Disamping itu ada dua bentuk sumber daya yang dimiliki mahasiswa dan dijadikan energi
pendorong gerakan mereka :
1. Ilmu pengetahuan yang diperoleh baik melalui mimbar akademis atau melalui kelompok-
kelompok diskusi dan kajian. Kedua, sikap idealisme yang lazim menjadi ciri khas mahasiswa.
2. Potensi sumber daya tersebut ‘digodok’ tidak hanya melalui kegiatan akademis didalam
kampus, tetapi juga lewat organisasi-organisasi ekstra universitas yang banyak terdapat di
hampir semua perguruan tinggi.
Peran sejarah cukup besar dimainkan oleh kaum muda, sebagaimana secara tepat digambarkan
Arbi Sanit. Menurut Arbi Sanit (1989), ada dua peranan pokok yang selalu tampil mewarnai
sejarah aktifitas mahasiswa selama ini, yakni: Sebagai kekuatan korektif terhadap penyimpangan
yang terjadi di dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kedua, Sebagai pencetus kesadaran
masyarakat luas akan problema yang ada dan menumbuhkan kesadaran itu untuk menerima
alternatif perubahan yang dikemukakan atau didukung oleh mahasiswa itu sendiri, sehingga
masyarakat berubah ke arah kemajuan.
Dua peranan pokok inilah yang sesungguhnya dijalankan oleh para mahasiswa, atau pun kaum
terpelajar umumnya, di zaman kolonial clan yang kemudian diperankan juga oleh generasi
berikutnya sampai saat ini. Kendatipun demikian, tidak dapat disangkal bahwa saat ini semakin
dirasakan menurunnya daya pengaruh gerakan mahasiswa terhadap perubahan masyarakat
umumnya, maupun terhadap proses pengambilan keputusan. Setelah berhasil menggulingkan
lokomotif rezim otoriter Orde Baru, Suharto, perubahan substansial dari cara-cara Orde Baru tidak
mengalami perubahan yang signifikan. Bahkan yang timbul adalah kecenderungan berbedanya
arah gerakan sebagian mahasiswa dengan apa yang tengah diperjuangkan masyarakat lewat
lembaga politik formalnya. Tentu saja realitas ini tidaklah dilihat dalam term “benar salah”, sebab
hal tersebut lebih merupakan suatu konsekuensi logis dari proses perubahan masyarakat itu sendiri.
Di Indonesia terdapat lima organisasi mahasiswa ekstra universitas atau sering dinamakan
ormas mahasiswa, yang cukup menonjol, yaitu HMI Dipo (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII
(Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), HMI MPO
(Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi) dan KAMMI (Kesatuan Aksi
Mahasiswa Muslim Indonesia). Kesemuanya menarik untuk dikaji karena sama-sama membawa
label Islam sebagai identitas organisasinya, namun memiliki corak wacana dan strategi perjuangan
yang khas.
Problematika kedua, justru merupakan akibat langsung dari problematika pertama, yakni
semakin terbukanya dunia kemahasiswaan terhadap ‘intervensi’ kepentingan kepentingan lain
yang kadang kadang destruktif adanya. Bisa kita bayangkan runyamnya keadaan, jika di satu sisi
para kader tidak lagi dipersiapkan di sumber-sumber rekruitment secara terkonsentrasi, sementara
ladang orbitasi pun tidak lagi terlalu subur. Sulit untuk dibantah bahwa dasar bagi restrukturisasi
lembaga kemahasiswaan yang dilakukan tahun 1978 adalah upaya untuk mencegah konsentrasi
mahasiswa di tingkat universitas dan antaruniversitas sebagai suatu kekuatan pendobrak. Jadi
sangat politis. Tetapi yang kurang diperhitungkan ialah, di samping tereliminasinya salah satu
substansi pembangunan pendidikan yaitu pembentukan kepribadian, juga terpecahnya mahasiswa
ke dalam puluhan atau bahkan ratusan lembaga non afiliatif yang justru membuat kerepotan baru
bagi para penentu kebijaksanaan politik pendidikan
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab melemahnya gerakan mahasiswa yakni ;
1. lunturnya ideologi gerakan
Saat ini gerakan mahasiswa telah kehilangan ideologi sehingga stigma mahasiswa yang
terjun di berbagai organisasi kampus baik intra maupun eksra sudah mengalami titik kejenuhan
dan kebosanan. Hal itu mengakibatkan lunturnya rasa sensitivisme serta responsbility aktivis
mahasiswa terhadap perubahan sosial, dampaknya adalah gerakan mahasiswa mengalami
disorientasi .
2. Gerakan mahasiswa sudah tidak dianggap sebagai kekuatan besar dalam mengawal perubahan
Hal tersebut bisa kita lihat dari berbagai gerakan mahasiswa lewat berbagai aksi
demonstrasi yang jarang menghasilkan perubahan yang signifikan. Suara mahasiswa sebagai
manifestasi suara rakyat sudah tidak mempan dalam melakukan kritik serta kontrol terhadap
kinerja pemerintah. Hal itulah yang pada akhirnya menjadikan gerakan mahasiswa menjadi
semakin tumpul.
3. Sudah tidak ada lagi kebanggaan menjadi seorang aktivis
Gerakan mahasiswa selalu identik dengan para aktivis kampus, namun saat ini menjadi
seorang aktivis kampus bukanlah menjadi pilihan utama mahasiswa karena dianggap sebagai
batu sandungan dalam meraih prestasi akademik. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika saat
ini jumlah aktivis kampus semakin sedikit.
4. Adanya tindakan represif dari pemerintah
Sebagai langkah preventif untuk menangkal setiap gerakan mahasiswa, saat ini pemerintah
lebih memilih tindakan yang represif. Tak jarang kekerasan fisik dilakukan aparat pemerintah
untuk mencegah aksi dan gerakan mahasiswa. Sehingga tidak mengherankan jika gerakan
mahasiswa menjadi melemah karena adanya rasa takut akan eksistensi dan keselamatan jiwa
para aktivis.
5. Minimnya dukungan dari masyarakat
Gerakan mahasiswa yang sering berakhir dengan kericuhan, serta seringnya mahasiswa
melakukan pengrusakan terhadap berbagai fasilitas umum saat melakukan aksi-aksi
demonstrasi menjadikan citra mahasiswa menjadi menurun di mata masyarakat. Hal tersebut
mengakibatkan kepercayaan dan dukungan masyarakat terhadap gerakan mahasiswa semakin
memudar.
6. Adanya politik kepentingan mahasiswa
Saat ini orientasi mahasiswa dalam melakukan gerakan bukan lagi murni berjuang demi
kepentingan rakyat melainkan lebih dikarenakan adanya politik kepentingan. Hal itulah yang
menjadikan pola pikir mahasiswa menjadi pragmatis, dan hanya memikirkan soal untung-rugi.