Anda di halaman 1dari 14

1.

Konsep keberagaman islam di indonesia


Konsep Islam tentang Keragaman dalam Keberagaman

Dalam kaitannya dengan agama, Islam merupakan petunjuk bagi manusia menuju jalan yang
lurus, benar dan sesuai dengan tuntunan kitab suci Al Qur’an yang telah diajarkan oleh Nabi
Muhammad SAW. Kalau dikaitkan dengan konteks perubahan zaman sekarang, bagaimana
Islam memandang keberagaman/pluralitas yang ada dinegeri ini, bahkan di dunia.
Sebagaimana yang telah disebutkan berkali-kali oleh Allah SWT didalam Al Qur’an. Islam
sangat menjunjung keberagaman/pluralitas, karena keberagaman/pluralitas merupakan
sunnatullah, yang harus kita junjung tinggi dan kita hormati keberadaannya.

Seperti dalam (Qs Al Hujurat:13), Allah SWT telah menyatakan” Wahai para manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki, dan perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal”.
Dari ayat Al Qur’an tadi, itu menunjukan bahwa Allah sendiri lah yang telah menciptakan
keberagaman, artinya keberagaman didunia ini mutlak adanya.

Dengan adanya keberagaman ini, bukan berarti menganggap kelompok, madzab, ataupun
keberagaman yang lain sejenisnya menganggap kelompoknyalah yang paling benar. Yang
harus kita ketahui disini adalah, keberagaman sudah ada sejak zaman para sahabat, yaitu
ketika Nabi wafat, para sahabat saling mengklaim dirinyalah yang pantas untuk menjadi
pengganti Nabi.

Ajaran islam mengutamakan persaudaraan atau ukhuwwah dalam menyikapi keberagaman,


istilah Ukhuwwah dijelaskan dalam Qs. Al-Hujurat, 49:10,

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara


kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat”

Ketegasan syariah islam memberikan gambaran betapa perhatiannya Islam terhadap


permasalahan keberagaman, dengan mengutamakan persaudaraan, keharmonisann, dan
perdamaian. Beberapa hadist memeberikan perumpaan bahwa sesama muslim diibaratkan
satu tubuh,

“perumpamaan kaum mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi,
seumpama tubuh, jika satu tubuh anggota sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah
tidur atau merasakan demam” (HR.Muslim)

Perumpamaan yang lain diibaratkan bangunan;

“orang mukmin dengan orang mukmin yang lain seperti sebuah bangunan, sebagian
menguatkan sebagian yang lain” (sahahih Muslim no.4684)

Penyebab munculnya perbedaan aliran antara lain;


1) Adanya pergolakan politik dalam negeri,

2) Mengalirnya pemikiraan non-muslim,

3) Akibat proses perubahan kultural dan politik, dari masyarakat tradisional ke modern dan
dari politik regional ke dunia. (Adeng, 2008)

Islam memberikan beberapa prinsip dasar dalam menyikapi dan memahami pruralisme ini.

1) Prinsip keberagamaan yang lapang

Salah satu masaah yang serius dalam menyikapi keberagamaan adalah masalah klaim
kebenaran. Padahal untuk mencapai kepasrahan yang tulus kepada tuhan (makna generik
dari kata islam) diperlukan suatu pemahaman yang sadar dan bukan hanya ikut-ikutan. Oleh
sebab itu sikap kelapangan dalam mencapai kebenaran ini bisa dikatakan sebagai makna
terdalam keislaman itu sendiri. Diceritakan dalam hadist nabi bersabda kepada sahabat
Utsman bin Mazhun “ Dan sesungguhnya sebaik-baik agama disisi Allah adalah semangat
pencarian kebenaran yang lapang (Al Hanifiyah Al Samhah) “.

2) Keadilan yang obyektif

Dalam konteks pruralisme, Keadilan mencakup pandangan maupun tindakan kita terhadap
pemeluk agama lain. Kedangkalan dalam tindakan seringkali karena kita tidak suka dan
menganggap orang lain sebagai bukan bagian dari kelompok kita (outsider) maka kita bisa
berbuat tidak adil terhadap mereka dalam memutuskan hukum, interkasi sosial maupun hal-
hal lain.

Islam mengajarkan bahwa kita harus menegakkan keadilan dalam sikap dan pandangan ini
dengan obyektif terlepas dari rasa suka atau tidak suka (like and dislike). Seperti yang
diterangkan dalam QS. Al-Maidah ayat 8,

“hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi yang adil. Dan janganlah kebencianmu pada suatu
kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena adil itu lebih dekat
kepada taqwa”

3) Menjauhi kekerasan dalam berinteraksi dengan pemeluk agama lain termasuk ketika
melakukan dakwah

“Serahkanlah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan jalan bijaksana dan pelajaran yang
baik dan bantahlahlah mereka dengan lebih baik” QS. An Nahl ayat 12

“Tidak ada paksaan dalam (memeluk) agama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang sesat” QS. Al Baqoroh ayat 256
Dalam berdawah kita harus mengutamakan dialog, kebijaksanaan dan cara-cara
argumentatif lainnya (interfaith dialogue). Tiap agama mempunyai logikanya sendiri dalm
memahami tuhan dan firmannya, kedua bahwa dialog bukanlah dimaksudkan untuk saling
menyerang tetapi adalah upaya untuk mencapai kesepahaman, dan mempertahankan
keyakinan kita

“Katakanlah olehmu (wahai Muhammad) wahai Ahli kitab marilah menuju ketitik pertemuan
antara kami dan kamu” QS. Ali Imran ayat 64

4) Menjadikan keragaman agama tersebut sebagai kompetisi positif dalam kebaikan

“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya yang mereka menghadap kepadanya, maka
berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan” QS. Al Baqarah ayat 148

Ketika ada pemeluk agama lain berbuat amal sosial dengan semisal melakukan advokasi
terhadap masyrakat tertindas seperti kaum buruh, pelecehan seksual dan sebagainya maka
kita tidak boleh begitu mencurigainya sebagai gerakan pemurtadan atau bahkan berusaha
menggagalkannya tetapi hal tersebut haruslah menjadi pemacu bagi kita kaum muslimin
untuk berusaha menjadi lebih baik dari mereka dalam hal amal sosial.

Kalau keempat prinsip ini bisa kita pegang Insya Allah akan tercipta hubungan yang lebih
harrmonis antar umat beragama, hubungan yang dilandasi oleh sikap saling menghargai,
menghormati dan saling membantu dalam kehidupan sosial. Sehingga kehadiran agama
(khususnya islam) tidak lagi menjadi momok bagi kemanusiaan tetapi malah menjadi rahmat
bagi keberadaan tidak hanya manusia tetapi sekaligus alam semsta ini. ( Wallahu A’lam
Bishawab). Manusia Terbaik Adalah Yang Bermanfaat terhadap Yang Lainnya

Agama sebagai Salah Satu Parameter Persatuan dan Kesatuan Bangsa

Adapun Islam dalam menaggapi perbedaan dalam persatuan dan kesatuan bangsa adalah:

Konsep Toleransi dalam Islam (Kebebasan Beragama)


Radikalisme Islam mendorong Barat memelihara isu “:teroris Islam” agar dunia waspada dan
ikut memberantas kelompok ekstrimis Islam. Dan menghapus citra Islam dengan
mengatakan Islam adalah agama yang intoleransi. Islam adalah agama yang sangat toleransi.
Jelas ini tidak pantas jika Islam dituduh agama yang ekstrim dan radikal. Apalagi dengan
mengatakan Al Qur’an dan Nabi Muhammad sebagai inti dari semua teror.

Islam mengakui keberagaman ada, termasuk keberagaman dalam agama. Dalam Islam
seorang muslim dilarang memaksa orang lain untuk meninggalkan agamanya dan masuk
Islam dengan terpaksa, karena Allah telah berfirman:

‫الدين ف إكراه ال‬

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).”(QS. Al Baqarah: 256)


Sejarah telah mengabadikan kepemimpinan Rosulullah saw dan sikap tasamuh beliau dalam
memperlakukan penduduk Madinah yang plural. Seperti yang tertulis dalam “Piagam
Madinah” (shahifah madinah). Diantara isi piagam disebutkan tentang adanya kesepakatan,
bahwa jika ada penyerangan terhadap kota Madinah atau penduduknya, maka semua ahlu
shahifah (yang terlibat dalam Piagam Madinah) wajib mempertahankan dan menolong kota
Madinah dan penduduknya tanpa melihat perbedaan agama dan qabilah

Batasan toleransi dalam perspektif islam


Seperti yang terjadi di masa sahabat, saat seorang munafik yang bernama Musailah Al
Kadzdzab (dan pengikutnya) mengaku bahwa dirinya nabi setelah wafatnya Nabi
Muhammad saw. Melihat hal tersebut para sahabat tidak tinggal diam dan membiarkan
pengikut Musailamah terus menyebarkan ajaran sesatnya. Karena disitu ada mashlahah
untuk menjaga agama (hifdz al din) yang merupakan faktor dharury (primer) dalam
kehidupan umat Islam. Allah telah berfirman dengan tegas dan jelas bahwa Nabi
Muhammad saw adalah penutup para Nabi dan tidak ada Nabi setelah Nabi Muhammad.

‫عليما شء بكل هللا وكان النبيي وخاتم هللا رسول ولكن رجالكم من أحد أبا محمد كان ما‬

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia
adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.”(QS. Al Ahzab: 40)

Toleransi semacam ini jelas tidak dibenarkan dalam agama Islam. Karena seorang yang
mengaku muslim berarti meyakini dan bersakasi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan
Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah dan meyakini bahwa tidak ada nabi setelah Nabi
Muhammad saw.

Al Asas al fikri li tasamuh al muslimin

Yusuf Qordhowi dalam kitabnya fi fiqh al aqliyat al muslimah menyebutkan beberapa faktor
toleransi muslim terhadap non-muslim:

a. Nilai kemanusiaan yang mulia.

‫آدم بن كرمنا ولقد‬

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam.”(QS. Al Isra’: 70)

b. Perbedaan yang dimuka bumi ini adalah sesuai dengan kehendak Allah Sang Maha Pencita
alam semesta dan isinya.

‫مختلفي يزالون وال واحدة أمة الناس لجعل ربك شاء ولو‬
“Jikalau Tuhan-mu mengkehendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi
mereka senantiasa berselisih pendapat.”(QS. Hud: 118)

c. Perbedaan tersebut adalah menjadi pertanggung jawaban antara dia dan Allah di akhirat
nanti.

‫تختلفون فيه كنتم فيما القيامة يوم بينكم يحكم هللا تعملون بما أعلم هللا فقل جادلوك وإن‬

“Dan jika mereka membantah kamu, maka katakanlah, “Allah lebih mengetahui tentang apa
yang kamu kerjakan” Allah akan mengadilindiantara kamu pada hari kiamat tentang apa
yang kamu dahulu selalu berselisih”.(QS. Al Hajj: 68-69)

d. Allah telah memerintahkan untuk berbuat adil dan berakhlak mulia.

‫تعدلوا أال عىل قوم شنآن يجرمنكم وال بالقسط شهداء هلل قوامي كونوا آمنوا الذين أيها يا‬

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.”(QS. Al
Ma’idah: 8)

Implementasi Keragaman dalam Keberagaman

Mencermati berbagai ulasan mengenai keragaman dan keberagaman dalam perspektif islam
dan juga agama sebagai salah satu parameter persatuan dan kesatuan bangsa diatas, maka
langkah konkrit untuk menyikapi itu semua adalah membangun tali silaturrahmi yang
mengedepankan toleransi intern umat islam.

“siapa yang senang diperluas rezekinya dan diperpanjang umurnya maka hendaklah dia
bersilaturrahmi” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan terjalinnya tali silaturrahmi maka banyak peluang kerja sama dalam berbagai aspek
kehidupan dan janii Allah melaui sabda Nabi SAW, akan mengundang rezki material dan
spiritual. Maka dari itu sesama muslim dilarang untuk memutus tali silaturrahmi, jika terjadi
pertikaian harus segera berdamai.

Jalinan silaturrahmi dengan mengedepankan toleransi tidak hanya saat berhubungan


dengan antar umat beragama saja, namun bagaimana sesama muslim mampu hidup damai,
rukun, saling menghormati antar golongan keislaman berbeda mahdzab. Istilah toleransi
maka menghargai setiap pendapat maupun perbedaan hal yang dimiliki oleh seseorang
maupun kelompok.

“hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain
(karena boleh jadi) mereka (yang diolok-olok) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-
olok) dan jangan pula wantita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain karena boleh jadi
wanita-wanita (yang diperolokkan) lebih baik daripada wanita-wanita (yang mengolok-olok0
dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu memanggil dengan gelar-
gelar yang buru. Seburuk-buruk panggilan ialah panggilan yang buruk sesudah iman dan
barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim” Q.S. Al-
Hujurat ayat 11

Ada beberapa hal yang bisa menjadi penyebab rapuhnya tali persatuan dan kesatuan di
kalangan umat antara lain (Sudarto,2014;100):

1) Munculnya sifat kecurigaan/ prasangka buruk yang berlebihan terhadap kelompok lain

2) Munculnya interpretasi yang juga menjadi penyebab adanya kecurigaan tanpa bukti yang
berujung pada konflik

3) Mencari kejelekan-kejelekan orang lain

“hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian
prasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah
sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah seorang di antara kamu memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik padanya. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang”
Q.S. Al-Hujurat ayat 12

Oleh karena itu, untuk mencegah adanya perpecahan dalam persatuan dan kesatuan bangsa
maka kita harus menjunjung tinggi toleransi dan senantiasa menjaga tali silaturrahmi dalam
berbagai aspek kehidupan. Berlomba-lomba berbuat kebaikan untuk mengharapkan ridho-
Nya.
2. Karakteristik insan kamil
Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata: insan dan kamil. Secara harfiah,
Insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil
berarti manusia yang sempurna.

Untuk mengetahui ciri-ciri Insan Kamil dapat ditelusuri pada berbagai pendapat yang
dikemukakan para ulama yang keilmuannya sudah diakui, termasuk di dalamnya aliran-
aliran. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:

1. Berfungsi Akalnya Secara Optimal

Fungsi akal secara optimal dapat dijumpai pada pendapat kaum Mu’tajzilah. Menurutnya
manusia yang akalnya berfunsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan
baik seperti adil, jujur, berakhlak sesuai dengan esensinya dan merasa wajib melakukan hal
semua itu walaupun tidak diperintahkan oleh wahyu. Manusia yang berfungsi akalnya sudah
merasa wajib melakukan perbuatan yang baik. Dan manusia yang demikianlah yang dapat
mendekati tingkat insan kamil. Dengan demikian insan kamil akalnya dapat mengenali
perbuatan yang baik dan perbuatan buruk karena hal itu telah terkandung pada esensi
perbuatan tersebut.

2. Berfungsi Intuisinya

Insan Kamil dapat juga dicirikan dengan berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya. Intuisi
ini dalam pandangan Ibn Sina disebut jiwa manusia (rasional soul). Menurutnya jika yang
berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa manusianya, maka orang itu hampir
menyerupai malaikat dan mendekati kesempurnaan.

3. Mampu Menciptakan Budaya

Sebagai bentuk pengamalan dari berbagai potensi yang terdapat pada dirinya sebagai insan,
manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh potensi
rohaniahnya secara optimal. Menurut Ibn Khaldun manusia adalah makhluk berfikir. Sifat-
sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat kemampuan berfikirnya itu,
manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian terhadap
berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses semacam ini melahirkan
peradaban.

Tetapi dalam kacamata Ibn Khaldun, kelengkapan serta kesempurnaan manusia tidaklah
lahir dengan begitu saja, melainkan melalui suatu proses tertentu. Proses tersebut sekarang
ini dikenal dengan revolusi.

4. Menghiasi Diri Dengan Sifat-Sifat Ketuhanan

Manusai merupakan makhluk yang mempunyai naluri ketuhanan (fitrah). Ia cenderung


kepada hal-hal yang berasal dari Tuhan, dan mengimaninya. Sifat-sifat tersebut membuat ia
menjadi wakil Tuhan di muka bumi. Manusia seabagai khalifah yang demikian itu merupakan
gambaran ideal. Yaitu manusia yang berusaha menentukan nasibnya sendiri, baik sebagai
kelompok masyarakat maupun sebagai individu. Yaitu manusia yang memiliki tanggung
jawab yang besar, karena memiliki daya kehendak yang bebas.

5. Berakhlak Mulia

Insan kamil juga adalah manusia yang berakhlak mulia. Hal ini sejalan dengan pendapat Ali
Syari’ati yang mengatakan bahwa manusia yang sempurna memiliki tiga aspek, yakni aspek
kebenaran, kebajikan dan keindahan. Dengan kata lain ia memiliki pengetahuan, etika dan
seni. Semua ini dapat dicapai dengan kesadaran, kemerdekaan dan kreativitas. Manusia
yang ideal (sempurna) adalah manusia yang memiliki otak yang briliyan sekaligus memiliki
kelembutan hati. Insan Kamil dengan kemampuan otaknya mampu menciptakan peradaban
yang tinggi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga memiliki kedalaman
perasaan terhadap segala sesuatu yang menyebabkan penderitaan, kemiskinan, kebodohan,
dan kelemahan.
6. Berjiwa Seimbang

Menurut Nashr, bahwa manusia modern sekarang ini tidak jauh meleset dari siratan Darwin.
Bahwa hakikat manusia terletak pada aspek kedalamannya, yang bersifat permanen,
immortal yang kini tengah bereksistensi sebagai bagian dari perjalanan hidupnya yang
teramat panjang. Tetapi disayangkan, kebanyakan dari merekan lupa akan immortalitas yang
hakiki tadi. Manusia modern mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar, yang
bersifat ruhiyah, sehingga mereka tidak akan mendapatkan ketentraman batin, yang berarti
tidak hanya keseimbangan diri, terlebih lagi bila tekanannya pada kebutuhan materi kian
meningkat, maka keseimbangan akan semakin rusak.

Kutipan tersebut mengisyaratkan tentang perlunya sikap seimbang dalam kehidupan, yaitu
seimbang antara pemenuhan kebutuhan material dengan spiritual atau ruhiyah. Ini berarti
perlunya ditanamkan jiwa sufistik yang dibarengi dengan pengamalan syari’at Islam,
terutama ibadah, zikir, tafakkur, muhasabbag dan seterusnya.
3. Islam menghadapi tantangan modernisasi
Memahami Islam dan Tantangan Modernisasi
Oleh: Abdurrahman Wahid

Banyak cara dapat digunakan dalam memahami agama Islam melalui sejarahnya yang
panjang, lebih dari empat belas abad lamanya. Kita harus dapat memahaminya dengan
tepat, untuk dapat menghindarkan diri dari kesalahan-kesalahan kesimpulan yang dapat
berakibat sangat berat bagi kaum Muslimin pada umumnya. Ambil sebagai contoh, tragedi
gedung WTC di New York 11 September 2001. Tindak kekerasan yang ditimpakan atas diri
Osama bin Laden, yang belum pernah dibuktikan melalui pengadilan manapun, telah
menimbulkan citra di banyak negara bahwa para teroris saat ini “menguasai” dunia Islam.
Bahkan lebih jauh, banyak orang di sejumlah negara menggangap Islam adalah agama
terorisme, minimal Islam membenarkan penggunaan kekerasan. Ini tentu adalah tuduhan
yang tidak benar, tetapi itu dipercayai banyak orang. Dan kalau yang percaya itu adalah
seorang presiden, seperti Presiden Bush dari sebuah negara adi kuasa, dalam hal ini Amerika
Serikat maka dapat dibayangkan betapa dahsyat akibatnya bagi kaum Muslimin.

Salah satu diantaranya adalah kesulitan bagi kaum Muslimin dari berbagai negara untuk
memasuki Amerika Serikat, apalagi jika orang itu menggunakan nama berbahasa Arab.
Ditambah, kalau orang yang bersangkutan bernama 3 orang Nabi, Muhammad Ismail Daud,
walaupun dipakai seorang keturunan Tionghoa bermata sipit dan beragama Konghucu, jelas
akan ditolak permintaannya untuk memperoleh visa memasuki negara tersebut. Ini belum
lagi hal-hal lain, seperti wakil Perdana Menteri Malaysia, yang harus menanggalkan sepatu di
sebuah lapangan terbang A.S, ketika melewati pemeriksaan security (keamanan). Hingga
hari inipun, lebih setahun setelah terjadinya peristiwa tragis itu, kaum Muslimin masih
menghadapi kesulitan-kesulitan itu.

Penulis sendiri pun mengalami kejadian yang tidak mengenakan. Ketika diwawancarai oleh
seorang penulis Amerika Serikat, penulis menyatakan bahwa ada kerancuan dalam sikap
publik A.S terhadap kaum Muslimin hingga menggangap semua kaum Muslimin adalah
teroris, karena itu harus menerima perlakuan tertentu sebagai teroris. Bukankah ini juga
sebuah terorisme dari negeri itu? Ternyata dalam buku “ Bush on War” dimuat kutipan
sepenggal saja, yaitu ucapan penulis bahwa bangsa Amerika Serikat adalah negara
terorisme. Untunglah CIA (Central Intelegence Agency) di Amerika Serikat, melalui seorang
direkturnya segera melakukan penelitian ulang tentang hal itu dengan bertanya apa
lengkapnya ucapan penulis. Penulis menjawab dengan sejujurnya, ketika digambarkan di
atas. Itupun penulis tidak tahu, apakah keterangan itu dipercaya atau tidak oleh pihak-pihak
yang bersangkutan di negeri Paman Sam.

*****

Untuk mencegah kesalahpahaman tersebut, pengetahuan mereka tentang agama Islam


harus benar-benar mendalam, atau paling tidak kita mempercayai pandangan sejumlah
pakar ke-Islam-an. Salah satu diantaranya, kita harus memahami benar bahwa hidup kaum
Muslimin tidak dapat diterangkan hanya dengan menggunakan ajaran-ajaran formal Islam
saja, namun juga harus digunakan hasil-hasil “kajian kawasan Islam” (Islamic Area Study’s).
Penulis pernah mengajukan kepada Rektor Universitas PBB di Tokyo, perlunya didirikan 6
buah pusat kajian kawasan Islam tersebut. Yaitu Islam di masyarakat Afrika Hitam,
masyarakat Turko-Persia-Afgan, di masyarakat Afrika utara dan jazirah Arab, di masyarakat
Asia Selatan (Bangladesh, Nepal, Pakistan, India, Sri Lanka), masyarakat Asia Tenggara (ada 7
negara) dan minoritas muslim di negara berindustri maju.

Dalam mempelajari berbagai masyarakat muslim itu, kita juga harus mengetahui bahwa
secara umum kaum Muslimin selalu membedakan antara dua buah pendekatan:
pengetahuan tentang capaian masyarakat Islam secara kultural (budaya) dan capaian secara
kelembagaan (institusional). Dari masa ke masa kaum Muslimin memberikan tekanan
berbeda atas kedua pendekatan itu, sesuai dengan kebutuhan di masing-masing kawasan.
Yang ideal, kalau dilakukan pendekatan berimbang atas kedua macam capaian tersebut.
Tekanan pada capaian kultural saja, seperti di lakukan NU sejak lahir, akan menunjukan
betapa berantakannya organisasi tersebut. Tetapi tekanan pada capaian institusional saja, -
seperti yang dilakukan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia)- juga berakibat fatal
dan hanya memenuhi ambisi-ambisi pribadi belaka.

Mencapai keseimbangan antara kedua capaian itu dalam pendekatan yang dilakukan kaum
Muslimin dalam sebuah masyarakat, akan menunjukan hasil optimal secara teoritik.
Walaupun “menggeliatnya” kaum Muslimin di negeri ini dalam beberapa dasawarsa tahun
belakangan ini, sudah membawa hasil tersendiri. Bayangkan jika dalam pendekatan yang
diambil untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi kaum Muslimin dalam berbagai
bidang, ada keseimbangan antara kedua capaian tersebut. Kita sendiri sebenarnya sering kali
menggunakan “temuan-temuan” orang lain yang tidak tepat untuk kita gunakan. Karenanya
kita perlukan pendekatan masalah berdasarkan pengetahuan mendalam atas diri kita
sendiri. Kepemimpinan politik umat harus diarahkan kepada penciptaan kondisi tersebut.,
bukan untuk kepentingan golongan sendiri. Kepentingan golongan atau kelompok memang
harus diperjuangkan, tetapi tidak boleh merusak kepentingan bersama yang lebih besar.
*****

Dari sekian banyak hal yang harus diperhatikan dalam memahami Islam, ada beberapa hal
yang sangat penting. Umpamanya saja perbedaan antara berbagai kawasan kaum muslimin.
Islam di Asia Tenggara, umpamanya, sudah terbiasa dengan adanya Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) atau organisasi Non-Pemerintah (Ornop). Sedangkan di kawasan Timur-
Tengah tidak demikian halnya. Bandingkan ini, di Indonesia ketua Palang Merah Indonesia
(PMI) dipilih langsung oleh masyarakat, sedangkan di Mesir ditunjuk presiden. Hal lain
misalnya, terlihat pada perbedaan di tiap kelompok masyarakat Islam tentang status wanita
dan pembagian warisan. Belum lagi jika kita berbicara mengenai kaum Muslimin dimanapun
berada dalam menghadapi tantangan masyarakat modern.

Aspek lain yang tidak boleh dilupakan adalah perbedaan responsi terhadap perkembangan
zaman, antar masyarakat kawasan yang saling berbeda. Di banyak kawasan, kaum Muslimin
meninggalkan baik secara harfiah maupun dalam sikap hidup mereka, perbudakan yang
semula memang disebutkan dalam kitab suci Al-Qur’an maupun Hadist Nabi Muhammad
S.A.W. Tetapi di beberapa kawasan, kaum Muslimin justru masih mempraktekan
perbudakan. Juga kaum Muslimin sudah menggunakan berbagai bentuk sangsi dengan
hukum ‘sekuler” atas pelanggaran-pelanggaran, tapi masihada juga yang memberlakukan
hukuman potong tangan untuk pelanggaran-pelanggaran yang sama. Ini berarti terjadi
perbedaan respon terhadap “berbagai tantangan modernisasi” yang dihadapi kaum
muslimin dewasa ini.

Jelas dari uraian diatas, bahwa Islam adalah agama yang berhubungan sangat erat dengan
sejarah. Karenanya, jika kita hanya menggunakan versi-versi yang bersifat ajaran formal
belaka, maka kita akan ditinggalkan masyarakat. Kita harus pandai memanfaatkan
pendekatan formal maupun non-formal itu, jika Islam diinginkan maupun menjawab
tantangan-tantangan tersebut. Wilfred Cantwell Smith, dalam salah satu tulisannya,
menunjukkan perbedaan pengertian antara ajaran Islam dan ajaran Kristen. Orang Islam,
menerima Al-Qur’an dan Hadist sebagai dua buah revelasi (wahyu) yang agak berbeda
tingkatannya, sedangkan kaum Kristiani tidak memberlakukan kitab suci mereka sedemikian
mutlak. Sebabnya karena Kitab Suci Injil adalah kumpulan “rekaman” para Rasul atas ucapan
dan tindakan Yesus Kristus. Sedangkan bagi kaum Muslimin kedua sumber itu memang
benar-benar berasal dari Tuhan; satu langsung dari-nya dan satu lagi melalui Nabi
Muhammad SAW. Kita harus sanggup memahami itu semua, hal yang mudah dikatakan,
tetapi sulit dilaksanakan, bukan?

4. Karakteristik islam dalam menghadapi modernisasi

5. Kontribusi islam dalam pengembangan peradaban dunia

Kontribusi Islam Dalam Peradaban Dunia


Mas Poer Tuesday, February 21, 2017 Agama, Sejarah
Ajaran Isalam yang telah tersebar ke berbagaipenjuru dunia selama berabad-abad tentunya
meninggalkan tinta emas dan torehan positif berupa khasanah keilmuan bagi peradaban dunia,
meskipun tidak ada lagi kekuasaan Islam secara mutlak. Hal itu disebabkan oleh ekspansi Islam
ke daerah-daerah tidak bertujuan untuk mengambil harta kekayaan dan rampasan, tetapi untuk
membangun dan mengelola kebudayaan yang ada di daerah tersebut.

Peradaban Islam bisa maju di masa itu, salah satunya berkat kerja keras para ilmuwan dan
cendekiawan. Mereka adalah pelopor lahirnya peradaban dunia yang baru, yang awalnya
mempelajari dan mempertahankan peradaban Yunani Kuno. Tidak hanya itu, tetapi para
ilmuwan muslim juga mengembangkan pola pikir dan kecerdasan otaknya untuk menciptakan
sesuatu yang baru dalam ilmu pengetahuan. Peran dan sumbangsih umat Islam dalam
kemajuan peradaban dunia diakui oleh seorang orientalis Barat yang bernama Gustave Lebon.
Dia mengatakan "orang-orang Arablah yang menyebabkan kita mempunyai peradaban karena
mereka adalah iman kita selama enam abad.

Dikalangan Barat, Islam memegang peran penting sebagai donator kemajuan peradaban
mereka, meskipun sekarang justru baratlah yang menjadi ikon kemajuan peradaban dunia.
Kontribusi Islam tersebut antara lain sebagai berikut.

1. Karya-karya ilmuwan muslim dalam bidang filsafat dan sains yang


dialihbahasakan ke bahasa Barat termasuk Spanyol sehingga penduduk Barat dapat
menambah wawasan pendidikan mereka. Masa ini berlangsung dari abad ke-12 dan ke-
13.

2. Metode dan teori sains melalui penelitian dan eksperimen yang dilakukan
ilmuwan muslim.
3. Kontribusi dalam bidang matematika, seperti sistem notasi dan desimal.

4. Buku-buku terjemahan yang diadopsi oleh Bangsa Barat, misalnya karya Ibnu
Sina tentang kedokteran yang digunakan sebagai materi pokok pendidikan Barat sampai
abad ke-17 M.

5. Berkat kegigihan dan kecerdasannya, para ilmuwan muslim secara tidak


langsung telah memotivasi Barat untuk mengembangkan kebudayaan mereka. Seperti
renaisans dan budaya Romawi Kuno.

6. Universitas-universitas di Eropa yang sekarang ini banyak didirikan merupakan


pengembangan dari lembaga-lembaga pendidikan Islam yang didirikan sebelumnya.

7. Ketika barat masih berkutat dengan kegelapan, umat Islam telah berhasil
melestarikan pemikiran dan kebudayaan Romawi-Persia (Greco Helenistic).
8. Para sarjana dan ilmuwan Barat menuntut ilmu dari lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang kemudian dibawa ke negaranya.

9. Kontribusi umat Islam dalam bidang kesehatan, sanitasi, dan makanan kepada
dunai Barat pada masa itu.

Ketika perdaban Islam dibawa ke Barat oleh orang-orang non-Arab, ilmu-ilmu tersebut masih
dalam satu bingkai dan belum dipisah-pisah. Oleh karena itu, ilmu kalam, filsafat, tasawuf, ilmu
alam, matematika, dan ilmu kedokteran masih belum diklasifikasikan dan masih bercampur. Para
ilmuwan muslim kemudian menggabungkan ilmu-ilmu filsafat dengan ilmu agama, ini berarti ada
perpaduan antara akal dan keimanan. Tidak seperti bangsa Barat yang masih mendikotomikan
ilmu-ilmu akal dengan ilmu agama sehingga tidak ada inovasi-inovasi baru.

Setelah mengadopsi pemikiran-pemikiran para ilmuwan muslim, bangsa Barat mampu


memajukan peradaban mereka dan sampai sekarang merajai peradaban dunia. Kebanyakan
bangsa Barat mengadopsi gaya pendidikan di Timur Tengah terutama dari lembaga-lembaga
pendidikannya sehingga mereka mendirikan universitas dan akademi seperi di dunia Islam.

Bangsa Barat mempunyai kelebihan dalam hal ketekunan dan kekonsistenan mengembangkan
keilmuan, dan itulah yang tidak dimiliki oleh umat Islam saat ini. Dengan demikian, barat
sekarang menjadi kiblat ilmu pengetahuan dan peradaban yang sebenarnya dimotori oleh
keilmuan muslim zaman dahulu. Bagi umat Islam yang ingin mendalami ilmu-ilmu yang ada
sekarang, mereka harus pergi ke kawasan Barat karena di Barat terdapat karya-karya ilmuan
muslim yang terawat dan tersedia di beberapa perpustakaan
6. Konsep takfir(?) dalam keberagaman islam

Kata “takfir” berasal dari kata kerja “kaffara” yang berarti “mengkafirkan atau menyebut orang lain
sebagai kafir.” Sementara kata “takfir” tidak ada dalam al-Qur’an, kaffara muncul dalam makna
positif, seperti memaafkan atau menghapus kesalahan. Kata “kafara” (berbuat kafir) dan berbagai
derivasinya yang ada dalam al-Qur’an sebagai berikut: kafara sebanyak 229 kali, kafir 135,
yakfur/takfur 52, kufr 38, ukfur 2, dan kufira 1. Namun, di tangan kaum Khawarij, takfir menjadi
ideologi politik yang paling mematikan!

Ideologi takfir bukan sejarah masa lalu dan ancamannya sudah berakhir. Tak terhitung pertumpahan
darah dan korban jiwa sebagai akibat dari ideologi takfir tersebut. Menuduh orang atau/dan pihak
lain sebagai kafir terbukti menjadi retorika politik yang sangat ampuh untuk mengintimidasi lawan-
lawan politik. Dan bila kekuatan politik bersenergi dengan ideologi takfir, maka dampak dan
kerusakan yang diakibatkannya sungguh sangat dahsyat.

Di kalangan Muslim Sunni, warisan ideologi Khawarij itu dihidupkan kembali oleh tokoh seperti
Sayyid Qutub dan dilembagakan oleh kelompok seperti Jamaah al-Takfir wa al-Hijrah di Mesir. Qutub
sangat dismisif menyikapi kekufuran politik dan lingkungan di sekitarnya. Dia menganggap umat
Muslim abad ke-20 hidup dalam kejahiliyahan.

Istilah “Jahiliyah modern” memang pertama kali dimunculkan oleh tokoh Muslim Pakistan Abul A’la
Maududi. Tapi, Sayyid Qutublah yang mengembangkan konsep “Jahiliyah modern” untuk
mengkafirkan penguasa Muslim, sistem politik yang dipraktikkan hingga masyarakat Muslim sendiri.

Tentu banyak faktor yang turut berkontribusi pada sikap radikal Qutub dan tokoh-tokoh Ikhwan
Muslimun lainnya. Perlakuan brutal rezim Nasser terhadap kelompok Ikhwan dan penyiksaan tokoh-
tokohnya, termasuk Qutub, dalam tahanan merupakan titik-tolak pengadopsian ideologi takfir. Bagi
Qutub, para penguasa Muslim menerapkan sistem pemerintahan dan hukum Jahiliyah, yang dia
definisikan sebagai sistem dan ketentuan selain hukum Allah.

Dalam pandangan Qutub, satu-satunya solusi yang tersedia bagi masyarakat Muslim adalah
mengganti pemerintahan dan hukum Jahiliyah dan menegakkan darul Islam, di mana hukum syari’ah
diterapkan. Ia bahkan menolak sekat-sekat negara-bangsa (nation states). Baginya, nasionalitas yang
didasarkan pada ras atau kultur, dan bukan pada kesamaan agama, merupakan karakteristik ke-
Jahiliyah-an.

Jamaah al-Takfir wa al-Hijrah melembagakan ideologi takfir ala Qutub. Kelompok mesianik radikal ini
didirikan oleh Ahmad Syukri Mustafa, salah seorang murid Sayyid Qutub. Mustafa mengkritik keras
pimpinan senior Ikhwan seperti Hasan al-Hudaibi, yang dianggapnya terlalu lembek pada tekanan
rezim Jahiliyah. Karena itu, Jamaah al-Takfir wa al-Hijrah dibentuk untuk mendirikan negara Islam
dengan al-Qur’an sebagai konstitusinya.

Sebagian anggota al-Takfir wa al-Hijrah ini mengisolasi diri dan hijrah ke pegunungan atau daerah
pelosok guna membentuk darul Islam, dan sebagai persiapan menggulingkan pemerintahan rezim
Jahiliyah. Pada awal 1970-an mereka dikenal dengan sebutan Ahl al-kahf (para penghuni gua).

Mereka terlibat dalam pencukikan dan pembunuhan tokoh-tokoh Muslim berpengaruh, seperti
Muhammad Husain al-Dzahabi, mantan Menteri Wakaf (Agama). Dzahabi merupakan ulama penting
di al-Azhar yang menulis karya al-Tafsir wa al-Mufassirun yang menjadi buku bacaan wajib
mahasiswa al-Azhar hingga sekarang. Bisa dibayangkan, Dzahabi diculik dan dibunuh dengan
tuduhan penistaan agama dan murtad!

Kita di Indonesia perlu belajar dari sejarah bagaimana ideologi takfir itu telah memorak-porandakan
sendi-sendi kehidupan masyarakat Muslim awal dan juga kontemporer di Mesir. Semakin meluasnya
politik takfir yang dipertunjukkan kelompok-kelompok tertentu, dalam bentuk selebaran dan
pamflet politik di sekitar masjid, sudah sangat mengkhawatirkan. Sungguh menggelikan bahwa
sebagian kaum Muslim di Indonesia berpikir tentang nasib seseorang apakah masuk surga atau
neraka ditentukan oleh pilihan calon gubernur di Pilkada Jakarta.

Yang perlu ditegaskan, penilaian apakah seseorang kafir atau bukan itu semata hak Allah, bukan
urusan manusia. Dari sejarah kita seharusnya belajar bahwa konsep takfir yang diadopsi kelompok-
kelompok radikal tidak terkait soal iman, melainkan problem politik dan legitimasi pemimpin.
Celakanya, kita yang hidup di abad ke-21 di Negara Pancasila mengulang kesalahan masa lalu
menggunakan konsep takfir untuk tujuan politik.

Anda mungkin juga menyukai