGAN
MAHASISWA MELALUI PEMANTAPAN NILAI KEAGAMAAN DALAM KONSEP BELA NEGARA

9
Dalam koridor agama, mahasiwa yang tidak berlatarbelakang pesantren
tentu akan memiliki kecenderungan berbeda dalam memahami agama dengan
mahasiswa yang memiliki latar belakang pesantren. Sejauh pengamatan awal
peneliti mahasiswa dengan latarbelakang pesantren memiliki kecenderungan
memahami agama dengan lebih inklusif dan menjalani agama secara lebih
longgar namun masih dalam koridor nilai-nilai syari‟at Islam. Sedangkan
mahasiswa berlatarbelakang non pesantren memiliki dua model kecenderungan
yang berbeda, memahami agama secara ekslusif dan memahami agama sebagai
bagian lain dari nilai-nilai duniawi. Kecenderungan eksklusif melahirkan aktifis
Islam yang tekstualis dan militan, sedangkan kecenderungan memahami agama
sebagai bagian lain banyak menghasilkan pemikiran mahasiswa yang cenderung
mengesampingkan aspek religiusitas dalam setiap aktifitas akademiknya. Hal
inilah yang menjadi fokus perhatian bahwa nilai-nilai keagamaan dalam kampus
harus terus diselaraskan dengan bela Negara demi melindungi Negara kesatuan
Republik Indonesia dari aspek dan ancaman apapun terlebih dikalanagan para
peserta didik (mahasiswa).9
Menilik dari komposisi demografi yang ada di Kabupaten Banyumas,
kalangan anak muda yang merupakan kelompok usia paling rentan terhadap
bahaya radikalisme, memiliki proporsi yang cukup besar. Kategorisasi siapa
yang dapat disebut sebagai pemuda termuat dalam UU No. 40 tahun 2009
tentang Kepemudaan. Meskipun dalam UU tersebut disebutkan bahwa pemuda
adalah mereka yang berusia 16-30 tahun namun hingga saat ini masih jamak
organisasi kepemudaan dipimpin oleh mereka yang berusia jauh di atas 30
tahun, bahkan di atas 40 tahun. Salah satu contoh ekstrem adalah
organisasi Pemuda Pancasila hingga hari ini dipimpin oleh Japto
Soerjosoemarno, yang kini umurnya telah mencapai 60 tahun. Mendasarkan
atas asusmsi batas usia kategorisasi pemuda berdasarkan UU No.40 tahun
2009 tersebut jumlah penduduk Banyumas yang tergolong usia muda adalah
sebesar 474.317 orang berdasarkan atas data Badan Pusat Statistik
9
Ibid Hlm. 5

10
Kabupaten Banyumas pada tahun 2014. Jika penduduk Kabupaten
Banyumas adalah sebesar 1.620.918, artinya jumlah penduduk yang
tergolong kalangan anak muda menduduki 29,26% atau sepertiga dari total
penduduk Kabupaten Banyumas. Jumlah ini belum termasuk kalangan anak
muda yang menjadi pendatang karena bersekolah atau bekerja di wilayah
Kabupaten Banyumas. Tercatat ada 93 SMU/SMK dan 27 Perguruan Tinggi
yang siswa atau mahasiswanya tidak hanya berasal dari Kabupaten Banyumas
saja. Hal ini berarti Kabupaten Banyumas memiliki potensi kalangan anak muda
yang besar. 10
Kalangan anak muda yang sedang mengalami masa trasisi krisis
identitas menyebabkan mereka memiliki kerentanan yang tinggi terhadap
pengaruh dan ajakan radikalisme atas nama agama. Pada masa transisi ini
terjadi cognitive opening (pembukaan kognitif), sebuah proses mikro-
sosiologis yang mendekatkan mereka pada penerimaan terhadap gagasan
baru yang lebih radikal. Hal ini dapat dibuktikan dengan data statistik yang
menunjukkan pelaku teror dan bom bunuh diri maupun mereka yang berjihad
ke Suriah didominasi oleh kalangan anak muda.
Problem psikologis generasi muda ini ditangkap dengan baik oleh
kelompok teroris yang mengincar mereka yang memiliki energi gejolak masa
muda yang berlebih, selalu merasa tidak puas, mudah marah dan frustasi baik
terhadap kondisi sosial maupun pemerintahan. Mereka juga telah menyediakan
apa yang mereka butuhkan terkait ajaran pembenaran, solusi dan strategi meraih
perubahan, dan rasa kepemilikan. Kelompok teroris juga menyediakan
lingkungan, fasilitas dan perlengkapan bagi remaja yang menginginkan
kegagahan dan melancarkan agenda kekerasannya.
Menjadi radikal nampaknya menjadi sebuah trend baru di kalangan
anak muda karena berani memiliki pemikiran radikal dan terlibat dalam
radikal bahkan terorisme seperti halnya mengangkat senjata, perang dan
melakukan pengeboman dianggap sebagai sebuah gaya yang berani, keren dan
10
Rindha Widyaningsih, Kerentanan Radialisme Agama di Kalangan Mahasiswa, 2017/01/18

11
cool, serta menunjukkan kegagahan. Narasi-narasi semacam inilah yang
digunakan oleh kelompok teroris untuk merekrut anggota baru dan disebarkan
secara masif melalui media sosial yang dapat diakses kapan saja dan dimana
saja.
Kalangan anak muda yang kurang mendapat perhatian dari keluarga
dan lingkungan, perasaan diabaikan dan kurang kasih sayang akan smakin
meningkatkan pretensi bagi kerentanan terhadap paham radikalisme. Dalam hal
ini kita bisa melihat kasus Ibnu Dar di Banyumas, yang terpapar paham
radikalisme melalui internet dan media sosial dan buku-buku yang dibcanya
dan kemudian melakukan penyerangan terhadap Polisi sebagai wujud
jihadnya ternyata adalah seorang anak yang kurang mendapat perhatian dan
kasih sayang dari keluarganya.
Rentannya kalangan anak muda terhadap radikalisme di Kabupaten
Banyumas juga terlihat bahwa para pelaku yang terlibat dalam gerakan
radikalisme, narapida kasus radikalisme dan terorisme, serta pendukung
gerakan radikalisme termasuk kategori pemuda. Sebagaimana modus
gerakan radikalisme di tempat lain, paham-paham radikalisme
disebarluaskan melalui forum-forum keagamaan, baik di lingkungan sosial
maupun lingkungan pendidikan, yang artinya pola gerakan yang dilakukan
cukup terbuka, dan tentu saja organisasi-organisasi eksklusif yang sifatnya
underground dan tertutup.
Persebaran paham radikal di kalangan anak muda juga cukup marak
terjadi di lingkungan sekolah dan kampus. Sekolah Menengah Atas dan
Perguruan Tinggi yang ada di Kabupaten Banyumas menjadi sangat rawan
bagi persebaran paham radikal yang menyusup secara halus melalui
kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler agama. Mushola dan Masjid di lingkungan
sekolah dan kampus seringkali dijadikan sebagai sarana dan tempat bagi
dilakukannya kajian-kajian dan pengajian yang pelan-pelan digiring ke arah
radikal. Misalnya Hizbut Tahrir Indonesia memiliki banyak pendukung yang
berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa di Kabupaten Banyumas serta

12
secara rutin melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan dan bahkan memberikan
sponsor bagi kegiatan-kegiatan keagamaan sehingga mendapatkan simpati dari
kalangan anak muda. 11
Lingkungan sekolah dan kampus merupakan sasaran empuk bagi
kelompok-kelompok radikal melebarkan sayap ideologinya dan mendapatkan
dukungan dari kalangan anak muda yang terpelajar. Penting untuk diingat
adalah, pelaku-pelaku radikalisme dan terorisme sebagian besar adalah orang
cerdas dan memiliki latar belakang catatan akademis yang sangat baik,
misalnya Dr.Azhari, Imam Samudra, Santoso, Daengkoro,dll. Kelompok-
kelompok radikal lebih suka menyasar kalangan anak muda terpelajar untuk
dijadikan sebagai garda depan dalam melancarkan aksi-aksinya. Menyasar
kalangan anak muda terpelajar merupakan upaya yang sangat strategis bagi
keberlangsungan organisasi radikal di masa mendatang, dan inflitrasi melalui
kegiatan-kegiatan keagamaan di sekolah dan kampus dinilai sebagai hal yang
sangat efektif dan efisien.
Pengawasan dan pembinaan dari kepolisian, stakeholder, maupun
dari pihak sekolah dan kampus sendiri telah dilakukan, misalnya
pengawasan yang ketat dari pembina, dan dengan mewajibkan Unit
Kerokhanian pada sekolah dan kampus untuk melaporkan secara detail
ketika akan ada kegiatan keagamaan yang dilakukan di lingkungan sekolah
dan kampus untuk mencegah adanya upaya infiltrasi ideologi dan paham
yang bertentangan dengan ideologi negara.
Pemaparan Badan Nasional Penanggulangan Teroris menyatakan ada
tiga institusi sosial yang sangat penting untuk memerankan diri dalam
melindungi generasi muda. Pertama Pendidikan, melalui peran lembaga
pendidikan, guru dan kurikulum dalam memperkuat wawasan kebangsaan,
sikap moderat dan toleran pada generasi muda. Kedua, Keluarga, melalui peran
orang tua dalam menanamkan cinta dan kasih sayang kepada generasi muda
dan menjadikan keluarga sebagai unit konsultasi dan diskusi. Ketiga,
11
Ibid.

13
komunitas: melalui peran tokoh masyarakat di lingkungan masyarakat dalam
menciptakan ruang kondusif bagi terciptanya budaya perdamaian di kalangan
generasi muda.

D. Upaya pengembagan Nilai-nilai Keagamaan dan Bela Negara

Kondisi lingkungan kampus dan pengetahuan keagamaan secara tidak


langsung meningkatkan frekuensi perilaku keberagamaan melalui sikap
keberagamaan. Seiring dengan bertambahnya usia keimanan maka akan menuju
pada realitas. Pada usia mahasiswa yang masuk dalam kategori dewasa awal,
kemampuan berpikir secara abstrak telah berkembang dengan baik sehingga
mampu menerima, memahami ajaran agama yang berhubungan dengan masalah
gaib, abstrak, dan rohaniah. Pengetahuan keagamaan yang dimiliki oleh
mahasiswa telah sampai pada pemikiran yang realistis, menumbuhkan kesadaran
beragama sebagai akibat dari berkembangnya pola-pola pikir keagamannya
merangsang dan mendorong untuk beribadah atau berperilaku sesuai dengan
pengetahuan keagamaan yang dimilikinya.12

Dunia pendidikan termasuk Perguruan Tinggi, selain terbukti menjadi


„ruang nyaman‟ tumbuhnya benih ideologi radikal, termasuk gerakan frontal
keagamaan yang mencerminkan penistaan terhadap ideologi pancasila, ia juga
mampu menjadi ruang penempaan diri yang sangat potensial bagi lahirnya
pribadi-pribadi unggul yang bermoral, beradab, cinta damai dan religius berbasis
nilai kemanusiaan yang holistik, komprehensif. Oleh sebab itu penting kita
lakukan tindakan-tindakan dalam civitas akademika secara menyeluruh
berkaitan dengan :
Pertama, pendalaman dan pemahaman aspek keagamaan tentang
perdamaian, kerukunan dan kemanusiaan, yang tentu saja bukan sekedar
berbasis intelektualitas-kognitif, melainkan lebih menekankan aspek
“penghayatan” (afektif) dan “pengamalan” (psikomotorik).

12
Loc.cit Hlm. 6

14
Kedua, mengutamakan moralitas (berbudi pekerti) sebagai praktik
(amal), bukan sekedar intelektualitas, mengingat secara substansi, tidak ada
satupun ajaran agama yang mengesahkan “kekerasan” dalam menyelesaikan
konflik. Pemahaman agama hanya dapat dipahami dalam kacamata orang-orang
yang beriman berdasarkan praktik iman yang benar. Pemahamannya adalah
kesakralan agama mengontrol dan membentuk aspek yang profan. Bagaimana
yang sakral ini dapat membentuk aspek yang profan, tentulah ia harus juga
berdimensi imanen di samping transenden. Agama yang benar adalah agama
yang humanis, progresif, dan responsif dalam kehidupan pengikutnya. Ia tidak
hanya menjadi sesuatu yang bersifat historis dan romantis, namun juga
menantang dunia ke depan dengan penjelasan-penjelasan yang tidak gagap.
Ketiga, indikator keberhasilan pendidikan berbasis nilai perdamaian
dalam konteks ikhtiar mengeliminasi konflik sosial-keagamaan sesungguhnya
bermula dari tumbuhnya kesediaan untuk menghargai nilai-nilai multikultural,
nilai-nilai keagamaan yang terus ditingkatkan serta nilai-nilai perilaku
mahasiswa di tingkatan perguruan Tinggi (Nurrudin, 2013).13
Selanjutnya, langkah solutif berikutnya adalah menyangkut bagaimana
agama (Islam) dikomunikasikan dan diejawantahkan dikalangan mahasiswa.
Dalam hal ini dibutuhkan suatu reorientasi terhadap pola-pola keberagamaan
dalam menanamkan sikap dan karakter dalam diri mahasiswa.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

13
Nurudin. 2013. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

15
Daftar Pustaka

16

Anda mungkin juga menyukai