Anda di halaman 1dari 3

Mahasiswa dan Rekonstruksi Peradaban di Era Post Truth

Martoni Ira Malik -Ketua Umum Pendidikan Sosiologi

Post-truth muncul dan berkembang ditunjang akses informasi yang masif, di mana


masyarakat dapat memproduksi informasi sendiri dengan berbagai media. Orang dengan
mudah mengambil data apa pun dan membuat kesimpulan sendiri serta tafsir sesuai yang
diinginkan. Media menjadi arena pertaruhan kepentingan pribadi dan kelompok.
Isu politik dan agama adalah komoditas informasi yang laris manis di era post-truth.
Menggunakan senjata disinformasi dengan teknik merekayasa pesan atau gambar agar
membungkam pikiran kritis masyarakat. 
Rekayasa informasi dilakukan dengan masif agar setiap orang bingung untuk menafsirkan.
Ini mengakibatkan kecurigaan dan permusuhan di antara kelompok-kelompok masyarakat.

istilah ”post-truth” atau ”pasca-kebenaran”, pemantiknya adalah dua peristiwa politik yang
pada saat itu cukup menghebohkan dunia Barat, yaitu referendum Brexit di Inggris dan
pemilihan presiden di Amerika Serikat. Brexit maupun pemilihan presiden AS yang
memenangkan Donald Trump itu sama-sama dipenuhi kebohongan.

Realitas sosial manusia berkembang begitu pesat dengan segala dimensinya. Modernisasi
menghela gerakannya dengan amat ligat, hampir menyentuh segala sektor kehidupan. Pada
masa ini, geliat pemikiran yang disokong oleh kemajuan teknologi begitu melesat,
merambah pola pikir jutaan manusia di dunia.

Seorang profesor di Universitas Notre Dame, USA, mengemukakan gagasan intelektualnya


terkait gejolak kontroversi Islam awal. Dari jarak ribuan kilometer, di Indonesia, seseorang
mampu melahirkan reaksi intelektual berupa pembacaan dan pemahaman gagasan tersebut.
Semua berkat teknologi, yang di samping mampu memudahkan manusia menjangkau akses
menuju kebaikan, juga mampu mengantarkan kepada kebatilan.

Termasuk yang mencuat belakangan ini, soal gerakan radikalisasi yang begitu meresahkan.
Islamic State yang kian gencar menebar terornya, maraknya pengeboman, serta
menjamurnya orang kehilangan dengan kedok hendak berjuangan di jalan Tuhan
mencerminkan bahwa masyarakat kita masih rapuh menelan asupan salah satu bias
modernisasi.

Demikian sedikit gambaran bahwa seiring bergulirnya masa, manusia selalu ramai dengan
lalu lalang perubahan dengan segala tetek bengek yang tersemat di dalamnya. Kematangan
bernalar dan keampuhan berpikir amatlah dibutuhkan dalam hal ini. Tanpa kedua hal
tersebut, kita bakal terseret derasnya arus menghanyutkan kita.

Mahasiswa, pemuda yang berkecimpung di dunia pendidikan, ialah sosok yang turut hadir
meramaikan keberlangsungan perubahan ini. Bukan sekadar meramaikan pada tataran
pemerhati saja, lebih jauh, mahasiswa ikut terlibat dalam aksi perubahan ini. Bahkan,
mahasiswalah yang diimpikan bakal memimpin masyarakat menuju idealisme.
Bukan tanpa alasan, mengapa Ir. Soekarno mengatakan dengan lantang bahwa dunia mampu
ia guncang dengan 10 pemuda. Pemuda yang sehat jiwa dan raga biasanya selalu meletup
gairah semangatnya. Ketika mendalami sesuatu, pemuda sering berjuang mati-matian demi
mencapai tujuan, malang melintang menghancurkan lawan.

Kalau dahulu pemuda berjuang memberangus serangan penjajah, sekarang pemuda justru
dihadapkan kepada hal yang lebih serius dari itu. Melawan penjajah adalah peperangan
fisik, jejaknya mampu diendus oleh mata telanjang. Sedangkan, masa sekarang adalah
peperangan ideologi yang wujudnya pun abstrak tak tergambarkan. Hanya mata dan hati
yang jeli yang mampu melacak motif busuk wujud penjajahan dalam konteks ini dan
mahasiswa adalah yang dimaksud dari pemuda pemberantas penjajah modern itu.

Merupakan kolaborasi yang brilian jika mahasiswa mampu bergabung dengan masyarakat
dan melakukan konstruksi peradaban di dalamnya. Masyarakat butuh seseorang yang
mampu dijadikan sebagai acuan dalam melangkah, mereka butuh referensi dalam bertindak
menuju kehidupan yang mulia. Mahasiswa adalah jawaban dari semuanya.

Bukan sembarang mahasiswa yang layak diterjunkan di tengah khalayak. Dibutuhkan


kemumpunan mengatur masa, kepiawaian mengatasi problematika, serta keahlian dalam
intelektual, agar mahasiswa mampu memakmurkan tatanan masyarakat yang ada.

Sebagai contoh, mahasiswa yang kompeten dalam bidang keagamaan bisa terjun
mendistribusikan keilmuannya melalui pengadaan penyuluhan materi keagamaan untuk
masayarakat. Tergabung di dalamnya, menggalakan soal bagaimana memahami doktrin
keagamaan dengan efektif dan sesuai tuntunan. Melihat gejala dewasa ini, maka wacana
deradikalisasi mungkin mampu menjadi tujuan utama pencerahan keagamaan masyarakat.

Mahasiswa yang terampil dalam bidang kedokteran bisa menggelontorkan potensinya lewat


pengadaan pengobatan gratis dan sebagainya. Mahasiswa yang mahir soal ekonomi bisa
menggandeng pihak koperasi desa, mengarahkan bagaimana keuntungan bisa melonjak,
serta bagaimana lingkungan bisa diatasi,  bagaimana agar perihal kemiskinan yang
menjangkit dan sebagainya bisa diminimalisir.

Semua mahasiswa dengan berbagai kemahiran dalam bidang masing-masing dipersilakan


mengalirkan ilmunya lewat berbagai kegiatan positif di masyarakat, kegiatan yang
konsturktif dan mampu memiliki daya jual tinggi.

Dalam menapaki konstruksi sebuah daerah yang dituju memang tidak selalu berjalan mulus.
Senantiasa hadir aral mengawani perjuangan. Biasanya, permasalahan hadir seperti
penolakan oleh sebagian kecil masyarakat yang memang terlanjur larut dalam kultur
keterbelakangannya dan merasa puas berkubang di dalamnya.

Problematika bisa berupa minimnya fasilitas daerah, cuaca yang menghambat perhelatan
kegiatan, kekurangsadaran SDM yang bertugas soal urgensi pengembangan ini dan
sebagainya. Kendati demikian, sambil dicarikan solusi, pencapaian yang gemilang
diharapkan tercapai dengan sempurna.

Tatanan daerah yang efektif, baik materi ataupun nonmateri, moral masyarakat yang
berbudi, pemahaman keagamaan yang bersih, tali silaturahmi yang erat antar warga,
kerjasama yang tanpa perhitungan, aura kekompakan yang meruap dan sebagainya adalah
representasi tujuan dari pembangunan daerah menuju iklim pengusung peradaban yang
cerah dan mencerahkan.

Semua tatanan pembangunan yang cukup efektif dalam proses pemberian nafas segar bagi
setiap nafas pembangunan dan kemanusiaan seharusnya harus berlandaskan kesadaran dan
kelektivitas kehidupan yang yakin akan sebuah dorongan kebersamaan dalam koridor
kesadaran. Artinya disini, semua bentuk iklim cerah tentang pembangunan dan kesadaran
masyarakat harus ditindaklanjuti dengan metodos yang lebih kuat daripada konsep dalam
setiap diksi yang saya lontarkan ini menjadi kontinum utama untuk mencapai sebuah
kesadaran akan representasi diri sebagai seorang manusia yang berlebelkan masyarakat dan
mahasiswa.

Problematika masyarakat dan kesadaran masyarakat menjadi tanggup jawab utama para
kaula muda dengan artefak buatan selaku mahasiswa peran utama mahasiswa bukan hanya
pada tataran akademisi dan intelektualitas namun, di dalam diri seorang mahasiswa terdapat
core utama yaitu sebagai jantung utama masyarakat yang akan membawa benih-benih
kebermanfaatan dalam setiap nafasnya sebagai seorang pengerak peradaban.

Roda pengerak peradaban yang player utamanya adalah mahasiswa tentunya akan dapat
memberikan masyarakat lega akan setiap tenaga dan kontribusi kebermanfaatan yang
diberikan. Menurut hemat saya, semua tindakan dan konsep pemikiran para kaulan muda
menjadi jalan utama menuju pintu besar rekonstruksi peradaban. Modal moralitas dan sosial
menjadi meriam utama dalam landasan perjuangan atas asas kesadaran.

Tulisan ringkas ini sejatinya mengajak saudara-saudara semua yang berstatus dan
berlebelkan sebagai mahasiswa agar ikut andil meramaikan pesta pembangunan masyarakat
bukan hanya pembangunan dalam konteks kognitif saja akan tetapi bagaimana kemudian
seorang yang sudah berlebelkan mahasiswa dapat memberikan tindakan praksis yang
berlandaskan kesadaran dan cinta karena era saat sangat membutuhkan dua elemen tersebut
sebab, geliat modernisasi di era Post truth yang terjadi di dunia ini butuh bimbingan yang
memadai agar tidak ditempuh secara salah kaprah oleh masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai