Anda di halaman 1dari 11

UPAYA PENANGKALAN GERAKAN RADIKALISME DI LINGKUNGAN

PERGURUAN TINGGI
(SEBUAH KAJIAN LITERATUR UNTUK MENGIMPLEMENTASIKAN
PENGUATAN NILAI KARAKTER MAHASISWA DI PERGURUAN TINGGI)

Electra Septarani1, Ace Suryadi2


Program Studi Pendidikan Umum dan Karakter
Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
(electra.sept1990@gmail.com)

ABSTRAK
Di era globalisasi ini yang akrab dengan teknologi digital ini gerakan
radikalisme secara perlahan-lahan telah menyusup di lingkungan perguruan
tinggi. Sehingga, kalangan mahasiswa menjadi ‘sasaran empuk’ dalam aksi
gerakan radikalisme yang kian masif. Penyebabnya tak lain karena
mahasiswa merupakan kalangan usia produktif yang dinilai mempunyai
potensi dan mudah untuk ‘diindoktrinasi’ karena masih berada di tahap
pencarian jati dirinya. Metode penelitian ini dilakukan dengan studi
literatur dan kajian pustaka. Upaya penangkalan gerakan radikalisme di
lingkungan perguruan tinggi dilakukan dengan penanaman nilai Moral-
Etika dan Pancasila secara terintegrasi agar meningkatkan wawasan
kebangsaan, memiliki sikap toleransi serta memperkokoh jiwa nasionalisme
serta menjadi acuan untuk implementasi penguatan nilai karakter
mahasiswa.
Kata kunci : radikalisme, mahasiswa, penguatan nilai karakter

ABSTRACT
In this era of globalization which is familiar with digital technology, the
radicalism movement has slowly infiltrated the college. So that, the student
circles become ‘ easy target ’ in the massive radicalism movement. The
cause is the students are in the productive age circles who are tend to have
potential and easy ‘to be indoctrinate’ because they are still in the stage of
searching for their teak. This research method is carried out by literature
studies. The efforts to supervise the radicalism movement in the college are
carried out by planting Moral-Ethics and Pancasila values in an integrated
manner to enhance national insight, have an attitude of tolerance and
strengthen the soul of nationalism and be a reference for the
implementation of strengthening the value of student character.
Keywords: radicalism, students, strengthening character values

A. PENDAHULUAN
Secara historis radikalisme telah ada sejak pasca kemerdekaan dan era pasca
reformasi dimana terbukanya kran demokratisasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya

1
sebuah operasi yang mengatasnamakan agama seperti operasi DI/TII pada tahun
1950-an dibawah bendera Darul Islam (DI) pimpinan Kartosuwiryo dan sekitar tahun
1976, kelompok Komando Jihad melakukan peledakan tempat ibadah. Hidup di era
globalisasi yang dapat menggilas batasan-batasan negara dan kemudian didukung
dengan adanya revolusi teknologi dan digital berdampak pada banyaknya paham
yang berseberangan bisa masuk secara mudah melalui media sosial.
Sehingga, perselisihan antar masyarakat menjadi hal yang lumrah karena
pengaruh paham radikal yang menyeruak dan bisa di akses oleh siapapun.
Munculnya terorisme yang berawal dari paham radikalisme menjadi salah satu
penyebab pecahnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Persebaran paham radikal pun dapat menyusup ke dalam dunia perkuliahan
(perguruan tinggi/kampus), bahkan lingkungan perguruan tinggi dinobatkan sebagai
tempat yang rentan terpapar radikalisme. Jika dibiarkan terus-menerus, dapat
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa (Rasyid dan Rahmi, 2021).
Dalam ranah sosial dan politik, radikalisme merupakan paham yang
menginginkan perubahan, pergantian, dan juga perombakan suatu sistem masyarakat
hingga ke akarnya. Sedangkan dalam ranah keagamaan, radikalisme adalah gerakan
yang berusaha merombak total tatanan sosial dan juga politik yang sudah ada dengan
menggunakan kekerasan.
Kemudian, Hafid (2020) menguraikan bahwa radikalisme merupakan sikap
yang membawa pada tindakan untuk melemahkan serta mengubah tatanan yang
sudah mapan dan menggantinya dengan gagasan atau pemahaman yang baru,
terkadang gerakan perubahan ini disertai dengan tindak kekerasan.
Basri dan Dwiningrum (2019:85) menyatakan bahwa dengan keragaman yang
ada di kampus mahasiswa beserta seluruh civitas akademik memiliki tanggungjawab
menjadi garda terdepan dalam menjaga dan mengawal ideologi serta menjaga
persatuan bangsa. Peran kampus adalah mencetak para penerus bangsa, sehingga
perannya begitu penting dalam kemajuan bangsa Indonesia. Mahasiswa sebagai
bagian dari pemuda Indonesia merupakan aset berharga dari suatu bangsa.
Di era milenial dan setelahnya ini, sangat penting untuk memupuk keragaman
“Bhineka Tunggal Ika” menjadi kekuatan. Dengan keragaman yang ada di Institusi
pendidikan diharapkan mampu mencetak generasi muda (generasi milenial dan
setelahnya) menjadi pemersatu bangsa Indonesia. Karena hanya melalui lembaga

2
pendidikan yang berkualitaslah keberagaman dalam berbangsa dapat ditanam
melalui generasi muda yang berpendidikan.
Semakin banyaknya mahasiswa di berbagai perguruan tinggi menjadi pertanda
bahwa pendidikan tinggi masih dipandang sebagai salah satu lembaga penting untuk
melahirkan pemuda harapan bangsa sesuai dengan bidang disiplin ilmu yang
digelutinya, agar dapat memberikan kontribusi yang positif bagi keberlangsungan
dunia pendidikan di kampusnya masing-masing, sekaligus muncul komitmen dalam
diri mereka untuk terus terlibat dalam perbaikan apapun di negeri ini.
Saat ini mahasiswa menghadapi sejumlah tantangan yang dapat terjadinya
disintegrasi atau dapat mengancam keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh
karena itu sangat penting bagi para generasi muda khususnya kalangan mahasiswa
untuk berperan memberikan solusi yang tepat terhadap masalah yang mengancam
persatuan bangsa Indonesia. Kampus sebagai institusi pendidikan yang mencetak
generasi masa depan bangsa pemersatu Bangsa. Karena hanya melalui lembaga
pendidikan yang berkualitas lah keberagaman dalam berbangsa dapat ditanam
melalui generasi muda yang berpendidikan.
Sumpah pemuda pada tahun 1928, proklamasi 1945, orde baru 1996,
reformasi 1998, semua ini merupakan bukti sejarah kekuatan para pemuda Indonesia,
yaitu mahasiswa sebagai tonggak perubahan kehidupan bangsa. Karena pada
dasarnya peran mahasiswa adalah sebagai agen perubahan (agent of change). Sumber
daya manusia terbesar dalam perubahan berada di tangan mahasiswmaha (pemuda),
karena dari pemikiran-pemikirannya yang cerdas tidak mudah menyerah, dalam
setiap langkah mahasiswa akan dilandasi dengan ketulusan dan keikhlasan dalam
melakukan aktivitasnya.
Di era milenial ini harapan itu mengalami berbagai tantangan, khususnya
berkaitan dengan perubahan cara berpikir mahasiswa yang berbeda jika
dibandingkan dengan ketika masih berada di tingkat Sekolah Menengah Atas. Dalam
kondisi transisi pola pikir ini, mahasiswa mudah disusupi ideologi radikal/
ekstrimisme. Radikalisme yang dimaksud dalam kajian ini adalah gerakan-gerakan
keagamaan yang bercita-cita ingin melakukan perubahan besar dalam politik
kenegaraan dengan cara-cara kekerasan yang ingin mengubah bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia menjadi negara Islam oleh kelompok tertentu dengan
ragam bentuknya, dengan pendekatan secara personal yang berisi ajakan penegakan

3
Khilafah Islamiyah dan juga Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dimana hendak
merombak sistem demokrasi yang dipandang sesat.
Maraknya berbagai tindak kekerasan yang sering terjadi akibat fanatisme
kelompok, golongan hingga mengatasnamakan agama, pemahaman seperti ini
merupakan sebuah paradoks kerena sesungguhnya semua agama mengajarkan nilai-
nilai luhur tetapi kerap kali kita menyaksikan kelompok-kelompok tertentu
melakukan kerusakan dengan mengatasnamakan agama. Isu berkembangnya
radikalisme yang mengkhawatirkan sudah meluas hingga masuk ke dua kampus
sehingga Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir
mengumpulkan 3000 perguruan tinggi negeri dan mendeklarasikan melawan paham
radikal di Perguruan Tinggi. Berdasarkan uraian tersebut penulis ingin mengkaji
secara literatur mengenai radikalisme atau paham radikal di perguruan tinggi secara
umum.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara literatur adanya bahaya potensi
mahasiswa yang memiliki paham radikal, dan hasil penelitian ini dapat dijadikan
acuan maupun kebijakan dalam penguatan nilai karakter mahasiswa di perguruan
tinggi.

B. METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan studi literatur. Nazir (1998 : 112) menyatakan
bahwa studi kepustakaan merupakan langkah yang penting dimana setelah seorang
peneliti menetapkan topik penelitian, langkah selanjutnya adalah melakukan kajian
yang berkaitan dengan teori yang berkaitan dengan topik penelitian. Dalam
pencarian teori, peneliti akan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari
kepustakaan yang berhubungan. Sumber-sumber kepustakaan dapat diperoleh dari:
buku, jurnal, majalah, hasil-hasil penelitian (tesis dan disertasi), dan sumber-
sumber lainnya yang sesuai (internet, koran dll).
Menurut Danial dan Wasriah (2009:80), Studi Literatur adalah merupakan
penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan mengumpulkan sejumlah buku buku,
majalah yang berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian. Sementara menurut J.
Supranto seperti yang dikutip Ruslan dalam bukunya metode Penelitian Public
Relations dan Komunikasi, bahwa studi kepustakaan adalah dilakukan mencari data
atau informasi riset melalui membaca jurnal ilmiah, buku-buku referensi dan bahan
bahan publikasi yang tersedia di perpustakaan (Ruslan, 2008:31).

4
Ciri Penelitian Studi Literatur
Terdapat empat ciri utama sebuah studi literatur. Ciri tersebut akan
mempengaruhi sifat da cara kerja penelitiannya. Ciri-ciri tersebut diantaranya:
1. Berbentuk Teks
Peneliti berhadapan langsung dengan teks atau data angka dan bukan
pengetahuan langsung dari lapangan atau saksi mata berupa kejadian, orang atau
lainnya. Teks memiliki sifat-sifatnya sendiri dan memerlukan pendekatan
tersendiri pula. Kritik teks merupakan metode yang biasa dikembangkan dalam
studi fisiologi, dll. Jadi perpustakaan adalah laborat peneliti kepustakaan dan
karena itu, teknik membaca teks menjadi bagian fundamental dalam penelitian
kepustakaan.
2. Bersifat Siap Pakai
Data pustaka bersifat siap pakai (ready mode), artinya peneliti tidak kemana-
mana kecuali hanya berhadapan langsung dengan bahan sumber yang sudah
tersedia di perpustakaan. Ibarat orang belajar naik sepeda, orang tidak perlu
membaca buku artikel atau buku tentang bagaimana teori naik sepeda, begitu pula
halnya dengan riset pustaka. Satu-satunya cara untuk belajar menggunakan
perpustakaan dengan tepat ialah langsung menggunakannya. Meskipun demikian,
peneliti yang ingin memanfaatkan jasa perpustakaan, tentu masih perlu mengenal
seluk-beluk studi perpustakaan untuk kepentingan penelitian atau pembuatan
makalah.
3. Bersumber dari Tangan Kedua
Data perpustakaan umumnya sumber sekunder, artinya bahwa peneliti
memperoleh bahan dari tangan kedua dan bukan data orisinil dari tangan pertama
di lapangan.
4. Tidak Dibatasi Ruang dan Waktu
Bahwa kondisi data pustaka tidak dibatasi ruang dan waktu. Peneliti
berhadapan dengan info statis atau tetap, artinya kapanpun ia datang dan pergi data
tersebut tidak akan berubah karena ia sudah merupakan data mati yang tersimpan
dalam rekaman tertulis (teks, angka, gambar, rekan tape atau film).
Tujuan Studi Kepustakaan
Peneliti akan melakukan studi kepustakaan, baik sebelum maupun selama dia
melakukan penelitian. Studi kepustakaan memuat uraian sistematis tentang kajian
literatur dan hasil penelitian sebelumnya yang ada hubungannya dengan penelitian

5
yang akan dilakukan dan diusahakan menunjukkan kondisi mutakhir dari bidang
ilmu tersebut. Studi kepustakaan yang dilakukan sebelum melakukan penelitian
bertujuan untuk:
1. Menemukan suatu masalah untuk diteliti.
2. Mencari informasi yang relevan dengan masalah yang diteliti.
3. Mengkaji beberapa teori dasar yang relevan dengan masalah yang akan
diteliti. Untuk membuat uraian teoritik dan empirik yang berkaitan dengan
faktor, indikator, variable dan parameter penelitian yang tercermin di dalam
masalah-masalah yang ingin dipecahkan.
4. Memperdalam pengetahuan peneliti tentang masalah dan bidang yang akan
diteliti.
5. Mengkaji hasil-hasil penelitian terdahulu yang ada kaitannya dengan
penelitian yang akan dilakukan. Artinya hasil penelitian terdahulu mengenai
hal yang akan diteliti dan atau mengenai hal lain yang berkaitan dengan hal
yang akan diteliti.
6. Mendapat informasi tentang aspek-aspek mana dari suatu masalah yang
sudah pernah diteliti untuk menghindari agar tidak meneliti hal yang sama.
Proses Studi Literatur
Bila kita telah memperoleh kepustakaan yang relevan, maka segera untuk
disusun secara teratur untuk dipergunakan dalam penelitian. Menurut Hasan (2002)
studi literatur dilakukan melalui tiga tahap, yakni:
1. Mengetahui jenis pustaka,yang dibutuhkan yaitu:
1. Berdasarkan bentuk pustaka, dibedakan atas sumber tertulis, seperti buku-
buku pengetahuan, surat kabar, majalah. dan sebagainya dan sumber tidak
tertulis, seperti film, slide, manuskrip, relief dan sebagainya.
2. Berdasarkan isi pustaka, dibedakan atas:
 Sumber primer, merupakan sumber bahan yang dikemukakan sendiri oleh
orang/pihak pada waktu terjadinya peristiwa atau mengalami peristiwa itu
sendiri, seperti buku harian, notulen rapat, dan sebagainya.
 Sumber sekunder, merupakan sumber bahan kajian yang dikemukakan oleh
orang atau pihak yang hadir pada saat terjadinya peristiwa/tidak mengalami
langsung peristiwa itu sendiri, seperti buku-buku teks.

6
2. Mengkaji dan mengumpulkan bahan pustaka Pengkajian dan pengumpulan bahan
pustaka biasanya dilakukan dengan menggunakan alat bantu yang disebut kartu
bibliografi atau kartu kutipan.
Pengkajian dan pengumpulan hasil kajian dalam kartu bibliografi minimal harus
mencakup: – Nama variabel atau pokok masalah,
 Nama pengarang atau pencetus ide tentang pokok masalah,
 Nama sumber di mana dimuat penjelasan tentang variabel atau pokok
masalah,
 Tahun yang menunjukkan pada waktu sumber tersebut dibuat atau
diterbitkan
 Nama instansi (lembaga, unit, penerbit dan sebagainya) yang bertanggung
jawab atas penerbitan sumber kajian,
 Nama kota tempat penulisan atau penerbitan sumber kajian.
 Isi penjelasan tentang variabel atau pokok masalah.
3. Menyajikan studi kepustakaan Penyajian studi kepustakaan dapat dilakukan
dengan cara kutipan langsung dan kutipan tidak langsung.

C. PEMBAHASAN
Berikut ini penulis memaparkan kasus radikalisme di lingkungan kampus yang
mana bersumber dari internet, yakni:
1. Khafid Fatoni, mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta yang
terjerat perakit bom panci pada tahun 2016.
2. Gigih Rahmat Dewa, seorang dosen di Politeknik Negeri Batam, Kepulauan
Riau. Ditangkap pada tahun 2016 karena terlibat menjadi penerima dan
penyalur dana untuk kegiatan radikalisme yang bersumber dari Bahrun Naim.
3. Tendi Sumarno, mahasiswa asal Subang, Jawa Barat. Tendi ditembak mati usai
melakukan penusukan kepada anggota kepolisian Bripka Mahrum Frence di
depan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok Jawa Barat pada tahun 2018.
4. Penangkapan tiga terduga teroris berinisial BI, ED dan ZM alumni Universitas
Riau oleh Densus 88 di kawasan Universitas Riau pada hari Sabtu (2/6/2018)
dan sudah sebulan berada di area kampus, tepatnya di homestay di kawasan
gelanggang FISIP Universitas Riau.
5. Mahmudiyah Hibbi Abdurrabi, mahasiswa asal Banjarmasin, Kalimantan
Selatan. Hibbi dihukum enam tahun penjara karena terbukti menghasut orang-

7
orang menjadi teroris melalui media sosial, termasuk pelaku bom bunuh diri di
Polresta Medan pada tahun 2019.
6. Abdul Basith, dosen Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat. Abdul Basith
ditangkap polisi karena menyiapkan dan merakit bahan peledak untuk aksi
teror saat demonstrasi 212 di Jakarta.
7. Krisna Dwi Wardana, alumni Universitas Indonesia (UI). Ditangkap pada
bulan Juni tahun 2021 karena berperan sebagai penyuplai bahan peledak untuk
para pelaku tindak terorisme.
8. Zakiah Aini, mahasiswa Universitas Gunadarma, Depok, Jawa Barat. Zakiah
Aini tewas tertembak saat melakukan penyerangan di Mabes Polri pada akhir
Maret 2021.

Menurut Azra (2003) munculnya kelompok radikal di Indonesia diakibatkan


oleh disamping euforia demokrasi, juga karena dicabutnya undang-undang anti-
subversi oleh Presiden Habibie yang pada gilirannya memberikan ruang yang lebar
bagi kelompok ekstrimis untuk mengekspresikan gagasan dan aktifitas mereka. Abuza
(2007) juga mengatakan bahwa jatuhnya rezim otoriter Soeharto memicu lahirnya
kekuatan civil society secara masif yang pada gilirannya memberikan ruang kepada
kelompok tertentu termasuk di dalamnya kelompok radikal (uncivil) yang
mengekspresikan kepentingannya dengan cara menebarkan kebencian dan intoleransi
dengan menggunakan cara-cara kekerasan (violence). Reformasi melahirkan banyak
gerakan keagamaan termasuk kelompok islam militan (islam radikal) yang
mengkonsolidasikan diri dan menyerukan diberlakukannya syari‟ah islam. Beberapa
organisasi yang termasuk dalam kelompok ini adalah Front Pembela Islam (FPI),
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Laskar Jihad (LJ), Majelis Mujahidin Indonesia
(MMI), dan Jamaah Islamiyah (JI). Anshori (2011) menjelaskan organisasi FPI, HTI,
MMJ, dan LJ muncul seperti jamur untuk mewujudkan cita-citanya. Abuza (2007)
membagi empat kategori dalam kelompok ini. Pertama adalah muslim militan (laskar)
yang melancarkan aksinya dengan kekerasan (violence), akan tetapi hanya dalam
batas tertentu. Mereka ini disebut juga sebagai “reactive jihadists” yang mana
kekerasan digunakan untuk merespon situasi atau kejadian tertentu. Kedua adalah
kelompok militan “Islamis”, yang mana gerakannya tersporadis, cenderung
menggunakan kekerasan, serta pengetahuan dan interpretasi kelompok ini terhadap

8
nilai-nilai islam sangat literal (rudimentary). Ketiga adalah kelompok yang terdiri dari
mahasiswa radikal atau kelompok berbasis kampus (university-based organizations).
Kelompok ini sangat anti terhadap barat yang mana para pengikutnya cenderung
simpatik terhadap penyebab-penyebab yang lebih radikal.
Aspihanto (2017) mengemukakan bahwa upaya untuk mencengah
berkembangnya paham radikal adalah dengan melakukakan tindakan preventif dengan
melibatkan pihak-pihak yang berwenang seperti :
1. Peran pemerintah yaitu dengan adanya kebijakan dalam mengurangi ekstrimisme
dengan adanya undang-undang anti terorisme,
2. Institusi keagamaan dan sekolah agama melalui materi pembelajaran keagamaan
yang mengutamakan gagasan Islam yang rahmatan lil alamin dan seperti yang
disampaikan.
Sedangkan di perguruan tinggi upaya pencegahan paham radikal dikalangan
mahasiswa dengan melakukan upaya-upaya sebagai berikut.
1. Memperkuat penanaman nilai-nilai Pancasila kepada mahasiswa dengan
mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila dan meningkatkan rasa tolenransi antar
umat beragama sehingga mahasiswa tidak terjerumus ke dalam gerakan
radikalisme dan aksi kekerasan seperti terorisme, melalui pengamalan nilai-nilai
Pancasila dan toleransi antar umat beragama diharapkan masyarakat kembali
pada jati diri bangsa Indonesia, masyarakat yang berkeTuhanan,
berperikemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilan.
2. Memperkuat dan membina organisasi kemahasiswaan yang bisa mewadahi
mahasiswa untuk berorganisasi dan menyalurkan minat dan bakatnya, sehingga
mahasiwa tidak mencari organisasi di luar yang mengajarkan pemahaman yang
salah.
3. Dalam pendidikan agama Islam mahasiswa diberi pencerahan tentang konsep
jihad yang benar dan hakiki, sehingga tidak mudah diindoktrinasi oleh suatu
organisasi tentang pemahaman jihad yang melenceng dari ajaran agama.
4. Mengimplementasikan penguatan karakter positif kepada mahasiswa melalui
pendidikan karakter era milenial yang dibina oleh staf pengajar di perguruan
tinggi.

9
D. KESIMPULAN
Berdasarkan studi literatur terkait upaya penangkalan radikalisme di perguruan
tinggi dapat disimpulkan bahwa paham radikal sudah masuk di lingkungan perguruan
tinggi, hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa kasus aksi radikal di kalangan
mahasiswa yang terjadi pada tahun 2016 hingga tahun 2021 yang telah penulis
paparkan di bagian pembahasan. Hal ini menjadi perhatian untuk kita semua selaku
civitas akademika berkewajiban untuk menangkal paham radikalisme, ekstrimisme
dan teorisme.

E. SARAN
Agar penelitian ini menjadi lebih baik dan mendalam, diperlukan penelitian secara
case study dengan melibatkan responden di berbagai perguruan tinggi yang ada di
Indonesia sehingga, dapat mengetahui dengan jelas perkembangan kasus radikalisme
yang ada dilingkungan perguruan tinggi. Dengan demikian, gerakan radikalisme dan
ekstrimisme dapat segera dicegah.

DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. 2003. “Bali and Southeast Asian Islam: debunking the myths”. In
After Bali: The Threat of Terrorism in Southeast Asia, Edited by: Ramakrishna,
Kumar and Tan, Seng. 39–57. Singapore: World Scientific and Institute of
Defence and Strategic Studies.
Aspihanto, Aan dan Muin, F.2017. “Sinergi Terhadap Pencegahan Terorisme”.
Prosiding Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang, Volume 3
No. 1, 2017, 73-90
Basri dan Nawang Retno Dwiningrum. 2019. “Potensi Radikalisme di Perguruan
Tinggi (Studi Kasus di Politeknik Negeri Balikpapan)”, Vol. 3 No. 1, 2019, 84-
91
Danial, Endang dan Nanan Wasriah. 2009. Metode Penulisan Karya Ilmiah.
Bandung:Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan UPI.
Hasan, M. Iqbal. 2002. Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya.
Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.
Nazir. 1998. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia
Ruslan, Rosady. 2008. Manajemen Public Relations & Media. Komunikasi. Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada.

10
Wahyudin, Hafid. 2020. “Geneologi Radikalisme di Indonesia (Melacak Akar Sejarah
Gerakan Radikal)”, Vol 1, No. 1 2020.
https://jurnal.fai.umi.ac.id/index.php/tafaqquh/article/view/37
Zachary, Abuza. 2006. “Political Islam and Violence in Indonesia”.Routledge:London
https://doi.org/10.4324/9780203969250

REFERENSI INTERNET

https://jurnalkampus.ulm.ac.id/2021/08/15/mewaspadai-bahaya-paham-radikal-
berikut-tips-mencegah-paham-radikal-di-lingkungan-kampus/
https://regional.kompas.com/read/2018/06/05/08000071/rektor-universitas-riau--
kami-akui-kecolongan-?page=all
https://palu.tribunnews.com/ucnews/2021/07/28/webinar-fh-untad-polda-sulteng-
ungkap-kasus-dosen-dan-mahasiswa-terlibat-terorisme

11

Anda mungkin juga menyukai