Beragama
Imroatul Azizah1
1. Pendahuluan
Sudah tidak diragukan, bahwa pondok pesantren terbukti telah
menjadi garda terdepan dalam mengantisipasi perubahan yang terjadi di
bumi pertiwi. Tempat yang menjadi pusat pendidikan keagamaan ini
dianggap sebagai sumbernya pendidikan akhlak dan moral. Zaman boleh
silih berganti dengan segala tantangannya. Namun ia tetap bertahan,
bahkan berkembang pesat dari waktu ke waktu.
Dunia maya ibarat dua mata pisau. Memberi efek positif di satu
sisi, namun berdapak negatif pula di sisi lainnya. Sisi positif ini yang
harus digali oleh santri di era milenial. Kemudahan akses bisa menjadi
modal besar dalam menyuarakan nilai-nilai moderasi. Berlandaskan
pemahaman berbagai bidang agama yang dimilikinya, serta akhlakul
karimah yang telah terbentuk, sudah sepatutnya santri milenial memiliki
kepedulian yang besar sebagai pelopor kedamaian, dengan
memanfaatkan segala kemudahan tersebut.
Dengan bekal pemahaman agama dan karakternya pula, sisi
negatif dunia maya juga sudah seharusnya sangat mudah ditepis dan
dicegah oleh santri milenial. Bukan hanya dirinya sendiri, namun juga
bisa mengajak orang lain untuk waspada terhadap dampak-dampak
negatif tersebut.
Islam adalah agama yang damai. Maka dengan intelektualnya di
bidang agama, wawasan keislamannya yang mumpuni, sikap terbuka
serta berbagai karakter positif yang dimlikinya, santri sudah seharusnya
menjadi garda terdepan dalam menggaungkan moderasi.
2. Metode
Metode dalam penulisan artikel ini menggunakan metode
kualitatif dengan modal deskriptif berbentuk kajian pustaka. Metode
analisinya menggunakan analisis isi. Dimulai dengan pencarian
informasi dan mendeskripsikan, mengumpulkan data secara sistematis,
dan menjelaskan secara deskriptif. Adapun sumber referensi adalah
jurnal-jurnal, majalah, dokumen, situs berita online, yang memuat
tentang santri, generasi milenial dan moderasi beragama.
3. Hasil
A. Santri dan Pesantren
Meski bisa dikatakan pesantren ada unsur keidentikan dengan
padepokan,tetapi tidak lantas benar kalau dikatakan pesantren adalah
hasil adopsi dari padepokan. Sistem dan metodologi pembelajaran dalam
pesantren lebih banyak kemiripan corak dengan ‘Asshabu Shuffah’ di
Madinah. Kalau diumpamakan hadis, justru terhadap golongan inilah
pesantren bersanad. Selain identik, kalau mau mengurutkan sejarah
pesantren, maka akan ditemukan adanya persambungan sanad antara
pesantren dengan Asshab al-Suffah. Golongan yang masyhur dengan
nama asshab al-suffah itu adalah sekelompok sahabat Nabi yang tidak
B. Karakteristik Santri
Kebiasaan atau pembiasaan yang bersifat kontinyu atau terus-
menerus dan telah menjadi perilaku, maka dapat membentuk karakter.
Banyak faktor yang mempengaruhi terbentuknya karakter ini. Faktor
lingkungan dianggap sebagai faktor yang paling berpengaruh dalam hal
ini.
Bicara tentang santri, ada santri dalam makna sempit, ada santri
dalam makna luas. Dalam makna sempit, santri adalah mereka yang
menuntut ilmu agama dan tinggal di pesantren. Namun dalam makna
luas, santri tidak selalu mereka yang tinggal di pesantren. Siapapun yang
bersungguh-sungguh dalam menjalankan agama Islam, dapat disebut
santri. Namun pada intinya, kedua-duanya dipandang sebagai orang
yang memiliki pengetahuan agama lebih dan taat menjalankannya.
Santri dalam makna khusus, maka lingkungannya adalah
pesantren. Di tempat ini karakter khas santri terbentuk. Jiwa spiritual dan
sosial yang tinggi, adalah bagian dari karakteristik tersebut.
Karakter santri yang unik diataranya; teosentris; yaitu sebuah
nilai dalam karakter diri santri yang dilandasi pemikiran bahwa sesuatu
kejadian berasal, berproses, dan kembali kepada kebenaran Allah Swt.
Semua aktivitas pendidikan dipandang sebagai ibadah kepada Allah Swt,
dan merupakan bagian integral dari totalias kehidupan keagamaan.
Orientasi akhirat menjadi hal yang paling diutamakan dala segala
perbuatan sehari-hari.
Sifat tersebut menjadikan santri lebih menjaga diri dari perbuatan
yang syubhat (masih diragukan hukumnya), apalagi bathil (buruk).
Spritualitas yang tinggi, membuat dirinya selalu merasa dalam
pengawasan Sang Pencipta. Sehingga segala perbatannya semata-mata
hanya diniati beribadah kepada Allah SWT.
Karakter berikutnya adalah ikhlas tanpa pamrih dalam mengabdi.
Ini bisa dilihat dari Hal itu tercermin dari kerelaan mereka dalam
menuntut ilmu di pesantren. Mereka juga melakukan segala aktivitas
belajar atau pembiasaan atas kesadaran yang tinggi, bahkan tanpa harus
diawasi langsung oleh kiai atau ustadz. Kadang ada pula santri yang
secara khusus mengabdikan dirinya kepada sang kiai, demi untuk
mendapat berkah. Berkah ini yang diyakini akan membawa kesuksesan
di kemudian hari, saat mereka berbaur dengan masyarakat.
Sifat selanjutnya adalah rendah hati, sabar, taat pada ketentuan
hukum agama, dan memiliki himmah yang tinggi tanpa merugikan orang
lain. Bahkan sebaliknya, berusaha membawa manfaat bagi kepentingan
orang banyak. Santri juga menghormati serta menjunjung tinggi
perbdaan dan keragaman. Ia juga memiliki pertimbangan saat hendak
mengambil keputusan.
Sifat berikutnya adalah sederhana. Tidak membanggakan diri
meskipun dari keluarga berada. Karena di pesantren semua memiliki hak
dan kewajiban yang saa. Memiliki fasilitas yang sama, yang cenderung
terbatas.
Sifat khas lainnya adalah berdikari atau mandiri, tidak
bergantung pada orang lain. Tidak tinggi hati dan sombong walau
berasal dari keluarga berada atau bila perlu anak pejabat. Dengan
C. Santri Milenial
Generasi millennial atau millennium dalam satu literasi dikatakan
sebagai generasi Y namun pada pendapat lain yang menyatakan bahwa
genereasi Y tidak maenganggap bahwa mereka adalah genearsi
millennial. generasi ini adalah generasi yang tumbuh ditengah
perkembangan teknologi yang cukup pesat. Generasi millennial adalah
generasi yang lahir pada masa internet booming sehingga perilaku
generasi milenaial yang melekat dengan teknologi komunikasi berbasis
internet. [5]
Lyons mengungkapkan ciri– ciri dari generasi Y adalah
karakteristik masing-masing individu berbeda,tergantung dimana dia
dibesarkan, strata ekonomi, dan sosial keluarganya, pola komunikasinya
sangat terbuka dibanding generasi-generasi sebelumnya, pemakai media
D. Moderasi Beragama
Moderasi adalah wacana yang belakangan digaungkan kembali.
Fenomena intoleransi serta ekstrimisme berdasar agama menjadi salah
satu penyebabnya.
Lebih dari dua dekade terakhir, khususnya di Indonesia, gerakan
radikalisme Islam semakin menyeruak di ruang publik. Beberapa
fenomena yang bisa dengan mudah menjadi tanda bagi kemunculannya,
ialah; Pertama, aksi-aksi terorisme, baik yang berskala kecil maupun
besar, terjadi secara berulang-ulang. Kelompok teroris bermunculan,
meski berbagai langkah pencegahan dan pemberantasan telah dilakukan
pemerintah. Ibarat sebuah pepatah “mati satu tumbuh seribu”, kematian
ideolog teroris seperti Azahari bin Husin, Amrozi, dan Imam Samudra
tidak membuat pergerakan “para pejuang di jalan Allah” ini berhenti,
tetapi justru bertransformasi menjadi kelompokkelompok kecil yang
baru, militan, aktif, dan berbahaya. Kedua, munculnya kelompok yang
menyuarakan dikembalikannya Piagam Jakarta sebagai dasar negara.
Fenomena ini menguat dan ditandai dengan dipraktikkannya
bentuk pemerintahan daerah (Perda) berbasiskan Syari’ah sebagaimana
yang terjadi di Sulawesi Selatan, Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Barat,
Banten, Indramayu, Riau, Sumatera Barat, Yogyakarta, Pamekasan, dan
sejumlah kota dan daerah lainnya.1 Ketiga, dijadikannya masjid,
mushallah, kampus, dan kos-kos mahasiswa sebagai basis pergerakan
sejumlah organisasi fundamentalisme Islam. Tempattampat ini menjadi
pusat kajian, indoktrinasi, perekrutan dan mobilisasi benihbenih Islam
radikal melalui program halaqah, usrah, atau daurah. 2 Keempat,
hadirnya beberapa organisasi lokal (tidak ada kaitannya dengan gerakan
Islam transnasional) yang mengatasnamakan Islam, seperti Front
Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Forum
Umat Islam (FUI) yang menginginkan diberlakukannya islamisasi ruang
publik, serta menjadi “aparat keamanan” bagi masyarakat yang
melanggar “norma-norma agama” dalam perspektif mereka. Kelima,
menguatnya gerakan radikalisme Islam juga ditengarai oleh keberadaan
4. Pembahasan
Sebagai kekuatan yang menentukan masa depan Indonesia,
generasi milenial menghadapi tantangan yang amat serius dalam isu
radikalisme. Anak milenial juga tumbuh bersama berkembangnya
kelompok agama garis keras, yang menanamkan intoleransi,
pemberontakan, hingga ide-ide yang membahayakan persatuan warga-
bangsa di negeri ini.
Kerentanan kaum milenial terhadap politik identitas yang begitu
menjebak dalam beberapa tahun belakangan juga meresahkan. Untuk
semua itulah kita perlu memperkuat kembali kepemilikan atas identitas
kita yang sebenarnya, yaitu muslim Indonesia yang moderat, yang
beragama secara ramah, toleran, dan menerima keanekaragaman.
Generasi milenial dianggap sebagai masa depan bangsa yang
memiliki rasa percaya diri yang tinggi dalam menghadapi tantangan.
Dalam hal agama, mereka meyakini bahwa agama adalah sesuatu yang
sangat penting dalam kehidupan mereka. Namun terkadang mereka
lebih menonjolkan identitas keagaamaan mereka hanya sebatas simbol.
Di samping itu, masih ada di antara mereka yang belum siap
menerima perbedaan beragama, bahkan enggan untuk berjalan
beriringan dengan pemeluk agama lain. Kericuhan-kericuhan, ujaran-
ujaran kebencian, banyak diakibatkan karena sentimen agama. Di media-
media sosial, masih ditemukan perdebatan-perdebatan dan saling
menyalahkan serta menganggap agamanya yang paling benar. Yang
lebih ironis, hal itu terjadi di antara sesama muslim.
Sebagai generasi mayoritas, penting bagi kita menjaga dan
mengarahkan generasi milenial agar tidak terjebak ajaran ekstreamisme,
baik ekstream kanan maupun ekstream kiri. Moderasi beragama
merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukuan beragama dalam
sekala nasional dan global. Dengan menolak ekstreamisme dalam
beragama, maka akan tercipta keseimbangan hidup dan terpeliharanya
peradaban yang damai.
Generasi milennial sebagai pengguna internet secara umum
kurang mampu dalam memilih-memilah informasi dan cenderung
mengesampingkan moral, etika dalam berkominukasi dan menyebarkan
informasi di media sosial. Ketergantungan terhadap gadget membuat para
kaum millennial tidak memfilter informasi yang masuk, jika informasi itu
(uzlah), serta yang biasa adalah “mutih” atau puasa, dalam tingkatan
selanjutnya disebut riyadloh dan mujahadah. [14]
Di era milenial ini, perilaku tasawuf bukanlah uzah atau
menyendiri dalam arti tekstual, melainkan menjalankan esensinya. Inti
tasawuf adalah berperang melawan hawa nafsu, sebab karena nafsulah
hati terhalangi dari proses “dicerahi” nurullah (cahaya Allah). Sering ini
disebut meninggalkan yang diharamkan, yang syubhat, meninggalkan
yang mubah dan istiqomah dalam ikutan yang sunah dan yang wajib.
Orang “narekat” mengarah pada intinya, apa itu? Mendekati Allah ( مراقبة
) باهللagar bisa memasuki tingkatan maqomat (tahapan batiniyah, iman
dan ruhaniyah). Seperti maqom al-mu’minin, hingga al-muhsinin atau
dalam maqomat seperti al-mutawabin, al-muhibbin, al-shiddiqin hingga al-
muttaqin.[14]
Di zaman kekinian, perilaku manusia cenderung serba hedonis,
konsumtif, praktis dan instan, individualistis, kepura-puraan, hoaks,
saling tuduh, dan saling hujat, yang puncaknya adalah rasa jenuh. Ketika
sampai pada titik jenuh, manusia milenial membutuhkan nutrisi batiniah
dan asupan rohani agar bangun dari keterpurukan hidup, Ini juga
merupakan tugas santri milenial. Selain dirinya sendiri harus mampu
melakukan lelaku tersebut, ia juga mengajak orang lain untuk
melakukannya, melalui dakwah-dakwahnya, baik dakwah langsung
maupun melalui media-media sosial.
5. Kesimpulan
Sebagai generasi penerus, kaum milenilal layak mendapatkan
pemahaman yang serius tentang moderasi beragama. Untuk apa? Untuk
menjaga stabilitas jalannya hidup berbangsa dan bernegara. Kita tentu
tidak ingin, mendapati generasi milenial yang kaku terhadap sebuah
perbedaan dan bercerai berai karena tak siap dengan kemajemukan.
Dengan moderasi beragama, generasi muda akan tangguh dan tidak
mudah terpecah belah.
Jika moderasi beragama telah dipahami secara mendalam oleh
santri milenial, tidak aka nada lagi sikap memandang rendah agama lain.
Berbuat baik akan dilakukan tanpa memandang apapun agamanya.
Perbedaan justru menjadi perekat untuk menciptakan keharmonisan
hidup. Intinya, moderasi beragama akan membawa kita pada kebaikan
bersama. Tidak penting apa agama dan sukumu, kalau kamu bisa
melakukan seseuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan
bertanya apa agamamu.
Generasi milenial merupakan harapan bangsa, jangan biarkan
terjerumus dalam kefanatikan yang salah. Moderasi beragama menjadi
suatu yang urgen untuk diterapkan pada generasi milenial. Bahwa dalam
memandang sebuah perbedaan, agama mengajarkan kita untuk bersikap
berada di tengah-tengah. Pada generasi milenial, keberadaan pemikirian
moderasi beragama harus sesuai porsi dan tempatnya. Moderasi
beragama menjadi kunci generasi milenial menjawab semua tantangan,
Santri, sebagai seseorang yang dipandang memiliki pengetahuan
agama yang lebih, akhlakul karimah, sudah seharusnya menjadi
penyejuk di antaranya derasnya isu-isu radikalisme, fanatisme dan
ekstrimisme. Apalagi di era milenial ini, banyak hal yang bisa mereka
lakukan sebagai bekal atau senjata untuk menanakan nilai-nilai moderasi
keberagamaan. Bila hal ini dilakukan secara massif dan
berkesinambungan (istiqomah), maka harapannya akan tercipta suasana
sejuk dan damai, tanpa memandang diri sendiri yang paling benar dan
orang lain salah.
Santri dari generasi milenial adalah tumpuan negeri ini. Jangan
sampai mereka terjebak dalam kefanatikan yang salah. Moderasi
beragama menjadi suatu yang urgen untuk diterapkan pada santri
generasi milenial. Bahwa dalam memandang sebuah perbedaan, kita
telah diajarkan untuk bersikap berada di tengah-tengah. Pada generasi
milenial, keberadaan pemikirian moderasi beragama harus sesuai porsi
dan tempatnya. Moderasi beragama menjadi kunci generasi milenial
menjawab semua tantangan,
6. Daftar Referensi
[1] Fahrurrozi dan M. Thohri, “Media Dan Dakwah Moderasi : Melacak
Peran Strategis Dalam Menyebarkan Faham Moderasi di Situs
Nahdlatul Wathan on-Line Situs Kalangan Netizen Muslim-Santri,”
Media dan Dakwah Moderasi, vol. 17, no. 1, hlm. 155–180, 2019.
[2] S. Anah, “Pondok Pesantren sebagai Wadah Moderasi Islam di Era
Generasi Milenial,” Jurnal Keislaman, vol. 4, no. 1, hlm. 32–47, 2021,
doi: 10.54298/jk.v4i1.3273.
[3] A. A. Leksono, “REVITALISASI KARAKTER SANTRI DI ERA
MILLENIAL,” https://dki.kemenag.go.id/, 2018.
https://dki.kemenag.go.id/opini/revitalisasi-karakter-santri-di-era-
millenial-2
[4] A. Yulianto, “Membangun Ruhul Jihad Kaum Santri,” republika.co.id,
2017.
https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/11/09/jur
nalisme-warga/wacana/17/10/19/oy21a9396-membangun-ruhul-
jihad-kaum-santri
[5] Y. Fahrimal, “Netiquette: Etika Jejaring Sosial Generasi Milenial
Dalam Media Sosial,” Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi
Pembangunan, vol. 22, no. 1, hlm. 69–78, 2018, doi:
10.46426/jp2kp.v22i1.82.
[6] I. I. Generasi, “Essai Santri Milenial,” hlm. 5–46, 1952.
[7] M. C. Syahputra, “Jihad Santri Millennial Melawan Radikalisme di
Era Digital: Studi Gerakan Arus Informasi Santri Nusantara di Media
Sosial,” Jurnal Islam Nusantara, vol. 4, no. 1, hlm. 69–80, 2020, doi:
10.33852/jurnalin.v4i1.187.
[8] N. Muthohirin, “Radikalisme Islam dan Pergerakannya di Media
Sosial (Islamic Radicalism and its Movement on Social Media),” Jurnal
Afkaruna, vol. 11, no. 2, hlm. 240–259, 2015, doi: 10.18196/AIIJIS.2015.
[9] N. Sucahyo, “Walisongo dan Sejarah Islam Moderat di Indonesia,”
https://www.voaindonesia.com, 2020.
https://www.voaindonesia.com/a/walisongo-dan-sejarah-islam-
moderat-di-indonesia/5505159.html
[10] luh riniti Rahayu dan putu surya wedra Lesmana, “Moderasi
Beragama di Indonesia,” Intizar, vol. 25, no. 2, hlm. 95–100, 2019.
[11]P. Widodo dan K. Karnawati, “Moderasi Agama dan Pemahaman
Radikalisme di Indonesia,” PASCA: Jurnal Teologi dan Pendidikan
Agama Kristen, vol. 15, no. 2, hlm. 9–14, 2019, doi:
10.46494/psc.v15i2.61.
[12]K. Mudawinun, “Integrasi Nilai-Nilai Moderasi pada Pendidikan
Anak Usia Dini Berbasis Living Values Education (LVE),” Proceedings
of Annual Conference for Muslim Scholars, no. Series 2, hlm. 721–730,
2018.
[13]D. Murtado, “Menag: Perlu Ada Strategi Kebudayaan dalam
Memperkuat Moderasi Beragama,” kemenag.go.id, 2021.
https://kemenag.go.id/read/menag-perlu-ada-strategi-kebudayaan-
dalam-memperkuat-moderasi-beragama-gm9lo
[14]M. H. Suhaemi, “Tasawuf Milenial, Dasar dan Tujuan,”
serikatnews.com, 2020. https://serikatnews.com/tasawuf-milenial-
dasar-dan-tujuan/