Anda di halaman 1dari 3

Peran Mahasiswa dalam Pencegahan Ajaran Radikalisme

dan Intoleransi di Indonesia

Oleh:

Muhammad Wijdaan ‘Ainul Yaqin

19/442800/PN/16206

Prodi/Fakultas : Proteksi Tanaman/Fakultas Pertanian

Radikalisme merupakan masalah serius pada masa kini, terutama di Indonesia.


Radikalisme oleh BNPT diartikan sebagai suatu sikap yang mendambakan perubahan secara
total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis
lewat kekeraan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem. Radikalisme ini kerap dikaitkan
dengan terorisme. Memang pemikiran dan paham radikalisme ini sering dilakukan dengan
cara meneror kepada pihak lain yang tidak sepemikiran. Radikalisme ini sangat berbahaya
bagi kehidupan bersama, karena dapat memecah belah dan bahkan mengadu domba antara
satu pihak dengan pihak lain akibat dari dampak tindakan radikalisme tersebut. Akhir-akhir
ini tindakan radikalisme sering dikaitkan dengan suatu agama, padahal radikalisme tidak ada
sangkut pautnya dengan agama. Agama sering digunakan untuk melegitimasi paham
radikalisme tersebut sehingga orang yang tidak begitu paham akan mudah terpengaruh akan
paham tersebut. Sejatinya radikalisme merupakan masalah politik dan bukan ajaran suatu
agama. Radikalisme dan terorisme ini dapat memicu kebencian di dalam masyarakat,
sehingga akan menimbulkan sikap intoleran yang jauh dari cerminan Pancasila.

Radikalisme ini merupakan tindakan yang memiliki akar keyakinan , doktrin dan
ideologi yang dapat mempengaruhi kesadaran suatu masyarakat. Masuk dan berkembangnya
radikalisme ini tergantung di lahan mana ia tumbuh. Jika lingkungan dimana ia tumbuh dan
berkembang itu mendukung seperti lahan subur, maka ia akan cepat berkembang. Lahan
subur yang dimaksud adalah masyarakat yang dicemari oleh paham fundamentalisme ekstrim
atau radikalisme keagamaan (Hendropriyono,2009). Paham radikalisme ini muncul di
Indonesia karena tidak kuatnya nilai-nilai Pancasila dalam diri masyarakat. Serta didukung
oleh kondisi ekonomi seperti kemiskinan, ketidakadilan dan rasa kecewa dengan pemerintah.
Faktor lainnya yang mendorong paham radikalisme berkembang adalah faktor kultural, yaitu
pemahaman agama yang dangkal dan penafsiran kitab suci yang sempit dan tidak tepat
sehingga faktor tersebut seringkali menjadikan seseorang terpengaruh oleh paham radikalis
tersebut.

Berbicara mengenai paham ini penyebarannya sudah meluas di berbagai tempat dan
dengan berbagai cara yang dipoles sedemikian rupa sehingga membuat seseorang tertarik
untuk masuk ke dalam radikalisme. Bahkan di lingkungan kampus pun tidak jarang menjadi
tempat penyebaran dan perkembangan radikalisme. Bahkan Menristek menyebut ada sepuluh
Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sudah terpapar radikalisme sejak lama. Para pemuda yang
cenderung punya rasa ingin tahu yang tinggi dapat dimanfaatkan oleh oknum-oknum radikal
untuk mempengaruhinya, hal ini menjadi penyebab paham radikal tersebut masuk ke dalam
diri mahasiswa. Menurut BNPT terdapat ciri yang dapat dikenali dari jaringan radikalisme
ini. 1) intoleran (tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain), 2) fanatik
(selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah), 3) eksklusif (membedakan diri
dari umat Islam umumnya) dan 4) revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara
kekerasan untuk mencapai tujuan).

Mahasiswa atau anak muda mengalami masa transisi krisis identitas berkemungkinan
untuk mengalami apa yang disebut Quintan Wiktorowicz (2005) sebagai cognitive opening
(pembukaan kognitif), sebuah proses mikro-sosiologis yang mendekatkan mereka pada
penerimaan terhadap gagasan baru yang lebih radikal. Alasan-alasan seperti itulah yang
menyebabkan mereka sangat rentan terhadap pengaruh dan ajakan kelompok kekerasan,
radikalisme serta terorisme. Sementara itu, kelompok radikalis menyadari problem psikologis
generasi muda. Kelompok radikalis memang mengincar mereka yang selalu merasa tidak
puas, mudah marah dan frustasi baik terhadap kondisi sosial maupun pemerintahan. Mereka
juga telah menyediakan apa yang mereka butuhkan terkait ajaran pembenaran, solusi dan
strategi meraih perubahan, dan rasa kepemilikan. Kelompok radikalis juga menyediakan
lingkungan, fasilitas dan perlengkapan bagi remaja yang menginginkan kegagahan dan
melancarkan agenda kekerasannya.

Untuk mencegah paham-paham radikal ini masuk ke kalangan mahasiswa diperlukan


penanaman nilai Pancasila dengan pendekatan pikiran bawah sadar agar ideologi Pancasila
ini tertanam dengan baik di setiap diri individu. Tertanamnya nilai-nilai pancasila dengan
baik akan mampu menangkal dan mengfiltrasi ideologi atau paham lain yang tidak sesuai
dengan jati diri bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Mahasiswa harus bisa memilah dan
memilih informasi yang baik, terkait banyaknya ajakan dan keterpengaruhan ajaran radikal
melalui media online maupun offline akhir-akhir ini. Para mahasiswa diharapkan dapat
memperkuat imunitas dan daya tangkal dengan menanamkan jiwa nasionalisme dan
kecintaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan memperkaya wawasan agama.
Mahasiswa dapat mencegah segala tindakan radikalisme dimulai dari tindakan kecil.
Mahasiswa sebagai pemuda intelektual terpelajar harus mampu berpikir secara jernih ,terbuka
dan kritis terhadap fenomena yang terjadi disekitarnya maupun di lingkup negara, sehingga
dapat mencari solusi atas permasalahan bangsa sendiri dan bukan menambah permasalahan
seperti tindakan radikalisme dan intoleran demi kemajuan bangsa Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai