Anda di halaman 1dari 20

Imroatul Azizah Peran Santri Milenial dalam Mewujudkan Moderasi

Beragama

Peran Santri Milenial dalam Mewujudkan Moderasi


Beragama

Imroatul Azizah1

1MDT Wustho Wahidiyah PP Kedunglo Al Munadhdoroh, Jl.


KH. Wachid Hasyim Bandar Lor Mojoroto, Kota Kediri, Jawa
Timur, 64114, Indonesia.
Email: mazzdalova@gmail.com

Abstrak: Dengan pengetahuan agama yang mumpuni serta


karakternya yang khas, santri hampir selalu dipandang positif di
tengah masyarakat. Karakter dan kelebihan yang dimiliki santri
membuka peluang yang lebar untuk menjadi pelopor segala
bentuk kebaikan dan perubahan. Moderasi di antaranya. Sebab
isu moderasi adalah isu yang sangat erat kaitannya dengan
dengan pemahaman agama. Maka peran santri sangatlah vital.
Apalagi bila didukung dengan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang semakin maju di era milenial ini, semakin lengkaplah
‘senjata’ yang dimiliki santri dalam menjalankan peran tersebut.
Maka mucullah istilah santri milenial. Melalui artikel ini penulis
ingin membahas hal tersebut, untuk mengetahui seberapa
pentingnya peran santri milenial dalam mewujudkan moderasi
beragama. Adapun metode dalam penulisan artikel ini
menggunakan metode kualitatif dengan modal deskriptif
berbentuk kajian pustaka. Metode analisinya menggunakan
analisis isi. Adapun sumber referensi adalah jurnal-jurnal dan
situas yang memuat tentang pesantren, santri, era milenial dan
moderasi beragama.

Kata Kunci: Milenial, Moderasi Beragama, Santri.

1. Pendahuluan
Sudah tidak diragukan, bahwa pondok pesantren terbukti telah
menjadi garda terdepan dalam mengantisipasi perubahan yang terjadi di
bumi pertiwi. Tempat yang menjadi pusat pendidikan keagamaan ini
dianggap sebagai sumbernya pendidikan akhlak dan moral. Zaman boleh
silih berganti dengan segala tantangannya. Namun ia tetap bertahan,
bahkan berkembang pesat dari waktu ke waktu.

Vol. 4 November 2021 197


Pascasarjana IAIN Kediri
Peran Santri Milenial dalam Mewujudkan Moderasi Imroatul Azizah
Beragama

Dengan segala pandangan positif tentang pesantren, sudah


barang tentu penghuninya, yakni santri, juga diyakini memiliki moralitas
yang tinggi dan wawasan agama yang mumpuni, harus menjadi pelopor
kebaikan di tengah masyarakat.
Di sisi lain, negeri ini, bahkan dunia ini, isu-isu radikalisme,
ekstrimisme, intoleransi dan sejenisnya, telah marak, yang muncul dari
sifat merasa benar dan yang lain salah, bahkan kafir.
Sebenarnya agama telah dipahami secara wajar dan proporsional
oleh masyarakat, sesuai dasar dan tujuan syariat (maqashid al- syariah).
Dalam konteks masyarakat Indonesia, penyebutan maqashid alsyariah
tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai yang dibawa agama seperti keadilan
(‘adalah), keseimbangan (tawazun), moderat (tawassuth), proporsional
(i’tidal), dan toleransi (tasamuh). Hal ini sangat kental dalam tradisi dan
budaya bangsa Indonesia.
Wujud dari perkembangan Islam modern yang membawa prinsip
moderasi Islam di Indonesia adalah menyebarkan ajaran al-wasathiyah
dari para tokoh Islam di Timur Tengah, baik yang datang ke tanah air
atau dibawa oleh para pelajar Indonesia sampai saat ini. Faktanya,
penyebaran pengaruh serta faham tersebut telah berlangsung jauh
sebelum masa kemerdekaan. Gerakan ini sebenarnya juga merupakan
kelahiran kembali generasi muslim sebagaimana pernah terjadi dalam
bentangan sejarah komunitas awal muslim.
Hasil survei nasional PPIM UIN Jakarta di tahun 2017
menunjukkan bahwa internet berpengaruh besar terhadap meningkatnya
intoleransi pada generasi milenial atau generasi Z. Siswa dan mahasiswa
yang tidak memiliki akses internet lebih memiliki sikap moderat
dibandingkan mereka yang memiliki akses internet. Padahal mereka
yang memiliki akses internet sangat besar, yaitu sebanyak 84,94%,
sisanya 15,06% siswa atau mahasiswa tidak memiliki akses internet.
Rupanya generasi milenial lebih mengandalkan dunia maya sebagai
sumber belajar agama. Sebanyak 54,37% siswa dan mahasiswa belajar
pengetahuan tentang agama dari internet, baik itu media sosial, blog,
maupun website.[1]
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi digital ini
sangat mempengaruhi perilaku sosial, termasuk perilaku beragama.
Sebab media digital ini sifatnya membangun jaringan, tidak ada
keberpihakan, interaktif melibatkan peran aktif manusia, dan bahkan
seringkali dapat dimanipulasi. Seperti pasar bebas, tidak ada aturan baku
dalam mengakses internet. Informasi apapun, bahkan catatan pribadi,
bisa dengan mudah dipublikasikan dan dibaca siapa saja.

198 Vol. 4 November 2021


Pascasarjana IAIN Kediri
Imroatul Azizah Peran Santri Milenial dalam Mewujudkan Moderasi
Beragama

Dunia maya ibarat dua mata pisau. Memberi efek positif di satu
sisi, namun berdapak negatif pula di sisi lainnya. Sisi positif ini yang
harus digali oleh santri di era milenial. Kemudahan akses bisa menjadi
modal besar dalam menyuarakan nilai-nilai moderasi. Berlandaskan
pemahaman berbagai bidang agama yang dimilikinya, serta akhlakul
karimah yang telah terbentuk, sudah sepatutnya santri milenial memiliki
kepedulian yang besar sebagai pelopor kedamaian, dengan
memanfaatkan segala kemudahan tersebut.
Dengan bekal pemahaman agama dan karakternya pula, sisi
negatif dunia maya juga sudah seharusnya sangat mudah ditepis dan
dicegah oleh santri milenial. Bukan hanya dirinya sendiri, namun juga
bisa mengajak orang lain untuk waspada terhadap dampak-dampak
negatif tersebut.
Islam adalah agama yang damai. Maka dengan intelektualnya di
bidang agama, wawasan keislamannya yang mumpuni, sikap terbuka
serta berbagai karakter positif yang dimlikinya, santri sudah seharusnya
menjadi garda terdepan dalam menggaungkan moderasi.

2. Metode
Metode dalam penulisan artikel ini menggunakan metode
kualitatif dengan modal deskriptif berbentuk kajian pustaka. Metode
analisinya menggunakan analisis isi. Dimulai dengan pencarian
informasi dan mendeskripsikan, mengumpulkan data secara sistematis,
dan menjelaskan secara deskriptif. Adapun sumber referensi adalah
jurnal-jurnal, majalah, dokumen, situs berita online, yang memuat
tentang santri, generasi milenial dan moderasi beragama.

3. Hasil
A. Santri dan Pesantren
Meski bisa dikatakan pesantren ada unsur keidentikan dengan
padepokan,tetapi tidak lantas benar kalau dikatakan pesantren adalah
hasil adopsi dari padepokan. Sistem dan metodologi pembelajaran dalam
pesantren lebih banyak kemiripan corak dengan ‘Asshabu Shuffah’ di
Madinah. Kalau diumpamakan hadis, justru terhadap golongan inilah
pesantren bersanad. Selain identik, kalau mau mengurutkan sejarah
pesantren, maka akan ditemukan adanya persambungan sanad antara
pesantren dengan Asshab al-Suffah. Golongan yang masyhur dengan
nama asshab al-suffah itu adalah sekelompok sahabat Nabi yang tidak

Vol. 4 November 2021 199


Pascasarjana IAIN Kediri
Peran Santri Milenial dalam Mewujudkan Moderasi Imroatul Azizah
Beragama

punya tempat tinggal dan menggunakan serambi masjid sebagai tempat


tinggalnya. Abu Hurairah adalah maskot kelompok ashab al-suffah dan
paling banyak meriwayatkan hadis Nabi. Mereka menyandarkan hidup
dari pemberian sahabat dan Nabi sendiri. Sekumpulan sahabat pecinta
ilmu itu menghabiskan waktu dengan mengikuti setiap gerak-gerik Nabi,
baik dari sikap maupun perkataan (Qawlan wa Fi‘Lan). Dari kalangan
mereka, kerap muncul para sahabat yang menjadi sumber rujukan dalam
hadis Nabi. [2]
Kata santri menurut kamus besar bahasa Indonesia, memiliki dua
pengertian, yakni; orang yg mendalami agama Islam; dan orang yangg
beribadah secara sungguh-sungguh; orang yang saleh. Adapula yang
menefinisikan santri dari serapan bahasa inggris yang berasal dari dua
suku kata yaitu sun dan three yang artinya tiga matahari.
Matahari adalah titik pusat tata surya berupa bola berisi gas yang
mendatangkan terang dan panas pada bumi di siang hari. Matahari
adalah sumber energi tanpa batas, matahari pula sumber kehidupan bagi
seluruh tumbuhan dan semuanya dilakukan secara ikhlas. Namun
maksud tiga matahari dalam kata sunthree adalah tiga keharusan yang
harus dimiliki oleh seorang santri yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Semua
ilmu tentang Iman, Islam dan Ihsan dipelajari dipesantren menjadi
seorang santri yang dapat beriman kepada Allah secara sungguh-
sungguh, berpegang teguh kepada aturan islam. serta dapat berbuat
ihsan kepada sesama.[3]
Santri pada umumnya didefinisikan sebagai seseorang yang
belajar di pesantren mengenai ilmu agama, tauhid, fiqih, tasawuf, dan
akhlak. Namun, seperti telah disinggung sebelumnya, definisi itu kini
telah mengalami perluasan makna yang mengartikan santri tidak hanya
terbatas pada definisi itu. Santri ialah seorang muslim yang ikut dan
patuh terhadap dawuhnya kai dan memiliki semangat yang sama
layakya santri. Dalam makna luas, siapapun yang berakhlak seperti santri,
adalah santri.

B. Karakteristik Santri
Kebiasaan atau pembiasaan yang bersifat kontinyu atau terus-
menerus dan telah menjadi perilaku, maka dapat membentuk karakter.
Banyak faktor yang mempengaruhi terbentuknya karakter ini. Faktor
lingkungan dianggap sebagai faktor yang paling berpengaruh dalam hal
ini.
Bicara tentang santri, ada santri dalam makna sempit, ada santri
dalam makna luas. Dalam makna sempit, santri adalah mereka yang
menuntut ilmu agama dan tinggal di pesantren. Namun dalam makna

200 Vol. 4 November 2021


Pascasarjana IAIN Kediri
Imroatul Azizah Peran Santri Milenial dalam Mewujudkan Moderasi
Beragama

luas, santri tidak selalu mereka yang tinggal di pesantren. Siapapun yang
bersungguh-sungguh dalam menjalankan agama Islam, dapat disebut
santri. Namun pada intinya, kedua-duanya dipandang sebagai orang
yang memiliki pengetahuan agama lebih dan taat menjalankannya.
Santri dalam makna khusus, maka lingkungannya adalah
pesantren. Di tempat ini karakter khas santri terbentuk. Jiwa spiritual dan
sosial yang tinggi, adalah bagian dari karakteristik tersebut.
Karakter santri yang unik diataranya; teosentris; yaitu sebuah
nilai dalam karakter diri santri yang dilandasi pemikiran bahwa sesuatu
kejadian berasal, berproses, dan kembali kepada kebenaran Allah Swt.
Semua aktivitas pendidikan dipandang sebagai ibadah kepada Allah Swt,
dan merupakan bagian integral dari totalias kehidupan keagamaan.
Orientasi akhirat menjadi hal yang paling diutamakan dala segala
perbuatan sehari-hari.
Sifat tersebut menjadikan santri lebih menjaga diri dari perbuatan
yang syubhat (masih diragukan hukumnya), apalagi bathil (buruk).
Spritualitas yang tinggi, membuat dirinya selalu merasa dalam
pengawasan Sang Pencipta. Sehingga segala perbatannya semata-mata
hanya diniati beribadah kepada Allah SWT.
Karakter berikutnya adalah ikhlas tanpa pamrih dalam mengabdi.
Ini bisa dilihat dari Hal itu tercermin dari kerelaan mereka dalam
menuntut ilmu di pesantren. Mereka juga melakukan segala aktivitas
belajar atau pembiasaan atas kesadaran yang tinggi, bahkan tanpa harus
diawasi langsung oleh kiai atau ustadz. Kadang ada pula santri yang
secara khusus mengabdikan dirinya kepada sang kiai, demi untuk
mendapat berkah. Berkah ini yang diyakini akan membawa kesuksesan
di kemudian hari, saat mereka berbaur dengan masyarakat.
Sifat selanjutnya adalah rendah hati, sabar, taat pada ketentuan
hukum agama, dan memiliki himmah yang tinggi tanpa merugikan orang
lain. Bahkan sebaliknya, berusaha membawa manfaat bagi kepentingan
orang banyak. Santri juga menghormati serta menjunjung tinggi
perbdaan dan keragaman. Ia juga memiliki pertimbangan saat hendak
mengambil keputusan.
Sifat berikutnya adalah sederhana. Tidak membanggakan diri
meskipun dari keluarga berada. Karena di pesantren semua memiliki hak
dan kewajiban yang saa. Memiliki fasilitas yang sama, yang cenderung
terbatas.
Sifat khas lainnya adalah berdikari atau mandiri, tidak
bergantung pada orang lain. Tidak tinggi hati dan sombong walau
berasal dari keluarga berada atau bila perlu anak pejabat. Dengan

Vol. 4 November 2021 201


Pascasarjana IAIN Kediri
Peran Santri Milenial dalam Mewujudkan Moderasi Imroatul Azizah
Beragama

keterbatasan fasilitas, terbentuk karakter sederhana dan menerima apa


adanya. Sifat-sifat ini secara reflek juga menimbulkan rasa peduli kepada
yang lain.
Kata santri jika ditulis dalam bahasa arab terdiri dari lima huruf
‫سنتري‬
( ), yang setiap hurufnya memiliki kepanjangan serta pengertian
‫س‬
yang luas. Sin ( ) adalah kepanjangan dari ‫سا ِف ُق ال َخي ِْر‬
َ
yang memiliki
‫ن‬
arti Pelopor kebaikan. Nun ( ) adalah kepanjangan dari ِ ‫ب العُلَ َم‬
‫اء‬ ُ ‫نَا ِس‬
‫ت‬
yang memiliki arti Penerus Ulama. Ta ( ) adalah kepanjangan dari
ِ َ‫ت َِاركُ ْال َمع‬
‫اصى‬ yang memiliki arti Orang yang meninggalkan
‫ر‬
kemaksiatan. Ra( ) adalah kepanjangan dari ‫للا‬
ِ ‫ضى‬ َ ‫ِر‬
yang memiliki
‫ي‬
arti Ridho Allah. Ya ( ) adalah kepanjangan dari ‫ا َ ْل َي ِقي ُْن‬
yang memiliki
arti Keyakinan. Tentunya masih banyak lagi pemaknaan kata santri dan
itu tergantung perpektif masing-masing yang menjelaskan.[4]
Sebenarnya pun, apa yang disebutkan secara harfiah tersebut
hanya sebagian dari karakter positif santri. Namun pada intinya, santri
dengan segala karakter baiknya adalah sosok yang harus bisa menjadi
role model, menjadi uswah, menjadi qudwah, menjadi panutan.
Terutama sebagai bagian dari kehidupan sosial, tentu karakter santri
telah memiliki tempat tersendiri di mata masyarakat, yang punya
korelasi kuat terhadap nilai dan norma positif masyarakat.
Santri seringkali menjadi tumpuan masyarakat untuk meminta
nasihat dan solusi atas persoalan kehidupan mereka, khususnya di
bidang keagamaan, baik secara individu maupun kelompok. Mereka juga
diharapkan mampu memberikan nasihat serta solusi mengenai
persoalan-persoalan kehidupan masyarakat, baik secara individual
maupun keompok yang berkaitan dengan permasalahan keagamaan.

C. Santri Milenial
Generasi millennial atau millennium dalam satu literasi dikatakan
sebagai generasi Y namun pada pendapat lain yang menyatakan bahwa
genereasi Y tidak maenganggap bahwa mereka adalah genearsi
millennial. generasi ini adalah generasi yang tumbuh ditengah
perkembangan teknologi yang cukup pesat. Generasi millennial adalah
generasi yang lahir pada masa internet booming sehingga perilaku
generasi milenaial yang melekat dengan teknologi komunikasi berbasis
internet. [5]
Lyons mengungkapkan ciri– ciri dari generasi Y adalah
karakteristik masing-masing individu berbeda,tergantung dimana dia
dibesarkan, strata ekonomi, dan sosial keluarganya, pola komunikasinya
sangat terbuka dibanding generasi-generasi sebelumnya, pemakai media

202 Vol. 4 November 2021


Pascasarjana IAIN Kediri
Imroatul Azizah Peran Santri Milenial dalam Mewujudkan Moderasi
Beragama

sosial yang fanatik dan kehidupannya sangat terpengaruh dengan


perkembangan teknologi, lebih terbuka dengan pandangan politik dan
ekonomi, sehingga mereka terlihat sangat reaktif terhadap perubahan
lingkungan yang terjadi disekelilingnya, memiliki perhatian yang lebih
terhadap kekayaan. Anak milenial memiliki karakter dan perilaku yang
melekat dengan internet sehingga generasi milenial memilki karakter
sebagai berikut:
1) Kreatif dan Inovatif. Generasi Milenial adalah generasi yang
Kreatif dan Inovatif, dimana hal ini dapat dibuktikan dengan
hadirnya Start Up yang dibangun oleh pasa Millenial dengan
inovasi berupa robot dan aplikasi yang mereka buat untuk
memudahkan berbagai urusan manusia.
2) Internet Natif Generasi Milenaial adalah generasi dengan
penggunaan internet yang Natif atau fasih, generasi adalah
generai pengguna internet terbanyak dibanding pengguna
internet dari generasi lainnya sehingga mereka fasih dalam
penggunaanya karena kehidupannya yang ditemani gadget.
3) Berorientasi pada Passion Generasi Milenial berorientasi pada
Passion (gairah) sehingga membuat generasi ini sebagai generasi
yang fokus dan berjalan sesuai dengan keinginan atau yang
disukai bahkan terkadang menjadi tujuan dan pekerjaan,
contohnya seperti Youtuber, Vlogger, Musisi, lainnya.[6]

Salah satu bentuk pembekalan terhadap keilmuan umum seperti


halnya praktek penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
untuk pembekalan kepada santri-santri di era digital ini. Dengan
berkembangnya TIK secara pesat tidak dipungkiri telah membawa hal
positif mempermudah pekerjaan manusia dan informasi terbuka selebar-
lebarnya, namun muncul masalah baru. [7]
Disisi lain, perkembangan TIK juga banyak menimbulkan hal
yang negatif seperti persebaran konten pornografi, berita bohong (hoax),
isu-isu SARA, dan bahkan penyebaran paham radikal di berbagai media
sosial. Alih-alih dakwah menyebarkan paham Islam Kaffah kelompok
tertentu dalam dakwahnya justru cenderung memecah-belah bangsa
sangat jauh dari kata ramah, sebagaimana dakwah Islam yang dibawa
Walisongo dan diteruskan para ulama dan kiai-kiai pesantren sbagai
pwaris para nabi dengan mesyiarkan ajaran Islam Rahmatan Lil
„Alamiin. Penggunaan media sosial yang banyak dari kalangan kaum

Vol. 4 November 2021 203


Pascasarjana IAIN Kediri
Peran Santri Milenial dalam Mewujudkan Moderasi Imroatul Azizah
Beragama

muda atau yang ngetrend disebut sebagai kaum millennial tanpa


berbekal pemahaman keagamaan yang matang justru mudah mengikuti
dakwah-dakwah yang mengarah pada paham radikal, ditambah lagi
fenomena generasi klik, yaitu generasi yang jauh dari pemahaman literasi
media, sehingga dengan adanya berita, informasi, konten yang memecah
belah bangsa tanpa tahu kebenarannya mereka (generasi klik)
menyebarkannya ke berbagai media sosial facebook, twitter, whatsapp,
Instagram dan lain sebagainya.[7]

D. Moderasi Beragama
Moderasi adalah wacana yang belakangan digaungkan kembali.
Fenomena intoleransi serta ekstrimisme berdasar agama menjadi salah
satu penyebabnya.
Lebih dari dua dekade terakhir, khususnya di Indonesia, gerakan
radikalisme Islam semakin menyeruak di ruang publik. Beberapa
fenomena yang bisa dengan mudah menjadi tanda bagi kemunculannya,
ialah; Pertama, aksi-aksi terorisme, baik yang berskala kecil maupun
besar, terjadi secara berulang-ulang. Kelompok teroris bermunculan,
meski berbagai langkah pencegahan dan pemberantasan telah dilakukan
pemerintah. Ibarat sebuah pepatah “mati satu tumbuh seribu”, kematian
ideolog teroris seperti Azahari bin Husin, Amrozi, dan Imam Samudra
tidak membuat pergerakan “para pejuang di jalan Allah” ini berhenti,
tetapi justru bertransformasi menjadi kelompokkelompok kecil yang
baru, militan, aktif, dan berbahaya. Kedua, munculnya kelompok yang
menyuarakan dikembalikannya Piagam Jakarta sebagai dasar negara.
Fenomena ini menguat dan ditandai dengan dipraktikkannya
bentuk pemerintahan daerah (Perda) berbasiskan Syari’ah sebagaimana
yang terjadi di Sulawesi Selatan, Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Barat,
Banten, Indramayu, Riau, Sumatera Barat, Yogyakarta, Pamekasan, dan
sejumlah kota dan daerah lainnya.1 Ketiga, dijadikannya masjid,
mushallah, kampus, dan kos-kos mahasiswa sebagai basis pergerakan
sejumlah organisasi fundamentalisme Islam. Tempattampat ini menjadi
pusat kajian, indoktrinasi, perekrutan dan mobilisasi benihbenih Islam
radikal melalui program halaqah, usrah, atau daurah. 2 Keempat,
hadirnya beberapa organisasi lokal (tidak ada kaitannya dengan gerakan
Islam transnasional) yang mengatasnamakan Islam, seperti Front
Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Forum
Umat Islam (FUI) yang menginginkan diberlakukannya islamisasi ruang
publik, serta menjadi “aparat keamanan” bagi masyarakat yang
melanggar “norma-norma agama” dalam perspektif mereka. Kelima,
menguatnya gerakan radikalisme Islam juga ditengarai oleh keberadaan

204 Vol. 4 November 2021


Pascasarjana IAIN Kediri
Imroatul Azizah Peran Santri Milenial dalam Mewujudkan Moderasi
Beragama

laman, akun di media sosial, portal online, serta penerbitan-penerbitan


berbasis Islam yang sengaja dibuat untuk memprogandakan
ideologiideologi kekerasan, ujaran kebencian, pendirian negara Islam,
dan hujatan terhadap produk-produk yang berasal dari Barat.[8]
Perbedaan kerap dijadikan alat saling mencaci yang berujung
pada menjadi pertikaian. Apalagi, Indonesia adalah negeri yang
multikultural, kaya akan budaya, serta menganit berbagai agama, tentu
rentan terhadap perpecahan. Padahal perbedaan diciptakan oleh Tuhan
untuk saling melengkapi dan menguatkan, menghargai dan
menghormati. Perbedaan bukan untuk memecah belah.
Pada dasarnya, agama sejak dahulu mengandung ruh moderasi
dan toleransi. Bahkan di Al Quran ada ayat yang berbunyi: Laa ikroha
fiddiin..; tidak ada paksaan dalam agama. Yang perlu ditanamkan ruh
mooderasi adalah pemeluknya. Setiap orang memiliki interpretasi sendiri
dalam memahami ajaran agama. Faktor lingkungan atau circle pertemanan
juga turu memberi andil besar dalam mempengaruhi.
Jika ditelusuri, sebenarnya moderasi bukanlah hal baru bagi umat
Islam Indonesia. Di Pulau Jawa terutama, penyebaran agama Islam oleh
Sembilan wali atau wali songo, dikenal dengan sikap mereka yang
moderat.
Warisan besar ajaran Sunan Kudus itu masih diselenggarakan di
sebagian wilayah Jawa Tengah bagian Utara. Umat Muslim di kala Idul
Adha misalnya, memilih untuk menyembelih kerbau sebagai ganti sapi.
Begitupun sejumlah menu makanan berbahan daging yang menghindari
daging sapi. Arsitektur Masjid Menara Kudus yang dibangun pada 1.459
oleh Sunan Kudus, juga mengadopsi gaya Hindu di sebagian
bangunannya.[9]
Islam moderat atau yang dimaksud juga Islam Wasathiyyah,
berasal dari dua kata yaitu Islam dan “wasathiyyah”. Islam sebagaimana
yang diketahui adalah agama yang penuh dengan keberkahan, dan
agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Islam merupakan
agama mayoritas yang ada di Indonesia dengan penduduk terbanyak di
dunia saat ini.[10]
Sedangkan dalam bukunya, The Middle Path of Moderation in
Islam (Oxford University Press, 2015), Mohammad Hashim Kamali
menegaskan bahwa moderate, yang dalam bahasa Arab berarti
“wasathiyah”, tidak dapat dilepaskan dari dua kata kunci, yakni
berimbang (balance), dan adil (justice). Moderat bukan berarti kompromi
dengan prinsip-prinsip pokok ushuliyah) ajaran agama yang diyakini
demi bersikap toleran kepada umat agama lain; moderat berarti “…

Vol. 4 November 2021 205


Pascasarjana IAIN Kediri
Peran Santri Milenial dalam Mewujudkan Moderasi Imroatul Azizah
Beragama

confidence, right balancing, and justice…”[11]. Adapun Indikator moderasi


beragama adalah komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan
akomodatif terhadap budaya lokal.
Prof. Dr. Quraisy Shihab dalam program Oase Ramadhan yang
diuopload Youtube Metro TV News (24 April 2021) mengatakan, kata
wasath atau tengah bahwa wasit dalam sepakbola, juga bertugas
menegur kembali ke jalan yang seharusnya, jalur pertengahan. Maka
dalam al quran dan hadis beberapa juga disebut sirotol mustaqim. Jalan
yang lebar dan lurus, maka tidak, maka bisa menampung banyak pejalan,
karena lebar. Selama tujuan kearah yang dituju.
Wasathiyah bukan pertengahan matematis. Boros dan kikir
pertengahannya kedemawanan. Tapi itu bukan hitungan matematis.
Karena ada kebaikan yang tidak ada pertengahannya. Benar itu itu tidak
ada pertengahannya. Benar ya benar, salah ya salah. Moderasi agama itu
memerlukan pengetahuan tentang kondisi dan ajaran agama serta
memerlukan kehati-hatian.
Berbicara tentang moderasi beragama maka juga akan bicara
tentang toleransi. Karena toleransi adalah salah satu bentuk moderasi.
Menurut eks Gubernur NTB, Muhammad Zainul Majid atau yang akrab
dipanggil Tuan Guru Bajang (TGB), toleransi paling nyata adalah
menghargai perbedaan. Dalam Al Quran disebutkan, lakum diinukum
waliya diin. Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Lana a’maluna walakum
a’malukum. Bagi kami amal kami, bagi kamu amal kamu semua.
Rasulullah SAW sendiri juga menerapkan hal itu secara konsisten di
Madinah. Kepada pemeluk agama lain, beliau bersikap sangat toleran.
Dalam sejarah, di seluruh pusat perkembangan Islam, toleransi itu
nyata dan dicatat oleh sejarah. Toleransi adalah sesuatu yang alami
dalam Islam. Di NTB misalnya, di NTB mayoritas94% muslim. Namun di
sisi lain ada banyak wilayah dimana masyarakat berbeda agama
bertetangga. Di Mataram misanya, komunitas Hindu dan Kristen pun
banyak sekali. Di bagian utara Lombok, komunitas Budha juga banyak
sekali. Namun semua merasa bahwa NTB itu rumahnya.
Tahun 2016 saat diadakan MTQ Nasional, Ketika Tuan Guru
Bajang masih menjabat sebagai Gubernur, ia menerima surat resmi dari
gabungan pastur-pastur yang menanyakan apa yang bisa mereka
lakukan untuk mensukseskan acara tersebut. Sungguh indah sekali.
Mereka menjadikan itu sebagai hajat bersaa. Itu adalah sesuatu yang
otentik. Deikianlah, ketika Islam hidup di dalam pengaalan, maka akan
terlihat toleransi itu otentik.
Sementara menurut Kepala Lajnah Petashihan Mushaf Al Quran
(LPMQ), Dr. Muchlis M. Hanafi, dalam program yang sama mengatakan

206 Vol. 4 November 2021


Pascasarjana IAIN Kediri
Imroatul Azizah Peran Santri Milenial dalam Mewujudkan Moderasi
Beragama

di dunia Islam internasional dikenal dengan wasathiyah. Islam


sebenarnya adalah wasathiyah. Namun pada dua dekade terakhir dunia
Islam menjadi pihak yang tertuduh karena berbagai aksi kekerasan,
terutama pasca peristiwa 9/11. Kemudian dunia Islam mencoba
memperkenalkan kembali sifat atau karakter ajaran Islam yang
sebenarnya memang moderat. Maka muncullah istilah wasathiyah, atau
Islam rahmatan lil alamin, kemudian muncul istilah moderasi beragama.
Masih menurut Muchlis M. Hanafi, dunia Islam saat ini misalnya
Arab Saudi mulai terbuka melakukan dialog Islam-Islam (antarumat
Islam). Bulan Juli tahun 2008 mengadakan konferensi antarumat
beragama di Spanyol. November 2008 Raja Abdullah menyampaikan
pidato tentang peta jalan baru moderasi Islam di Arab Saudi dan lebih
dipertegas lagi saat putra mahkota Muhammad bin Salman tahun 2017
menegaskan bahwa Saudi Arabia akan Kembali pada ajaran Isla moderat.
Di Jordania, mereka memperkenalkan melalui sebuah cara keberislaman
yang moderat, yang toleran, yang menghargai keragaman.
Di Indonesia, sejak tahun 2019 mempopulerkan istilah moderasi
beragama terutama Kementrian Agama. Bahkan itu sudah masuk dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Moderasi agama menjadi program prioritas pemerintah. Dalam visi-misi
kementrian agama, penguatan moderasi beragama juga menjadi
prioritas, terutama dalam rangka menghadirkan cara keberagamaan yang
menghargai keragaman. Karena karakter asli Indonesia adalah toleran.
Hanya saja kemudian karena ada pengaruh dari luar, terutama media
sosial, sehingga keragaman itu menjadi sumber konflik. Inilah yang harus
dijaga.
Kekeliruan seseorang dalam menafsirkan teks agama seringkali
membuat orang memiliki pandangan sempit bahkan menciptakan bentuk
keekstriman dalam beragama.
Ajaran toleransi dalam Islam tidak sekedar mempersilakan
masing-masing menurut agamanya. Tidak sekedar lakum dinukum w
aliya diin. Tetapi ikut memelihara tempat-tempat peribadatan, karena di
sana disebut nama Tuhan. Maka ada larangan memaki. Memaki saja
tidak boleh, apalagi mencederai.
Muslim moderat adalah seorang muslim yang memenuhi islamic
principle wasathiyah (prinsip moderasi dalam islam) antara lain tidak
ekstrim kanan maupun kiri. Hal ini berarti bahwa muslim harus mampu
menjaga dirinya untuk tidak menggunakan kekerasan, melainkan
membawa kedamaian dan rahmat untuk semua alam; juga memahami
bahwa islam memiliki hukum yang bersifat tetap dan ada yang bisa

Vol. 4 November 2021 207


Pascasarjana IAIN Kediri
Peran Santri Milenial dalam Mewujudkan Moderasi Imroatul Azizah
Beragama

berubah atau diijtihadkan sesuai perkembangan zaman; tidak


menggunakan pemaksaan; tidak mengkompromikan hal-hal dasar dalam
agama hal ini untuk menjaga kesucian beragama; mengkompromikan
hal-hal yang bersifat fundamental dalam beragama yaitu hidup rukun
berdampingan dengan siapapun. (P)
Pemahaman dan praktik amaliah keagamaan seorang muslim
moderat memiliki ciri-ciri sebagai berikut:Tawassuth (mengambil jalan
tengah), yaitu pemahaman dan pengamalan yang tidak ifrâth (berlebih-
lebihan dalam beragama) dan tafrîth (mengurangi ajaran
agama);Tawâzun (berkeseimbangan), yaitu pemahaman dan pengamalan
agama secara seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan, baik
duniawi maupun ukhrawi, tegas dalam menyatakan prinsip yang dapat
membedakan antara inhiraf (penyimpangan) dan ikhtilaf (perbedaan);
I’tidâl (lurus dan tegas), yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya
dan melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban secara proporsional;
Tasâmuh (toleransi), yaitu sikap toleran terhadap perbedaan yang masuk
dalam wilayah perbedaan/masalah ikhtilaf, bukan berarti mengakui atau
membenarkan keyakinan yang berbeda. Tasammuh dimaknai juga
sebagai sikap permisif terhadap kebatilan serta mencampur aduk antara
haq dan bathil) atau sikap toleran terhadap perbedaan, baik dalam
masalah keagamaan, terutama dalam hal-hal yang bersifat furu‟ atau
menjadi masalah khilafiyah, serta dalam masalah kemasyarakatan dan
kebudayaan; Musâwah (egaliter), yaitu tidak bersikap diskriminatif pada
yang lain disebabkan perbedaan keyakinan, tradisi dan asal usul
seseorang; Syûra (musyawarah), yaitu setiap persoalan diselesaikan
dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat dengan prinsip
menempatkan kemaslahatan di atas segalanya; Ishlâh (reformasi) yaitu
mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai keadaan lebih baik
yang mengakomodasi perubahan dan kemajuan zaman dengan berpijak
pada kemaslahatan umum (mashlahah ‘ammah) dengan tetap berpegang
pada prinsip al-muhafazhah ‘ala al-qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-
jadidi al-ashlah (melestarikan tradisi lama yang masih relevan, dan
menerapkan hal- hal baru yang lebih relevan); Aulawiyah
(mendahulukan yang prioritas), yaitu kemampuan mengidentifikasi hal
ihwal yang lebih penting harus diutamakan untuk diimplementasikan
dibandingkan dengan yang kepentingannya lebih rendah;Tathawwur wa
Ibtikâr (dinamis dan inovatif), yaitu selalu terbuka untuk melakukan
perubahan-perubahan sesuai dengan perkembangan zaman serta
menciptakan hal baru untuk kemaslahatan dan kemajuan umat manusia;
Tahadhdhur (berkeadaban), yaitu menjunjung tinggi akhlak mulia,

208 Vol. 4 November 2021


Pascasarjana IAIN Kediri
Imroatul Azizah Peran Santri Milenial dalam Mewujudkan Moderasi
Beragama

karakter, identitas, dan integritas sebagai khairu ummah dalam


kehidupan kemanusiaan dan peradaban.[12]

4. Pembahasan
Sebagai kekuatan yang menentukan masa depan Indonesia,
generasi milenial menghadapi tantangan yang amat serius dalam isu
radikalisme. Anak milenial juga tumbuh bersama berkembangnya
kelompok agama garis keras, yang menanamkan intoleransi,
pemberontakan, hingga ide-ide yang membahayakan persatuan warga-
bangsa di negeri ini.
Kerentanan kaum milenial terhadap politik identitas yang begitu
menjebak dalam beberapa tahun belakangan juga meresahkan. Untuk
semua itulah kita perlu memperkuat kembali kepemilikan atas identitas
kita yang sebenarnya, yaitu muslim Indonesia yang moderat, yang
beragama secara ramah, toleran, dan menerima keanekaragaman.
Generasi milenial dianggap sebagai masa depan bangsa yang
memiliki rasa percaya diri yang tinggi dalam menghadapi tantangan.
Dalam hal agama, mereka meyakini bahwa agama adalah sesuatu yang
sangat penting dalam kehidupan mereka. Namun terkadang mereka
lebih menonjolkan identitas keagaamaan mereka hanya sebatas simbol.
Di samping itu, masih ada di antara mereka yang belum siap
menerima perbedaan beragama, bahkan enggan untuk berjalan
beriringan dengan pemeluk agama lain. Kericuhan-kericuhan, ujaran-
ujaran kebencian, banyak diakibatkan karena sentimen agama. Di media-
media sosial, masih ditemukan perdebatan-perdebatan dan saling
menyalahkan serta menganggap agamanya yang paling benar. Yang
lebih ironis, hal itu terjadi di antara sesama muslim.
Sebagai generasi mayoritas, penting bagi kita menjaga dan
mengarahkan generasi milenial agar tidak terjebak ajaran ekstreamisme,
baik ekstream kanan maupun ekstream kiri. Moderasi beragama
merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukuan beragama dalam
sekala nasional dan global. Dengan menolak ekstreamisme dalam
beragama, maka akan tercipta keseimbangan hidup dan terpeliharanya
peradaban yang damai.
Generasi milennial sebagai pengguna internet secara umum
kurang mampu dalam memilih-memilah informasi dan cenderung
mengesampingkan moral, etika dalam berkominukasi dan menyebarkan
informasi di media sosial. Ketergantungan terhadap gadget membuat para
kaum millennial tidak memfilter informasi yang masuk, jika informasi itu

Vol. 4 November 2021 209


Pascasarjana IAIN Kediri
Peran Santri Milenial dalam Mewujudkan Moderasi Imroatul Azizah
Beragama

dirasa penting dan genting, maka dengan segera disebarluaskan dengan


tanpa disadari bahwa yang disebarkan adalah berita bohong yang justru
menguntungkan pihak tertentu.
Berbicara tentang generasi milenial, sudah tentu santri masa
kini masuk di dalamnya. Maka ia juga memiliki tanggung jawab besar
dalam upaya menebar Islam moderat di manapun berada. Dengan
pemahaman keagamaan yang dimiliki, demikian pula jaringan yang
telah ada, maka niatan tersebut hendaknya semakin digaungkan.
Seperti para pahlawan telah berjuang untuk mewujudkan
kemerdekaan Indonesia, tugas santri milenial sebagai penerus bangsa
adalah dengan merawat dan meruwat tanah air. Dan salah satu bentuk
ikhtiarnya adalah dengan menyebarkan nilai moderasi dan toleransi
yang diajarkan di pesantren di banyak masyarakat di dunia.
Dengan intelektualnya dan wawasan keagamaannya, seorang
santri mampu memberi pencerahan dengan ilmu yang dimilikinya.
Sebagaimana pernyataan Gus Dur: Semakin tinggi ilmu seseorang maka
semakin besar rasa toleransinya.
Dengan jiwa sosialnya, santri bisa menerima perbedaan. Banyak
pesantren yang dihuni santri dari berbagai daerah dan latar belakang.
Suku, budaya, bahasa, warna kulit, dan perbedaan lainnya. Ini akan
melatih mereka menghargai perbedaan sejak dini.
Santri juga identik dengan dakwah. Dalam berdakwah, ia tidak
cukup hanya dengan penampilan yang membangkitkan emosi kolektif
umat. Dakwah juga harus bisa menyampaikan pesan-pesan universal
agama serta mengajak umat untuk memahami ajaran, tradisi dan konteks
keumatan dengan baik, tepat dan benar.
Tidak jarang juga terjadi dakwah yang dijadikan sebagai sarana
dalam penyampaian ajaran Islam yang menimbulkan aksi-aksi intoleran,
hal ini kerap kali disimbolkan dengan tindakan kekerasan dan anarkis.
Kejadian semacam itu amat sayang jika terjadi, apalagi jika yang menjadi
aktor ialah yang beragama Islam, sementara agama Islam sendiri adalah
agama damai. Oleh sebab itu, agar eksistensi Islam sebagai agama
rahmatan li al- ’ālamīn tetap terjaga, maka sudah sepatutnya metode
yang diterapkan dalam berdakwah harus dibahas secara terus-menerus
dan tidak akan pernah usang dan membosankan. Karena menyampaikan
al-amru bil- ma’ruf wannahhyu’anil-munkar menjadi kewajiban sesama
umat muslim sampai akhir zaman. Dalam menerapkan metode dakwah
yang benar tersebut, nantinya agar terealisasinya sebuah Islam moderat
yang dapat menampilkan kembali jiwa dan raganya, serta tidak
bertentangan dengan Pancasila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang
merupakan panduan bernegara di Indonesia, dan yang terpenting juga

210 Vol. 4 November 2021


Pascasarjana IAIN Kediri
Imroatul Azizah Peran Santri Milenial dalam Mewujudkan Moderasi
Beragama

agar kehidupan beragama di Indonesia mampu hidup rukun dalam


keanekaragaman.[1]
Melalui media sosial, segala informasi bisa diakses secara mudah
dan cepat. Sebagai santri generasi milenial harus bijak. Tidak mudah
percaya dengan kabar yang tidak jelas sumbernya. Saring sebelum
sharing.
Banyaknya berita tentang radikalisme, ekstrimisme, fanatisme di
medsos, sangat menarik untuk dibaca. Namun sebagai umat beragama,
lebih-lebih santri, harus bisa memahami teks berita. Jika mudah tersulut,
akan merusak keseimbangan dalam kehidupan beragama. Muncullah
rasa benci, emosi. Tidak saja dengan pemeluk agama lain, bahkan dengan
sesama pemeluk agama saja terkadang terjadi perselisihan yang berujung
ujaran kebencian bahkan pertengkaran, karena perbedaan paham atau
madzhab.
Sebagai orang yang selalu dibimbing untuk bersikap tawadhu,
seorang santri seharusnya tidak menilai diri paling benar dan jangan
sampai menilai diri paling benar dan mengkafirkan yang lain.
Santri milenial harus mampu merespon dinamika zaman. Di
tengah maraknya intoleransi, eskstrimisme dan fanatisme yang ada di
dunia maya. Banyak hal yang bisa dilakukan oleh santri milenial dalam
mewujudkan nilai-nilai moderasi.
Ruang online dan kemajuan teknologi digital, akan membuka
peluang yang sangat luas bagi santri milenial untuk ikut berperan dalam
aktivitas ekonomi dan bisnis berbasis online dan digital. Mereka dapat
mengembangkan aktivitas gaya hidup muslim mulai dari pengabdian
agama, buku harian perjalanan wisata halal, ulasan makanan atau kuliner
halal, blog mode muslim, berjualan secara online, hingga video youtube,
musik dan tiktok dengan tampilan, suara, bahasa, dan budaya muslim
yang bersifat futuristik, yang diinternalisasi dengan nilai-nilai moderasi.
Santri juga bisa mengadakan pelatihan semacam ngaji sosmed,
literasi digital, talkshow, madrasah design, dialog interaktif, bedah buku,
creative entrepreneur santri, beberapa perlombaan dan sebagainya.
Narasumber bisa didatangkan dari pakar luar ataupun kalangan santri
sendiri. Kegiatan ini dapat menjadi bekal santri agar mampu menjawab
tantangan zaman sesuai dengan bakat dan minatnya.
Kegiatan berikutnya yang bisa dilakukan santri milenial adalah
adalah literasi media. Tujuannya adalah untuk menanggulangi konten-
konten negatif yang banyak tersebar di dunia maya. Santri bisa
mengadakan kegiatan ini dengan tujuan untuk mengkampanyekan Islam
yang menjadi rahmat bagi semesta. Konten-konten negatif harus

Vol. 4 November 2021 211


Pascasarjana IAIN Kediri
Peran Santri Milenial dalam Mewujudkan Moderasi Imroatul Azizah
Beragama

ditandingi dengan konten positif. Hal ini untuk membentengi netizen


dari berita hoax yang banyakk bermunculan. Dalam kegiatan ini, santri
bisa bekerja sama dengan para ahli yang kompeten dalam bidang
tersebut.
Generasi milenial adalah generasi serba digital, serba instan dan
generasi yang paling banyak mengkonsumsi media sosial. Berbagai jenis
media sosial sangat bisa dimanfaatkan dalam menyebarkan nilai-nilai
moderasi. Hal yang paling sederhana,yang bisa dilakukan adalah
menulis status atau story misalnya. Dengan menyebarkan pesan-pesan
baik, secara tidak langsung akan mempengaruhi orang lain dari alam
bawah sadarnya.
Menebarkan moderasi beragama yang berkaitan dengan internet
dan media sosial juga bisa melalui game online. Hal yang bisa dilakukan
diantaranya membuat karakter tokoh-tokoh moderat. Game online bisa
menjadi lahan menebarkan moderasi beragama bagi milenial, karena di
ruang ini sebagian besar kaum milenial hidup dan berinteraksi dengan
teman-temannya. Bila konten-konten game online mampu diiringi dengan
konten yang moderat, maka pemahaman agama yang santun, ramah dan
penuh cinta akan mudah diterima oleh milenial.
Perlu ada strategi kebudayaan dalam memperkuat moderasi
beragama. Yang dimaksud strategi kebudayaan di sini adalah
menghidupkan kembali hati yang mati dan beku melalui pendekatan
kebudayaan untuk melembutkan hati dan meningkatkan kepekaan batin
agar tumbuh kesadaran menjaga nilai kemanusiaan dan melindungi
harkat dan martabat manusia dalam beragama.[13]
Musik, juga bisa menjadi salah satu jenis kesenian sebagai alat
untuk menyebarkan nilai-nilai moderasi beragama. Seperti kita ketahui,
jenis kesenian ini adalah salah satu yang sangat diminati generasi
milenial. Beberapa pesantren bahkan ada yang memiliki grup musik
dalam bermacam genre. Baik sejenis hadrah atau gambus yang memang
identik dengan warna musik pesantren, atau pun genre yang lebih nge-
poo. Jika dunia permusikan diisi dengan lagu-lagu yang memuat syair-
syair yang moderat, mengajak pada hal-hal positif, perlahan tapi pasti
akan dapat mempengaruhi jalannya pemikiran milenial terhadap
pentingnya moderasi beragama. Grup gambus Sabyan misalnya. Mereka
telah membuktikan pengaruhnya kepada banyak orang. Salah satu lagu
yang bertema moderasi adalah ‘Dien Assalam.’
Kesenian lain yang bisa dijadikan sarana menyebarkan nilai
moderasi adalah film, terutama film pendek. Sebab jika berbicara tentang
film panjang tidak dapat dipungkiri masih menjadi PR besar, tentu
membutuhkan proses kreatif yang tidak mudah dan tidak sebentar, serta

212 Vol. 4 November 2021


Pascasarjana IAIN Kediri
Imroatul Azizah Peran Santri Milenial dalam Mewujudkan Moderasi
Beragama

membutuhkan biaya yang tidak sedikit, walaupun sebenarnya tidak ada


yang mustahil. Namun memulai dari film pendek, dari tema yang
sederhana, akan memberi dampak yang sangat berarti bagi penontonnya.
Bahkan sekarang dunia perfilman pun tidak memandang sebelah mata
terhadap film pendek. Ada tempat tersendiri, bahkan ada penghargaan
tersendiri pula. Bukan tidak mungkin, bila sebuah film pendek
diapresiasi oleh para pelaku industry perfilman, akan lahir sebuah karya
besar. Salah satu film yang memuat tentang moderasi diantaranya adalah
film 99 Cahaya di Langit Eropa, yang diadaptasi dari novel Hanum
Salsabila Rais.
Bidang jurnalistik juga bisa menjadi pilihan santri milenial dalam
menyebarkan nilai moderasi. Kita tahu bahwa media adalah hal yang
besar pengaruhnya dalam mebentuk mindset. Banyaknya berita hoax
yang mengarah pada paham fanatisme, ekstrimisme dan intoleran, harus
dilawan dengan berita pula. Karena itu seorang santri milenial
diharapkan memiliki keterampilan di bidang jurnalistik, baik jurnalistik
cetak maupun elektronik.
Santri milenail juga bisa menyebarkan nilai moderasi melalui
buku-buku, baik fiksi maupun nonfiksi. Melalui tulisan yang menarik,
cerpen, novel dan sebagainya, pembaca tidak akan terasa akan dibawa
kepada nilai moderasi.
Selain melalui media sosial, cara lainnya adalah melalui kegiatan
sosial kemasyarakatan. Generasi milenial juga harus dilibatkan dalam
bermacam kegiatan di masyarakat, semisal istighosah, peringatan Maulid
Nabi dan Isra Mi’raj, kerja bakti, dan lainnya.
Mereka juga perlu dikenalkan kepada kearifan lokal. Ini penting
dilakukan sedini mungkin, untuk menetralisir masuknya budaya luar
yang dapat mempengaruhi cara pandang generasi milenial terhadap
pemahaman agama. Budaya-budaya lokal memiliki nilai-nilai luhur yang
bersumber daripada agama dan kitab suci, yang di dalamnya
mengajarkan persatuan dan perdamaian.
Selanjutnya adalah menghadirkan komunikasi atau dialog yang
intens tentang pemahaman agama dalam sudut-sudut ruang milenial,
utamanya dalam keluarga. Keluarga sebagai pusat pembinaan karakter
positif mesti memanfaatkan posisinya secara optimal dalam rangka
menerapkan moderasi beragama.
Santri juga identik dengan tasawuf. Tasawuf, bagi kalangan santri
pesantren salafi (sistem klasikak) adalah “narekat”. Satu rutinitas yang
isinya ngaji, wiridan (zikir), perbanyak salat sunah dan menyendiri

Vol. 4 November 2021 213


Pascasarjana IAIN Kediri
Peran Santri Milenial dalam Mewujudkan Moderasi Imroatul Azizah
Beragama

(uzlah), serta yang biasa adalah “mutih” atau puasa, dalam tingkatan
selanjutnya disebut riyadloh dan mujahadah. [14]
Di era milenial ini, perilaku tasawuf bukanlah uzah atau
menyendiri dalam arti tekstual, melainkan menjalankan esensinya. Inti
tasawuf adalah berperang melawan hawa nafsu, sebab karena nafsulah
hati terhalangi dari proses “dicerahi” nurullah (cahaya Allah). Sering ini
disebut meninggalkan yang diharamkan, yang syubhat, meninggalkan
yang mubah dan istiqomah dalam ikutan yang sunah dan yang wajib.
Orang “narekat” mengarah pada intinya, apa itu? Mendekati Allah ( ‫مراقبة‬
‫ ) باهلل‬agar bisa memasuki tingkatan maqomat (tahapan batiniyah, iman
dan ruhaniyah). Seperti maqom al-mu’minin, hingga al-muhsinin atau
dalam maqomat seperti al-mutawabin, al-muhibbin, al-shiddiqin hingga al-
muttaqin.[14]
Di zaman kekinian, perilaku manusia cenderung serba hedonis,
konsumtif, praktis dan instan, individualistis, kepura-puraan, hoaks,
saling tuduh, dan saling hujat, yang puncaknya adalah rasa jenuh. Ketika
sampai pada titik jenuh, manusia milenial membutuhkan nutrisi batiniah
dan asupan rohani agar bangun dari keterpurukan hidup, Ini juga
merupakan tugas santri milenial. Selain dirinya sendiri harus mampu
melakukan lelaku tersebut, ia juga mengajak orang lain untuk
melakukannya, melalui dakwah-dakwahnya, baik dakwah langsung
maupun melalui media-media sosial.

5. Kesimpulan
Sebagai generasi penerus, kaum milenilal layak mendapatkan
pemahaman yang serius tentang moderasi beragama. Untuk apa? Untuk
menjaga stabilitas jalannya hidup berbangsa dan bernegara. Kita tentu
tidak ingin, mendapati generasi milenial yang kaku terhadap sebuah
perbedaan dan bercerai berai karena tak siap dengan kemajemukan.
Dengan moderasi beragama, generasi muda akan tangguh dan tidak
mudah terpecah belah.
Jika moderasi beragama telah dipahami secara mendalam oleh
santri milenial, tidak aka nada lagi sikap memandang rendah agama lain.
Berbuat baik akan dilakukan tanpa memandang apapun agamanya.
Perbedaan justru menjadi perekat untuk menciptakan keharmonisan
hidup. Intinya, moderasi beragama akan membawa kita pada kebaikan
bersama. Tidak penting apa agama dan sukumu, kalau kamu bisa
melakukan seseuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan
bertanya apa agamamu.
Generasi milenial merupakan harapan bangsa, jangan biarkan
terjerumus dalam kefanatikan yang salah. Moderasi beragama menjadi

214 Vol. 4 November 2021


Pascasarjana IAIN Kediri
Imroatul Azizah Peran Santri Milenial dalam Mewujudkan Moderasi
Beragama

suatu yang urgen untuk diterapkan pada generasi milenial. Bahwa dalam
memandang sebuah perbedaan, agama mengajarkan kita untuk bersikap
berada di tengah-tengah. Pada generasi milenial, keberadaan pemikirian
moderasi beragama harus sesuai porsi dan tempatnya. Moderasi
beragama menjadi kunci generasi milenial menjawab semua tantangan,
Santri, sebagai seseorang yang dipandang memiliki pengetahuan
agama yang lebih, akhlakul karimah, sudah seharusnya menjadi
penyejuk di antaranya derasnya isu-isu radikalisme, fanatisme dan
ekstrimisme. Apalagi di era milenial ini, banyak hal yang bisa mereka
lakukan sebagai bekal atau senjata untuk menanakan nilai-nilai moderasi
keberagamaan. Bila hal ini dilakukan secara massif dan
berkesinambungan (istiqomah), maka harapannya akan tercipta suasana
sejuk dan damai, tanpa memandang diri sendiri yang paling benar dan
orang lain salah.
Santri dari generasi milenial adalah tumpuan negeri ini. Jangan
sampai mereka terjebak dalam kefanatikan yang salah. Moderasi
beragama menjadi suatu yang urgen untuk diterapkan pada santri
generasi milenial. Bahwa dalam memandang sebuah perbedaan, kita
telah diajarkan untuk bersikap berada di tengah-tengah. Pada generasi
milenial, keberadaan pemikirian moderasi beragama harus sesuai porsi
dan tempatnya. Moderasi beragama menjadi kunci generasi milenial
menjawab semua tantangan,

6. Daftar Referensi
[1] Fahrurrozi dan M. Thohri, “Media Dan Dakwah Moderasi  : Melacak
Peran Strategis Dalam Menyebarkan Faham Moderasi di Situs
Nahdlatul Wathan on-Line Situs Kalangan Netizen Muslim-Santri,”
Media dan Dakwah Moderasi, vol. 17, no. 1, hlm. 155–180, 2019.
[2] S. Anah, “Pondok Pesantren sebagai Wadah Moderasi Islam di Era
Generasi Milenial,” Jurnal Keislaman, vol. 4, no. 1, hlm. 32–47, 2021,
doi: 10.54298/jk.v4i1.3273.
[3] A. A. Leksono, “REVITALISASI KARAKTER SANTRI DI ERA
MILLENIAL,” https://dki.kemenag.go.id/, 2018.
https://dki.kemenag.go.id/opini/revitalisasi-karakter-santri-di-era-
millenial-2
[4] A. Yulianto, “Membangun Ruhul Jihad Kaum Santri,” republika.co.id,
2017.
https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/11/09/jur

Vol. 4 November 2021 215


Pascasarjana IAIN Kediri
Peran Santri Milenial dalam Mewujudkan Moderasi Imroatul Azizah
Beragama

nalisme-warga/wacana/17/10/19/oy21a9396-membangun-ruhul-
jihad-kaum-santri
[5] Y. Fahrimal, “Netiquette: Etika Jejaring Sosial Generasi Milenial
Dalam Media Sosial,” Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi
Pembangunan, vol. 22, no. 1, hlm. 69–78, 2018, doi:
10.46426/jp2kp.v22i1.82.
[6] I. I. Generasi, “Essai Santri Milenial,” hlm. 5–46, 1952.
[7] M. C. Syahputra, “Jihad Santri Millennial Melawan Radikalisme di
Era Digital: Studi Gerakan Arus Informasi Santri Nusantara di Media
Sosial,” Jurnal Islam Nusantara, vol. 4, no. 1, hlm. 69–80, 2020, doi:
10.33852/jurnalin.v4i1.187.
[8] N. Muthohirin, “Radikalisme Islam dan Pergerakannya di Media
Sosial (Islamic Radicalism and its Movement on Social Media),” Jurnal
Afkaruna, vol. 11, no. 2, hlm. 240–259, 2015, doi: 10.18196/AIIJIS.2015.
[9] N. Sucahyo, “Walisongo dan Sejarah Islam Moderat di Indonesia,”
https://www.voaindonesia.com, 2020.
https://www.voaindonesia.com/a/walisongo-dan-sejarah-islam-
moderat-di-indonesia/5505159.html
[10] luh riniti Rahayu dan putu surya wedra Lesmana, “Moderasi
Beragama di Indonesia,” Intizar, vol. 25, no. 2, hlm. 95–100, 2019.
[11]P. Widodo dan K. Karnawati, “Moderasi Agama dan Pemahaman
Radikalisme di Indonesia,” PASCA: Jurnal Teologi dan Pendidikan
Agama Kristen, vol. 15, no. 2, hlm. 9–14, 2019, doi:
10.46494/psc.v15i2.61.
[12]K. Mudawinun, “Integrasi Nilai-Nilai Moderasi pada Pendidikan
Anak Usia Dini Berbasis Living Values Education (LVE),” Proceedings
of Annual Conference for Muslim Scholars, no. Series 2, hlm. 721–730,
2018.
[13]D. Murtado, “Menag: Perlu Ada Strategi Kebudayaan dalam
Memperkuat Moderasi Beragama,” kemenag.go.id, 2021.
https://kemenag.go.id/read/menag-perlu-ada-strategi-kebudayaan-
dalam-memperkuat-moderasi-beragama-gm9lo
[14]M. H. Suhaemi, “Tasawuf Milenial, Dasar dan Tujuan,”
serikatnews.com, 2020. https://serikatnews.com/tasawuf-milenial-
dasar-dan-tujuan/

216 Vol. 4 November 2021


Pascasarjana IAIN Kediri

Anda mungkin juga menyukai