PERAN MAHASISWA DALAM PENCEGAHAN AJARAN RADIKALISME
DAN INTOLERANSI DI INDONESIA
Laporan Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan
Oleh: Dwi Agung Bowo Laksono 16/397610/HK/20932
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA 2019 Perguruan Tinggi atau lingkungan kampus bagaikan kawah candradimuka bagi civitas akademika yang menghuninya. Sebagai tempat berlangsungnya proses pendidikan, kampus adalah lingkungan belajar yang sangat strategis bagi mereka terlebih bagi kelompok mahasiswa yang menggantungkan harapan, impian dan cita-cita serta masa depannya. Akan tetapi, radikalisme saat ini menjadi polemik dinilai sebagai ancaman nyata bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena menimbulkan perubahan terhadap nilai-nilai bangsa Indonesia yang bersumber dari ideologi Pancasila, terutama toleransi dan kebhinekaan yang mulai berkembang di lingkungan kampus. Ada beberapa faktor yang menyebabkan adanya gerakan yang dilakukan oleh kelompok tertentu untuk menebarkan paham radikalisme terhadap para kaum intelektual di kampus, yaitu : 1. Latar belakang paham keagamaan yang dangkal. Kalangan intelektual yang berasal dari sekolah umum atau kampus sekular (non-keagamaan) mudah terperangkap oleh paham-paham eksklusivisme dan fundamentalisme agama. Hal ini karena mereka tidak memiliki basis pemahaman keagamaan yang kuat, semisal tidak pernah belajar di pesantren atau sejenisnya. Mereka memahami ajaran keagamaan yang dasar atau sepotong-sepotong (biasanya dari youtube atau sosial media), sehingga pemahaman terhadap ajaran keagamaan tidak komprehensif. Faktor ini sesuai dengan laporan-laporan penelitian ilmiah bahwah target perekrutan jaringan radikal banyak berasal dari kalangan mahasiswa Perguruan Tinggi umum. Mereka menjadi target yang empuk dan efisien untuk menanamkan dan menginfiltrasi mereka dengan doktrin-doktrin paham radikalisme keagamaan, seperti Pancasila tidak sesuai syari’at, Indonesia adalah negara Thogut (zalim) yang mesti diperangi dan sebagainya. 2. Ketidaktegasan kampus. Selama ini Perguruan Tinggi umum maupun Islam tidak begitu tegas untuk menangkal kelompok-kelompok radikal yang bertebaran di kampus. Pihak kampus sangat terbuka dengan organisasi-organisasi dakwah kampus yang eksklusif. Misalnya organisasi-organisasi intra kampus yang melakukan mentoring pemahaman Islam secara tertutup dengan penguasaan masjid-masjid secara sepihak. Sebaliknya, kampus sangat sensitif terhadap organisasi-organisasi ekstra yang cenderung moderat dan terbuka. Sikap lunak dari kebijakan Perguruan Tinggi ini kemudian membuat mereka leluasa dan tanpa tekanan untuk menebarkan paham-paham radikal di kalangan mahasiswa, terutama mereka yang belajar di fakultas-fakultas umum. 3. Pemerintah kurang campur tangan dalam penanganan paham radikalisme intelektual. Pemerintah saat ini belum melakukan pengawasan persoalan dalam kurikulum mengenai pencegahan paham radikalisme. Hal ini bisa dilakukan ketika pengenalan orientasi akademik dengan sosialisasi ikhwal toleransi, moderasi, inklusivisme, multikultularisme, dan bahaya paham radikalisme. Sehingga sebelum siswa ataupun para mahasiswa menggeluti dinamika di sekolah dan di kampus, upaya preventif telah dilakukan. 4. Faktor ketimpangan dalam sektor sosial, ekonomi dan politik. Harus diakui, ketidakadilan dalam ketiga sektor tersebut membuat konflik horizontal antar masyarakat semakin kompleks. Masyarakat semakin terjepit dan tertekan dalam persoalan kehidupannya. Dampaknya, orang atau kelompok yang tidak berdaya ini sangat mudah untuk di doktrin dengan paham-paham radikal dan tindakan anarkis sehingga mengesampingkan aturan-aturan hukum. Tak terkecuali adalah kalangan intelektual. Masalah ini adalah menjadi prioritas pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan tidak ada ketimpangan dari tiga sektor tersebut.
Pencegahan radikalisme dan terorisme bukan hanya merupakan tanggungjawab
pemerintah (dalam hal ini BNPT), namun juga merupakan tanggungjawab masyarakat, terutama mahasiswa dan generasi muda yang paling rawan terpapar ideologi ini. Peran mahasiswa dinilai sangat penting dalam upaya mencegah penyebaran paham radikalisme. Peran mahasiswa sangat penting sebab masyarakat menilai mahasiswa sebagai kaum intelektual dan contoh bagi masyarakat dan bahkan biasanya masyarakat lebih percaya terhadap mahasiwa daripada aparat. Maka, sikap dan perilaku mahasiswa pun sangat penting. Selain itu, mahasiswa juga merupakan agen perubahan sekaligus generasi penerus bangsa. Maka, penting bagi mereka untuk mendapatkan pemahaman dan wawasan yang lebih tentang ilmu agama. Supaya mahasiswa juga bisa membantu mewujudkan kerukunan umat beragama. Tujuannya agar mahasiswa tidak mudah terpengaruh oleh pemahaman yang menyimpang. Mahasiswa dapat berperan konkrit dalam pencegahan radikalisme dengan tindakan- tindakan sebagai berikut: 1. Memperkuat moral (akhlak) dan profesionalisme. Pemuda dapat terpapar oleh radikalisme dan pemikiran sempit akibat minimnya pemahaman agama, yang diperparah dengan minimnya keterampilan dan pengetahuan yang mereka miliki 2. Memperkuat nilai-nilai kebangsaan dan toleransi di lingkungan kampus. 3. Melaporkan kegiatan radikalisasi kepada pihak berwenang. Hal ini merupakan hal pertama yang dapat dilakukan bagi generasi muda yang merupakan target utama radikalisasi, agar tindakan tersebut dapat langsung dicegah sebelum berkembang. 4. Menyaring dan memastikan kebenaran dari segala informasi yang didapatkan. Propaganda radikalisasi yang dilakukan dapat dibedakan dengan ciri-ciri berupa ujaran kebencian maupun hoax yang masif, terstruktur, dan sistematis. 5. Aktif dalam diskusi kebangsaan dan ikut menyampaikan ke masyarakat. 6. Penataan ulang organisasi mahasiswa dan aktifitas keagamaan yang ekslusif di kampus dengan cara menyertakan dosen pendamping yang juga tidak berafiliasi.