Anda di halaman 1dari 149

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah


Pendidikan Islam yang bermakna usaha untuk mentransfer nilai-nilai
budaya Islam kepada generasi muda, masih dihadapkan pada persoalan
dikotomis dalam sistem pendidikannya. Pendidikan Islam bahkan diamati dan
disimpulkan terkukung dalam kemunduran, kekalahan, keterbelakangan,
ketidakberdayaan, perpecahan, dan kemiskinan, sebagaimana pula yang
dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat Islam dibandingkan
dengan mereka yang non Islam. Bahkan, pendidikan yang apabila diberi
embel-embel Islam, juga dianggap berkonotasi kemunduran dan
keterbelakangan, meskipun sekarang secara berangsur-angsur banyak diantara
lembaga pendidikan Islam yang telah menunjukkan kemajuan.1
Pendapat ini sangat berpengaruh terhadap sistem Pendidikan Islam,
yang akhirnya dipandang selalu berada pada posisi deretan kedua dalam
konstelasi sistem pendidikan di Indonesia, walaupun dalam undang-undang
sistem pendidikan nasional menyebutkan pendidikan Islam merupakan sub-
sistem pendidikan nasional. Tetapi predikat keterbelakangan dan kemunduran
tetap melekat padanya, bahkan pendidikan Islam sering diperuntukan hanya
untuk kepentingan orang-orang yang tidak mampu atau miskin.
Keberadaan lembaga Pendidikan yang disebutkan di atas cukup
variatif, sekalipun mungkin peran dan fungsinya masih dipertanyakan dalam
konfigurasi pendidikan nasional. Untuk itu fungsi pendidikan Islam dari
lembaga atau tempat pendidikan tersebut, perlu dirumuskan secara lebih
spesifik, efektif, dan bermutu tinggi, agar dapat menjawab tantangan yang
dihadapi. Kalau kita telaah literatur dalam pendidikan Islam, maka diketahui
bahwa fungsi dan tujuan pendidikan Islam diletakan jauh lebih berat
tanggungjawabnya bila dibandingkan dengan fungsi pendidikan pada

1Soroyo, Berbagai Persoalan Pendidikan, Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di


Indonesia, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya, (Yogyakarta : Fak. Tarbiyah
IAIN Sunan Kaliga, 1991), Volume I, hlm. 77

1
umumnya. Sebab, fungsi dan tujuan pendidikan Islam harus memberdayakan
atau berusaha menolong manusia untuk mencapai kebahagian dunia dan
akhirat. Oleh karenanya, maka konsep dasarnya bertujuan untuk melahirkan
manusia-manusia yang bermutu yang akan mengelola dan memanfaatkan
bumi ini dengan ilmu pengetahuan untuk kebahagiannya, yang dilandasi pada
konsep spritual untuk mencapai kebahagian akhiratnya.
Sebagaimana dikatakan para ahli, bahwa pendidikan Islam berupaya
untuk mengembangkan semua aspek dalam kehidupan manusia yang meliputi
spritual, intelektual, imajinasi, keilmiahan baik individu maupun kelompok,
dan memberi dorongan bagi dinamika aspek-aspek di atas menuju kebaikan
dan pencapaian kesempurnaan hidup baik dalam hubungannya dengan al-
Khaliq, sesama manusia, maupun dengan alam.2 Akan tetapi pada tataran
operasional, rumusan-rumusan ideal yang dikemukakan di atas belum
terjawab, sedangkan lembaga pendidikan Islam cukup variatif dalam berusaha
menerapkan konsep-konsep tersebut, namun belum berdaya dan posisi
pendidikan Islam sendiri masih terlihat begitu lemah.
Melihat kenyataan ini, maka inovasi atau penataan fungsi pendidikan
Islam, terutama pada sistem pendidikan, harus diupayakan secara terus
menerus, berkesinambungan, dan berkelanjutan, sehingga nanti usahanya
dapat menyentuh pada perluasan dan pengembangan sistem pendidikan Islam
luar sekolah termasuk pada pondok pesantren. Di samping inovasi pada sisi
kelembagaan, faktor tenaga pendidikan juga harus ditingkatkan aspek etos
kerja dan profesionalismenya, perbaikan materi (kurikulum) yang pendekatan
metodologi masih berorientasi pada sistem tradisional, dan perbaikan
manajemen pendidikan itu sendiri. Untuk itu, maka usaha untuk melakukan
inovasi tidak hanya sekedar tanbal sulam, tetapi harus secara mendasar dan
menyeluruh, mulai dari fungsi dan tujuan, metode, materi (kurikulum),
lembaga pendidikan, dan pengelolaannya. Penataan pada fungsi pendidikan,
tentu dengan memperhatikan pula dunia kerja. Sebab, dunia kerja mempunyai
andil dan rentang waktu yang cukup besar dalam jangka kehidupan pribadi

2M Arifin, Kapita Selekta Pendidikan, (Jakarta : Bina Aksara, 1991), cet. ke-1, hlm. 15

2
dan kolektif. Pembenahan pendidikan Islam dapat memilih sasaran model
pendidikan bagi kelompok masyarakat. Perbaikan wawasan, sikap,
pengetahuan, keterampilan, diharapkan akan memperbaiki kehidupan sosio-
kultural dan ekonomi masyarakat.
Konsumsi pendidikan dan pengembangan keilmuan untuk kelompok
masyarakat, belum tampak berkembang, kecuali usaha-usaha yang secara
naluriah telah diwariskan dari waktu ke waktu.3 Perbaikan fungsi pendidikan
Islam pada tahap lanjut, harus dilakukan menjadi satu kesatuan dengan
lembaga pendidikan Islam lainnya yang terkait erat sekali, seperti masjid
dengan kesatuan jamaahnya, madrasah/sekolah, keluarga muslim, masyarakat
muslim di suatu kesatuan teritorial, dan lain sebagainya. Dalam konteks
tersebut, maka sekurang-kurangnya ada empat jenis lembaga pendidikan
Islam yang dapat mengambil peran ini, yaitu pendidikan Pondok Pesantren,
Masjid, Madrasah, pendidikan umum yang bernafaskan Islam. Peran di sini
seperti yang diungkapkan Bruce J Cohen, peran adalah suatu perilaku yang
diharapkan oleh orang lain dari seseorang yang menduduki status tertentu.
Peran-peran yang tepat dipelajari sebagai bagian dari proses sosialisasi dan
kemudian diambil oleh para individu.4
Permasalahan yang muncul adalah bagaimana lembaga-lembaga
Islam, termasuk pondok pesantren atau para penyelenggara pendidikan (kyai),
mampu mempersiapkan diri dan berperan dalam mengembangkan pendidikan
Islam yang ada. Hal ini mencakup tujuan, manajemen kelembagaan,
kurikulum, proses pembelajaran, sarana-prasarana, dan evaluasi. Sehingga
output-nya dapat menghadapi perubahan masyarakat yang terus maju hidup
dalam tatanan ajaran Islam. Ini merupakan pertanyaan besar yang memerlukan
jawaban segera oleh lembaga pendidikan yang bernaung atas nama pondok
pesantren.
Pondok pesantren merupakan tempat yang relevan untuk menyiarkan
agama, maupun masalah - masalah sosial lainnya, karena dalam pondok

3Suyuta, Penataan Kembali Pendidikan Islam pada Era Kemajuan Ilmu dan Teknologi,
(Yogyakarta : Majalah UNISIA No. 12 Th. XIII, UII,1992), hlm. 28
4 Bruce J Cohen, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), hlm. 76

3
pesantren ini ilmu yang diajarkan nantinya dapat diterapkan oleh para
santrinya dalam masyarakat di sekitarnya.5 Pondok pesantren sebagai salah
satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia sudah ada dan berkembang dan
tumbuh mengakar di tengah-tengah masyarakat Indonesia, dan bahkan tetap di
kembangkan sesuai dengan perkembangan zaman.
Di sisi lain, pesantren mempunyai peranan yang sangat penting bagi
sejarah bangsa Indonesia. Dan tidak diragukan lagi bahwa pondok pesantren
merupakan lembaga pendidikan asli Indonesia. Lembaga ini telah eksis jauh
sebelum kedatangan Islam di Nusantara.6 Sejak masa awal penyebaran Islam,
pesantren adalah saksi utama bagi penyebaran Islam di Indonesia.
Perkembangan dan kemajuan masyarakat Islam di Indonesia tidak bisa
terpisahkan dari peranan pesantren. Bermula dari pesantren, perputaran roda
ekonomi dan kebijakan publik Islam dikendalikan. Kedinamisan pesantren
tidak hanya di bidang ekonomi dan dekatnya dengan kekuasaan, tetapi juga
maju dalam bidang keilmuan dan intelektual.7
Pondok pesantren sebagai tempat memperdalam ilmu agama juga
memacu diri dalam mencari sesuatu yang baru sesuai dengan pengetahuan dan
teknologi. Serta menghadapi perkembangan zaman dengan tetap mempunyai
kandungan iman dan taqwa kepada Allah SWT. Dengan demikian pondok
pesantren menjadi pusat pendidikan agama dan pengetahuan masyarakat,
sekaligus mewujudkan peran transformasi terhadap ide-ide dan wawasan baru
bagi kesejahteraan rakyat dan masyarakat di sekitarnya dan dalam mengisi
pembangunan.8

5Abdurrahman Soleh, Penyelenggaraan Madrasah Pesantren, (Jakarta : Dharma Bakti,


1985), hlm. 46
6Menurut sejarahnya, terdapat dua versi pendapat tentang akar berdirinya pondok pesantren di
Indonesia. Pertama, pendapat yang menyebutkan bahwa pondok pesantren berakar pada tradisi
Islam itu sendiri, yaitu tradisi tarekat. Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di
Indonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat. Kedua, pendapat
yang mengatakan bahwa pondok pesantren pada mulanya merupakan pengambilalihan dari system
pondok pesantren yang diadakan orang-orang Hindu di Nusantara. Hal ini didasarkan pada fakta
bahwa jauh sebelum Islam datang ke Nusantara, pondok pesantren ini sudah ada di negeri ini yang
dijadikan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu. Departemen Agama, Pola
Pengembangan Pondok Pesantren, (Jakarta : Ditjen Kelembagaan Agama Islam, 2003), hlm. 10
7 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2001), cet. ke-2,
hlm. 184.
8 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta : INIS, 1994), hlm. 56-57

4
Pembangunan, terutama bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat, baik secara spiritual maupun secara material9, atau membentuk
manusia yang utuh, paripurna, yang berkesinambungan antara nilai-nilai
kejasmanian dan kerohanian.10 Dimana pada prinsipnya tujuan utama
pembangunan yaitu adanya keinginan untuk merubah keadaan menjadi lebih
baik dari sebelumnya dengan melalui berbagai bidang kehidupan terutama
peningkatan dalam bidang pendidikan.
Kondisi ini menuntut pondok pesantren sebagai salah satu lembaga
pendidikan Islam untuk bekerja serius dalam mengembangkan pendidikannya,
karena itu A. Mukti Ali, menyatakan bahwa kelemahan-kelemahan pendidikan
Islam di Indonesia dewasa ini lebih disebabkan oleh faktor-faktor penguasaan
sistem dan metode, bahasa sebagai alat, ketajaman interpretasi (insinght),
kelembagaan (organisasi), manajemen, serta penguasaan ilmu dan teknologi.
Berkaitan dengan hal ini, M.Arifin, juga menyatakan bahwa pendidikan Islam
harus didesak untuk melakukan inovasi yang tidak hanya berkaitan dengan
perangkat kurikulum dan manajemen, tetapi juga menyangkut dengan startegi
dan taktik operasionalnya. Strategi dan taktik itu, menuntut perombakan
model-model pendidikan sampai dengan institusi-institusinya, sehingga lebih
efektif dan efisien, dalam arti pedagogis, sosiologis dan kultural dalam
menunjukkan perannya.11
Sebagai salah satu lembaga pendidikan, pesantren tumbuh dan
berkembang sesuai dengan pengembangan Islam. Memang dalam
kenyataannya perkembangan pesantren secara kuantitatif tidak menurun,
bahkan memperlihatkan gejala naik dan ditandai oleh timbulnya pesantren-
pesantren baru.12
Perkembangan pesantren pada saat ini tetap mengemban tugas
sebagai wadah pembinaan umat Islam yang berorientasi kepada peningkatan
moral umat, terutama dalam pendidikan Islam. Kenyataan membuktikan,

9 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1989),
hlm. 454
10Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, (Jakarta : Rajawali, 1987), hlm. 87
11M Arifin, Kapita Selekta Pendidikan , (Jakarta : Bina Aksara, 1991), cet. ke-1, hlm. 3
12M Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta : LP3ES, 1974), hlm. 6

5
bahwa umat Islam mendambakan agar pemimpin umat, datang dari lembaga
ini yang akan membawa mereka manuju satu jalan kehidupan yang bahagia
dunia dan akhirat. Sebenarnya pembinaan yang dikembangkan di pesantren
tidak hanya jalur pendidikan saja, tetapi mencakup juga segi kerohanian
terutama menempa jiwa santri dalam mencapai satu tatanan kehidupan yang
teratur, tertib, kerja sama yang harmonis, mengutamakan kepentingan umum
dan lebih banyak beramal saleh.
Menurut Mastuhu, yang terpenting adalah bahwa suatu lembaga
pendidikan akan berhasil menyelenggarakan kegiatannya jika ia dapat
mengintegrasikan dirinya ke dalam kehidupan masyarakat yang
melingkarinya. Keberhasilan ini menunjukan adanya kecocokan nilai
antara pendidikan yang bersangkutan dan masyarakatnya, setidak-
tidaknya tidak ada pertentangan. Lebih jauh dari itu, suatu lembaga
pendidikan akan diminati oleh peserta didik, orang tua, dan seluruh
masyarakat apabila ia mampu menyatu dengan masyarakat sekitarnya
dalam bidang moral. Pesantren sering diidealkan sebagai komunitas ideal
dan sakral. Pesantren dinilai sebagai lembaga pendidikan yang mendidik
santrinya untuk menjadi orang saleh yang idealis, moralis, dan
berorientasi ukrawi 13
Sementara, Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa pesantren dapat
menyumbang penanaman iman, suatu yang diinginkan oleh tujuan
pendidikan Nasional. Budi luhur, kemandirian, kesehatan ronahi, adalah
tujuan-tujuan pendidikan Nasional, yang juga merupakan utama
pendidikan pesantren14

Sistem madrasah dan pesantren yang berkembang di nusantara ini


dengan segala kelebihannya, juga tidak disiapkan untuk membangun
peradaban.15 Untuk membangun peradaban Islam ini, di Sumatera Barat
banyak juga bermunculan pondok pesantren, tetapi di Sumatera Barat lembaga
pendidikan yang ada pertama kali sebelum diodopsi ke dalam bentuk
pesantren di Jawa dikenal dengan Surau.16
Surau sebagai lembaga pendidikan tertua di Minangkabau dimulai

13Mastuhu, op. cit., hlm. 4


14Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya,
2007), cet. ke-7, hlm. 203
15A Syafii Ma’arif, “Keutuhan dan Kebersamaan dalam Pengelolaan Pendidikan Islam
Sebagai Wahana Pendidikan Muhammadiyah”, makalah disampaikan pada Rakernas Pendidikan
Muhammadiyah, di Jakarta : Pondok Gede,1996, hlm. 5
16 Ibrahim Bukhari Sidi, Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan
Nasional di Minangkabau, (Jakarta : PT. Pradya Persada, 1974), hlm. 71

6
dari surau yang didirikan oleh Syekh Burhanuddin, dimana surau pada waktu
itu berfungsi sebagai tempat melaksanakan sholat dan juga sebagai tempat
pendidikan tarekat, jadi pada saat itu surau mempunyai dua fungsi. Dalam
perkembangannya, eksistensi surau merupakan lembaga yang sangat strategis
bagi pengajaran agama Islam. Dari surau inilah bermunculan surau-surau di
daerah Minangkabau ini seperti surau Jambatan Besi di Padang Panjang, surau
Tanjung Sunganyang, surau Gadang Thawalib Tanjung Limau, surau Parabek,
surau Candung dan lain-lain.17
Dalam catatan sejarah dikatakan, jauh sebelum tahun 1900-an di
bawah asuhan Syekh Abdullah Ahmad perguruan Thawalib telah memulai
pendidikannya dengan sistem halaqah bertempat di surau Jemabatan Besi
(sekarang bernama Pesantren Thawalib), yang kemudian dilanjutkan oleh DR.
H. Abdul Karim Amarullah, seorang ulama besar yang baru pulang belajar
dari Mekah yang dikenal dengan sebutan inyiak rasul atau inyiak Deer (ayah
almarhum Buya HAMKA). Beliau sekaligus mengubah sistem belajar secara
klasikal.18
Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau merupakan bagian dari
realitas masyarakat Kabupaten Tanah Datar yang awalnya masih merupakan
afiliasi dari Surau Jembatan Besi di Padang Panjang, tetapi berbeda dalam
strukturnya, dituntut untuk lebih meningkat dalam membangun peradaban
Islam serta berusaha melakukan pengembangan pendidikan Islam. Kenyataan
menunjukan bahwa pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau telah
berkiprah ditengah-tengah kehidupan masyarakat semenjak zaman penjajahan
Belanda. Pondok pesantren ini telah menyatu dengan masyarakat, akan tetapi
disatu sisi terutama dalam perjalannya sekarang mengalami perubahan pola
majamen dan sistem dari sistem yang ada. Dan permasalahan yang mendasar
dalam penelitian ini adalah, terjadinya ketimpangan dalam sistem pendidikan
pondok pesantren, dimana sistem yang dipakai sesuai dengan haluan dan

17 Zainuddin Mu'in St. Marajo, Sejarah Ringkas Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
Simabur Tanah Datar, Makalah Latihan Instruktur Keterampilan Menjahit Pakaian Wanita,
(Jakarta : 4 -5 Oktober 1991), hlm. 1 (tidak diterbitkan)
18Ibrahim Bukhari Sidi, op.cit., hlm. 72

7
pemikiran Buya selaku pimpinan, serta adanya interpensi dari pengurus
yayasan sebagai pemegang otoritas lembaga.
Oleh karena itu, pondok pesantren ini dituntut untuk senantiasa
mengembangkan kelembagaannya, meningkatkan kualitas sumber daya
manusia melalui wajib belajar, mengadakan pelatihan-pelatihan serta kursus
keterampilan bagi para santri dan anggota masyarakat sekitarnya.
Dengan demikian masalah yang akan dihadapi dan akan menjadi
tanggungjawab Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau di masa yang
akan datang adalah bagaimana pesantren dapat berperan dalam pengembangan
pendidikan Islam bagi masyarakat sekitarnya sesuai dengan perubahan yang
terjadi di dalam masyarakat itu sendiri.
B.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pada masalah di atas, maka pembahasan
pesantren dan pengembangan pendidikan Islam ini cukup menarik untuk
diteliti. Hal ini mengingat peran strategis pondok pesantren di masa depan
sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama dalam melakukan peningkatan
mutu pendidikan dan pengembangan pendidikan Islam ditengah-tengah
masyarakat. Untuk keperluan tersebut, studi kasus penelitian adalah di Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat.
Pertanyaannya adalah bagaimana peran Pondok Pesantren Thawalib Tanjung
Limau (semenjak berobah statusnya menjadi pondok pesantren tahun 1972)
dalam meningkatkan mutu dan mengembangkan pendidikan Islam?. Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, maka yang menjadi tema pokok dalam
penelitian ini adalah: PERANAN PONDOK PESANTREN THAWALIB
TANJUNG LIMAU DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI
KABUPATEN TANAH DATAR SUMATERA BARAT.
Permasalah tersebut dirumuskan dalam pertanyaan penelitian
berikut:
a.Bagaimana latar belakang, tujuan, visi dan misi Pondok Pesantren
Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera
Barat ?

8
b.Bagaimana kurikulum Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat ?
c.Bagaimana proses pelaksanaan pendidikan Islam di Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar
Sumatera Barat ?
d.Apa faktor pendukung dan penghambat pengembangan pendidikan
Islam di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten
Tanah Datar Sumatera Barat ?
e.Bagaimana peranan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
dalam pengembangan pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar
Sumatera Barat,mencakup posisi, tugas pokok dan fungsi utama.
C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.Mengetahui latar belakang berdirinya, tujuan, visi dan misi Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar
Sumatera Barat.
b.Mengetahui kurikulum di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung
Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat.
c.Mengetahui proses pelaksanaan pendidikan Islam di Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar
Sumatera Barat.
d.Mengetahui faktor pendukung dan penghambat pengembangan
pendidikan Islam di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat.
e.Mengetahui peranan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
dalam pengembangan pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar
Sumatera Barat mencakup posisi, tugas pokok dan fungsi utama.

2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Kegunaan Ilmiah

9
Hasil penelitian ini memberikan konstribusi dalam ilmu
sejrah kebudayaan Islam dan dapat dijadikan teori dan ilmu baru
tentang peranan Pondok Pesantren dalam pengembangan
pendidikan Islam dan sekaligus sebagai bahan kajian lebih
mendalam mengenai pondok pesantren.
b. Kegunaan praktis
1) Bagi penulis sendiri, hasil ini dijadikan sebagai upaya menambah
pengetahuan dan wawasan serta pengalaman, terutama mengenai
peran Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam
peningkatan dan pengembangan mutu Pendidikan Islam.
2) Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
bahan informasi tentang pentingnya melakukan peningkatan dan
pengembangan mutu pendidikan Islam melalui peran lembaga
pendidikan pondok pesantren yang merupakan kebudayaan dan
peradaban Islam.
3) Bagi pengelola pondok pesantren, hasil penelitian ini memberikan
landasan berpikir dalam rangka mengembangkan pendidikan
Islam.

D.Kerangka Pemikiran
Pendidikan Pondok pesantren berperan dalam memberikan nilai-nilai
Islam yang tinggi serta berkontribusi mencerdaskan serta membentuk karakter
masyarakat yang islami.. Disamping itu pondok pesantren berperan dalam
menciptakan ulama inteletual dan intelektual ulama, disamping menumbuhkan
nilai-nilai Islam ditengah-tengah kehudpan masyarakat.
Pondok pesantren berasal dari dua kata, yaitu pondok dan pesantren.
Pondok berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti tempat menginap atau
asrama. Sedangkan pesantren berasal dari bahasa Tamil, dari kata santri,
diimbuhi awalan pe dan akhiran an yang berarti penuntut ilmu.19 Kata
pesantren mengandung pengertian asrama atau tempat murid-murid belajar

19Muhammad Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta :
Raja Grafondo Persada, 1995), hlm. 145

10
mengaji dan bisa juga disebut pondok.20 Dalam bahasa Indonesia sering nama
pondok dan pesantren dipergunakan juga sebagai sinonim untuk menyebut
pondok pesantren. 21
Pesantren adalah suatu bentuk lingkungan masyrakat yang unik dan
memiliki tata nilai kehidupan yang positif yang mempunyai ciri khas
tersendiri, sebagai lembaga pendidikan Islam. Adapun unsur pokok dari
pesantren adalah : Kiyai, Santri, Pondok, Masjid dan Kitab-kitab klasik22.
Menurut istilah pondok pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional
Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati dan
mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan
sebagai pedoman perilaku sehari-hari.23
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di
Indonesia yang memiliki kontribusi penting dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa.24 Jauh sebelum masa kemerdekaan, pesantren telah menjadi sistem
pendidikan nusantara. Hampir di seluruh pelosok nusantara, khususnya di
pusat-pusat kerajaan Islam telah terdapat lembaga pendidikan yang kurang
lebih serupa walaupun menggunakan nama yang berbeda-beda, seperti
Meunasah di Aceh, Surau di Minangkabau dan Pesantren di Jawa.25
Dalam perkembangannya pondok pesantren mengalami dinamika
sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia. Pada awalnya pondok
pesantren bersifat tradisional non klasikal dengan metode sorongan26 dan

20Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka, 1996 ), hlm. 762
21Manfrek Ziemek, Pesantren dalam PerubahanSosial, (Jakarta : P3M, 1986 ), hlm. 116
22Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia,
( Bandung : Citapustaka Media, 2001), hlm. 69
23Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta : INIS, 1994), hlm. 155
24Pondok Pesantren di Indonesia baru diketahui keberadaan dan perkembangannya setelah
abad ke-16. Karya-karya Jawa Klasik seperti Serat Cabolek dan Serat Centini mengungkapkan
bahwa sejak permulaan abad ke-16 ini di Indonesia telah banyak dijumpai lembaga-lembaga yang
mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fiqih, aqidah, tasawwuf dan menjadi pusat-
pusat penyiaran Islam. Departemen Agama, Pola Pengembangan Pondok Pesantren, hlm. 11
25Departeman Agama, Pola Pembelajaran di Pesantren, (Jakarta : Ditjen Kelembagaan
Agama Islam, 2003), hlm. 3
26Sorogan adalah santri menghadap kiyai seorang-seorang dengan membaca kitab yang akan
dipelajarinya. Santri menyimak dan mengesahkan dengan memberi catatan pada kitabnya untuk
mensahkan bahwa ilmu itu telah diberikan oleh kiayi. Abdul Rachman Saleh, Pendidikan Agama
dan Keagamaan, Visi, Misi dan Aksi, (Jakarta : PT. Gemawindu Pancaperkasa, 2000), hlm. 223

11
wetonan27 dan materi khusus mempelajari agama. Sebagai lembaga
pendidikan Islam tertua, pondok pesantren berfungsi sebagai salah satu
benteng pertahanan umat Islam, pusat dakwah dan pusat pengembangan
masyarakat musilim Indonesia.28
Wirjo Sukarto menunjukan bahwa tujuan utama pendidikan pondok
pesantren adalah menyiapkan calon lulusan hanya menguasai masalah agama
semata. Rencana pelajaran (kurikulum) ditetapkan oleh Kiyai dengan
menunjukan kitab-kitab apa yang harus dipelajari. Pengunaan kitab dimulai
dari jenis kitab yang rendah dalam satu disiplin ilmu keislaman sampai pada
tingkat yang tinggi. Kenaikan kelas atau tingkat ditandai dengan bergantinya
kitab yang telah ditelaah setelah kitab-kitab sebelumnya selesai dipelajarinya.
Ukuran kealiman seorang santri bukan dari banyaknya kitab yang dipelajari
tetapi diukur dengan praktek mengajar sebagai guru mengaji, dapat
memahami kitab-kitab yang sulit dan mengajarkan kepada santri-santri
lainnya.29
Menurut Mahmud Yunus, bahwa isi pendidikan Islam pada pondok
pesantren, terutama pada masa perubahan (1900-1908) meliput: (1) pengajian
al-Qur’an; (2) pengajian kitab yang terdiri atas beberapa tingkat,yaitu: (a)
mengaji nahwu, sharaf dan fiqh dengan memakai kitab Ajrumiyah, Matan
Bina, Fathul Qarib dan sebagainya; (b) mengaji tauhid, nahwu, sharaf dan fiqh
dengan memakai kitab Sanusi, Syaikh Khalid (Azhari,’Asymawi), Kailani,
Fathul Mu’in dan sebagainya; dan (c) mengaji Tauhid, nahwu sharaf, fiqh dan
tafsir dan lainnya dengan memakai kitab Kifayatul ’Awam ( Ummul Barahin),
Ibnu ’Aqil, Mahalli, Jalalain/Baidlawi dan sebagainya.30
Lembaga pendidikan yang berbasis pada pesantren ini mempunyai

27Wetonan adalah metode kuliah, dimana santri mengikuti pelajaran dengan duduk di
sekililing kiayi yang menerangkan pelajaran secara kuliah. Santri menyimak kitab masing-masing
dan membuat catatan padanya. Di Jawa Barat metode ini disebut bandongan sedang di Sumatra
disebut halaqah atau balaghan (balagan). Abdul Rachman Saleh, Ibid, hlm. 223
28Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hove, 1996) cet.
ke-3. Jilid 4, hlm. 99
29Amir Hamzah Wirjo Sukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, (Jember :
Muria Offset, 1985), cet. ke-4, hlm. 27-28
30Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Mutiara, 1979), hlm.
54-55

12
peran dalam segala aspek, tidak hanya dalam aspek ukrawi semata, melainkan
dalam aspek kehidupan umat manusia yang lain. Adapun peran yang sangat
dibutuhkan dalam pengembangan pendidikan Islam disini adalah dalam upaya
menemukan pembaharuan dalam sistem pendidikan yang meliputi metode
pengajaran, baik agama maupun umum yang efektif. inovasi dibidang
kurikulum, alat-alat pelajaran, guru yang kreatif dan penuh dedikasi (kualitas
sumber daya manusia), mengembangkan kelembagaan, pengembangan dan
peningkatan sarana dan prasarana, serta pengembangan bidang keilmuan dan
keterampilan.31
Karel Steenbrink, menyatakan bahwa keberadaan pendidikan Islam di
Indonesia cukup variatif. Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa pendidikan
Islam yang berbasis pada pondok pesentren, diharapkan menjadi “modal”
dalam upaya mengintegrasikan ilmu pengetahuan sebagai suatu paradigma
didaktik-metodologis. Sebab, pengembangan keilmuan yang integral
(interdisipliner) akan mampu manjawab kesan dikotimis dalam lembaga
pendidikan Islam selama ini berkembang. Tetapi sayangnya pendidikan model
ini belum ditindak lanjuti dan dievaluasi efiktitas dan efisiensi prosesnya baik
dari kurikulum dan materi, metode, pengajar, waktu pelaksanaan dan
organisasi. 32
Melihat kenyataan ini, maka pendidikan Islam ini perlu mendapat
perhatian yang serius dalam menuntut pemberdayaan yang harus
disumbangkannya, dengan usaha menata kembali keadaannya, terutama di
Indonesia. Keharusan ini, tentu dengan melihat keterkaitan dan peranannya di
dalam usaha pendidikan bangsa Indonesia yang mayoritas muslim, sehingga
perlu ada terobosan seperti perubahan model dan strategi pelaksanaannya
dalam menghadapi perubahan zaman.
Usaha penataan kembali akan memperoleh keuntungan majemuk,
karena: Pertama, pendidikan Islam subsistem pendidikan nasional di

31Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam ; Pemberdayaan, Pengembangan


Kurikulum hingga Redefenisi Islamisasi Pengetahuan, (Bandung : Nuansa, 2003), cet. ke-1,hlm.
33
32Karel Steenbink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modren,
(Jakarta : LP3ES, 1994), hlm. 21

13
Indonesia, akan dapat memperoleh dukungan dan pengalaman positif. Kedua,
pendidikan Islam dapat memberikan sumbangan dan alternatif bagi
pembenahan sistem pendidikan di Indonesia dengan ragam kekurangan,
masalah, dan kelemahannya. Ketiga, sistem Pendidikan Islam yang dapat
dirumuskan akan memiliki akar yang lebih kokoh dalam realitas kehidupan
kemasyarakatan.33
Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam di Indonesia
yang bersifat tradisional untuk tujuan mendalami ilmu agama Islam, dan
mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian, dengan menekankan
pentingnya moral dalam hidup bermasyarakat. Dengan demikian pesentren
merupakan sistem pendidikan yang berkembang di masyarakat.
Unsur-unsur sistem pendidikan selain terdiri atas pelaku yang
merupakan unsur organik, juga terdiri atas unsur-unsur non organik lainnya
berupa dana, sarana dan alat-alat pendidikan lainnya, baik berupa perangkat
keras maupun perangkat lunak. Hubungan antara nilai-nilai dan unsur-unsur
dalam suatu sistem pendidikan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lainnya. Para pelaku pesantren adalah kyai (buya)
sebagai tokoh utama dan merupakan kunci dari sebuah pesantren, ustadz
sebagai pembantu kyai dalam bidang agama, guru sebagai pembantu kyai
dalam mengajar ilmu-ilmu umum, santri sebagai pelajar, dan pengurus sebagai
pembantu kyai dalam mengurus kepentingan umum pesantren.
Nilai-nilai yang dikembangkan dipesantren senantiasa digerakan dan
diarahkan oleh nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada ajaran Islam.
Ajaran dasar tersebut berinteraksi dengan struktur kontektual atau realitas
sosial yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Hasil perpaduan inilah yang
membentuk pandangan hidup, dan pandangan hidup inilah yang menetapkan
tujuan pendidikan pesantren yang ingin dicapai dan pemilihan metode yang
akan dilaksanakan. Oleh karena itu, pandangan hidupnya selalu berubah dan
berkembang sesuai dengan perubahan dan perkembangan realitas sosial yang
dihadapi oleh sebuah pondok pesantren.

33Suyata, op .cit., hlm. 23

14
Tujuan terbentuknya pesantren diantaranya adalah membimbing anak
didik (santri) untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam dan
mempunyai ilmu agama, sehingga sangup menjadi mubaligh Islam dalam
masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya. Disamping itu, tujuan khusus
dibentuknya sebuah pondok pesantren adalah mempersiapkan anak didik
(santri) untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kyai
yang bersangkutan, serta mengamalkannya dalam masyarakat.34
Sistem yang diutamakan dalam pendidikan di pesantren adalah
kesederhanaan, idealisme, persaudaraan, persamaan, rasa percaya diri, dan
keberanian hidup. Para alumninya tidak ingin menduduki jabatan pemerintah,
sehingga mereka hampir tidak dapat dikuasai oleh pemerintah.35 Dengan
demikian, maka sistem pendidikan pesantren didasarkan atas dialog yang terus
– menerus antara kepercayaan terhadap ajaran agama Islam yang diyakini
mempunyai nilai kebenaran mutlak dan realitas sosial yang memiliki
kebenaran relatif.
Keberadaan pesantren di Indonesia sudah mulai sejak Islam pertama
kali datang di negeri ini, Ibrahim Bukhari sebagaimana dikutip oleh Samaun
Bakry menyatakan bahwa sejarah dan perkembangan pesantren tidak terlepas
dari sejarah masuknya Islam itu sendiri ke Nusantara,36 karena kahadiran
pesantren beriringan dengan kehadiran Islam di Nusantara, maka kehadiran
pesantren di tanah air erat kaitannya dengan datangnya Islam ke Nusantara,
demi memudahkan analisanya dalam konteks kepesantrenan di Indonesia
maka penyebutan abad ke tujuh tetap dipakai meskipun keberadaannya masih
relatif.37
Ciri-ciri khusus dari sebuah pondok pesantren adalah kurikulumnya
terfokus pada ilmu-ilmu agama, misalnya sintaksis Arab, morfologi Arab,
hukum Islam, sistem yurisfudensi Islam, hadits, tafsir al-Qur'an, teologi Islam,
34M Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta : Bumi Aksara, 1991), cet.
ke-1, hlm. 248
35M Amin Rais, Cakrawala Islam , antara Cita dan Fakta, (Bandung : Mizan, 1989), cet. ke-
1, hlm. 162
36Samaun Bakry, Mengagas Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Bani Quraisy,
2005), cet. ke-1, hlm. 158
37Ibid., hlm. 159

15
tasauf, tarikh, dan mantiq(retorika)38 Literatur ilmu-ilmu tersebut memakai
kitab-kitab klasik dengan istilah " kitab kuning" dengan ciri-ciri kitabnya
berbahasa Arab tanpa syakal (baris), bahkan tanpa titik dan koma, berisi
keilmuan yang cukup berbobot, dan metode penulisannya dianggap kuno,
lazimnya dikaji dan dipelajari di pondok pesantren, dan banyak diantara
kertasnya berwarna kuning.39
Pondok pesantren mulai menampakkan eksistensinya sebagai
lembaga pendidikan Islam yang mapan, yaitu di dalamnya didirikan sekolah
baik secara formal maupun non formal. Dewasa ini pesantren mempunyai
kecenderungan baru dalam rangka merenovasi terhadap sistem pendidikan
yang selama ini dipergunakan, yaitu mulai akrab dengan metodologi modern,
semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional dalam artian terbuka atas
perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan kegiatan makin
terbuka dan ketergantungannya pun absolut dengan kyai, dan sekaligus dapat
membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran
agama maupun keterampilan yang diperlukan, serta berfungsi sebagai pusat
pengembangan masyarakat di samping sebagai pusat pendidikan Islam.40
Jadi dengan demikian, intinya, pesantren merupakan tempat sosialisasi
dan internalisasi nilai-nilai yang telah membudaya. Oleh karena itu, penetapan
kurikulum, proses, sistem evaluasi dan tujuannya didasarkan atas nilai-nilai
pengetahuan serta aspirasi dan pandangan hidup yang berlaku dan dihormati
oleh masyarakat. Disamping itu, peranan adanya peningkatan mutu
pendidikan menuntut sebuah pesantren menjalin hubungan yang akrab dan
harmonis dengan lembaga-lembaga lainnya yang berkembang di masyarakat.
Semua itu merupakan mata rantai yang saling mendukung dan berkaitan
dengan menjadikan pondok pesantren sebagai lembaga sentral terhadap
lembaga-lembaga lainnya yang ada di tengah-tengah masyarakat.
38Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, (Jakarta :
Mulia Offset. 1999), cet. ke-1, hlm. 26
39Muhammad Tholhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosial Budaya, (Jakarta : Galasa
Nusantara. 1997), cet. ke-1, hlm. 103-104
40M Rusli Karim, "Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transpormasi Sosial Budaya",
dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta : Tiara
Wacana. 1991), cet. ke-1, hlm. 134

16
Atas dasar itu, maka kehadiran sebuah pondok pesantren ditengah-
tengah masyarakat akan berdiri di atas dua kepentingan, yaitu sebagai agen
pewaris budaya pada satu sisi untuk menanamkan nilai-nilai ajaran dasar
agama Islam, dan disisi lain sebagai peningkatan dan pengembangan mutu
pendidikan pesantren untuk menghadapi tantangan perubahan masyarakat.
Dengan kedua fungsi tersebut, diharapkan pondok pesantren akan tetap eksis
dan dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk membentuk generasi yang
siap menghadapi tuntutan dan tantangan zaman dan mengamalkan ajaran
agama Islam hingga sekarang dan masa yang akan datang.
Pola pengembangan pendidikan Islam yang disintesiskan dari
pertemuan corak lama dan corak baru yang berwujud madrasah/sekolah, yang
kemudian diadopsi oleh Thawalib Tanjung Limau dengan mengikuti format
Barat terutama dalam sistem pengajarannya secara klasikal, tetapi isi
pendidikan tetap menonjolkan ilmu-ilmu agama Islam.41 Awalnya
pengembangan pendidikan telah dimulai dengan pembaharuan yang dilakukn
oleh tiga orang haji yang kembali belajar dari Mekah, yaitu haji Miskin, Haji
Sumanik, dan Haji Piobang.42 Perkembangan selanjutnya dilakukan oleh tiga
serangkai pembaharu di Minang Kabau, yang dikenal dengan gerakan kaum
muda mereka adalah Haji Rasul ( Inyiak Deer), Haji Abdullah Ahmad, dan
Haji Djamil Jambek.43 Melalui peran mereka dan murid-murid mereka inilah
lembaga pendidikan Islam berubah menjadi lembaga pendidikan yang lebih
moderen, dengan format Baratnya yaitu memasukan pelajaran umum ke dalam
lembaga tradisional dan memasukan pelajaran Agama ke sekolah-sekolah
umum, serta dengan merobah metode halaqah di lembaga tradisional dengan
metode belajar secara klasikal.
E.Langkah-Langkah Penelitian
1.Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, karena yang

41Muhaimin, op. cit., hlm. 24


42Hamka, Adat Minag Kabau Menghadapi Revolusi, (Jakarta : Tekad, 1963), hlm.167
43Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru,
( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2002), hlm. 122

17
akan diteliti adalah persoalan-persoalan yang memerlukan pemecahan
pada saat sekarang. Dalam hal ini penelitian dimaksudkan untuk
mengambarkan secara aktual mengenai peranan pondok pesantren
Thawalib Tanjung dalam pengembangan pendidikan Islam di Kabupaten
Tanah Datar Sumatera Barat. Adapun aspek-aspek peranan yang akan
digambarkan dalam penelitian ini diantaranya adalah: peranan Pondok
pesantren dalam mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan, peranan
dalam meningkatkan sumber daya manusia terutama dalam ilmu agama
dan umum, dan peranan dalam pengembangan sarana dan prasarana
pendidikan untuk mutu meningkatkan pendidikan Islam.
Dalam mengambarkan peran pondok pesantren Thawalib dalam
pengembangan Pendidikan Islam tersebut di atas, pendekatan yang
penulis lakukan adalah pendekatan deskriptif -analitis historis.
Maksudnya adalah data yang telah terkumpul; yaitu berupa kata,
kalimat, dan gambar, yang dibagi dalam perioderisasi perkembangan
pesantren sehingga pendekatan ini bukan kuantitatif yang mengunakan
alat-alat pengukur data statistik.
2.Jenis Data
Sesuai dengan metode penelitian yang dipilih di atas, penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui secara rinci gambaran mengenai peran
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam dalam
pengembangan Pendidikan Islam, yang meliputi : (a) data tentang
sejarah dan Perkembangan pesantren Thawalib Tanjung Limau
Kabupaten Tanah Datar, (b) data tentang visi, misi dan tujuan pondok
pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar, (c) data
tentang kurikulum yang dipakai di pondok pesantren Thawalib Tanjung
Limau Kabupaten Tanah Datar dalam Pengembangan Pendidikan Islam,
(d) data tentang proses pelaksanaan dan evaluasi pendidikan Islam di
pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar, (e)
data tentang faktor pendukung dan penghambat pengembangan
pendidikan Islam pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten

18
Tanah Datar, (f) data tentang peranan Pondok Pesantren Thawalib
Tanjung Limau dalam pengembangan pendidikan Islam.
3.Sumber Data
Sumber data penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu:
a. Data Primer
Yang dimaksud dengan data primer di sini adalah data yang
diperoleh dari lapangan. Adapun yang menjadi sumber data primer
dalam penelitian ini adalah:
1) Pimpinan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
2) Staf pengajar/ kyai
3) Dewan santri
3) Tokoh masyarakat yang ada disekitar pondok pesantren, dan
4) Alumni Pesantren Thawalib Tanjung Limau.
b. Data Sekunder
Yang dimaksud dengan data sekunder dalam penelitian ini
adalah sumber data yang didapat dari literatur dan dokumentasi.

4.Teknik Pengumpulan Data


a. Observasi
Teknik observasi maksudnya adalah teknik pengumpulan
data dengan jalan pengamatan langsung terhadap objek yang akan
diteliti. Dalam teknik ini proses observasi dilakukan untuk
mengamati atau mengetahui kondisi objektif peran pondok
pesantren Thawalib terhadap pengembangan Pendidikan Islam.
b.Wawancara
Teknik wawancara maksudnya adalah teknik pengumpulan
data dengan proses melakukan tanya jawab atau wawancara
dengan sumber data primer yang telah ditentukan sebelumnya.
Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur,
maksudnya adalah pewawancara menentukan sendiri masalah dan
pertanyaan yang diajukan sesuai dengan permasalahan yang

19
diteliti. Wawancara diajukan kepada sumber data primer, yaitu
pimpinan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau, staf
pengajar atau dewan guru/kiyai, dewan santri, dan tokoh
masyarakat dan alumni.
c.Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi maksudnya adalah teknik pengumpulan
data dengan jalan mengumpulkan dokumen resmi pondok
pesantren berupa arsip, photo-photo kegiatan yang berkaitan
dengan peran Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam
pengembangan pendidikan Islam.
5.Analisis Data
Analisis merupakan bagian yang sangat penting dalam metode
ilmiah, sebab dalam bagian inilah data tersebut dapat memberi arti dan
makna yang berguna dalam memecahkan masalah. Analisis data adalah
proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori
dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja (ide) seperti yang disarankan oleh data.44
Setelah data diperoleh, langkah berikutnya adalah menganalisis data.
Karena datanya kualitatif, maka pendekatan yang digunakan dalam
menganalisis data ini adalah pendekatan kualitatif. Adapun langkah-
langkahnya adalah sebagai berikut :
a.Reduksi Data
Data atau informasi yang diperoleh dari lapangan sebagai bahan
“mentah” direduksi, dirangkum, disusun secara sistematis, dipilih
hal-hal yang pokok, atau difokuskan kepada hal-hal yang penting
yang relevan dengan subyek penelitian, sehingga dapat memberikan
gambaran yang lebih jelas atau tajam tentang hasil yang telah
diperoleh.
b.Display Data
Langkah lanjut dari reduksi dengan menyusunnya secara rapi dan
44Lexy Meliong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006),
hlm. 280

20
sistematis untuk disajikan dengan uraian naratif. Hal ini dilakukan
untuk mendapat gambaran yang utuh dari data yang diperoleh, atau
gambaran tentang keterkaitan antara aspek yang satu dengan aspek
lainnya.
c.Verifikasi Data
Penarikan kesimpulan-kesimpulan secara sementara, kemudian
dilengkapi dengan data pendukung lainnya sehingga sempurnalah
hasil dari penelitian. verifikasi dilakukan dengan melihat kembali
pada reduksi data maupun display data sehingga kesimpulan tidak
menyimpang dari data yang dianalisis.
d.Melakukan penulisan terhadap data yang telah dianggap valid dan
sesuai dengan masalah penelitian.45

F.Studi Kepustakaan
Sampai saat penelitian ini dilakukan, belum ada bahan yang cocok
maupun dokumentasi/arsip yang memadai sebagai sumber penulisan peran
pondok pesantren Thawalib yang terletak di Tanjung Limau Kecamatan
Pariangan Kabupaten Tanah Datar, oleh karena itu sebagai acuan yang
kuat bagi penulis, maka penulis mengambil sebuah skripsi yang berjudul :
Aktifitas Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Dalam
Melaksanakan Dakwah Islamiah di Desa Tanjung Limau Kecamatan
Pariangan Kabupaten Tanah Datar, oleh Asrinaldi, BP. 295 015
Jurusannya adalah Bidang Penyuluhan Islam (BPI), Fakultas Dakwah
IAIN Imam Bonjol (IB) Padang. Dan juga skripsi Widiawati, Bp. 295.107,
judul: "Perhatian Pengelola Terhadap Lembaga Pendidikan Islam Di
Desa Tanjung Limau Simabur Kecamatan Pariangan", STAIN
Batusangkar, Fak Tarbiyah Jurusan PAI
Adapun isi dari skripsi Asrinaldi di atas adalah bagaimana

45Syamsu Yusuf, Penelitian Pendidikan, (Bandung : Fakultas Ilmu Pendidikan UPI. 2003),
hlm. 16-17

21
keberadaan pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam membina
kader dakwah dan bagaimana peranan dakwah dalam masyarakat
sekitarnya. Sedangkan isi skripsi Widiawati adalah bagaimana perhatian
pengelola Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Terhadap
keberadaan pondok pesantren ini sebagai sebuah lembaga pendidikan
Islam di desa Tanjung Limau. Sedangkan penulis di sini ingin menulis
tentang bagaimana Peranan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
dalam pengembangan pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar
Sumatera Barat, dan menurut hemat penulis, pembahasan yang telah ada
meski sama-sama meniliti Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau,
akan tetapi berbeda dalam masalah yang akan diteliti. Penulis meneliti
pesantren ini dititip beratkan pada masalah, bagaimana pondok pesantren
Thawalib Tanjung Limau melakukan inovasi, memperhatikan posisinya
dan menerapkan tugas pokoknya serta berfungsi dalam pengembangan
pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat.

22
BAB II

TINJAUAN TEORITIK TENTANG PERANAN PESANTREN


DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM

A.Konsep Peranan (Role Consep)


Suatu bagian penting dari lembaga ialah peranan. Peranan ialah aspek-
aspek dinamis dari kedudukan dan jabatan di dalam suatu lembaga, dan ia
menetapkan perilaku para pemegang peranan itu.46 Di Pesantren, pemegang
peranan itu meliputi pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik. Peranan
memiliki harapan-harapan yaitu kewajiban, tanggung jawab, dan haknya.
Peranan adalah tindakan seseorang melaksanakan hak dan kewajiban
sesuai dengan kedudukannya. Peranan dianggap penting karena mengatur perilaku
seseorang. Peranan memberi batasan-batasan tertentu kepada orang agar dapat
meramalkan perbuatan-perbuatan orang lain. Peranan diatur oleh norma-norma
yang berlaku.
Menurut Soekanto, Peranan mencakup tiga hal, yaitu :
Pertama: Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi

46Astrid Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, (Bandung : Bumi Cipta,
1979), hlm. 32

23
atau tempat seseorang dalam masyarakat. Dalam arti ini merupakan
rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan
masyarakat.
Kedua: Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh
individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
Ketiga: Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting
bagi struktur sosial masyarakat.47
Menurut Amran Peranan adalah “bagian dari tugas utama yang harus
dilaksanakan”.48 Sedangkan menurut Wrightman sebagaimana yang dikutip oleh
Ozer Usman, Peranan adalah terciptanya serangkaian tingkah laku yang saling
berkaitan yang di lakukan dalam suatu situasi tertentu.49
Sosiolog Robert Park dari Universitas Chicago memandang bahwa
masyarakat mengorganisasikan, mengintegrasikan, dan mengarahkan kekuatan-
kekuatan individu- individu ke dalam berbagai macam peran (roles). Melalui
peran inilah kita menjadi tahu siapa diri kita. Kita adalah seorang anak, orang tua,
guru, mahasiswa, laki-laki, perempuan, Islam, Kristen, pengurus suatu lembaga,
dan lain-lain.50
Meskipun Park menjelaskan dampak masyarakat atas perilaku dalam
hubungannya dengan peran, namun jauh sebelumnya Robert Linton (1936),
seorang antropolog, telah mengembangkan konsep peran. Konsep Peran
mengambarkan interaksi sosial dalam terminologi aktor-aktor yang bermain
sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh budaya. Sesuai dengan teori ini,
harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita
untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut konsep ini, seseorang yang mempunyai peran tertentu, misalnya
sebagai dokter, mahasiswa, orang tua, wanita, dan lain sebagainya, diharapkan
agar seseorang tadi berperilaku sesuai dengan peran tersebut. Perilaku ditentukan
oleh peran sosial.51 Kemudian, sosiolog yang bernama Glen Elder (1975)

47Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Tentang Stuktur Masyarakat, (Jakarta : CV Rajawali,


1984), hlm. 76
48Amran, Kamus Lengkap-Bahasa Indonesia, (Bandung : Bumi Akasara, 1995), hlm. 449
49Wrightman, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Yogyakarta: Yogya Press, 1995), hlm.
231
50http://www. idb4.wikispaces.com/file/view/lr4001+pdf, diakses tanggal 24 April 2009
51http://www. idb4.wikispaces.com/file/view/lr4001+pdf, diakses tanggal 24 April 2009

24
membantu memperluas penggunaan konsep peran. Pendekatannya yang
dinamakan “life-course” memaknakan, bahwa setiap masyarakat mempunyai
harapan kepada setiap anggotanya untuk mempunyai perilaku tertentu sesuai
dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam masyarakat tersebut.52
Menurut teori peranan (Role Theory), peranan adalah sekumpulan
tingkah laku yang dihubungkan dengan suatu posisi. Menurut teori ini, peranan
yang berbeda membuat jenis tingkah laku yang berbeda pula. Tetapi apa yang
membuat tingkah laku itu sesuai dalam suatu situasi dan tidak sesuai dalam situasi
lain relatif independent (bebas) pada seseorang yang menjalankan peranan
tersebut.53
Berdasarkan dari teori-teori peranan yang telah diuraikan di atas, maka
yang dimaksud dengan peranan dalam penelitian di sini, yaitu suatu kondisi yang
diperankan atau dijalankan oleh pesantren dalam menghadapi dinamika
pengembangan pendidikan di luar pesantren, terutama terhadap kehidupan
masyarakat di Kabupaten Tanah Datar. Peranan yang dijalankan oleh Pesantren
tersebut, yaitu pengembangan kelembagaannya, peningkatan sumber daya
manusia, pengembangan sarana-prasarana, ilmu dan keterampilan.

B.Pendidikan Pesantren
1. Pengertian dan Sejarah Pendidikan Pesantren
Sebagaimana dikatakan oleh Mochtar Buchori, bahwa pendidikan
pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam yang berkembang di
Indonesia. Pendidikan pesantren adalah pendidikan Islam yang diselenggarakan
secara tradisional, bertolak dari pengajaran al-Qur'an dan al-Hadist, dan
merancang segenap kegiatan pendidikannya untuk mengajarkan kepada para
santri bahwa Islam sebagai pandangan hidup.54
Menurut pandangan Muhaimin dan Abdul Mujib, istilah pendidikan
pesantren berasal dari istilah Kuttab yang merupakan lembaga pendidikan Islam

52http://www. idb4.wikispaces.com/file/view/lr4001+pdf, diakses tanggal 24 April 2009


53Soerjono Soekanto, Soisiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : Raja Grafindo, 1989), hlm. 114
54Mochtar Buchori, "Pendidikan Islan di Indonesia: Problem Masa kini dan Perspektif
Masa depan", dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun"im Saleh (Peny), Islam Indonesia Menatap
Masa Depan, (Jakarta: P3M, 1989), cet. ke-1, hlm. 184

25
yang berkembang pada masa Bani Umayyah. Di Indonesia, istilah Kuttab lebih
dikenal dengan istilah pondok pesantren.55
Sedangkan menurut pengertian Departemen Agama Republik Indonesia,
yang dimaksud dengan pondok pesantren adalah pendidikan luar sekolah yang
didirikan dan dikelola oleh masyarakat yang khususnya mempelajari /mendalami
ajaran agama Islam dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) adanya pengasuh, seperti
kyai/ajengan, tuan guru, buya, tengku, atau ustadz, (2) adanya mesjid sebagai
pusat kegiatan ibadah dan tempat belajar, (3) adanya santri atau siswa yang
belajar, (4) adanya asrama/pondokan sebagai tempat santri tinggal/mondok, (5)
adanya pengkajian kitab kuning atau kitab klasik tentang ilmu-ilmu ke-Islaman
berbahasa Arab gundul sebagai sumber belajarnya.56
Pengertian lain dari pesantren seperti yang dikatakan oleh Mastuhu, yaitu
sebagai berikut:
Pendidikan pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam
untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam
(tafaqquh fiddin) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai
pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari. Penyelenggaraan lembaga
pendidikan pesantren berbentuk asrama yang merupakan komunitas tersendiri
di bawah pimpinan kyai atau ulama dibantu oleh seorang atau beberapa ulama
dan atau para ustadz yang hidup bersama di tengah-tengah para santri dengan
mesjid atau surau sebagai pusat kegiatan peribadatan keagamaan, gedung-
gedung, sekolah atau ruang-ruang belajar, serta pondok-pondok sebagai
tempat tinggal para santri.57
Dalam salah satu tulisannya, Abdurrahman Wahid mengatakan, bahwa
pesantren adalah sebuah subkultur. Menurutnya, minimal ada tiga elemen dasar
yang mampu membentuk pesantren sebagai sebuah subkultur. Pertama, pola
kepemimpinan pesantren yang mandiri tidak terkoordinasi oleh negara; kedua,
kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad, dan yang

55Pondok Pesantren yaitu lembaga pendidikan Islam yang di dalamnya terdapat kyai
(pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (anak didik) dengan sarana Masjid yang
dugunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung adanya pondok atau
bangunan sebagai tempat tinggal para santri dan mempelajari kitab kuning. Muhaimin dan Abdul
Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kjian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalnya,
(Bandung : Trigenda karya, 1993), cet. ke-1, hlm. 298-299
56DepartemenAgama RI, Pedoman Supervisi Pondok Pesantren Salafiyah dalam Rangka
Wajib Belajar Pendidikan Dasar, (Jakarta : Dirjen Binbagais Depag RI, 2002), cet. ke-1, hlm. 11-
12
57Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta : INIS, 1994), cet. ke-1, hlm. 6

26
ketiga, sistem nilai (value system) yang digunakan adalah bagian dari masyarakat
luas.58
Melihat dari berbagai macam pengertian pendidikan pasantren, maka
Ahmad Tafsir seorang Guru Besar Pendidikan Islam menegaskan, bahwa
pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia setelah
keluarga dengan ciri-ciri: (1) Ada kyai, (2) Ada pondok, (3) Ada mesjid, (4) Ada
santri, (5) Ada pengajaran membaca kitab kuning.59
Dari macam-macam pengertian pesantren sebagaimana tersebut di atas,
maka dapat penulis ditegaskan di sini bahwa, pendidikan pesantren merupakan
sebuah sistem yang unik. Tidak hanya unik dalam pendekatan pembelajaran tetapi
unik dalam pandangan hidup dan tata nilai yang dianut, cara hidup yang
ditempuh, struktur pembagian kewenangan dan semua aspek-aspek pendidikan
dan kemasyarakatan lainnya. Oleh sebab itu, tidak ada defenisi yang dapat secara
tepat mewakili pendidikan pesantren yang ada. Masing-masing pesantren
mempunyai keistimewaan sendiri, yang tidak dimiliki oleh pesantren lainnya.
Meskipun demikian, dalam hal-hal tertentu pendidikan pesantren memiliki
persamaan. Persamaan-persamaan inilah yang lazim disebut sebagai ciri-ciri
pendidikan pesantren, dan selama ini dianggap dapat mengimplikasikan pesantren
secara kelembagaan.
Atas dasar itu, maka dalam tulisan ini dapat penulis simpulkan bahwa
sebuah lembaga pendidikan dapat disebut pesantren apabila di dalamnya minimal
terdapat lima unsur pokok, yaitu: kyai (Buya sebutan di Minang Kabau), santri,
pengajian, asrama, mesjid dan segala aktivitas pendidikan keagamaan dan
kemasyarakatan.
Persamaan lainnya yang terdapat dalam pendidikan pesantren adalah
bahwa semua pendidikan pesantren melaksanakan tiga fungsi kegiatan yang
dikenal dengan Tri Dharma Pendidikan pesantren, yaitu: Pertama: Peningkatan
keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT. Kedua: Pengembangan keilmuan

58Abdurrahman Wahid, "Pesantern sebagai Subkultur" dalam M Dawan Raharjo (ed.),


Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta : LP3ES, 1988), cet. ke-1, hlm. 2
59Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : Rosda Karya, 1992),
cet. ke-2, hlm. 190

27
yang bermanfaat. Ketiga: Pengabdian terhadap agama, masyarakat dan Negara.
Selain model pembelajaran, aspek kelembagaan dan aspek fungsi kegiatan
di atas, pendidikan pesantren juga disatukan melalui persamaan tata hubungan
yang khas dalam pendidikan dan kemasyarakatan, seperti: hubungan yang dekat
antara kyai dan santri, ketaatan santri yang tinggi kepada kyai, hidup hemat dan
sederhana, tingginya semangat kemandirian para santri, berkembangnya suasana
persaudaraan dan tolong-menolong, dan tertanamnya sikap istiqomah.
Sebagaimana dikatakan oleh Zamakhasyari Dhofier, sekurang-kurangnya harus
ada elemen untuk dapat disebut pesantren, yaitu ada pondok, kyai, santri, dan
pengajian kitab Islam klasik.60
Masalahnya kemudian adalah apakah pendidikan pesantren ini merupakan
ciri khas atau produk asli sistem pendidikan Indonesia? Bagi masyarakat muslim
Indonesia, pesantren dianggap sebagai cikal bakal terbentuknya pendidikan Islam.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional asli Indonesia sebagaimana
yang diyakini oleh Karel A Steenbrink, Clifford Geertz dan yang lainnya.61 Hanya
saja mereka berbeda ketika mengungkapkan proses lahirnya pesantren.62
Mengenai asal-usul pendidikan pesantren ini, terdapat dua pendapat yang
kontradiktif.63 Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa pesantren adalah
kreasi orisinil anak bangsa setelah mengalami kontak dengan budaya lokal.
Pesantren merupakan sistem pendidikan Islam yang memiliki kesamaan dengan
sistem pendidikan pendidikan Hindu-Budha. Pesantren disamakan dengan
mandala dan asrama dalam khasanah lembaga pendidikan pra-Islam di
Indonesia. Pesantren merupakan sekumpulan komunitas independen yang
awalnya mengisolasi diri di sebuah tempat yang jauh dari pusat perkotaan

60Zamakasyari Dhofier, Tradisi pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta :
LP3ES, 1984), cet. ke-4, hlm. 44
61Syaifuddin (Ed.)., Sinergi Madrasah dan Pondok Pesantren, (Jakarta : Departemen Agama
RI, 2004), cet. ke-1, hlm. 18
62Pada umumnya, hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh para sarjana, baik dalam
maupun luar negeri, ini terpublikasikan dalam bentuk buku, di antaranya: Tradisi Pesantren: Studi
Pandangan Hidup Kyai (Zamakhasyari Dhoffier), Pesantren , Madrasah, Sekolah (Karel A.
Streenbrik), The Religion of Java, The Japanese Kyai, dan Islam Observer (Clifford Geertz),
Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat ( Martin van Bruinessen), dan lain sebagainya.
63Hanun Asrahah, dkk, Pesantren di Jawa: Asal-usul, Perkembangan dan Pelembagaan,
(Bandung : Remadja Rosda Karya, 2002), cet. ke-1, hlm. 1-7

28
(pegunungan).64 Terbukti sampai saat ini banyak sekali pesantren yang berada di
pelosok desa
Nurcholis Madjid pernah menegaskan, pesantren adalah artefak peradaban
Indonesia yang dibangun sebagai institusi pendidikan keagamaan bercorak
tradisional, unik dan indigenous. Dia menegaskan, pesantren mempunyai
hubungan historis dengan lembaga pra-Islam yang sudah ada semenjak kekuatan
Hindu-Budha, sehingga tinggal meneruskannya melalui proses Islamisasi dengan
segala bentuk penyesuaian dan perubahannya.65
Kedua, kelompok yang berpendapat, pesantren di adopsi dari lembaga
pendidikan Timur Tengah. Kelompok ini meragukan kebenaran pendapat yang
menyatakan bahwa lembaga mandala atau asrama yang sudah ada semenjak
zaman Hindu-Budha merupakan tempat berlangsungnya praktek pengajaran
tekstual sebagaimana pesantren. Termasuk yang setuju dalam kelompok ini adalah
Martin van Brunessen, salah seorang sarjana Barat yang concern terhadap sejarah
perkembangan Pesantren di Indonesia 66 dalam bukunya Kitab Kuning : Pesantren
dan Tarikat, dia menjelaskan bahwa pesantren cenderung lebih dekat dengan
salah satu model sistem pendidikan di Al-Azhar Mesir dengan sistem pendidikan
riwaq yang didirikan akhir abad ke-18 M.67 Sedangkan Zamakhsyari Dhofier,
pesantren khususnya di Jawa, merupakan kombinasi antara Madrasah dan pusat
kegiatan tarikat, bukan antara Islam dan Hindu-Budha.68 Sementara itu
Aburrahman Mas’ud mengomentari, bahwa keberadaan pesantren di Indonesia,
khususnya di Jawa tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Maulana Malik Ibrahim
(w.1419 H), atau yang dikenal sebagai spiritual father Walisongo.69
Berdasarkan sejarah yang berkembang, mengindikasikan bahwa pesantren

64Pigeaud dalam Java in the Fourtheen Century; Geertz dalam Islam Observer dan The
Religion of Java; Martin Van Bruinessen dalam Kitab Kuning; pesantren dan Tarekat;
Zamakhsyari Dhofler dalam Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai; dan
Nurchalis Madjid dalam Bilik-bilik Pesantren; sebuah Potret Perjalanan.
65Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramedina,
1997), cet. ke-1, hlm. 10
66Asrohah, op. cit., hlm.3-6
67Martin van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarikat, (Bandung : Mizan, 1992),
cet.ke-1, hlm. 35
68Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 34
69Abdurrahman Mas’ud, Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta : Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo dan Pustaka Pelajar, 2002), cet.ke-1, hlm. 3-10

29
tertua, baik di Jawa maupun di luar Jawa tidak dapat dilepaskan dari inspirasi
yang diperoleh melalui ajaran yang dibawa para Walisongo.70 Sementara itu
Zamakhsyari Dhofier, berpendapat, berdasarkan keterangan-keterangan yang
terdapat dalam dan Serat Cebolek dan Serat Centani, dapat disimpulkan bahwa
paling tidak sejak permulaan abad ke-16 M telah banyak pesantren-pesantren
yang masyhur dan menjadi pusat pendidikan Islam.71 Bahkan Mastuhu
berpendapat bahwa keberadaan pesantren mulai dikenal sejak periode abad ke-13
M.72
Hal terpenting yang perlu diingat dari dua pendapat yang saling
bertentangan di atas adalah bahwa mereka sepakat dalam memahami pesantren
sebagai cikal bakal pendidikan tradisional di Indonesia. Inipun dibuktikan dalam
catatan sejarah bahwa ribuan pesantren telah berdiri, tumbuh dan berkembang di
Indonesia. Tentu saja fenomena ini telah menunjukan bahwa puluhan ribu bahkan
ratusan ribu orang Indonesia yang ikut merasakan sistem pembelajaran pesantren
meskipun masih bersifat tradisional.
Output pendidikan yang bersifat tradisional ini dikenal sebagai orang yang
alim-ulama. Pada masyarakat Jawa, ulama tersebut dipanggil dengan sebutan
kyai bukan ulama. Bagi Zamakhsyari Dhofier, realitas ini didasarkan pada
kenyataan bahwa para kyai di samping mengajar masalah keimanan Islam (tauhid)
dan hukum Islam (fiqih) juga mengajar tasauf (sufi). Kecenderungan seperti inilah
yang menyebabkan “ulama” dipanggil “kyai”.73
Menurut Horikhosi, sebagaimana yang dikutip oleh Sukanto, perbedaan
antara ulama dan kyai terletak pada fungsi sosialnya. Seorang ulama lebih
berperan pada komunitas berskala kecil, seperti di pedesaan. Sedangkan fungsi
sosial seorang kyai lebih besar dari ulama, karena ditopang oleh kekuatan-
kekuatan kharismatik. Jangkauan pengaruh kyai lebih besar dibanding ulama.74
Dalam dunia pesantren, jika seorang “ulama” dipanggil dengan “kyai”,
70Abdurrrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren, (Yogyakarta : LKIS, 2004), cet. ke-1, hlm.
63-69
71Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 33-35
72Mastuhu, op. cit., hlm. 7
73Zamakhsyari Dofier, op . cit., hlm. 34
74Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren, (Jakarta : LP3ES, 1999), cet. ke-1, hlm.
87

30
maka muridnya dikenal santri.75 Keduanya sebutan bagi masyarakat Jawa pra-
Islam.76 Selain menelusuri akar kata dari dua istilah santri dan kyai di atas,
Nurchalis atau yang sering dipanggil dengan Can Nur, juga mengurai satu akar
kata yang tidak kalah pentingnya dalam dunia pesantren. Istilah tersebut adalah
proses bergurunya seorang santri terhadap kyai yang disebut “ngaji” atau “
pengajian”77
Kemudian embrio kemunculan pesantren diawali dengan pengajian-
pengajian yang diadakan oleh seorang yang dianggap ‘alim di pedesaan-pedesaan
di mana santri yang berdatangan adalah masyarakat sekitar yang ingin
memperdalam pengetahuan ke-Islaman pada kyai tersebut. Santri sekitar daerah
kyai tersebut biasanya nglaju (santri pulang-pergi atau tidak menetap). Ia akan
datang saat digelar pengajian dan pulang ke rumah masing-masing manakala
pengajian selesai.78
Ketika nama seorang ulama semakin tersohor, santri yang berdatangan dan
hendak berguru kepadanya pun semakin banyak, tidak hanya sebatas penduduk
daerah sekitarnya saja, namun banyak yang datang dari luar daerah tempat tinggal
kyai. Mula-mula, santri semacam ini akan tinggal di rumah-rumah penduduk
sekitar lingkungan kyai dengan membawa bekal sendiri-sendiri. Ketika jumlahnya
mulai tak tertampung lagi, maka pada akhirnya didirikanlah pondok pesantren
untuk menampung santri-santri yang datang dari berbagai daerah tersebut.79
Kehadiran pesantren di tengah masyarakat tidak hanya sebagai lembaga
pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga penyiaran agama Islam, dan sosial
keagamaan. Pesantren berhasil menjadikan dirinya sebagai pusat gerakan
pengembangan Islam, seperti yang diakui oleh Dr. Soebardi dan Prof. Johns

75Istilah santri berasal dari bahasa Sangsekerta dari kata Sastri yang berarti melek huruf dan
Cantrik yang berarti seorang yang mengikuti seorang guru kemana pergi dan menetap. Lihat
Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalan, (Jakarta : Paramedina, 1997),
hlm. 19
76 Sudjoko, dkk., Profil Pesantren Laporan Hasil Penelitian Pesantren Al-Falah dan
Delapan Pesantren Lainnya di Bogor, (Jakarta : LP3ES, 1982), cet. ke-2, hlm. 11
77Ngaji atau pengajian adalah bentuk kata kerja katif dari “kaji: yang berarti mengikuti jejak
haji, yaitu belajar agama dengan bahasa Arab. Amin Haedari, Panorama Pesantren dalam
Cakrawala Modren, (Jakarta : IRD Press, 2004), hlm. 5
78Amin Haedari Ibid., hlm. 7
79Ibid.,

31
sebagaimana dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier sebagai berikut:
Lembaga-lembaga pesantren itulah yang paling menentukan watak
keislaman dari kerajaan-kerajaan Islam, dan yang memegang peranan paling
penting bagi penyebaran Islam sampai ke pelosok-pelosok. Dari lembaga-
lembaga pesantren itulah asal-usul sejumlah manuskrip tentang pengajaran
Islam di Asia Tenggara yang tersedia secara terbatas, yang dikumpulkan oleh
pengembara-pengembara pertama dari perusahaan-perusahaan dagang
Belanda dan Inggris sejak akhir abad ke-16.80
Selama zaman kolonial, pesantren tidak termasuk dalam perencanaan
pendidikan pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah Belanda berpendapat bahwa
sistem pendidikan Islam sangat jelek baik ditinjau dari segi tujuan, maupun
metode bahasa (bahasa arab) yang dipergunakan untuk mengajar, sehingga sangat
sulit untuk dimasukkan dalam perencanaan pendidikan umum pemerintah
kolonial.
Tujuan pendidikannya dinilai tidak menyentuh kehidupan duniawi, metode
yang dipergunakan tidak jelas kedudukannya. Sebaliknya mereka menerima
sekolah zending untuk dimasukkan ke dalam sistem pendidikan pemerintah
kolonial, karena secara filosofis dan teknik dianggap lebih mudah, yaitu baik
tujuan, metode maupun bahasa yang dipergunakan sesuai dengan nilai kebiasaan
pemerintah kolonial. Orientasi sekolah umum diarahkan untuk meningkatkan
kecerdasan dan keterampilan dalam hidup keduniawian, sedang pesantren
mengarahkan orientasinya pada pembinaan moral dalam konteks kehidupan
ukhrawi.81
Pada zaman revolusi pesantren merupakan salah satu pusat gerilya dalam
peperangan melawan Belanda untuk merebut kemerdekaan. Banyak santri
membentuk barisan Hizbullah yang kemudian menjadi salah satu embrio bagi
Tentara Nasional Indonesia. Ciri khas pada angkatan darat pada masa awalnya
menggambarkan adanya corak kepesantrenan.82
Tetapi sejak sekitar dua dasawarsa terakhir ini pesantren mulai turun
harganya di mata bangsa, masyarakat, keluarga dan anak muda. Pesantren
80Zamakhsyari Dhofier, op . cit., hlm. 17-18
81Karel A Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta : LP3ES, 1986), cet. ke-2,
hlm. 1-9
82B.J Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, (Jakarta : Grafiti Press, 1985), cet. ke-1, hlm.
14-27

32
dianggap kurang mampu memenuhi aspirasi mereka dan tidak mampu memenuhi
tantangan pembangunan. Secara kualitatif mereka meninggalkan pesantren tetapi
secara kuantitatif mereka tetap belajar di pesantren. Sementara itu, masuk
pesantren lebih murah dan mudah dibandingkan dengan masuk sekolah umum,
karena memang tidak ada syarat-syarat tertentu untuk memasuki pesantren, berapa
saja dan kapan saja siswa dapat diterima. Namun hati mereka (masyarakat
muslim) sebenarnya mendua: di satu segi mereka mengharapkan dan percaya
pesantren dapat memberikan bekal moral agama bagi anak-anak mereka dalam
mengarungi kehidupan modern, tetapi di segi lain mereka takut kalau pesantren
tidak dapat membekali kemampuan kerja anak mereka dalam menghadapi masa
depannya.
Mereka mengharapkan dan percaya bahwa pendidikan umum dapat
memberikan bekal sains dan teknologi kepada anak-anak mereka dalam
mengarungi kehidupan modern, tetapi takut tidak dapat memberikan bekal moral
agama. Hal itu tercermin dari pernyataan beberapa tokoh Belanda sebagai berikut:
“Beberapa orang desa yang alim mengirimkan anak-anak mereka
kepada pesantren gaya lama itu. Pimpinan pesantren ini mengirimkan anak-
anaknya ke madrasah yang lebih modern. Para guru di madrasah tersebut
mengirimkan anak-anaknya ke sekolah menengah negeri agar dapat
melanjutkan sekolahnya ke Universitas Islam. Para Profesor di suatu
Universitas Islam berusaha memperoleh tempat bagi anak-anaknya di
Universitas Negri. Dan para profesor Universitas Negeri mengirimkan anak-
anaknya ke luar Negeri.”83
Mastuhu berpendapat, bahwa pernyataan Boland tersebut memang
berlebihan, tetapi ada unsur benarnya. Gejala yang berkembang sekarang adalah
justru pertumbuhan pesantren baru lebih cepat atau lebih banyak pada masa-masa
sesudah kemerdekaan daripada sebelumnya. Pertumbuhan pesantren tidak hanya
di desa-desa, tetapi justru lebih banyak di kota-kota.84
Mereka tidak hanya belajar agama di pesantren, tetapi juga memasuki
madrasah dan sekolah-sekolah umum bahkan perguruan tinggi yang diasuh oleh
pesantren yang bersangkutan. Hampir seluruh santri yang belajar di madrasah dan
sekolah umum juga belajar agama di pesantren, sedang mereka yang belajar

83Ibid., hlm. 128


84Mastuhu, op. cit., hlm.24

33
agama di pesantren tidak selalu belajar di madrasah atau sekolah umum.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sejarah
perkembangan pesantren mengalami pasang-surut seiring dengan perkembangan
dan perubahan zaman yang mengiringinya. Namun kendati demikian, pesantren
terus eksis di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia saat ini sesuai
dengan keadaannya masing-masing.
2. Tipologi Pesantren
Salah seorang peneliti dan pemerhati lembaga pendidikan Islam, yaitu
Zamakhsyari Dhofier mengatakan, bahwa tipologi pesantren dapat dilihat dari
aspek jumlah santri dan pengaruhnya, yaitu sebagai berikut:
Pertama: Pesantren yang santrinya kurang dari 1000 orang dan pengaruhnya
hanya pada tingkat kabupaten, disebut sebagai pesantren kecil.
Kedua: Pesantren yang santrinya antara 1000-2000 orang dan pengaruhnya
pada beberapa kabupaten, disebutnya sebagai pesantren menengah.
Ketiga: Pesantren yang santrinya lebih dari 2000 orang dan pengaruhnya
tersebar pada tingkat beberapa kabupaten dan propinsi dapat
digolongkan sebagai pesantren besar.85
Sedangkan menurut Kafrawi Ridwan sebagaimana dikutip oleh Endang
Soetari, tipologi pesantren terbagi kepada empat tipe sebagai berikut:
Pertama: Pesantren Tipe I ialah pesantren yang memiliki unit kegiatan dan
elemen berupa mesjid dan rumah kyai. Pesantren ini masih
sederhana, kyai mempergunakan mesjid atau rumahnya untuk
tempat mengaji, biasanya santri datang dari daerah sekitarnya,
namun pengajian telah dilaksanakan secara kontinue dan sistematik.
Kedua: Pesantren Tipe II ialah pesantren yang sama dengan tipe I tetapi
ditambah adanya pondokan bagi santri.
Ketiga: Pesantren Tipe III ialah pesantren yang sama dengan tipe II tetapi
ditambah dengan adanya madrasah berupa pengajian system
klasikal.
Keempat: Pesantren Tipe IV ialah pesantren tipe III ditambah adanya unit
keterampilan seperti peternakan, kerajinan, koperasi, sawah, ladang,
dan lain-lain.86

Kemudian Ada juga tipologi pesantren yang dilihat dari macam ilmu
pengetahuan yang diajarkannya. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Wardi
Bachtiar sebagai berikut:
85Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 42
86Endang Soetari AD, Laporan Penelitian Sistem Kepemimpinan Pondok Pesantren,
(Bandung : Balai Penelitian IAIN SGD, 1987), cet. Ke-1, hlm. 41-42

34
Pertama: Pesantren Salafi, yaitu pesantren yang mengajarkan kitab-kitab
Islam klasik. Sistem madrasah ditetapkan untuk mempermudah
teknik pengajaran sebagai pengganti metode sorongan.
Kedua: Pesantren Khalafi, yaitu pesantren yang selain memberikan pengajaran
kitab Islam klasik juga membuka sistem sekolah umum di lingkungan
dan di bawah tanggung jawab pesantren.87
Sedangkan menurut Departemen Agama Republik Indonesia, tipologi
pesantren terbagi ke dalam tiga tipe berikut ini:
Pertama: Pesantren Salafiyah, yaitu pesantren yang menyelenggarakan
pelajaran dengan pendekatan tradisional secara individual maupun
kelompok dengan konsentrasi pembelajan kitab-kitab klasik
berbahasa Arab.
Kedua: Pesantren Khalafi, yaitu pesantren yang menyelemnggarakan
kegiatan pendidikan dengan pendekatan modern melalui suatu
pendidikan formal, baik madrasah, (MI, MTs, MA atau MAK)
maupun sekolah (SD, SMP, SMU, dan SMK). Pada pesantren tipe
ini, pondok lebih benyak berfungsi sebagai asrama yang
memberikan lingkungan kondusif untuk pendidikan agama.
Ketiga: Pesantren Campuran/ Kombinasi, yaitu tipe pesantren gabungan
antara Salfiyah dan Khalafiyah.88
Sementra itu, Amin Haedari mengelompokkan tipe terbaru dari sebuah
pondok pesantren sebagai berikut :
Pertama: Tipe I, yaitu pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal
dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki
sekolah keagamaan (MI, MTs, MA dan PT Agama Islam) maupun
yang juga memiliki sekolah umum (SD,SMP,SMA, dan PT Umum).
Kedua: Tipe II, yaitu pesantren yang menyelenggarakan pendidikan
keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu
umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional.
Ketiga: Tipe III, yaitu pesantren yang mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam
dalam bentuk Madrasah Diniyah (MD).
Keempat:Tipe IV, yaitu pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat
pengajian.89

Pada pesantren-pesantren tipe I dan II, sistem pembelajaran tradisional


yang berlaku yaitu sorongan, bandongan, dan halaqah mulai diseimbangkan
dengan sistem pembelajaran modern. Dalam aspek kurikulum, misalnya,

87Wardi Bachtiar, Laporan Penelitian Perkembangan Pesantren di Jawa Barat, (Bandung :


Balai Penelitian IAIN SGD, 1990), cet. ke-1, hlm. 22
88Departemen Agama RI, Profil Pondok Pesantren, (Jakarta : Dirjen Binbaga Islam Depag
RI, 2004), cet. ke-1, hlm. 15-16
89Amin Haedari, op. cit., hlm. 16

35
pesantren tidak lagi hanya memberikan mata pelajaran ilmu-ilmu keislaman,
tetapi juga ilmu-ilmu umum yang diakomodasi dari kurikulum pemerintah, seperti
matematika, fisika, biologi, bahasa Ingggris, dan sejarah. Begitu juga pada
pesantren baru ini, sistem pengajaran yang berpusat pada kyai mulai bergeser.
Pihak pesantren umumnya merekrut lulusan-lulusan perguruan tinggi, terutama
dari Institut Agama Islam Negri menjadi tenaga pengajar di sekolah-sekolah yang
didirikan di lingkungan pesantren.

3.Komponen Pembelajaran di Pesantren


a. Tujuan Pembelajaran di Pesantren
Dalam kaedah ushul fiqh dikatakan bahwa “Al-Umur Bimaqoshidiha”
yang mengandung makna bahwa setiap tindakan dan aktivitas harus berorientasi
pada tujuan atau rencana yang telah ditetapkan. Hal ini karena dengan berorientasi
pada tujuan itu, dapat diketahui bahwa tujuan dapat berfungsi sebagai standar
untuk mangakhiri usaha, serta mengarahkan usaha yang dilalui dan merupakan
titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain. Di samping itu, tujuan dapat
membatasi ruang gerak usaha agar kegiatan dapat terfokus pada apa yang dicita-
citakan dan yang terpenting lagi dapat memberi penilaian pada usaha-usahanya.90
Pesantren mempunyai tujuan keagamaan, sesuai dengan pribadi dari kyai
sendiri. Kebiasaan mendirikan lembaga pendidikan pesantren dipengaruhi oleh
pengalaman pribadi kyai semasa belajar di pesantren.91 Tujuan pendidikan di
pesantren sarat dengan muatan-muatan keagamaan, bahkan seorang kyai pernah
menjelaskan bahwa berdirinya pesantren adalah sebagai amal ibadah untuk
kehidupan akhirat92.
Tujuan-tujuan pendidikan di pesantren yang tidak dirumuskan secara tertulis
dalam sebuah buku atau papan statistik tersebut dimaksudkan sebagai upaya
secara diam-diam untuk menghindari sikap ria, yaitu memamerkan perbuatan-
perbuatan baik. Secara psikologis, kyai memiliki keyakinan keagamaan, bahwa
perbuatan baik yang sering diikuti dengan sikap ria, tidak akan mendapatkan
90Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung : Al-Ma’arif, 1989), cet. ke-
9, hlm 45-46
91Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta : P3M, 1986), cet. ke-1,
hlm. 134-135
92Sukamto, op. cit., hlm. 140

36
pahala dari Tuhan, sekalipun perbuatan itu dilakukan dengan jerih payah atas
usaha sendiri.93
Tujuan pembelajaran di pesantren lebih mengutamakan niat untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat daripada mengejar hal-hal yang
bersifat material. Seseorang yang mengaji/mesantren disarankan agar
memantapkan niatnya dan mengikuti pengajian itu semata-mata untuk
menghilangkan kebodohan yang ada pada dirinya.
Karena itu, di dalam setiap pengajaran di pesantren, kyai selalu
mangajak para santri untuk mengawalinya dengan membaca surat al-Fâtihah yang
ditujukan kepada pengarang kitab yang akan dikaji, dan selanjutnya diakhiri
dengan pembacaan doa oleh kyai. Kebiasaan ini dilakukan sebagai bentuk
penghormatan kepada pengarang kitab dan sekaligus sebagai rasa tunduk
kepadanya, yaitu perbuatan yang dilakukan komunitas pesantren untuk
memperoleh kebaikan atau keberkahan dari seseorang yang telah diketahui
ketinggian ilmunya dan juga sifat-sifat mulia yang disandangnya.94
Mengingat pesantren merupakan lembaga yang awal berdirinya
melibatkan peran serta masyarakat sekitarnya, maka tujuan pendidikan di
pesantren juga tidak lepas dari harapan masyarakat. Berbagai anggota masyarakat
datang ke kyai menitipkan anaknya dengan maksud supaya dididik menjadi orang
baik-baik, mengerti ilmu agama, menghormati kedua orang tua dan gurunya.95
Dalam kaitannya dengan pendidikan pesantren, maka pemahaman
tujuannya hendaknya didasarkan terlebih dahulu pada tujuan hidup manusia
menurut Islam. Artinya, tujuan pendidikan pesantren harus sejalan dengan tujuan
hidup manusia menurut konsepsi dan nilai-nilai Islam. Maka dalam
perumusannya, tujuan pendidikan pesantren yang memiliki tingkat kesamaan
dengan pendidikan Islam itu seyogyanya memiliki keterpaduan, yaitu berorientasi
kepada hakikat pendidikan, yang memiliki beberapa aspek sebagai berikut:
Pertama:Tujuan hidup manusia yang berlandaskan misi keseimbangan
hidup yang mengapresiasi kehidupan dunia dan akhirat. Manusia
93Ibid., hlm. 141
94Manfred Oepen dan Wolfgang Karcher, Dinamika Dunia Pesantren, (Jakarta : P3M, 1988),
cet. ke-1, hlm. 21
95Ibid.

37
hidup bukan karena kebetulan, tanpa arah tujuan yang jelas. Ia
diciptakan dengan membawa amanah dalam mengemban tugas dan
tujuan hidup tertentu.
Kedua: Memperhatikan tuntunan dan tatanan sosial masyarakat, baik berupa
pelestarian nilai budaya, maupun pemenuhan tuntutan dan
kebutuhan hidupnya dalam mengantisipasi perkembanngan dan
tuntutan perubahan zaman,seperti terciptanya masyarakat etik (etical
society) yang berkarakter pada sifat-sifat sosial yang tinggi seperti:
(a) nilai religiusitas, artinya mendambakan model dan karakter
masyarakat yang beretika religi, tidak sekuler; (b) nilai egalitaliun,
yaitu watak yang mendambakan keadilan, membarikan kesempatan
luas kepada masyarakat luas kepada masyarakat untuk tumbuh maju
dan berkembang bersama-sama; (c) mengindahkan nilai demokrasi
dan penegakan hukum; dan (d) memberikan penghargaan terhadap
manusia (human digniti), menerima dengan segala kesadaran
terhadap pluralisme dan multikulturalisme dalam berbangsa.
Ketiga:Memperhatikan watak-watak dasar (nature) manusia seperti
kecendrungan beragama (fitrah) yang mendambakan kebenaran,
kebutuhan individual dan keluarga sesuai batas dan tingkat
kesanggupan.96
Berdasarkan kriteria-kriteria dari tujuan pendidikan pesantren seperti
tersebut di atas, maka tujuan pendidikan pesantren dapat diklasifikasikan menjadi
empat macam, yaitu sebagai berikut:
Pertama:Tujuan pendidikan jasmani (ahdaf al-jismiyah), yaitu
mempersiapkan diri manusia sebagai pengemban tugas khalifah di
bumi, melalui pelatihan keterampilan-keterampilan fisik.
Kedua: Tujuan pendidikan rohani (ahdaf ar-ruhaniyah), yaitu meningkatkan
jiwa dari kesetiaan yang hanya kepada Allah semata dan
melaksanakan moralitas Islami yang diteladani oleh Nabi
Muhammad SAW dengan berdasarkan pada cita-cita ideal dalam
Al-Qur’an.
Ketiga: Tujuan pendidikan akal (ahdaf al-‘aqliyah), yaitu pengarahan
intelegensi untuk menemukan kebenaran dan sebab-sebabnya
dengan telaah tanda-tanda kekuasaan Allah dan menemukan pesan
ayat-ayat-Nya yang membawa iman kepada Sang Pencipta.
Keempat:Tujuan pendidikan sosial (ahdaf al-ijtima’iyah), yaitu
pembentukan kepribadian yang utuh dari roh, tubuh dan akal.97

Oleh karena itu, tujuan pendidikan pesantren harus berorientasi pada dua
tujuan pokok, yaitu:
96Pupuh Fathurrahman, Keunggulan Pendidikan Pesantren: Alternatif Sistem Pendidikan
Terpadu Abad XXI, (Bandung : Paramartha, 2000), cet. ke-1, hlm. 155-157
97Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian dan Kerangka Dasar
Operasionalnya, (Bandung : Trigenda Karya, 1993), hlm. 159-160

38
Pertama, tujuan yang berorientasi ukhrawi, yaitu membentuk seorang
hamba agar melakukan kewajiban kepada Allah. Kedua, tujuan yang berorientasi
duniawi, yaitu membentuk manusia yang mampu menghadapi segala bentuk
kehidupan yang lebih layak dan bermanfaat bagi orang.98
Atas dasar itu, maka menurut M. Arifin, tujuan terbentuknya pesantren ada
yang bersifat umum dan khusus. Secara umum, tujuan pendidikan pesantren
adalah membimbing anak didik (santri) untuk menjadi manusia yang
berkepribadian Islam yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi mubaligh
Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya. Dan tujuan khususnya
adalah mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama
yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam
masyarakat.99
Menurut Mashutu, tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan
dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman
dan brtaqwa kepada Allah, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat
atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi
masyarakat, mampu mandiri, bebas dan teguh dalam kepribadian,
menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di
tengah-tengah masyarakat (‘izzul Islam wal Muslimin), dan mencintai ilmu
dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia.100
Manfred Oepen dan Wolfgang Karcher mengatakan, bahwa santri yang
telah belajar di dalam pendidikan pesantren akan memiliki delapan tujuan, yaitu:
Pertama: Memiliki kebijaksanaan menurut ajaran Islam. Kedua:
Memiliki kebebasan yang terpimpin. Ketiga: Berkemampuan mengatur diri
sendiri. Keempat: Memikili rasa kebersamaan yang tinggi. Kelima:
Menghormati orang tua dan guru. Keenam: Cinta kepada ilmu. Ketujuh:
Mandiri. Kedelapan: Kesederhanaan.101

Jadi dengan demikian, tujuan terpenting dari pembelajaran di pesantren


harus berorientasi pada kemanfaatan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam
proses pembelajaran dan pendirian pesantren itu sendiri, seperti kyai, santri dan
masyarakat sekitarnya. Dengan kata lain, tujuan pembelajaran di pesantren dapat
98Muhammad Athiyah, Al-Tarbiyah wa Falasifuha, (Mesir : Al-Nalaby, 1969), cet. ke-1.
hlm. 284
99M Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta : Bumi Aksara,, 1991), cet.
ke-7, hlm. 248
100Mashutu, op. cit., hlm. 55-56
101Manfred Oepen dan Wolfgang Karcher, op. cit., hlm. 280-288

39
dirasakan manfaatnya bagi diri kyai dan keluarganya, para santri /pelajar, dan bagi
masyarakat yang berada di sekitar pesantren.
b.Kyai dalam Pembelajaran di pesantren
Kyai atau pengasuh pesantren merupakan komponen yang sangat essensial
bagi suatu pesantren. Rata-rata pesantren yang berkembang di Indonesia,
khususnya di Jawa dan Madura, sosok kyai begitu sangat berpengaruh,
kharismatik dan berwibawa, sehingga amat disegani oleh masyarakat di
lingkungan pesantren. Di samping itu, kyai pesantren biasanya juga sekaligus
sebagai penggagas dan pendiri dari pesantren yang bersangkutan. Oleh karenanya,
sangat wajar jika dalam pertumbuhannya, pesantren sangat bergantung pada peran
seorang kyainya.
Menurut asal-usulnya, perkataan kyai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga
jenis gelar yang saling berbeda, yaitu:
Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap
keramat, seperti “Kyai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan Kereta Emas
yang ada di Keraton Yogyakarta. Kedua, gelar kehormatan untuk orang-orang
tua pada umumnya. Ketiga, gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada
seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan
mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya.102
Kyai yang dimaksud dalam pembahasan ini mengacu kepada pengertian
kyai nomor 3 pada definisi di atas, yaitu pengertian yang diberikan kepada
pemimpin agama Islam atau pesantren dan mengajarkan berbagai jenis kitab-kitab
klasik (kuning) kepada para santrinya. Istilah kyai ini biasanya lazim digunakan di
Jawa Tengah dan Jawa Timur saja. Sementara di Jawa Barat digunakan istilah
“Ajengan”, di Aceh dengan “Tengku”, di Sumatera Barat dinamakan “Syaikh atau
Buya”, dan di Kalimantan dan NTB disebut “Tuan Guru”.
Bagi masyarakat Islam tradisional, kyai di pesantren dianggap sebagai
figur sentral yang diibaratkan kerajaan kecil yang mempunyai wewenang dan
otoritas mutlak (power and authority) di lingkungan pesantren. Tidak seorangpun
santri atau orang lain yang berani melawan kekuasaan kyai (dalam lingkungan
pesantrennya), kecuali kyai lain yang lebih besar pengaruhnya.
Sejak Islam mulai di pelosok Jawa, terutama sejak abad ke-13 dan 14
102Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 55

40
Masehi, para kyai sudah memperoleh status sosial yang tinggi. Di bawah
pemerintahan kolonial Belanda, kyai semakin memperlihatkan daya tawar yang
tinggi. Walaupun sebagian besar kyai itu tinggal di desa yang jauh dari pusat
kekuasaan dan pemerintahan, namun mereka merupakan bagian dari kelompok
elit masyarakat yang disegani sekaligus berpengaruh, baik secara politik,
ekonomi, maupun sosial budaya. Tidak jarang suara kritis dari kyai dianggap
sebagai tindakan makar terhadap Belanda.103
Atas dasar itu, maka perkembangan suatu pesantren bergantung
sepenuhnya kepada kemampuan pribadi kyainya. Kyai merupakan cikal-bakal dan
komponen yang paling pokok dari sebuah pesantren. Itulah sebabnya
kelangsungan hidup sebuah pesantren sangat bergantung pada kemampuan
pesantren tersebut untuk memperoleh seorang kyai pengganti yang
berkemampuan cukup tinggi pada waktu ditinggal mati kyai yang terdahulu.104
Imam Bawani menjelaskan, bahwa faktor-faktor pendukung keberhasilan
pendidikan adalah:
Pertama: Terwujudnya keteladanan kyai. Kelebihan seorang kyai dalam
memimpin sebuah pesantren adalah karena ia memiliki pamor atau
kelebihan yang baik dan terkenal di masyarakat luas. Pamor dan
kelebihan itu dibangun dengan keteladanan yang selalu ia lakonkan
dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan, sesuai antara
perkataan dan perbuatan.
Kedua: Terciptanya hubungan yang harmonis antara seorang kyai yang satu
dengan kyai yang lainnya, dan hubungan antara kyai dengan
santrinya, serta hubungan antara santri dengan santri lainnya.
Hubungan semacam ini mayoritasnya selalu berlandaskan kepada
dasar kemanusiaan dan ikatan ukhuwah antar sesama muslim.
Ketiga: Mencuatnya kematangan out-put para lulusan pesantren dalam
menjalankan agama di tengah masyarakat. Hal ini membuat
lembaga pesantren menjadi panutan, disayangi, dihormati dan
disegani serta dicintai oleh hampir semua kalangan masyarakat
luas.105
Dengan demikian, peran kyai dalam pelestarian sebuah pesantren adalah
sangat penting, sehingga Dawam Rahardjo menyatakan bahwa kemenangan NU

103Syarifuddin, op. cit., hlm.67


104M Arifin, op. cit., hlm. 248
105Imam Bawani, Tradisional dalam Pendidikan Islam, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1970), cet. ke-
1, hlm. 5

41
dalam Pemilihan Umum tahun 1955 sebagai partai politik keempat terbesar, telah
menyadarkan banyak orang tentang pengaruh para kyai dalam kehidupan politik
sekalipun.106 Apa yang menyebabkan kyai memiliki peranan yang sangat sentral
dalam proses pembelajaran di pesantren?. Menurut Horikoshi, kekuatan kyai itu
berakar pada kredibilitas moral dan kemampuan mempertahankan pranata sosial
yang diinginkan.107
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan
kyai dalam proses pembelajaran di pesantren tidak hanya berfungsi sebagai
pengajar atau pendidik semata, akan tetapi lebih dari itu kyai berkedudukan pula
sebagai penjaga moral masyarakatnya.

c.Santri dalam Pembelajaran di Pesantren


Komponen yang tak kalah pentingnya dalam proses pembelajaran di
pesantren adalah santri. Santri adalah siswa atau murid yang belajar di pesantren.
Seorang ulama bisa disebut sebagai kyai kalau memiliki pesantren dan santri yang
tinggal dalam pesantren tersebut untuk mampelajari ilmu-ilmu agama Islam
melalui kitab-kitab kuning. Oleh karena itu, eksistensi kyai biasanya juga
berkaitan dengan adanya santri di pesantrennya.
Pada umumnya, santri terbagi dalam dua kategori, yaitu sebagai berikut:
Pertama, santri mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan
menetap di pesantren. Kedua, santri kalong, yaitu para siswa yang berasal dari
desa-desa di sekitar pesantrennya.108 Santri mukim yang paling lama tinggal
(santri senior) di pesantren tersebut biasanya merupakan satu kelompok tersendiri
yang memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari.
Santri senior juga memikul tanggung jawab mengajar santri-santri yunior tentang
kitab dasar dan menengah.
Adapun santri kalong umumnya adalah para anak-anak penduduk yang
berada di sekitar pesantren yang mengikuti pengajian di pesantren tersebut. Oleh
karena itu mereka sering bolak-balik dari rumahnya sendiri. Para Santri kolong

106M Dawam Rahardjo (Ed.), Pergulatan Dunia Pesantren, (Jakarta : P3M, 1985), cet, ke- 1,
hlm. vii
107Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, (Jakarta : P3M, 1987), cet. ke-1, hlm. 169
108Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 51-52

42
berangkat ke pesantren ketika ada tugas belajar dan aktivitas pesantren lainnya.
Apabila pesantren memiliki lebih banyak santri mukim daripada santri kolong,
maka pesantren tersebut adalah pesantren besar. Sebaliknya, pesantren kecil
memiliki lebih benyak santri kolong daripada santri mukim.
Menurut Amin Haedari dan Abdullah Hanif, alasan utama seorang santri
tinggal di pesantren di anataranya adalah karena:
Pertama: Berkeinginan mempelajari kitab-kitab lain yang membahas Islam
secara lebih mendalam langsung di bawah bimbingan seorang kyai
yang memimpin pesantren tersebut.
Kedua: Berkeinginan memperoleh pengalamann kehidupan pesantren, baik
dalam bidang pengajaran, keorganisasian maupun hubungan dengan
pesantren-pesantren lain.
Ketiga: Berkeinginan memusatkan perhatian pada studi di pesantren tanpa
harus disibukkan dengan kewajiban sehari-hari di rumah. Selain itu,
dengan menetap di pesantren, yang sangat jauh letaknya dari rumah,
para santri tidak akan tergoda untuk pulang balik, meskipun
sebenarnya sangat menginginkannya.109

Selain dua istilah di atas ada juga istilah santri kelana dalam dunia
pesantren. Santri kelana adalah santri yang selalu berpindah-pindah dari satu
pesantren ke pesantren lainnya, hanya untuk memperdalam ilmu agama. Santri
kelana ini akan selalu berambisi untuk memiliki ilmu dan keahlian tertentu dari
kyai yang dijadikan tempat belajar atau dijadikan gurunya.110
Jadi dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
santri adalah para siswa yang belajar di pesantren. Mereka sama kedudukannya
dengan siswa-siswa yang sekolah di pendidikan umum.

d.Materi Pembelajaran di Pesantren


Ciri-ciri khusus dalam pembelajaran di pesantren adalah isi kurikulum
atau materi pembelajarannya dibuat terfokus pada ilmu-ilmu agama Islam,
misalnya ilmu sintaksi arab, morfologi arab, hukum Islam, hadist, tafsir, al-Qur-
an, teologi Islam, tasawuf, tarikh Islam, dan retorika/ mantiq.111 Literatur-literatur
ilmu tersebut memakai kitab-kitab klasik yang disebut dengan istilah kitab kuning
109Amin Haedari dan Abdullah Hanif, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas
dan Tantangan Kompleksitas Global,( Jakarta : IRD Press, 2004), cet. ke. 1, hlm. 36
110Ibid., hlm. 37
111Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, (Jakarta :
Mulia Offsert, 1999), cet. ke-1, hlm. 26

43
dengan ciri-ciri sebagai berikut:
Pertama, kitab-kitabnya berbahasa Arab. Kedua, umumnya tidak memakai
syakal, bahkan tanpa titik dan koma. Ketiga, berisi keilmuan yang cukup
berbobot. Keempat, metode penulisannya diangggap kuno dan relevansinya
dengan ilmu kontemporer kerapkali tampak menipis. Kelima, lazimnya dikaji dan
dipelajari di pesantren. Keenam, banyak diantara kertasnya berwarna kuning.112
Sepajang catatan sejarah, pesantren telah mengajarkan kitab-kitab klasik,
khususnya karangan-karangan mazhab Syafi’iyah. Pengajaran kitab-kitab kuning
berbahasa arab dan tanpa harakat atau sering disebut dengan kitab gundul
merupakan satu-satunya metode yang secara formal diajarkan komunitas
pesantren tradisional di Indonesia. Pada umumnya, para santri datang dari
kampung halamannya dengan tujuan ingin memperdalam kitab-kitab klasik
tersebut, baik kitab ushul fiqh, fiqh, kitab tafsir, al-Hadits, dan lain sebagainya.
Para santri biasanya juga mengembangkan keahlian dalam berbahasa arab (nahwu
dan sharaf), ini berguna dalam menggali makna dan tafsir dari teks-teks klasik
tersebut. Dari keahlian ini, mereka dapat memperdalam ilmu-ilmu yang berbasis
pada kitab-kitab klasik lainnya.
Istilah kitab kuning pada mulanya diperkenalkan oleh kalangan luar
pesantren sekitar dua dasawarsa yang silam dengan nada merendahkan
(pejorative). Dalam pandangan mereka (orang luar pesantren), kitab kuning
dianggap sebagai kitab yang berkadar keilmuan yang rendah, ketinggalan zaman,
dan menjadi salah satu penyebab terjadinya stagnasi berpikir umat. Sebutan ini
pada mulanya sangat menyakitkan, tetapi kemudian nama kitab kuning diterima
secara meluas sebagai salah satu istilah teknis dalam studi kepesantrenan.113
Di kalangan pesantren sendiri, di samping istilah Kitab Kuning, beredar
juga istilah kitab klasik (al-kutûb al-qâdimah), untuk menyebut jenis kitab yang
sama. Bahkan, karena tidak dilengkapi dengan baris (syakl), kitab kuning juga
kerap disebut dikalangan pesantren sebagai kitab gundul. Dan karena rentang

112Hasan, Islam dalam Perspektif Sosial dan Budaya, (Jakarta: Bina Ilmu, 1996), hlm. 103-
104
113Affandi Mochtar, “Tradisi Kitab Kuning: Sebuah Observasi Umum”, dalam Marzuki
Wahid, dkk., Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren,
(Jakarta : Pustaka Hidayah, 1999), cet. ke-1, hlm. 121-122

44
waktu sejarah yang sangat jauh dari kemunculannya sekarang, tidak sedikit yang
menjuluki kitab kuning ini dengan istilah “kitab kuno”.114
Meningkatnya jumlah kitab kuning ini, sebetulnya disebabkan oleh
beberapa hal sebagai berikut:
Pertama: Banyak kyai yang mulai menulis kitab sendiri, baik dengan
menggunakan bahasa Arab, maupun dengan menggunakan bahasa
lokal yang ditulis dengan huruf Arab Melayu (pegon).
Kedua: Beberapa ulama atau kyai di Nusantara mulai menyusun kitab
sendiri. Bentuknnya bermacam-macam. Ada yang merupakan
tashnif (karangan sendiri) dengan kitab-kitab yang berasal dari
timur tengah sebagai rujukan, ada yang menyusun sendiri tetapi
merupakan penggabungan dari topik-topik atau bidang-bidang
yang sudah ada (iqtibas), dan ada yang melakukan
penyederhanaan (mukhtashar) terhadap kitab-kitab yang ada dalam
rangka penyesuaian materi, topik, bahasa, maupun
pembahasannya.
Ketiga: Mulai diadopsinya kitab-kitab yang tadinya dianggap tabu karena
tidak sealiran dengan faham pesantren, misalnya kitab-kitab di luar
madzhab Syafi’i.
Keempat: Pesantren juga mulai mengaji kitab-kitab al-‘ashriyyah, karangan
ulama modren yang mulai masuk pada abad ke-20.115

Kitab-kitab yang diajarkan di pesantren dapat digolongkan ke dalam


delapan kelompok, yaitu: (1) nahwu (sintaksis) dan saraf (morfologi); (2) Fiqh;
(3) ushul fiqh; (4) hadits; (5) tafsir; (6) tauhid; (7) tasawuf dan Etika; (8) cabang-
cabang lain seperti tarikh dan balaqhah. Kesemuanya ini dapat digolongkan ke
dalam tiga kelompok, yaitu kitab-kitab dasar, kitab-kitab menengah dan kitab-
kitab besar.116
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa materi
pembelajaran di pesantren mempunyai ciri khas tersendiri, terutama dilihat dari
segi kitab yang diajarkannya hingga materi ajarnya yang keseluruhannya
berbahasa Arab dengan menitik beratkan pada pengajaran ilmu-ilmu agama Islam.

e.Metode Pembelajaran di Pesantren


Sebagai lembaga pendidikan, pesantren walaupun dikategorikan sebagai

114Ali Yafie, “Kitab Kuning: Produk Peradaban Islam”, Pesantren, VI, I, (Jakarta :
Wacana Ilmu, 1988), hlm. 3
115Ibid.,
116Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 50-51

45
lembaga pendidikan tradisional mempunyai sistem pengajaran tersendiri, dan itu
menjadi ciri khas sistem pengajaran/metodik-didaktik yang membedakan dari
sistem-sistem pengajaran yang dilakukan di lembaga pendidikan formal.
Pengembangan kegiatan belajar mengajar di pesantren dalam bidang pendidikan
pada dasarnya terdiri atas dua macam, yaitu pengembangan ke dalam (internal)
dan keluar (eksternal).
Ada beberapa metode pengajaran yang diberlakukan di pesantren-pesantren,
diantaranya: sorongan , weton/bandongan, halaqah, hafalan, hiwar, bahtsul
masa’il, fathul kutub, dan muqaranah. Metode-metode pembelajaran tersebut
tentunya belum mewakili keseluruhan dari metode-metode pembelajaran yang ada
di pesantren, tetapi setidaknya paling banyak diterapkan di lembaga pendidikan
tersebut. Disini penulis hanya menjelaskan tiga buah metode, yaitu sebagai
berikut:

1)Sorogan
Sorogan berasal dari kata sorong (bahasa Jawa), yang berarti
menyodorkan, sebab setiap santri menyodorkan kitabnya di hadapan kyai atau
pembantunya.117 Sedangkan menurut Amir Hamzah Wijosukarto, yang dimaksud
dengan metode sorongan adalah metode pembelajaran di pesantren yang santrinya
cukup pandai mensorongkan (mengajukan) sebuah kitab kepada kyai untuk dibaca
di hadapannya.118
Metode sorongan ini termasuk belajar secara individual, dimana seorang
santri berhadapan dengan seorang kyai atau guru, dan terjadi interaksi saling
mengenal diantara keduanya. Metode ini terbukti sangat efektif sebagai taraf
pertama bagi seorang santri yang bercita-cita menjadi seorang ‘alim. Metode ini
memungkinkan seorang kyai atau guru mengawasi, menilai dan membimbing
secara maksimal kemampuan seorang santri dalam menguasai bahasa Arab.119
Untuk mengevaluasi hasil pembelajaran dengan menggunakan metode
sorongan ini, kyai atau ustadz melakukan dengan cara acak. Kyai atau ustadz
117Habib Chirzin, Ilmu dan Agama dalam Pesantren, (Jakarta : LP3ES, 1995), cet. ke-1, hlm.
88
118Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, (Jember :
Muria Offset, 1985), hlm. 26
119Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 20

46
menyodorkan kepada santri yang akan diujinya sebuah kitab yang telah berhasil
diselesaikan pembelajarannya, tetapi kitab ini adalah kitab yang masih bersih
tanpa syakl dan catatan terjemahan. Kemudian santri disuruh membaca dan
menterjemahkan sekaligus dan menjelaskan isinya secara singkat pada bagian-
bagian tertentu yang dianggap penting.

2)Wetonan atau Bandongan


Istilah wetonan berasal dari kata wektu (bahasa Jawa) yang berarti waktu,
sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan
atau sesudah melakukan shalat fardu. Metode weton ini merupakan metode
kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai
yang menerangkan pelajaran secara kuliah, santri menyimak kitab masing-masing
dan membuat catatan padanya.120
Dalam metode ini, kyai atau ustadz berperan aktif, sementara santri
bersifat pasif. Metode bandongan atau wetonan dapat bermanfaat ketika jumlah
santri cukup besar dan waktu yang tersedia relatif sedikit, sementara materi yang
harus disampaikan cukup banyak.121
Evaluasi yang dilakukan terhadap hasil pembelajaran dengan
menggunakan metode wetonan/bandongan ini, yaitu dengan cara memberikan
catatan penilaian pada aspek pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan
keterampilan (skill). Dengan demikian diharapkan para santri belajar secara
sungguh-sungguh karena merasa diawasi dan dimonitor perkembangan
kemampuannya.
3)Halaqah
Metode halaqah merupakan kelompok kelas dari metode bandongan.
Halaqah yang arti menurut bahasa, yaitu lingkaran murid, atau sekompok siswa
yang belajar di bawah bimbingan seorang guru atau belajar bersama dalam satu
tempat. Halagah ini juga merupakan diskusi untuk memahami isi kitab, bukan
untuk mempertanyakan kemungkinan besar salahnya apa-apa yang diajarkan oleh
kitab, tetapi untuk memahami apa maksud yang diajarkan oleh kitab.122
120Habib Chirzin, op. cit., hlm. 88
121Bisri, dkk., op.cit., hlm. 46-47
122Mastuhu, op. cit., hlm. 61

47
Apabila dipandang dari sudut pengembangan intelektual, menurut
Mahmud Yunus, metode ini hanya bermanfaat bagi santri yang cerdas, rajin dan
mampu serta bersedia mengorbankan waktu yang besar untuk studi ini. Metode ini
juga hanya dapat menghasilkan 1% santri yang pandai dan yang lainnya hanya
sebatas partisipan.123 Metode ini dikenal juga dengan metode musyawarah.
Menurut Hasan Bisri, untuk melakukan pembelajaran dengan
menggunakan metode halaqah ini, kyai atau ustadz biasanya mempertimbangkan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Pertama: Peserta halaqah/musyawarah adalah para santri yang berada pada
tingkat menengah atau tinggi.
Kedua: Peserta halaqah/musyawarah tidak memiliki perbedaan kemampuan
yang mencolok. Ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mengurangi
kegagalan musyawarah.
Ketiga: Topik atau persoalan (materi) yang dimusyawarahkan biasanya
ditentukan terlebih dahulu oleh kyai atau ustadz pada pertemuan
sebelumnya.
Keempat: Pada beberapa pesantren yang memiliki santri tingkat tinggi,
musyawarah dapat dilakukan secara terjadwal sebagai latihan
untuk para santri.124
Jadi dengan demikian, metode yang umumnya digunakan dalam
pembelajaran di pesantren terdiri dari tiga buah, yaitu: sorongan,
wetonan/bandungan, dan halaqah/musyawarah. Namun demikian, ada juga
pesantren yang menggunakan metode lainnya seperti muqaranah dan lainnya.
Pengunaan metode ini dilaksanakan khusus dalam pembelajaran terhadap kitab-
kitab klasik dan umumnya berlaku bagi pesantren yang bersifat tradisional
(salafiyah).

C.PENDIDIKAN ISLAM
1.Pengertian Pendidikan Islam
Di dalam Islam ada dua istilah yang dipakai untuk pendidikan, yaitu
tarbiyah dan ta’dib. Kedua istilah ini mempunyai perbedaan yang mencolok.
Menurut Nuqaib al-Atas, tarbiyah secara semantik tidak khusus ditujukan untuk

123Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan di Indonesia, (Jakarta : Hidakarya, 1990), cet. ke-7,
hlm. 50
124Hasan Bisri, dkk., Pengembangan Metodologi Pengajaran di Salafiyah, (Yogyakarta :
hlm. 53

48
mendidik manusia, tetapi dapat dipakai kepada spesiaes lain, seperti mineral,
tanaman dan hewan. Selain itu tarbiyah berkonotasi material; ia mengadung arti
mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara,
membesarkan, memproduksi hasil yang sudah matang dan menjinakkan125
Adapun ta’dib mengacu pada pengertian (ilm), pengajaran (ta’lim) dan
pengasuhan yang baik (tarbiyah). Dari itu katanya “ta’dib” merupakan istilah yang
paling tepat dan cermat untuk menunjukan pendidikan dalam Islam.126
Dalam pembahasan ini, Istilah pendidikan Islam perlu ditegaskan terlebih
dahulu, bahwa kata Islam merupakan kata kunci yang berfungsi sebagai sifat,
penegas dan pemberi ciri khusus bagi kata pendidikan. Dengan demikian,
pengertian pendidikan Islam menunjukan makna pendidikan secara khas memiliki
ciri islami yang berbeda dengan model pendidikan lainnya.
Sebagai suatu agama, Islam memiliki ajaran yang di akaui lebih sempurna
dan komprehensif dibandingkan dengan agama-agama lainnya yang pernah
diturunkan sebelumnya. Islam merupakan agama yang paling sempurna untuk
menjadi pedoman hidup sepanjang masa hingga akhir zaman. Islam tidak hanya
mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan
diri kepada Allah, melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup
di dunia termasuk di dalamnya mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk
mengatur kehidupan dunia dan akhirat tersebut adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Ajaran Islam menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan
dan pengajaran. Bahkan sudah sejak awal Islam dengan sumber ajarannya Al-
Qur’an dan Al-Hadits telah meletakan revolusi di bidang pendidikan dan
pengajaran.
Menurut UU RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 1, yang dimaksud dengan pendidikan adalah :
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan

125Shed Muhammad Al-Nuqaib al-Atas, Konsep Pendidikan dalam Islam, terjemahan Haidar
Bagir, (Bandung : Mizan, 1984), hlm. 66
126Ibid., hlm. 74 - 75

49
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.127
Pendidikan secara sederhana dan umum dapat diartikan sebagai usaha
manusia unuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan
baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam
masyarakat dan kebudayaan.128 Sedangkan Menurut Ngalim Purwanto, Pendidikan
adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk
memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.129
Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu pada
term al-tarbiyah, al-ta’dib dan al-ta’lim. Dari ketiga istilah tersebut term yang
sering digunakan adalah al-tarbiyah. Pengunaan istilah al-tarbiyah berasal dari
kata rabb. Walupun kata ini memiliki banyak arti, tetapi pengertian dasarnya
menunjukan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur dan
menjaga kelestarian atau eksistensinya.130
Dalam konteks yang luas, pengertian pendidikan Islam yang terkandung
dalam term al-Tarbiyah terdiri atas empat unsur pendekatan, yaitu: a) Memelihara
dan menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa (baligh), b) Mengembangkan
seluruh potensi menuju kesempurnaan, c) Mengarahkan seluruh fitrah menuju
kesempuranaan, d) Melaksanakan pendidikan secara bertahap.131

Ahmad D Marimba mengartikan pendidikan Islam sebagai “bimbingan


jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada
terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam”.132 Yang
dimaksud dengan kepribadian utama adalah kepribadian muslim, yaitu
kepribadian yang mempunyai nilai-nilai Islam dan bertanggung jawab sesuai
dengan nilai-nilai Islam. Ahmad Supardi mengemukakan bahwa:
Pendidikan Islam adalah aktivitas bimbingan yang disengaja untuk
127Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tantang Sistem Pendidkan Islam
Nasional
128Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta : RinekaCipta, 2001), hlm. 1-2
129M Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Bandung : Remaja Rosda
karya, 1991), hlm. 11
130Samsu Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dann Praktis,
(Jakarta : Ciputat Pers, 2002), hlm. 25-26
131Ibid., hlm. 26
132Ahmad Supardi, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, ( Bandung : Fakultas Tarbiyah IAIN
Sunan Gunung Djati, 1998), hlm. 25

50
mencapai kperibadian muslim, baik yang berkenaan dengan jasmani, rohani,
akal maupun akhlak. Pendidikan Islam adalah proses bimbingan secara sadar
yang berorientasi kepada ajaran agama Islam dari pendidikan terhadap
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani dan akal anak didik ke
arah terbentuknya pribadi, keluarga dan masyarakat yang Islami.133

Muhammad Atiyah al-Abrasyi memberi pengertian bahwa pendidikan


Islam (al-Tarbiyah al-Islamiyah) mempersiapkan manusia supaya hidup dengan
sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi
pekertinya (akhlaknya), teratur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam
pekerjaannya, manis tutur katanya baik dengan lisan atau tulisan.134
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat dipahami secara
singkat bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan Jasmani dan rohani yang
berpedoman kepada ajaran Islam untuk mencapai kepribadian Muslim. Disamping
itu pendidikan berfungsi untuk menghasilkan manusia yang dapat menempuh
kehidupan yang indah di dunia dan kehidupan yang indah di akhirat serta
terhindar dari siksaan Allah yang maha pedih.
Berbeda dengan pendidikan Barat yang bertitik tolak dari filsafat
pragmatisme, yaitu yang mengukur kebenaran menurut kepentingan waktu,
tempat dan situasi, dan berakhir pada garis hajat.135 Filsafat ilmunya adalah
kegunaan/utilities.136 Fungsi pendidikan tidaklah sampai untuk menciptakan
manusia yang dapat menempuh kehidupan yang indah di akhirat, akan tetapi
terbatas pada kehidupan duniawi semata.

2.Sistem dan Komponen-komponen Pendidikan


a. Sistem Pendidikan Islam
Lahirnya sistem pendidikan Islam sebagai sistem yang berdiri sendiri
adalah satu fenomena baru dalam sejarah Islam. H.M Arifin mengatakan bahwa
sistem adalah suatu keseluruhan yang terdiri dari komponen-komponen yang
masing-masing bekerja sendiri dalam fungsinya yang berkaitan dengan fungsi dari

133Ibid, hlm. 25-26


134Muhammad Al-Tiyah al-Abrasyi, Al-Tarbiyah al_Islamiyah, (Darul al-Fiqr al-Arabi,
1980), cet. ke-3, hlm. 100
135Lihat Islam untuk Disiplin Ilmu Pendidikan, (Jakarta : Proyek Pembinaan Pendidikan
Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum, 1984), hlm. 12
136Imam Bernadib, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta : FIP.IKIP, 1983), hlm. 23

51
komponen lainnya secara terpadu bergerak menuju kearah satu tujuan yang telah
ditetapkan.137 Komponen-komponen yang bertugas sesuai dengan fungsinya,
bekerja sama antara satu dengan yang lainnya dalam rangkaian sebagai suatu
sistem yang mampu secara terpadu bergerak kearah tujuan dari sistem tersebut.
Maka dari itu sistem pendidikan adalah satu keseluruhan yang terpadu dari semua
satuan dan kegiatan satu dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan
pendidikan.
Menurut Mastuhu, Sistem pendidikan adalah totalitas interaksi dari
seperangkat unsur-unsur pendidikan yang bekerja sama secara terpadu, dan saling
melengkapi satu sama lain menuju tercapainya tujuan pendidikan yang telah
menjadi cita-cita bersama para pelakunya.138 Kerja sama antar para pelaku ini
didasari, digerakkan, digairahkan, dan diarahkan oleh nilai-nilai luhur yang
dijunjung tinggi oleh mereka.
Dengan demikian, sistem pendidikan Islam, secara makro merupakan
usaha pengorganisasian proses kegiatan kependidikan yang didasarkan kepada
ajaran Islam, dan berdasarkan atas pendekatan sistemik sehingga pelaksanaan
operasionalnya terdiri dari berbagai sub-sub sistem dari jenjang pendidikan pra-
dasar, menengah dan perguruan tinggi yang harus memiliki vertikalisasi dalam
kualitas pengetahuan dan tekhnologi yang makin optimal, dan setiap tingkat
mencerminkan meningkatnya keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, dan
arahnya tetap menjiwai pribadi peserta didik, yang sejalan dengan tuntutan al-
Qur’an dan al- Hadits.

b. Komponen-komponen Pendidikan Islam


1)Tujuan
Tujuan adalah sasaran yang akan dicapai seseorang atau sekelompok orang
yang melakukan suatu kegiatan.139 Setiap tindakan atau usaha yang dilakukan
harus berorientasi pada tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan merupakan masalah
sentral dalam proses pendidikan. Hal ini disebabkan oleh fungsi-fungsi yang

137M Arifin, FilsafatPendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2000), hlm. 76


138Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos, 1999), hlm. 6
139Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 1998), hlm. 28

52
dipikulnya. Ahmad Marimba, yang pendapatnya dikutip oleh Uhbiyati
menjelaskan ada empat fungsi tujuan, yaitu:
Pertama: Mengakhiri usaha. Kedua: Mengarahkan usaha. Ketiga: Tujuan
merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain, baik merupakan
tujuan baru maupun tujuan-tujuan lanjutan dari tujuan pertama. Keempat:
Memberi nilai (sifat) pada usaha-usaha itu.140
Dari penjelasan di atas, maka tujuan mempunyai arti yang sangat penting
bagi keberhasilan sasaran yang diinginkan, arah atau pedoman yang harus
ditempuh, tahapan sasaran serta sifat dan mutu kegiatan yang dilakukan. Karena
itu kegiatan yang tanpa disertai tujuan, sasarannya akan kabur dan akibatnya
program dan kegiatannya sendiri menjadi tak terarah.
Menurut Mulyasa tujuan pendidikan nasional apabila dilihat pada jenjang
pendidikannya, dapat dikelompokkan sebagai berikut:
(a) Tumbuh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa. (b) Tumbuh sikap beretika ( sopan santun dan beradab), (c) Tumbuh
penalaran yang baik (mau belajar, ingin tahu, senang membaca, memiliki
inovasi, berinisiatif, dan bertanggung-jawab), (d) Tumbuh kemampuan
komunikasi/sosial (tertib, sadar aturan, dapat bekerja sama dengan teman,
dan dapat berkompetisi), (e) Tumbuh kesadaran untuk menjaga kesehatan
badan.141

Sedangkan apabila dilihat dari kompetensi lulusan untuk tingkat


pendidikan dasar dan menegah untuk sekolah atau madrasah, menurut Depdiknas
dalam bukunya Mulyasa adalah: (a) Mengenali dan berperilaku sesuai dengan
ajaran agama yang diyakini, (b) Mengenali dan menjalankan hak dan kewajiban
diri, beretos kerja, dan peduli terhadap lingkungan, (c) Berfikir secara logis, kritis
dan kreatif serta berkomunikasi melalui berbagai media, (d) Menyenangi
keindahan, (e) Membiasakan hidup bersih, bugar dan sehat, (f) Memiliki rasa
cinta dan bangga terhadap bangsa dan tanah air.142

Pendidikan sebagai suatu proses yang bertahap dan bertingkat, maka


memerlukan tujuan yang bertahap dan bertingkat pula. Secara umum, tujuan

140Ibid., hlm. 28
141E Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002), hlm.
26
142 Ibid., hlm. 28

53
Pendidikan itu terbagi kepada empat kategori, yaitu tujuan umum, tujuan akhir,
tujuan sementara, dan tujuan operasional.143 Tujuan umum ialah tujuan yang akan
dicapai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan
cara lain.144 Tujuan ini meliputi seluruh aspek kemanusiaan seperti sikap, tingkah
laku, penampilan, kebiasaan, dan pandangan. Dalam konteks pendidikan di
Indonesia tujuan pendidikan umum adalah tujuan nasional.
Tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik
diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum
pendidikan formal.145 Tujuan ini dalam konteks pendidikan Indonesia disebut
dengan tujuan konstitusional, yaitu tujuan pendidikan yang hendak dicapai
melalui tingkat dan jenis pendidikan tertentu, misalnya tujuan pendidikan Sekolah
Dasar (SD), tujuan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan lain-
lain.146 Tujuan institusional ini diturunkan dari tujuan pendidikan nasional yang
disesuaikan dengan tingkat dan jenis lembaga tertentu. Dari tujuan institusional
ini kemudian diturunkan lagi kepada tujuan kurikuler.
Tujuan operasional ialah tujuan praktis yang akan dicapai dengan
sejumlah kegiatan pendidikan tertentu.147 Dalam pendidikan formal sering disebut
dengan tujuan instruksional (pembelajaran). Tujuan ini terbagi kepada dua
macam, yaitu tujuan pembelajaran umum (TPU) dan tujuan pembelajaran khusus
(TPK). Sedangkan Marimba mengatakan, bahwa terdapat dua macam tujuan
pendidikan, yaitu:
Pertama: Tujuan Sementara
Tujuan sementara yaitu sasaran sementara yang harus dicapai
oleh umat Islam yang melaksanakan pendidikan Islam. Tujuan
sementara di sini adalah tercapainya berbagai kemampuan
seperti kecakapan jasmaniah, pengetahuan membaca, menulis,
pengetahuan ilmu-ilmu kemasyarakatan, dan lain-lain.
143 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara, 1996), hlm. 30-32
144 Ibid., hlm. 30
145Ahmad Supardi, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung : IAIN Sunan Gunung
Djati, 1998), hlm. 41
146Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya,
1999), hlm. 16
147Zakiah Daradjat, op. cit., hlm. 36

54
Kedua: Tujuan Akhir
Adapun tujuan akhir pendidikan Islam adalah terwujudnya
kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang seluruh aspek-
aspeknya merealisasikan atau mencerminkan ajaran Islam.148

Al-Ghazali mengungkapkan, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah


pembentukan insan paripurna. Menurutnya, manusia dapat mencapai
kesempurnaan apabila mau berusaha mencari ilmu dan selanjutnya mengamalkan
fadhilah melalui ilmu pengetahuan yang dipelajarinya. Fadhilah ini selanjutnya
dapat membawanya untuk dekat kepada Allah dan akhirnya membahagiakan
hidupnya di dunia dan akhirat.149
Muhammad Al-Thiyah al-Abrasyi, menyimpulkan lima tujuan umum
pendidikan Islam, yaitu:
(a) Untuk pembentukan akhlak yang mulia, (b) Untuk
meningkatkan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, (c) Untuk mencari
rezeki dan pemeliharaan segi manfaat atau yang lebih dikenal dengan tujuan
vokasional dan profesional. (d) Untuk menumbuhkan semangat ilmiah para
pelajar, memuaskan keinginan tahu, dan memungkinkan mereka mengkaji
ilmu demi ilmu itu sendiri. (e) Untuk menyiapkan pelajar dari segi
profesional, tekhnikal, dan pertukangan supaya dapat menguasai profesi
tertentu.150
Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan
pendidikan Islam itu ialah mengarahkan dan membimbing manusia melalui proses
pendidikan sehingga menjadi orang dewasa yang berkepribadian muslim yang
bertaqwa, berilmu pengetahuan dan keterampilan, melaksanakan ibadah kepada
Tuhannya sesuai dengan niali-nilai ajaran Islam. Tujuan umum pendidikan Islam
ialah muslim yang sempurna, manusia yang bertaqwa, manusia yang beriman,
atau manusia yang beribadah kepada Allah SWT.

2) Pendidik
Pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung-jawab memberi
bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan
rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu melaksanakan tugasnya sebagai

148Muhammad Athiyah al-Abrasyi, op. cit., hlm. 112


149Ahmad Supardi, op. cit., hlm. 73
150Ibid., hlm. 74

55
makhluk Allah, khalifah di muka bumi, sebagai makhluk sosial, dan sebagai
individu yang dapat berdiri sendiri.151
Sementara Ahmad Tafsir mengatakan pendidik dalam Islam ialah siapa
saja yang bertanggung-jawab terhadap perkembangan anak didik, dengan
mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi afektif,
potensi kognitif, maupun potensi psikomotorik.152
Pendidikan Islam menggunakan tanggung-jawab sebagai dasar untuk
menentukan pengertian pendidik, sebab pendidikan merupakan kewajiban agama,
dan kewajiban ini dibebankan kepada orang yang sudah dewasa. Ini berarti
pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung-jawab memberi pertolongan
pada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai
tingkat kedewasaan. Kewajiban ini bersifat personal, dalam arti setiap orang
bertanggung-jawab atas pendidikan dirinya sendiri, kemudian bersifat sosial,
dalam arti setiap orang bertanggung-jawab atas pendidikan orang lain.
Fuad Ihsan membedakan pendidik menjadi dua ketegori, yaitu:
Pertama: Pendidik menurut kodrat, yaitu orang tua. Orang tua sebagai
pendidik menurut menurut kodrat adalah pendidik pertama dan
utama, karena secara kodrati anak manusia dilahirkan oleh orang
tuanya dalam keadaan tak berdaya.
Kedua: Pendidik menurut jabatan, ialah guru. Guru sebagai pendidik
menurut jabatan, menerima tanggung-jawab dari tiga pihak, yaitu
orang tua, masyarakat, dan negara.153
Istilah lain yang lazim dipergunakan untuk pendidik ialah guru. Kedua
istilah tersebut hampir sama artinya, bedanya ialah istilah guru seringkali dipakai
di lingkungan pendidikan formal, sedangkan pendidik dipakai di lingkungan
formal, informal, maupun non formal.154 Lebih lanjut dikatakan, guru adalah
tenaga pendidik yang pekerjaan utamanya mengajar.155 Kegitan mengajar yang
dilakukan guru itu tidak hanya berorientasi pada kecakapan berdimansi ranah
cipta saja tetapi kecakapan yang berdimensi ranah, rasa, dan karsa.

151Nur Uhbiyati, op. ci.t., hlm. 65


152Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 74
153Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1998), hlm. 8
154Nur Uhbiyati, op- cit., hlm. 68
155Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung : Remaja
Rosdakarya, 2001), hlm. 223

56
Guru sebagai pendidik ataupun pengajar merupakan faktor penentu
kesuksesan setiap usaha pendidikan. Hal ini menunjukkan betapa signifikan posisi
guru dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu seorang guru atau pendidik harus
memiliki kepribadian yang baik. Kepribadian adalah faktor yang sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan seorang guru sebagai pengembang sumber
daya manusia. Zakiyah Daradjat, yang pendapatnya dikutip oleh Muhibbin Syah
mengemukakan tentang pentingnya kepribadian guru, yaitu:
Kepribadian itulah yang akan menetukan apakah ia menjadi pendidik
dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak
guru atau penghancur bagi hari depan anak didik, terutama bagi anak didik
yang masih kecil (tingkat sekolah dasar) dan mereka yang sedang mengalami
kegoncanngan jiwa (tingkat menengah).156
Berkaitan dengan tugas dan tanggung-jawab pendidik, Supardi,
menyebutkan beberapa hal tentang tugas guru atau pendidik dalam pendidikan
Islam adalah sebagai berikut:
Pertama: Sebagai pengajar yang bertugas merencanakan program
pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun serta mengakhiri
dengan pelaksanaan penilaian setelah program pendidikan. Kedua: Sebagai
pendidik yang mengarahkan anak didik pada tingkat kedewasaan yang
berkepribadian insan kamil. Ketiga: Sebagai pemimpin.157
Mendidik bukanlah pekerjaan yang mudah, sehingga kehadiran seorang
pendidik dalam suatu kelas harus siap dengan seperangkat kemampuaanya, baik
kemampuan yang bersifat akademis, maupun kemampuan mental. Agar seorang
pendidik dapat menjalankan tugas mulianya dengan baik, ia harus mempunyai
persyaratan pendidikan atau kompentensi profesional kependidikan. Dalam hal
ini, Muhaimin yang pendapatnya dikutip ulang oleh Supardi, mengemukakan
bahwa dalam menjalankan profesi keguruannya, pendidik dalam pendidikan Islam
paling tidak harus memiliki tiga kompetensi dasar, yaitu sebagai berikut:
(1) Kompetensi personal religius, yaitu kemampuan dasar yang
menyangkut kepribadian agamis, (2) Kompetensi sosial-religius, yaitu
kemampuan yang menyangkut kepedulian terhadap masalah sosial selaras
dengan ajaran Islam, (3) Kompetensi profesional religius, yaitu kemampuan
dasar yang menyangkut kemampuan untuk menjalankan tugasnya secara

156Ibid., hlm. 25
157Ahmad Supardi, op. cit., hlm. 80

57
profesional.158

3) Peserta didik
Dalam bahasa Arab dikenal tiga istilah yang sering digunakan untuk
menunjukkan pada anak didik. Tiga istilah tersebut adalah murid yang secara
harfiah berarti orang yang menginginkan atau membutuhkan sesuatu; tilmidz
(jamaknya) talamidz yang berarti murid, dan thalib al-Ilm yang menuntut ilmu,
pelajar atau mahasiswa. Ketiga istilah tersebut seluruhnya mengacu kepada
seseorang yang tengah menmpuh pendidikan. Perbedaannya hanya terletak pada
penggunaannya. Pada sekolah dasar yang tingkatannya rendah seperti SD
digunakan istilah murid dan tilmidz, sedangkan pada sekolah yang tingkatannya
lebih tinggi seperti SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi digunakan istilah thalab al-
ilm.159
Berdasarkan pengertian di atas, maka anak didik dapat dicirikan sebagai
orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan
pengarahan. Dalam pandangan Islam hakikat ilmu berasal dari Allah, sedangkan
proses memperolehnya dilakukan melalui belajar tanpa guru.
Dalam pandangan yang lebih modren, anak didik tidak hanya dipandang
sebagai objek atau sasaran pendidikan sebagaimana disebutkan di atas, melainkan
juga harus diberlakukan sebagai subjek pendidikan.160 Hal ini antara lain
dilakukan dengan melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam proses
belajar mengajar. Karena peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan
yang memiliki keinginan, cita-cita, dan tujuan, sehingga ia harus aktif dalam
proses kegiatan pendidikan.
Peserta didik dalam pendidikan Islam adalah anak yang sedang tumbuh
berkembang, baik secara fisik maupun psikis untuk mencapai tujuan
pendidikannya melalui lembaga pendidikan. Anak atau subjek adalah orang yang
belum dewasa dan sedang berada dalam masa perkembangan menuju pada
kedewasaannya masing-masing.161

158Ibid., hlm. 81-82


159Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos, 1996), hlm. 79
160Ibid., hlm. 79
161Ahmad Supardi, op. cit., hlm. 86

58
Ada beberapa asumsi mendasar yang perlu dipahami tentang anak didik,
yaitu sebagai berikut:
Pertama: Anak didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia
sendiri, sehingga metode belajar tidak boleh disamakan dengan
orang dewasa.
Kedua: Anak didik mengikuti periode-perode perkembangan tertentu dan
mempunyai pola perkembangan serta tempo dan iramanya.162
Adapun mengenai hak dan kewajiban peserta didik dalam Undang-undang
Republik Indonesia Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan
bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:
(a) Mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang
dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama, (b) Mendapatkan
pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, (c)
Mendapatkan beasiswa bagi orang yang berprestasi yang orang tuanya tidak
mampu membiayai pendidikannya, (d) Mendapat biaya pendidikan bagi
mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya, (e)
Pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang
setara, (f) Menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan
masing-masing dan tidak melewati dari ketentuan batas waktu yang
ditetapkan.163

Dari asumsi hak dan kewajiban di atas, dapat penulis simpulkan bahwa
kewajiban anak didik adalah:
Pertama: Menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin
keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan.
Kedua: Ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi
peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai
dengan perundang-undangan yang berlaku.
4) Kurikulum
Istilah kurikulum berasal dari bahasa latin, yakni curriculum yang awalnya
mempunyai pengertian a running course, dan dalam bahasa Perancis yakni
courier berarti to run yang artinya berlari. Istilah ini kemudian digunakan untuk
sejumlah mata pelajaran (courses) yang harus ditempuh untuk mencapai suatu

162Ibid., hlm. 88
163Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

59
gelar penghargaan dalam dunia pendidikan,yang dikenal dengan ijazah .164
Kata kurikulum mulai dikenal sebagai istilah dalam dunia pendidikan
sejak kurang lebih satu abad yang lalu. Istilah kurikulum muncul untuk pertama
kalinya dalam kamus Webster tahun 1856. pada tahun itu, kurikulum digunakan
dalam bidang olah raga, yakni sesuatu hal yang membawa orang dari start sampai
ke finish. Barulah pada tahun 1955 istilah kurikulum dipakai dalam bidang
pendidikan, dengan arti sejumlah mata pelajaran disuatu perguruan. Dalam kamus
tersebut, kurikulum diartikan dua macam, yaitu:
Pertama: Sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari siswa
di sekolah/perguruan tinggi untuk memperoleh ijazah tertentu.
Kedua: Sejumlah mata pelajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga
pendidikan.165
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu program pendidikan yang
direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan
pendidikan tertentu. Batasan ini mencerminkan hal-hal sebagai berikut: Pertama,
pendidikan itu adalah suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan. Kedua, di dalam
kegiatan pendidikan itu terdapat suatu rencana yang disusun atau diatur. Ketiga,
rencana tersebut dilaksanakan di sekolah melalui cara-cara yang telah
ditetapkan.166
Kurikulum merupakan salah satu komponen pendidikan untuk mencapai
tujuan pendidikan, sekaligus merupakan pedoman dalam pelaksanaan pengajaran
pada semua jenis dan tingkat sekolah. Komponen kurikulum dalam pendidikan
sangat berarti, karena merupakan operasionalisasi tujuan yang dicita-citakan,
bahkan tujuan tidak akan tercapai tanpa keterlibatan kurikulum.
Kurikulum merupakan satu dari komponen pendidikan dan kurikulum
sendiri juga merupakan sistem yang mempumyai komponen-komponen tertentu.
Komponen tersebut menurut Tafsir,167 adalah tujuan, isi, metode atau proses
belajar mengajar, dan evaluasi. Keempat komponen tersebut saling melengkapi,
bahkan masing-masing merupakan bagian integral dari kurikulum. Komponen

164Abdullah Ali, Pengembangan, Kurikulum Teori dan Praktek, (Jakarta : Gaya Media
Pratama, 1999), hlm. 3
165Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 53
166Zakiyah Daradjat, op. cit., hlm.122
167Ahmad Tafsir, Ibid., hlm. 54

60
tujuan mengarahkan atau menunjukkan sesuatu yang hendak dituju dalam proses
belajar mengajar. Kemudian komponen isi menunjukkan materi proses belajar
mengajar tersebut. Materi (isi) itu harus relevan dengan tujuan pengajaran yang
telah dirumuskan. Komponen proses belajar mengajar mempertimbangkan
kegiatan anak dan guru dalam proses belajar mengajar. Sedangkan komponen
evaluasi adalah kegiatan kurikulum berupa penilaian untuk mengetahui berapa
persen tujuan tadi dapat dicapai.
Sedangkan yang dimaksud kurikulum pendidikan Islam adalah semua
bahan pelajaran yang disampaikan kepada peserta didik dalam suatu sistem
pendidikan.168 Bahan atau materi pelajaran sebagai isi kurikulum pada dasarnya
merupakan bahan-bahan pelajaran yang dapat mengantarkan anak didik mencapai
tujuan pendidikan yang telah ditentukan.
Dalam ilmu pendidikan Islam, kurikulum merupakan komponen yang
penting karena merupakan bahan-bahan ilmu pengetahuan yang diproses di dalam
sistem kependidikan Islam. Ia juga menjadi salah satu bagian dari bahan masukan
yang mengandung fungsi sebagai alat pencapai tujuan (input instrumental)
pendidikan Islam.
Kurikulum pendidikan Islam pada dasarnya merupakan refleksi
paradigma pengetahuan menurut Islam. Secara mendasar akan meliputi dua
kebutuhan dasar manusia yakni yang berorientasi pada kebutuhan material dan
yang berorientasi pada kebutuhan spiritual. Kedua kebutuhan ini bagaimanapun
tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dalam penyusunan kurikulum pendidikan
Islam .169
Dalam menyusun kurikulum pendidikan Islam, harus memperhatikan
prinsip-prinsip penyusunan kurikulum pendidikan Islam. Menurut Al-Taumi,
prinsip-prinsip tersebut meliputi tujuh macam, antara lain:
(1) Prinsip pertama adalah pertautan yang empurna dengan agama,
termasuk ajaran dan nilainya, (2) Prinsip kedua adalah prinsip menyeluruh
(universal) pada tujuan dan kandungan kurikulum, (3) Prinsip ketiga adalah
keseimbangan yang relatif antara tujuan dan kandungan kurikulum, (4) Prinsip
keempat berkaitan dengan bakat, minat, kemampuan, dan kebutuhan pelajar,

168Nur Uhbiyati, op. cit., hlm. 161


169Ahmad Supardi, op. cit., hlm. 99

61
(5) Prinsip kelima adalah pemeliharaan perbedaan individual antara pelajar
dalam bakat, minat, kemampuan, kebutuhan dan masalahnya, (6) Prinsip
keenam adalah perkembangan dan perubahan Islam yang menjadi sumber
pengambilan falsafah, prinsip, dan dasar kurikulum, (7) Prinsip ketujuh adalh
prinsip pertautan antara mata pelajaran, pengalaman, dan aktiva yang
terkandung dalam kurikulum.170

Secara umum, isi kurikulum pendidikan Islam akan memberikan


gambaran kualifikasi sebagai berikut:
(a). Materi yang disusun tidak menyalahi fitrah manusia, (b). Adanya
relevansi dengan tujuan pendidikan Islam, (c). Disesuaikan dengan tingkat
perkembangan dan usia anak didik, (d). Perlunya membawa anak didik
kepada objek empiris, (e). Materi yang disusun memiliki relevansi dengan
masalah-masalah yang mutakhir, yang sedang dibicarakan dan relevan
dengan tujuan negara setempat, (f). Materi yang diajarkan tidak hanya
bersifat teoritis tetapi juga harus bersifat praktis, (g). Materi yang disusun
mempunyai relevansi dengan tingkat perkembangan anak didik dan aspek-
aspek sosial.171
5) Metode
Metode secara harfiah berarti “cara”. Dalam pemakaian yang umum,
metode diartikan sebagai cara melakukan suatu kegiatan atau cara melakukan
pekerjaan dengan menggunakan fakta dan konsep-konsep secara sistematis .172
Dalam proses belajar mengajar, metode berarti cara yang digunakan untuk
menyampaikan mata pelajaran dalam upaya mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Metode sangat befungsi dalam menyampaikan pelajaran. Metode
pendidikan yang tidak tepat guna akan menjadi penghalang kelancaran jalannya
proses belajar-mengajar sehingga banyak tenaga dan waktu terbuang sia-sia. Oleh
karena itu, metode yang ditetapkan oleh seorang guru dapat berdaya guna dan
berhasil guna jika mampu dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang
telah ditetapkan .173
Menurut Armai Arif, terdapat beberapa metode pengajaran yang dikenal

170Nur Uhbiyati, op. cit., hlm. 161-162


171Ahmad Supardi, op. cit., hlm. 99
172Muhibin Syah, op. cit., hlm. 201
173Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Setia,
2001), hlm. 163

62
secara umum, yaitu: (a) metode ceramah, (b) metode diskusi, (c) metode
eksperimen, (d) metode demonstasi, (e) metode pemberian tugas, (f) metode
sosidrama, (g) metode drill, (h) metode kerja kelompok, (i) metode tanya jawab,
(j) metode proyek.174

Sementara Muhibin Syah,175 mengatakan bahwa ada empat metode


mengajar yang dipandang representatif dalam arti digunakan secara luas sejak
dahulu hingga sekarang pada setiap jenjang pendidikan formal. Tiga dari empat
metode mengajar tersebut bersifat khas dan mandiri, sedangkan yang lainnya
merupakan kombinasi antara satu metode dengan metode lainnya. Keempat
metode tersebut adalah sebagai berikut: (a) metode ceramah, (b) metode diskusi,
(c) metode demonstasi, (d) metode ceramah plus, metode ini terdiri atas banyak
metode campuran, yaitu; ceramah plus Tanya jawab, tugas, diskusi, demontrasi
dan latihan.
Dalam proses pendidikan Islam, metode mempunyai kedudukan yang
sangat penting dalam upaya pencapaian tujuan, karena ia menjadi sarana yang
dapat memberikan makna terhadap materi pelajaran yang tersusun dalam
kurikulum pendidikan sedemikian rupa sehingga dapat dipahami atau diserap oleh
anak didik menjadi pengertian-pengertian yang fungsional terhadap tingkah
lakunya.176 Tanpa metode suatu materi pelajaran tidak akan dapat terserap secara
efektif dan efisien dalam kegiatan belajar-mengajar menuju tujuan pendidikan
Sebagai salah satu komponen operasional dalam pendidikan Islam, metode
harus mengandung potensi yang bersifat mengarahkan materi pelajaran pada
tujuan pendidikan yang hendak dicapai melalui proses yang bertahap, baik dalam
kelembagaan formal, non formal, maupun informal. Dengan demikian, menurut
Ilmu Pendidikan Islam, suatu metode yang baik adalah bila memiliki watak dan
relevansi yang senada atau sejiwa dengan tujuan pendidikan Islam.177
Secara operasional, Islam dalam ajarannya memiliki banyak implikasi

174Armai Arif, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta : Ciputat Press,
2001), hlm. 42
175Muhibin Syah, Op. Cit., hlm. 203
176Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Ibid., hlm. 163
177Ibid., hlm. 164

63
pendidikan terutama secara metodologis, misalnya:
(1) Metode mendidik secara berkelompok, (2) Metode mendidik secara
instruktusional, yaitu yang bersifat mengerjakan, (3) Metode mendidik
dengan cara bercerita, (4) Metode mendidik secara bimbingan dan
penyuluhan, (5) Metode pembesrian contoh teladan, (6) Metode mendidik
secara diskusi, (7) Metode mendidik dengan cara tanya jawab, (8) Metode
mendidik dengan menggunakan perumpamaan, (9) Metode mendidik secara
targhieb dan tarhieb, yaitu memberikan pelajaran dengan dorongan (motivasi)
untuk memperoleh kegembiraan dan mendapat kesusahan jika tidak mengikuti
kebenaran, (10) Metode dengan cara bertaubat dan ampunan .178

6) Sarana dan Prasarana


Istilah sarana dan prasarana pendidikan biasa disebut dengan peralatan
pendidikan, yang meliputi hard ware (perangkat keras) dan soft ware (perangkat
lunak). Menurut Usman dan Asnawir, alat atau media adalah merupakan sesuatu
yang bersifat menyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan, dan
kemauan siswa sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada
dirinya.179
Dalam pengertian yang luas, peralatan pendidikan adalah semua yang
digunakan guru dan murid dalam proses pendidikan. Ini mencakup perangkat
keras dan perangkat lunak.180 Sedangkan yang dimaksud dengan alat pendidikan
Islam yaitu segala sesuatu yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan
Islam.181
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa peralatan pendidikan itu
meliputi dua hal, yaitu perangkat keras atau hard ware dan perangkat lunak atau
soft ware. Perangkat keras meliputi gedung sekolah, perpustakaan, alat-alat yang
digunakan tatkala belajar di kelas, dan lain-lain. Sedangkan perangkat lunak
meliputi kurikulum, metode pengajaran, adminitrasi pendidikan, dan lain-lain.
Menurut Supardi, secara garis besar alat pendidikan itu ada dua macam,
yaitu: Pertama : Alat fisik, yaitu berupa segala sesuatu perlengkapan pendidikan
berupa saran dan fasilitas dalam bentuk konkrit, seperti bangunan, alat-alat tulis

178Ahmad Supardi, op. cit., hlm. 113-119


179M Basyirudin Usman dan Asnawir, Media Pembelajaran, (Jakarta : DeliaCitra Utama,
2002), hlm. 11
180Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 90
181Ahmad Supardi, op. cit., hlm. 53

64
dan baca, dan sebagainya. Kedua: Alat non fisik, yaitu berupa kurikulum,
pendekatan, metode, dan tindakan berupa hadiah dan hukum serta uswatan
hasanah atau contoh teladan baik dari pendidik.182
Dalam proses pembelajaran banyak sekali konsep-konsep pengetahuan
yang harus dipahami oleh siswa. Sedangkan hal itu sulit dipahami tanpa bantuan
alat atau media. Dengan adanya peralatan atau media, tugas guru untuk
mengefektifkan dan mengefisienkan dalam mencapai tujuan pendidikan dapat
terbantu. Sehingga tidak heran jika ada asumsi bahwa semakin lengkap peralatan
pendidikan di suatu sekolah, maka semakin tinggi pula kualitas sekolah tersebut.
Untuk mengadakan dan mempergunakan peralatan pendidikan, terdapat
beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan, antara lain:
(a) alat yang dipilih hendaknya selaras dan menunjang tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan, (b) aspek materi menjadi pertimbangan
yang dianggappenting dalam memilih alat, (c) kondisi siswa dari segi subjek
belajar menjadi perhatian yang serius bagi guru dalam memilih alat yang
sesuai dengan kondisi anak, (d) alat yang dipilih seharusnya dapat
menjelaskan apa yang akan disampaikan kepada siswa secara tepat dan
berhasil guna, (e) biaya yang dikeluarkan dalam pemanfaatan alat harus
seimbang dengan hasil yang akan dicapai. 183
7)Evaluasi
Evaluasi atau penilaian adalah rangkaian akhir komponen dalam suatu
sistem pendidikan yang penting. Berhasilatau gagalnya suatu pendidikan
mencapai tujuan dapat dilihat setelah dilakukan evaluasi terhadap produk yang
dihasilkannya. Jika hasil suatu pendidikan sesuai dengan tujuan yang telah
diprogramkan, maka usaha pendidikan tadi dinilai berhasil, tetapi jika sebaliknya
dinilai gagal.
Evaluasi adalah penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa mencapai
tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program. Padanan kata evaluasi adalah
assesment. yang berarti proses penilaian untuk menggambarkan prestasi yang
dicapai seorang siswa sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Sementara
Ahmad Tafsir, menyatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan kurikuler berupa

182Ahmad Supardi, Ibid., hlm. 53


183M BasyirudinUsman dan Asnawir, op. cit., hlm. 15

65
penilaian untuk mengetahui berapa persen tujuan tadi dicapai.184
Sementara menurut Armai Arief, bahwa yang dimaksud dengan evaluasi
atau penilaian dlam pendidikan adalah keputusan-keputusan yang diambil dalam
proses pendidikan secara umum; baik mengenai perencanaan,pengelolaan, proses,
dan tindak lanjut pendidikan atau yang menyangkut perorangan, kelompok
maupun kelembagaan.185 Jadi, yang dimaksud dengan evaluasi dalam pendidikan
Islam adalah pengambilan sejumlah keputusan yang berkaitan dengan pendidikan
Islam guna melihat sejauh mana keberhasialn yang elaras dengan nilai-nilai Islam
sebagai tujuan dari pendididkan Islam itu sendiri.
Evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan cara atau teknik penilaian
terhadap tingkah laku anak didik berdasarkan perhitungan yang bersifat
komprehensif dari seluruh apek-aspek kehidupan mental psikologi dan spiritual-
religius, karena manusia hasil pendidikan Islam bukan saja sosok pribadi yang
tidak hanya bersikap religius, melainkan juga berilmu dan berketerampilan yang
sanggup beramal dan berbakti kepada Tuhan dan masyarakatnya.
Sasaran dari evaluasi pendidikan Islam secara garis besar meliputi empat
kemampuan dasar anak didik, yaitu: (a) sikap dan pengamalan terhadap arti
hubungan pribadinya dengan Tuhannya, (b) sikap dan pengalaman tehadap arti
hubungan dirinya dengan masyarakat, (c) sikap dan pengamalan terhadap arti
hubungan kehidupannya dengan alam sekitarnya, (d) sikap dan pandangannya
terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah dan selaku anggota masyarakat serta
selaku khalifah di muka bumi.186

D.PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM


Masalah pengembangan aktivitas kependidikan Islam di Indonesia pada
dasarnya sudah berlangsung sejak sebelum Indonesia merdeka hingga sekarang
dan hingga yang akan datang. Hal ini dapat dilihat dari fenomena
tumbuhkembangnya program dan praktik pendidikan Islam yang dilaksanakan di
nusantara. Buchori memetakan struktur internal pendidikan Islam Indonesia, jika

184Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 55


185Armai Arief, op. cit., hlm. 54
186Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, op. cit., hlm. 225

66
ditilik dari aspek program dan praktik pendidikannya ke dalam 4 (empat) jenis,
yaitu (1) pendidikan pondok pesantren; (2) pendidikan madrasah; (3) pendidikan
umum yang bernafaskan Islam; dan (4) pelajaran agama Islam yang
diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai suatu mata
pelajaran atau mata kuliah saja.187
Pendidikan Islam, suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid
dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan
pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali
oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam188, atau "Pendidikan Islam
mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman
pada syariat Allah.189 Pendidikan Islam bukan sekedar "transfer of knowledge"
ataupun "transfer oftraining", ....tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata
di atas pondasi keimanan dan kesalehan; suatu sistem yang terkait secara langsung
dengan Tuhan.190 Pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan
sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Dengan demikian, pendidikan merupakan sarana terbaik untuk
menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan
ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh
secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka atau tidak menyadari
adanya perkembangan-perkembangan disetiap cabang pengetahuan manusia.191
Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan
martabat manusia yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan selalu
berkembang, dan selalu dihadapkan pada perubahan zaman. Untuk itu, mau tak
mau pendidikan harus didisain mengikuti irama perubahan tersebut, apabila

187Muchtar Buchori, Pendidikan Islam Indonesia: Problema Masa Kini dan Perspektif Masa
Depan, dalam Muntaha Azhari & Abd.Mun’in Saleh (Ed.), Islam Indoensia Menatap Masa
Depan, (Jakarta : P3M, 1989), hlm. 184
188Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, Crisis Muslim Education". Terj. Rahmani
Astuti, Krisis Pendidikan Islam, ( Bandung : Risalah, 1986), hlm.2
189Abdurrahman an-Nahlawi, Ushulul Tarbiyah Islamiyah wa Asalabih fi Baiti wa
Madrasati wal Mujtama', Dar al-Fikr al-Mu'asyr, Beirut-Libanon., Terj. Shihabuddin, Pendidikan
Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, ( Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hlm. 26
190Roehan Achwan, Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi, Jurnal Pendidikan Islam,
(Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga, 1991),Volome.1, hlm. 50
191Azyumardi Azra, dalam Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam,
( Jakarta : Amisco, 1996), (Comference Book, London, 1978), hlm. 15-17

67
pendidikan tidak didisain mengikuti irama perubahan, maka pendidikan akan
ketinggalan dengan lajunya perkembangan zaman itu sendiri.
Siklus perubahan irama pendidikan di atas, dapat dijelaskan sebagai
berikut; Pendidikan dari masyarakat, didisain mengikuti irama perubahan dan
kebutuhan masyarakat. Misalnya; pada peradaban masyarakat agraris, Pendidikan
didisain relevan dengan irama perkembangan peradaban masyarakat agraris dan
kebutuhan masyarakat pada era tersebut. Begitu juga pada peradaban masyarakat
industrial dan informasi, pendidikan didisain mengikuti irama perubahan dan
kebutuhan masyarakat pada era industri dan informasi, dan seterusnya.
Demikian siklus perkembangan perubahan pendidikan, kalau tidak
pendidikan akan ketinggalan dari perubahan zaman yang begitu cepat. Untuk itu
perubahan pendidikan harus relevan dengan perubahan zaman dan kebutuhan
masyarakat pada era tersebut, baik pada konsep, materi dan kurikulum, proses,
fungsi serta tujuan lembaga-lembaga pendidikan. Pendidikan Islam sekarang ini
dihadapkan pada tantangan kehidupan manusia modern. Dengan demikian,
pendidikan Islam harus diarahkan pada kebutuhan perubahan masyarakat modern.
Dalam menghadapi suatu perubahan, "diperlukan suatu disain paradigma baru di
dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru, demikian kata filsuf Kuhn.
Menurut Kuhn, apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan
menggunakan paradigma lama, maka segala usaha yang dijalankan akan
memenuhi kegagalan".192
Untuk itu, pendidikan Islam perlu didisain untuk menjawab tantangan
perubahan zaman tersebut, baik pada sisi konsepnya, kurikulum, kualitas
sumberdaya insannya, lembaga-lembaga dan organisasinya, serta
mengkonstruksinya agar dapat relevan dengan perubahan masyarakat tersebut.
Dalam perjalanan sejarahnya, pengembangan ke empat jenis pendidikan
Islam tersebut ternyata sudah menjadi wacana yang serius dikalangan tokoh
pendidikan Islam semenjak sebelum Indonesia merdeka. Kajian ini bermaksud
untuk menjajaki berbagai pola pemikiran dan pengembangan pendidikan Islam
yang dikembangkan pada masa sebelum Indonesia merdeka, terutama sejak awal
192H A R Tilar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad
21, (Magelang : Tera Indonesia, 1998), cet. ke-1, hlm. 245

68
abad 20 hingga menjelang masa kemerdekaan.
Muhaimin berpendapat, bahwa pengembangan pendidikan Islam di
Indonesia, terutama pada periode sebelum Indonesia merdeka (1900-
menjelang 1945), agaknya lebih ditujukan pada upaya menghadapi pendidikan
kolonial. Pada periode tersebut diduga muncul berbagai problem isu-isu
pendidikan Islam yang menonjol, yang merupakan diskursus dalam
pengembangan pendidikan Islam, terutama di kalangan para pemikir,
pengembang dan pengelola pendidikan Islam di Indoneisa.157
Lebih lanjut Suroyo berpendapat bahwa untuk mengembangkan
pendidikan Islam ke arah yang lebih bermutu, maka persoalan yang perlu
diperhatikan adalah sebagai berikut:
Pendidikan Islam perlu menghadirkan suatu konstruksi wacana pada
dataran filosofis, wacana metodologis, dan juga cara menyampaikan atau
mengkomunikasikannya. Dalam menghadapi peradaban modern, yang perlu
diselesaikan adalah persoalan-persoalan umum internal pendidikan Islam yaitu
(1) persoalan dikotomik, (2) tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam, (3)
persoalan kurikulum atau materi. Ketiga persoalan ini saling interdependensi
antara satu dengan lainnya. Pertama, Persoalan dikotomi pendidikan Islam,
yang merupakan persoalan lama yang belum terselesaikan sampai sekarang.
Pendidikan Islam harus menuju pada integritas antara ilmu agama dan ilmu
umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu
bukan agama. Karena, dalam pandangan seorang Muslim, ilmu pengetahuan
adalah satu yaitu yang berasal dari Allah SWT.193

Sementara itu, Menurut Fazlur Rahman, masalah dikotomi pendidikan


salah satu pendekatannya adalah dengan menerima pendidikan sekuler modern
sebagaimana telah berkembang secara umumnya di dunia Barat dan mencoba
untuk "mengislamkan"nya – yakni mengisinya dengan konsep-konsep kunci
tertentu dari Islam. Lebih lanjut Fazlur Rahman, mengatakan persoalannya adalah
bagaimana melakukan mengembangkan dan memodernisasikan Pendidikan Islam,
yakni membuatnya mampu untuk produktivitas intelektual Islam yang kreatif
dalam semua bidang usaha intelektual bersama-sama dengan keterkaiatan yang
serius kepada Islam.194
M. Rusli Karim195, mengatakan bila konsep dualisme dikotomik berhasil
193Soroyo, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun 2000,
dalam Buku : Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Editor : Muslih Usa,
(Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991), hlm. 45
194Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition, (USA:
The University of Chicago, 1982), hlm. 155
195M. Rusli Karim, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia, dalam Buku :

69
ditumbangkan, maka dalam jangka panjang sistem pendidikan Islam juga akan
berubah secara keseluruhan, mulai dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi.
Dan perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga-lembaga Pendidikan
Islam196 yang ada. Memang diakui bahwa penyesuaian lembaga-lembaga
pendidikan akhir-akhir ini cukup mengemberikan, artinya lembaga-lembaga
pendidikan memenuhi keinginan untuk menjadikan lembaga-lembaga tersebut
sebagai tempat untuk mempelajari ilmu umum dan ilmu agama serta
keterampilan.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memilih satu di antara dua
fungsi, apakah mendisain model pendidikan umum Islami yang handal dan
mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain, atau
mengkhususkan pada disain pendidikan keagamaan yang berkualitas, mampu
bersaing, dan mampu mempersiapkan mujtahid-mujtahid yang berkualitas.
Sebagaimana yang telah diuraikan dalam pembahasan di atas, bahwa
pengembangan pendidikan Islam merupakan suatu bentuk tindakan yang
dilakukan dengan memperhatikan paradigma pendidikan agar pendidikan Islam
tidak selalu tertinggal dibanding dengan pendidikan Barat, maka sikap dan pikiran
masyarakat harus di arahkan kepada pendidikan yang sesuai dengan tuntunan al-
Qur’an dan al-Hadits. Faktor terjadinya pengembangan ini berasal dari dalam diri
masyarakat maupun berasal dari luar diri masyarakat terutama lembaga
pendidikan Islam seperti Pondok Pesantren.197
Terlepas dari bentuk dan faktor-faktor penyebab terjadinya pengembangan
pendidikan Islam ini, maka yang jelas fenomona yang terjadi di masyarakat
merupakan penyebab dilakukannya suatu sikap untuk mengembangkan
pendidikan Islam. Disinilah peran strategis sebuah pondok pesantren. Arifin
melihat bahwa fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat sekaligus
tantangan bagi pesantren, diantaranya politik, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan

Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, editor, Muslih Usa, (Yogyakarta :Tiara
Wacana, 1991), cet. ke-1, hlm. 150
196Anwar Jasin, Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam : Tinjauan Filosofis, (tt,
1985), hlm. 15
197Azyumardi Azra, dalam Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam,
(Jakarta : Amisco, 1996), hlm. 3

70
teknologi, ekonomi dan sistem nilai.198
Disinilah, peran sebuah lembaga pendidikan, terutama pondok pesantren
agar lebih meningkatkan peran dan kompetensinya ditengah-tengah
perkembangan dunia yang sedang menglobal ini. Pesantren harus tetap menjaga
citranya dalam mengadopsi budaya dari dunia luar dan tidak mudah
terkontaminasi oleh sistem yang ada, sehingga pendidikan Islam akan menjadi
alternatif dalam mengembangkan pola pikir dan dalam mengembangkan karakter,
serta kepribadian masyarakat di masa mendatang.

198M.Arifin, op. cit., hlm. 41-45

71
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A.Letak Geografis
Pesantren Thawalib terletak di Nagari Tanjung Limau desa Simabur
kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar. Tanjung Limau termasuk
kenagarian Simabur Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar terdiri dari
dataran seluas 139 ha yang terletak 11,5 Km dari ibu kota Kabupaten dan 1,5 Km
dari ibu kota Kecamatan. Sebelah utara berbatasan dengan Jorong Simabur dan
Jorong Koto Tuo, sebelah selatan berbatasan dengan Jorong Batu Basa, sebelah
timur dengan Kenagarian Tabek dan sebelah barat dengan Koto Baru.199
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah salah satu lembaga
Pendidikan Agama tertua di Minangkabau Khususnya Kabupaten Tanah Datar
.Pesantren ini dibangun di atas tanah wakaf seluas 16.000 m2 yang tempo dulu
atau sekita tahun 1920-an merupakan sebuah Surau (tempat mengaji dan belajar
agama) dan kemudian berkembang menjadi perguruan Thawalib, dan akhirnya
tahun 1972 berobah menjadi Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau.
Pesantren ini sangat mudah dijangkau, karena letak pesantren ini tepat di
pinggir jalan desa yang dilalui oleh kendaraan umum yang akan menuju pasar
kecamatan, disamping itu, untuk menuju pesantren ini juga dapat menaiki
angkutan roda dua atau ojek dengan biaya Rp. 2000,-.
Mengingat tempatnya yang strategis dilalui oleh kendaraan umum dan
dekat dengan ibu Kecamatan, maka banyak pelajar yang sekolah di pesantren ini
tidak memondok, kecuali siswa yang berasal dari luar Kabupaten Tanah Datar dan
dari daerah kecamatan tetangga. Pada umumnya santri yang memodok tersebut
adalah santri Madrasah Aliyah Keagamaan serta mereka yang ingin belajar kitab
kuning.

199Akta Pendirian Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau ,No. 66 tahun 1976

72
B.Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Pondok Pesantren
Thawalib Tanjung Limau
1. Cikal Bakal Thawalib Tanjung Limau
Cikal bakal berdirinya Pesantren Thawalib ini adalah dari “Surau
Gadang”200 Tanjung Limau sebagai sarana belajar mengaji bagi generasi muda
Tanjung Limau dengan menggunakan sistem halaqah. Murid laki-laki dipisahkan
dengan murid perempuan. Guru yang mula-mula mengajar di surau ini adalah
Syekh Sulaiman Al Mufassir Al mansyur, sehingga Tanjung Limau dikenal orang
sebagai tempat mengaji Tafasia (Tafsir).
Setelah Syekh Sulaiman Al Mufassir Al mansur wafat pengajian di surau
Gadang dilanjutkan oleh cucunya, H. Mukhtar Ya’qub dalam usia ± 18 tahun
yang telah menamatkan sekolahnya di Surau Jembatan Besi atau sekarang dikenal
dengan Perguruan Thawalib Padang Panjang tahun 1922 M. Semulanya H.
Mukhtar Ya’qub bermaksud akan merantau ke Palembang untuk mengembangkan
ilmu yang telah beliau pelajari, namun masyarakat Tanjung Limau juga berharap
kepadanya untuk mengajar di Surau Gadang. H. Mukhtar akhirnya membatalkan
rencana semula dan menerima amanah yang diberikan masyarakat kepadanya.201
Untuk memperlancar pendidikan di Tanjung Limau H. Mukhtar Ya’qub
bersama pemuka masyarakat berinisiatif untuk mendirikan sebuah madrasah.
Setelah diadakan musyawarah, pada tahun 1923 M dapat didirikan sebuah gedung
terdiri dari 4 lokal berlokasi diatas tanah wakaf Labai Sutan dan Datuk Tan
Majolelo.202 Semua biaya bangunan berasal dari sumbangan masyarakat Tanjung

200Surau Gadang atau surau besar dalam bahasa Indonesia adalah tempat atau sarana belajar
mengaji (al-Qur’an dan praktek ibadah), dan tempat untuk melatih generasi muda Tanjung Limau
dalam memahami ajaran Islam lebih mendalam, di surau ini mereka dibimbing oleh seorang guru
atau Syaikh Sulaiman al-Mufassiry (ulama awal di desa Tanjung Limau), Fahrizal Alwis,
Pimpinan Pontren, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau 09 Februari 2009
201Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau, Sejarah Pondok Pesantren Thawalib
Tanjung Limau, ( Tanjung Limau, t, th), hlm. 1
202Labai Sutan dan Datuk Tan Majolelo adalah masyarakat Tanjung Limau yang kaya raya
dan mendapat jabatan sebagai Demang dan Wali Nagari di masa pemerintahan kolonial Belanda
yang memiliki tanah yang luas, mereka mempunyai perhatian yang besar kepada pengajaran al-
qur’an dan pendidikan anak muda Tanjung Limau, Lihat Datuk Tan Majolelo, Wali Nagari Nan
Cadiak Pandai, ( Tanjung Limau, 1920), tt, hlm. 45

73
Limau baik materil maupun tenaga.
Setelah gedung tersebut selesai dan dapat dimanfaatkan, maka sistem
pendidikanpun berobah dari sistem halaqah menjadi sistem klasikal dengan
bidang studi pengetahuan agama dan Bahasa Arab. Penyelenggaraan pendidikan
di Pondok Pesantren Thawalib ini dikelola oleh H. Mukhtar Ya’qub dan dibantu
oleh Angku Sago dari Sungayang serta oleh murid yang tingkatnya kelasnya lebih
tinggi.
Murid yang agak dewasa belajar pada pagi hari dengan nama “Thawalib”
dari nama inilah diambil nama Thawalib sampai sekarang, dan pada sore harinya
adalah waktu belajar bagi anak-anak yang dalam usia sekolah dasar dengan nama
“Diniyah School”.203 Sementara itu belajar mengaji di Surau Gadang tetap
dilaksanakan dengan sistem halaqah
Dalam catatan sejarah Minang Kabau, disebutkan bahwa H. Mukhtar
Ya’kub adalah Almnus dari Surau Jembatan Besi dengan afiliasinya sekarang
yaitu Sumatera Thawalib Parabek yang dipimpinan H. Abdul Karim Amarullah
( ayah buya HAMKA) atau yang dikenal dengan Inyiak Deer, dimana di surau ini
telah diperkenalkan belajar dengan sistem klasikal. Perubahan sistem ini
dipengaruhi oleh pembaharuan pendidikan di Timur Tengah. Sejarah berdirinya
Thawalib ini merupakan perkembangan dari Thawalib Padang Panjang. Pesantren
ini mengalami perkembangan, meskipun banyak kendala harus dihadapi, seperti
tantangan dari pemerintah Hindia Belanda. Di tahun 1923 s/d 1940 murid-murid
pesantren Thawalib ini banyak yang berasal dari Aceh, Medan, Jambi,
Tembilahan (Riau), dll.204
Pada perkembangan selanjutnya ditahun 1972 perguruan ini berobah
menjadi Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau, perobahan ini karena salah
seorang pimpinan perguruan ini mengikuti pelatihan di Kelapa 2 Jakarta.205 Proses
203Diniyah School adalah sekolah yang didirikan untuk perempuan Minang oleh Zainuddin
Labai El-Yunusi pada tanggal 10 Oktober 1915, kemudian adiknya Rahmah El-Yunusiah
mendirikan pula Diniyah School Putri tanggal 1 November 1923. Tentang Diniyah School baca,
Peingatan 55 Tahun Diniyah Putri Pdang Panjang, ( Jakarta : Ghalia Indonesia, 1978), hlm.74
204Burhanuddin Daya, Gerakan Pembahruan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib,
Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1995), hlm.
205Zainuddin Mu'in St. Marajo, Sejarah Ringkas Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
Simabur Tanah Datar, Makalah Latihan Instruktur Keterampilan Menjahit Pakaian Wanita,
(Jakarta : 4 -5 Oktober 1991), hlm. 1 (tidak diterbitkan)

74
belajar mengajar dengan sistem Salaf, pembelajaran dengan metode halaqah dan
sorongan mengunakan literatur kitab kuning sebagai dasar untuk mentransfer
pokok-pokok ajaran Islam Ahlulul Sunnah Waljama’ah tetap dipertahkan.
Sebenarnya pembelajaran dengan sistem kelas telah dilaksanakan di pesantren
semenjak H.Muchtar Ya’cub mengelola pesantren ini. Perubahan ini terjadi
seiring dengan terjadinya pembaharuan pendidikan Islam di Minangkabau
Sumatera Barat. Dalam perkembangan selanjutnya mulai dibuka sistem klasikal
dengan model madrasah. Perubahan sistem ini bertujuan untuk mengikuti
perkembangan pendidikan yang ada di sekolah umum/ madrasah. Perubahan
metode belajar ini diiringi dengan semangat dan prinsip pembaharuan di Minang
Kabau Sumatera Barat.
Model madrasah yang dimaksud adalah madrasah sebagai kelayakan
satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal yang legitimate, atau baik
berafiliasi dengan Departemen Agama. Pengunaan model ini semata-mata
bertujuan untuk mengikuti perkembangan dunia yang menglobal. Dan diharapkan
siswa yang tamat dari Pesantren Thawalib ini tidak hanya diterima di Perguruan
Tinggi Agama (IAIN/STAIN), dan diharapkan dapat juga bersaing di perguruan
tinggi umum disamping dapat mengembangkan keterampilan sebagai wiraswasta
di tengah-tengah masyarakat kelak.
Asumsi bahwa sesungguhnya pendidikan pondok pesantren merupakan
pendidikan yang membekali santri dengan masalah ukhrawi dengan pengetahuan
agama, membentuk watak mandiri, percaya pada diri sendiri, dan penguasaan
pengetahuan umum menjadi dasar pemikiran dan pertimbangan pendiri pondok
pesantren Thawalib, sehingga Madrasah yang didirikan di dalam Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau ini berafiliasi dengan Departemen Agama
secara Legitimate.
Sebagai pondok pesantren yang milik yayasan, sumber dana untuk
pembangunan fisik pondok pesantren disamping berasal dari keluarga, juga
memperoleh dukungan dana dari donatur dan masyarakat, serta juga mendapat
bantuan dari pemerintah. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembangunannya
senantiasa melibatkan unsur keluarga dan unsur masyarakat. Begitu juga dalam

75
kegiatannya senantiasa melibatkan masyarakat sekitar untuk mengikuti
keagamaan di lingkungan pesantren, seperti madrasah, majlis ta’lim, maupun
pengajian rutin.

2. Perkembangan Pesantren Thawalib


Pada tahun 1928, Madrasah Thawalib Tanjung Limau ini mendapat
popularitet yang luar biasa dengan banjirnya pelajar yang mendaftarkan diri untuk
belajar di Thawalib khususnya daerah Tanah Datar bahkan ada yang berasal dari
Aceh, Tapanuli, Kurinci, Palembang, Bengkulu, Jambi, riau dan pekan baru.206
Para murid atau santri bukan hanya sekedar menimba ilmu di kelas saja
namun mereka juga menambahnya di surau bagi laki-laki atau di asrama bagi
perempuan. Dengan makin bertambahnya jumlah murid yang belajar di Thawalib,
dapat pula dibangun lokal lainnya sehingga mencapai 11 buah lokal dibiayai dari
swadaya masyarakat, hasil sawah sekolah, infak dan sedekah termasuk uang
pembangunan dari wali murid.
Demikian pula guru yang mengajar di Thawalib bukan hanya berasal dari
Tanjung Limau, tetapi ada yang dari daerah sekitarnya, dari Lima Kaum,
Sungayang, Padang, Malalo bahkan ada yang dari Kalimantan.207 Untuk menjaga
keseimbangan proses belajar mengajar, bagi guru diberikan bidang studi sesuai
dengan keahlian mereka masing-masing, disamping itu bagi murid yang
tingkatannya lebih tinggi juga diberikan amanah untuk mengajar dan
membimbing murid dibawah tingkatannya, bahkan setelah mereka menyelesaikan
pendidikannya di Thawalib ada yang langsung menjadi guru atau melanjutkan
pendidikan ke perguruan lainnya. Jenjang kelas di Pesantren Thawalib Tanjung
Limau pada awalnya sampai kelas tujuh dan pada awal tahun 70-an berganti
menjadi Thawalib enam tahun (semenjak perobahan SGAP dan SGAA menjadi
Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah)
Pada tahun 1943 diadakan perayaan milat ke-20 berdirinya Thawalib
Tanjung Limau, dengan mengundang ulama besar Minangkabau. Dalam acara
perayaan tersebut dibicarakan tentang kelancaran pendidikan dan pembangunan

206Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau, Ibid., hlm. 9


207Burhanuddin Daya, op. cit, hlm. 145

76
Madrasah Thawalib sehingga dapat dikumpulkan dana berupa wakaf, infak,
sedekah dan zakat dan pada waktu juga dapat membeli sawah yang
berdampingan dengan sekolah sekarang ini. Dibawah kepemimpinan Buya Haji
Mukhtar pendidikan di Thawalib tidak pernah terputus mencetak kader ulama
dan muballigh baik pada masa penjajahan Belada maupun pada masa penjajahan
Jepang.
Pada tanggal 17 Mei 1945 Haji Mukhtar Ya’qub berpulang ke
Rahmatullah, selanjutnya kepemimpinan Thawalib Tanjung Limau dilanjutkan
oleh Buya Haji Isma’il Rasyad. Dengan segala daya upaya Buya (sebutan sama
dengan Kyai di Jawa) Haji Isma’il Rasyad dan majlis guru serta bantuan
masyarakat, Madrasah Thawalib tetap berlangsung dengan baik dalam melintasi
masa-masa yang sangat berbahaya bagi kehidupan sebuah lembaga pendidikan
agama seperti agresi Belanda dan pergolakan PRRI yang sangat runcing.208
Pada tanggal 30 April 1967 Buya Haji Isma’il Rasyad juga dipanggil
kehadirat Allah SWT. selanjutnya Thawalib dikendalikan oleh Angku Imam
Ibrahim. Setelah ditambahnya 4 lokal gedung yang berhadapan dengan gedung
yang lama pada masa Buya Haji Isma’il Rasyad dan gedung yang lama itupun
dirombak dijadikan dua tingkat, pada masa Angku Imam Ibrahim ditambah pula
satu lokal baru. Pada tahun 1970 didirikan pula dua lokal gedung yang sejajar
dengan gedung yang lama.209
Dengan berkembangnya Pondok Pesamtren Thawalib Tanjung limau ini,
menambah perhatian masyarakat serta wali murid, orang tua untuk memperlancar
keberadaan lembaga ini. Termasuk membangun asrama sampai tingkat dua. Pada
tahun 1976 didirikanlah Yayasan Pembina Thawalib Tanjung limau, sebagai ketua
Umum Haji Moeslim Aboud Ma’ani, MA dengan notaries Asmawel Amin, SH.
Tujuan pendirian Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau adalah “untuk
membina dan meningkatkan Perguruan Thawalib sesuai dengan Ajaran al-Qur-an
dan al-Hadits dan berusaha meneruskan dan melanjutkan cita-cita luhur almarhum
Haji Mukhtar Ya’qub.
Beberapa tahun kemudian, karena kondisi kesehatan Angku Imam
208Yunus St.Mudo, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau 15 Januari 2009
209Yunus St.Mudo, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau 15 Januari 2009

77
Ibrahim menurun, maka pimpinan Thawalib dijalankan oleh Haji Alwi Yunus dan
beliau juga merupakan murid tertua dari almarhun Haji Mukhtar Ya’qub. Pada
tanggal 29 Juli 1988 Haji Alwi Yunus wafat. Untuk sementara waktu roda
pimpinan Pesantren Thawalib dipimpin oleh Zaini St. Marajo. Kemudian atas
permintaan Yayasan Pembina Thawalib kepemimpinan Thawalib dilanjutkan oleh
Putra Almarhum Haji mukhtar Ya’qub, yakni Al Hafiz Haji Fahmi Mukhtar, BA.
Pada tanggal 1 Januari 1989 Departemen Agama mengangkat beliau menjadi
kepala Madrasah Aliyah Thawalib Tanjung Limau. Pada tanggal 1 Juli 2000 Al
Hafiz Haji Fahmi Mukhtar, BA pensiun dari PNS (sebagai Kepala Madrasah
Aliyah Thawalib) dan juga mengajukan permohonan mundur sebagai pimpinan
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau kepada pengurus Yayasan Pembina
Thawalib.210
Untuk meneruskan kepemimpinan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung
Limau selanjutnya, atas kesepakatan pengurus Yayasan Pembina Thawalib
Tanjung Limau mengajukan permohonan kepada Kepala Departemen Agama
Kabupaten Tanah Datar untuk mengangkat Drs. Fahrizal sebagai Kepala
Madrasah Aliyah dan sekaligus menjabat sebagai pimpinan Pondok Pesantren ini.
Akhirnya permohonan tersebut dipenuhi oleh pemerintah dan mulai tanggal 1
November 2000 sesuai dengan SK pengangkatannya Drs. Fahrizal ditugaskan
oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Tanah Datar sebagai kepala
Madrasah Aliyah dan Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau
mengamanahkan kepemimpinan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau.
Dari paparan kondisi gambaran pondok Pesantren di atas, dapat penulis
simpulkan bahwa pesantren Thawalib Tanjung Limau telah mampu mencetak
generasi awal yang handal dan merubah sistem pendidikan seiring dengan
terjadinya perubahan pendidikan di Sumatera Barat khususnya di Kabupaten
Tanah Datar, dan penulis ingin melihat bagaimana peranan Thawalib Tanjung
Limau dalam pengembangan pendidikan Islam sehingga, pesantren ini kembali
pada kejayaan seperti tempo dulu.
C.Sarana dan Prasarana

210Dokumen Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau tahun 2000

78
Istilah sarana dan prasarana pendidikan biasa disebut dengan peralatan
pendidikan, yang meliputi hard ware (perangkat keras) dan soft ware (perangkat
lunak). Menurut Usman dan Asnawir, alat atau media adalah merupakan sesuatu
yang bersifat menyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan, dan
kemauan siswa sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada
dirinya.211
Dalam pengertian yang luas, peralatan pendidikan adalah semua yang
digunakan guru dan murid dalam proses pendidikan. Ini mencakup perangkat
keras dan perangkat lunak. Sedangkan yang dimaksud dengan alat pendidikan
Islam yaitu segala sesuatu yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan
Islam.212
Berdasarkankan hasil dokumentasi, Pondok pesantren Thawalib Tanjung
Limau menempati lahan seluas 16.000 m2 yang sebagian besar digunakan untuk
kegiatan pengajaran, diantaranya; Pertama: Bangunan Masjid 1 buah, Mesjid
dengan arsitektur yang indah dan berkubah, dan memiliki menara. Dihadapan
Mesjid, (di dalam pekarangan mesjid) terletak makan pendiri Pesantren, dan di
samping kiri merupakan tempat berwudhu dan memiliki Toilet (WC) yang bagi
menjadi dua bagian, yaitu untuk pria dan wanita. dan tempat berwudhu lainnya
ada di belakang mesjid. Di sebelah kanan mesjid terletak Asrama dan tempat
pendidikan taman kanak-kanak (Raudlatul Atfal) milik masyarakat, yang sebentar
lagi akan diserahkan sebagai wakaf kepada yayasan. Kedua: Rumah Kyai/Buya
1 buah, Rumah kyai awal terbuat dari bambu dan sekarang telah semi permanen
yang terletak di belakang Asrama putri,bangunan ini dilengkapi dengan dapur
umum untuk memasak bagi santri yang memondok. Ketiga: Asrama 1 kompleks
dihadapan Masjid arah ketimur itulah ditemukan lokasi dari kampus lama yang
sudah bertingkat dua. Bagian depannya seberang jalan sekarang sudah dibangun
gedung baru dan kantor Koperasi pondok pesantren. Disebelah utaranya kantor
majelis guru dan administrasi sekolah. Lalu di jejeran sebelah kantor ruangan

211M. Basyirudin dan Usman Asnawir, Media Pembelajaran, (Jakarta : DeliaCitra Utama,
2002), hlm. 11
212Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Perspektif Islami, (Bandung : Rosda Karya, 2007), hlm.
53

79
kelas dan dibelakang itu asrama putera. Keempat: Ruang belajar 10 lokal. Kelima:
Ruang Kepala Pondok 1 lokal, Keenam: Ruang majlis guru 1 lokal. Ketujuh:
Ruang perpustakaan 1 lokal.
Sebagai penunjang proses pendidikan formal bagi siswa disediakan
perpustakaan yang terletak di dekat kampus sehingga sangat memudahkan bagi
siswa untuk membaca dan meminjam buku. Sampai saat ini perpustakaan
Thawalib memiliki koleksi buku sebanyak 12.000 exemplar yang terdiri dari :
Buku Agama = 686 Judul = 5187 exp, buku Umum = 699 Judul = 6515 exp.
Buku-buku tersebut berasal dari bantuan Departemen Agama, bantuan Dermawan
dan alumni, bantuan Departemen Pendidikan Nasional, dibeli dari anggaran
Pesantren,dan berasal dari kenang-kenangan siswa kelas 3 Aliyah.
Disamping itu untuk mengembangkan bakat dan minat para santri,
pesantren juga menyediakan sarana dan prasarana lain, seperti; ruang TPUS
(Tempat Perbaikan Usaha Santri) 1 lokal, lapangan volly 1 unit, laboratarium
bahasa dan Komputer 1 lokal, dan koperasi Pesantren Thawalib 1 lokal213
Pada intinya, seluruh bagunan dan lahan yang ada di lingkungan pesantren
ini dimanfaatkan untuk menambah wawasan keterampilan para santri secara alami
guna bekal kehidupan mereka setelah terjun ke masyarakat. Disamping itu pihak
pimpinan pesantren juga melakukan kerja sama dengan tenaga ahli dalam bidang
keterampilan menjahit, bahasa Jepang dan computer.
Pondok pesantren Thawalin Tanjung Limau mengunakan media pendidikan
untuk menyalurkan pesan, pikiran, perasaan yang secara kreatif dapat
meningkatkan keterampilan siswa/santri sesuai dengan visi misinya. Media
pendidikan yang digunakan antara lain:
Pertama: Media visual, meliputi: gambar/photo, diagram chart, peta/globe,
poster dan papan tulis.
Kedua: Media audio,meliputi: radio, tv, tape recorder, abotarium bahasa,
OHP, dan Komputer.
Ketiga: Media cetak, meliputi: Al-Qur’an, kitab-kitab klasik, dan
majalah/bulten.
213Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau, Laporan Pondok Pesantren Thawalib
Tanjung Limau Tahun Ajaran 2006/2007, (Tanjung Limau : Tidak diterbitkan, 2006)

80
Hal penting yang telah dilakukan oleh pondok pesantren Thawalib
Tanjung Limau dalam pemakaian media pendidikan ialah adanya kemauan
mengunakan produk budaya asing semacam OHP (Over Head Proyector) dan
Komputer untuk menghasilkan pembelajaran yang lebih berkualitas.

D.Struktur Organisasi dan Kepengurusan Pesantren Thawalib


Pembahasan mengenai struktur organisasi Pesantren Thawalib Tanjung
Limau di bagi ke dalam empat bagian, yaitu: status kelembagaan, struktur
organisasi, gaya kepimpinan,dan susksesi kepimpinan.
Status kelembagaan pesantren Thawalib adalah sebagai milik institusi
Yayasan pembina Thawalib Tanjung Limau. Hal ini karena tanah yang
dipergunakan untuk bangunan pesantren adalah milik keluarga Ya’cub (ayah
pendiri pesantren Thawalib) dan H. Ismail. Sedangkan pimpinan pesantren itu
sendiri diangkat dan ditunjuk oleh keluarga yayasan. Pada perkembangan
selanjutnya pimpinan pesantren diangkat oleh Departemen Agama.
Pada dasarnya struktur organisasi pesantren dapat digolongkan menjadi
dua sayap sesuai dengan pembagian jenis nilai yang mendasarinya, yaitu nilai
agama dengan kebenaran absolut dan nilai sosial dengan kebenaran relatif. Sayap
pertama penjaga nilai kebenaran absolut, dan sayap kedua penjaga nilai kebenaran
relatif yang bertanggung jawab pada pengamalan nilai kebenaran absolut baik di
dalam pesantren maupun diluar pesantren, sedangkan sayap pertama bertanggung
jawab pada kebenaran atau kemurnian agama.
Sesuai dengan hirarkis pembagian jenis nilai, maka sayap-1 mempunyai
supremasi terhadap sayap-2, dan oleh karena itu sayap-2 tidak boleh bertentangan
dengan sayap-1, apalagi kalau sampai melakukan perbuatan-perbuatan yang
melanggar aqidah syari’ah agama dan sunnah. Sayap-1 merupakan sumber
informasi dan konfirmasi bagi sayap-2 dalam melakukan tugas sehari-hari. Ajaran
buya/kyai, ustaz dan kitab-kitab agama yang diajarkan di pesantren diyakini
sebagai memiliki kebenaran absolut oleh santri, dan oleh karena itu tidak perlu
dipertanyakan lagi kebenarannya, hanya perlu dipahami maksudnya.
Tabel. 1
STRUKTUR ORGANISASI

81
PONDOK PESANTREN THAWALIB TANJUNG LIMAU
No Jabatan Nama Keterangan
1 Pimpinan Pondok/Madrasah Buya Fahrizal Alwis
2 Syaikhul Pondok/Madrasah Buya H. Sofyan Muchtar
Buya Rifyal Ka’bah
3 Kepala Tingkat Aliyah Drs. Fahrizal Alwis
4 Kepala Tingkat Tsanawiyah Imran, S.Ag
5 Wakabid Kurikulum Kasnida, S.Ag
6 Wakabid Sarana Ustadz Turmizi

7 Wakabid Pendidikan Miftah Novi.T,S.Ag

8 Kepala Tata Usaha Asra, S.P


9 Bendahara H. Amiruddin

Sayap-1 dijaga oleh Buya/Kyai utama yaitu pimpinan pesantren dengan


dibantu oleh kyai dan ustadz yang telah dinilai kemampuan ilmu agamanya oleh
kyai utama. Para pembantu kyai utama ini adalah juga keluarga pesantren dan
para santri senior. Kemudian sayap-2 dijaga oleh kyai muda, ustadz dan santri
senior. Sayap-1 dipimpin oleh Buya Fahrizal Alwis sebagai pimpinan pesantren
sebagai kyai utama. Dalam menjalankan manajemen pesantren dibantu oleh
Ustadz Imran, S.Ag sedangkan sayap-2 dipimpin oleh Buya Sofyan Muchtar yang
dibantu oleh ustadz Miftah Novi T, S.Ag,214
Pembagian kerja antar unit kerja seringkali terjalin kebersamaan,
Misalnya, antaranya unit yang mengurusi pendidikan dan pengajaran dengan unit
yang mengurusi pengajian, kehumasan, kemasyarakatan, kesejahteraan santri, dan
sebagainya, seringkali mempunyai tugas yang sama. Seperti sama-sama
mempunyai program mengadakan pengajian, mengarahkan santri untuk kerja
bakhti membersihkan pesantren, memperbaiki jalan-jalan dalam kampus
pesantren, membersihkan kamar mandi, dan sebagainya. Namun tidak tampak
adanya pertentangan atau konplik di antara unit-unit kerja dimaksud, karena
semuanya berlandaskan pada tiga kunci tersebut (berkah, ikhlas, ibadah), sehingga
corak kerja dalam pesantren bersifat kekeluargaan dan lebih menekankan pada
pentingnya human oriented daripada target oriented.
Gaya kerja dalam struktur organisasi di Pesantren Thawalib Tanjung
214Struktur Organisasi Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau 2007

82
Limau umumnya masih merupakan garis lurus ke depan. Artinya, setiap unit kerja
bergantung pada atasan langsung. Keberhasilan kerja dalam struktur organisasi
pesantren secara kerja antar unit kerja bersifat co-acting bukan inter-acting, yaitu
sama dengan keberhasilan kerja suatu tim, di mana masing-masing unit kerja
bekerja sendiri-sendiri, kemudian hasilnya dapat dinikmati oleh seluruh tim.
Kemudian gaya kepemimpinan yang ditampilkan di Pesantren Thawalib
Tanjung Limau bersifat kolektif dengan menempatkan pimpinan pesantren
sebagai pimpinan tertinggi yang memiliki kedudukan dan kekuasan yang sangat
kuat dan mantap. Ciri-ciri gaya kepemimpinan yang ada di Pesantren Thawalib
Tanjung Limau di antaranya adalah paternalistik dan free rein leardership/laisser
faire, di mana pimpinan pesantren bersifat pasif, sebagai bapak yang memberikan
kesempatan kepada anak-anaknya untuk berkreasi, tetapi juga otoriter, yaitu
memberikan kata-kata final untuk memutuskan apakah karya anak buah yang
bersangkutan dapat diteruskan atau harus dihentikan.
Suksesi kepemimpinan di pesantren Thawalib Tanjung Limau awalnya
dilakukan dengan sistem musyawarah setelah meninggalnya pimpinan terdahulu.
Kemudian dengan berafiliasinya pesantren ini di bawah Departemen Agama,
maka susksesi kepemimpinannya langsung ditunjuk dan ditetapkan oleh
Departemen Agama Kabupaten Tanah Datar. Pimpinan ini tertuju untuk kepala
Madrasah Tsanawiyah dan kepala Madrasah Aliyah. Saat ini kepala Madrasah
Tsanawiyah dipimpin oleh Irman, S.Ag, sedangkan kepala Madrasah Aliyah
dipimpin oleh Drs. Fahrizal dan sekaligus bertindak sebagai pimpinan Pesantren.
Kemudian yang dimaksud dengan pengurus pesantren di sini adalah
beberapa warga pesantren yang statusnya sebagai tenaga yang terlibat langsung
dalam pelaksanaan pendidikan di Pesantren ini. Namun pada umumnya mereka
adalah juga kyai, ustadz/ustadzah dan juga santri senior, yang juga alumni dan
keluarga dari pemilik Pesantren Thawalib Tanjung Limau. Sehubungan dengan itu
maka keberadaan dan peran pengurus ini tidak hanya mengurus pesantren dalam
bidang manajerial, pembangunan fisik pesantren, dan hal-hal lain yang sifatnya
non edukatif saja, tetapi mereka juga ikut memberikan pelajaran agama, memberi
bimbingan kepada santri, bahkan memberikan pertimbangan kepada pimpinan

83
pesantren di dalam mengambil keputusan.
Di Pesantren Thawalib Tanjung Limau, seluruh Buya, Ustadz dan santri
senior yang mengasuh pesantren dan mendampingi pimpinan pesantren adalah
unsur pengurus yang memberi pertimbangan dalam menetapkan kebijakan
pengurus pembina pesantren. Di samping itu juga ada pengurus lain yang bertugas
mengurus hal-hal yang sifatnya teknis operasional dan tidak secara langsung
berkaitan dengan hal-hal yang bersifat pendidikan dan pengajaran, misalnya
pengurus yang mengurus gedung-gedung bangunan, pendanaan, hubungan dengan
instansi-instansi lain, baik pemerintah maupun non pemerintah, dan sebagainya.
Di samping itu juga ada wakil pondok yang dikelompokkan ke dalam Dewan
pendidikan yang bertugas menyelenggarakan proses kegiatan belajar mengajar.
Semua pengurus kedudukannya adalah membantu pimpinan pesantren dalam
memperlancar kegiatan belajar mengajar di pesantren tersebut.
Jadi dengan demikian, semua unsur pelaku yang secara organisatoris
mengurus dan bertangung jawab atas kemajuan pesantren, dari sejak kyai
utama/pimpinan pesantren yang merupakan pimpinan puncak sampai ke
pembantu yang mengurus hal-hal yang sifatnya teknis operasional selama
memiliki kewenangan memutuskan dan melaksanakan apa yang menjadi
tanggung jawabnya adalah pengurus pesantren.

E.Pengelolaan dan Pendanaan Pesantren Thawalib


Sebagaimana telah ditegaskan bahwa kyai/buya pengasuh dan pimpinan
pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah pimpinan tertinggi dan tokoh kunci
pesantren. Oleh karena itu, pada dasarnya mengenai masalah pengelolaan dan
pendanaan ada di tangan kyai dan keluarganya, tetapi secara teknis operasional
ditangani oleh unit-unit kerja dalam kelompok Sayap-2 yaitu para pengurus
pesantren.
Pembagian kerja dalam pengelolaan di Pesantren Thawalib Tanjung
Limau mengunakan sistem menajemen dan administrasi modren, dalam artian
sudah menggunakan sistem manajemen dan administrasi profesional. Sebab,
pembagian kerja dari unit-unit kerja pada umumnya sudah jelas dan para
administrator juga dianggap sudah mampu. Sistem dokumentasi atau sistem filling

84
sistem sudah teratur dan akurat. Oleh karena itu, dalam pengelolaan dana, sarana,
dan dokumen-dokumen berharga lainnya, hampir dipastikan tidak ada kebocoran-
kebocoran dalam arti korupsi.
Mengenai sumber dana kegiatan Pesantren Thawalib Tanjung Limau
ada dua jenis, yaitu dari sumbangan para santri berupa iuran bulanan, dan
sumbangan dari donatur atau masyarakat yang tidak mengikat, baik pribadi
maupun kelompok, yang biasanya berupa amal jariyah, wakaf, infak, shdaqah dan
sebagainya, atau melalui proyek-proyek kerja sama, dan bantuan pemerintah pusat
maupun daerah yang sifatnya insidentil.215
Disamping itu sumber pendanaan yang digunakan oleh pesantren, yaitu
hasil pertanian dari sawah abuan 216yang dimiliki oleh pesantren, dari hasil sawah
ini bisa beli peralatan kantor, membayar gaji guru,dan jika mencukupi digunakan
untuk dana cadangan untuk pembangunan lokal dan gedung lain yang dirasa
perlu.
Sekarang ini, pondok pesantren Thawalib telah memiliki Master Plan dan
prencanaan-perencanaan yang tepat dan mempunyai rencana induk
pengembangan pesantren, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang,
maka disini tampak jelas pengelolaan sumber dana di Pesantren Thawalib
Tanjung Limau ini dikelola oleh pimpinan yayasan dan pimpinan pondok.
Pada perkembangan berikutnya di Pesantren Thawalib Tanjung Limau
telah terjadi perubahan bahwa pihak pesantren menyadari pentingnya
perencanaan-perencanan yang akurat untuk mengembangkan dirinya di masa
mendatang. Seperti, mandata jumlah alumni, lahirnya organisasi atau ikatan-
ikatan santri di pesantren tersebut, memikirkan dan memproses pembelian media
dan material untuk perluasan pesantren, pembangunan gedung-gedung baru atau
aula yang dapat menampung sejumlah santri atau audience yang diinginkan, dan
sebagainya.
Salah satu problematika yang dirasakan oleh pesantren Thawalib Tanjung

215Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9


Januari 2009
216Abuan berarti hak milik yang diperoleh dari pemberian atau wakaf atau hibah untuk
dikelola dan hasilnya sepenuhnya menjadi hak yang mempunyai abuan itu. Seorang anak yang
sudah beranjak dewasa, biasanya sudah diberi abuan oleh orang tuanya.

85
Limau, diantaranya, masih kurangnya dukungan masyarakat terutama pemerintah
daerah baik secara materi maupun mentalitas, Sebab sebagai pusat pendidikan
dan sebagai lingkungan belajar, pesantren harus didukung oleh masyarakatnya,
disamping tuntutan zaman yang berkembang diera serba teknologi. Sehingga hal
ini akan menjadi pusat pengembangan pendidikan Islam dan tekhnologi yang
terpadu di Kabupaten Tanah Datar di masa-masa mendatang,

BAB IV
ANALISIS EMPIRIK PERANAN PONDOK PESANTREN THAWALIB
TANJUNG LIMAU DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
DI KABUPATEN TANAH DATAR SUMATERA BARAT

A. Latar Belakang Berdirinya, Tujuan, Visi dan Misi Pesantren Thawalib


Tanjung Limau

Di kabupaten Tanah Datar, tepatnya di Kecamatan Pariangan ada sebuah


lembaga pendidikan agama Islam yang dikenal dengan nama Pondok Pesantren

86
Thawalib Tanjung Limau. Pesantren ini didirikan dalam rangka untuk
memberikan bimbingan dan binaan keperibadian pada santri agar paham dengan
ajaran agama dan mencetak kader bangsa yang berakhlak mulia. Pondok
Pesantren ini berdiri dalam rangka menjawab tantangan dan kekurangan kader
ulama dan kader pimpinan masyarakat di Minang Kabau, yang dikenal dengan
“Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah."217
Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau didirikan oleh H. Mukhtar
Ya'cub, ia adalah seorang tokoh agama di kecamatan Pariangan dan merupakan
alumnus dari Surau Jembatan Besi, guru yang mengajar beliau adalah Haji Rasul
(inyiak Deer)di Padang Panjang. Perguruan itu tahun 1911 berganti nama menjadi
Sumatera Thawalib.218 Pondok ini didirikan atas dasar partisipasi dan persatuan
masyarakat desa Tanjung Limau. Pondok pesantren ini didirikan tahun 1923,
tetapi dengan nama Perguruan Thawalib Tanjung Limau, pada tahun 1972 terjadi
pergantian nama madrasah diganti menjadi pondok pesantren Thawalib Tanjung
Limau, setelah salah seorang gurunya mengikuti latihan pembinaan tentang
pondok pesantren di Kalapa 2 Jakarta. 219
Selama pondok pesantren ini berdiri dan menjalankan fungsinya sebagai
lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu agama sudah mengalami
perkembangan dan juga kemunduran. Pada tahun pertama berdiri pondok ini
cukup berperan besar dalam mencetak kader ulama yang berkualitas. Tetapi
setelah terjadi PRRI di Sumatera Barat, pondok pesantren ini mengalami
kemerosotan. Hal ini disebabkan banyaknya para ulama yang mengajar di
pesantren ini yang ditangkap oleh pemerintah. Murid-murid perguruan ini berasal
dari berbagai daerah, baik sekitar lingkungan Minang Kabau, maupun dari
luarnya, seperti Tapanuli, Lampung, Bengkulu, Jambi dan Riau. Mereka belajar
dan bertempat tingkal sebuah gedung bertingkat dua yang dibangun sendiri oleh

217Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah adalah Falsafah Hidup orang Minang
Kabau, dimana seluruh kehidupan masyarakat dilandasi dengan ajaran Islam. Fahrizal Alwis,
Pimpinan Pesantren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9 Februari 2009
218Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Kasus Sumatera Thawalib,
( Yogyakarta : Tia Wacana Yogya, 1995), cet. ke-2, hlm. 144
219Zainuddin Mu'in St. Marajo, Sejarah Ringkas Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
Simabur Tanah Datar, Makalah Latihan Instruktur Keterampilan Menjahit Pakaian Wanita,
(Jakarta : 4-5 Oktober 1991), (tidak diterbitkan), hlm. 10

87
Haji Muchtar.220
Dalam perjalanan sejarah, sejak Pondok Pesantren Thawalib ini
didirikan, telah terjadi silih berganti pemimpinnya, awalnya dipimpin oleh :H.
Mukhtar Yakub, H. Ismail Arsyad, Imam Ibrahim, Halwi Yunus Dt. Rajo Malano,
H. Zainuddin Mu’in St. Marajo, Al-Hafiz H. Fahmi Mukhtar Dt. Sinaro, BA,
Zamzami Pakiah Basa dan semenjak 1 November 2000 dipimpin oleh Drs.
Fahrizal Alwis Malin Sinaro yang langsung ditunjuk oleh Kepala Kantor
Departemen Agama Kabupaten Tanah Datar.221
Pondok Pesantren ini pernah mendapat perhatian khusus dari pemerintah
pusat terutama dari Departemen Agama yang ikut membantu workshop/labor
serta mensubsidi kitab-kitab standar/ kuning, Depnaker mengadakan latihan
kostum, las, perbengkelan motor, perkoperasian serta bordir. Departemen
perindustrian dan perdagangan membantu mesin jahit/ mesin bordir. Departemen
pertanian membantu peternakan ayam, sapi, perikanan dan pelatihan pertanian
lainnya.

Secara umum, tujuan didirikannya Pesantren Thawalib adalah


menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang
beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, serta terwujudnya ulama intelektual,
intelektual ulama, berakhlak mulia, terampil dan bertanggung jawab serta
berguna bagi masyarakat.222
Pimpinan pesantren memandang bahwa kunci sukses dalam hidup
bersama adalah moral agama, yang dalam hal ini adalah perilaku keagamaan yang
memandang semua kegiatan kehidupan sehari-hari sebagai ibadah kepada Allah.
Oleh karena itu, pesantren Thawalib sangat menekankan pentingnya tegaknya
Islam di tengah-tengah kehidupan sebagai sumber utama moral atau akhlak mulia,
dan akhlak ini merupakan kunci rahasia keberhasilan hidup bermasyarakat.
Dengan kata lain, orientasi tujuan pendidikan di pesantren Thawalib adalah agar

220Burhanuddin Daya, Ibid., hlm. 145


221Dokumen Pondok Pesantren Thawallib Tanjung Limau tahun 2001
222Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009

88
anak didik beriman, berkualitas, berguna bagi diri sendiri dan untuk orang banyak.
Adapun Tujuan Pendidikan dari Pondok Pesantren Thawalib adalah :
mempersiapkan kader ulama, mubaligh, imam, khatib, cendikiawan, (2)
mempersiapkan pemimpin masyarakat, (3) mempersiapkan kader muda yang
berjiwa wiraswasta/ mandiri, (4) mempersiapkan kader muda yang siap membela
agama, masyarakat, dan Negara, (5) mempersiapkan kemahiran berbahasa asing
(Arab, Inggris, dan Jepang). 223
Dari tujuan itulah, maka lahir visi misi pensantren. Visi dan Misi
pesantren Thawalib Tanjung Limau ini sudah dirumuskan pada Semiloka
Pesantren/ Perguruan Islam Bersejarah se-Sumatera Barat di Bukittinggi pada
Tahun 2003 (telah tertera dalam buku Tata Tertib Santri). Sebagai lembaga
pendidikan Islam, maka pesantren Thawalib Tanjung Limau memiliki visi :
“Istiqomah dalam Aqidah, Makmur dalam Syari'ah, Uswatun Hasanah dalam
Akhlaq”.224
Sementara misi yang diemban oleh Pondok Pesantren Thawalib Tanjung
Limau tersebut adalah sebagai berikut: (1) mempersiapkan Kader Ulama,
Muballigh, Imam, Khatib, Cendikiawan Muslim, (2) mempersiapkan Kader
Pemimpin masyarakat, (3) mempersiapkan kader muda yang siap membela
agama, masyarkat dan negara, (4) mempersiapkan Kader Muda yang berjiwa
wiraswasta/mandiri, (5) mempersiapkan kemahiran berbahasa (Indonesia, Arab,
Inggris dan Jepang), (6) menghasilkan lulusan yang mampu memahami kitab
standar (MKS) dan pengetahuan umum serta mampu bersaing untuk mendapatkan
berbagai kesempatan pendidikan selanjutnya, (7) menghasilkan lulusan yang
memahami dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari , Islam sebagai aqidah
dan syari'ah, serta sebagai orang Minangkabau yang tidak terlepas dari falsafah
"Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah".225

Sebagai lembaga pendidikan Islam, Pesantren Thawalib ini juga memiliki

223Supriadi , Guru Pesantren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 29 Januari


2009
224Fahrizal Alwis, Program Pengembangan Pembelajaran dan Pedoman Penyelenggaraan
kaderisasi Ulama Pondok Pesantren, Makalah disampaikan pada Semiloka Pesantren bersejarah
se-Sumatera Barat pada tahun 2003
225Dokumen Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Tahun 2003

89
Masjid sebagai lembaga penyiaran agama. Masjid Pesantren juga berfungsi
sebagai masjid umum, yaitu sebagai tempat belajar agama dan ibadah bagi
masyarakat umum. Masjid Pesantren sering dipakai untuk menyelenggarakan
majlis ta’lim (pengajian), diskusi-diskusi keagamaan, seminar dan sebagainya,
baik oleh masyarakat umum ataupun para santri. Dan tak kalah penting, bahwa
Masid ini juga digunakan sebagai laboratorium pendidikan Dai-Daiyah bagi calon
Mubaligh yang akan diturukan pada setiap bulan ramadhan ke berbagai daerah
yang ada di Kabupaten Tanah Datar.

B.Kurikulum Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau


Pendidikan adalah suatu proses budaya untuk meningkatkan harkat dan
martabat manusia. Pendidikan adalah proses sosialisasi melalui interaksi insani
menuju manusia yang berbudaya. Dalam konteks itulah anak didik dihadapkan
dengan budaya manusia, dibina dan dikembangkan sesuai dengan nilai
budayanya. Serta dipupuk kemampuan dirinya menjadi manusia berbudaya,
sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa manusia.
Pendidikan sebagai proses budaya adalah upaya membina dan mengembangkan
cipta, karsa dan rasanya tersebut.
Kurikulum yang dijadikan sebagai alat dan pedoman dalam proses
pendidikan di pesantren harus relevan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
Oleh karena itu, dalam konteks ini pesantren bukan hanya berfungsi untuk
mewariskan kebudayaan Islam dan nilai-nilai moral pada suatu masyarakat, akan
tetapi pesantren juga berfungsi untuk mempersiapkan anak didik dalam
kehidupannya di masyarakat nanti. Dengan demikian, kurikulum bukan hanya
berisi berbagai nilai suatu masyarakat tetapi juga bermuatan segala sesuatu yang
dibutuhkan masyarakatnya. Dengan penentuan azas sosiologis-teknologis kita
perlu mengkaji berbagai hal yang harus dipertimbangkan dalam menyusun dan
mengembangkan suatu kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan
masyarakat seperti :
1. Kekuatan Manusia yang Dapat
Mempengaruhi Kurikulum

90
Dalam kehidupan sosial yang semakin kompleks tersebut, maka muncul
pula berbagai kekuatan kelompok yang dapat memberikan tekanan terhadap
penyelenggaraan dan praktik pendidikan termasuk di dalamnya tekanan-tekanan
dalam proses pengembangan isi kurikulum sebagai alat dan pedoman
penyelenggaraan pendidikan. Kesulitan yang dihadapi oleh para pengembang
kurikulum adalah ketika suatu kelompok sosial itu memberikan masukan dan
tuntutan yang berbeda sesuai dengan kepentingan kelompoknya seperti tuntutan
golongan agama, politik, militer, industri, dan lain sebagainya. Bukan hanya itu,
pertentangan-pertentangan juga terjadi sehubungan dengan cara pandang yang
berbeda tentang makna pendidikan setiap kelompok. Cara pandang yang semacam
ini tentu saja memunculkan keberhasilan yang berbeda pula, yang pada gilirannya
tolak ukur keberhasilan itu tidak pernah memuaskan semua golongan sosial.
2.Kemajuan IPTEK Sebagai Bahan
Pertimbangan Penyusunan Kurikulum
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa umat manusia
pada masa yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, seperti terciptanya
produk-produk teknologi, semacam teknologi transportasi, bukan hanya
menyebabkan manusia mampu menjelajahi dunia tetapi juga manusia mampu
menembus ruang angkasa, namun dari hasil semua itu ada juga terdapat efek
negatif yang justru sangat mencemaskan manusia. Sebagai contoh diproduksinya
alat transportasi yang menyebabkan kemacetan dan kecelakaan lalu lintas yang
merenggut nyawa manusia. Pembangunan industri yang menyebabkan terjadinya
urbanisasi dengan berbagai permasalahan termasuk munculnya kejahatan dan
kriminalitas.226
Komunikasi dan informasi yang berakibat lunturnya nilai-nilai budaya
yang sangat berpengaruh terhadap eksistensi kelompok masyarakat. Akibat dari
permasalahan baru menyebabkan kompleksitas tugas-tugas yang diemban oleh
pesantren atau sekolah. Tugas pesantren semakin berat dan kadang tidak mampu
lagi melaksanakan tuntutan masyarakat. Sesuai dengan kemajuan tersebut maka
kurikulum yang berfungsi sebagai alat pendidkan harus terus menerus

226Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi


Institusi, (Jakarta : PT. Erlangga, t.th), hlm. 108-109

91
diperbaharui sesuai dengan perubahan yang terjadi baik isi maupun prosesnya,
dan guru/ustadz harus memahami perubahan-perubahan tersebut agar isi dan
strategi yang dikembangkan tidak menjadi usang.227
Ada dua hal, yang perlu diperhatikan dan diantisipasi dalam
mengembangkan kurikulum di pondok pesantren, yaitu Pertama, perubahan Pola
Hidup, Perubahan pola hidup itu dikatakan sebagai perobahan pola hidup yang
bersifat agraris tradisional menuju pola kehidupan industri modern. Pola hidup
masyarakat industri mempunyai karakteristik yang berbeda dengan pola hidup
agraris, perbedaan tersebut dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu pola kerja, pola
hidup yang tergantung pada hasil teknologi, dan pola hidup dalam sistem
perekonomian baru. Kedua perubahan Kehidupan Sosial Politik, arus globalisasi
bergerak sangat cepat membawa perubahan kehidupan sosial politik keseluruh
penjuru dunia. Di Indonesia ditandai dengan munculnya gerakan reformasi yang
menjatuhkan rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun, diakui atau tidak
pada waktu rezim orde baru pendidikan dijadikan sebagai alat politik. Yang
mengakibatkan kurikulum yang berlaku pun kurang berperan sebagai alat
pembebasan dan alat pencerahan, akan tetapi digunakan untuk membentuk
manusia yang memiliki pola pikir yang seragam, manusia yang tunduk dan patuh
pada kekuasaan.228
Dengan munculnya reformasi semua harus berubah, pendidikan harus
diarahkan untuk menciptakan manusia yang kritis dan demokratis. Kurikulum
pendidikan harus mampu membebaskan manusia dari keterbelakangan. Produk
hukum yang dapat digunakan untuk perubahan jiwa dan strategi pendidikan di
Indonesia adalah dengan dikeluarkan UU No 22 dan 25 Tahun 1999 tentang
Otonomi Daerah dan Perimbangan Pembagian Keuangan. 229
Berdasarkan wawancara penulis dengan pimpinan ada lima hal yang
harus dilakukan oleh para pengembang kurikulum, yaitu :
1)mempelajari dan memahami kebutuhan masyarakat seperti

227Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau !5


Februari 2009
228Sulthon Masyhud dan Moh. Khusnurdilo, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta : Diva
Pustaka, 2003), cet. ke-1, hlm. 73
229Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan, (Jember : Muria Offset, 1985), cet. ke-4, hlm. 47

92
yang dirumuskan dalam UU, Keputusan Pemerintah,
peraturan Daerah dan lain sebagainya, (2) menganalisis
budaya masyarakat tempat sekolah berada, (3) menganalisis
kekuatan serta potensi daerah, (4) menganalisis syarat dan
tuntutan tenaga kerja, (5) menginterpretasi kebutuhan
individu dalam kerangka kepentingan masyarakat. 230
Atas dasar inovasi pendidikan sebagaimana diuraikan di atas, perlu
dilakukan pengembangan kurikulum. Pengembangan kurikulum pesantren pada
dasarnya tidak dapat dilepaskan dari visi pembangunan nasional yang berupaya
menyelamatkan dan memperbaiki kehidupan nasional yang tertera dalam Garis-
garis Besar Haluan Negara. Oleh karena itu kurikulum yang dipakai adalah
perpaduaan kurikulum Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau dengan
kurikulum Depag dan Diknas, dalam program pengajaran merujuk kepada
program inti MTsN dan MAN yang dimodifikasi dengan program pengajaran
Pontren Thawalib sendiri.
Mengingat kompleksitas masalah yang dihadapi pesantren, maka
pengembangan kurikulum pesantren dapat mengunakan strategi-strategi yang
tidak merusak ciri khas pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam yang
pertama kali berdiri di Indonesia khususnya di Kabupaten Tanah Datar. Strategi
yang patut dipertimbangkan adalah sebagai lembaga pendidikan non formal dan
formal, pengembangan kurikulum pesantren hendaknya tetap berada dalam
kerangka sistem pendidikan nasional.
Kurikulum yang dipakai di pesantren Thawalib Tanjung Limau dibagi
kepada dua bentuk, yaitu :
Intra
11 Kurikuler
Kurikulum yang dijalankan saat ini adalah perpaduan kurikulum identitas
(khas MST) dengan kurikulum yang ada di Departemen Agama. Kurikulum
dirancang sedemikian rupa sehingga berdaya guna dan mudah dicerna. Pada tahun
pertama (Kelas I) ditekankan penguasaan Bahasa Arab dan pembinaan Ibadah,
Bahasa Arab diajarkan 12 jam dalam seminggu, dengan arti kata belajar 2 jam
pelajaran setiap hari dengan demikian pada kelas II seluruh pelajaran Agama

230Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawanca Mendalam, Tanjung Limau, 9


Februari 2009

93
diajarkan dengan bahasa pengatar Bahasa Arab karena Bahasa Arab sudah
menjadi bahasa keseharian bagi para siswa. Sedangkan Bahasa Inggris di
programkan di kelas II dengan porsi yang sama dengan Bahasa Arab di kelas I
sehingga pada kelas III para siswa telah dapat menguasai bahasa Arab dan Inggris
sekaligus.
Extra
11 Kurikuler
Disamping mengikuti kegiatan belajar formal dipagi hari para siswa
disibukkan dengan kegiatan extra pada sore hari, paket-paket tambahan belajar
dan pembinaan keterampilan disediakan sesuai dengan bakat dan kemauan siswa.
Paket tambahan tersebut terdiri dari :
a.Paket yang mesti diikuti siswa yaitu : (1) muhadharah
untuk tingkat Tsanawiyah, (2) muzakarah untuk tingkat
Aliyah, (3) tutorial pendalaman kitab (Ushul Fiqh, Ilmu
hadits, Qawaid, dll) untuk tingkat Aliyah, (4) Komputer.
b.Paket pilihan siswa berbakat, yaitu : (1) bahasa Inggris
Intensif, (2) bahasa Arab Intensif, (3) bahasa Jepang, (4)
hafizh al-Quran, (5) menjahit dan border, (6) keputrian
( Masak-memasak, merangkai bunga ), (7) seni bela diri
pencak silat, dan (8) pramuka.
Mencermati perkembangan zaman, ada harapan bahwa pengembangan
kurikulum pesantren sebagai bagian dari peningkatan mutu pendidikan nasional
harus dilakukan secara komprehensif, cermat dan menyeluruh, terutama berkaitan
dengan kualitas pendidikan, serta relevansinya dengan kebutuhan masyarakat
sekitarnya dan dunia kerja.
Atas dasar itu, untuk pengembangan pendidikan dalam proses
pembelajaran Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau di dalam kelas
menggunakan bahasa pengantar seperti (a) bahasa Indonesia untuk mata pelajaran
yang menggunakan bahasa Indonesia, (b) bahasa Arab untuk segala mata
pelajaran yang berbahasa Arab, (c) bahasa Inggris untuk mata pelajaran bahasa
Inggris, (d) bahasa Jepang untuk mata pelajaran bahasa Jepang.231 Dengan

231Dokumen Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau tahun 2000

94
pembiasaan mengunakan bahasa asing ini, sehingga akan tercipta komunikasi
secara menyeluruh dengan istilah “hari-hari berbahasa” dikalangan para santri di
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau.
Kemudian, buku sumber yang dipakai dalam pelaksanaan kurikulum di
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau ini adalah buku-buku teks yang
diterbitkan oleh Departemen Agama dan Dinas Pendidikan, serta buku teks asli
berbahasa Arab (kitab standar).
Di antara kitab-kitab standar yang dipakai di Pondok Pesantren Thawalib
Tanjung Limau yang khusus diperuntukkan bagi santri yang mengambil jurusan
agama atau yang memondok, antara lain :

a. Qur-an / Tafsir / Ilmu Tafsir


Tafsir Jalâlain, tafsir Al-Marâghi, tafsir Al-Manâr, tafsir Ãyatul al-
Ahkâm, al -Asas Fit al-Tafsir, Shofwatu al-Tafsir, The Holly Quran,
tafsir Ibn Katsir, tafsir Fi Zilalil Quran.
b. Hadits/Ilmu Hadits
Mathan Arbaîn dan Syarahnya, Bulughul Al-Maram, Subûlussalãm,
Fathu al-Bãri, Jamîu Bayãn, Jamîu al-Shogîr, Musthalâhu al-Hadîts,
Shohih al-Bukhãri, Shohih al-Muslim, Nailu al-Authãr, Dalailu al-
Fãlihĩn, Riyãdhu al-Shŏlihĩn.
c. Fiqh / Ushul Fiqh
Fiqh Wadĩ’ah, Fiqh Al-Sunnah, Fathul Al-Qorĩb, Matan Taqrĩb,
Mu'inul Mubĩn, Fathu al- Mu'ĩn, Bidãyah Al-Mujtahĩd, Kifãyatul al-
Akhyãr, al- Muhazzab, al- Fiqih al- Mazhab al - Arba'an, al-Sulam, al-
Bayãn, Ushul al-Fiqh, Mabãdi al-Awaliyah.

d. Bahasa Arab / Qawaid / Nahu / Sharaf


Matan al-AJurmiyah, Matan al-Bina, al –Khailani, An-Nahwu al-
Wãdhĩh, Qawãidu al- Lughah, Jami'u al-Durûs, Balaghatu al-Wadiah,
Matan al-Fiyah, Jauhar al-Kalam wa al- Maknûn, Sabĩlu al-Sarf,

95
Sabilu al-Nahu, Tamrĩnu al-Lughah, Tãrikhu al-Adab, al Khat al-
'Arabi.

e.Aqidah Akhlak / Tauhid Tasawuf


Makārima al-Akhlāq, Tahjĩbu al-Akhlāq, al-Akhlāq Li al- Banîn,
Washāya al- Āba Li al- Abnā, Ihyā Ulûmuddĩn, al-Tauhĩd, Sirah
Nabawiyah. 232

C.Proses Pelaksanaan Pendidikan Islam Pondok Pesantren Thawalib


Tanjung Limau
Dalam pelaksanaan pendidikan tentumya memerlukan beberapa unsur
yang saling berkaitan agar tujuan yang telah ditetapkan dapat diwujudkan. Dilihat
dari sistem pelaksanaan kegiatannya, di pondok pesantren terdapat unsur utama
sebagai penyelenggara kegiatan dan beberapa unsur penunjang sebagai unsur
pendukung. Adapun unsur-unsur yang terkait dalam proses pelaksanaan
pendidikan Islam di pesantren Thawalib Tanjung Limau ini adalah :
1.Kyai ( sebutan di Minang Kabau adalah Buya)

Kyai dalam sistem pendidikan dan pembelajaran memiliki teknis dalam


ilmu agama Islam dan memiliki perhatian tehadap keulamaan dengan gaya
kepeimpinan yang khas. Buya Fahrizal Alwis, misalnya selain sebagai kepala
pada Madrasah Aliyah, juga aktif mengajar kitab kuning dan bahasa Asing pada
malam hari bagi santri yang memondok, kecuali hari Sabtu dan Minggu, karena
beliau harus pulang kampung untuk menjengguk anak dan istri.
Pimpinan Pesantren Thawalib bertindak sebagai pengasuh dan sekaligus
sebagai guru utama di pesantren tersebut. Dalam menjalankan tugasnya sebagai
pengajar di pesantren, pimpinan dibantu oleh buya atau kyai, ustadz dan santri
senior yang lain. Saat ini yang menjabat sebagai pimpinan pesantren adalah
alumni dari Pesantren Thawalib sendiri, yaitu Buya Drs. Fahrizal Alwis yang
berasal luar kabupaten Tanah Datar, yakni dari Kota Madya Padang Panjang.
Pimpinan Pesantren Thawalib berkedudukan sebagai seorang pegawai

232Tim Penyusun, Seri Monografi Pondok Pesantren dan lingkungan Hidup, (Jakarta :
Proyek Pembinaan dan Bantuan Kepada Pondok Pesantren Departemen Agama RI, 1983), hlm.
112-114. Lihat Juga Arsip Program Pengajaran Kitab Kuning Pondok Pesantren Thawalib tahun
1960

96
negeri sipil, dan kini jabatannya adalah kepala Madrasah Aliyah pada pesantren
ini, sedangkan kepala Madrasah Tsanawiyah dijabat oleh Ustadz Imran, S.Ag.
Karirnya di awali sebagai Mubaligh biasa di kabupaten Tanah, dan kemudian
diangkat sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan Departemen Agama
Kabupaten Tanah Datar sebagai tenaga penyuluh di kecamatan pariangan.
Kemudian karena perhatiannya terhadap lembaga pendidikan Islam, beliau
diperbantukan sebagai tenaga pengajar di pesantren Thawalib ini sebagai guru
bidang studi Tafsir, dan akhirnya Kepala kantor Departemen Agama kabupaten
Tanah Datar mengangkat buya sebagai Kepala Madrasah Aliyah di pesantren
Thawalib pada tanggal 1 November 2000. Dan atas permintaan masyarakat
setempat serta hasil musyawarah para Alumni buya diangkat sebagai pimpinan
Pondok pesantren Thawalib tanjung Limau hingga sekarang.
Kemudian di lingkungan organisasi masyarakat, pimpinan Pesantren juga
menjabat sebagai ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Pariangan dan
ketua Ikatan Alumni Thawalib. Disamping itu juga aktif sebagai ketua Bidang
pendidikan dan penyiaran agama pada Badan Kontak Majlis Ta’lim (BKMT)
Kabupaten Tanah Datar.
Pendidikan yang ditempuh oleh pimpinan Pesantren Thawalib adalah
pendidikan Pesantren dan pendidikan formal. Pendidikan Pesantren yang pernah
ditempuh adalah Pesantren Thawallib Tanjung Limau selama 3 (tiga) tahun.
Kemudian melanjutkan ke Fakultas Adab jurusan Tafsir Hadits Sarjana Muda dan
Sarjana Penuh pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang.
Menurut pimpinan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau, manusia
pada dasarnya mencintai yang ma’ruf (kebaikan) dan membenci yang mungkar
(kejahatan), tetapi dalam apliksinya manusia sering melakukan yang jahat
daripada yang baik. Hal ini disebabkan manusia mempunyai kecenderungan
mencintai dunia.
Oleh karena itu, untuk memperbaiki sikap dan perilakunya, anak didik
tidak perlu lagi didorong untuk mencintai dunia, karena mereka tidak akan
melupakan dunia. Sebaliknya, mereka perlu didorong untuk mencintai kehidupan

97
akhirat, karena kehidupan akhirat adalah kehidupan yang kekal dan abadi. Selain
itu, mendidik mereka untuk mencintai kehidupan akhirat lebih sulit, daripada
mendidik untuk kehidupan duniawi, karena kehidupan akhirat tersebut sifatnya
abstrak dan tidak langsung berhubungan dengan kebutuhan dan kesenangan
sehari-hari. Oleh karena itu metodologi pendidikan dan pengajaran di Pesantren
tidak cukup dengan penalaran saja, tetapi juga memerlukan metode doktrin,
hafalan, keteladanan, dan kepemimpinan kharismatik sebagai sumber wibawa.
Bagi pesantren Thawalib, dalam hidup ini yang ada hanya kewajiban,
bukan hak. Hak adalah akibat yang diperoleh karena melaksanakan kewajiban.
Sehubungan dengan itu, maka dalam hal kewajiban orang harus mendahulukan
tugasnya sebelum orang lain, tetapi dalam hak orang harus mendahulukan
kepentingan orang lain sebelum dirinya sendiri.233
Dengan kemajuan pembangunan, kemajuan ilmu dan tekhnologi, dan
interaksi yang semakin intensif dengan sistem nilai di luar pesantren, maka
pimpinan pesantren dan para gurunya mengalami tantangan yang cukup serius di
dalam menyelenggarakan kependidikan.
Buya Fahrizal Alwis sebagai pimpinan pondok pesantren Thawalib,
mengajarkan kitab kuning, dengan metode sorongan dan bandongan. Pengajian
dengan metode sorongan dilaksanakan pada setiap selesai sholat magrib sampai
jam 19.30 WIB dan selesai sholat subuh sampai jam 06.00 WIB, sementara
pembelajaran mata pelajaran lain tetap dilaksanakan dengan sistem klasikal pada
jam-jam yang telah ditentukan dan terjadwal.
Sebagai seorang pegawai negeri sipil, buya Fahrizal Alwis tetap
menerapkan sistem kepimpinannya dengan mengunakan open system, sehingga
manajemen bersifat terbuka, yaitu dengan tetap melaksanakan aturan-aturan dari
pemerintah disamping melaksanakan aturan interen kepesantrenan, yaitu tradisi
kepemimpinan otokrasi dengan tetap memberi peluang untuk berhubungan
dengan dunia luar yang sarat dengan kemajuan (development) yang dapat
mendinamisasikan lembaganya.234

233Fahrizal Awis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9


Februari 2009
234Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9

98
2.Ustadz
Ustadz atau guru dalam sistem pembelajaran di Pondok Pesantren
Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat menjadi motor
dalam kerangka melaksanakan misi pondok pesantren. Kyai atau Buya
memerintahkan kepada para ustadz agar berkonsentrasi mengajarkan ilmu agama
Islam pada madrasah Swasta Thawalib. Semua ustadz yang terdaftar di pesantren
ini mendapat tugas dari kyai selaku pimpinan, dan pemberian tugas ini merupakan
sebuah kepercayaan dan sekaligus sebagai penghargaan dari pimpinan.
Kepercayaan ini dipandang mereka sebagai amanah untuk mengamalkan dan
mengajarkan ilmu sehingga harus dilakasanakan dengan penuh keikhlasan.
Jumlah guru yang mengajar di Pondok Pesantren Thawalib untuk tahun
ajaran 2007/2008 ini sebanyak 35 orang. Dan jumlah tenaga administrasi atau
pegawai Tata Usaha sebanyak 7 orang. Sementara jumlah ustadz/ustadzah yang
membantu Buya/Kyai dalam pembelajaran kitab kuning dan penguasaan bahasa
Asing bagi santri yang memondok sebanyak 8 orang, yaitu: Ustadz Miftah
Novi.T, S.Ag, Ustadz Imran, S.Ag, Ustadzah Yulbetriza, S.Ag, Ustadzah Wilda
Isnaini, S.S, Ustadzah Kasnida, S.Ag, Ustadz Muhammad Taufiq, S.Pd.I,
Ustadzah Welni Fatma, S.Pd.I dan Yonnedi, S.Ag. Ketika ditanya tentang
motivasi mengajar di Pondok Pesantren Thawalib, mereka mengatakan untuk
mengamakan ilmu, untuk berkhidmat pada buya/kyai di pesantren, dan untuk
mengamalkan ilmu serta untuk mencari nafkah dengan konsep “mengabdi dengan
mengutamakan semangat keislaman”, jawaban tersebut menunjukan bahwa
motivasi para ustadz yang mengajar di pesantren ini semata-mata untuk
mengamalkan ilmu, berkhidmat pada buya/kyai dan pesantren, serta menjunjung
tinggi nilai-nilai dakwah menuju Pendidikan Islami.235
Proses belajar mengajar di pesantren berlangsung mulai jam 07.30 WIB
sampai dengan jam 13.15 WIB untuk PBM Madrasah Aliyah dan Madrasah

Februari 2009
235Dokumen Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau tahun 2007

99
Tsanawiyah diselingi istirahat jam 12.30 untuk melaksanakan sholat Zuhur
berjamaah. Sedangkan pembelajaran dan kegiatan bagi Santri pondok pesantren
Thawalib seperti yang terlihat pada tabel berikut ini:

Tabel 2.236
Jadwal Kegiatan Santri Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat

a. Kegiatan Harian

NO JAM KEGIATAN

1 04.40 WIB Bangun Tidur


2 04.50 WIB Sholat Shubuh Berjama’ah
3 05.15 WIB Muhadatsah/ Lari Pagi/ Extra + Kosakata Harian
4 06.00 WIB Olah Raga + MCK+ Sarapan Pagi
5 07.15 WIB Apel Pagi + Absensi
6 07.30 WIB Masuk Kelas
7 12.40 WIB Sholat Dzuhur + Makan Siang
8 13.15 WIB Pelajaran Formal Klasikal Berakhir
9 14.00 WIB Istirahat Siang
10 15.00 WIB Persiapan Sholat Ashar + Percakapan Bahasa Asing
11 15.45 WIB Sholat Ashar Berjama’ah + Pidato Bahasa Asing
12 16.00 WIB Belajar Bahasa Asing dengan Guru
13 16.30 WIB Olah Raga/ Extra/Pencak Silat/ Kesenian
/Bordir/Jahit/ dll
14 18.25 WIB MCK
15 19.00 WIB Sholat Magrib + Tahfidz Al-Qur’an + Tafsir
16 19.35 WIB Makan Malam
17 20.00 WIB Sholat Isya + Belajar Malam/ Muraja’ah al-Durus/
Baca Kitab
18 21.15 WIB Sholat Hajat
19 21.30 WIB Lanjutan Belajar bersama Ustadz
20 22.30 WIB Istirahat Malam

b.Kegiatan Mingguan

236Fahrizal Alwis, Program Pengembangan Pembelajaran dan Pedoman Penyelenggaraan


Kaderisasi Ulama Ponpes Thawalib Tanjung Limau, (Makalah disampaikan dalam Lokakarya
Regional Tingkat Pesantren dan Guru-guru Pesantren Penyelenggara Pondok Pesantren Thawalib
Thawalib Tanjung Limau Simabur Tanah Datar), tt., hlm. 19-20

100
No. Jenis Kegiatan Waktu
1 Muhadatsah Senin pagi
2 Upacara bahasa resmi Senin pagi
3 Pelajaran bahasa Selasa pagi
4 Pionering pramuka Selasa sore
5 Pramuka Rabu siang
6 Latihan bela diri Kamis Sore
7 Kursus bahasa/kesenian Jum’at Sore
8 Munakosah (aliyah) Sabtu malam
9 Muhadloroh kelas (tsanawiyah) Sabtu malam
10 Muhadloroh kelas Sabtu siang
11 Muhadatsah Minggu pagi
12 Lari pagi Minggu pagi
13 Tandziful’am Minggu pagi
14 Keterampilan santri/ Bersih-bersih / Hari Minggu
15 /istirahat Sekali dalam
Muhadloroh’am sebulan

c. Kegiatan Tahunan
Pekan Olah Raga & Seni, M T Q Antar Kelas, Speech Contest In Formal
Language, Demonstrasi Bahasa, Pergantian Pengurus, Panggung Gembira
Kelas Akhir, Micro- Teaching Kelas Akhir, Economic Study Tour for Class
Six, Acara Perpisahan (wisuda)

Dalam pelaksanaan kegiatan di atas, peran ustadz atau guru sangat


dibutuhkan. Kompetensi ustadz untuk mengajarkan bidang-bidang ilmu agama
Islam ditentukan oleh buya/kyai, karena buya/kyai sendiri yang mempunyai
pengetahuan tentang kemampuan masing-masing ustadz, hal ini telah diketahui
oleh buya pada saat awal guru tersebut mendaftar sebagai tenaga pendidik di
pesantren tersebut, sebab guru yang terdaftar di pesantren ini awalnya juga
mengikuti tes yang dilaksanakan oleh yayasan. Para ustadz diberikan otoritas
dalam teknik pembelajaran, tetapi bukan berarti harus dipahami sebagai tindakan
bebas, sebab setiap inovasi yang dilakukan oleh para ustadz harus mendapat izin
dari pimpinan yang nota benenya adalah kepala Madrasah.237
Fungsi Pondok Pesantren Thawalib dalam mentransfer dan
mengembangkan pendidikan Islam kepada para santri tanpak signifikan dengan
visi dan misi pondok pesantren. Penulis melihat bahwa yang menjadi landasan

237Miftah Novi.T, Guru Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 29


Januari 2009

101
terkuat dalam mentransfer serta mengembangkan pendidikan Islam di pondok
pesantren adalah kuatnya paradigma kewajiban dan keikhlasan dari para
guru/ustadz. Miftah Novi.T,238 sebagai salah seorang ustadz yang sudah mengabdi
selama lebih kurang 10 tahun sampai saat ini masih berstatus guru yayasan
( maksudnya bukan PNS), mengatakan bahwa “mengajarkan ilmu agama kepada
siswa dan masyarakat sesuai dengan visi dan misi pesantren ini menjadi
kewajiban dan sebagai pengabdian kepada pondok pesantren dengan moto
berdakwah sambil beramal menuju pendidikan Islami.”
Tentang masalah kesejahteraan (honorium) sebagai imbalan jasa terhadap
para guru/ustadz, 6 (enam) orang ustadz dan ustadzah yang penulis wawancarai
secara terpisah mengatakan, bahwa honor yang diterima tergantung kepada jam
pelajaran yang diberikan buya/kyai, yang terpenting mereka ikhlas mengabdi
dengan semangat keagamaan yang tinggi, kata mereka masalah honor masih
minim dan nominalnya mereka keberatan menyebutkannya. Dapat dipahami
bahwa mereka mengajarkan ilmu di pesantren ini tidak terlalu menuntut jasa, ini
bukan berarti mereka tidak butuh, tetapi keadaan keuangan pesantren yang agak
minim. Akan tetapi kebutuhan mereka sebagian telah terpenuhi dengan
berwiraswasta di rumah.239

Santri /siswa
11

Santri menjadi bagian penting dari sistem pembelajaran pondok


pesantren. Santri yang pergi dan tinggal di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung
Limau, selaras dengan apa yang dikatakan oleh Zamakhsyari Dhofier bahwa
mereka yang tinggal di pondok pesantren untuk mempelajari kitab-kitab yang
membahas Islam secara mendalam di bawah bimbingan kyai. Setelah selesai
belajar di pondok pesantren, mereka berharap menjadi orang pandai yang dapat
mengajar kitab-kitab karangan ulama salaf kepada masyarakat dan dapat
memimpin masyarakat dalam kegiatan keagamaan.240
Para santri yang belajar di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
238Miftah Novi.T, Guru Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 29
Januari 2009
239Supriadi, Guru Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 29 Januari
2009
240Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta : LP3ES, 1982), cet. ke-2, hlm. 52

102
tahun pelajaran 2006/2007 terbagi ke dalam empat kelompok, yaitu: santri tingkat
Raudlatul Adfhal (RA) yang belajar membaca al-Qur’an melalui metode iqra’,
dan mereka diperkenalkan tentang agama seperti rukun islam dan rukun iman,
serta diajarkan ayat-ayat pendek dan doa-doa sebanyak 36 orang, santri tingkat
Diniyah Awaliyah sebanyak 60 orang, dan santri tingkat Tsanawiyah sebanyak 76
orang, dan santri tingkat Aliyah sebanyak 61 orang. Jadi jumlah seluruhnya
sebanyak 233 orang, sedangkan yang santri mukim hanya 46 orang, yaitu para
santri tingkat Aliyah yang mengambil jurusan Ilmu Agama, sementara yang
lainnya menjadi santri kalong. Mereka rata-rata berusia antara 13 tahun sampai 21
tahun.
Pada awalnya pendidikan di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
diselenggarakan untuk mendidik santri agar menjadi orang yang taat menjalankan
agamanya, berakhlak mulia dan bisa menjadi mubaligh ditengah-tengah
masyarakat sehingga orang mengirimkan anaknya untuk dengan harapan agar
anaknya menjadi orang baik, yaitu mengerti dan taat menjalankan perintah agama
dalam keseharian. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan
banyaknya sekolah umum dibuka oleh pemerintah, santri dituntut memiliki
profesi. Sedangkan selama ini belajar di pesantren mereka hanya mempelajari
ilmu agama yang sifatnya dasar dan masih umum, ini hanya membekali mereka
dengan landasan moral hidup bersama. Pesantren hanya menyiapkan landasan
moral agama, sedangkan mengenai kehidupan atau nasib selanjutnya terserah
pada perjuangan hidup di masyarakat nanti. Seiring dengan perkembangan dunia
yang menglobal, Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dituntut pula untuk
berbenah diri dan mengikuti perkembangan zaman dengan tidak meninggalkan
ciri khas kepesantrenannya.
Dari studi lapangan melalui wawancara diperoleh keterangan bahwa
bidang kegiatan yang menjadi cita-cita para santri di Pondok Pesantren Thawalib

103
Tanjung Limau ini diantaranya: sebagai mubaligh, buya/kyai, pegawai negeri,
pedagang, belajar keperguruan tinggi, dan apa saja yang bermanfaat bagi
masyarakat. Dari urutan pilihan bidang kegiatan yang mereka cita-citakan di atas,
ternyata santri adalah penyebar amar makruf dan pencegah nahi mungkar,
ditengah-tengah masyarakat, mandiri dalam kehidupan, terus belajar dan menjadi
apa saja yang bermanfaat bagi masyarakat dikemudian hari.241
Intensitas motif santri belajar di Pondok pesantren Thawalib di antaranya
adalah :ingin menjadi orang alim, akan mencari ilmu agama, ingin mencari
keterampilan yang berguna di masyarakat, serta menjadi orang saleh yang
bermanfaat.242
Pada dasarnya tujuan santri belajar di pondok pesantren relevan dengan
kehendak orang tuanya. Ini berarti ada keterkaitan antara santri dan orang tuanya
dalam menentukan tujuan belajar di pondok pesantren. Penulis melakukan
interviu mendalam dan observasi terhadap beberapa orang tua santri. Dari hasil
wawancara tersebut dapat penulis simpulkan bahwa mereka mengirim dan
memasukan anaknya ke Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah agar
kelak anaknya mengerti dengan agama, menjadi orang yang bermanfaat di tengah-
tengah masyarakat dan keluarganya, serta terampil dalam bidang tertentu, dan
dapat melanjutkan ke perguruan tinggi yang sesuai dengan bidangnya.243
Dalam pernyataan orang tua santri tersebut terdapat hubungan yang erat
dengan tujuan belajar santri untuk mempelajari ilmu agama Islam yang bersumber
dari al-Qur’an dan al-Hadits, serta dari kitab-kitab kuning kaum salaf. Hubungan
ini terdapat seperti dalam keterangan H.Yunus St. Mudo yang menghendaki
anaknya menjadi orang yang alim dalam ilmu agama serta dapat menjadi ulama
ditengah-tengah masyarakat sekitarnya. Pemikiran ini mengindikasikan bahwa
komunitas masyarakat sekarang ini menginginkan anaknya untuk belajar di
pondok sambil mengali kitab-kitab kuning.244
241Eka Susanti, Dewan Santri, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9 Februari 2009
242Imran, Guru dan Kepala MTs Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau,
9 Februari 2009
243H. Yunus St. Mudo, Orang Tua Santri, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 10
Januari 2009
244H.Yunus St.Mudo, Orang Tua Santri, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 10
Februari 2009

104
Santri Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau diwajibkan untuk
mematuhi tata tertib, aturan-aturan dan norma yang berlaku, yang secara khusus
dibuat oleh pengasuh dan pimpinan pondok pesantren. Tata tertib yang dibuat
berisi kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan yang dituangkan dalam bentuk
peraturan-peraturan pondok pesantren Thawalib. Para santri menyadari bahwa
setiap institusi memang harus ada tata tertib dan peraturan-peraturan agar program
dari sebuah instutisi atau lembaga dapat berjalan sesuai dengan tujuan, visi dan
misi pesantren ini.245

Kurikulum
11 dan Sumber belajar
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau termasuk tipe pesantren
terpadu (kombinasi) yang melaksanakan sistem pendidikan Salaf dan Khalaf.
Melalui sistem salaf pesantren ini mengajarkan ilmu agama Islam yang bersumber
dari kutūb al-Salāf (kitab karangan ulama salaf), yang meliputi bidang tauhid,
tafsir, hadits, bahasa Arab, fiqih, dan akhlak. Kurikulum ini diberikan kepada
santri yang mondok di pesantren yaitu mengunakan sistem halaqah dengan
metode sorongan dan bandongan ataupun melalui sistem madrasah yang bersifat
klasikal.
Kitab-kitab yang di ajarkan seperti: Durus al-Fiqhiyyah, Fath al-
Mu’ĩn.’Aqidah al-‘Awwam, Akhlaq li al-Banîn, Gayah al-Wusūl, Fath al-Qarĩb,
Bulug al-Marām, al-Ajrumiyyah, Tafsir al-Jalālain, al-Qāwa’id al-Lugāh, Fath
al-Wahhāb, dll.246 Kitab-kitab karangan ulama salaf tersebut diajarkan pada santri
dari tahun ke tahun tanpa ada perubahan, sekalipun pendidikan Islam di Indonesia
pada permulaan abad ke-20 diketahui sudah mengalami perubahan. Oleh Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau, perubahan yang diterima adalah perubahan
sistem dengan mengunakan sistem madrasah dengan mengikuti perubahan sistem
pendidikan Nasional.247
Sistem khalaf yang dipakai meminjam istilah Karel A. Steenbrink, adalah

245Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9


Februari 2009
246Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 9
Februari 2009
247 Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 15
Februari 2009

105
“menolak sambil mengikuti”248, yakni mengikuti sistem madrasah yang dipandang
moderen yang secara historis ditolak pada mulanya. Akan tetapi pada
perkembangannya meniru sistem madrasah yang menyajikan ilmu pengetahuan
umum atau meniru sistem madrasah konsep Departemen agama RI. Sistem
madrasah yang digunakan tidak hanya terbatas pada pengenalan sistem klasikal,
tetapi juga menerapkan semua kuikulum dan metode pendidikan dan pengajaran
yang digunakan sesaui dengan system pendidikan Nasional, tanpa meninggalkan
sistem tradisionalnya.249
Kegiatan belajar mengajar secara lisan mestinya memerlukan sumber-
sumber literatur yang disediakan perpustakaan. Perpustakaan sebagai salah satu
sumber belajar di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau masih relatif kecil
dan masih Akreditasi C. Perpustakaan ditempatkan pada salah satu ruangan
dilantai 2, yang mengoleksi beberapa kitab-kitab klasik, kitab terjemahan, dan
buku-buku dari bantuan Departemen Agama dan Dinas Pendidikan Nasional yang
jumlahnya masih terbatas. Sumber belajar lain yang tersedia adalah guru/ustadz
yang jumlahnya 35 orang, media/ sarana/prasarana seperti TV, tape, Kaset,
komputer, lingkungan, bengkel dan laboratoruium serta aktivitas dan pesan-
pesan.250
Kemudian, aktivitas Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau yang
bernuansa pendidikan dan sekaligus menjadi sumber belajar terlihat dalam latihan
berpidato atau latihan berkhutbah, membaca yasinan, diskusi kelompok. Aktivitas
seperti ini dipandang oleh pengasuh pondok merupakan upaya membekali santri
sebagai kader ulama agar terampil memimpin masyarakat dikemudian hari.251
Selain itu sumber belajar yang dirasa penting dalam pembelajaran dan
pengembangan pendidikan Islam di Pondok Pesantren Thawalib ini adalah pesan-
pesan, nasehat dan petunjuk buya atau utadz, terutama ketika berlangsungnya

248Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah:Pendidikan Islam dalam Kurun


Modren, (Jakarta : LP3S, 1986), cet. ke-1, hlm. 62
249Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 15
Februari 2009
250Miftah Novi.T, Guru Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009
251Miftah Novi.T, Guru Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009

106
proses belajar mengajar, baik ketika belajar di Masjid maupun di dalam kelas dan
sewaktu belajar dengan sistem halaqāh.252
Para santri atau siswa belajar di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung
Limau, mereka akan mengikuti program yang telah dirumuskan oleh pengurus,
perumusan program ini mengacu pada undang-undang sistem pendidikan
diterbitkan oleh Departemen Agama atau oleh Dinas Pendidikan Nasional,
program ini berlaku untuk tingkat Aliyah/Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah
Keagamaan. Adapun program yang dilaksanakan dalam pembelajaran di Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau yang dikhusukan pada jenjang Mts dan MA,
seperti yang terdapat di dalam tabel berikut ini:
Tabel 3.253
Program Pengajaran/Kurikulum
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung LImau
No Bidang Studi Tsanawiyyah Aliyah
A AGAMA I II II IV V VI
I Identitas
1. Tafsir 4 2 3
2. Hadits 2 1 1
3. Akidah Akhlaq Tauhid 3 3 3 3 3 3
4. Fiqih/Praktik Ibadah 5 4 4 4 4 4
5. Ushul Fiqih 4 3 3
6. Qawaid Nahwu 5 4 6 5 4
7. Qawaid Sharf 5 4
8. Bahtsul Kitab
II Pokok
1. Tafsir/Ilmu Tafsir 7 5 4
2. Hadits/Ilmu Hadits 5 4 4
3. Bahasa Arab 12 2 2 8 6 5
III Pelengkap
1. Manthiq 2 2
2. Balaghah 2 3
3. SKI 3 3 2 2
4. Tasawuf 2 2

252Amiruddin St. Marajo, Alumni/Dewan Pembina Pesantren, Wawancara Mendalam,


Tanjung Limau, 15 Februari 2009
253Fahrizal Alwis, Program Pengembangan Pembelajaran dan Pedoman Penyelenggaraan
Kaderisasi Ulama Ponpes Thawalib Tanjung Limau, (Makalah disampaikan dalam Lokakarya
Regional Tingkat Pesantren dan Guru-guru Pesantren Penyelenggara Pondok Pesantren Thawalib
Thawalib Tanjung Limau Simabur Tanah Datar), tt., hlm. 23-24

107
B UMUM
1. PPKN 2 2
2. Bahasa Indonesia 6 2 4 4 3 3
3. Bahasa Inggris 2 12 2 8 6 5
4. Matematika 6 6 6 4 44
5. IPS Sejarah 2 2
6. IPS Geografi 6 9
7. IPS Ekonomi
8. IPA Fisika 4 2 3
9. IPA Biologi 3 2 2
10. Antropologi 1
Jumlah Jam Perminggu 47 55 52 53 53 53
C PENUNJANG
1.Tajwid/Seni Quran 2 1 1
2.Pendidikan Ketrampilan/Kesenian 2 2 2
3.Khat 1 1 1
4.Penjaskes 1 1 1
Jumlah Jam Keseluruhan 53 60 57 53 53 53

Metode
11 Pendidikan dan Pengajaran
Secara historis, pelaksanaan dan pengembangan kurikulum telah
dilaksanakan sesuai dengan bentuk dan pola pengajaran yang dilaksanakan.
Adapun pelaksanaan pendidikan ini berlangsung dengan cara : Pertama Klasikal
mulai kelas 1 sampai kelas VI (Thawalib Tanjung Limau 6 tahun), Kedua
Halaqah yang dikelompokkan kepada al-Thabāqah al-UÎa, al-Thabāqoh wusthā,
al-Thobaqāh al-Ulya).254
Berdasarkan pada pengelompokan metode di atas, maka pelaksanaaan
pendidikan dan pengajaran di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah
perpaduan sistem pesantren Salafiyah dengan Ashriyah. Untuk menjawab
tantangan zaman yang semakin global tersebut Pondok Pesantren Thawalib
Tanjung Limau Simabur memakai motto: "Pesantren Thawalib Tanjung Limau
Yang Komprehensif, Berwawasan Dakwah Menuju Pendidikan Islami".255

254Fahrizal Alwis, Program Pengembangan Pembelajaran dan Pedoman Penyelenggaraan


Kaderisasi Ulama Ponpes Thawalib Tanjung Limau, (Makalah disampaikan dalam Lokakarya
Regional Tingkat Pesantren dan Guru-guru Pesantren Penyelenggara Pondok Pesantren Thawalib
Thawalib Tanjung Limau Simabur Tanah Datar), tt., hlm. 10
255Tim Perencana, Master Plan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau, (tidak
diterbitkan, 2004), tt. hlm. 16

108
Secara institusi kelembagaan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
tetap seperti dulu, yakni Thawalib Tanjung Limau enam tahun, sebagaimana yang
telah dirumuskan dan disepakati, oleh Pengurus Yayasan dengan Pimpinan
Thawalib beserta Majlis Guru pada tahun 2001. Bahwa secara kelembagaan
pelaksanaan pengajaran di Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau mulai
kelas 1 sampai kelas VI (Thawalib Tanjung Limau 6 tahun), adapun sistem
disesuaikan dengan perkembangan pendidikan di Indonesia, masing-masing
tingkatan diberi kesempatan untuk mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN) yang
diselenggarakan oleh pemerintah.
Adapun Metode pengajaran yang digunakan di Pesantren Thawalib
Tanjung Limau adalah metode tradisional dan khalaf, meliputi metode sorongan,
bandongan, ceramah, diskusi, dan hafalan. Supriadi,256 salah seorang guru yang
mengajar di pesantren ini mengatakan bahwa pada dasarnya metode yang
digunakan sama dengan metode yang dilaksanakan pada sekolah lainnya, akan
tetapi bedanya di pesntren metode yang digunakan lebih ditekankan pada
persoalan atau masalah agama, seperti setiap mulai pelajaran para santri terlebih
dahulu membaca al-Qur’an, hafalan, atau mengulang kembali materi (apersepsi)
yang telah diajarkan dan lainnya.
Belajar dengan menghafal agaknya menjadi prioritas di pesantren ini.
Melalui jalur pendidikan madrasah, santri diharuskan untuk menghafal
sekumpulan teks ilmu pengetahuan Islam, seperti menghafal Alfiyah ibn Malik,
kaidah-kaidah Usiliyyah, Matn al-Hadits dan beberapa ayat al-Qur’an dan
juz’Ama serta materi pelajaran umum.257
Kemudian dalam proses pendidikan yang bertingkat tersebut, nampaknya
mengadopsi model Khalafi, namun masih mengunakan “tes baca kitab” bagi
calon santri pondok pesantren Thawalib. Pelaksanaan tes ini menjadi kompotensi
para ustadz. Kitab-kitab karangan ulama salaf yang dijadikan bahan tes, seperti :
Fathul al-Qorīb, Mabadi'u al- Awaliyah, Matan al-Jurmiyāh, Makarima al-

256Supriadi, Guru Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 29 Januari


2009
257Supriadi, Guru Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 29 Januari
2009

109
Akhlāq, Tafsir Jalalain. Pada tingkat berapa nantinya santri ditempatkan
ditentukan oleh kemampuan (ability) mereka membaca kitab tersebut. Disamping
itu untuk santri yang memilih pendidikan di madrasah mereka cukup memiliki
Ijazah sesuai dengan tingkat yang dimiliki, serta dilakukan tes secara umum
tentang pengetahuan agama, seperti mampu membaca al-Qur’an, melaksanakan
sholat dan mau dibina di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau.258
Menurut pengamatan penulis, metode pendidikan dan metode pengajaran
yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau sudah memiliki
panduan metodologis yang koheren dengan watak tradisionalisme dan
modrenisme. Penerapan metode pendidikan dan pengajarannya
mengkombinasikan tradisi lama dengan tradisi baru secara berkelanjutan
dilaksanakan dari tahun ke tahun di bawah tuntunan teori tertentu.

Sistem
11 Evaluasi
Berdasarkan hasil dokumentasi, Program Pengajaran / Kurikulum
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau - Simabur Tahun Ajaran 2006/2007
keseluruhan berjumlah 516 jam, kurikulum ini sudah dimodifikasi. Artinya
kurikulum yang dipakai adalah gabungan Kurikulum Diknas, Depag Dan
Kurikulum Thawalib (Versi Gontor), Pendalaman Kebahasaan dan Qira'atul
Kutub di Asrama, pada sore hari, dan pada malam hari dengan cara halaqah.259
Dari pelaksanaan kurikulum, pihak pesantren melakukan evaluasi dengan
tujuan untuk mengukur sejumlah kemampuan santri dalam menyerap pelajaran,
menghayati dan menerima materi pelajaaran yang telah mereka pelajari baik
dalam bentuk tulisan, praktek ataupun hal yang lainnya, sehingga santri bisa
diketahui apakah sudah menguasai materi atau belum.260
Evaluasi hasil belajar di Pondok Pesantren Thawalib yang ditempuh
melalui sistem madrasah, dilakukan sebagaimana evaluasi hasil belajar yang
dilakukan pada sistem pendidikan klasikal, seperti dengan melaksanakan ujian

258Supriadi, Guru Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau,29 Januari


2009
259Kasra, Guru Pontren Thawalib/ Wakil Kepala, Wawanca Mendalam, Tanjung Limau, 29
Januari 2009
260Kasra, Guru Pontren Thawalib/ Wakil Kepala, Wawanca Mendalam, Tanjung Limau, 29
Januari 2009

110
midsemester, ujian semester, ujian akhir. Evaluasi ini di awasi oleh ustadz. Dan
pelaksanaan evaluasi biasanya dengan bentuk lisan dan tulisan ataupun dalam
bentuk ujian praktek.261
Evaluasi yang dianggap masih relevan dengan nilai ibadah dan pengabdian
pada buya untuk memperoleh ilmu adalah “tes harian” (al-Muaraja’ah al-
Yaumiyyah) untuk mengetahui kemampuan santri dalam membaca dan
menerjemahkan kitab, terutama kitab yang telah diajarkan pada hari sebelumnya.
Evaluasi harian ini dimaksudkan supaya santri termotivasi untuk belajar setiap
saat.262
Menurut hemat penulis, evaluasi pendidikan dan pengajaran yang
dilakukan di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau telah mengarah pada
ketiga aspek yang ingin dicapai dalam tujuan pendidikan yaitu: aspek intelegensi
(ranah kognitif), aspek kepribadian (ranah afektif) dan aspek hubungan dengan
keterampilan berbuat dan berhubungan dengan masyarakat (ranah psikomotor).
Yang di dalam sistem evaluasi ini juga tercakup penguasaan terhadap kemampuan
hubungan dengan Sang Pencipta, yaitu Allah SWT. Ini terlihat pada amalan
(ibadah keseharian ) para santri dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan
pesantren maupun sewaktu kembali ke tengah-tengah keluarganya tau di
masyarakat nantinya..
Dari penjelasan yang diungkapkan di atas, cukup untuk dijadikan bahan
pertimbangan bahwa pesantren adalah, suatu lembaga pendidikan yang di
dalamnya terdapat beberapa unsur kelembagaan. Unsur-unsur kelembagaan yang
ada pada sistem pendidikan pesantren terdiri dari unsur-unsur organik dan unsur
anorganik263

D. Faktor Pendukung dan Penghambat Pengembangan Pendidikan Islam


Berdasarkan sejarah berdirinya dan berkembangnya Pesantren Thawalib
Tanjung Limau, dapat dikatakan bahwa pesantren ini telah mampu

261Kasra, Guru Pontren Thawalib/ Wakil Kepala, Wawanca Mendalam, Tanjung Limau, 29
Januari 2009
262Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 9
Februari 2009
263Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai
Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta : INIS, 1994), hlm. 18

111
mempetahankan kehadirannya ditengah-tengah kehidupan mayarakat dari zaman-
ke zaman selama 85 tahun lebih.
Dalam kurun waktu 85 tahun lebih ini, Pondok Pesantren Thawalib
Tanjung Limau telah mampu mencetak alumni yang tersebar di berbagai daerah
seluruh Indonesia dengan menempati berbagai jenis pekerjaan, seperti sebagai
birokrat, Polri, Jaksa dan Hakim, Pengusaha, Ustadz, pemuka masyarakat,
pedagang, dan lainnya. Dengan kata lain, para alumni Pesantren Thawalib
Tanjung Limau tidak hanya menjadi ustadz ahli agama semata, akan tetapi lebih
dari itu juga berkiprah di masyarakat sesuai dengan nasibnya masing-masing.
Kesuksesan pendidikan di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
terbukti dengan banyaknya alumi yang telah berhasil, diantara alumni Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung seperti: Prof. H. Sofyan Mukhtar, SH, Dr. H. Rifyal
Ka.bah, MA, Dr. H. Zainun Kamal, MA, Drs. H. Fathi Ismail, Drs. Masnal Zajuli,
MA, Drs. Afif Zamzami, M.Psi, H. Bahrizal, Drs. H. Dafrizal, Drs. Arpinus,
M.Ag, H. Fahmi Mukhtar, BA, H. Bukhari Manan, BSc, Drs. Zulkifli Nur, Drs.
Jujardi Ridwan, Drs. Fahrizal Alwis, Arius Agusta, S.Pd, H. Mursyida Mukhtar,
Makmur DS, Harmaini Khatib, Firdaus, BA, Rais Dt.Cu. Indo, BA, H. Caya
Khairani, dll264
Melihat banyak dan ragamnya jenis pekerjaan yang dijalankan oleh
alumni Pesantren Thawalib Tanjung Limau, maka pada masa mendatang
diharapkan dari alumni ini mampu membantu pesantren almamaternya menjadi
pesantren yang lebih maju lagi. Disamping itu, output yang diharapkan pada masa
mendatang mampu mencetak para alumninya sebagai ahli agama dan sekaligus
ahli dalam bidang ilmu pengetahuan umum, sehingga mereka mampu bersaing
dengan alumni dari lembaga pendidikan lainya.
Untuk mencapai cita-cita tersebut, tentu saja pesantren harus membaca
perkembangan zaman. Sebagaimana disadari saat ini kebanyakan pesantren
sedang mengalami pergumulan antara mempertahankan identitas dan menerima
keterbukaan. Artinya, disatu sisi pesantren dituntut untuk menemukan identitas
dalam mempertahankan tradisi pesantren, tetapi di sisi lain pesantren harus

264Dokumen Alumni Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau tahun 1990

112
terbuka untuk menerima sistem-sistem yang datang dari luar.
Sementara itu kecenderungan dunia yang menglobal, perkembangan
dunia pendidikan dalam budaya industri adalah sifatnya semakin fasif, standar dan
nasional. Pendidikan keilmuan akan semakin menonjol dimasa mendatang,
termasuk ilmu agama. Sebagaimana diketahui saat ini, pembagian bidang studi
untuk tingkat pendidikan menengah atas meliputi :A1 (Matematika dan Fisika),
A2 (Biologi dan Kimia), A3 (Sosial), A4 (Bahasa dan Budaya), A5 (Agama).
Disini jelas bahwa yang dimaksud dalam A5 adalah ilmu agama atau pendidikan
Islam. Lembaga-lembaga pendidikan akan semakin didominasi dengan pekerjaan-
pekerjaaan untuk mengejar dan mengembangkan ilmu dan pengembangan
pendidikan.
Apabila dikaitkan dengan perspektif dengan kedudukan pesantren
sebagai subsistem pendidikan nasional, maka tidak semua aspek diambil
pesantren dan perlu dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional. Ada aspek-
aspek tertentu yang harus tetap dijaga dan dilestrikan. Dan ada pula aspek tertentu
yang harus ditinggalkan karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Dengan diletakkannya landasan dasar metodologi berfikir rasional yang kuat,
memungkinkan sebuah pesantren mengembangkan kemampuan daya dan
ilmunya, sedangkan dengan hanya kekayaan materi tanpa metodologi hanya akan
membawa sebuah pesantren bersifat dogmatis dan statis.
Atas dasar itu, harapan outcome dari Pesantren Thawalib Tanjung Limau
dimasa depan berubah menjadi bentuk pendidikan formal dengan perbandingan
pelajaran sebayak 70 % ilmu pengetehauan umum dan metode berpikir, dan 30%
pendidikan agama yang bermoral, hal ini memungkinkan karena selama ini
Pesantren Thawalib Tanjung Limau telah membelajarkan para santrinya dalam
bentuk pendidikan formal dengan menyerap kurikulum Dinas Pendidikan dan
Departemen Agama.
Untuk mewujudkan Pesantren Thawalib Tanjung Limau menjadi
pesantren yang berkualitas, tentu akan memerlukan faktor pendukung dan
mempertimbangkan faktor penghambatnya. Fahrizal Alwis,265 mengatakan bahwa
265Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009

113
pesantren Thawalib dalam mengembangkan pendidikan Islam dan menuju
pesantren yang terpadu harus memperhatikan aspek/faktor pendukungnya dan
penghambatnya, diantara faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Faktor pendukung, seperti: (a) pondok pesantren ini sudah memiliki ruang
permanen untuk pelaksanaan pendidikan dan pengajaran, (b) tenaga
pengajar yang cukup baik, (c) memiliki daftar rencana pelajaran, (d)
melakukan pembagian mata pelajaran, (e) memiliki administrasi yang
lengkap di antaranya daftar hadir siswa dan guru, (f) memiliki pustaka, (g)
memiliki asrama putra dan putrid, (h) memiliki Labor Bahasa dan
Komputer, (i) memiliki Tempat Pendidikan Usaha Santri (TPUS), (j) dan
banyaknya alumni yang telah berhasil dan memperhatikan Almamaternya.
2. Faktor penghambat, seperti: (a) banyak berdiri sekolah-sekolah umum di
sekitar Pesantren, (b) terjadinya perubahan nilai masyarakat, (c) minimnya
Perhatian pemerintah Daerah terhadap Sekolah yang berstatus swasta, (d)
dewasa ini mulai kurangnya perhatian masyarakat terhadap pesantren
dalam memasukan anaknya ke Pesantren, (e) pondok pesantren selalu
kalah saing dengan madrasah/sekolah negeri karena madrasah/sekolah
negeri terkelola dengan baik, sementara pondok pesantren itu tergantung
dari pengurus kalau kepengurusannya baik dan aktif maka baik dan
berkembanglah pulalah pondok pesantren itu, (f) adanya masalah internal
antara sesama pengurus yayasan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pendidikan Islam di


Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau, tidak terlepas dari interaksi yang
terjadi di lingkungan pondok pesantren, baik interaksi interal pesantren, maupun
interaksi dengan pihak luar seperti masyarakat sekitarnya.
Konsep lingkungan masyarakat akan mempengaruhi interaksi suatu
masyarakat yang ada. Yang dimaksud konsep lingkungan masyarakat di sini
adalah lingkungan kehidupan masyarakat dalam pesantren dan luar pesantren
Thawalib Tanjung Limau, baik berupa lingkungan fisik maupun berupa
lingkungan non fisik, yang secara langsung ataupun tidak langsung ikut
mempengaruhi pembentukan dan perkembangan kerpibadian para siswa/santri dan

114
masyarakat. Kepribadian individu dan kelompok dibentuk oleh lingkungan
kehidupan yang mengasuh dan mendidiknya.266 Dalam lingkungan kehidupan,
prilaku individu dan kelompok diseleksi, dispesialisasi, dan distratifikasi apa yang
boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, apa yang wajib dikerjakan
dan apa yang mesti ditinggalkan. Suatu kebiasaan yang secara terus-menerus
dialami oleh seseorang dari tahun ke tahun selama 24 jam setiap harinya, akhirnya
membentuk kepribadian, dan apabila hal itu telah diterima menjadi nilai
kehidupan bersama, maka sejak itu terbentuklah kepribadian yang utuh dan sangat
sukar untuk dirubah.
Kondisi lingkungan kehidupan masyarakat luar Pesantren Thawalib
Tanjung Limau sangat mendukung keberadaan pesantren tersebut. Lingkungan
fisik masyarakat sekitar pesantren pada umumnya berupa lahan sawah untuk
tanaman padi, dan sebagian juga terdapat lahan untuk perkebunan dan tanaman
sayur-mayur. Di samping itu sekitar pesantren juga terdapat perumahan penduduk
desa Tanjung Limau Simabur.
Santri atau siswa yang tinggal memondok di Pondok Pesantren Thawalib
Tanjung Limau pada umumnya tidak memasak sendiri, tetapi disediakan oleh
penduduk disekitar. Di samping itu para santri juga belanja atau jajan di luar
kompleks pesantren, karena di sekitar pesantren banyak terdapat warung atau
kedai yang menjual makanan-makanan yang siap saji. Hubungan baik pesantren
dengan masyarakat sekitar memudahkan santri berkomunikasi dan bergerak di
masyarakat untuk melakukan kegiatan dakwah dan kegiatan-kegiatan
kemasyarakatan lainnya. Namun, pihak yayasan dan pimpinan membatasi dan
mengontrol hubungan santri atau siswa dengan masyarakat sekitarnya, agar para
santri tidak terpengaruh oleh hal-hal jelek yang ada di masyarakat.
Adapun situasi kehidupan dalam lingkungan Pesantren Thawalib Tanjung
Limau antara lain dapat penulis gambarkan : luas komplek Pesantren 1600 m2, di
atasnya berdiri sejumlah bangunan antara lain, 1 buah masjid, 1 asrama putra/i, 1
unit ruang belajar,1 unit kantor, 1 unit perpustakaan, 8 kamar MCK/WC, 1 unit
lapangan, 1 ruang koperasi pondok pesantren, 1 unit labor bahasa ( Bahasa
266A Pitirim Sorokin, Contempory Sociological Theories, (New York : Harper and Brother,
1982), hlm. 192

115
Inggris, Arab dan Jepang), 1 ruang labor komputer,1 ruang untuk keterampilan
menjahit.
Jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh Pesantren Thawalib Tanjung
Limau adalah : Raudhatul Adfal (RA), Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA),
Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) dan Madrasah Aliyah
Keagamaan. Untuk masyarakat sekitar pesantren Thawalib Tanjung Limau
pendidikan yang diselenggarakan adalah majelis Ta’lim, didikan Subuh bagi
murid TPA, dan pembentukan kader dai/iyah bagi generasi muda Tanjung Limau.
Penyelenggaraan pendidikan ini di laksanakan secara bersama antara santri dan
antara pengelola pesantren dengan masyarakat sekitar.
Seluruh santri yang berada pada tingkat Madrasah Aliyah Keagamaan
(MAK) tinggal di dalam pesantren, sedangkan santri RA, MDA, MTs tidak
tinggal di pesantren, karena mereka umumnya adalah warga masyarakat sekitar
pesantren. Namun ada juga santri yang tinggal di asrama adalah mereka yang
berasal dari luar daerah Tanjung Limau. Kehidupan santri semacam ini
mengindikasikan adanya interaksi masyarakat pesantren dengan masyarakat luar
pesantren.

E. Peranan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam


pengembangan pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar Sumatera
Barat

1.Peranan dalam Pengembangan Kelembagaan


Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau merupakan lembaga
pendidikan Islam yang menjalankan fungsi transfer ilmu agama Islam,
pengembangan dakwah, dan mereproduksi ulama. Pesantren Thawalib Tanjung
Limau termasuk salah satu Madrasah yang dicurigai dan diawasi oleh
Pemerintah Belanda, yakni setelah dilaksanakan Kongres Sumatera Thawalib
yang pertama di Bukit Tinggi pada tahun 1930, salah satu Keputusan Muktamar
itu ; “ Mendirikan satu partai politik yang berlandaskan perguruan-perguruan
Thawalib”.267 Pada awalnya diberi nama Persatuan Muslim Indonesia (P.M.I),

267 Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009

116
kemudian dirobah menjadi “PERMI” dengan sendirinya perguruan Thawalib
Tanjung Limau termasuk salah satu perguruan yang dicurigai oleh pemerintah
Belanda. Karena gerakan PERMI mengkhawatirkan Pemerintah Belanda, pada
waktu itu semua perguruan Thawalib berada di bawah lindungan PERMI.
Kekhawatiran Pemerintah Belanda semakin hebat, sehingga mengakibatkan guru-
guru Thawalib Tanjung Limau banyak dikenakan larangan mengajar dan
akibatnya beberapa perguruan Thawalib ada yang ditutup.
Madrasah Thawalib Tanjung Limau dengan kebijakan Haji Mukhtar
dibawah lindungan Allah SWT dapat dipertahankan sebagai lembaga pendidikan
dan dakwah, sekalipun tuan De Vries/ pegawai tinggi Belanda dari Medan turun
mencek langsung keberadaan pendidikan perguruan Thawalib. Demikian pula
pada masa penjajahan Jepang, Thawalib Tanjung Limau tetap eksis sebagai
lembaga pendididkan dan dakwah.268 Lembaga Pendidikan Islam ini bukanlah
baku, tetapi ia fleksibel, berkembang dan menurut kehendak waktu dan tempat.269
Untuk mengembangkan pesantren ini, pada tahun 1943 diadakan
perayaan HUT Madrasah Thawalib Tanjung Limau ke-20 dengan mengundang
ulama besar Minangkabau. Dalam perayaan tersebut dibicarakan juga tentang
kelancaran pendidikan dan penambahan pembangunan gedung. Dua tahun setelah
itu (1945) Buya Haji Mukhtar berpulang kerahmatullah, usaha beliau dilanjutkan
oleh Buya Haji Ismail Rasyad untuk memimpin Pesantren Thawalib Tanjung
Limau selanjutnya.
Buya Haji Ismail dengan segala kebijaksanaannya bersama-sama dengan
majelis guru berusaha dengan penuh keikhlasan dapat melintasi masa-masa yang
sangat berbahaya bagi keberlangsungan pendidikan itu sendiri baik paska
kemerdekaan, agresi belanda, pergolakan PRRI yang genting runcing maupun
masa G. 30/S PKI yang sangat mengkhawatirkan tersebut.
Meskipun dalam keadaan sulit maupun ekonomi yang sulit pula
sementara murid-muridpun makin bertambah, Alhmdulillah diwaktu Buya Haji
Ismail ini pembangunan gedung masih dapat dilaksanakan, yakni dibangun empat

268 Dokumen Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau tahun 1980


269Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2005), cet. ke-
1, hlm. 100

117
buah lokal baru (disamping masjid) yang berhadapan dengan gedung yang lama.
Setelah itu gedung yang lama dirombak dijadikan dua tingkat.
Pada tanggal 30 April 1967 Buya Haji Ismail Raysad berpulang
kerahmatullah, untuk selanjutnya kepemimpinan Thawalib Tanjung Limau
diamanahkan kepada Angku Imam Ibrahim, pada masa ini, gedung dekat mesjid
ditambah satu lokal gedung lagi (melanjutkan rencana almarhum Buya Haji
Ismail). Pada tahun 1970 didirikan pula gedung lainnya, sehingga Pesantren
Thawalib Tanjung LImau sudah mempunyai tiga buah gedung yang satu
bertingkat, tingkatnya itu dijadikan asrama bagi murid-murid perempuan yang
tempat tinggal mereka jauh dari Pesantren Thawalib Tanjung Limau.
Kunci mempertahankan keberlangsungan pendidikan di Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau dari dulu adalah “musyawarah”, apa saja
yang berhubungan dengan perguruan Thawalib terlebih dahulu diambil
keputusannya dengan musyawarah. termasuk permintaan dari Inspeksi Pendidikan
Agama yang datang ke Thawalib pada 1967 dan 1968 agar Thawalib di
negerikan. Permintaan ini kembali dimunculkanada pada tahun 1995 agar
Madrasah Aliyah di negerikan, namun setelah bermusyawarah dengan pemerintah
kebijaksanaan Pengurus dan masyarakat status Thawalib Tanjung Limau sebagai
lembaga pendidikan swasta tetap di pertahankan sampai sekarang.
Munculnya usulan agar Thawalib statusnya di negerikan (baik dari
pemerintah, alumni maupun sebagian masyarakat atau dari beberapa orang
pengurus yayasan setelah tahun 1976, karena perkembangan pendidikan itu
sendiri di Indonesia, dalam perjalannya semenjak tahun 1966 sampai 1972 tidak
beberapa orang murid yang sampai ke kelas 6 (enam), karena diwaktu kelas
empat, murid-murid itu mengambil ujian P.G.A.N. IV tahun, setelah lulus mereka
masuk ke P.G.A.N. VI Tahun.
Mengingat perkembangan dan ketahanan pesantren, maka pada tanggal
17 Desember 1976 diadakan musyawarah terpadu antara pengurus pesantren
dengan Alim Ulama, ninik – mamak, serta cerdik pandai Tanjung Limau
termasuk alumni Thawalib. Musyawarah tersebut menghasilkan keputusan
dengan membentuk yayasan dengan nama “ Yayasan Pembina Thawalib

118
Tanjung Limau”.270 Karena perguruan Thawalib Tanjung Limau memiliki lintas
sektoral di bawah pembinaan Departemen Agama, Pada tahun 1985 Madrasah
Thawalib Tanjung Limau diklasifikasikan oleh Departemen Agama setara dengan
program pondok pesantren maka, madrasah Thawalib dirubah menjadi Pondok
Pesantren Thawalib. Sekarang ini lembaga yang berada dalam naungan Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah : Raudhatul Adfal (RA), Madrasah
Diniyah Awaliyah (MDA), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah
(MA).271
Kemudian disamping lembaga formal, menurut pimpinan, pesantren juga
mengembangkan lembaga yang besrifat sosial kemasyarakatan, seperti Badan
Kontak Majlis Ta’lim Pondok Pesantren Thawalib (BKMT Ponpes), lembaga ini
dimanfaatkan oleh santri dan masyarakat Tanjung Limau, Lembaga Koperasi
Simpan Pinjam Pondok Pesantren, dan Lembaga Didikan Subuh Thawalib
(LDST).272
2.Peranan dalam Peningkatan Sumber Daya Manusia
Permasalah seputar pengembangan pendidikan Islam pondok pesantren
dalam hubungannya dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (human
resources) merupakan masalah yang aktual dalam pembicaraan seputar pesantren.
Tututan kehidupan global dan keahlian menghendaki kualitas sumber daya
manusia terdidik dan keahlian dalam bidangnya. Realitas out put pesantren yang
memiliki sumber daya manusia kurang kompetitif inilah yang kerap
menjadikannya termarginalisasi dan kalah bersaing dengan out put pendidikan
formal baik agama maupun umum.
Sahal Mahfudz mengatakan kalau pesantren ingin berhasil dalam
melakukan pengembangan masyarakat yang salah satu dimensinya adalah
pengembangan semua sumber daya, maka pesantren harus melengkapi dirinya
dengan tenaga yang terampil mengelola sumber daya yang ada di
270Yayasan ini bertujuan untuk membina dan meningkatkan Perguruan Thawalib Tanjung
Limau meneruskan niat pertama (nawaitu) berdirinya Thawalib sesuai dengan ajaran Al-Qur’an
dan Sunnah, berusaha meneruskan dan melanjutkan cita-cita luhur almarhum Haji Muchtar Ya’cub
sebagai pendiri pertama perguruan tersebut, Lihat : Akta Notaris Pendirian Yayasan Pembina
Thawalib Tanjung Limau No 3/1978
271Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009
272Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009

119
lingkungannya, di samping syarat lain yang diperlukan untuk berhasilnya
pengembangan masyarakat sudah barang tentu, pesantren harus tetap menjaga
potensinya sebagai lembaga pendidikan”273
Kualitas pendidikan dapat dilihat dari nilai tambah yang dihasilkan oleh
lembaga pendidikan, baik produk dan jasa maupun pelayanan yang mampu
bersaing di lapangan kerja yang ada dan yang diperlukan. Peningkatan kualitas
sumber daya dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas pendidikan.
Pendidikan sampai saat ini dianggap sebagai unsur utama dalam
pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Sumber Daya Manusia lebih
bernilai jika memiliki sikap, perilaku, wawasan, kemampuan, keahlian serta
keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan berbagai bidang sektor. Pendidikan
merupakan salah satu alat untuk menghasilkan perubahan pada diri manusia.
Manusia akan dapat mengetahui segala sesuai yang tidak atau belum diketahui
sebelumnya. Pendidikan merupakan hal seluruh umat manusia. Hak untuk
memperoleh pendidikan harus diikuti oleh kesempatan dan kemampuan serta
kemauannya.274 Dengan demikian, dapat dilihat dengan jelas betapa pentingnya
peranan pesantren sebagai lembaga pendidikan dalam meningkatkan kualitas
SDM agar sejajar dengan manusia lain, baik secara regional (otonomi daerah),
nasional, maupun internasional (global).
Tinggi rendahnya kualitas SDM antara lain ditandai dengan adanya unsur
kreativitas dan produktivitas yang direalisasikan dengan hasil kerja atau kinerja
yang baik secara perorangan atau kelompok. Permasalahan ini akan dapat diatasi
apabila SDM mampu menampilkan hasil kerja produktif secara rasional dan
memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang umumnya dapat
diperoleh melalui pendidikan. Dengan demikian, pendidikan merupakan salah
satu solusi untuk meningkatkan kualitas SDM.
Pendapat pakar pendidikan mengemukakan “Jika abad silam disebut abad
kualitas produk/jasa, maka masa yang akan datang merupakan abad kualitas
SDM. SDM yang berkualitas dan pengembangan kualitas SDM bukan merupakan
isu atau tema-tema retorik, melainkan merupakan taruhan atau andalan serta ujian
273Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta : LKIS, 1994), hlm. 112
274Azyumardi Azra, Pendidikan Islam:Tradisi dan Modernisasi Menunuju Milinium Baru,
(Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2002), hlm. 50

120
setiap individu, kelompok, golongan masyarakat, dan bahkan setiap bangsa.”275
Pengembangan SDM adalah proses sepanjang hayat yang meliputi
berbagai bidang kehidupan, terutama dilakukan melalui pendidikan. Jika dilihat
dari sudut pandang ekonomi, peningkatan kualitas SDM lebih ditekankan pada
penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan teknologi yang dibutuhkan oleh dunia
kerja dalam upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas proses produksi dan
mempertahankan keseimbangan ekonomi.
Sehubungan dengan pengembangan SDM untuk peningkatan kualitas,
Azra mengemukakan bahwa “Pengembangan SDM berkualitas adalah proses
kontekstual, sehingga pengembangan SDM melalui upaya pendidikan bukanlah
sebatas menyiapkan manusia yang menguasai pengetahuan dan keterampilan yang
cocok dengan dunia kerja pada saat ini, melainkan juga manusia yang mampu,
mau, dan siap belajar sepanjang hayat.”276
Program peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan Islam memberi
manfaat pada organisasi berupa produtivitas, moral, efisiensi, efektivitas, dan
stabilitas pesantren dalam mengantisipasi lingkungan, baik dari dalam maupun ke
luar pesantren yang selalu berubah mengikuti perkembangan zaman. Perencanaan
SDM yang berkualitas. Dalam lokakarya pengembangan Pesantren tahun 2001,
merumuskan beberapa kecenderungan yang terjadi dalam masyarakat global yang
perlu menjadi bahan pertimbangan dalam pengembangan kualitas SDM.
Kecenderungan tersebut adalah: (1) Dibandingkan dengan dasawarsa 1970-an dan
1980-an, tiga dasawarsa mendatang diperkirakan akan terjadi eksplosi yang hebat,
terutama yang menyangkut teknologi informasi dan bioteknologi. Dalam konteks
peningkatan kualitas SDM, implikasi yang dapat diangkat adalah para ilmuwan
harus bekerja dalam pendekatan multidisipliner dan adanya program pendidikan
berkelanjutan (S2/S3), dan (2) Eksplosi teknologi komunikasi yang semakin
canggih dapat mempersingkat jarak dan mempercepat perjalanan. Hal ini akan
membuat bangsa yang mempunyai kemampuan dan pengetahuan yang relevan
dan menguasai teknologi baru secara substantif mampu meningkatkan

275Hasan Langulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke- 21, (Jakarta : Pustaka Al-
Husna, 1988), hlm. 77
276Azyumardi Azra, Op. Cit., hlm. 59

121
produktivitasnya. Hasil pemikiran di atas menghadapkan kita pada arah,
tantangan, dan tuntutan umum pendidikan dalam kehidupan abad ke-21 sebagai
masa depan suatu lembaga.
Sehubungan dengan masalah ini, Pesantren Thawalib Tanjung Limau
(dulu perguruan atau surau Gadang) membuat kajian tentang arah, tantangan, dan
tuntutan abad ke-21 dalam peningkatan kualitas SDM. Hasil dari kajian tersebut
adalah sebagai berikut : (1) pendidikan adalah modal dasar pembangunan bangsa
yang terarah pada upaya memberdayakan seluruh potensi manusia masyarakat,
baik yang menyangkut nilai-nilai instrinsik, instrumental maupun transedental; (2)
pendidikan mencakup target khalayak yang amat luas yang mengandung sasaran,
tujuan, dan kepentingan yang berbeda-beda dan menuntut suasana yang bervariasi
serta multimethods dan multimedia; (3) fungsi pendidikan akan terarah pada
upaya mendorong orang untuk belajar aktif dan memberdayakan semua potensi
yang ada pada dirinya; (4) produk pendidikan yang berwujud SDM harus
menampilkan kualitas yang mandiri dan mengandung keunggulan, baik
komparatif maupun kompetitif, baik ditingkat lokal, nasional maupun
internasional; (5) kualitas organisasi (lembaga), kualitas manajemen, dan kualitas
kepemimpinan menjadi tuntutan yang semakin luas, terbuka, dan menghendaki
ketertiban pada semua unsur yang terarah untuk mencapai pendidikan yang
berkualitas pada gilirannya akan mencapai kualitas SDM yang makin baik dan
merata; dan (6) pengembangan sikap sadar teknologi dan sains dan peningkatan
kualitas diri para pendidik dan para Ustadz adalah hal yang mutlak perlu
ditanamkan dan akan digunakan sebagai sarana dalam menyiapkan SDM yang
berwawasan teknologi dan memiliki kesiapan belajar sepanjang hayat.277
Program peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan akan
memberikan manfaat pada pesantren berupa produktitas, moral, efisiensi kerja,
stabilitas, serta fleksibilitas pesantren dalam mengantisipasi lingkungan, baik dari
dalam maupun ke luar pesantren. Titik tolak pemikiran mengenai orientasi
pendidikan nasional adalah : (1) mencerdaskan kehidupan bangsa, (2)
mempersiapkan SDM yang berkualitas, terampil, dan ahli yang diperlukan dala

277Arsip Master Palan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau tahun 2004

122
proses memasuki era globalisasi dan otonomi daerah, dan (3) membina dan
mengembangkan penguasaan berbagai cabang keahlian ilmu pengetahuan dan
peningkatan kualitas SDM di era otonomi daerah.278
Guna memenuhi tuntutan komunitas pesantren yang semangkin
meningkat, sudah sepantasnya penyelenggara pesantren memikirkan upaya
peningkatan kualitas para guru dan staf di dalamnya. Upaya ini dimaksudkan agar
segala tugas yang diberikan kepada mereka menghasilkan kesuksesan yang
maksimal. Upaya ini juga penting, mengingat rekrutmen guru atau ustadz di
pesantren biasanya didasarkan kepada program pre-service sebagaimana dalam
sistem persekolahan (sekolah-sekolah formal), sehingga dipandang masih
memerlukan wawasan-wawasan dan keterampilan baru yang aktual. Misalnya
guru atau ustadz pesantren perlu menambah wawasan tentang kurikulum dan
metode belajar mengajar jika mereka bukan sarjana atau ahli pendidikan.
Disisi lain untuk meningkatkan kualitas dan SDM pesantren, pengasuh
pesantren aktif mengali informasi ke instansi terkait, sekaligus menjalin kerja
sama untuk meningkatkan mutu para ustadz.279 Sebagaimana di dunia pendidikan
formal, pendidikan di pesantren memerlukan peningkatan kualitas para tenaga
pendidik (guru/ustadz). Peningkatan kualitas ini banyak pendekatan yang
dilakukan, termasuk program pelatihan, studi lanjut, dan belajar di tempat kerja
atau bahkan melalui bentuk kegiatan-kegiatan ilmiah sederhana seperti seminar.
Cara ini dapat diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang mendukung
dalam rangka peningkatan profesionalisme guru/ustadz. Dan salah satu upaya
yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas SDM pesantren terutama tenaga
pendidik (guru/ustadz) adalah membekali keterampilan teknis dan konseptual
melalui monitoring, pelatihan (coaching) dan praktek.280
Menurut pembina Yayasan,281 Pondok pesantren Thawalib Tanjung
Limau dalam menghadapi arus globalisasi sekarang ini, telah melakukan usaha
dalam peningkatan kualitas dan sumber daya tenaga pendidik, yaitu berupa

278Azyumardi Azra, op. cit., hlm. 150


279Sulthan Masyhud dan Moh Khusnurdilo, op. cit., hlm. 37
280Ibid., hlm. 38
281Amiruddin St. Marajo, Sekretaris Yayasan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,
Tanjung Limau, 15 Februari 2009

123
memberikan beasiswa bagi guru yang belum S1 untuk melanjutkan pendidikannya
ke perguruan tinggi terdekat. Kemudian usaha lain yang dilakukan dalam
pengembangan SDM ini, pesantren telah sering memberikan pelatihan-pelatihan
dan workshop bagi guru dan masyarakat sekitar, terutama dalam bidang
pendidikan dan bidang pertanian.

3.Peranan dalam Pengembangan Sarana dan Prasarana


Sarana dan prasarana yang berada di pondok pesantren, pada umumnya
sangat bergantung kepada bentuk pesantren atau kemampuan dan kemamuan kyai
dalam mengendalikan pondok pesantren yang didirikannya, esensi dan kegunaan
perangkat keras pada suatu pondok pesantren adalah untuk kelancaran interasksi
dan komunikasi atau penyampaian informasi dan penanaman nilai-nilai
keagamaan yang dilakukan kyai terhadap para santrinya pada saat-saat tertentu.282
Para kyai/ buya memulai pendidikan pesantrennya dengan modal niat
ikhlas dakwah untuk menegakkan kalimat Allah, didukung dengan sarana
prasarana sederhana dan terbatas. Inilah ciri pesantren, tidak tergantung kepada
sponsor dalam visi dan misinya. Memang sering kita jumpai dalam jumlah kecil
pesantren tradisional dengan sarana prasarana yang megah, namun para kyai dan
santrinya tetap mencerminkan prilaku-prilaku kesederhanaan. Akan tetapi
sebahagian besar pesantren tradisional tampil dengan sarana dan prasarana
sederhana. Keterbatasan sarana dan prasarana ini tidak menyurutkan para kyai dan
santri untuk melaksanakan program-program pesantren yang telah dicanangkan.283
Mereka seakan sepakat bahwa pesantren adalah tempat untuk melatih diri
(riyadloh) dengan penuh keprihatinan. Yang penting semua itu tidak menghalangi
mereka menuntut ilmu.
Perkembangan dunia yang menglobal dan perubahan paradigma
pendidikan, menuntut suatu lembaga untuk melakukan perubahan dan
mengembangan segala potensi yang dimiliki, termasuk mengembangkan sarana
dan prasarana yang mendukung kepada pencapaian tujuan pendidikan itu sendiri.
Sarana dan prasarana merupakan pendukung pelaksanaan kegiatan belajar
282Taqiyuddin, Sejarah Pendidikan: Melaacak Geneologis Pendidikan Islam Indonesia,
(Bandung : Mulia Press, 2008), hlm. 189
283Sulthan Masyhud dan Moh Khusnurdilo, op. cit., hlm. 92

124
mengajar di pesantren. Pesantren hendaknya mengupayakan tersedianya sumber
belajar dan media pendidikan dan pengajaran yang berbasis teknologi. Dan
berangkat dari pembiayaan yang ditunjang oleh adanya sawah abuan 284 pada awal
berdirinya, hasil dari sawah abuan tersebut guru-guru mendapat gaji, peralatan
sekolah dapat dibeli, dan gedung-gedung tambahan dapat dibangun. Kondisi itu
masih dipertahankan sampai sekarang. Adapun sarana dan prasarana yang telah
tersedia Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau diantaranya: 6 (enam) ruang
belajar, 1 (satu) ruang pimpinan (kepala), 1 (satu) ruang Majlis guru/ ustadz, 1
(satu) ruang perpustakaan, 1 (satu) ruang labor, 1 ((satu) unit asrama, 1 (satu)
ruang gudang dan 1 (satu) ruang koperasi, lapangan volly ball, 1 (satu ) masjid.285
Jadi pengembangan terhadap sarana dan prasarana Pondok pesantren
Thawalib Tanjung Limau sedikit demi sedikit mengalami perubahan, terutama
pada fasilitas pendidikan yang dibutuhkan para santri diantaranya sepuluh ruang
belajar, satu unit ruang asrama, satu ruang perpustakaan, satu ruang labor
komputer dengan 15 unit komputer, tiga ruang kantor, satu ruang untuk koperasi
Pesantren, satu ruang untuk labor bahasa Arab dan Inggris, lima belas unit mesin
jahit, satu lapangan volly ball, satu unit lapangan tenis meja dan lapangan bola
kaki milik bersama dengan masyarakat Tanjung Limau.

4.Peranan dalam Pengembangan Keilmuan dan Keterampilan


Sebagai suatu proses, pendidikan membutuhkan lembaga (institusi), yang
salah satu artinya adalah badan (organisasi) yang tujuannya melakukan
penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha.286 Oleh karena itu lembaga
pendidikan merupakan organisasi yang bertugas menyelenggarakan kegiatan
proses belajar mengajar. Penuluran ilmu atau pemindahan pengalaman kepada
orang lain tanpa melalui suatu organisasi dalam pengertian luas termasuk

284Abuan berarti hak milik yang diperoleh dari pemberian atau wakaf atau hibah untuk
dikelola dan hasilnya sepenuhnya menjadi hak yang mempunyai abuan itu. Seorang anak yang
sudah berangkat dewasa, biasanya sudah diberi abuan oleh orang tuannya.
285Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau, Permohonan Izin Perasional Kepala Kantor
Departemen Agama Wilayah Sumatera Barat untuk Madrasah Tsnawiyah dan Aliyah Thawalib,
( Padang : tidak diterbitkan, 1976)
286Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1991), hlm. 580

125
pendidikan, etapi sebagai suatu proses yang berlangsung secara kontinuitas,
eksistensi pendidikan memerlukan kelembagaan. Lebih lanjut, kemudian
kemajauan suatu pendidikan juga ditentukan oleh kualitas suatu institusi. Oleh
karena itu, institusi menempati posisi penentu terhadap kelangsungan dan
kemajuan pendidikan, sehingga pengembangan keilmuan dan keterampilan dapat
dilanjutkan.
Peran pesantren Thawalib Tanjung Limau sebagai salah satu lembaga
(institusi) dalam pengembangan pendidikan Islam adalah mentransfer ilmu agama
Islam, baik kepada santri maupun kepada masyarakat. Tranformasi ilmu agama
Islam yang dilakukan oleh Pesantren Thawalib Tanjung Limau kepada santri
maupun masyarakat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan pendidikan dan
pengajaran, baik yang dilakukan secara rutin di lingkungan pesantren itu sendiri,
ataupun kegaitan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh masyarakat
dengan melibatkan pesantren di dalamnya.287
Pesantren Thawalib mempunyai peranan penting dalam mewarisi dan
mengembangkan warisan intelektual dan spritual itu. Hal ini bisa dipahami,
karena dilihat dari latar belakangnya, Pesantren Thawalib Tanjung Limau
berperan sebagai lembaga transformasi kultural yang menyeluruh dalam
kehidupan masyarakat. Pesantren Thawalib Tanjung Limau berdiri sebagai
jawaban terhadap penggilan dakwah keagamaan, untuk menegakkan nilai-nilai
kemasyarakatan, dan praktek-praktek keagamaan.288
Ilmu agama Islam yang ditransfer oleh Pesantren Thawalib kepada santri
dan masyarakat sekitanya adalah berupa tradisi keilmuan fiqih dan sufistik (ilmu
Tasauf). Hal ini wajar, karena pada dasarnya Pesantren Thawalib Tanjung Limau
adalah merupakan salah satu lembaga pendidikan yang megajarkan tradisi
keilmuan agama. Transformasi keilmuan tasauf melahirkan nilai-nilai moral
keagamaan yang ditampilkan oleh pimpinan pesantren dan santrinya di tengah-
tengah kehidupan masyarakat, sedangkan transformasi keilmuan fikih melahirkan

287Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9


Februari 2009
288Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009

126
faham-faham keagamaan fikih bagi kepentingan ibadah kepada Allah. SWT.289
Media yang digunakan oleh pimpinan Pesantren Thawalib dalam
melakukan transfer ilmu agama Islam adalah melalui media pendidikan pesantren
dan tabligh-tabligh akbar di Masjid Pesantren, karena kebetulan pimpinan dan
sebagian ustadz pesantren ini adalah seorang mubaligh terkenal di didaerah
Tanjung Limau dan Kabupaten Tanah Datar. Melalui media inilah, ilmu agama
Islam ditransfer kepada santri dan masyarakat sekitarnya. Ilmu agama Islam yang
ditransfer tersebut tidak lepas dari dua tradisi keilmuan pesantren, yaitu
menonjolkan tasauf dan fiqih.290
Menonjolnya tradisi keilmuan agama Islam berupa tasauf dan fiqih
sebagaimana ditransformasi oleh Pesantren Thawalib Tanjung Limau kepada
santri dan masyarakat sekitarnya tersebut sesungguhnya bukanlah suatu yang
dikotomi, melainkan kategori ini penting untuk menunjukan dimensi-dimensi atau
aspek –aspek yang terdapat dalam tradisi keilmuan pesantren tersebut. Hal yang
sama juga berlaku bagi warisan intelektual dan spritual Islam. Dalam warisan
intelektual Islam terdapat sisi-sisi spritual dan dalam warisan spritual terdapat
dimensi-dimensi intelektul. Artinya, ilmu agama islam yang ditransfer oleh
pesantren Thawalib merupakan perpaduan antara intelektual Islam dan spritual
Islam tradisional.291
Awalnya Ilmu agama Islam yang ditranspormasikan oleh Pesantren
Thawalib Tanjung kepada santri dan masyarakat sekitarnya adalah islam
tradisional. Yang dimaskud dengan islam tradisional adalah islam yang masih
terikat kuat dengan pikiran ulama ahli fiqih, ahli hadits, ahli tafsir, ahli tauhid dan
ahli tasauf yang hidup antara abad ke -7 sampai abad ke-13. M. Akan tetapi pada
perkembangannya, seiring dengan terjadinya pembaharuan pendidikan Islam
pesantren Thawalib memberikan pendidikan Islam kepada santri dan masyarakat
didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh sistem pendidikan Islam.

289Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9


Februari 2009
290Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanujung Limau, 9
Februari 2009
291Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009

127
Sebagaimana diketahui bahwa nilai-nilai sistem pendidikan Islam yang
dikembangkan di pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah niai-nilai agama
yang memiliki kebenaran mutlak dan nilai agama yang memiliki kebenaran relatif.
Dengan demikian, maka sistem pendidikan di pesantren Thawalib Tanjung Limau
didasarkan atas dialog yang terus menerus-menerus antara kepercayaan terhadap
ajaran dasar agama yang diyakini memiliki kebenaran mutlak dan realitas sosial
yang memiliki nilai kebenaran relatif. Nilai-nilai agama dengan kebenaran
multlak mempunyai supermasi atas nilai agama dengan kebenaran relatif.292
Memang, ciri khusus pendidikan Islam yang diberikan di Pesantren
Thawalib Tanjung Limau adalah ajaran Islam yang becorak fiqih sufistik. Hal ini
didasari oleh Pesantren Thawalib Tanjung Limau sebagai salah satu pesantren
yang berusaha menegakkan ajaran Islam ahlul Sunnah wal Jama’ah. Pengaruh
ajaran tasauf dan fiqih terhadap pesantren sangat besar sekali, sehingga hampir
sebagain besar pelajaran yang diberikan di pesantren ini senantiasa berorientasi
pada kedua aspek tersebut.293
Hal ini sesuai dengan informasi sejarah masuknya Islam ke Indonesia.
Sebagaimana diketahui bahwa penyebaran Islam ke Indonesia itu melalui Persia
dan anak benua India yang ketika itu sangat berorientasi pada tasauf. Karena
itulah, maka buku-buku tasauf yang mengabungkan fiqih dengan amalan akhlak
merupakan pelajaran utama di pesantrren-pesantren termasuk di Pesantren
Thawalib ini. Kitab tasauf karya Imam Ghazali seperti Ihya’ Ulumuddin,
Bidayatul Hidayah, Minhajul ‘Abidin, dan sebagainya, merupakan karya fiqih-
sufistik yang sangat mendominasi pelajaran di pesantren.294
Pengembangan pendidikan Islam yang dilakukan di pesantren Thawalib
adalah dengan membuat jaringan Islam, yakni membentuk kader ulama santri
yang akan dipergunakan sebagai pendakawah-pendakwah agama Islam yang akan
diterjunkan ke daerah masing-masing. Dengan itu, berarti Pesantren Thawalib
Limau telah membuat dan mengembangkan jaringan Islam secara luas, paling

292Dafrizal, Tokoh Masyarakat, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 9 februari 2009


293Fahizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 9
februari 2009
294Fahizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 9
februari 2009

128
tidak sejak awal berdirinya tahun 1923 hingga berobah statusnya menjadi Pondok
Pesantren tahun 1972 sampai sekarang telah banyak alumninya yang
menyebarkan ilmu agama Islam di tengah-tengah masyarakat.295
Di sisi lain, pengembangan pendidikan agama yang dilakukan oleh
pesantren, yaitu dengan cara mengirim santri dan ustdznya setiap hari jum’at dan
bulan ramadhan untuk berdakwah ke berbagai masjid yang ada dalam Kabupaten
Tanah Datar, maka ini berarti pesantren telah membuat jaringan Islam, terutama
dalam mewarnai pemahaman keagamaan suatu masyarakat.296
Untuk menjamin kelangsungan hidup pendidikan Islam, maka Pesantren
Thawalib Tanjung Limau berusaha melakukan pengembangan pendidikan agama
melalui peningkatan rasa solidaritas dan kerja sama antara pesantren dengan
masyarakat, antara pesantren dengan pesantren lain dalam suatu forum
silaturrahmi pondok pesantren Sumatera Barat atau antara pesantren Thawalib
dengan pemerintah dalam hal ini tentunya Departemen Agama. Cara praktis yang
ditempuh adalah mempersiapkan buya/kyai dari pesantren dengan membuka
madrasah yang ada jurusan keagamaanya dengan maksud agar kelak dikemudian
hari akan ada buya/kyai yang mengetahui ilmu agama dan menjadi tauladan dan
tokoh ditengah-tengah masyarakat.297
Jadi, pengembangan terhadap pendidikan agama yang dilakukan oleh
Pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah dengan cara mengkader santri dan
keluarganya sebagai calon pemimpin agama (buya) dan mubaligh yang akan
mengajak masyarakat kepada Amar ma’ruf dan nahi mungkar, serta kemudian
hari dapat mengembangkan pesantren ke arah yang lebih maju lagi.
Sebagaimana ditemukan dari hasil penelitian di lapangan menunjukan
bahwa Pondok Pesantren Thawalib berdiri sejak tahun 1923. dilihat dari segi usia,
berarti pesantren tersebut sudah berusia 85 tahun pada tahun 2009 sekarang ini.
Selama usia tersebut tentu saja telah banyak usaha dan kiprah yang dilakukannya,
baik kepada santri maupun untuk masyarakat sekitarnya.

295Fahizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 9


februari 2009
296Dafrizal, Tokoh Masyarakat, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 9 februari 2009
297Fahizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 9
februari 2009

129
Sebagaimana diketahui bahwa Pondok Pesantren Thawalib terletak di
Jorong Tanjung Limau yang mayoritas penduduknya bertani dan berternak.
Sehingga Pondok Pesantren dalam program-programnya juga menyentuh dan
mengarah kepada bidang pertanian, seperti Agorbisnis, beternak sapi, dan lain-
lain. Program ini ditawarkan kepada masyarakat. Dan jauh sebelum tahun 1990-an
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau juga telah mengadakan program
keterampilan kepada santri dan masyarakat sekitarnya, seperti keterampilan
menjahit, membordir, dan pertukangan.298
Program pemberdayaan dan pengembangan agrobisnis peternakan
melalui Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat (LM3) Pondok
pesantren dan Program Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren melalui
Pemberdayaan Koperasi Pondok Pesantren Thawalib adalah program unggulan
dalam bidang keterampilan yang sedang dan telah dikembangkan di Pondok
Pesantren Thawalib sekarang.299
Mengingat bahwa Pondok Pesantren Thawalib didirikan dan lahir dari
masyarakat sekitarnya, maka pesantren tersebut merupakan sub-kultur dari
masyarakat. Sub-kultur pesantren dapat dilihat dari cara hidup yang dianut,
pandangan hidup dan tata nilai yang diukuti, serta hirarki kekuasaan internal yang
ditaati sepenuhnya dalam kehidupan pesantren. Oleh karena itu, maka pesantren
sangat dekat dengan lingkungan masyarakat sekitarnya, sehingga program yang
akan dikembangkan dipesantren juga menyentuh aspek dn kultur masyarakat
sekitarnya.
Gambaran lahiriyah Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau yang
tidak terpisah dari masyarakat memiliki landasan filosofis sendiri, sehingga selain
sebagai lembaga pendidikan yang bersih dari pengaruh negatif lingkungan,
tampak bahwa pondok pesantren juga diproyeksikan sebagai miniatur suatu
masyarakat. Letak geografisnya yang tidak terpisah dari lingkungan masyarkat
menjadikan dan membuat pesantren lebih mudah melakukan kontrol serta melihat

298Zainin St. Marajo, Dewan Pembina, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 15 Februari
2009
299Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009

130
berbagai perkembangan yang ada di luar pesantren.
Inilah salah satu aspek yang dapat diangkat di pesantren, sehingga dapat
dikatakan bahwa Pondok Pesantren Thawalib adalah Laboratorium sosial-
keagamaan masyarakat. Orang tua yang memasukan anaknya ke pesantren ini
selain berharap agar mendapat pendidikan agama yang mendalam, juga berharap
agar anaknya dapat hidup mandiri dan dapat berkiprah di tengah-tengah
masyarakat yang sesungguhnya.300
Hal yang juga menonjol dalam pembinaan santri di Pondok Pesantren
Thawalib Tanjung Limau adalah tampak pada disiplin yang ketat yang
diberlakukan kepada santri untuk mengikuti program-program keterampilan.
Melalui program ini seorang santri diharapkan dapat menguasai salah satu bidang
sekaligus dapat mempraktekkannya setelah tamat nanti.
Atas dasar itulah, maka kehadiran Pondok Pesantren Thawalib Tanjung
Limau di tengah-tengah masyarakat menjadi bermanfaat hingga sekarang.
Pesantren tidak hanya memberikan bidang dakwah keagamaan semata, tetapi juga
memberikan bekal ilmu dan keterampilan bagi santri dan masyarakat sekitarnya.
Berdasarkan pengamatan di lapangan melalui wawancara dengan Fahrizal Alwis
selaku pimpinan Pondok Pesantren Thawalib mengatakan diantara pendidikan
keterampilan yang telah dikembangkan adalah: (1). Keterampilan menjahit dan
bordir, (2). Keterampilan dalam bidang Agrobisnis dan Peternakan Sapi, (3).
Keterampilan komputer dan Bahasa Jepang.301
Jadi Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam
perkembangannya menuju Pesantren terpadu dengan sistem Khalaf, membekali
santri dan masyarakat dengan berbagai keterampilan yang sesuai dengan kultur
dan budaya masyarakat setempat.
Bertitik tolak dari hasil penelitian yang penulis lakukan. Bahwa suatu
lembaga pendidikan harus mempunyai sistem. Yang dimaksud dengan sistem
pendidikan di sini adalah totalitas interaksi dari seperangkat unsur-unsur

300Zainin St. Marajo, Dewan Pembina/ Tokoh Masyarakat, Wawancara Mendalam,Tanjung


Limau, 15 Februari 2009
301Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009

131
pendidikan yang bekerjasama secara terpadu, dan saling melengkapi satu sama
lain menuju tercapainya tujuan yang telah menjadi cita-cita bersama para
pelakunya. Kerjasama antar para pelaku ini sendiri di jiwai, digerakan,
digairahkan, dan diarahkan oleh nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh
lembaga tersebut.
Unsur utama suatu pendidikan selain terdiri atas para pelaku yang
merupakan unsur organik, juga terdiri atas unsur anorganik lainnya., berupa :
dana, sarana, dan alat-alat pendidikan lainnya, baik perangkat keras maupun
perangkat lunak. Hubungan antara nilai-nilai dalam suatu sistem pendidikan
merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lain. Dalam kaitannya dengan sistem pendidikan pesantren, maka para pelaku
pesantren adalah: kyai, ustadz mengajar agama, guru mengajar umum, santri, dan
pengurus serta adanya tempat untuk belajar (sarana dan prasarana).
Prioritas utama program pesantren adalah pengembangan pendidikan dan
pengajaran melalui unit-unit kerja yang bersifat pembinaan dan koordinatorat.
Pengurus pesantren bertugas membina dan mengkoordinir seluruh unit yang ada
dalam upaya mewujudkan kelancaran pendidikan dan pengajaran.
Adapun fungsi yang diemban pesantren Thawalib Tannjung Limau
adalah selalu menjaga kondisi yang dinamis bagi terselenggaranya proses
pendidikan dan pengajaran. Setiap unit kerja didorong untuk mengembangkan
potensi-potensi yang ada dan menumbuhkan inovasi-inovasi positif yang berguna
bagi peningkatan mutu pendidikan.
Seiring dengan perkembangan zaman, Thawalib Tanjung Limau terus
melakukan penyesuaian struktur kepengurusan. Para pengurus terus melakukan
penyesuaian struktur sesuai dengan kebutuhan dan kultur yang berlaku di Pondok
pesantren. Dalam praktiknya, pola manajemen yang digunakan dalam
menjalankan sistem tersebut adalah satu sistem dengan dua sub sistem besar.
Dalam tradisi kepemimpinan pesantren, pengasuh dan pengurus adalah pemegang
otoritas tertinggi dalam pengambilan keputusan. Hanya saja secara manajerial
keputusan tersebut dilakukan bersama sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya
(tupoksi) yang termaktub dalam struktur dua sub sistem pesantren.

132
Keputusan yang terkait dengan biro atau lembaga tertentu langsung berada
di bawah tanggung jawab kepala biro lembaga/banom terkait. Apabila keputusan
tersebut terkait dengan tupoksi biro/banom maka keputusan diambil dengan
mengundang koordinatorat. Struktur Dua sub sistem tersebut adalah struktur
yayasan dan struktur koordinatorat. Hal ini tak lain didasarkan pada kebutuhan
dan kultur . Dengan dua pijakan tersebut diharapkan antara struktur dan kultur
dapat berjalan seiring. Dalam menjalankan manajemen Pondok Pesantren,
pengasuh didampingi dewan pengasuh dan pengawas. Struktur di bawah pengasuh
terdiri atas satu sistem dengan dua manajemen yang berbeda. Dua manajemen
dibawah pengasuh adalah yayasan dan koordinatorat.
Yayasan memiliki tugas pokok menyediakan fasilitas kebutuhan formal
lembaga. Dalam menjalankan tugas pokoknya yayasan memeliki struktur
tersendiri. Sedangkan koordinatorat memiliki tugas pokok membantu pengasuh
secara aktif dalam melaksanakan koordinasi terhadap biro-biro badan otonom dan
lembaga-lembaga di PP Thawalib Tanjung Limau. Serta membantu pengasuh
dalam perencanaan program, pengawasan serta evaluasi pelaksanaan program
pesantren.
Selain itu koordinatorat juga berfungsi sebagai pusat admministrasi
pesantren. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya kedua sub sistem tersebut
memiliki prosedur dan mekanisme yang sudah ditentukan. Manajemen di bawah
pengasuh dan yayasan berpatokan pada struktur yayasan. Struktur tersebut
meliputi ketua, sekretaris, bendahara serta beberapa bagian.
Struktur di bawah pengasuh dan koordinatorat terdiri dari beberapa biro
dan banom (badan otonom). Biro-biro tersebut adalah biro pendidikan,
kepesantrenan, biro keuangan dan Biro pengembangan pesantren dan masyarakat.
Masing-masing biro lembaga dan banom bertugas memberikan pelayanan yang
bersentuhan langsung dengan kebutuhan santri.
Pesantren dalam fungsinya sebagai lembaga pendidikan dan pengkaderan
memiliki peran untuk mempersiapkan kader yang akan berkiprah dan membangun
masyarakat menuju kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.
Upaya kearah ini tentunya harus diupayakan secara sistematis dan efektif

133
sesuai dengan tujuan pesantren secara umum. Pendidikan dan pembinaan santri
adalah serangkaian upaya pendidikan baik kepesantrenan maupun pendidikan
formal. Hal ini dilaksanakan dalam rangka untuk menghantarkan santri menuju
sebuah tipe pribadi manusia muslim yang seimbang dan utuh, baik jasmaniah
maupun rohaniyah sesuai dengan visi misi Pondok Pesantren Thawalib Tanjung
Limau.
Pembinaan ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang
menambah cakrawala berfikir serta pembentukan sikap mental-spiritual,
bertingkah laku sesuai dengan tatakrama dan berakhlakul-karimah sesuai dengan
kultur (Budaya) Pesantren. Pendidikan dan Pembinaan santri tidak hanya meliputi
pendidikan keilmuan dan pengembangan wawasan, akan tetapi juga meliputi
pendidikan keterampilan dan kewirausahaan yang harus dimiliki santri untuk siap
memasuki dunia yang lebih nyata.
Pendidikan dan pembinaan yang dilaksanakan di PP. Thawalib Tanjung
Limau adalah pembinaan yang intergratif antara pendidikan di asrama dan
lembaga pendidikan formal. Artinya terjadi proses saling mendukung dan
melengkapi antrara pendidikan yang dilaksanakan di asrama santri dengan
pendidikan dan pembinaan di lembaga formal. Pendidikan dan Pembinaan yang
dilakukan di sekolah diperdalam di asrama santri yang disesuaikan dengan jenjang
pendidikan di lembaga formal. Sehingga tujuan santri untuk mengaji dan
membina akhlakul karimah diharapkan bisa tercapai secara sempurna.
Program pendidikan di PP Thawalib Tanjung Limau dilaksanakan adalah
sistem full day school. Program ini dilaksanakan secara integratif antara sekolah
dan pondok (sebutan asrama tempat tinggal santri selama berproses di PP
Thawalib Tanjung Limau). Artinya ada proses yang saling mendukung antara
program di sekolah dan program di pondok.
Berdasarkan penjelasan mengenai sistem pendidikan di dalam teori di atas,
maka sistem pendidikan di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dapat
dikatakan sudah memenuhi kriteria unsur-unsur dari sistem pendidikan. Sebab,
dari hasil penelitian di lapangan menunjukan bahwa unsur-unsur sistem
pendidikan yang ada di Pondok Pesantren Thawalib ke dalam dua aspek, yaitu

134
unsur-unsur sistem pendidikan yang bersifat lunak dan unsur-unsur yang bersifat
keras. Kedua unsur tersebut saling berkaitan, sehingga membentuk suatu kesatuan
yang utuh dalam mencapai tujuan Pondok Pesantren.
Sebagaimana hasil temuan di lapangan menunjukan bahwa secara umum,
tujuan Pondok Pesantren Thawalib adalah terwujudnya ulama intelektual,
intelektual ulama, berakhlak mulia, terampil dan bertanggung jawab serta berguna
bagi masyarakat. Visi dari Pondok pesantren ini yaitu : Istiqomah dalam Aqidah,
Makmur dalam Syari'ah, Uswatun Hasanah dalam Akhlaq. Adapun misi Pondok
Pesantren Thawalib adalah: (1) Mempersiapkan Kader Ulama, Muballigh, Imam,
Khatib, Cendikiawan Muslim. (2) Mempersiapkan Kader Pemimpin masyarakat
(3) Mempersiapkan kader muda yang siap membela agama, masyarkat dan
negara. (4) Mempersiapkan Kader Muda yang berjiwa wiraswasta/mandiri. (5)
Mempersiapkan kemahiran berbahasa (Indonesia, Arab, Inggris dan Jepang). (6)
Menghasilkan lulusan yang mampu memahami kitab standar (MKS) dan
pengetahuan umum serta mampu bersaing untuk mendapatkan berbagai
kesempatan pendidikan selanjutnya. (7) Menghasilkan lulusan yang memahami
dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari , Islam sebagai aqidah dan syari'ah,
serta sebagai orang Minangkabau yang tidak terlepas dari falsafah "Adat Basandi
Syara', Syara' Basandi Kitabullah.302
Kemudian pada sisi lain, sistem pendidikan yang dijalankan oleh Pondok
Pesantren Thawalib adalah bersifat tradisional. Menurut Amin Haedari dan
Abdullah Hanif mengatakan bahwa yang dimaksud tradisional adalah konsesus
bersama untuk ditaati serta dijunjung tinggi oleh sebuah komunitas masyarakat
setempat.303
Berpatokan pada asumsi di atas, apabila dikaitkan dengan sistem
pendidikan yang ada di Pondok Pesantren Thawalib, maka pesantren ini
menganut sistem pendidikan tradisional. Sebab, pesantren tersebut dalam
menjalankan visi dan misinya senantiasa memperhatikan nilai-nilai tradisi yang
berkembang di tengah-tengah masyarakat, sehingga dalam menjalankan proses

302Arsip Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau tahun 1972


303Amin Haedari dan Abdullah Hanif (ed), Masa Depan Pesantren dalam Tantangan
Modernitas dn Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta : IRD Press, 2004), cet. ke-1, hlm. 13

135
pembelajarannya senantiasa melibatkan masyarakat sekitarnya.
Memang, di Indonesia umumnya sistem pendidikan yang ada pondok
pesantren adalah sistem pendidikan tradisional. Hal ini sebagaimana dikatakan
oleh Ulil Abshar Abdala, mengatakan bahwa pesantren merupakan satu-satunya
lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang mewarisi tradisi intelektual Islam
tradisional.304 Identifikasi tersebut menguatkan bahwa pesantren dengan segala
perangkat lunak dan perangkat kerasnya merupakan lembaga pendidikan di
Indonesia yang masih menjunjung tinggi tradisi dan Budaya otentik bangsa
Indonesia.
Dalam padangan Muctar Buchori, pesantren merupakan bagian dari
struktur internal pendidikan Islam di Indonesia yang diselenggarakan secara
tradisional yang menjadikan Islam sebagai cara hidup. Sebagai bagian struktur
internal pendidikan Islam di Indonesia, pesantren mempunyai kekhasan, terutama
fungsinya sebagai institusi pendidikan, di samping sebagai lembaga dakwah,
bimbingan kemasyarakatan, dan bahkan perjuangan.305
Ciri-ciri tradisional sistem Pendidikan Pondok Pesantren Thawalib dapat
dilihat dari pola umum pendidikan yang dilaksanakan sebagaimana yang
dikatakan oleh Mukti Ali, pola umum pendidikan Islam tradisional pesntren
bercirikan sebagai berikut:
a)adanya hubungan yang akrab antara kyai dan santri, (b)
tradisi ketundukan dan kepatuhan seorang santri terhadap
kyai, (c) pola hidup sederhana (zuhud), (d) kemandirian atau
Indenpendensi, (e) berkembangnya iklim dan tradisi tolong-
menolong dan suasana bersaudara, (f) disiplin yang ketat, (g)
berani menderita untuk mencapai tujuan, (h) kehidupan
dengan tingkat relegiusitas yang tinggi.306

Demikian pula dalam ciri lainnya, bahwa sistem pendidikan yang


diperlihatkan oleh Pondok Pesanten Thawalib Tanjung limau dilihat dari empat

304Ulil Abshar Abdilla, “Humanisasi Kitab Kuning: Refleksi dan Kritik atas Tradisi
Intelektual Pesantren”, dalam Marzuki Wahid, dkk.,(peny.), Pesantren Masa Depan : Wacana
Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustka Hidayah, 1999), cet. ke-1, hlm.
287
305Amin Haedari dan Abdullah Hanif (ed), Ibid., hlm. 14-15
306Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta : Rajawali Press, 1987), cet.
ke-1, hlm. 5

136
ciri seperti yang ungkapkan oleh Mastuhu, yaitu sebagai lembaga pendidikan
tradisional, pesantren mempunyai empat ciri khusus yang menonjol. Mulai dari
memberikan pelajaran agama versi kitab-kitab klasik berbahasa Arab, mempunyai
teknik pengajaran yang unik biasa dikenal dengan sorongan dan bandongan atau
wetonan, mengedepankan hafalan, serta mengunakan sistem halaqah.307
Dari hasil penelitian menunjukan bahwa ciri-ciri sistem pendidikan
tradisional yang ditampilkan oleh Pondok Pesantren Thawalib terlihat dari kitab-
kitab yang diajarkan kepada santri yang kesemuanya berbahasa Arab, kecuali
kepada santri yang mengambil jurusan umum. Adapun metode pembelajaran yang
digunakan untuk mempelajari kitab tersebut ada adalah dengan metode sorongan,
wetonan, hafalan, dan dengan sistem halaqah.
Menurut Zamakhsyari Dhofier, salah satu keunikan dari pola pendidikan
yang dilaksanakan di pesantren adalah tujuan pendidikannya tidak semata-mata
berorientasi memperkaya pikiran santri dengan penjelasan-penjelasan, tetapi juga
menitik beratkan pada peningkatan moral, melatih dan mempertinggi semangat,
menghargai nilai-nilai spritual dan humanistik, mengajarkan kejujuran, serta
mengajarkan santri untuk hidup sederhana dan bersih hati. Dengan demikian,
tujuan pendidikan pessantren bukan untuk mengejar kepentingan kekuasaan,
uang, dan keangungan duniawi, tetapi lebih kepada penanaman bahwa belajar
merupakan kewajiban dan bentuk pengabdian kepada Allah.308
Abdurrahman Wahid menguatkan lagi dalam pendapatnya, bahwa
tradisionalitas sistem pendidikan yang ditampilkan di Pondok Pesantren dapat di
lihat dari dua aspek, yaitu :
Pertama: Pendidikan dan pengajaran berlangsung dalam sebuah struktur,
metode, dan bahkan literatur yang bersifat tradisional, baik
dalam bentuk pendidikan non-formal seperti halaqah maupun
pendidikan formal seperti madrasah dengan ragam tingkatannya.
Kedua: Pola umum pendidikan Islam tradisional Pesantren selalu
memelihara sub-kultur (tata nilai) pesantren yang bediri atas

307Mastuhu, op. cit., hlm. 25


308Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta :
LP3ES, 1986), cet. ke-4, hlm. 21

137
landasan ukhrawi yang terimplementasi dalam bentuk
ketundukan mutlak kepada Tuhan, mengutamakan ibadah
sebagai wujud pengabdian, serta memuliakan ustadz atau kyai
demi memperoleh pengetahuan agama yang hakiki.309
Jadi dari uraian dan pendapat para ahli tersebut, dapat penulis kemukakan,
bahwa sistem pendidikan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau sesuai
dengan tujuan, visi dan misinya, awalnya bersifat tradisional, tetapi pada
perkembangan selanjutnya seiring dengan terjadinya pembaharuan paradigma
pendidikan Islam, maka pesantren Thawalib Tanjung Limau menerapkan sistem
pendidikan pesantren yang mengabungkan antara sistem salaf dengan khalaf. Hal
ini bisa terlihat dari dibukanya sistem madrasah disamping sistem pondok sendiri
yang bersifat pendidikan Islam tradisional.
Kini masa anti terhadap Pesantren telah berakhir meninggalkan era
antagonistis pemerintah terhadapnya, melewati masa resiprokal atau masa saling
melihat antara pemerintah dengan pesantren dan selanjutnya pemerintah mulai
melirik dan mengakui peran pesantren dalam pembangunan bangsa ini. Bahkan
bolehlah pesantren bernafas lega ketika Undang-Undang Sisdiknas mulai
mengakomodir pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang patut
diperhatikan. Hal ini juga yang mendorong pesantren untuk keluar dari
sarangnya, perlahan membuka diri dan berkomunikasi aktif bersama-sama
kembali seiring sejalan dengan pemerintah tanpa menumpulkan peran balancing
dan kritik konstruktif bagi masyarakat dan penguasa.
Namun saat ini pesantren dihadapkan pada persoalan lain dalam
dinamika masyarakat. Telah terjadi pergeseran paradigma, pergeseran
problematika dengan isu baru walau mainstream lama dan percepatan roda jaman
dengan arus globalisasi dan westernisasi, serta abad informasi dan komunikasi
yang membawa manusia pada satu dunia kecil dengan sistem global yang hanya
dijangkau satu tangan saja. Ketika jelajah dunia cukup dengan jentikan jari saja,
maksud melalui internet. Era pasar bebas, perdagangan lintas batas, dunia yang
modern, megapolitan dan maju di milanium ketiga ini. Inovasi yang tiada henti,
309Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta : Dharma Bhakti, tt), cet. ke-1,
hlm. 73-74

138
produktifitas yang tinggi, dunia cyber yang menghegemoni seakan membuat kita
menjadi bodoh dan terkebelakang.
Disisi lain kerusakan moral masyarakat, seperti gunung es yang
meleleh melaju begitu cepat, memporak porandakan norma dan keluhuran
peradaban yang sekian lama dengan susah payah di bangun. Kemaksiatan pun ikut
menglobal seperti bola salju yang menggelinding semakin lama semakin
membesar dan membesar menjadi raksasa yang menakutkan, menggurita
membumi hanguskan keluhuran ajaran diniyah yang selalu di jungjung tinggi.
Perilaku menghalalkan segala macam, cara dalam berbagai bidang, baik politik,
ekonomi, sosial dan budaya.
Semua ini memaksa kembali pesantren untuk keluar dari sarangnya
menyelamatkan dunia karena ada tugas yang sangat berat menantinya. Namun
zaman telah berganti kondisi saat ini bukan yang terjadi pada abad tradisional,
melainkan abad postmodernisme, sehingga mengharuskan pesantren melakukan
restrukturisasi dan revitalisasi dengan mensetel dan meng up gread sopt ware
namun tetap mempertahankan hard ware nya untuk menghadapi problem
komplek dimasyarakat global saat ini.
Tentu saja untuk menghadapi semua itu pesantren harus mulai berbenah
diri mengimbangi bahkan mengendalikan jaman dengan melakukan percepatan
kurikulum. Revolusi ilmiah dan inovasi terdepan demi menegakkan ketinggian
Islam dan membuktikan bahwa Islam itu rahmatan lil alamin dalam kaca mata
yang lebih luas.
Pesantren Thawalib Tanjung Limau harus tampil menghadapi tiga
persoalan tersebut di atas dengan menjadi agen of change, lokomotif kemajuan
dengan gerbong keadilan serta senantiasa menjadi oase bagi panasnya wabah
demam masyarakat yang hampir tidak mengenal dirinya sendiri. Pesantren
Thawalib Tanjung Limau dituntut menguasai teknologi, melihat kenyatan yang
terjadi pada pesantren rasanya seperti suatu yang utopia. Pesantren yang
tradisional, pesantren yang lugu, pesantren yang sederhana dan lain sebagainya.
But the weaknes have ti be strong, disanalah letak dari kekuatannya.
Sejarah telah membuktikan bahwa pesantren bisa melakukan semua itu,

139
dengan keikhlasan para founthing fathernya, dengan keistiqomahan dan
kemandirian seluruh elemennya, pesantren harus mampu menjadi kendali yang
hampir putus dari arah jaman yang carut marut ini.
Di sini perlu diingat bahwa pesantren bukanlah sebagai tukang stempel
belaka, bagi legitimasi sebuah kekuasaan, tempat sowan bagi para pelaku politik
yang ada maunya, tukang penutup doa dari acara formalitas belaka. Namun lebih
luhur dari itu, lebih tinggi dari semua itu yaitu mengajak manusia serta bersama
dengannya untuk menuju kepada terciptanya Negara yang terbaik, dunia yang
terbaik, dunia yang khoir, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari segala
kemunkaran. Seperti firman Allah SWT dalam Surat Ali Imran ayat 104 :
ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããô1t1 1n<Î) Î1ö1s1ø:$#`
tbrã1ãBù't1ur Å$rã1÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Zt1ur Ç`tã
Ì1s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd 1cqßsÎ=øÿßJø9$#
“Dan hendaklah ada diantara kalian sekelompok umat yang mengajak
kepada kebaikan, menyuruh kepada ma’ruf dan mencegah dari
kemunkaran dan merekalah orang-orang yang berbahagia”. (Q.S Ali-
Imran: 104)310

Berdasarkan hasil penelitian, Fahrizal Alwis311 pimpinan pesantren


mangatakan lewat pesan Allah SWT ini seyogyanya pesantren Thawalib
menajamkan perannya di Masyarakat, yaitu dengan tiga poin penting berikut ini:
1.Mengajak kepada kebaikan.
Tentu saja tidak akan efektif dalam mengajak kepada kebaikan , bila
pesantren bukan yang terbaik dalam segala hal , tidak mempunyai prestasi dan
bernilai plus dimata masyarakat, tidak berdaya guna bagi stake houlder sekitar
pesantren, maka seyogyanya hal ini yang pertama dikedepankan yaitu upaya
perbaikan tanpa henti untuk menjadi yang terbaik dalam bidang-bidang berikut :
Pertama: Terbaik dalam Manajemen, baik itu managemen pengelolaan,
managemen kepemimpinan, managemen keuangan , managemen

310Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya


311Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009

140
pemasaran, managemen pengendalian mutu, managemen
organisasi, managemen konplik, dan managemen sumber daya
manusia.
Kedua: Terbaik dalam kompetensi kelulusan, baik out put para santri, dinilai
secara porto polio. Juga out comenya, dimana para santri lebih
aktif berbaur, menjadi suntikan electron ditengah–tengah
masyarakat maju. Dengan menjadi pandu dalam segala hal.
Pesantren harus mampu menelorkan para santri yang cerdas,
kreatif, inovatif, komitmen dan tentu soleh , takwa juga punya
jiwa jihad. Para alumni yang betul-betul menjadi lokomotif bagi
masyarakat sekitarnya agen of change dan agen of control bagi
lingkungannya .
Ketiga: Terbaik dari sisi produk, sarana dan prasarana. Pesantren hendaknya
menjadi pilot proyek dalam sumber informasi dan teknologi ,
menjadi altertnatif pembentukan masyarakat madani, dengan
menampilkan sosok yang maju, sejahtera dan taqwa.312

2.Memerintahkan kepada yang ma’ruf.


Hal yang ma’ruf adalah segala sesuatu yang dipandang baik oleh syara’
walaupun adat tidak memandangnya baik. Disini peran pesantren begitu besar
dalam merubah paradigma dimasyarakat tetang ma’ruf itu sendiri agar dipandang
baik oleh masyarakat dan menjadi tradisi yang dimiliki masyarakat muslim .
Menurut penulis Ada beberapa tingkatan dalam pelaksanaan peran ini;
Pertama, tingkatan sosialisasi yaitu menginformasikan seluruh ajaran Islam
dengan berbagai cara dan kemasan yang menarik kepada masyarakat. Kedua,
melakukan himbauan akan pentingnya melaksanakan ajaran Islam secara kaafah
dan melakukan keteladanan dalam pelaksanaan tersebut. Ketiga, melakukan
pengkondisian dengan mencetak kader–kader militan yang siap menjadi pandu di
masyarakat , juga kerja sama serta koordinasi yang baik dengan berbagai pihak
terutama pemerintah dalam penerapan yang ma’ruf ini. Keempat, melarang dari
hal yang munkar. Munkar adalah segala sesuatu yang dilarang oleh syariat Islam
walaupun tradisi menganggapnya baik. Disini Peran pesantren Thawalib berupaya
merubah paradigma dimata masyarakat untuk menganggap jelek setiap
kemungkaran walaupun tradisi leluhur menganggap baik.
312Fahrizal Alwis, Program Pengembangan Pembelajaran dan Pedoman Penyelenggaraan
Kaderisasi Ulama Ponpes Thawalib Tanjung Limau, (Makalah disampaikan dalam Lokakarya
Regional Tingkat Pesantren dan Guru-guru Pesantren Penyelenggara Pondok Pesantren Thawalib
Thawalib Tanjung Limau Simabur Tanah Datar), tt., hlm. 12

141
Menurut tokoh masyarakat Tanjung Limau, ada 4 (empat) cara yang
mungkin dapat dilakukan pengelola pesantren: Pertama, taraf sosialisasi
yang hati-hati, cermat , jelas, lemah lembut dan bijaksana. Kedua, upaya
keteladanan secara sistematik dan sistemik dalam menjauhkan diri dari
kemunkaran. Ketiga, upaya pemberian stigma negatif secara sosial dan
budaya akan jeleknya kemunkaran tersebut. Keempat, melakukan gerakan
sosial kemasyarakatan dengan propaganda halus dalam memerangi
kemunkaran tersebut.313

Selain peran di atas menurut penulis, pesantren perlu menajamkan


peran dalam pemberdayaan masyarakat terutama saat sekarang ini. Ada
beberapa upaya yang dapat dikembangkan dalam pola pemberdayaan masyarakat
ini diantaranya : (1) meningkatkan kualitas SDM dari para pengasuhnya dengan
berbagai pelatihan, lokakarya seminar dan work shop, (2) penempatan sarjana
pendamping bersama pesantren untuk membangun pesantren itu sendiri dan
bersama dengan sarjana pendamping membangun masyarakat, (3) pengembangan
sarana dan prasarana pendidikan agar tujuan yang telah ditetapkan akan mudah
tercapai, (4) meningkatkan pengembangan ilmu dan keterampilan agar para
lulusan pesantren dapat berhasil dan berdaya guna serta berkarya, (5)
mengembangkan kelembagaan yang siap berkompetisi Sekolah umum lainnya.
Dari uraian di atas, dapat penulis tegaskan, bahwa Pondok Pesantren
Thawalib Tanjung Limau telah berusaha dalam pengembangan pendidikan Islam
di Kabupaten Tanah Datar. Hal ini dilakukan sejalan dengan visi dan misi yang
dimiliki oleh pesantren ini. Dan keberadaan masyarakat Pondok Pesantren dalam
hal ini, baik pengurus yayasan, pimpinan, ustadz, santri dan masyarakat tertata
dan penuh tanggung jawab lahir dan batin, jasmani dan rohani, hati dan
pikirannya benar-benar ada di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau.
Perkembangan sebuah pesantren bergantung kepada pribadi
pimpinannya. Buya atau kyai merupakan cikal bakal dan elemen pesantren yang
paling pokok. Itulah sebabnya kelangsungan hidup dan perkembangan sebuah
pesantren sangat bergantung kepada kemampuan pesantren tresebut untuk
melahirkan generasi yang berkualitas. Melalui peran pengembangan ilmu
pengetahuan dan keterampilan inilah kemudian, pesantren mampu
313Mahmud St. Batuah , Tokoh Masyarakat, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 15
Februari 2009

142
mengembangkan pendidikannya dari berbagai bidang.
Seperti yang diungkapkan oleh pimpinan pesantren, bahwa Pesantren
Thawalib Tanjung Limau yang memiliki lintas sektoral dibawah pembinaan
Departemen Agama dan Dinas Pendidikan, maka secara pasti kurikulum pada
pesantren ini melaksanakan dan mengembangkan ilmu-ilmu umum, seperti
bahasa Inggris, IPS, IPA dan lainya yang sesuai dengan kurikulum pendidikan
nasional.314
Pesantren Thawalib Tanjung Limau yang berusia lebih setengah Abad
ini, meskipun telah mengunakan sistem khalaf, akan tetapi sistem tradisonal masih
melekat pada dirinya, ini terlihat pada kepemimpinan buya yang masih tetap
mengajarkan kitab-kitab kaum salaf.
Untuk mewujudkan output yang lebih berkualitas, pihak pengelola, baik
yayasan maupun pimpinan pondok telah berusaha melakukan kerjasama dengan
berbagai pihak yang ada di Kabupaten Tanah Datar, baik yang bersifat lembaga-
lembaga pendidikan, ataupun dengan organisasi sosial kemasyarakatan lainnya.
Dan tak kalah pentingnya, pesantren ini mencoba melakukan kerja sama dengan
pemerintah dan swasta. Hal ini dilakukan dalam rangka mengembangkan lembaga
dan untuk memperoleh dana sebagai penunjang operasionalnya lembaga ini.
Dan terakhir penulis simpulkan, bahwa sebagai lembaga pendidikan
Islam, pesantren telah eksis di tengah-tengah masyarakat semenjak zaman
kolonial. Pesantren berperan dalam berbagai bidang secara multidimensional, baik
yang berkaitan langsung dengan aktivitas pendidikan pesantren maupun di luar
wewenangnya. Pesantren memiliki peranan penting dalam sejarah pendidikan di
tanah air dan telah banyak memberikan sumbangan dalam mencerdaskan rakyat.
Pesantren menjadi pusat pengembangan keterampilan dan teknologi tepat guna
bagi masyarakat desa, pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitarnya,
sebagai pusat reproduksi ulama, sebagai pusat transmisi ilmu-ilmu Islam, sebagai
pusat pelatihan, dan sebagai pusat pendidikan lembaga Majlis Ta’lim dan didikan
Subuh. Peran seperti inilah peranan yang dijalankan oleh Pondok Pesantren
Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar dalam mengembangkan
314Fahizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 9
Februari 2009

143
pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar.

BAB V
PENUTUP

A.Kesimpulan
Berdasarkan temuan dan pembahasan hasil penelitian, maka diperoleh
kesimpulan sebagai berikut :
1. Latar belakang berdirinya pesantren Thawalib Tanjung Limau ini dari
Surau Gadang Tanjung Limau sebagai sarana belajar mengaji bagi
generasi muda Tanjung Limau dengan mengunakan sistem halaqah. Guru
yang mula-mula mengajar adalah Syekh Sulaiman Al- Mufassir Al-
Mansyur. Pondok Pesantren ini berdiri dalam rangka menjawab tantangan
dan kekurangan Kader Ulama dan Kader Pimpinan Masyarakat di Minang
Kabau, yang dikenal dengan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah. Adapun Tujuan didirikannya pesantren ini adalah untuk
menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian
yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, serta terwujudnya ulama
intelektual, intelektual ulama, berakhlak mulia, terampil dan bertanggung
jawab serta berguna bagi masyarakat. Dan Visi yang dimiliki oleh Pondok
Pesantren Thawalib ini yaitu Istiqomah dalam Aqidah, Makmur dalam

144
Syari'ah, Uswatun Hasanah dalam Akhlaq, dengan misi yang diemban
adalah: mempersiapkan kader ulma, mubaligh, imam, khatib, dan
cendikiawan, mempersiapkan kader pemimpin masyarakat,
mempersiapkan kader muda yang berjiwa wiraswasta, mempersiapkan
kader muda yang siap membela agama, masyarakat, dan negara,
mempersiapkan kemahiran berbahasa asing (Indonesia, Jepang, Arab, dan
Inggris), dan menghasilkan lulusan yang memahami dan menerapkan
dalam kehidupan sehari-hari , Islam sebagai aqidah dan syari'ah, serta
sebagai orang Minangkabau yang tidak terlepas dari falsafah "Adat
Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah.
Pondok Pesantren Thawalib menerapkan sistem manejemen yang sesuai
dengan sistem pondok pesantren yang ada di Indonesia. Karena Pondok
Pesantren ini berada di bawah naungan Departemen Agama, maka
manajemen dan sistem pendidikan yang diselenggarakan adalah :
Raudhatul Adfal (RA), Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA), Madrasah
Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA). Pondok Pesantren Thawalib
menerapkan manejemen salaf dan khlaf Metode pembelajarannya
mengunakan sorongan, bandongan, halaqah, hafalan, dan klasikal.
2. Kurikulum yang dipakai di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung limau,
yaitu dengan mengadopsi kurikulum Departemen Agama, Departemen
Pendidikan Nasional dan kurikulum kepesantrenan. Penerapan kurikulum
ini mendapat respon dari masyarakat, sehingga adanya keterlibatan
masyarakat dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh pesantren.
Di sisi lain pesantren dalam melakukan pengembangan kurikulum juga
memperhatikan, mempelajari dan memahami kebutuhan masyarakat
seperti yang dirumuskan dalam UU, Keputusan Pemerintah, peraturan
Daerah dan lain sebagainya. Menganalisis budaya masyarakat tempat
pesantren berada. Menganalisis kekuatan serta potensi daerah.
Menganalisis syarat dan tuntutan tenaga kerja. Menginterpretasi kebutuhan
individu dalam kerangka kepentingan masyarakat sekitar.
3. Proses pelaksanaan pendidikan Islam di Pondok Pesantren Thawalib

145
Tanjung Limau masih mengunakan kompenen-komponen pendidikan
Islam, seperti adanya Buya selaku pimpinan, ada ustadz untuk mengajar
ilmu agama (kitab), guru untuk mengajar pelajaran umum, ada santri
/siswa, ada Masjid sebagai sarana pegajian, ada sarana dan prasarana
lainnya, mempunyai buku /kitab sebagai sumber belajar, dan juga
mengunakan evaluasi untuk mengukur kemampuan santri dalam
penguasaan materi yang telah diajarkan, baik tertulis maupun lisan dan
praktek.
4. Sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki cita-cita untuk
membangun generasi Islam, pondok pesantren ini dihadapkan pada faktor
penghambat dan pendukung. Faktor Penghambat, seperti masalah
ekonomi, kurangnya perhatian pemerintah darerah terhadap lembaga
swasta, kompetisi yang tidak seimbang dengan sekolah umum, serta
terjadinya perubahan nilai di masyarakat. Meskipun kendala banyak,
namun pesantren tetap eksis dan optimis untuk mencerdaskan anak bangsa
dan memberikan pengetahuan agama, karena pesantren ini masih
didukung oleh beberapa faktor pendukung, seperti: Sarana dan prasarana
yang sudah agak memadai, tenaga pendidik/ustadz yang berkompeten,
serta adanya rencana kerja yang jelas (Master Pan Pondok Pesantren
Thawalib).
5. Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau yang telah berusia 85 tahun,
telah banyak menciptakan Alumni yang sudah bekerja sesuai dengan
profesi dan nasib masing-masing, seperti menjadi Polisi, Pengacara,
Hakim, Dosen/Guru, pengusaha, pedagang, dan lain-lain. Peranan yang
telah berhasil dikembangkan di Pondok Pesantren Thawalib dalam bentuk
kelembagaan berupa : terbentuknya Persantuan Mubaligh yang akan
berdakwah ke setiap Masjid dan Mushala yang ada dalam Kabupaten
Tanah Datar (Majlis Ta’lim) dan Lembaga Didikan Subuh Kecamatan
Pariangan. Pengembangan dalam peningkatan Simber daya manusia, yaitu
meberikan pelatihan dan seminar serta workshop bagi guru dan
masyarakat. Pengembangan lain adalah di bidang pendidikan umum yaitu

146
diajarkannya ilmu-ilmu umum serta adanya jurusan umum di pesantren ini
(jurusan IPS). Pengembangan terhadap sarana dan prasarana, yaitu
menambah lokal dan mendirikan labor komputer dan bahasa bagi santri,
serta menambah media pembelajaran. Dan pengembangan dalam
pendidikan keterampilan yakni dibuka/diadakannya tempat untuk
peningkatan ekonomi pesantren dalam bentuk Tempat Pendidikan Usaha
Santri (TPUS) berupa Koperasi Pondok Pesantren, pengembangan bidang
agrobisnis bidang peternakan sapi potong, TTG, dan pelatihan-pelatihan
menjahit dan bordir, perbengkelan dan elektronik serta komputer. Usaha-
usaha di atas berguna bagi santri dan masyarakat sekitarnya.

B.Saran-saran
Mengingat peranan Pondok Pesantren Thawalib penting dalam proses
pengembangan pendidikan Islam di masyarakat, maka dalam kerangka
membangun eksistensi pesantren di tengah-tengah perubahan zaman yang
sedang menglobalisasi ini, penulis menyarankan sebagai berikut :
1. Pesantren lebih memperhatikan dan mengembangkan wawasan berpikir
keilmuan dari sistem pendidikan nasional, yaitu metode berpikir deduktif,
induktif, kausalitas, dan kritis. Hal ini sangat penting artinya, jika kita
masih mengangap pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang
komprehensif dalam mencetak kader ulama sebagai pendakwah umat
dalam amar makruf dan nahi mungkar.
2. Pesantren perlu melakukan inovasi-inovasi yang sifat untuk kemajuan
santri selama inovasi tersebut masih dalam kerangka sistem pendidikan
Islam dan konsep islam yang dianut. Hal ini dimaksudkan agar pesantren
tidak selamanya dikatakan sebagai komunitas yang kolot dan terbelakang.
3. Dalam penerapan kurikulum yang diadopsi dari pemerintah dalam hal ini
yang bersifat ilmu umum, sebaiknya pondok pesantren mewarnainya
dengan pendidikan Islam itu sendiri,artinya pendidikan tersebut masih
dalam ajaran al-Qur’an dan al-Hadits.

147
4. Pondok pesantren, seharusnya memperluas pelayanan pendidikan kepada
masyarakat secara wajar dan sistematis, sehingga apa yang disajikan
kepada masyarakat akan tetap terasa bermuara pada pandangan dan sikap
Islami, dan terasa bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. Begitu juga
mengenai aktivitas mesjid harus dijadikan basis pembinaan umat. Materi-
materi kajian pendidikan Islam yang disampaikan lewat khotbah jum’ah
dan ceramah-cemah harus dapat di sesuaikan dengan kebutuhan dan
kondisi realitas umat yang dihadapi dan mengantisipasi kondisi perubahan
masa depan. Pondok pesantren dan mesjid perlu menggalang kerjasama
dengan para ulama dan para cendekiawan muslim yang di luar atau yang
tergabung dalam perguruan tinggi yang ada di sekitarnya.
5. Pendidikan Pesantren di masa depan harus menjadi pendidikan yang
mampu melahirkan anak-anak didik yang tidak hanya cemerlang secara
intelektual tetapi juga memiliki kecermelangan dalam sikap moral. Oleh
karena itu, dari sudut pengembangan akademik, pendidikan pesantren
ditantang untuk memberikan muatan-muatan ilmu eksak dalam
kurikulumnya, agar out putnya dapat menguasai IPTEK dengan baik,
sehingga pesantren ini mampu mengharumkan dan mengangkat prestasi
Kabupaten Tanah Datar diantara kabupaten-kabupaten lain yang ada di
propinsi Sumatera Barat bahkan di tingkat nasional.

148
149

Anda mungkin juga menyukai