Anda di halaman 1dari 15

RESPON DAN ANTUSIAS MASYARAKAT DI ERA 4.0 DAN 5.

Tiana Khoirunnisak1

Manajemen Pendidikan Islam, Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah


Tulungagung

tkhoirunnisak@gmail.com1

Abstrak

Pesantren merupakan suatu sistem pendidikan unik sekaligus khas yang ada di Indonesia
dimana mayoritas penduduknya beragama Islam. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan atau menjelaskan respon dan antusias masyarakat di era 4.0 dan 5.0
dengan bahan kajian peran pesantren di era 4.0 dan 5.0, respon masyarakat, tipologi
pesantren yang relevan dengan perubahan zaman, dan langkah-langkah transformasi
pesantren. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan literature
review dengan mengkaji data dari beberapa referensi yang kemudian digunakan sebagai
pengumpulan datanya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pengembangan pondok
pesantren tidak terlepas dari peran serta masyarakat dan akan menimbulkan potensi yang
positif dalam pengembangan pondok pesantren. Dengan adanya eksistensi pesantren dapat
membantu dan berkontribusi untuk berkolaborasi dengan masyarakat dengan menjalin
komunikasi yang baik, hal tersebut dapat membawa respon positif dari masyarakat sehingga
masyarakat secara tidak langsung juga akan membantu dan juga mendukung kegiatan
pesantren yang ada.

Kata Kunci: Pesantren, Respon Masyarakat.

Abstract

Islamic boarding schools are a unique and unique education system in Indonesia where the
majority of the population is Muslim. The purpose of this research is to describe or explain
the response and enthusiasm of the community in eras 4.0 and 5.0 with materials for studying
the role of Islamic boarding schools in eras 4.0 and 5.0, community responses, typologies of
Islamic boarding schools that are relevant to changing times, and steps to transform Islamic
boarding schools. This study used a qualitative method using a literature review by reviewing
data from several references which were then used as data collection. The results of this

1
study indicate that the development of Islamic boarding schools is inseparable from the
participation of the community and will create positive potential in the development of
Islamic boarding schools. With the existence of pesantren, it can help and contribute to
collaboration with the community by establishing good communication, this can bring a
positive response from the community so that the community will indirectly help and also
support the activities of existing pesantren.

Keywords: Islamic Boarding School, Community Response.

PENDAHULUAN

Pesantren merupakan suatu sistem pendidikan unik sekaligus khas yang ada di
Indonesia dimana mayoritas penduduknya beragama Islam. Dikatakan khas karena
pendidikan model pesantren hanya berkembang pesat di Indonesia dan pendidikan seperti ini
tidaklah mudah didapatkan di Negara lain. Sedangkan yang dimaksud unik, karena pesantren
memiliki karakteristik khusus yang tidak di- miliki secara lengkap oleh sekolah-sekolah
umum, seperti kyai, santri, pondok, kitab kuning, dan masjid. Pesantren ini juga pendidikan
Islam asli produk Indonesia, di samping memiliki keunikan dan kekhasan. Bapak Pendidikan
Islam di Indonesia, demikian bahkan ada yang memberi julukan bagi pesantren seperti itu.

Pada masa sekarang ini negara Indonesia sedang dihadapkan dengan kondisi dimana
moral sudah tidak bisa dikatakan baik-baik saja, apalagi generasi muda yang kini sedang
berada di fase krisis moral dan hal ini bisa mengakibatkan lunturnya jati diri bangsa
Indonesia yang sebenarnya. Modernisasi dan kemajuan teknologi menjadi penyebab utama
lunturnya nilai-nilai karakter bangsa secara perlahan.

Dalam hal ini pendidikan moral yang baik sangat dibutuhkan karena dalam kemajuan
teknologi juga terdapat nilai yang dapat mendatangkan manfaat bagi para generasi muda
apabila tidak salah dalam penggunaannya. Dari sini kita dapat mengetahui bahwasannya
dalam pendidikan moral, kita dituntut berperilaku baik, sederhana, mandiri, jujur, toleransi,
disiplin, peduli terhadap sesama dan lain-lainnya. Berbagai macam penyimpangan yang
terjadi dimana-mana dari perkotaan bahkan kini sudah merambah ke pedesaan.
Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dikalangan para remaja antara lain tawuran antar
pelajar, kecanduan narkoba, pergaulan bebas dan kenakalan remaja lainnya.

2
Melihat kondisi yang seperti ini, Pendidikan moral harus lebih dioptimalkan agar para
generasi muda bangsa tidak terlarut serta dijauhkan dari penyimpangan-penyimpangan yang
merugikan pada sekarang ini. Melihat kondisi yang seperti ini, tentu saja peran orang tua
sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak-anaknya.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan pendekatan


literature review, dengan mengkaji data dari beberapa referensi sebagai pengumpulan
datanya. Literature review merupakan sebuah metode yang sistematis, eksplisit, dan
reprodusibel untuk melakukan identifikasi, evaluasi, dan sintesis terhadap karya-karya hasil
penelitian dan hasil pemikiran yang sudah dihasilkan oleh para peneliti dan praktisi. Adapun
sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu buku-buku, atau jurnal yang
berkaitan dengan pembahasan tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Peran Pesantren Di Era 4.0 dan 5.0

Dalam era society 5.0 masyarakat dihadapkan dengan teknologi yang memungkinkan
pengaksesan dalam ruang maya yang terasa seperti ruang fisik. Dalam teknologi society 5.0
AI berbasis big data dan robot untuk melakukan atau mendukung pekerjaan manusia.
teknologi era society 5.0 tercipta sebuah nilai baru yang akan menghilangkan kesenjangan
sosial, usia, jenis kelamin, bahasa dan menyediakan produk serta layanan yang dirancang
khusus untuk beragam kebutuhan individu dan kebutuhan banyak orang. Pada bidang
pendidikan di era society 5.0 bisa jadi siswa atau mahasiswa dalam proses pembelajarannya
langsung berhadapan dengan robot yang khusus dirancang un tuk menggantikan pendidik
atau dikendalikan oleh pendidik dari jarak jauh. Bukan tidak mungkin proses belajar
mengajar bisa terjadi dimana saja dan kapan saja baik itu dengan adanya pengajar ataupun
tidak. 1

Dalam menghadapi era Society ada dua hal yang harus dilakukan yaitu adaptasi dan
kompetensi. Beradaptasi dengan Society 5.0, kita perlu mengetahui perkembangan generasi
(mengenal generasi). Istilah baby boomers yang dimaksud adalah tinggi tingkat kelahiran dari
beberapa generasi mulai dari generasi x sampai dengan generasi ⍺ dimana terjadi

1
Faulinda Ely Nastiti, Aghni Rizqi Ni‟mal „Abdu. Kesiapan Pendidikan Indonesia Menghadapi era
society 5.0, Jurnal Kajian Teknologi Pendidikan Volume 5, No 1, Tahun 2020, hal. 64.

3
transformasi peradaban manusia. Un- tuk menjawab tantangan Revolusi industri 4.0 dan
Society 5.0 dalam dunia pendidikan diperlukan ke- cakapan hidup abad 21 atau lebih dikenal
dengan istilah 4C (Creativity, Critical Thingking, Communi- cation, Collaboration).
Diharapkan guru menjadi pribadi yang kreatif, mampu mengajar, mendidik, menginspirasi
serta menjadi suri tauladan yang baik. Menghadapi kondisi seperti sekarang ini, para santri
harus bisa membangkitkan society 5.0 dengan menjadi generasi qur'ani yang mampu dalam
memahami, mempelajari, dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung didalam Al-Qur'an
sebagai pedoman hidupnya. Dengan begitu, peran seorang pengajar dalam pondok pesantren
yang biasa disebut ustadz atau ustadzah sangat dibutuhkan karena kompetensi yang berkaitan
dengan era revolusi 5.0 harus segera dipersiapkan.

Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang memiliki keunikan tersendiri. Di


tengah pengapnya problematika pendidikan di tanah air sepanjang sejarah republik ini,
pesantren tetap survive dengan semangat tradisi yang mengagumkan. Di kalangan umat Islam
sendiri pesantren masih dianggap sebagai model pendidikan yang menjanjikan bagi
perwujudan masyarakat yang berkeadaban (civilized society). Karena eksistensi pesantren
menurut Martin van Bruinessen seperti dikutip oleh Ahmad Barizi, adalah lembaga
pendidikan yang senantiasa menafsirkan tradisi agung (great tradition) yang dalam bahasa
pesantren dikenal dangan akhlaq al-karimah. 2

Menurut Zarkasyi, seperti dikutip oleh Mu‟awanah, hakikat pendidikan pondok


pesantren terletak pada isi (content) dan jiwanya, bukan pada kulit luarnya. Isi pendidikan
pesantren adalah pendidikan “ruhaniah” yang pada masa lalu telah berhasil melahirkan
kader-kader muballigh dan pemimpin-pemimpin umat di berbagai bidang kehidupan. 3

Menurut Afadlal, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang banyak


memiliki potensi besar sekaligus sebagai upaya pemberdayaan masyarakat sekitar. Pesantren
salaf pada dasarnya dibangun secara bergotong royong oleh masyarakat yang dipimpin Kiai
sehingga ia menyatu dengan masyarakat. 4

Kata salaf dalam bahasa Arab yang berarti klasik. sebagaimana dijelaskan Afadlal,
salaf adalah penisbatan terhadap orang-orang yang menjalankan Islam sebagaimana di
praktikkan oleh Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya. Bayak istilah yang terkandung
2
Ahamad Barizi, Pendidikan Integratif: Akar Tradisi dan Keilmuan Pendidikan Islam (Malang: UIN
Maliki Press, 2011), hal. 69.
3
Mu‟awanah, Manajemen Pesantren Mahasiswa: Studi Ma’had UIN Malang (Kediri: STAIN Kediri
Press, 2009), hal. 27.
4
Afadlal, et. al., Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2005), hal. 29.

4
dalam beberapa hadis Nabi, kelompok salaf dianggap sebagai orang yang mampu
menjalankan dan memahami Islam secara benar. 5

Pengertian salaf yang demikian ini apabila digunakan dalam istilah pendidikan
pesantren akan memiliki makna yang demikian. Sebagaimana dijelaskan oleh Anis Humaidi,
dua tipe pondok pesantren, yaitu salaf dan khalaf. Pesantren khalaf adalah pesantren yang
telah memasukkan pelajaran umum dan madrasah yang dikembangkan atau membuka tipe
sekolah umum di pesantren. Seperti pesantren Tebuireng dan Rejoso di Jombang telah
membuka SMP, SMA, Universitas, tapi masih mempertahankan pengajaran kitab klasik. 6

Perkembangan pendidikan Islam di pesantren semakin mengarah pada pendidikan


Islam yang lebih modern, sebagaimana pandangan Nurcholis Madjid seperti dikutip oleh
Yasmadi: Dalam memodernisasi dunia pendidikan Islam Indonesia adalah kemodernan yang
dibangun dan berakar dari kultur Indonesia serta dijiwai semangat keimanan. Maka untuk
merekonstruksi institusi pendidikan perlu mempertimbangkan sistem pesantren yang
mempertahankan tradisi belajar “kitab-kitab klasik” ditunjang dengan upaya internalisasi
unsur keilmuan “modern” pesantren dijadikan modal awal, sebab di samping sebagai warisan
budaya Indonesia, pesantren juga menyimpan potensi kekayaan khazanah Islam klasik yang
terletak pada tradisi belajar kitab kuningnya. 7

Dalam mempersiapkan hal ini, sosok ustadz atau ustadzah itu harus memiliki kepribadian
yang baik juga tentunya karena sebagai contoh oleh para santri, menguasai materi yang
diajarkan, profesional terhadap profesinya yang dalam artian tidak mencampur adukkan
kepentingan pribadi dengan kepentingan umum ketika mengajar serta memiliki kompetensi
sosial yang sesuai dengan lingkungan dan mata pelajaran yang diampu sehingga tidak kontra
dengan nila-nilai yang ada dimasyarakat. Sebagai Pendidik di era society 5.0, para ustadz dan
ustadzah harus memiliki keterampilan dibidang digital dan berpikir kreatif.

Respon Masyarakat Terhadap Pesantren

Indonesia merupakan negera dengan penduduk yang majemuk, dimana memang


banyak sekali perbedaan yang ada, namun perbedaan tersebut bisa Bersatu dengan adanya
Pancasila, namun berbeda dengan pondok pesantren dimana masih banyak kalangan yang

5
Ibid., hal. 154.
6
Anis Humaidi, “Transformasi Sistem Pendidikan Pesantren: Studi Kasus Unit Pondok Pesantren
Salafi Terpadu Ar-Risalah di Lingkungan Pondok Pesantren Induk Lirboyo Kediri Jawa Timur” (Ringkasan
Disertasi Doktor, Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2011), hal. 2-3
7
Yasmadi, Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional
(Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal. 130.

5
memandang sebelah mata pesantren yang dianggap kekolotannya, biasanya respon kurang
baik ini dilatar belakangi oleh Respon kurang baik dari masyarakat terhadap eksisitensi
Pondok Pesantren, hal ini diwujudkan dengan kurangnya komunikasi, kurang kepedulian, dan
kurangnya keikutsertaan pihak pondok dalam kegiatan masyarakat. 8 Namun jika pesantren
ini bisa menjalin hubungan dan komunikasi tentunya masyarakat akan memberikan kesan
baik dan juga akan mendukung kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan pesantren. Upaya
pengembangan pondok pesantren tidak terlepas dari peran serta masyarakat dan akan
menimbulkan potensi yang positif dalam pengembangan pondok pesantren kedepannya,
dengan catatan pondok pesantren harus mampu bersinergi serta mengedepankan aspirasi
masyarakat sekitar, baik sebagai bahan evaluasi maupun kontrol dalam pengembangan
pondok pesantren kedepannya. 9

Namun disisi lain peran pesantren ini sangat dibutuhkan oleh pesantren, output
pesantren yang berkualitas sangat di harapkan bisa memenuhi kebutuhan masyarakat terkait
soal agama dan permasalahan lain, faktor yang mempengaruhi respon masayarakat terhdapat
pesantren memang berasala dari hal sepele yaitu komunikasi satu sama lain atau hubunga
masyarakat dengan pesantren yang ada, Adapun usaha yang dapat di lakukan oleh pihak
pesantren dalam upaya memberikan respon baik satu sama lain, antara lain:

1. Melakukan komunikasi yang lebih inten terhadap masyarakat


2. Melakukan perkumpulan atau silaturahim agar memperat tali persaudaraan dan
ukhuwah yang ada
3. Mempertahankan keadaan dan meningkatkan situasi yang sudah berjalan dengan baik
4. Menumbuhkan semangat santri untuk belajar bermasyarakat dengan baik
5. Mengikutsertakan santri untuk membantu kegiatan masyarakat. 10

Jadi bisa dipahami bahwa pesantren dan masyarakat ini memilki hubungan timbal
balik satu sama lain, sehingga dengan adanya eksistensi pesantren ini diharapakan dapat
membantu dan berkontribusi untuk berkolaborasi dengan masyarakat dengan menjalin
komunikasi yang baik, komunikasi yang baik tersebut dapat membawa respon positif dari

8
Umi Fatihatul Khasanah, “Respon Masyarakat Terhadap Eksistensi Pondok Pesantren Al-Hidayah”,
(Purwokerto: IAIN Purwokerto, 2018), hal. 13-14.
9
Muhammad Efendi, Kukuh Ranom Prayoga dan Muniratul Mukaramah, “Tanggapan Masyarakat
terhadap Pondok Pesantren Darul Ilmi dalam perspektif pendidikan”, Jurnal Teori dan Praksis Pembelajaran
IPS, Volume 6, No. 2, Tahun 2021, hal. 71
10
Umi Fatihatul Khasanah, “Respon Masyarakat Terhadap… hal. 15

6
masyarakat sehingga masyarakat secara tidak langsung juga akan membantu dan juga
mendukung kegiatan pesantren yang ada.

Tipologi Pesantren Yang Relevan Dengan Perubahan Zaman

Tipologi pesantren lahir tidak bisa dilepaskan dari pembaruan-pembaruan yang


dilakukan di pesantren-pesantren Indonesia. Pembaruan pesantren apabila melihat
perkembangan kebudayaan dan peradaban dunia yang semakin pesat, merupakan
keniscayaan. Modernisasi yang diiringi dengan perkembangan teknologi yang kian pesat,
menuntut pesantren untuk menyesuaikan diri. Mau tidak mau, agar bisa tetap survive,
pesantren mesti banyak melakukan pembaruan, baik dari sisi kurikulum, metode
pembelajaran, maupun yang lainnya. Namun sayangnya, sejauh yang kita lihat di Indonesia,
ide pembaruan pesantren, tidak berangkat dari kesadaran internal pesantren sendiri untuk
melakukan perubahan. Sebaliknya, pembaruan pesantren merupakan respon atas sistem
pendidikan modern Belanda yang diperkenalkan pada paruh kedua abad ke-19 dan model
pendidikan Islam modern yang dikelola kaum reformis. Meski demikian, catatan sejarah
menunjukkan, respon pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional, terhadap sistem
pendidikan modern yang diperkenalkan Belanda boleh dibilang lambat, untuk tidak
mengatakan tidak sama sekali. Hal ini dapat dipahami mengingat, dalam doktrinadsi
pesantren, Belanda adalah orang kafir musuh Islam. Segala hal yang berasal dari orang kafir
dianggap tidak baik. Karenanya, tak heran bila sekolah rakyat yang didirikan Belanda
cenderung kurang mendapat sambutan yang positif dari masyarakat.

Masyarakat tetap menjadikan pesantren tradisional sebagai pilihan terbaik untuk


mendidik putra-putri mereka. Sebab, masyarakat tidak ingin anak mereka dididik oleh dan
dalam lembaga pendidikan milik orang kafir. Rangsangan kuat untuk melakukan perubahan
dalam pesantren justru datang dari lembaga Pendidikan modern Islam sebagaimana yang
penulis paparkan di muka. Dalam hal ini, meminjam bahasa Karel Stenbrink, pesantren di
Jawa cenderung “menolak dan mencontoh” terhadap sistem pendidikan kaum reformis.
Dalam posisi ini, pesantren menolak paham-paham dan asumsi-asumsi keagamaan kaum
refomis, tetapi, pada saat yang sama, pesantren dalam batas-batas tertentu juga mengikuti
langkah kaum reformis, seperti dalam sistem perjenjangan, kurikulum, dan sistem klasikal.
Sikap akomodatif dan adaptif ini dilakukan selain untuk mempertahakan eksistensi pesantren,
juga bermanfaat untuk meningkatkan intelektualitas santri.

7
Dengan demikian, sikap lamban pesantren dalam merespon modernitas tidaklah
berarti menunjukkan pesantren anti kemajuan. Namun, pesantren cenderung memilih
kebijaksanaan hati-hati (cautious policy); pesantren tidak tergesa-gesa untuk mentranformasi
pendidikan tradisional menjadi model Pendidikan modern Islam seperti yang dikelola kaum
reformis. Sikap ini berpegang teguh pada kaidah yang sangat populer di pesantren, yakni Al-
Muhafdzah ala al-Qadimi al-Shalih wa al-Akhdzu ala al-Jadid al-Ashlah (Melestarikan
tradisi lama yang baik serta mengadopsi tradisi baru yang lebih baik). Karenanya, dapat
dipahami jika sekalipun suatu pesantren banyak melakukan pembaruan, namun sistem
pendidikan lama seperti bandhongan dan sorogan, tetap dipertahankan. Dalam konteks
pesantren, khususnya di Jawa, pesantren Mambaul Ulum Surakarta dianggap sebagai pelopor
pembaruan pesantren, yakni dengan memasukkan materi pelajaran umum dalam pendidikan
pesantren. Adapun materi umum dimaksud meliputi pelajaran membaca (huruf latin), aljabar,
dan berhitung ke dalam kurikulumnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Pesantren
Tebuireng pada tahun 1916, yakni dengan mendirikan “Madrasah Salafiyah”.

Dalam madrasah ini, yang diajarkan bukan hanya pendidikan agama, tapi juga
beberapa pelajaran umum seperti berhitung, bahasa Melayu, ilmu bumi, dan menulis dengan
huruf latin ke dalam kurikulumnya. Di pesantren inilah Wahid Hasyim banyak melakukan
pembaruan terhadap pesantren. Pengalaman hidup di lingkungan pesantren selama bertahun-
tahun, disertai dengan pengetahuan yang luas memantik semangat Wahid Hasyim untuk
senantiasa menghadirkan pembaruan di pesantrennya demi perbaikan dan peningkatan
kualitas lulusan. 11

Langkah-Langkah Transpormasi Pesantren

Sebagai lembaga pendidikan yang khas di Indonesia, pesantren merupakan salah satu
jenis pendidikan yang bersifat tradisional untuk mendalami ilmu agama Islam, dengan
pendidikan moral dalam hidup di tengah masyarakat. Saat ini eksistensi pesantren diakui
sebagai lembaga pendidikan yang ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan banyaknya
tokoh pejuang kemerdekaan, dan tokoh bangsa ini (termasuk presiden ke 4 RI, yaitu;
Abdurrahman Wahid), yang dilahirkan dari rahim pesantren, termasuk di antara banyak
tokoh-tokoh bangsa sekarang yang berawal dari pendidikan pesantren. 12

11
Azyumardi Azra, “Pembaruan Pendidikan Islam: Sebuah Pengantar” pada buku Marwan Saridjo,
Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Depag RI, 1996), hal. 13.
12
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994), hal. 3.

8
Perubahan dunia pendidikan di berbagai daerah di Indonesia, sedikit banyak
memberikan tantangan terhadap keberadaan lembaga pendidikan tradisional seperti
pesantren. Dalam beberapa kasus, tidak banyak pesantren yang mampu bertahan.
Kebanyakan tergerus dengan sistem pendidikan umum atau setidaknya menyesuaikan diri
dan mengadopsi isi dan metodologi pendidikan umum. 13

Respon pesantren dalam menghadapi tantangan tersebut paling tidak dilakukan


dengan dua cara, yaitu; pertama, merubah kuikulumnya. Kedua, membuka kelembagaan dan
fasilitas pendidikan umum. Di beberapa pesantren bahkan ada yang mendirikan lembaga
pendidikan umum yang berada di bawah sistem kementerian pendidikan dan kebudayaan. 14
Dengan kata lain, pesantren saat ini bukan hanya mendirikan madrasah, tetapi juga sekolah-
sekolah umum. Bahkan banyak pesantren telah mendirikan SMK yang mengikuti sistem dan
kurikulum kementerian pendidikan dan kebudayaan. 15

Transformasi pendidikan tidak lain, juga merupakan upaya menyatukan proses


modernitas dengan sosial budaya yang ada dalam suatu masyarakat tertentu. Bentuk nyata
dari modernitas salah satunya adalah terjadinya transformasi pendidikan dalam dunia
pesantren.

Sebagaimana dijelaskan Agus Salim bahwa:

Proses transformation, adalah suatu proses penciptaan hal yang baru (something new)
yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi (tools and tecnologies), yang
mengubah adalah aspek budaya yang sifatnya material, sedangkan yang sifatnya norma dan
nilai sulit sekali diadakan perubahan (bahkan ada kecenderungan untuk dipertahankan). 16

Ada empat lingkup penting yang perlu ditransformasikan terlebih dahulu oleh
pesantren, yakni: kurikulum, kesantrian, sarana dan prasarana serta keuangan pesantren.
Aspek-aspek yang ada pada keempat hal tersebut sangatlah luas cakupannya, namun dalam
makalah ini akan dibahas sebagian kecil yang bisa dikatakan sebagai yang terpenting dalam
proses transformasi pesantren di era globalisasi ini, yakni transformasi kurikulum pesantren.

13
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Millenium III
(Jakarta: Kencana Prenada Media Grup dan UIN Jakarta Press), hal. 117.
14
Ramli Rasyid, “The Integration of the National Curriculum into Pesantren Education System”,
JICSA, Vol. 1, No. 2 (December 2012).
15
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam....hal. 127.
16
Agus Salim, Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia (Yogyakarta:
PT Tiara Wacana, 2002), hal. 21.

9
Pada sisi kurikulum, pesantren harus mampu beradaptasi dengan realitas kebutuhan
globalisasi. Hal ini merupakan bagian dari manajemen yang terfokus pada bagaimana
pengembangan desain kurikulum di dalamnya. Jika pesantren terafiliasi dengan pendidikan
formal, maka penting untuk melakukan penyeimbangan dan pengembangan dari pengetahuan
umum yang dipelajari santri di sekolah melalui kurikulum. Jika pesantren tidak terafiliasi
dengan pendidikan formal, maka perlu dipertimbangkan untuk mencari afiliasi ataupun
membangun lembaga pendidikan formal yang berada pada naungannya. 17 Hal ini agar
kebutuhan dari para santri di masa depan setelah ia belajar di pesantren dapat terpenuhi
dengan seimbang.

Adapun secara umum dalam hal pengelolaan kurikulum ini, pesantren bisa
mengkombinasikan kurikulum dasar yang dipeganginya semenjak dahulu dengan beragam
sajian mata kajian yang tidak semata-mata berkaitan dengan keilmuan agama. Tradisinya,
dalam pesantren tiga dasar keilmuan yang diajarkan adalah berkaitan dengan akidah, syariah,
dan akhlak 18 yang mana masih membutuhkan adaptasi yang lebih luas. Pesantren bisa
mengkombinasikan kurikulumnya dengan memerhatikan beberapa aspek.

1. Aspek kebahasaan.
yakni bukan semata-mata mengkaji pengetahuan dari bahasa kitab (Arab),
tetapi memasukkan juga bahasa asing lainnya yang dibutuhkan dalam persaingan
global. Ketika bahasa internasional diajarkan dan dibiasakan di pesantren, maka
kemampuan bahasa baik aktif maupun pasif dapat diakusisi oleh santri 1944, sehingga
bukan tidak mungkin eksistensi pesantren akan semakin mendunia.
2. Aspek literasi.
yakni untuk menajamkan sisi bacaan para santri agar up to date dan
memberikan dampak yang positif. Kemampuan literasi bukan sekedar kemampuan
dalam membaca, tetapi juga kemampuan dalam menganalisa, mengasosiasi, serta
mengkomunikasikan apa yang telah dibaca. 20 Oleh sebab itu, ketika kurikulum yang
ada di pesantren tidak mengesampingkan aspek literasi, maka santri akan menjadi

17
Samsudin, “Tantangan Lembaga Pendidikan Pesantren di Era Disrupsi,” Conference on Islamic
Studies FAI 2019, no. 0 (14 Februari 2020), hal. 223.
18
Mahfud Ifendi, “Metode Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren Sunan Drajad Banjarwati
Lamongan,” Al-Tarbawi Al-Haditsah: Jurnal Pendidikan Islam 6, no. 2 (29 Desember 2021), hal. 86.
19
Ana Maghfiroh, “From Daily to Fluency: Melejitkan Kemampuan Bahasa Asing dengan Aktifitas
Bahasa Harian,” Jurnal Dimensi Pendidikan dan Pembelajaran 3, no. 2 (29 April 2016), hal. 50.
20
Khirzah Annafisah, Rosichin Mansur, dan Khoirul Asfiyak, “Tradisi Literasi Ulama‟ Nahdliyin
Sebagai Spirit Budaya Literasi Santri di Pondok Pesantren Al-Munawwariyyah Kecamatan Bululawang
Kabupaten Malang,” Vicratina: Jurnal Pendidikan Islam 5, no. 2 (17 Juli 2020), hal. 66.

10
pribadi yang kritis dan tanggap terhadap berbagai fenomena yang ditemuinya. Hal
tersebut akan membawa pada kemanfaatan yang lebih luas bagi santri sendiri dan juga
masyarakat. Aspek literasi ini sebenarnya sudah ada di pesantren semenjak dulu.
Beragam literatur pesantren hasil dari kajian yang ditulis para santri dari dahulu telah
menjadi buktinya, misalnya Hadratus Syaikh K.H. Hasyim Asy‟ari dengan banyaknya
kitab karangan beliau. Hal tersebut menjadi teladan bagi pesantren agar giat dalam
mengembangkan literasi, hanya saja di era sekarang ini masih perlu ditradisikan dan
dikembangkan secara lebih luas lagi. Pesantren harus mampu mengembangkan dan
memfasilitasi hal tersebut di dalam kurikulumnya, tentunya di era globalisasi ini
literasi di pesantren harus lebih luas lagi cakupannya atau tidak sekedar berkutat
dengan ihwal keagamaan an sich.
Proses mentradisikan literasi sebenarnya juga sudah ada semenjak dahulu,
hanya saja lingkup dan komunitasnya masih terbatas. Salah satu tradisi tersebut
adalah bahtsul masail, yakni tradisi dalam melakukan kajian ilmiah dan akademis di
pesantren. 21 46 Namun dalam praktiknya, fungsi utama yang selalu ditekankan dalam
tradisi ini adalah berkait dengan aspek hukum atas realitas atau fenomena yang
terjadi. Fenomena keagamaan, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya dianalisis
melalui kajian kitab untuk kemudian diambil kesepahaman atas hukum yang masih
diperdebatkan. Maka dari itu, konsep literasi melalui bahtsul masail bisa menjadi
inspirasi pengembangan yang lebih baik lagi. Cakupan dan kajian dalam bahasan
bahtsul masail bisa diperluas lagi, bahkan bisa dijadikan sebagai program kurikuler
yang terstruktur ataupun dikembangkan dalam model lain yang lebih mudah
diaplikasikan.
3. Aspek teknologi informasi dan komunikasi.
yakni mendesain ulang kurikulum pesantren agar mampu memberikan bekal
pada para santri terkait pemanfaatan teknologi mutakhir yang saat ini berkembang
secara bijak. Hal ini penting untuk dilakukan oleh pesantren agar santri dan civitas
pesantren tidak gagap akan teknologi yang sangat dibutuhkan. Terlebih lagi di masa
sekarang ini teknologi informasi dan komunikasi telah menjadi kebutuhan primer bagi
setiap orang, termasuk santri. Oleh sebab itu memadukan unsur teknologi informasi
dan komunikasi ini ke dalam kurikulum pesantren sangatlah diperlukan. Hal ini agar

21
Andit Triono, Panduan Praktis Penelitian Kualitatif, ed. oleh Fridiyanto, Edisi Pertama (Malang:
Madza Media, 2022), hal. 4-5.

11
pesantren mampu bertahan dengan baik dalam gempuran globalisasi tanpa perlu
hanyut bahkan hilang ditelan arus. 22
Misalnya seperti yang baru-baru ini terjadi, yakni adanya pandemi Covid-19
yang mengharuskan pesantren memulangkan para santrinya dan mengganti proses
pembelajaran secara daring. Ketika pesantren menutup diri dari teknologi, fenomena
pandemi yang terjadi tentu akan sangat merugikan pesantren dan santri. Proses
internalisasi ilmu yang awalnya berjalan lancar akan tersendat sebab kegagapan
teknologi. Jadi, mendesain kurikulum pesantren yang seimbang dengan
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi akan sangat bermanfaat bagi
pesantren dan santri dalam menghadapi tantangan globalisasi dan berbagai perubahan
yang terjadi.
4. Aspek budaya.
yakni agar kurikulum yang ada di pesantren tetap mampu melestarikan budaya
yang ada di negeri ini, khususnya budaya yang selaras dengan nafas keislaman atau
tradisi pesantren. Adapun untuk budaya yang tidak selaras maka perlu untuk diberikan
bekal pengetahuan dan kiat melakukan transformasi atas budaya tersebut. Artinya
pada aspek budaya ditekankan pada pengembangan nalar dan etika santri atas budaya
yang ada. Nalar dan etika yang ada akan membuat santri mampu melihat kembali atas
budaya yang ada secara kritis. 23

KESIMPULAN

1. Perkembangan pendidikan Islam di pesantren semakin mengarah pada pendidikan


Islam yang lebih modern. Maka untuk merekonstruksi institusi pendidikan perlu
mempertimbangkan sistem pesantren yang mempertahankan tradisi belajar “kitab-
kitab klasik” ditunjang dengan upaya internalisasi unsur keilmuan “modern”
pesantren dijadikan modal awal, sebab di samping sebagai warisan budaya Indonesia,
pesantren juga menyimpan potensi kekayaan khazanah Islam klasik yang terletak
pada tradisi belajar kitab kuningnya. Sebagai Pendidik di era society 5.0, para ustadz
dan ustadzah harus memiliki keterampilan dibidang digital dan berpikir kreatif.

22
Akmal Mundiri dan Ira Nawiro, “Ortodoksi dan Heterodoksi Nilai-Nilai di Pesantren: Studi Kasus
pada Perubahan Perilaku Santri di Era Teknologi Digital,” Jurnal Tatsqif 17, no. 1 (10 Juli 2019), hal. 3.
23
Andit Triono, “Membumikan Etika Sosial dan Pemahaman Multikultural Umat Beragama Melalui
Pendidikan Tinggi,” Holistik: Journal For Islamic Social Sciences IAIN Syekh Nurjati Cirebon 4, no. 1
(Oktober 2020), hal. 7.

12
2. Dengan adanya eksistensi pesantren dapat membantu dan berkontribusi untuk
berkolaborasi dengan masyarakat dengan menjalin komunikasi yang baik, komunikasi
yang baik tersebut dapat membawa respon positif dari masyarakat sehingga
masyarakat secara tidak langsung juga akan membantu dan juga mendukung kegiatan
pesantren yang ada.
3. Tipologi pesantren lahir tidak bisa dilepaskan dari pembaruan-pembaruan yang
dilakukan di pesantren-pesantren Indonesia. Namun, pesantren cenderung memilih
kebijaksanaan hati-hati (cautious policy); pesantren tidak tergesa-gesa untuk
mentranformasi pendidikan tradisional menjadi model Pendidikan modern Islam
seperti yang dikelola kaum reformis.
4. Ada empat langkah penting yang perlu ditransformasikan terlebih dahulu oleh
pesantren, yakni: kurikulum, kesantrian, sarana dan prasarana serta keuangan
pesantren. Pada sisi kurikulum, pesantren harus mampu beradaptasi dengan realitas
kebutuhan globalisasi. Hal ini merupakan bagian dari manajemen yang terfokus pada
bagaimana pengembangan desain kurikulum di dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA

Afadlal, (2005). et. al., Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI Press).
Aghni Rizqi Ni‟mal, Abdu dan Faulinda Ely Nastiti. Tahun 2020. Kesiapan Pendidikan
Indonesia Menghadapi era society 5.0, Jurnal Kajian Teknologi Pendidikan Volume
5, No 1.
Annafisah Khirzah, Mansur Rosichin, dan Asfiyak Khoirul, (17 Juli 2020). “Tradisi Literasi
Ulama‟ Nahdliyin Sebagai Spirit Budaya Literasi Santri di Pondok Pesantren Al-
Munawwariyyah Kecamatan Bululawang Kabupaten Malang,” Vicratina: Jurnal
Pendidikan Islam 5, no. 2.
Azra Azyumardi, (1996). “Pembaruan Pendidikan Islam: Sebuah Pengantar” pada buku
Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Depag RI).
Barizi Ahamad, (2011). Pendidikan Integratif: Akar Tradisi dan Keilmuan Pendidikan Islam
(Malang: UIN Maliki Press).
Efendi Muhammad, Prayoga Ranom Kukuh dan Mukaramah Muniratul, (2021).“Tanggapan
Masyarakat terhadap Pondok Pesantren Darul Ilmi dalam perspektif pendidikan”,
Jurnal Teori dan Praksis Pembelajaran IPS, Volume 6, No. 2.
Humaidi Anis, (2011). “Transformasi Sistem Pendidikan Pesantren: Studi Kasus Unit
Pondok Pesantren Salafi Terpadu Ar-Risalah di Lingkungan Pondok Pesantren Induk

13
Lirboyo Kediri Jawa Timur” (Ringkasan Disertasi Doktor, Program Pascasarjana
IAIN Sunan Ampel Surabaya).
Ifendi Mahfud, (29 Desember 2021). “Metode Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok
Pesantren Sunan Drajad Banjarwati Lamongan,” Al-Tarbawi Al-Haditsah: Jurnal
Pendidikan Islam 6, no. 2.
Khasanah Fatihatul Umi, (2018).“Respon Masyarakat Terhadap Eksistensi Pondok
Pesantren Al-Hidayah”, (Purwokerto: IAIN Purwokerto).

Maghfiroh Ana, (29 April 2016). “From Daily to Fluency: Melejitkan Kemampuan Bahasa
Asing dengan Aktifitas Bahasa Harian,” Jurnal Dimensi Pendidikan dan
Pembelajaran 3, no. 2.
Mastuhu, (1994). Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS).
Mu‟awanah, (2009). Manajemen Pesantren Mahasiswa: Studi Ma’had UIN Malang (Kediri:
STAIN Kediri Press).
Mundiri Akmal dan Nawiro Ira, (10 Juli 2019). “Ortodoksi dan Heterodoksi Nilai-Nilai di
Pesantren: Studi Kasus pada Perubahan Perilaku Santri di Era Teknologi Digital,”
Jurnal Tatsqif 17, no. 1.
Rasyid Ramli, (December 2012). “The Integration of the National Curriculum into Pesantren
Education System”, JICSA, Vol. 1, No. 2.
Salim Agus, (2002). Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus
Indonesia (Yogyakarta: PT Tiara Wacana).
Samsudin, (14 Februari 2020). “Tantangan Lembaga Pendidikan Pesantren di Era Disrupsi,”
Conference on Islamic Studies FAI 2019, no. 0.
Triono Andit, (2022). Panduan Praktis Penelitian Kualitatif, ed. oleh Fridiyanto, Edisi
Pertama (Malang: Madza Media).
Triono Andit, (Oktober 2020). “Membumikan Etika Sosial dan Pemahaman Multikultural
Umat Beragama Melalui Pendidikan Tinggi,” Holistik: Journal For Islamic Social
Sciences IAIN Syekh Nurjati Cirebon 4, no. 1.
Yasmadi, (2002). Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan
Islam Tradisional (Jakarta: Ciputat Press).

14
Bukti Submit Jurnal:

15

Anda mungkin juga menyukai