Anda di halaman 1dari 15

LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL

REPUBLIK INDONESIA

MODERASI BERAGAMA : IMPLEMENTASI NILAI PANCASILA DI KAMPUS


Oleh: Siti Nur Azizah

A. Pendahuluan

Kampus telah lama dikenal sebagai institusi pendidikan tinggi yang kritis dan
bertanggungjawab terhadap masa depan diri si mahasiswa itu sendiri, masyarakat
dan bangsanya. Kehidupan kampus di berbagai belahan negara manapun akan
selalu menjadi tumpuan bagi masa depan suatu bangsa dalam menegakkan nation
caracternya.1 Dalam konteks implementasi Pancasila di kampus, moderasi
beragama menjadi pilihan altrnatif kehidupan kampus yang mesti mewujud sebagai
bagian dinamika dan tujuan bernegara. Moderasi beragama adalah salah satu
karakter implementasi pancasila. Kampus mesti menjadi contoh dalam penerapan
dan aktualisasinya.2
Pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi pada dasarnya adalah upaya
mengkorelasikan nilai-nilai Pancasila sebagai Falsafah Negara Indonesia dengan
peran aktif mahasiswa di tengah masyarakat melalui penumbuhan karakter
keimanan, ketakwaan, tanggung jawab, kejujuran, kedisiplinan, persatuan, saling
menghormati dan toleransi.3 Oleh karena itu, pengembangan Tri Dharma
Perguruan Tinggi merupakan potret mahasiswa dalam berkontribusi secara nyata
untuk menemukan jati diri mahasiswa sebagai pembelajaran bagi dirinya sebagai
agen perubahan yang akan memberikan dampak bagi masyarakatnya. Kampus
mesti menjadi contoh dalam melaksanakan toleransi dalam kegiatan Tri Dharma
Perguruan Tinggi karena kegiatan ini menjadi jembatan interaksi dan komunikasi
kepada masyarakat agar kampus tidak menjadi menara gading.

1
Kaelan. 2013. Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, Dan
Aktualisasinya, Yogyakarta : Paradigma
2
Kartono (Ed.), 2011, Membumikan Pancasila Serpihan Gagasan Pendidik, Yogyakarta: Universitas
Sanata Dharma, hlm. 18
3
Eleanora, F.N, Sari, A. 2019. Relevansi Pendidkan Pancasila Dan Potret Mahasiswa Di Perguruan
Tinggi. Jurnal Civic Hukum Volume 4, Nomor 2, November.
Belum terciptanya kampus sebagai contoh kehidupan dalam membangun
toleransi, bahkan disinyalir menjadi tempat bermekarannya pemikiran dan sikap
yang menumbuhkan kekerasan dalam beragama dimungkinkan karena kurangnya
pemilahan kritis ruang modernisasi dan tidak secara tegas dipisahkan dengan
tumbuhnya politik identitas didalamnya, sehingga kehidupan kampus yang modern
pada akhirnya mencari jalan sendiri-sendiri untuk dapat memahami sumber dasar
etika yang salah satunya berasal dari ajaran agama atau kesamaan yang terbentuk
dari rasa kepercayaan yang berasal dari etnis yang sama.
Politik identitas di kampus lahir dari politik etnis, diawali dengan tumbuhnya
kesadaran atas etnis yang sama, misalnya karena berasal dari daerah yang sama.
Kesamaan etnis ini memunculkan kesadaran dan solidaritas kelompok terhadap
orientasi kebangsaaan, biasanya pandnagannya lebih sempit dibandingkan
organisasi atau kelompok mahasiswa yang lebih berorientasi kebangsaan dan
meninggalkan idnetitas keagamaan atau etnis. Politik identitas lebih mementingkan
proteksi dan kemajuan kelompok.4
Ketidaktegasan dalam memisahkan makna modernitas dan politik identitas
didalamnya, seringkali melahirkan dekonsekrasi nilai, yaitu tumbuhnya makna relatif
pada setiap sistem nilai di kampus. Penilaian ini menjadikan kampus sebagai
bagian dari sistem kehidupan yang dinyatakan dalam budaya ilmiahnya bahwa
tidak ada kebenaran absolut yang bisa dijadikan satu-satunya rujukan atau standar
oleh manusia. Kendati diakui adanya kebenaran absolut tetapi hal itu dilakukan di
luar kampus. Oleh karena itu, memahami agama dapat dipilih berdasarkan bahan
bacaan yang disukai atau direkomendasi oleh kelompoknya, sehingga tanpa
disadari pemahaman agama yang diterima akan berbeda sesuai dengan tempat
dan waktu yang berbeda pula.5 Akibatnya satu-satunya yang dijadikan standar oleh
mahasiwa adalah membentuk politik identitas berdasarkan agama. Padahal
mempelajari agama juga mempelajari dan memahami sanadnya serta pilihan
sumber yang menafsirkannya.

4
James G. Kellas, 1988, The Politics of Nationalism and Ethnicity, edisi II, New York: ST Martin's
Press.
5
Ismail R. Al-Faruqi. 1978, Islam Dan Agama Lain, Dalam Altaf Gauhar : Tantangan Islam (terj.),
Bandung: Penerbit Pustaka, hlm. 65.
Pilihan modernisasi Islam dapat berbuah positif ketika hal ini dijadikan
langkah strategis untuk mempertahankan nilai-nilai Pancasila dari ancaman
gerakan radikalisme melalui mengarus-utamakan gerakan moderasi islam secara
luas di masyarakat Indonesia. Moderasi islam atau moderasi beragama adalah
paradigma terhadap pemahaman keislaman yang menjunjung tinggi nilai-
nilai tasamuh (toleransi). Islam moderat juga menjunjung tinggi nilah ramah, plural,
dan ukhuwah. Namun pencampuradukan modernisasi dengan politik identitas
sudah tentu mengundang kecurigaan berlebih. 6
Kemampuan dunia kampus dalam membentuk politik identitas dan upaya
memahami agama pada dasarnya bertumpu kepada kemajuan teknologi informasi
dan komunikasi semata. Artinya, ketika kampus berupaya belajar dan memahami
agama tidak menggunakan ilmu untuk membaca dan memahami Al-Quran
langsung dari struktur bahasa dan gramatikanya, sebagai pintu masuk membuka
cakrawala keilmuan Islam langsung dari sumbernya. Mahasiswa yang seringkali
tertarik memperdalam ilmu agama di kampus belajar Al Quran dari terjemahan. Ada
perbedaan mendasar tahu arti dan memahami makna Al-Quran dari terjemahan
dan dari gramatika, asal usul kata dan struktur bahasa Al-Quran itu sendiri.
Perbedaan ini pula yang menjadi dasar adanya kelompok-kelompok mahasiswa
dalam kampus menjadikan ayat – ayat suci Al-Quran berdasarkan teks terjemahan
menjadi pembenar atas kekerasan yang mengatasnamakan agama. Memahami Al-
Quran dari terjemahannya (letterlux) di kampus berpotensi menjadi kekerasan atas
nama agama. Di sisi lain, kehidupan di luar kampus juga menjadikan Al Quran dan
hadist sebagai pembenar dalam membangun pemikiran dan penyikapan yang
melahirkan kekerasan dalam beragama.7
Kapasitas mata kuliah agama sebagai mata kuliah dasar umum (MKDU)
nyaris tidak mampu mengakomodir atau menjembatani berbagai ragam pemikiran
perbedaan pandangan dalam berbagai aliran dan pemikiran keagamaan. Hal ini
bisa dilihat dari muatan MKDU Agama seringkali berada pada bahasan-bahasan
ritual praktek ibadah. Kapasitas muatan mata kuliah agama yang lemah juga

6
https://bpip.go.id/berita/992/816/rektor-uns-gerakan-moderasi-beragama-sebagai-jalan-
pertahankan-pancasila.html
7
Ismail R. Al-Faruqi, Op.Cit.,
didukung oleh tenaga pengajar yang kapasitasnya lemah dalam memahami sejarah
dan dasar pemikiran yang berbeda dalam keilmuan dan sejarah keagamaan.
Bahkan dapat dikatakan, tenaga pengajar MKDU agama juga mengenal Al quran
dari sisi terjemahannya. Kondisi ini membuat ketidakseimbangan berfikir dan
bersikap, karena pemahaman tentang terjemahan ayat-ayat Al Quran seringkali
dilepaskan dari konteks sosial dan sejarah bagaimana ayat tersebut diturunkan. 8
Moderasi beragama di kampus oleh para mahasiswanya seringkali tereduksi
oleh kepentingan eksistensi organisasi-organisasi mahasiswa dalam frame politik
identitas di dalam kampus yang secara umum dibagi menjadi dua kategori, yakni
organisasi intra dan ekstra mahasiswa. Kedua pembagian ini banyak lagi turunan
organisasinya baik yang lahir dari entitas kedaerahan, orientasi politik maupun isu-
isu sosial. Kesemua organ mahasiswa ini, merasa bahwa eksistensi mereka adalah
ketika menguasai lembaga-lembaga formal mahasiswa yang masuk ke dalam
struktur dan diakui oleh lembaga kampus. Pada tataran politik kampus, bisa jadi
moderasi beragama menjadi urusan kedua setelah politik identitas di kampus dan
bisa jadi moderasi beragama di kampus tidak berjalan karena dianggap menjadi
persoalan dominasi atas orientasi ideologi organisasi mahasiswa yang bercorak
nasionalis. Itulah sebabnya politik identitas kampus secara mendasar tidak pernah
selesai kendati mahasiswa akan selalu bersatu dalam isu yang sama ketika
menyangkut persoalan yang sama, yakni moralitas dan kepentingan kebangsaan.
Artinya, pertarungan politik kampus adalah pertarungan kekuasaaan dalam lingkup
kampus, belum pada upaya membangun implementasi Pancasila pada praktek
moderasi beragama sebagai pilihan sadar. 9
Beberapa kajian tentang moderasi beragama untuk generasi milenial
dilakukan salah satunya di Sulawesi tengah (Palu). Seorang Guru Besar IAIN Palu,
Zainal Abidin, menyebutkan ada enam prinsip yang perlu dikembangkan dalam
pendidikan moderasi beragama yaitu sikap humanis, realistis, inklusif, adil,
kerjasama dan toleran. Dia juga menawarkan empat langkah mengembangkan
moderasi beragama untuk generasi milenial. Pertama, manfaat perkembangan
8
Ibid
9
Sudjito, & Muhaimin, 2018. Membudayakan Nilai-Nilai Pancasila dan Upaya Menangkal
Tumbuhnya Radikalisme di Indonesia, Jurnal Pendidikan Nilai dan Pembangunan Karakter, Vol. 2, No. 1,
hlm. 116.
tehnologi media sosial dalam menyebarkan luaskan moderasi beragama; kedua,
melibatkan generasi milenial dalam kegiatan positif di masyarakat; ketiga, perlu ada
ruang dialog yang memadai bagi generasi milenial baik di lembaga pendidikan, di
rumah dan di masyarakat; keempat, mengoptimalkan fungsi keluarga sebagai
lembaga peminaan karakter yang positif. 10
Permasalahan serius yang perlu mendapat perhatian dari mahasiswa
perguruan tinggi, terlepas dari konteks radikalisme agama atau bukan, adalah
lahirnya sikap eklusifisme yang muncul dari dunia kampus. Mahasiswa mulai tidak
inklusif baik itu karena paham keagamaan atau karena keasyikan mabuk dengan
tehnologi media sosial. Mereka mulai jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Sikap
eksklusif akan melahirkan sikap egoistik yang mengabaikan kebersamaan. Ini lebih
parah kalau sikap eksklusif justru disebabkan oleh paham keagamaan. Karena
sikap eklusif dan berfikir sepihak sesungguhnya telah mengingkari mahasiswa
sebagai mahasiswa sebuah perguruan tinggi yang disebut universitas. Bukankah
universitas merupakan simbol dan tuntutan para mahasiswa untuk berfikir lebih
universal.11
Penelitian ini akan membahas permasalahan terkait  implementasi nilai-nilai
Pancasila dalam menakar Moderasi Beragama di Kampus. Penelitian ini termasuk
ke dalam penelitian sosial, untuk itu metode penelitian yang digunakan adalah
metode penelitian deksriptif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang
menggambarkan suatu peristiwa apa adanya, tanpa adanya fakta dan data yang
ditutupi, menguak sebab akibat, dan mengungkap makna dibalik sebuah peristiwa,
kejadian, dan gejala tertentu. Dalam hal ini akan menggambarkan terkait nilai-nilai
Pancasila dalam menakar Moderasi Beragama di Kampus.

B. Pembahasan
Moderasi beragama adalah proses memahami sekaligus mengamalkan
ajaran agama secara adil dan seimbang, agar terhindar dari perilaku ekstrem atau
berlebih-lebihan saat mengimplementasikannya. Cara pandang dan sikap moderat

10
Muhamad Murtadlo, 2019, Menakar Moderasi Beragama di Perguruan Tinggi, Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat, Kemenag RI, hlm. 1
11
Ibid
dalam beragama sangat penting bagi masyarakat plural dan multikultural seperti
Indonesia, karena hanya dengan cara itulah keragaman dapat disikapi dengan
bijak, serta toleransi dan keadilan dapat terwujud. 12
Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menyatakan konsep moderasi
beragama memberikan dukungan terhadap usaha saling menghargai dan hidup
damai. Konsep ini didukung penuh semakin bergaung serta diterapkan luas.
Menurut Menag, mengedepankan toleransi maka tumbuh pemikiran positif yang
menghargai kesetaraan serta bersedia bekerjasama. Hal lain bagian dari moderasi
beragama adalah anti kekerasan serta ramah tradisi yang tidak bertentangan
dengan ajaran agama. Moderasi beragama yang diusung kementarian Agama
bertujuan untuk berfikir inklusif dan mengembalikan semangat kegotong royongan
kita sebagai anggota masyarakat.13
Inklusif adalah usaha menempatkan diri ke dalam cara pandang orang lain
dalam memandang atau memahami suatu hal atau masalah.  Sedangkan sikap
inklusif atau eksklusif sendiri adalah cara pandang seseorang terhadap sebuah
perbedaan. Sikap inklusif juga cenderung dikaitkan dengan pandangan positif
terhadap perbedaan dan sikap eksklusif adalah cara pandang negatif terhadap
perbedaan.14 Sikap ini merupakan kebalikan dari sikap eksklusif. Secara
umum eksklusif adalah sikap yang memandang bahwa keyakinan, pandangan
pikiran dan diri islam sendirilah yang paling benar, sementara keyakinan,
pandangan, pikiran dan prinsip yang dianut agama lain salah, sesat dan harus
dijauhi.15
Selain sikap ekslusif, dikenal istilah lain yaitu politik identitas. Politik identitas
umumnya mengacu pada subset politik di mana kelompok orang dengan identitas
ras, agama, etnis, sosial atau budaya yang sama berusaha untuk mempromosikan
kepentingan atau kepentingan khusus mereka sendiri. Alih-alih mengatur hanya di
sekitar sistem kepercayaan, manifesto atau afiliasi partai, Stanford Encyclopedia of
12
Hakim, L., & Ekapti, R. F, Penguatan Pendidikan Pancasila Sebagai Jatidiri, Refleksi, dan
Tantangan Dalam Membatasi Paham Radikalisme Mahasiswa di Perguruan Tinggi Islam Ponorogo,
Jurnal Muslim Heritage, Vol. 4, No. (2), 2019, hlm. 403-419.
13
https://www.suaramerdeka.com/pendidikan/pr-042258684/implementasi-moderasi-beragama-di-
perguruan-tinggi?page=2
14
https://www.ekrut.com/media/inklusif-adalah
15
https://penelitian.uisu.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/7.-Ahmad-Fuadi-Hemawati.pdf
Philosophy mengatakan, politik identitas biasanya bertujuan untuk mengamankan
kebebasan politik dari konstituen tertentu yang terpinggirkan dalam konteks yang
lebih besar. Kedua sikap ini merupakan gambaran dari sikap radikalisme.
radikalisme adalah suatu kepercayaan atau bentuk ekspresi dari keyakinan bahwa
harus ada perubahan sosial atau politik yang besar atau secara ekstrem. Oxford
Dictionary juga memahami ‘radikal’ sebagai orang yang mendukung suatu
perubahan politik atau perubahan sosial secara menyeluruh. Kemunculan
radikalisme juga dipercaya akibat adanya doktrin politik yang dianut oleh gerakan
sosial-politik yang mendukung kebebasan individu dan kolektif, dan emansipasi dari
kekuasaan rezim otoriter dan masyarakat yang terstruktur secara hierarkis. 16
Membangun moderasi beragama ditengah budaya modernisasi, politik
identitas dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi yang terus berkembang,
terutama teknologi informasi komunikasi perlu disikapi dengan menyaring akses
informasi yang berlebih menjadi dasar kebutuhan dalam membangun moderasi
beragama. Menjadikan bekal-bekal wisdom dari seluruh agama menjadi alat
penyaring yang efektif. Sudah saatnya kampus turut mendirikan rumah ibadah
seluruh agama agar dapat tercipta kesadaran atas keberagaman di Indonesia. Hal
ini akan memperkaya batin mahasiswa untuk mengemban kewajiban membangun
Indonesia yang bhinneka dan menjadikan satu kekuatan yang utuh. Mahasiswa
bukan saja memerlukan daya kreatif, inovatif, produktif, dan berkarakter tetapi juga
mesti menajdi pelaku sejarah dalam mengamalkan nilai-nilai pancasila pada
kebutuhan yang utama atas perbedaan yang ada, terutama perbedaan keyakinan
dan agama.17
Kekerasan dalam kehidupan beragama bisa muncul kapan saja dan di mana
saja, termasuk di perguruan tinggi oleh salah satu civitas akademiknya. Banyak
contoh yang terjadi, yakni adanya sejumlah perguruan tinggi yang mencoba
mendoktrin para mahasiswa dengan paham anti-Pancasila dan menggugat NKRI
atau adanya kegiaatan-kegiatan di kampus yang mudah memvonis bid’ah, syirik,
dan kafir kepada pihak/teman berbeda paham keagamaan. Hal ini menimbulkan
prasangka bagaimana kurikulum di internal kampus dapat mengenalkan,
16
Kaelan, 2021. Pendidikan Pancasila, Jurnal Prisma, Vol. 39, No. 1, hlm. 16-27.
17
https://www.ui.ac.id/nilai-nilai-pancasila-sebagai-kunci-moderasi-beragama/
mengajarkan dan mengimplementasikan moderasi beragama yang tidak boleh
hanya bertumpu pada pendidikan agama saja kepada mahasiswa. Kendati upaya
menumbuhkan keberagamaan inklusif di kampus sekaligus memagarinya dilakukan
melalui pendekatan reformulasi dan reformasi pada mata kuliah berbasis
keagamaan. Penguatan moderasi beragama sudah semestinya terlebih dahulu
menjadi kehidupan kampus.18
Solusi yang dibutuhkan agar Pancasila terterapkan dalam aktifitas dan
dinamika kampus, terutama dalam kehidupan moderasi beragama maka, perlu
dilakukan : (1) membuka dan menciptakan ruang dialogis secara kontinyu antara
mahasiswa dengan segenap civitas akadmeika; (2) Kampus mesti menjadi tempat
terbuka dan kompetitif, tidak boleh didominasi oleh pemikiran atau kelompok
tertentu; (3) Mahasiswa dilibatkan secara rutin dalam banyak kapasitas kegiatan
berkualitas untuk mencari solusi permasalahan-permasalahan sosial dan bangsa. 19
Selain itu, dalam Kuliah Umum bertajuk “Merajut Tolerasi Bangsa Indonesia”
yang diselenggaran oleh Universitas Indonesia yang menghadirkan enam tokoh
lintas agama yang memperjuangkan kerukunan beragama yakni Prof. Dr. Abdul
Mukti, M.Ed. (Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah), Romo Dr.
Andang L. Binawan, SJ (tokoh umat kristiani katolik), Pendeta Jimmy Sormin,
Astono Chandra Dana (Ketua Umum Parisada Hindu Dharma Indonesia), Bikkhu
Dhammasubho Mahathera, dan Budi Santoso Tanuwibowo (tokoh yang mewakili
keyakinan konghuchu). Kuliah umum tersebut dimoderatori oleh Dr. Ngatawi Al-
Zastrow (Kepala Makara Art Center UI). Budi Santoso menyampaikan bagaimana
menyikapi dan menyaring akses informasi yang berlebih. Menurutnya, bekal-
bekal wisdom dari seluruh agama menjadi alat penyaring yang efektif. Ia
memaparkan bahwa dengan pendirian rumah ibadah seluruh agama di Universitas,
dapat membangun kesadaran atas keberagaman di Indonesia. Harapannya, upaya
tersebut akan memperkaya batin bahwa mahasiswa mempunyai kewajiban untuk
membangun Indonesia yang bhinneka dan menjadikan satu kekuatan yang utuh.
Hal lain yang ia sampaikan adalah mengilhami bahwa masa depan dunia sangat

18
https://nasional.sindonews.com/read/563344/15/moderasi-beragama-di-kampus-1633705814
19
Muthohirin, 2019. Potret Radikalisme Agama di Negara Pancasila, Jakarta: Kompas Gramedia,
hlm. 123-150
bergantung pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Artinya rajin belajar dengan
tetap menjaga ke-Indonesia-an tanpa bermaksud meniru orang lain. 20
Selanjutnya, Mukti mengatakan bahwa Indonesia milik kita semua. Oleh
karena itu, harus saling berbagi dan memperkuat satu sama lain. Cara merajut
keberagaman adalah dengan kebesaran jiwa untuk bisa saling menerima, toleransi
saja tidak cukup. Selain itu, sikap saling menerima diikuti saling mengakomodasi
antara satu dengan yang lain. Kampus dapat dijadikan model toleransi dan
kerukunan dengan didirikannya rumah ibadah dari berbagai agama di Indonesia.
Hal tersebut merupakan contoh sikap mengakomodasi, sebagai upaya untuk saling
bekerja sama satu dengan yang lain. Selama pandemi Covid-19 kita dapat
mengambil hikmah, yaitu umat beragama saling bekerja sama, saling membantu,
dan perbedaan yang ada tidak menjadi pemisah dan tidak menjadi persoalan yang
dihadapi.21
Sependapat dengan Mukti, Romo Andang mengatakan bahwa dalam situasi
pandemi Covid-19, kita diingatkan bahwa segala macam atribut-atribut
kemanusiaan ternyata menjadi tidak relevan. Maka dalam situasi yang sangat
berat, kita perlu empati, perlu saling menolong. Situasi pandemi ini yang membuat
kita menyadari rasa kemanusiaan. Ia berharap setelah pandemi berakhir, rasa
kemanusiaan ini dapat terus berlanjut sehingga persaudaraan menjadi lebih
kuat.Lebih lanjut, Pendeta Jimmy Sormin sebagai narasumber terakhir,
menyampaikan bahwa perbedaan saat ini tidak bisa kita gugat lagi, namun
seharusnya bisa dinikmati dan disyukuri.22
Di akhir sesi, Zastrouw menyimpulkan bahwa menjaga nilai-nilai Pancasila
sebagai falsafah hidup bagi bangsa untuk tetap bersatu merupakan upaya merawat
dan merajut keberagaman di Indonesia. Wisdom atau kearifan, toleransi yang
menjadi langkah awal merajut kebersamaan, dan empati, merupakan kunci
moderasi beragama di Indonesia. Harapannya nilai-nilai tersebut dapat ditiru dan

20
https://www.ui.ac.id/nilai-nilai-pancasila-sebagai-kunci-moderasi-beragama/
21
Ibid
22
Ibid
diterapkan oleh mahasiswa di lingkungan kampus agar timbul rasa ‘saling’ yaitu
saling merasa, saling memberi, dan saling menerima antarsesama. 23
Moderasi beragama sudah seharusnya menjadi program dan bagian dari
kehidupan kampus yang kreatif untuk meredakan berbagai persoalan perbedaan
yang terjadi di tengah masyarakat yang saat ini terjadi, seperti klaim kebenaran
absolut, subjektivitas, arogansi ajaran agama, radikalisme dan sekularisme.
Kampus perlu menjadi contoh dalam pengembangan komitmen toleransi untuk
menghadapi radikalisme agama. Kampus harus menjadi pelaku dalam
mengamalkan agama sekaligus merawat kebinekaan. Harus diakui bahwa agama
telah menjadi nafas dalam membangun kehidupan bangsa ini, agama telah menjadi
modal bangsa, oleh karena itu moderasi beragama harus menjadi energi
pendorong terciptanya pluralitas dan multikultural. Sekaligus menjadi solusi untuk
menciptakan kehidupan keagamaan yang toleran untuk membangun kehidupan
sosial, politik dan ekonomi yang lebih baik dari waktu ke waktu. rukun harmoni,
damai, serta menekankan keseimbangan, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga,
masyarakat, maupun kehidupan secara keseluruhan. 24
Moderasi beragama tidak boleh dipahami secara keliru sebagai sikap
moderat yang artinya menyamakan satu agama dengan agama lainnya secara
substansial agar dapat berkompromi dalam praktek ibadahnya. Hal ini tentu saja
berbeda dengan makna moderasi beramaga yang menekankan kepada toleransi
25
dalam menghargai perbedaan dan keyakinan masing-masing agama.
Direktur Direktorat Pendidikan TInggi Keagamaan Islam (Diktis) Kemenag RI
Suyitno, menegaskan moderasi beragama dapat diimplementasikan melalui tiga
fungsi pendidikan, pengabdian kepada masyarakat dan penelitian. Pertama untuk
membangun inklusivisme, kampus perlu dalam pendidikan perkuliahan ada insersi
kurikulumnya, memasukkan moderasi dalam matakuliah yang relevan. Kampus
perlu memperkuat tasamuh (toleransi) untuk memanusiakan manusia, persolan
keyakinan adalah bersifat personal dan secara publik perlu membangun komunikasi
dengan berbagai pihak. Kemudian yang kedua dalam kegiatan pengabdian
23
Ibid
24
Nurgiansah, & Khoerudin, 2021. Role Playing dalam Pembelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Jurnal Kewarganegaraan, Vol. 18, No. 1, hlm. 56-64.
25
Ibid
masyarakat harus diarahkan dengan melibatkan sasaran lintas agama untuk
membangun persaudaraan dan mengarusutamakan nilai kemanusiaan tersebut.
Selanjutnya, yang ketiga penelitian di kampus juga diarahkan adanya riset
kolaboratif, bersama perguruan tinggi lain.26
Harapanya ketika ketiga hal itu diterapkan di kampus, akan menjadi
pembelajaran yang baik dalam rangka mewujudkan kerukunan antar umat
beragama, dan kampus hadir sebagai penggerakannya. Untuk
mengimplementasikan hal tesebut perlu kontribusi dan kolaborasi dari berbagai
pihak tidak hanya kampus tetapi pemerintah, ormas keagamaan, ormas pemuda,
LSM, dan segenap masyarakat. Dengan adanya kolaborasi tersebut maka harapan
dan cita-cita bersama untuk terwujudnya kerukunan, kedamaian, dan keharmonisan
bersama dapat terwujud.27

C. Penutup
Disadarai atau tidak, salah satu persoalan mendasar terciptanya radikalisme
di kampus adalah lemahnya kurikulum pembelajaran yang bermuara kepada
pembelajaran keagamaan di kampus tersebut. Kurikulum dalam pendidikan islam,
kendati pada tingkat perguruan tinggi masih bersifat tradisional, yaitu sebagai
berikut ; (1) dipelajari secara monoton dan tanpa kontekstual; (2) pembelajarannya
menutup kemungkinan timbulnya analisis sosial; (3) belum menjadi kegiatan
pembelajaran yang mempunyai rencana dampak atas kondisi sosial ekonomi
masyarakat; (4). Tertutup pada upaya upaya diskusi secara terbuka pada
perbedaan; (5) pembalajaran yang dilakukan lebih banyak repetisi; (6) belum
memiliki tujuan dalam konteks penetapan toleransi; (7) moderasi beragama belum
menjadi topik utama dalam pilihan tegas tujuan dan implementasi pembelajaran.
Padahal sejarah mencatat, bahwa gerakan moderasi hadir menjadi anti tesa
radikalisme. Diskursus moderasi memberikan pemahaman secara komprehensif
dan utuh untuk menghasilkan satu benang merah yang menjadi solusi dari benturan
keras akibat radikalisme.

26
Rosikhan Anwar, 2021. Implementasi Moderasi Beragama di Perguruan Tinggi, Semarang: Undip
Press, hlm. 1-2
27
Ibid
Gagasan dan realitas mahasiswa sebagai agen perubahan memiliki peran
signifikan untuk memberi pengaruh kepada masyarakat dalam mengenalkan dan
mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila, terutama pada aplikasi moderasi
beragama. Sebagai agen perubahan tentu saja, mahasiswa akan mendapat
perhatian, karena pilihan mahasiswa selalu akan dibaca sebagai dari proses
penting dirinya dalam mengembangkan logikanya untuk masyarakat. Kebalikannya,
jika mahasiswa berpotensi berfikir dan bersikap tidak toleran maka hal ini juga akan
berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat. Akibatnya, nilai-nilai
pluralisme dan multikultural tidak membangun kepekaan sosial sehingga apapun
persoalan yang muncul dalam masyarakat akan selalu dibaca sebagai konflik
berlatar belakang ras, suku, agama, budaya, warna kulit dan faktor pembeda
lainnya.
Sikap moderasi beragama bukan saja penting dalam contoh kehidupan
kampus untuk masyarakat tetapi juga sebagai cermin bagi pemerintah dalam
berbagai pengambilan keputusan yang mengedepankan kemaslahatan umum
dibandingkan kemashalat individu. Berkembangnya Ideologi radikal bisa bersumber
dari manapun, bahkan agama apabila disalahartikan dalam memahaminya.
Radikalisme adalah sebuah ideologi berpikir yang pasti berbernturan dengan
konsep dasar kemanusiaan. Para penganut paham ini akan menghalalkan berbagai
cara untuk mewujudkan cita-cita dan target yang ditujunya. Adapun langkah
strategis dalam membungkam gerakan radikalisme tidak lain adalah doktrinisasi
total dengan gerakan moderatisme atau wasathiyah.
Terma-terma penting yang perlu dihadirkan dalam menanamkan sifat
moderasi beragama di kampus perlunya menanamkan hakikat beragama pada
kepentingan menggapai kemaslahatan dari keberagamaan. Artinya pendekatan
materi agama di kampus perlu menggunakan pendekatan korelasi manusia dan
agama dalam konteks nasionalisme sebagai acuan utama, karena Islam memiliki
jargon agama menganjurkan kita untuk mencintai tanah air dan Islam adalah
Rahmatan lil ‘alamin, rahmat untuk semesta alam. Rahmat bagi manusia tanpa
dilihat dari persoalan rasis. Islam tidak hanya mengatur Ibadah vertikal tetapi juga
mengajarkan ibadah horisontal, yakni hubungan manusia dengan makhluk hidup
lainnya.
Perbedaan agama dan keyakinan pada dasarnya adalah suatu rahmat dari
Tuhan YME karena Tuhan tidak mungkin menciptakan semua mahluknya sama.
Memahami perbedaan tidak boleh menciptakan fanatisme yang berlebihan karena
akan berdampak negatif dan memecah kesatuan umat Islam dan bangsa
Indonesia. Islam merupakan sesuatu bagian, sedangkan umat Islam adalah bagian
yang lain. Meski berbeda, namun merupakan sebuah sistem dan kesatuan yang
utuh dan tidak bisa dipisahkan.

D. Alur Pikir :

Implementasi Pancasila

Moderasi Beragama

Perguruan Tinggi

Kultur Kampus Politik Identitas Pengaruh dari Kurikulum


Luar Kampus Kampus

Radikalisme/Intoleransi
di Kampus

Deradikalisasi/
Membangun Moderasi
Beragama

Membangun Ruang Menentang dominasi Pelibatan Mahasiswa


Dialogis pemikiran dalam Persoalan
E. Daftar Pustaka Bangsa
Eleanora, F.N, Sari, A. 2019. Relevansi Pendidkan Pancasila Dan Potret
Mahasiswa Di Perguruan Tinggi. Jurnal Civic Hukum Volume 4, Nomor 2,
November.
Hakim, L., & Ekapti, R. F, 2019. Penguatan Pendidikan Pancasila Sebagai Jatidiri,
Refleksi, dan Tantangan Dalam Membatasi Paham Radikalisme Mahasiswa di
Perguruan Tinggi Islam Ponorogo, Jurnal Muslim Heritage, Vol. 4, No. (2).
https://bpip.go.id/berita/992/816/rektor-uns-gerakan-moderasi-beragama-sebagai-
jalan-pertahankan-pancasila.html
https://nasional.sindonews.com/read/563344/15/moderasi-beragama-di-kampus-
https://nasional.sindonews.com/read/563344/15/moderasi-beragama-di-kampus-
1633705814
https://penelitian.uisu.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/7.-Ahmad-Fuadi-
Hemawati.pdf
https://www.ekrut.com/media/inklusif-adalah
https://www.suaramerdeka.com/pendidikan/pr-042258684/implementasi-moderasi-
beragama-di-perguruan-tinggi?page=2
https://www.ui.ac.id/nilai-nilai-pancasila-sebagai-kunci-moderasi-beragama/
Ismail R. Al-Faruqi. 1978, Islam Dan Agama Lain, Dalam Altaf Gauhar : Tantangan
Islam (terj.), Bandung: Penerbit Pustaka.
James G. Kellas, 1988, The Politics of Nationalism and Ethnicity, edisi II, New York:
ST Martin's Press.
Kaelan, 2021. Pendidikan Pancasila, Jurnal Prisma, Vol. 39, No. 1.
Kaelan. 2013. Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis,
Dan Aktualisasinya, Yogyakarta : Paradigma.
Kartono (Ed.), 2011, Membumikan Pancasila Serpihan Gagasan Pendidik,
Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Muhamad Murtadlo, 2019, Menakar Moderasi Beragama di Perguruan Tinggi,
Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, Kemenag RI.
Muthohirin, 2019. Potret Radikalisme Agama di Negara Pancasila, Jakarta: Kompas
Gramedia.
Nurgiansah, & Khoerudin, 2021. Role Playing dalam Pembelajaran Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan, Jurnal Kewarganegaraan, Vol. 18, No. 1.
Rosikhan Anwar, 2021. Implementasi Moderasi Beragama di Perguruan Tinggi,
Semarang: Undip Press.
Sayyid Muhammad Naquib Al-Attas, 1981, Islam dan Sekularisme, Bandung:
Pustaka,.
Sudjito, & Muhaimin, 2018. Membudayakan Nilai-Nilai Pancasila dan Upaya
Menangkal Tumbuhnya Radikalisme di Indonesia, Jurnal Pendidikan Nilai dan
Pembangunan Karakter, Vol. 2, No. 1.

Anda mungkin juga menyukai