Anda di halaman 1dari 92

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Masalah Pendidikan Islam yang bermakna usaha


untuk mentransfer nilai-nilai budaya Islam kepada generasi muda, masih dihadapkan
pada persoalan dikotomis dalam sistem pendidikannya. Pendidikan Islam bahkan
diamati dan disimpulkan terkukung dalam kemunduran, kekalahan, keterbelakangan,
ketidakberdayaan, perpecahan, dan kemiskinan, sebagaimana pula yang Islam
dibandingkan kemunduran dan dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat
embel-embel Islam, juga dianggap berkonotasi

dengan mereka yang non Islam. Bahkan, pendidikan yang apabila diberi
keterbelakangan, meskipun sekarang secara berangsur-angsur banyak diantara lembaga
pendidikan Islam yang telah menunjukkan kemajuan.1 Pendapat ini sangat berpengaruh
terhadap sistem Pendidikan Islam, yang akhirnya dipandang selalu berada pada
posisi deretan kedua dalam konstelasi sistem pendidikan di Indonesia, walaupun
dalam undang-undang sistem pendidikan nasional menyebutkan pendidikan Islam
merupakan subsistem pendidikan nasional. Tetapi predikat keterbelakangan dan
kemunduran tetap melekat padanya, bahkan pendidikan Islam sering diperuntukan
hanya untuk kepentingan orang-orang yang tidak mampu atau miskin. Keberadaan
lembaga konfigurasi Pendidikan yang disebutkan di atas cukup variatif, sekalipun
mungkin peran dan fungsinya masih dipertanyakan dalam pendidikan nasional. Untuk
itu fungsi pendidikan Islam dari lembaga atau tempat pendidikan tersebut, perlu
dirumuskan secara lebih spesifik, efektif, dan bermutu tinggi, agar dapat menjawab
tantangan yang dihadapi. Kalau kita telaah literatur dalam pendidikan Islam, maka
diketahui bahwa fungsi dan tujuan pendidikan Islam diletakan jauh lebih berat
tanggungjawabnya bila dibandingkan dengan fungsi pendidikan pada
1Soroyo, Berbagai Persoalan Pendidikan, Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam
di Indonesia, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya, (Yogyakarta :
Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Kaliga, 1991), Volume I, hlm. 77

1
umumnya. Sebab, fungsi dan tujuan pendidikan Islam harus memberdayakan atau
berusaha menolong manusia untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Oleh
karenanya, maka konsep dasarnya bertujuan untuk melahirkan manusia-manusia yang
bermutu yang akan mengelola dan memanfaatkan bumi ini dengan ilmu pengetahuan
untuk kebahagiannya, yang dilandasi pada konsep spritual untuk mencapai kebahagian
akhiratnya. Sebagaimana dikatakan para ahli, bahwa pendidikan Islam berupaya untuk
mengembangkan semua aspek dalam kehidupan manusia yang meliputi spritual,
intelektual, imajinasi, keilmiahan baik individu maupun kelompok, dan memberi
dorongan bagi dinamika aspek-aspek di atas menuju kebaikan dan pencapaian
kesempurnaan hidup baik dalam hubungannya dengan alKhaliq, sesama manusia, maupun
dengan alam.2 Akan tetapi pada tataran operasional, rumusan-rumusan ideal yang
dikemukakan di atas belum terjawab, sedangkan lembaga pendidikan Islam cukup
variatif dalam berusaha menerapkan konsep-konsep tersebut, namun belum berdaya dan
posisi pendidikan Islam sendiri masih terlihat begitu lemah. Melihat kenyataan
ini, maka inovasi atau penataan fungsi pendidikan Islam, terutama pada sistem
pendidikan, harus diupayakan secara terus menerus, berkesinambungan, dan
berkelanjutan, sehingga nanti usahanya dapat menyentuh pada perluasan dan
pengembangan sistem pendidikan Islam luar sekolah termasuk pada pondok pesantren.
Di samping inovasi pada sisi kelembagaan, faktor tenaga pendidikan juga harus
ditingkatkan aspek etos kerja dan profesionalismenya, perbaikan materi (kurikulum)
yang pendekatan metodologi masih berorientasi pada sistem tradisional, dan
perbaikan manajemen pendidikan itu sendiri. Untuk itu, maka usaha untuk melakukan
inovasi tidak hanya sekedar tanbal sulam, tetapi harus secara mendasar dan
menyeluruh, mulai dari fungsi dan tujuan, metode, materi (kurikulum), lembaga
pendidikan, dan pengelolaannya. Penataan pada fungsi pendidikan, tentu dengan
memperhatikan pula dunia kerja. Sebab, dunia kerja mempunyai andil dan rentang
waktu yang cukup besar dalam jangka kehidupan pribadi
2M Arifin, Kapita Selekta Pendidikan, (Jakarta : Bina Aksara, 1991), cet. ke-1,
hlm. 15
dan kolektif. Pembenahan pendidikan Islam dapat memilih sasaran model pendidikan
bagi kelompok masyarakat. Perbaikan wawasan, sikap, pengetahuan, keterampilan,
diharapkan akan memperbaiki kehidupan sosiokultural dan ekonomi masyarakat.
Konsumsi pendidikan dan pengembangan keilmuan untuk kelompok masyarakat, belum
tampak berkembang, kecuali usaha-usaha yang secara naluriah telah diwariskan dari
waktu ke waktu.3 Perbaikan fungsi pendidikan Islam pada tahap lanjut, harus
dilakukan menjadi satu kesatuan dengan lembaga pendidikan Islam lainnya yang
terkait erat sekali, seperti masjid dengan kesatuan jamaahnya, madrasah/sekolah,
keluarga muslim, masyarakat muslim di suatu kesatuan teritorial, dan lain
sebagainya. Dalam konteks tersebut, maka sekurang-kurangnya ada empat jenis
lembaga pendidikan Islam yang dapat mengambil peran ini, yaitu pendidikan Pondok
Pesantren, Masjid, Madrasah, pendidikan umum yang bernafaskan Islam. Peran di sini
seperti yang diungkapkan Bruce J Cohen, peran adalah suatu perilaku yang
diharapkan oleh orang lain dari seseorang yang menduduki status tertentu. Peran-
peran yang tepat dipelajari sebagai bagian dari proses sosialisasi dan kemudian
diambil oleh para individu.4 Permasalahan yang muncul adalah bagaimana lembaga-
lembaga Islam, termasuk pondok pesantren atau para penyelenggara pendidikan
(kyai), mampu mempersiapkan diri dan berperan dalam mengembangkan pendidikan Islam
yang ada. Hal ini mencakup tujuan, manajemen kelembagaan, kurikulum, proses
pembelajaran, sarana-prasarana, dan evaluasi. Sehingga output-nya dapat menghadapi
perubahan masyarakat yang terus maju hidup dalam tatanan ajaran Islam. Ini
merupakan pertanyaan besar yang memerlukan jawaban segera oleh lembaga pendidikan
yang bernaung atas nama pondok pesantren. Pondok pesantren merupakan tempat yang
relevan untuk menyiarkan agama, maupun masalah - masalah sosial lainnya, karena
dalam pondok
3Suyuta, Penataan Kembali Pendidikan Islam pada Era Kemajuan Ilmu dan Teknologi,
(Yogyakarta : Majalah UNISIA No. 12 Th. XIII, UII,1992), hlm. 28 4 Bruce J Cohen,
Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), hlm. 76

3
pesantren ini ilmu yang diajarkan nantinya dapat diterapkan oleh para santrinya
dalam masyarakat di sekitarnya.5 Pondok pesantren sebagai salah satu lembaga
pendidikan Islam di Indonesia sudah ada dan berkembang dan tumbuh mengakar di
tengah-tengah masyarakat Indonesia, dan bahkan tetap di kembangkan sesuai dengan
perkembangan zaman. Di sisi lain, pesantren mempunyai peranan yang sangat penting
bagi sejarah bangsa Indonesia. Dan tidak diragukan lagi bahwa pondok pesantren
merupakan lembaga pendidikan asli Indonesia. Lembaga ini telah eksis jauh sebelum
kedatangan Islam di Nusantara.6 Sejak masa awal penyebaran Islam, pesantren adalah
saksi utama bagi penyebaran Islam di Indonesia. Perkembangan dan kemajuan
masyarakat Islam di Indonesia tidak bisa terpisahkan dari peranan pesantren.
Bermula dari pesantren, perputaran roda ekonomi dan kebijakan publik Islam
dikendalikan. Kedinamisan pesantren tidak hanya di bidang ekonomi dan dekatnya
dengan kekuasaan, tetapi juga maju dalam bidang keilmuan dan intelektual.7 Pondok
pesantren sebagai tempat memperdalam ilmu agama juga memacu diri dalam mencari
sesuatu yang baru sesuai dengan pengetahuan dan teknologi. Serta menghadapi
perkembangan zaman dengan tetap mempunyai kandungan iman dan taqwa kepada Allah
SWT. Dengan demikian pondok pesantren menjadi pusat pendidikan agama dan
pengetahuan masyarakat, sekaligus mewujudkan peran transformasi terhadap ide-ide
dan wawasan baru bagi kesejahteraan rakyat dan masyarakat di sekitarnya dan dalam
mengisi pembangunan.8
5Abdurrahman Soleh, Penyelenggaraan Madrasah Pesantren, (Jakarta : Dharma Bakti,
1985), hlm. 46 6Menurut sejarahnya, terdapat dua versi pendapat tentang akar
berdirinya pondok pesantren di Indonesia. Pertama, pendapat yang menyebutkan bahwa
pondok pesantren berakar pada tradisi Islam itu sendiri, yaitu tradisi tarekat.
Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Indonesia pada awalnya
lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat. Kedua, pendapat yang
mengatakan bahwa pondok pesantren pada mulanya merupakan pengambilalihan dari
system pondok pesantren yang diadakan orang-orang Hindu di Nusantara. Hal ini
didasarkan pada fakta bahwa jauh sebelum Islam datang ke Nusantara, pondok
pesantren ini sudah ada di negeri ini yang dijadikan sebagai tempat mengajarkan
ajaran-ajaran agama Hindu. Departemen Agama, Pola Pengembangan Pondok Pesantren,
(Jakarta : Ditjen Kelembagaan Agama Islam, 2003), hlm. 10 7 Hanun Asrohah, Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2001), cet. ke-2, hlm. 184. 8
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta : INIS, 1994), hlm. 56-57
Pembangunan, terutama bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik
secara spiritual maupun secara material9, atau membentuk manusia yang utuh,
paripurna, yang berkesinambungan antara nilai-nilai kejasmanian dan kerohanian.10
Dimana pada prinsipnya tujuan utama pembangunan yaitu adanya keinginan untuk
merubah keadaan menjadi lebih baik dari sebelumnya dengan melalui berbagai bidang
kehidupan terutama peningkatan dalam bidang pendidikan. Kondisi ini menuntut
pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam untuk bekerja serius
dalam mengembangkan pendidikannya, karena itu A. Mukti Ali, menyatakan bahwa
kelemahan-kelemahan pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini lebih disebabkan oleh
faktor-faktor penguasaan sistem dan metode, bahasa sebagai alat, ketajaman
interpretasi (insinght), kelembagaan (organisasi), manajemen, serta penguasaan
ilmu dan teknologi. Berkaitan dengan hal ini, M.Arifin, juga menyatakan bahwa
pendidikan Islam harus didesak untuk melakukan inovasi yang tidak hanya berkaitan
dengan perangkat kurikulum dan manajemen, tetapi juga menyangkut dengan startegi
dan taktik operasionalnya. Strategi dan taktik itu, menuntut perombakan model-
model pendidikan sampai dengan institusi-institusinya, sehingga lebih efektif dan
efisien, dalam arti pedagogis, sosiologis dan kultural dalam menunjukkan
perannya.11 Sebagai salah satu lembaga pendidikan, pesantren tumbuh dan berkembang
sesuai dengan pengembangan Islam. Memang dalam kenyataannya perkembangan pesantren
secara kuantitatif tidak menurun, bahkan memperlihatkan gejala naik dan ditandai
oleh timbulnya pesantrenpesantren baru.12 Perkembangan pesantren pada saat ini
tetap mengemban tugas sebagai wadah pembinaan umat Islam yang berorientasi kepada
peningkatan moral umat, terutama dalam pendidikan Islam. Kenyataan membuktikan,
9 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
1989), hlm. 454 10Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, (Jakarta :
Rajawali, 1987), hlm. 87 11M Arifin, Kapita Selekta Pendidikan , (Jakarta : Bina
Aksara, 1991), cet. ke-1, hlm. 3 12M Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan,
(Jakarta : LP3ES, 1974), hlm. 6

5
bahwa umat Islam mendambakan agar pemimpin umat, datang dari lembaga ini yang akan
membawa mereka manuju satu jalan kehidupan yang bahagia dunia dan akhirat.
Sebenarnya pembinaan yang dikembangkan di pesantren tidak hanya jalur pendidikan
saja, tetapi mencakup juga segi kerohanian terutama menempa jiwa santri dalam
mencapai satu tatanan kehidupan yang teratur, tertib, kerja sama yang harmonis,
mengutamakan kepentingan umum dan lebih banyak beramal saleh. Menurut Mastuhu,
yang terpenting adalah bahwa suatu lembaga pendidikan akan berhasil
menyelenggarakan kegiatannya jika ia dapat mengintegrasikan dirinya ke dalam
kehidupan masyarakat yang melingkarinya. Keberhasilan ini menunjukan adanya
kecocokan nilai antara pendidikan yang bersangkutan dan masyarakatnya,
setidaktidaknya tidak ada pertentangan. Lebih jauh dari itu, suatu lembaga
pendidikan akan diminati oleh peserta didik, orang tua, dan seluruh masyarakat
apabila ia mampu menyatu dengan masyarakat sekitarnya dalam bidang moral.
Pesantren sering diidealkan sebagai komunitas ideal dan sakral. Pesantren dinilai
sebagai lembaga pendidikan yang mendidik santrinya untuk menjadi orang saleh yang
idealis, moralis, dan berorientasi ukrawi 13 Sementara, Ahmad Tafsir menjelaskan
bahwa pesantren dapat menyumbang penanaman iman, suatu yang diinginkan oleh tujuan
pendidikan Nasional. Budi luhur, kemandirian, kesehatan ronahi, adalah tujuan-
tujuan pendidikan Nasional, yang juga merupakan utama pendidikan pesantren14
Sistem madrasah dan pesantren yang berkembang di nusantara ini dengan segala
kelebihannya, juga tidak disiapkan untuk membangun peradaban.15 Untuk membangun
peradaban Islam ini, di Sumatera Barat banyak juga bermunculan pondok pesantren,
tetapi di Sumatera Barat lembaga pendidikan yang ada pertama kali sebelum diodopsi
ke dalam bentuk pesantren di Jawa dikenal dengan Surau.16 Surau sebagai lembaga
pendidikan tertua di Minangkabau dimulai
13Mastuhu, op. cit., hlm. 4 14Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif
Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2007), cet. ke-7, hlm. 203 15A Syafii
Ma’arif, “Keutuhan dan Kebersamaan dalam Pengelolaan Pendidikan Islam Sebagai
Wahana Pendidikan Muhammadiyah”, makalah disampaikan pada Rakernas Pendidikan
Muhammadiyah, di Jakarta : Pondok Gede,1996, hlm. 5 16 Ibrahim Bukhari Sidi,
Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di
Minangkabau, (Jakarta : PT. Pradya Persada, 1974), hlm. 71
dari surau yang didirikan oleh Syekh Burhanuddin, dimana surau pada waktu itu
berfungsi sebagai tempat melaksanakan sholat dan juga sebagai tempat pendidikan
tarekat, jadi pada saat itu surau mempunyai dua fungsi. Dalam perkembangannya,
eksistensi surau merupakan lembaga yang sangat strategis bagi pengajaran agama
Islam. Dari surau inilah bermunculan surau-surau di daerah Minangkabau ini seperti
surau Jambatan Besi di Padang Panjang, surau Tanjung Sunganyang, surau Gadang
Thawalib Tanjung Limau, surau Parabek, surau Candung dan lain-lain.17 Dalam
catatan sejarah dikatakan, jauh sebelum tahun 1900-an di bawah asuhan Syekh
Abdullah Ahmad perguruan Thawalib telah memulai pendidikannya dengan sistem
halaqah bertempat di surau Jemabatan Besi (sekarang bernama Pesantren Thawalib),
yang kemudian dilanjutkan oleh DR. H. Abdul Karim Amarullah, seorang ulama besar
yang baru pulang belajar dari Mekah yang dikenal dengan sebutan inyiak rasul atau
inyiak Deer (ayah almarhum Buya HAMKA). Beliau sekaligus mengubah sistem belajar
secara klasikal.18 Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau merupakan bagian dari
realitas masyarakat Kabupaten Tanah Datar yang awalnya masih merupakan afiliasi
dari Surau Jembatan Besi di Padang Panjang, tetapi berbeda dalam strukturnya,
dituntut untuk lebih meningkat dalam membangun peradaban Islam serta berusaha
melakukan pengembangan pendidikan Islam. Kenyataan menunjukan bahwa pondok
pesantren Thawalib Tanjung Limau telah berkiprah ditengah-tengah kehidupan
masyarakat semenjak zaman penjajahan Belanda. Pondok pesantren ini telah menyatu
dengan masyarakat, akan tetapi disatu sisi terutama dalam perjalannya sekarang
mengalami perubahan pola majamen dan sistem dari sistem yang ada. Dan permasalahan
yang mendasar dalam penelitian ini adalah, terjadinya ketimpangan dalam sistem
pendidikan pondok pesantren, dimana sistem yang dipakai sesuai dengan haluan dan
17 Zainuddin Mu'in St. Marajo, Sejarah Ringkas Pondok Pesantren Thawalib Tanjung
Limau Simabur Tanah Datar, Makalah Latihan Instruktur Keterampilan Menjahit
Pakaian Wanita, (Jakarta : 4 -5 Oktober 1991), hlm. 1 (tidak diterbitkan)
18Ibrahim Bukhari Sidi, op.cit., hlm. 72

7
pemikiran Buya selaku pimpinan, serta adanya interpensi dari pengurus yayasan
sebagai pemegang otoritas lembaga. Oleh karena itu, pondok pesantren ini dituntut
untuk senantiasa mengembangkan kelembagaannya, meningkatkan kualitas sumber daya
manusia melalui wajib belajar, mengadakan pelatihan-pelatihan serta kursus
keterampilan bagi para santri dan anggota masyarakat sekitarnya. Dengan demikian
masalah yang akan dihadapi dan akan menjadi tanggungjawab Pondok Pesantren
Thawalib Tanjung Limau di masa yang akan datang adalah bagaimana pesantren dapat
berperan dalam pengembangan pendidikan Islam bagi masyarakat sekitarnya sesuai
dengan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri. B. Perumusan
Masalah Berdasarkan latar belakang pada masalah di atas, maka pembahasan pesantren
dan pengembangan pendidikan Islam ini cukup menarik untuk diteliti. Hal ini
mengingat peran strategis pondok pesantren di masa depan sangat dibutuhkan oleh
masyarakat, terutama dalam melakukan peningkatan mutu pendidikan dan pengembangan
pendidikan Islam ditengah-tengah masyarakat. Untuk keperluan tersebut, studi kasus
penelitian adalah di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar
Sumatera Barat. Pertanyaannya adalah bagaimana peran Pondok Pesantren Thawalib
Tanjung Limau (semenjak berobah statusnya menjadi pondok pesantren tahun 1972)
dalam meningkatkan mutu dan mengembangkan pendidikan Islam?. Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, maka yang menjadi tema pokok dalam penelitian ini adalah:
PERANAN PONDOK PESANTREN THAWALIB TANJUNG LIMAU DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN
ISLAM DI KABUPATEN TANAH DATAR SUMATERA BARAT. Permasalah tersebut dirumuskan
dalam pertanyaan berikut: a. Bagaimana latar belakang, tujuan, visi dan misi
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Barat ? Kabupaten Tanah Datar Sumatera
penelitian
b. Bagaimana kurikulum Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah
Datar Sumatera Barat ? c. Bagaimana proses pelaksanaan pendidikan Islam di Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat ? d. Apa
faktor pendukung dan penghambat pengembangan pendidikan Islam di Pondok Pesantren
Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat ? e. Bagaimana peranan
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam pengembangan pendidikan Islam di
Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat,mencakup posisi, tugas pokok dan fungsi
utama. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Yang menjadi tujuan
dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Mengetahui latar belakang
berdirinya, tujuan, visi dan misi Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Sumatera
Barat. b. Mengetahui kurikulum di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat. c. Mengetahui proses pelaksanaan pendidikan
Islam di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera
Barat. d. Mengetahui faktor pendukung dan penghambat pengembangan pendidikan Islam
di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat.
e. Mengetahui peranan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam pengembangan
pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat mencakup posisi, tugas
pokok dan fungsi utama. 2. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari hasil penelitian ini
adalah sebagai berikut: a. Kegunaan Ilmiah Kabupaten Tanah Datar

9
Hasil penelitian ini memberikan konstribusi dalam ilmu sejrah kebudayaan Islam dan
dapat dijadikan teori dan ilmu baru tentang peranan Pondok Pesantren dalam
pengembangan pendidikan Islam dan b. Kegunaan praktis 1) Bagi penulis sendiri,
hasil ini dijadikan sebagai upaya menambah pengetahuan dan wawasan serta
pengalaman, terutama mengenai peran Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam
peningkatan dan pengembangan mutu Pendidikan Islam. 2) Bagi masyarakat, hasil
penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi tentang pentingnya
melakukan peningkatan dan pengembangan mutu pendidikan Islam melalui peran lembaga
pendidikan pondok pesantren yang merupakan kebudayaan dan peradaban Islam. 3) Bagi
pengelola pondok pesantren, hasil penelitian ini memberikan landasan berpikir
dalam rangka mengembangkan pendidikan Islam. D. Kerangka Pemikiran Pendidikan
Pondok pesantren berperan dalam memberikan nilai-nilai Islam yang tinggi serta
berkontribusi mencerdaskan serta membentuk karakter masyarakat yang islami..
Disamping itu pondok pesantren berperan dalam menciptakan ulama inteletual dan
intelektual ulama, disamping menumbuhkan nilai-nilai Islam ditengah-tengah
kehudpan masyarakat. Pondok pesantren berasal dari dua kata, yaitu pondok dan
pesantren. Pondok berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti tempat menginap
atau asrama. Sedangkan pesantren berasal dari bahasa Tamil, dari kata santri,
diimbuhi awalan pe dan akhiran an yang berarti penuntut ilmu.19 Kata pesantren
mengandung pengertian asrama atau tempat murid-murid belajar
19Muhammad Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta
: Raja Grafondo Persada, 1995), hlm. 145

sekaligus sebagai bahan kajian lebih

mendalam mengenai pondok pesantren.


mengaji dan bisa juga disebut pondok.20 Dalam bahasa Indonesia sering nama pondok
dan pesantren dipergunakan juga sebagai sinonim untuk menyebut pondok pesantren.
21 Pesantren adalah suatu bentuk lingkungan masyrakat yang unik dan memiliki tata
nilai kehidupan yang positif yang mempunyai ciri khas tersendiri, sebagai lembaga
pendidikan Islam. Adapun unsur pokok dari pesantren adalah : Kiyai, Santri,
Pondok, Masjid dan Kitab-kitab klasik22. Menurut istilah Islam untuk pondok
pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional mempelajari, memahami, mendalami,
menghayati dan

mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai


pedoman perilaku sehari-hari.23 Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan
tertua di Indonesia yang memiliki kontribusi penting dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa.24 Jauh sebelum masa kemerdekaan, pesantren telah menjadi sistem pendidikan
nusantara. Hampir di seluruh pelosok nusantara, khususnya di pusat-pusat kerajaan
Islam telah terdapat lembaga pendidikan yang kurang lebih serupa walaupun
menggunakan nama yang berbeda-beda, seperti Meunasah di Aceh, Surau di Minangkabau
dan Pesantren di Jawa.25 Dalam perkembangannya pondok pesantren mengalami dinamika
sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia. Pada awalnya pondok pesantren
bersifat tradisional non klasikal dengan metode sorongan26 dan
20Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka, 1996 ), hlm. 762 21Manfrek Ziemek, Pesantren
dalam PerubahanSosial, (Jakarta : P3M, 1986 ), hlm. 116 22Haidar Putra, Sejarah
Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, ( Bandung : Citapustaka
Media, 2001), hlm. 69 23Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta :
INIS, 1994), hlm. 155 24Pondok Pesantren di Indonesia baru diketahui keberadaan
dan perkembangannya setelah abad ke-16. Karya-karya Jawa Klasik seperti Serat
Cabolek dan Serat Centini mengungkapkan bahwa sejak permulaan abad ke-16 ini di
Indonesia telah banyak dijumpai lembaga-lembaga yang mengajarkan berbagai kitab
Islam klasik dalam bidang fiqih, aqidah, tasawwuf dan menjadi pusatpusat penyiaran
Islam. Departemen Agama, Pola Pengembangan Pondok Pesantren, hlm. 11 25Departeman
Agama, Pola Pembelajaran di Pesantren, (Jakarta : Ditjen Kelembagaan Agama Islam,
2003), hlm. 3 26Sorogan adalah santri menghadap kiyai seorang-seorang dengan
membaca kitab yang akan dipelajarinya. Santri menyimak dan mengesahkan dengan
memberi catatan pada kitabnya untuk mensahkan bahwa ilmu itu telah diberikan oleh
kiayi. Abdul Rachman Saleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Visi, Misi dan Aksi,
(Jakarta : PT. Gemawindu Pancaperkasa, 2000), hlm. 223

11
wetonan27 dan materi khusus mempelajari agama. Sebagai lembaga pendidikan Islam
tertua, pondok pesantren berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan umat
Islam, pusat dakwah dan pusat pengembangan masyarakat musilim Indonesia.28 Wirjo
Sukarto menunjukan bahwa tujuan utama pendidikan pondok pesantren adalah
menyiapkan calon lulusan hanya menguasai masalah agama semata. Rencana pelajaran
(kurikulum) ditetapkan oleh Kiyai dengan menunjukan kitab-kitab apa yang harus
dipelajari. Pengunaan kitab dimulai dari jenis kitab yang rendah dalam satu
disiplin ilmu keislaman sampai pada tingkat yang tinggi. Kenaikan kelas atau
tingkat ditandai dengan bergantinya kitab yang telah ditelaah setelah kitab-kitab
sebelumnya selesai dipelajarinya. Ukuran kealiman seorang santri bukan dari
banyaknya kitab yang dipelajari tetapi diukur dengan praktek mengajar sebagai guru
mengaji, dapat memahami kitab-kitab yang sulit dan mengajarkan kepada santri-
santri lainnya.29 Menurut Mahmud Yunus, bahwa isi pendidikan Islam pada pondok
pesantren, terutama pada masa perubahan (1900-1908) meliput: (1) pengajian al-
Qur’an; (2) pengajian kitab yang terdiri atas beberapa tingkat,yaitu: (a) mengaji
nahwu, sharaf dan fiqh dengan memakai kitab Ajrumiyah, Matan Bina, Fathul Qarib
dan sebagainya; (b) mengaji tauhid, nahwu, sharaf dan fiqh dengan memakai kitab
Sanusi, Syaikh Khalid (Azhari,’Asymawi), Kailani, Fathul Mu’in dan sebagainya; dan
(c) mengaji Tauhid, nahwu sharaf, fiqh dan tafsir dan lainnya dengan memakai kitab
Kifayatul ’Awam ( Ummul Barahin), Ibnu ’Aqil, Mahalli, Jalalain/Baidlawi dan
sebagainya.30 Lembaga pendidikan yang berbasis pada pesantren ini mempunyai
27Wetonan adalah metode kuliah, dimana santri mengikuti pelajaran dengan duduk di
sekililing kiayi yang menerangkan pelajaran secara kuliah. Santri menyimak kitab
masing-masing dan membuat catatan padanya. Di Jawa Barat metode ini disebut
bandongan sedang di Sumatra disebut halaqah atau balaghan (balagan). Abdul Rachman
Saleh, Ibid, hlm. 223 28Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Islam, (Jakarta :
Ichtiar Baru Van Hove, 1996) cet. ke-3. Jilid 4, hlm. 99 29Amir Hamzah Wirjo
Sukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, (Jember : Muria Offset,
1985), cet. ke-4, hlm. 27-28 30Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta : Mutiara, 1979), hlm. 54-55
peran dalam segala aspek, tidak hanya dalam aspek ukrawi semata, melainkan dalam
aspek kehidupan umat manusia yang lain. Adapun peran yang sangat dibutuhkan dalam
pengembangan pendidikan Islam disini adalah dalam upaya menemukan pembaharuan
dalam sistem pendidikan yang meliputi metode pengajaran, baik agama maupun umum
yang efektif. inovasi dibidang kurikulum, alat-alat pelajaran, guru yang kreatif
dan penuh dedikasi (kualitas sumber daya manusia), mengembangkan kelembagaan,
pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana, serta pengembangan bidang
keilmuan dan keterampilan.31 Karel Steenbrink, menyatakan bahwa keberadaan
pendidikan Islam di Indonesia cukup variatif. Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa
pendidikan Islam yang berbasis pada pondok pesentren, diharapkan menjadi “modal”
dalam upaya mengintegrasikan ilmu pengetahuan sebagai suatu paradigma didaktik-
metodologis. Sebab, pengembangan keilmuan yang integral (interdisipliner) akan
mampu manjawab kesan dikotimis dalam lembaga pendidikan Islam selama ini
berkembang. Tetapi sayangnya pendidikan model ini belum ditindak lanjuti dan
dievaluasi efiktitas dan efisiensi prosesnya baik dari kurikulum dan materi,
metode, pengajar, waktu pelaksanaan dan organisasi. 32 Melihat kenyataan ini, maka
pendidikan Islam ini perlu mendapat perhatian yang serius dalam menuntut
pemberdayaan yang harus disumbangkannya, dengan usaha menata kembali keadaannya,
terutama di Indonesia. Keharusan ini, tentu dengan melihat keterkaitan dan
peranannya di dalam usaha pendidikan bangsa Indonesia yang mayoritas muslim,
sehingga perlu ada terobosan seperti perubahan model dan strategi pelaksanaannya
dalam menghadapi perubahan zaman. Usaha penataan kembali akan memperoleh
keuntungan majemuk, karena: Pertama, pendidikan Islam subsistem pendidikan
nasional di

31Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam ; Pemberdayaan, Pengembangan


Kurikulum hingga Redefenisi Islamisasi Pengetahuan, (Bandung : Nuansa, 2003), cet.
ke-1,hlm. 33 32Karel Steenbink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam
dalam Kurun Modren, (Jakarta : LP3ES, 1994), hlm. 21

13
Indonesia, akan dapat memperoleh dukungan dan pengalaman positif. Kedua,
pendidikan Islam dapat memberikan sumbangan dan alternatif bagi pembenahan sistem
pendidikan di Indonesia dengan ragam kekurangan, masalah, dan kelemahannya.
Ketiga, sistem Pendidikan Islam yang dapat dirumuskan akan memiliki akar yang
lebih kokoh dalam realitas kehidupan kemasyarakatan.33 Pesantren merupakan salah
satu jenis pendidikan Islam di Indonesia yang bersifat tradisional untuk tujuan
mendalami ilmu agama Islam, dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian,
dengan menekankan pentingnya moral dalam hidup bermasyarakat. Dengan demikian
pesentren merupakan sistem pendidikan yang berkembang di masyarakat. Unsur-unsur
sistem pendidikan selain terdiri atas pelaku yang merupakan unsur organik, juga
terdiri atas unsur-unsur non organik lainnya berupa dana, sarana dan alat-alat
pendidikan lainnya, baik berupa perangkat keras maupun perangkat lunak. Hubungan
antara nilai-nilai dan unsur-unsur dalam suatu sistem pendidikan merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Para pelaku pesantren
adalah kyai (buya) sebagai tokoh utama dan merupakan kunci dari sebuah pesantren,
ustadz sebagai pembantu kyai dalam bidang agama, guru sebagai pembantu kyai dalam
mengajar ilmu-ilmu umum, santri sebagai pelajar, dan pengurus sebagai pembantu
kyai dalam mengurus kepentingan umum pesantren. Nilai-nilai yang dikembangkan
dipesantren senantiasa digerakan dan diarahkan oleh nilai-nilai kehidupan yang
bersumber pada ajaran Islam. Ajaran dasar tersebut berinteraksi dengan struktur
kontektual atau realitas sosial yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Hasil
perpaduan inilah yang membentuk pandangan hidup, dan pandangan hidup inilah yang
menetapkan tujuan pendidikan pesantren yang ingin dicapai dan pemilihan metode
yang akan dilaksanakan. Oleh karena itu, pandangan hidupnya selalu berubah dan
berkembang sesuai dengan perubahan dan perkembangan realitas sosial yang dihadapi
oleh sebuah pondok pesantren.
33Suyata, op .cit., hlm. 23
Tujuan terbentuknya pesantren diantaranya adalah membimbing anak didik (santri)
untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam dan mempunyai ilmu agama, sehingga
sangup menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.
Disamping itu, tujuan khusus dibentuknya sebuah pondok pesantren adalah
mempersiapkan anak didik (santri) untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang
diajarkan oleh kyai yang bersangkutan, serta mengamalkannya dalam masyarakat.34
Sistem yang diutamakan dalam pendidikan di pesantren adalah kesederhanaan,
idealisme, persaudaraan, persamaan, rasa percaya diri, dan keberanian hidup. Para
alumninya tidak ingin menduduki jabatan pemerintah, sehingga mereka hampir tidak
dapat dikuasai oleh pemerintah.35 Dengan demikian, maka sistem pendidikan
pesantren didasarkan atas dialog yang terus – menerus antara kepercayaan terhadap
ajaran agama Islam yang diyakini mempunyai nilai kebenaran mutlak dan realitas
sosial yang memiliki kebenaran relatif. Keberadaan pesantren di Indonesia sudah
mulai sejak Islam pertama kali datang di negeri ini, Ibrahim Bukhari sebagaimana
dikutip oleh Samaun Bakry menyatakan bahwa sejarah dan perkembangan pesantren
tidak terlepas dari sejarah masuknya Islam itu sendiri ke Nusantara,36 karena
kahadiran pesantren beriringan dengan kehadiran Islam di Nusantara, maka kehadiran
pesantren di tanah air erat kaitannya dengan datangnya Islam ke Nusantara, demi
memudahkan analisanya dalam konteks kepesantrenan di Indonesia maka penyebutan
abad ke tujuh tetap dipakai meskipun keberadaannya masih relatif.37 Ciri-ciri
khusus dari sebuah pondok pesantren adalah kurikulumnya terfokus pada ilmu-ilmu
agama, misalnya sintaksis Arab, morfologi Arab, hukum Islam, sistem yurisfudensi
Islam, hadits, tafsir al-Qur'an, teologi Islam,
34M Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta : Bumi Aksara,
1991), cet. ke-1, hlm. 248 35M Amin Rais, Cakrawala Islam , antara Cita dan Fakta,
(Bandung : Mizan, 1989), cet. ke1, hlm. 162 36Samaun Bakry, Mengagas Ilmu
Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2005), cet. ke-1, hlm. 158
37Ibid., hlm. 159

15
tasauf, tarikh, dan mantiq(retorika)38 Literatur ilmu-ilmu tersebut memakai kitab-
kitab klasik dengan istilah " kitab kuning" dengan ciri-ciri kitabnya berbahasa
Arab tanpa syakal (baris), bahkan tanpa titik dan koma, berisi keilmuan yang cukup
berbobot, dan metode penulisannya dianggap kuno, lazimnya dikaji dan dipelajari di
pondok pesantren, dan banyak diantara kertasnya berwarna kuning.39 Pondok
pesantren mulai menampakkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan Islam yang
mapan, yaitu di dalamnya didirikan sekolah baik secara formal maupun non formal.
Dewasa ini pesantren mempunyai kecenderungan baru dalam rangka merenovasi terhadap
sistem pendidikan yang selama ini dipergunakan, yaitu mulai akrab dengan
metodologi modern, semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional dalam
artian terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan
kegiatan makin terbuka dan ketergantungannya pun absolut dengan kyai, dan
sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata
pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan, serta berfungsi sebagai pusat
pengembangan masyarakat di samping sebagai pusat pendidikan Islam.40 Jadi dengan
demikian, intinya, pesantren merupakan tempat sosialisasi dan internalisasi nilai-
nilai yang telah membudaya. Oleh karena itu, penetapan kurikulum, proses, sistem
evaluasi dan tujuannya didasarkan atas nilai-nilai pengetahuan serta aspirasi dan
pandangan hidup yang berlaku dan dihormati oleh masyarakat. Disamping itu, peranan
adanya peningkatan mutu pendidikan menuntut sebuah pesantren menjalin hubungan
yang akrab dan harmonis dengan lembaga-lembaga lainnya yang berkembang di
masyarakat. Semua itu merupakan mata rantai yang saling mendukung dan berkaitan
dengan menjadikan pondok pesantren sebagai lembaga sentral terhadap lembaga-
lembaga lainnya yang ada di tengah-tengah masyarakat.
38Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam,
(Jakarta : Mulia Offset. 1999), cet. ke-1, hlm. 26 39Muhammad Tholhah Hasan, Islam
dalam Perspektif Sosial Budaya, (Jakarta : Galasa Nusantara. 1997), cet. ke-1,
hlm. 103-104 40M Rusli Karim, "Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transpormasi
Sosial Budaya", dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita
dan Fakta, (Yogyakarta : Tiara Wacana. 1991), cet. ke-1, hlm. 134
Atas dasar itu, maka kehadiran sebuah pondok pesantren ditengahtengah masyarakat
akan berdiri di atas dua kepentingan, yaitu sebagai agen pewaris budaya pada satu
sisi untuk menanamkan nilai-nilai ajaran dasar agama Islam, dan disisi lain
sebagai peningkatan dan pengembangan mutu pendidikan pesantren untuk menghadapi
tantangan perubahan masyarakat. Dengan kedua fungsi tersebut, diharapkan pondok
pesantren akan tetap eksis dan dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk
membentuk generasi yang siap menghadapi tuntutan dan tantangan zaman dan
mengamalkan ajaran agama Islam hingga sekarang dan masa yang akan datang. Pola
pengembangan pendidikan Islam yang disintesiskan dari pertemuan corak lama dan
corak baru yang berwujud madrasah/sekolah, yang kemudian diadopsi oleh Thawalib
Tanjung Limau dengan mengikuti format Barat terutama dalam sistem pengajarannya
secara klasikal, tetapi isi pendidikan tetap menonjolkan ilmu-ilmu agama Islam.41
Awalnya pengembangan pendidikan telah dimulai dengan pembaharuan yang dilakukn
oleh tiga orang haji yang kembali belajar dari Mekah, yaitu haji Miskin, Haji
Sumanik, dan Haji Piobang.42 Perkembangan selanjutnya dilakukan oleh tiga
serangkai pembaharu di Minang Kabau, yang dikenal dengan gerakan kaum muda mereka
adalah Haji Rasul ( Inyiak Deer), Haji Abdullah Ahmad, dan Haji Djamil Jambek.43
Melalui peran mereka dan murid-murid mereka inilah lembaga pendidikan Islam
berubah menjadi lembaga pendidikan yang lebih moderen, dengan format Baratnya
yaitu memasukan pelajaran umum ke dalam lembaga tradisional dan memasukan
pelajaran Agama ke sekolah-sekolah umum, serta dengan merobah metode halaqah di
lembaga tradisional dengan metode belajar secara klasikal. E. Langkah-Langkah
Penelitian 1. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah
kualitatif, karena yang
41Muhaimin, op. cit., hlm. 24 42Hamka, Adat Minag Kabau Menghadapi Revolusi,
(Jakarta : Tekad, 1963), hlm.167 43Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan
Modernisasi Menuju Milinium Baru, ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2002), hlm. 122

17
akan diteliti adalah persoalan-persoalan yang memerlukan pemecahan pada saat
sekarang. Dalam hal ini penelitian dimaksudkan untuk mengambarkan secara aktual
mengenai peranan pondok pesantren Thawalib Tanjung dalam pengembangan pendidikan
Islam di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat. Adapun aspek-aspek peranan yang
akan digambarkan dalam penelitian ini diantaranya adalah: peranan Pondok pesantren
dalam mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan, peranan dalam meningkatkan sumber
daya manusia terutama dalam ilmu agama dan umum, dan peranan dalam pengembangan
sarana dan prasarana pendidikan untuk mutu meningkatkan pendidikan Islam. Dalam
mengambarkan peran pondok pesantren Thawalib dalam pengembangan Pendidikan Islam
tersebut di atas, pendekatan yang penulis lakukan adalah pendekatan deskriptif
-analitis historis. Maksudnya adalah data yang telah terkumpul; yaitu berupa kata,
kalimat, dan gambar, yang dibagi dalam perioderisasi perkembangan pesantren
sehingga pendekatan ini bukan kuantitatif yang mengunakan alat-alat pengukur data
statistik. 2. Jenis Data Sesuai dengan metode penelitian yang dipilih di atas,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara rinci gambaran mengenai peran
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam dalam pengembangan Pendidikan Islam,
yang meliputi : (a) data tentang sejarah dan Perkembangan pesantren Thawalib
Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar, (b) data tentang visi, misi dan tujuan pondok
pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar, (c) data tentang kurikulum
yang dipakai di pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar
dalam Pengembangan Pendidikan Islam, (d) data tentang proses pelaksanaan dan
evaluasi pendidikan Islam di pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten
Tanah Datar, (e) data tentang faktor pendukung dan penghambat pengembangan
pendidikan Islam pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten
Tanah Datar, (f) data tentang peranan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
dalam pengembangan pendidikan Islam. 3. Sumber Data Sumber data penelitian ini
terdiri dari dua bagian yaitu: a. Data Primer Yang dimaksud dengan data primer di
sini adalah data yang diperoleh dari lapangan. Adapun yang menjadi sumber data
primer dalam penelitian ini adalah: 1) Pimpinan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung
Limau 2) Staf pengajar/ kyai 3) Dewan santri 3) Tokoh masyarakat yang ada
disekitar pondok pesantren, dan 4) Alumni Pesantren Thawalib Tanjung Limau.

b. Data Sekunder Yang dimaksud dengan data sekunder dalam penelitian ini adalah
sumber data yang didapat dari literatur dan dokumentasi. 4. Teknik Pengumpulan
Data a. Observasi Teknik observasi maksudnya adalah teknik pengumpulan data dengan
jalan pengamatan langsung terhadap objek yang akan diteliti. Dalam teknik ini
proses observasi dilakukan untuk mengamati atau mengetahui kondisi objektif peran
pondok pesantren Thawalib terhadap pengembangan Pendidikan Islam. b. Wawancara
Teknik wawancara maksudnya adalah teknik pengumpulan data dengan proses melakukan
tanya jawab atau wawancara dengan sumber data primer yang telah ditentukan
sebelumnya. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur, maksudnya
adalah pewawancara menentukan sendiri masalah dan

19
pertanyaan yang diajukan sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Wawancara
diajukan kepada sumber data primer, yaitu pimpinan Pondok Pesantren Thawalib
Tanjung Limau, staf pengajar atau dewan guru/kiyai, dewan santri, dan tokoh
masyarakat dan alumni. c. Studi Dokumentasi Studi dokumentasi maksudnya adalah
teknik pengumpulan data dengan jalan mengumpulkan dokumen resmi pondok pesantren
berupa arsip, photo-photo kegiatan yang berkaitan dengan peran Pondok pesantren
Thawalib Tanjung Limau dalam pengembangan pendidikan Islam. 5. Analisis Data
Analisis merupakan bagian yang sangat penting dalam metode ilmiah, sebab dalam
bagian inilah data tersebut dapat memberi arti dan makna yang berguna dalam
memecahkan masalah. Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema
dan dapat dirumuskan hipotesis kerja (ide) seperti yang disarankan oleh data.44
Setelah data diperoleh, langkah berikutnya adalah menganalisis data. Karena
datanya kualitatif, maka pendekatan yang digunakan dalam menganalisis data ini
adalah pendekatan kualitatif. Adapun langkahlangkahnya adalah sebagai berikut : a.
Reduksi Data Data atau informasi yang diperoleh dari lapangan sebagai bahan
“mentah” direduksi, dirangkum, disusun secara sistematis, dipilih hal-hal yang
pokok, atau difokuskan kepada hal-hal yang penting yang relevan dengan subyek
penelitian, sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih jelas atau tajam tentang
hasil yang telah diperoleh. b. Display Data
44Lexy Meliong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya,
2006), hlm. 280
Langkah lanjut dari reduksi dengan menyusunnya secara rapi dan sistematis untuk
disajikan dengan uraian naratif. Hal ini dilakukan untuk mendapat gambaran yang
utuh dari data yang diperoleh, atau gambaran tentang keterkaitan antara aspek yang
satu dengan aspek lainnya. c. Verifikasi Data Penarikan kesimpulan-kesimpulan
secara sementara, kemudian dilengkapi dengan data pendukung lainnya sehingga
sempurnalah hasil dari penelitian. verifikasi dilakukan dengan melihat kembali
pada reduksi data maupun display data sehingga kesimpulan tidak menyimpang dari
data yang dianalisis. d. Melakukan penulisan terhadap data yang telah dianggap
valid dan sesuai dengan masalah penelitian.45 F. Studi Kepustakaan Sampai saat
penelitian ini dilakukan, belum ada bahan yang cocok maupun dokumentasi/arsip yang
memadai sebagai sumber penulisan peran pondok pesantren Thawalib yang terletak di
Tanjung Limau Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar, oleh karena itu sebagai
acuan yang kuat bagi penulis, maka penulis mengambil sebuah skripsi yang
berjudul : Aktifitas Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Dalam Melaksanakan
Dakwah Islamiah di Desa Tanjung Limau Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar,
oleh Asrinaldi, BP. 295 015 Jurusannya adalah Bidang Penyuluhan Islam (BPI),
Fakultas Dakwah IAIN Imam Bonjol (IB) Padang. Dan juga skripsi Widiawati, Bp.
295.107, judul: "Perhatian Pengelola Terhadap Lembaga Pendidikan Islam Di Desa
Tanjung Limau Simabur Kecamatan Pariangan", STAIN Batusangkar, Fak Tarbiyah
Jurusan PAI Adapun isi dari skripsi Asrinaldi di atas adalah bagaimana keberadaan
pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam membina
45Syamsu Yusuf, Penelitian Pendidikan, (Bandung : Fakultas Ilmu Pendidikan UPI.
2003), hlm. 16-17

21
kader dakwah dan bagaimana peranan dakwah dalam masyarakat sekitarnya. Sedangkan
isi skripsi Widiawati adalah bagaimana perhatian pengelola Pondok Pesantren
Thawalib Tanjung Limau Terhadap keberadaan pondok pesantren ini sebagai sebuah
lembaga pendidikan Islam di desa Tanjung Limau. Sedangkan penulis di sini ingin
menulis tentang bagaimana Peranan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam
pengembangan pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat, dan menurut
hemat penulis, pembahasan yang telah ada meski sama-sama meniliti Pondok Pesantren
Thawalib Tanjung Limau, akan tetapi berbeda dalam masalah yang akan diteliti.
Penulis meneliti pesantren ini dititip beratkan pada masalah, bagaimana pondok
pesantren Thawalib Tanjung Limau melakukan inovasi, memperhatikan posisinya dan
menerapkan tugas pokoknya serta berfungsi dalam pengembangan pendidikan Islam di
Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat. BAB II TINJAUAN TEORITIK TENTANG PERANAN
PESANTREN DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM A. Konsep Peranan (Role Consep) Suatu
bagian penting dari lembaga ialah peranan. Peranan ialah aspekaspek dinamis dari
kedudukan dan jabatan di dalam suatu lembaga, dan ia menetapkan perilaku para
pemegang peranan itu.46 Di Pesantren, pemegang peranan itu meliputi pendidik,
tenaga kependidikan, dan peserta didik. Peranan memiliki harapan-harapan yaitu
kewajiban, tanggung jawab, dan haknya. Peranan adalah tindakan seseorang
melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya. Peranan dianggap
penting karena mengatur perilaku seseorang. Peranan memberi batasan-batasan
tertentu kepada orang agar dapat meramalkan perbuatan-perbuatan orang lain.
Peranan diatur oleh norma-norma yang berlaku.
46Astrid Susanto, 1979), hlm. 32 Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial,
(Bandung : Bumi Cipta,
Menurut Soekanto, Peranan mencakup tiga hal, yaitu : Pertama: Peranan meliputi
norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat.
Dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam
kehidupan masyarakat. Kedua: Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat
dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. Ketiga: Peranan juga
dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial
masyarakat.47 Menurut Amran Peranan adalah “bagian dari tugas utama yang harus
dilaksanakan”.48 Sedangkan menurut Wrightman sebagaimana yang dikutip oleh Ozer
Usman, Peranan adalah terciptanya serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan
yang di lakukan dalam suatu situasi tertentu.49 Menurut teori peranan (Role
Theory), peranan adalah sekumpulan tingkah laku yang dihubungkan dengan suatu
posisi. Menurut teori ini, peranan yang berbeda membuat jenis tingkah laku yang
berbeda pula. Tetapi apa yang membuat tingkah laku itu sesuai dalam suatu situasi
dan tidak sesuai dalam situasi lain relatif independent (bebas) pada seseorang
yang menjalankan tersebut.50 Berdasarkan dari teori-teori peranan yang telah
diuraikan di atas, maka yang dimaksud dengan peranan dalam penelitian di sini,
yaitu suatu kondisi yang diperankan atau dijalankan oleh pesantren dalam
menghadapi dinamika pengembangan pendidikan di luar pesantren, terutama terhadap
kehidupan masyarakat di Kabupaten Tanah Datar. Peranan yang dijalankan oleh
Pesantren tersebut, yaitu pengembangan kelembagaannya, peningkatan sumber daya
manusia, pengembangan sarana-prasarana, ilmu dan keterampilan. B. Pendidikan
Pesantren 1. Pengertian dan Sejarah Pendidikan Pesantren Menurut pandangan
Muhaimin dan Abdul Mujib, istilah pendidikan
47Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Tentang Stuktur Masyarakat, (Jakarta : CV
Rajawali, 1984), hlm. 76 48Amran, Kamus Lengkap-Bahasa Indonesia, (Bandung : Bumi
Akasara, 1995), hlm. 449 49Wrightman, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Yogyakarta:
Yogya Press, 1995), hlm. 231 50Soerjono Soekanto, Soisiologi Suatu Pengantar,
(Jakarta : Raja Grafindo, 1989), hlm. 114

peranan

23
pesantren berasal dari istilah Kuttab yang merupakan lembaga pendidikan Islam yang
berkembang pada masa Bani Umayyah. Di Indonesia, istilah Kuttab lebih dikenal
dengan istilah pondok pesantren.51 Sedangkan menurut pengertian Departemen Agama
Republik Indonesia, yang dimaksud dengan pondok pesantren adalah pendidikan luar
sekolah yang didirikan dan dikelola oleh masyarakat yang khususnya mempelajari
/mendalami ajaran agama Islam dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) adanya
pengasuh, seperti kyai/ajengan, tuan guru, buya, tengku, atau ustadz, (2) adanya
mesjid sebagai pusat kegiatan ibadah dan tempat belajar, (3) adanya santri atau
siswa yang belajar, (4) adanya asrama/pondokan sebagai tempat santri
tinggal/mondok, (5) adanya pengkajian kitab kuning atau kitab klasik tentang ilmu-
ilmu ke-Islaman berbahasa Arab gundul sebagai sumber belajarnya.52 Pengertian lain
dari pesantren seperti yang dikatakan oleh Mastuhu, yaitu sebagai berikut:
Pendidikan pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami,
menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fiddin) dengan menekankan
pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.
Penyelenggaraan lembaga pendidikan pesantren berbentuk asrama yang merupakan
komunitas tersendiri di bawah pimpinan kyai atau ulama dibantu oleh seorang atau
beberapa ulama dan atau para ustadz yang hidup bersama di tengah-tengah para
santri dengan mesjid atau surau sebagai pusat kegiatan peribadatan keagamaan,
gedunggedung, sekolah atau ruang-ruang belajar, serta pondok-pondok sebagai tempat
tinggal para santri.53 Melihat dari berbagai macam pengertian pendidikan
pasantren, maka Ahmad Tafsir seorang Guru Besar Pendidikan Islam menegaskan, bahwa
pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia setelah
keluarga dengan ciri-ciri: (1) Ada kyai, (2) Ada pondok, (3) Ada mesjid, (4) Ada
51Pondok Pesantren yaitu lembaga pendidikan Islam yang di dalamnya terdapat kyai
(pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (anak didik) dengan sarana
Masjid yang dugunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung
adanya pondok atau bangunan sebagai tempat tinggal para santri dan mempelajari
kitab kuning. Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kjian
Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung : Trigenda karya, 1993),
cet. ke-1, hlm. 298-299 52DepartemenAgama RI, Pedoman Supervisi Pondok Pesantren
Salafiyah dalam Rangka Wajib Belajar Pendidikan Dasar, (Jakarta : Dirjen Binbagais
Depag RI, 2002), cet. ke-1, hlm. 1112 53Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan
Pesantren, (Jakarta : INIS, 1994), cet. ke-1, hlm. 6
santri, (5) Ada pengajaran membaca kitab kuning.54 Dari macam-macam pengertian
pesantren sebagaimana tersebut di atas, maka dapat penulis ditegaskan di sini
bahwa, pendidikan pesantren merupakan sebuah sistem yang unik. Tidak hanya unik
dalam pendekatan pembelajaran tetapi unik dalam pandangan hidup dan tata nilai
yang dianut, cara hidup yang ditempuh, struktur pembagian kewenangan dan semua
aspek-aspek pendidikan dan kemasyarakatan lainnya. Oleh sebab itu, tidak ada
defenisi yang dapat secara tepat mewakili pendidikan pesantren yang ada. Masing-
masing pesantren mempunyai keistimewaan sendiri, yang tidak dimiliki oleh
pesantren lainnya. Meskipun demikian, dalam hal-hal tertentu pendidikan pesantren
memiliki persamaan. Persamaan-persamaan inilah yang lazim disebut sebagai ciri-
ciri pendidikan pesantren, dan selama ini dianggap dapat mengimplikasikan
pesantren secara kelembagaan. Atas dasar itu, maka dalam tulisan ini dapat penulis
simpulkan bahwa sebuah lembaga pendidikan dapat disebut pesantren apabila di
dalamnya minimal terdapat lima unsur pokok, yaitu: kyai (Buya sebutan di Minang
Kabau), santri, pengajian, asrama, mesjid dan segala aktivitas pendidikan
keagamaan dan kemasyarakatan. Masalahnya kemudian adalah apakah pendidikan
pesantren ini merupakan ciri khas atau produk asli sistem pendidikan Indonesia?
Bagi masyarakat muslim Indonesia, pesantren dianggap sebagai cikal bakal
terbentuknya pendidikan Islam. Pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional
asli Indonesia sebagaimana yang diyakini oleh Karel A Steenbrink, Clifford Geertz
dan yang lainnya.55 Hanya saja mereka berbeda ketika mengungkapkan proses lahirnya
pesantren.56 Nurcholis Madjid pernah menegaskan, pesantren adalah artefak
peradaban Indonesia yang dibangun sebagai institusi pendidikan keagamaan bercorak
54Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : Rosda Karya,
1992), cet. ke-2, hlm. 190 55Syaifuddin (Ed.)., Sinergi Madrasah dan Pondok
Pesantren, (Jakarta : Departemen Agama RI, 2004), cet. ke-1, hlm. 18 56Pada
umumnya, hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh para sarjana, baik dalam
maupun luar negeri, ini terpublikasikan dalam bentuk buku, di antaranya: Tradisi
Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai (Zamakhasyari Dhoffier), Pesantren ,
Madrasah, Sekolah (Karel A. Streenbrik), The Religion of Java, The Japanese Kyai,
dan Islam Observer (Clifford Geertz), Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat ( Martin
van Bruinessen), dan lain sebagainya.

25
tradisional, unik dan indigenous. Dia menegaskan, pesantren mempunyai hubungan
historis dengan lembaga pra-Islam yang sudah ada semenjak kekuatan Hindu-Budha,
sehingga tinggal meneruskannya melalui proses Islamisasi dengan segala bentuk
penyesuaian dan perubahannya.57 Berdasarkan sejarah yang berkembang,
mengindikasikan bahwa pesantren tertua, baik di Jawa maupun di luar Jawa tidak
dapat dilepaskan dari inspirasi yang diperoleh melalui ajaran yang dibawa para
Walisongo.58 Sementara itu Zamakhsyari Dhofier, berpendapat, berdasarkan
keterangan-keterangan yang terdapat dalam dan Serat Cebolek dan Serat Centani,
dapat disimpulkan bahwa paling tidak sejak permulaan abad ke-16 M telah banyak
pesantren-pesantren yang masyhur dan menjadi pusat pendidikan Islam.59 Bahkan
Mastuhu berpendapat bahwa keberadaan pesantren mulai dikenal sejak periode abad
ke-13 M.60 Kehadiran pesantren di tengah masyarakat tidak hanya sebagai lembaga
pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga penyiaran agama Islam, dan sosial
keagamaan. Pesantren berhasil menjadikan dirinya sebagai pusat gerakan
pengembangan Islam, seperti yang diakui oleh Dr. Soebardi dan Prof. Johns
sebagaimana dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier sebagai berikut: Lembaga-lembaga
pesantren itulah yang paling menentukan watak keislaman dari kerajaan-kerajaan
Islam, dan yang memegang peranan paling penting bagi penyebaran Islam sampai ke
pelosok-pelosok. Dari lembagalembaga pesantren itulah asal-usul sejumlah manuskrip
tentang pengajaran Islam di Asia Tenggara yang tersedia secara terbatas, yang
dikumpulkan oleh pengembara-pengembara pertama dari perusahaan-perusahaan dagang
Belanda dan Inggris sejak akhir abad ke-16.61 Selama zaman kolonial, pesantren
tidak termasuk dalam perencanaan pendidikan pemerintah kolonial Belanda.
Pemerintah Belanda berpendapat bahwa sistem pendidikan Islam sangat jelek baik
ditinjau dari segi tujuan, maupun metode bahasa (bahasa arab) yang dipergunakan
untuk mengajar, sehingga sangat
57Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:
Paramedina, 1997), cet. ke-1, hlm. 10 58Abdurrrahman Mas’ud, Intelektual
Pesantren, (Yogyakarta : LKIS, 2004), cet. ke-1, hlm. 63-69 59Zamakhsyari Dhofier,
op. cit., hlm. 33-35 60Mastuhu, op. cit., hlm. 7 61Zamakhsyari Dhofier, op . cit.,
hlm. 17-18
sulit untuk dimasukkan dalam perencanaan pendidikan umum pemerintah kolonial.
Tujuan pendidikannya dinilai tidak menyentuh kehidupan duniawi, metode yang
dipergunakan tidak jelas kedudukannya. Sebaliknya mereka menerima sekolah zending
untuk dimasukkan ke dalam sistem pendidikan pemerintah kolonial, karena secara
filosofis dan teknik dianggap lebih mudah, yaitu baik tujuan, metode maupun bahasa
yang dipergunakan sesuai dengan nilai kebiasaan pemerintah kolonial. Orientasi
sekolah umum diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan dalam hidup
keduniawian, sedang pesantren mengarahkan orientasinya pada pembinaan moral dalam
konteks kehidupan ukhrawi.62 Pada zaman revolusi pesantren merupakan salah satu
pusat gerilya dalam peperangan melawan Belanda untuk merebut kemerdekaan. Banyak
santri membentuk barisan Hizbullah yang kemudian menjadi salah satu embrio bagi
Tentara Nasional Indonesia. Ciri khas pada angkatan darat pada masa awalnya
menggambarkan adanya corak kepesantrenan.63 2. Tipologi Pesantren Salah seorang
peneliti dan pemerhati lembaga pendidikan Islam, yaitu Zamakhsyari Dhofier
mengatakan, bahwa tipologi pesantren dapat dilihat dari aspek jumlah santri dan
pengaruhnya, yaitu sebagai berikut: Pertama: Pesantren yang santrinya kurang dari
1000 orang dan pengaruhnya hanya pada tingkat kabupaten, disebut sebagai pesantren
kecil. Kedua: Pesantren yang santrinya antara 1000-2000 orang dan pengaruhnya pada
beberapa kabupaten, disebutnya sebagai pesantren menengah. Ketiga: Pesantren yang
santrinya lebih dari 2000 orang dan pengaruhnya tersebar pada tingkat beberapa
kabupaten dan propinsi dapat digolongkan sebagai pesantren besar.64 Sementra itu,
Amin Haedari mengelompokkan tipe terbaru dari sebuah pondok pesantren sebagai
berikut : Pertama: Tipe I, yaitu pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal
62Karel A Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta : LP3ES, 1986), cet.
ke-2, hlm. 1-9 63B.J Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, (Jakarta : Grafiti
Press, 1985), cet. ke-1, hlm. 14-27 64Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 42

27
dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan
(MI, MTs, MA dan PT Agama Islam) maupun yang juga memiliki sekolah umum
(SD,SMP,SMA, dan PT Umum). Kedua: Tipe II, yaitu pesantren yang menyelenggarakan
pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski
tidak menerapkan kurikulum nasional. Ketiga: Tipe III, yaitu pesantren yang
mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam dalam bentuk Madrasah Diniyah (MD). Keempat:Tipe
IV, yaitu pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian.65 3. Komponen
Pembelajaran di Pesantren a. Tujuan Pembelajaran di Pesantren Dalam kaedah ushul
fiqh dikatakan bahwa “Al-Umur Bimaqoshidiha” yang mengandung makna bahwa setiap
tindakan dan aktivitas harus berorientasi pada tujuan atau rencana yang telah
ditetapkan. Hal ini karena dengan berorientasi pada tujuan itu, dapat diketahui
bahwa tujuan dapat berfungsi sebagai standar untuk mangakhiri usaha, serta
mengarahkan usaha yang dilalui dan merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-
tujuan lain. Di samping itu, tujuan dapat membatasi ruang gerak usaha agar
kegiatan dapat terfokus pada apa yang dicitacitakan dan yang terpenting lagi dapat
memberi penilaian pada usaha-usahanya.66 Pesantren mempunyai tujuan keagamaan,
sesuai dengan pribadi dari kyai sendiri. Kebiasaan mendirikan lembaga pendidikan
pesantren dipengaruhi oleh pengalaman pribadi kyai semasa belajar di pesantren.67
Tujuan pendidikan di pesantren sarat dengan muatan-muatan keagamaan, bahkan
seorang kyai pernah menjelaskan bahwa berdirinya pesantren adalah sebagai amal
ibadah untuk kehidupan akhirat68. Tujuan pembelajaran di pesantren lebih
mengutamakan niat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat daripada
mengejar hal-hal yang bersifat material. Seseorang yang mengaji/mesantren
disarankan agar

65Amin Haedari, op. cit., hlm. 16 66Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat


Pendidikan, (Bandung : Al-Ma’arif, 1989), cet. ke9, hlm 45-46 67Manfred Ziemek,
Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta : P3M, 1986), cet. ke-1, hlm. 134-135
68Sukamto, op. cit., hlm. 140
memantapkan niatnya dan mengikuti pengajian itu semata-mata untuk menghilangkan
kebodohan yang ada pada dirinya. Menurut Mashutu, tujuan pendidikan pesantren
adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang
beriman dan brtaqwa kepada Allah, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau
berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat,
mampu mandiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau
menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat (‘izzul Islam
wal Muslimin), dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian
Indonesia.69 Jadi dengan demikian, tujuan terpenting dari pembelajaran di
pesantren harus berorientasi pada kemanfaatan terhadap pihak-pihak yang terlibat
dalam proses pembelajaran dan pendirian pesantren itu sendiri, seperti kyai,
santri dan masyarakat sekitarnya. Dengan kata lain, tujuan pembelajaran di
pesantren dapat dirasakan manfaatnya bagi diri kyai dan keluarganya, para
santri /pelajar, dan bagi masyarakat yang berada di sekitar pesantren. b. Kyai
dalam Pembelajaran di pesantren Kyai atau pengasuh pesantren merupakan komponen
yang sangat essensial bagi suatu pesantren. Rata-rata pesantren yang berkembang di
Indonesia, khususnya di Jawa dan Madura, sosok kyai begitu sangat berpengaruh,
kharismatik dan berwibawa, sehingga amat disegani oleh masyarakat di lingkungan
pesantren. Di samping itu, kyai pesantren biasanya juga sekaligus sebagai
penggagas dan pendiri dari pesantren yang bersangkutan. Oleh karenanya, sangat
wajar jika dalam pertumbuhannya, pesantren sangat bergantung pada peran seorang
kyainya. Menurut asal-usulnya, perkataan kyai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga
jenis gelar yang saling berbeda, yaitu: Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi
barang-barang yang dianggap keramat, seperti “Kyai Garuda Kencana” dipakai untuk
sebutan Kereta Emas yang ada di Keraton Yogyakarta. Kedua, gelar kehormatan untuk
orang-orang tua pada umumnya. Ketiga, gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada
seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan
mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya.70
69Mashutu, op. cit., hlm. 55-56 70Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 55

29
Sementara di Jawa Barat digunakan istilah “Ajengan”, di Aceh dengan “Tengku”, di
Sumatera Barat dinamakan “Syaikh atau Buya”, dan di Kalimantan dan NTB disebut
“Tuan Guru”. Bagi masyarakat Islam tradisional, kyai di pesantren dianggap sebagai
figur sentral yang diibaratkan kerajaan kecil yang mempunyai wewenang dan otoritas
mutlak (power and authority) di lingkungan pesantren. Tidak seorangpun santri atau
orang lain yang berani melawan kekuasaan kyai (dalam lingkungan pesantrennya),
kecuali kyai lain yang lebih besar pengaruhnya. Berdasarkan uraian di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa kedudukan kyai dalam proses pembelajaran di pesantren
tidak hanya berfungsi sebagai pengajar atau pendidik semata, akan tetapi lebih
dari itu kyai berkedudukan pula sebagai penjaga moral masyarakatnya. c. Santri
dalam Pembelajaran di Pesantren Komponen yang tak kalah pentingnya dalam proses
pembelajaran di pesantren adalah santri. Santri adalah siswa atau murid yang
belajar di pesantren. Seorang ulama bisa disebut sebagai kyai kalau memiliki
pesantren dan santri yang tinggal dalam pesantren tersebut untuk mampelajari ilmu-
ilmu agama Islam melalui kitab-kitab kuning. Oleh karena itu, eksistensi kyai
biasanya juga berkaitan dengan adanya santri di pesantrennya. Pada umumnya, santri
terbagi dalam dua kategori, yaitu sebagai berikut: Pertama, santri mukim, yaitu
murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap di pesantren. Kedua,
santri kalong, yaitu para siswa yang berasal dari desa-desa di sekitar
pesantrennya.71 Santri mukim yang paling lama tinggal (santri senior) di pesantren
tersebut biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memegang tanggung jawab
mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Santri senior juga memikul tanggung
jawab mengajar santri-santri yunior tentang kitab dasar dan menengah. Adapun
santri kalong umumnya adalah para anak-anak penduduk yang berada di sekitar
pesantren yang mengikuti pengajian di pesantren tersebut. Oleh karena itu mereka
sering bolak-balik dari rumahnya sendiri. Para Santri kolong
71Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 51-52
berangkat ke pesantren ketika ada tugas belajar dan aktivitas pesantren lainnya.
Apabila pesantren memiliki lebih banyak santri mukim daripada santri kolong, maka
pesantren tersebut adalah pesantren besar. Sebaliknya, pesantren kecil memiliki
lebih benyak santri kolong daripada santri mukim. Menurut Amin Haedari dan
Abdullah Hanif, alasan utama seorang santri tinggal di pesantren di anataranya
adalah karena: Pertama: Berkeinginan mempelajari kitab-kitab lain yang membahas
Islam secara lebih mendalam langsung di bawah bimbingan seorang kyai yang memimpin
pesantren tersebut. Kedua: Berkeinginan memperoleh pengalamann kehidupan
pesantren, baik dalam bidang pengajaran, keorganisasian maupun hubungan dengan
pesantren-pesantren lain. Ketiga: Berkeinginan memusatkan perhatian pada studi di
pesantren tanpa harus disibukkan dengan kewajiban sehari-hari di rumah. Selain
itu, dengan menetap di pesantren, yang sangat jauh letaknya dari rumah, para
santri tidak akan tergoda untuk pulang balik, meskipun sebenarnya sangat
menginginkannya.72 Jadi dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan santri adalah para siswa yang belajar di pesantren. Mereka sama
kedudukannya dengan siswa-siswa yang sekolah di pendidikan umum. d. Materi
Pembelajaran di Pesantren Ciri-ciri khusus dalam pembelajaran di pesantren adalah
isi kurikulum atau materi pembelajarannya dibuat terfokus pada ilmu-ilmu agama
Islam, misalnya ilmu sintaksi arab, morfologi arab, hukum Islam, hadist, tafsir,
al-Quran, teologi Islam, tasawuf, tarikh Islam, dan retorika/ mantiq. 73
Literatur-literatur ilmu tersebut memakai kitab-kitab klasik yang disebut dengan
istilah kitab kuning dengan ciri-ciri sebagai berikut: Pertama, kitab-kitabnya
berbahasa Arab. Kedua, umumnya tidak memakai syakal, bahkan tanpa titik dan koma.
Ketiga, berisi keilmuan yang cukup berbobot. Keempat, metode penulisannya
diangggap kuno dan relevansinya dengan ilmu kontemporer kerapkali tampak menipis.
Kelima, lazimnya dikaji dan
72Amin Haedari dan Abdullah Hanif, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas
dan Tantangan Kompleksitas Global,( Jakarta : IRD Press, 2004), cet. ke. 1, hlm.
36 73Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam,
(Jakarta : Mulia Offsert, 1999), cet. ke-1, hlm. 26

31
dipelajari di pesantren. Keenam, banyak diantara kertasnya berwarna kuning.74 Di
kalangan pesantren sendiri, di samping istilah Kitab Kuning, beredar juga istilah
kitab klasik (al-kutûb al-qâdimah), untuk menyebut jenis kitab yang sama. Bahkan,
karena tidak dilengkapi dengan baris (syakl), kitab kuning juga kerap disebut
dikalangan pesantren sebagai kitab gundul. Dan karena rentang waktu sejarah yang
sangat jauh dari kemunculannya sekarang, tidak sedikit yang menjuluki kitab kuning
ini dengan istilah “kitab kuno”.75 Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa materi pembelajaran di pesantren mempunyai ciri khas tersendiri,
terutama dilihat dari segi kitab yang diajarkannya hingga materi ajarnya yang
keseluruhannya berbahasa Arab dengan menitik beratkan pada pengajaran ilmu-ilmu
agama Islam. e. Metode Pembelajaran di Pesantren Ada beberapa metode pengajaran
yang diberlakukan di pesantren-pesantren, diantaranya: sorongan , weton/bandongan,
halaqah, hafalan, hiwar, bahtsul masa’il, fathul kutub, dan muqaranah. Metode-
metode pembelajaran tersebut tentunya belum mewakili keseluruhan dari metode-
metode pembelajaran yang ada di pesantren, tetapi setidaknya paling banyak
diterapkan di lembaga pendidikan tersebut. Disini penulis hanya menjelaskan tiga
buah metode, yaitu sebagai berikut: 1) Sorogan Sorogan berasal dari kata sorong
(bahasa Jawa), yang berarti menyodorkan, sebab setiap santri menyodorkan kitabnya
di hadapan kyai atau pembantunya.76 Sedangkan menurut Amir Hamzah Wijosukarto,
yang dimaksud dengan metode sorongan adalah metode pembelajaran di pesantren yang
santrinya cukup pandai mensorongkan (mengajukan) sebuah kitab kepada kyai untuk
dibaca di hadapannya.77
74Hasan, Islam dalam Perspektif Sosial dan Budaya, (Jakarta: Bina Ilmu, 1996),
hlm. 103104 75Ali Yafie, “Kitab Kuning: Produk Peradaban Islam”, Pesantren, VI, I,
(Jakarta : Wacana Ilmu, 1988), hlm. 3 76Habib Chirzin, Ilmu dan Agama dalam
Pesantren, (Jakarta : LP3ES, 1995), cet. ke-1, hlm. 88 77Amir Hamzah Wirjosukarto,
Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, (Jember :
2) Wetonan atau Bandongan Istilah wetonan berasal dari kata wektu (bahasa Jawa)
yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu,
yaitu sebelum dan atau sesudah melakukan shalat fardu. Metode weton ini merupakan
metode kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling
kyai yang menerangkan pelajaran secara kuliah, santri menyimak kitab masing-masing
dan membuat catatan padanya.78 3) Halaqah Metode halaqah merupakan kelompok kelas
dari metode bandongan. Halaqah yang arti menurut bahasa, yaitu lingkaran murid,
atau sekompok siswa yang belajar di bawah bimbingan seorang guru atau belajar
bersama dalam satu tempat. Halagah ini juga merupakan diskusi untuk memahami isi
kitab, bukan untuk mempertanyakan kemungkinan besar salahnya apa-apa yang
diajarkan oleh kitab, tetapi untuk memahami apa maksud yang diajarkan oleh
kitab.79 Jadi dengan demikian, metode yang umumnya digunakan dalam pembelajaran di
pesantren terdiri dari tiga buah, yaitu: sorongan, wetonan/bandungan, dan
halaqah/musyawarah. Namun demikian, ada juga pesantren yang menggunakan metode
lainnya seperti muqaranah dan lainnya. Pengunaan metode ini dilaksanakan khusus
dalam pembelajaran terhadap kitabkitab klasik dan umumnya berlaku bagi pesantren
yang bersifat tradisional (salafiyah). C. PENDIDIKAN ISLAM 1. Pengertian
Pendidikan Islam Di dalam Islam ada dua istilah yang dipakai untuk pendidikan,
yaitu tarbiyah dan ta’dib. Kedua istilah ini mempunyai perbedaan yang mencolok.
Menurut Nuqaib al-Atas, tarbiyah secara semantik tidak khusus ditujukan untuk
mendidik manusia, tetapi dapat dipakai kepada spesiaes lain, seperti mineral,
tanaman dan hewan. Selain itu tarbiyah berkonotasi material; ia mengadung arti
Muria Offset, 1985), hlm. 26 78Habib Chirzin, op. cit., hlm. 88 79Mastuhu, op.
cit., hlm. 61

33
mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membesarkan,
memproduksi hasil yang sudah matang dan menjinakkan80 Adapun ta’dib mengacu pada
pengertian (ilm), pengajaran (ta’lim) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Dari
itu katanya “ta’dib” merupakan istilah yang paling tepat dan cermat untuk
menunjukan pendidikan dalam Islam.81 Dalam pembahasan ini, Istilah pendidikan
Islam perlu ditegaskan terlebih dahulu, bahwa kata Islam merupakan kata kunci yang
berfungsi sebagai sifat, penegas dan pemberi ciri khusus bagi kata pendidikan.
Dengan demikian, pengertian pendidikan Islam menunjukan makna pendidikan secara
khas memiliki ciri islami yang berbeda dengan model pendidikan lainnya. Menurut UU
RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1, yang dimaksud
dengan pendidikan adalah : Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.82 Pendidikan secara sederhana dan umum dapat
diartikan sebagai usaha manusia unuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi
pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam
masyarakat dan kebudayaan.83 Sedangkan Menurut Ngalim Purwanto, Pendidikan adalah
segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin
perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.84 Istilah pendidikan dalam
konteks Islam pada umumnya mengacu pada term al-tarbiyah, al-ta’dib dan al-ta’lim.
Dari ketiga istilah tersebut term yang sering digunakan adalah al-tarbiyah.
Pengunaan istilah al-tarbiyah berasal dari kata rabb. Walupun kata ini memiliki
banyak arti, tetapi pengertian dasarnya
80Shed Muhammad Al-Nuqaib al-Atas, Konsep Pendidikan dalam Islam, terjemahan
Haidar Bagir, (Bandung : Mizan, 1984), hlm. 66 81Ibid., hlm. 74 - 75 82Undang-
Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tantang Sistem Pendidkan Islam
Nasional 83Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta : RinekaCipta, 2001),
hlm. 1-2 84M Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Bandung :
Remaja Rosda karya, 1991), hlm. 11
menunjukan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur dan menjaga
kelestarian atau eksistensinya.85 Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka
dapat dipahami secara singkat bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan Jasmani dan
rohani yang berpedoman kepada ajaran Islam untuk mencapai kepribadian Muslim.
Disamping itu pendidikan berfungsi untuk menghasilkan manusia yang dapat menempuh
kehidupan yang indah di dunia dan kehidupan yang indah di akhirat serta terhindar
dari siksaan Allah yang maha pedih. Berbeda dengan pendidikan Barat yang bertitik
tolak dari filsafat pragmatisme, yaitu yang mengukur kebenaran menurut kepentingan
waktu, tempat dan situasi, dan berakhir pada garis hajat.86 Filsafat ilmunya
adalah kegunaan/utilities.87 Fungsi pendidikan tidaklah sampai untuk menciptakan
manusia yang dapat menempuh kehidupan yang indah di akhirat, akan tetapi terbatas
pada kehidupan duniawi semata. 2. Sistem dan Komponen-komponen Pendidikan a.
Sistem Pendidikan Islam Menurut Mastuhu, Sistem pendidikan adalah totalitas
interaksi dari seperangkat unsur-unsur pendidikan yang bekerja sama secara
terpadu, dan saling melengkapi satu sama lain menuju tercapainya tujuan pendidikan
yang telah menjadi cita-cita bersama para pelakunya.88 Kerja sama antar para
pelaku ini didasari, digerakkan, digairahkan, dan diarahkan oleh nilai-nilai luhur
yang dijunjung tinggi oleh mereka. Dengan demikian, sistem pendidikan Islam,
secara makro merupakan usaha pengorganisasian proses kegiatan kependidikan yang
didasarkan kepada ajaran Islam, dan berdasarkan atas pendekatan sistemik sehingga
pelaksanaan operasionalnya terdiri dari berbagai sub-sub sistem dari jenjang
pendidikan pradasar, menengah dan perguruan tinggi yang harus memiliki
vertikalisasi dalam
85Samsu Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dann
Praktis, (Jakarta : Ciputat Pers, 2002), hlm. 25-26 86Lihat Islam untuk Disiplin
Ilmu Pendidikan, (Jakarta : Proyek Pembinaan Pendidikan Agama Islam pada Perguruan
Tinggi Umum, 1984), hlm. 12 87Imam Bernadib, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta :
FIP.IKIP, 1983), hlm. 23 88Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam,
(Jakarta : Logos, 1999), hlm. 6

35
kualitas pengetahuan dan tekhnologi yang makin optimal, dan setiap tingkat
mencerminkan meningkatnya keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, dan arahnya
tetap menjiwai pribadi peserta didik, yang sejalan dengan tuntutan alQur’an dan
al- Hadits. b. Komponen-komponen Pendidikan Islam 1) Tujuan Tujuan adalah sasaran
yang akan dicapai seseorang atau sekelompok orang yang melakukan suatu kegiatan.89
Setiap tindakan atau usaha yang dilakukan harus berorientasi pada tujuan yang
telah ditetapkan. Tujuan merupakan masalah sentral dalam proses pendidikan.
Menurut Mulyasa tujuan pendidikan nasional apabila dilihat pada jenjang
pendidikannya, dapat dikelompokkan sebagai berikut: (a) Tumbuh keimanan dan
ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. (b) Tumbuh sikap beretika ( sopan santun
dan beradab), (c) Tumbuh penalaran yang baik (mau belajar, ingin tahu, senang
membaca, memiliki inovasi, berinisiatif, dan bertanggung-jawab), (d) Tumbuh
kemampuan komunikasi/sosial (tertib, sadar aturan, dapat bekerja sama dengan
teman, dan dapat berkompetisi), (e) Tumbuh kesadaran untuk menjaga kesehatan
badan.90 Sedangkan apabila dilihat dari kompetensi lulusan untuk tingkat
pendidikan dasar dan menegah untuk sekolah atau madrasah, menurut Depdiknas dalam
bukunya Mulyasa adalah: (a) Mengenali dan berperilaku sesuai dengan ajaran agama
yang diyakini, (b) Mengenali dan menjalankan hak dan kewajiban diri, beretos
kerja, dan peduli terhadap lingkungan, (c) Berfikir secara logis, kritis dan
kreatif serta berkomunikasi melalui berbagai media, (d) Menyenangi keindahan, (e)
Membiasakan hidup bersih, bugar dan sehat, (f) Memiliki rasa cinta dan bangga
terhadap bangsa dan tanah air.91 Pendidikan sebagai suatu proses yang bertahap dan
bertingkat, maka memerlukan tujuan yang bertahap dan bertingkat pula. Secara umum,
tujuan Pendidikan itu terbagi kepada empat kategori, yaitu tujuan umum, tujuan
akhir,
89Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 1998), hlm. 28
90E Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002),
hlm. 26 91 Ibid., hlm. 28
tujuan sementara, dan tujuan operasional.92 Tujuan umum ialah tujuan yang akan
dicapai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan cara
lain.93 Tujuan ini meliputi seluruh aspek kemanusiaan seperti sikap, tingkah laku,
penampilan, kebiasaan, dan pandangan. Dalam konteks pendidikan di Indonesia tujuan
pendidikan umum adalah tujuan nasional. Dari pendapat di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa tujuan pendidikan Islam itu ialah mengarahkan dan membimbing
manusia melalui proses pendidikan sehingga menjadi orang dewasa yang
berkepribadian muslim yang bertaqwa, berilmu pengetahuan dan keterampilan,
melaksanakan ibadah kepada Tuhannya sesuai dengan niali-nilai ajaran Islam. Tujuan
umum pendidikan Islam ialah muslim yang sempurna, manusia yang bertaqwa, manusia
yang beriman, atau manusia yang beribadah kepada Allah SWT. 2) Pendidik Pendidik
adalah orang dewasa yang bertanggung-jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada
anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya,
mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah, khalifah di muka bumi, sebagai
makhluk sosial, dan sebagai individu yang dapat berdiri sendiri.94 Sementara Ahmad
Tafsir mengatakan pendidik dalam Islam ialah siapa saja yang bertanggung-jawab
terhadap perkembangan anak didik, dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi
anak didik, baik potensi afektif, potensi kognitif, maupun potensi psikomotorik.95
Pendidikan Islam menggunakan tanggung-jawab sebagai dasar untuk menentukan
pengertian pendidik, sebab pendidikan merupakan kewajiban agama, dan kewajiban ini
dibebankan kepada orang yang sudah dewasa. Ini berarti pendidik adalah orang
dewasa yang bertanggung-jawab memberi pertolongan pada anak didik dalam
perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan. Kewajiban
ini bersifat personal, dalam arti setiap orang
92 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara, 1996), hlm.
30-32 93 Ibid., hlm. 30 94Nur Uhbiyati, op. ci.t., hlm. 65 95Ahmad Tafsir, op.
cit., hlm. 74

37
bertanggung-jawab atas pendidikan dirinya sendiri, kemudian bersifat sosial, dalam
arti setiap orang bertanggung-jawab atas pendidikan orang lain. 3) Peserta didik
Dalam bahasa Arab dikenal tiga istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan
pada anak didik. Tiga istilah tersebut adalah murid yang secara harfiah berarti
orang yang menginginkan atau membutuhkan sesuatu; tilmidz (jamaknya) talamidz yang
berarti murid, dan thalib al-Ilm yang menuntut ilmu, pelajar atau mahasiswa.
Ketiga istilah tersebut seluruhnya mengacu kepada seseorang yang tengah menmpuh
pendidikan. Perbedaannya hanya terletak pada penggunaannya. Pada sekolah dasar
yang tingkatannya rendah seperti SD digunakan istilah murid dan tilmidz, sedangkan
pada sekolah yang tingkatannya lebih tinggi seperti SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi
digunakan istilah thalab alilm.96 Berdasarkan pengertian di atas, maka anak didik
dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu,
bimbingan dan pengarahan. Dalam pandangan Islam hakikat ilmu berasal dari Allah,
sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar tanpa guru. Dalam
pandangan yang lebih modren, anak didik tidak hanya dipandang sebagai objek atau
sasaran pendidikan sebagaimana disebutkan di atas, melainkan juga harus
diberlakukan sebagai subjek pendidikan.97 Hal ini antara lain dilakukan dengan
melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar. Karena
peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memiliki keinginan, cita-
cita, dan tujuan, sehingga ia harus aktif dalam proses kegiatan pendidikan.
Peserta didik dalam pendidikan Islam adalah anak yang sedang tumbuh berkembang,
baik secara fisik maupun psikis untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui
lembaga pendidikan. Anak atau subjek adalah orang yang belum dewasa dan sedang
berada dalam masa perkembangan menuju pada kedewasaannya masing-masing.98
96Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos, 1996), hlm. 79
97Ibid., hlm. 79 98Ahmad Supardi, op. cit., hlm. 86
4) Kurikulum Istilah kurikulum berasal dari bahasa latin, yakni curriculum yang
awalnya mempunyai pengertian a running course, dan dalam bahasa Perancis yakni
courier berarti to run yang artinya berlari. Istilah ini kemudian digunakan untuk
sejumlah mata pelajaran (courses) yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar
penghargaan dalam dunia pendidikan,yang dikenal dengan ijazah .99 Kata kurikulum
mulai dikenal sebagai istilah dalam dunia pendidikan sejak kurang lebih satu abad
yang lalu. Istilah kurikulum muncul untuk pertama kalinya dalam kamus Webster
tahun 1856. pada tahun itu, kurikulum digunakan dalam bidang olah raga, yakni
sesuatu hal yang membawa orang dari start sampai ke finish. Barulah pada tahun
1955 istilah kurikulum dipakai dalam bidang pendidikan, dengan arti sejumlah mata
pelajaran disuatu perguruan. Dalam kamus tersebut, kurikulum diartikan dua macam,
yaitu: Pertama: Sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari siswa
di sekolah/perguruan tinggi untuk memperoleh ijazah tertentu. Kedua: Sejumlah mata
pelajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga pendidikan.100 Kurikulum dapat
dipandang sebagai suatu program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan
untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan pendidikan tertentu. Batasan ini
mencerminkan hal-hal sebagai berikut: Pertama, pendidikan itu adalah suatu usaha
atau kegiatan yang bertujuan. Kedua, di dalam kegiatan pendidikan itu terdapat
suatu rencana yang disusun atau diatur. Ketiga, rencana tersebut dilaksanakan di
sekolah melalui cara-cara yang telah ditetapkan.101 Kurikulum merupakan salah satu
komponen pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan, sekaligus merupakan pedoman
dalam pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan tingkat sekolah. Komponen
kurikulum dalam pendidikan sangat berarti, karena merupakan operasionalisasi
tujuan yang dicita-citakan, bahkan tujuan tidak akan tercapai tanpa keterlibatan
kurikulum.
99Abdullah Ali, Pengembangan, Kurikulum Teori dan Praktek, (Jakarta : Gaya Media
Pratama, 1999), hlm. 3 100Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 53 101Zakiyah Daradjat, op.
cit., hlm.122

39
Sedangkan yang dimaksud kurikulum pendidikan Islam adalah semua bahan pelajaran
yang disampaikan kepada peserta didik dalam suatu sistem pendidikan.102 Bahan atau
materi pelajaran sebagai isi kurikulum pada dasarnya merupakan bahan-bahan
pelajaran yang dapat mengantarkan anak didik mencapai tujuan pendidikan yang telah
ditentukan. Dalam ilmu pendidikan Islam, kurikulum merupakan komponen yang penting
karena merupakan bahan-bahan ilmu pengetahuan yang diproses di dalam sistem
kependidikan Islam. Ia juga menjadi salah satu bagian dari bahan masukan yang
mengandung fungsi sebagai alat pencapai tujuan (input instrumental) pendidikan
Islam. Kurikulum pendidikan Islam pada dasarnya merupakan refleksi paradigma
pengetahuan menurut Islam. Secara mendasar akan meliputi dua kebutuhan dasar
manusia yakni yang berorientasi pada kebutuhan material dan yang berorientasi pada
kebutuhan spiritual. Kedua kebutuhan ini bagaimanapun tidak dapat dilepaskan
keterkaitannya dalam penyusunan kurikulum pendidikan Islam .103 5) Metode Metode
secara harfiah berarti “cara”. Dalam pemakaian yang umum, metode diartikan sebagai
cara melakukan suatu kegiatan atau cara melakukan pekerjaan dengan menggunakan
fakta dan konsep-konsep secara sistematis .104 Dalam proses belajar mengajar,
metode berarti cara yang digunakan untuk menyampaikan mata pelajaran dalam upaya
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Metode sangat befungsi dalam menyampaikan
pelajaran. Metode pendidikan yang tidak tepat guna akan menjadi penghalang
kelancaran jalannya proses belajar-mengajar sehingga banyak tenaga dan waktu
terbuang sia-sia. Oleh karena itu, metode yang ditetapkan oleh seorang guru dapat
berdaya guna dan berhasil guna jika mampu dipergunakan untuk mencapai tujuan
pendidikan yang

102Nur Uhbiyati, op. cit., hlm. 161 103Ahmad Supardi, op. cit., hlm. 99 104Muhibin
Syah, op. cit., hlm. 201
telah ditetapkan .105 Menurut Armai Arif, terdapat beberapa metode pengajaran yang
dikenal secara umum, yaitu: (a) metode ceramah, (b) metode diskusi, (c) metode
eksperimen, (d) metode demonstasi, (e) metode pemberian tugas, (f) metode
sosidrama, (g) metode drill, (h) metode kerja kelompok, (i) metode tanya jawab,
(j) metode proyek.106 Dalam proses pendidikan Islam, metode mempunyai kedudukan
yang sangat penting dalam upaya pencapaian tujuan, karena ia menjadi sarana yang
dapat memberikan makna terhadap materi pelajaran yang tersusun dalam kurikulum
pendidikan sedemikian rupa sehingga dapat dipahami atau diserap oleh anak didik
menjadi pengertian-pengertian yang fungsional terhadap tingkah lakunya.107 Tanpa
metode suatu materi pelajaran tidak akan dapat terserap secara efektif dan efisien
dalam kegiatan belajar-mengajar menuju tujuan pendidikan 6) Sarana dan Prasarana
Istilah sarana dan prasarana pendidikan biasa disebut dengan peralatan pendidikan,
yang meliputi hard ware (perangkat keras) dan soft ware (perangkat lunak). Menurut
Usman dan Asnawir, alat atau media adalah merupakan sesuatu yang bersifat
menyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan, dan kemauan siswa
sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada dirinya.108 Dalam
pengertian yang luas, peralatan pendidikan adalah semua yang digunakan guru dan
murid dalam proses pendidikan. Ini mencakup perangkat keras dan perangkat
lunak.109 Sedangkan yang dimaksud dengan alat pendidikan Islam yaitu segala
sesuatu yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan Islam.110
105Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka
Setia, 2001), hlm. 163 106Armai Arif, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan
Islam, (Jakarta : Ciputat Press, 2001), hlm. 42 107Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan,
Ibid., hlm. 163 108M Basyirudin Usman dan Asnawir, Media Pembelajaran, (Jakarta :
DeliaCitra Utama, 2002), hlm. 11 109Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 90 110Ahmad
Supardi, op. cit., hlm. 53

41
7) Evaluasi Evaluasi adalah penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa mencapai
tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program. Padanan kata evaluasi adalah
assesment. yang berarti proses penilaian untuk menggambarkan prestasi yang dicapai
seorang siswa sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Sementara Ahmad
Tafsir, menyatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan kurikuler berupa penilaian untuk
mengetahui berapa persen tujuan tadi dicapai.111 Sementara menurut Armai Arief,
bahwa yang dimaksud dengan evaluasi atau penilaian dlam pendidikan adalah
keputusan-keputusan yang diambil dalam proses pendidikan secara umum; baik
mengenai perencanaan,pengelolaan, proses, dan tindak lanjut pendidikan atau yang
menyangkut perorangan, kelompok maupun kelembagaan.112 Jadi, yang dimaksud dengan
evaluasi dalam pendidikan Islam adalah pengambilan sejumlah keputusan yang
berkaitan dengan pendidikan Islam guna melihat sejauh mana keberhasialn yang
elaras dengan nilai-nilai Islam sebagai tujuan dari pendididkan Islam itu sendiri.
Evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan cara atau teknik penilaian terhadap
tingkah laku anak didik berdasarkan perhitungan yang bersifat komprehensif dari
seluruh apek-aspek kehidupan mental psikologi dan spiritualreligius, karena
manusia hasil pendidikan Islam bukan saja sosok pribadi yang tidak hanya bersikap
religius, melainkan juga berilmu dan berketerampilan yang sanggup beramal dan
berbakti kepada Tuhan dan masyarakatnya. D. PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM Masalah
pengembangan aktivitas kependidikan Islam di Indonesia pada dasarnya sudah
berlangsung sejak sebelum Indonesia merdeka hingga sekarang dan hingga yang akan
datang. Hal ini dapat dilihat dari fenomena tumbuhkembangnya program dan praktik
pendidikan Islam yang dilaksanakan di nusantara. Buchori memetakan struktur
internal pendidikan Islam Indonesia, jika ditilik dari aspek program dan praktik
pendidikannya ke dalam 4 (empat) jenis, yaitu (1) pendidikan pondok pesantren; (2)
pendidikan madrasah; (3) pendidikan
111Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 55 112Armai Arief, op. cit., hlm. 54
umum yang bernafaskan Islam; dan (4) pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di
lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah
saja.113 Pendidikan Islam, suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid
dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan
pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali
oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam114, atau "Pendidikan
Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman
pada syariat Allah.115 Pendidikan Islam bukan sekedar "transfer of knowledge"
ataupun "transfer oftraining", ....tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata
di atas pondasi keimanan dan kesalehan; suatu sistem yang terkait secara langsung
dengan Tuhan.116 Pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja
perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Dengan
demikian, pendidikan merupakan sarana terbaik untuk menciptakan suatu generasi
baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri
tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh secara intelektual atau terbelakang dalam
pendidikan mereka atau tidak menyadari adanya perkembangan-perkembangan disetiap
cabang pengetahuan manusia.117 Pendidikan merupakan proses budaya untuk
meningkatkan harkat dan martabat manusia yang berlangsung sepanjang hayat.
Pendidikan selalu berkembang, dan selalu dihadapkan pada perubahan zaman. Untuk
itu, mau tak mau pendidikan harus didisain mengikuti irama perubahan tersebut,
apabila pendidikan tidak didisain mengikuti irama perubahan, maka pendidikan akan
ketinggalan dengan lajunya perkembangan zaman itu sendiri.
113Muchtar Buchori, Pendidikan Islam Indonesia: Problema Masa Kini dan Perspektif
Masa Depan, dalam Muntaha Azhari & Abd.Mun’in Saleh (Ed.), Islam Indoensia Menatap
Masa Depan, (Jakarta : P3M, 1989), hlm. 184 114Syed Sajjad Husain dan Syed Ali
Ashraf, Crisis Muslim Education". Terj. Rahmani Astuti, Krisis Pendidikan Islam, (
Bandung : Risalah, 1986), hlm.2 115Abdurrahman an-Nahlawi, Ushulul Tarbiyah
Islamiyah wa Asalabih fi Baiti wa Madrasati wal Mujtama', Dar al-Fikr al-Mu'asyr,
Beirut-Libanon., Terj. Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan
Masyarakat, ( Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hlm. 26 116Roehan Achwan,
Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi, Jurnal Pendidikan Islam, (Yogyakarta
: IAIN Sunan Kalijaga, 1991),Volome.1, hlm. 50 117Azyumardi Azra, dalam Marwan
Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, ( Jakarta : Amisco, 1996),
(Comference Book, London, 1978), hlm. 15-17

43
Muhaimin berpendapat, bahwa pengembangan pendidikan Islam di Indonesia, terutama
pada periode sebelum Indonesia merdeka (1900menjelang 1945), agaknya lebih
ditujukan pada upaya menghadapi pendidikan kolonial. Pada periode tersebut diduga
muncul berbagai problem isu-isu pendidikan Islam yang menonjol, yang merupakan
diskursus dalam pengembangan pendidikan Islam, terutama di kalangan para pemikir,
pengembang dan pengelola pendidikan Islam di Indoneisa.157 Lebih lanjut Suroyo
berpendapat bahwa untuk mengembangkan pendidikan Islam ke arah yang lebih bermutu,
maka persoalan yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut: Pendidikan Islam
perlu menghadirkan suatu konstruksi wacana pada dataran filosofis, wacana
metodologis, dan juga cara menyampaikan atau mengkomunikasikannya. Dalam
menghadapi peradaban modern, yang perlu diselesaikan adalah persoalan-persoalan
umum internal pendidikan Islam yaitu (1) persoalan dikotomik, (2) tujuan dan
fungsi lembaga pendidikan Islam, (3) persoalan kurikulum atau materi. Ketiga
persoalan ini saling interdependensi antara satu dengan lainnya. Pertama,
Persoalan dikotomi pendidikan Islam, yang merupakan persoalan lama yang belum
terselesaikan sampai sekarang. Pendidikan Islam harus menuju pada integritas
antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu
agama dan ilmu bukan agama. Karena, dalam pandangan seorang Muslim, ilmu
pengetahuan adalah satu yaitu yang berasal dari Allah SWT.118 Lembaga-lembaga
pendidikan Islam harus memilih satu di antara dua fungsi, apakah mendisain model
pendidikan umum Islami yang handal dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga
pendidikan yang lain, atau mengkhususkan pada disain pendidikan keagamaan yang
berkualitas, mampu bersaing, dan mampu mempersiapkan mujtahid-mujtahid yang
berkualitas. Sebagaimana yang telah diuraikan dalam pembahasan di atas, bahwa
pengembangan pendidikan Islam merupakan suatu bentuk tindakan yang dilakukan
dengan memperhatikan paradigma pendidikan agar pendidikan Islam tidak selalu
tertinggal dibanding dengan pendidikan Barat, maka sikap dan pikiran masyarakat
harus di arahkan kepada pendidikan yang sesuai dengan tuntunan alQur’an dan al-
Hadits. Faktor terjadinya pengembangan ini berasal dari dalam diri masyarakat
maupun berasal dari luar diri masyarakat terutama lembaga
118Soroyo, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun 2000,
dalam Buku : Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Editor : Muslih
Usa, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991), hlm. 45
pendidikan Islam seperti Pondok Pesantren.119

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak Geografis


119Azyumardi Azra, dalam Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam,
(Jakarta : Amisco, 1996), hlm. 3

45
Pesantren Thawalib terletak di Nagari Tanjung Limau desa

Simabur

kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar. Tanjung Limau termasuk kenagarian


Simabur Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar terdiri dari dataran seluas 139
ha yang terletak 11,5 Km dari ibu kota Kabupaten dan 1,5 Km dari ibu kota
Kecamatan. Sebelah utara berbatasan dengan Jorong Simabur dan Jorong Koto Tuo,
sebelah selatan berbatasan dengan Jorong Batu Basa, sebelah timur dengan
Kenagarian Tabek dan sebelah barat dengan Koto Baru.120 Pondok Pesantren Thawalib
Tanjung Limau adalah salah satu lembaga Pendidikan Agama tertua di Minangkabau
Khususnya Kabupaten Tanah Datar .Pesantren ini dibangun di atas tanah wakaf seluas
16.000 m2 yang tempo dulu atau sekita tahun 1920-an merupakan sebuah Surau (tempat
mengaji dan belajar agama) dan kemudian berkembang menjadi perguruan Thawalib, dan
akhirnya tahun 1972 berobah menjadi Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau.
Pesantren ini sangat mudah dijangkau, karena letak pesantren ini tepat di pinggir
jalan desa yang dilalui oleh kendaraan umum yang akan menuju pasar kecamatan,
disamping itu, untuk menuju pesantren ini juga dapat menaiki angkutan roda dua
atau ojek dengan biaya Rp. 2000,-. Mengingat tempatnya yang strategis dilalui oleh
kendaraan umum dan dekat dengan ibu Kecamatan, maka banyak pelajar yang sekolah di
pesantren ini tidak memondok, kecuali siswa yang berasal dari luar Kabupaten Tanah
Datar dan dari daerah kecamatan tetangga. Pada umumnya santri yang memodok
tersebut adalah santri Madrasah Aliyah Keagamaan serta mereka yang ingin belajar
kitab kuning. B. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Pondok Pesantren Thawalib
Tanjung Limau 1. Cikal Bakal Thawalib Tanjung Limau Cikal bakal berdirinya
Pesantren Thawalib ini adalah dari “Surau Gadang”121 Tanjung Limau sebagai sarana
belajar mengaji bagi generasi muda
120Akta Pendirian Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau ,No. 66 tahun 1976
121Surau Gadang atau surau besar dalam bahasa Indonesia adalah tempat atau sarana
belajar mengaji (al-Qur’an dan praktek ibadah), dan tempat untuk melatih generasi
muda Tanjung Limau dalam memahami ajaran Islam lebih mendalam, di surau ini mereka
dibimbing oleh seorang guru atau Syaikh Sulaiman al-Mufassiry (ulama awal di desa
Tanjung Limau), Fahrizal Alwis,
Tanjung Limau dengan menggunakan sistem halaqah. Murid laki-laki dipisahkan dengan
murid perempuan. Guru yang mula-mula mengajar di surau ini adalah Syekh Sulaiman
Al Mufassir Al mansyur, sehingga Tanjung Limau dikenal orang sebagai tempat
mengaji Tafasia (Tafsir). Setelah Syekh Sulaiman Al Mufassir Al mansur wafat
pengajian di surau Gadang dilanjutkan oleh cucunya, H. Mukhtar Ya’qub dalam usia ±
18 tahun yang telah menamatkan sekolahnya di Surau Jembatan Besi atau sekarang
dikenal dengan Perguruan Thawalib Padang Panjang tahun 1922 M. Semulanya H.
Mukhtar Ya’qub bermaksud akan merantau ke Palembang untuk mengembangkan ilmu yang
telah beliau pelajari, namun masyarakat Tanjung Limau juga berharap kepadanya
untuk mengajar di Surau Gadang. H. Mukhtar akhirnya membatalkan rencana semula dan
menerima amanah yang diberikan masyarakat kepadanya.122 Untuk memperlancar
pendidikan di Tanjung Limau H. Mukhtar Ya’qub bersama pemuka masyarakat
berinisiatif untuk mendirikan sebuah madrasah. Setelah diadakan musyawarah, pada
tahun 1923 M dapat didirikan sebuah gedung terdiri dari 4 lokal berlokasi diatas
tanah wakaf Labai Sutan dan Datuk Tan Majolelo.123 Semua biaya bangunan berasal
dari sumbangan masyarakat Tanjung Limau baik materil maupun tenaga. Setelah gedung
tersebut selesai dan dapat dimanfaatkan, maka sistem pendidikanpun berobah dari
sistem halaqah menjadi sistem klasikal dengan bidang studi pengetahuan agama dan
Bahasa Arab. Penyelenggaraan pendidikan di Pondok Pesantren Thawalib ini dikelola
oleh H. Mukhtar Ya’qub dan dibantu oleh Angku Sago dari Sungayang serta oleh murid
yang tingkatnya kelasnya lebih tinggi. Murid yang agak dewasa belajar pada pagi
hari dengan nama “Thawalib” dari nama inilah diambil nama Thawalib sampai
sekarang, dan pada sore harinya
Pimpinan Pontren, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau 09 Februari 2009 122Yayasan
Pembina Thawalib Tanjung Limau, Sejarah Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau, (
Tanjung Limau, t, th), hlm. 1 123Labai Sutan dan Datuk Tan Majolelo adalah
masyarakat Tanjung Limau yang kaya raya dan mendapat jabatan sebagai Demang dan
Wali Nagari di masa pemerintahan kolonial Belanda yang memiliki tanah yang luas,
mereka mempunyai perhatian yang besar kepada pengajaran alqur’an dan pendidikan
anak muda Tanjung Limau, Lihat Datuk Tan Majolelo, Wali Nagari Nan Cadiak Pandai,
( Tanjung Limau, 1920), tt, hlm. 45

47
adalah waktu belajar bagi anak-anak yang dalam usia sekolah dasar dengan nama
“Diniyah School”.124 Sementara itu belajar mengaji di Surau Gadang tetap
dilaksanakan dengan sistem halaqah Dalam catatan sejarah Minang Kabau, disebutkan
bahwa H. Mukhtar Ya’kub adalah Almnus dari Surau Jembatan Besi dengan afiliasinya
sekarang yaitu Sumatera Thawalib Parabek yang dipimpinan H. Abdul Karim Amarullah
( ayah buya HAMKA) atau yang dikenal dengan Inyiak Deer, dimana di surau ini telah
diperkenalkan belajar dengan sistem klasikal. Perubahan sistem ini dipengaruhi
oleh pembaharuan pendidikan di Timur Tengah. Sejarah berdirinya Thawalib ini
merupakan perkembangan dari Thawalib Padang Panjang. Pesantren ini mengalami
perkembangan, meskipun banyak kendala harus dihadapi, seperti tantangan dari
pemerintah Hindia Belanda. Di tahun 1923 s/d 1940 murid-murid pesantren Thawalib
ini banyak yang berasal dari Aceh, Medan, Jambi, Tembilahan (Riau), dll.125 Pada
perkembangan selanjutnya ditahun 1972 perguruan ini berobah menjadi Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau, perobahan ini karena salah seorang pimpinan
perguruan ini mengikuti pelatihan di Kelapa 2 Jakarta.126 Proses belajar mengajar
dengan sistem Salaf, pembelajaran dengan metode halaqah dan sorongan mengunakan
literatur kitab kuning sebagai dasar untuk mentransfer pokok-pokok ajaran Islam
Ahlulul Sunnah Waljama’ah tetap dipertahkan. Sebenarnya pembelajaran dengan sistem
kelas telah dilaksanakan di pesantren semenjak H.Muchtar Ya’cub mengelola
pesantren ini. Perubahan ini terjadi seiring dengan terjadinya pembaharuan
pendidikan Islam di Minangkabau Sumatera Barat. Dalam perkembangan selanjutnya
mulai dibuka sistem klasikal dengan model madrasah. Perubahan sistem ini bertujuan
untuk mengikuti perkembangan pendidikan yang ada di sekolah umum/ madrasah.
Perubahan
124Diniyah School adalah sekolah yang didirikan untuk perempuan Minang oleh
Zainuddin Labai El-Yunusi pada tanggal 10 Oktober 1915, kemudian adiknya Rahmah
El-Yunusiah mendirikan pula Diniyah School Putri tanggal 1 November 1923. Tentang
Diniyah School baca, Peingatan 55 Tahun Diniyah Putri Pdang Panjang, ( Jakarta :
Ghalia Indonesia, 1978), hlm.74 125Burhanuddin Daya, Gerakan Pembahruan Pemikiran
Islam: Kasus Sumatera Thawalib, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1995), hlm.
126Zainuddin Mu'in St. Marajo, Sejarah Ringkas Pondok Pesantren Thawalib Tanjung
Limau Simabur Tanah Datar, Makalah Latihan Instruktur Keterampilan Menjahit
Pakaian Wanita, (Jakarta : 4 -5 Oktober 1991), hlm. 1 (tidak diterbitkan)
metode belajar ini diiringi dengan semangat dan prinsip pembaharuan di Minang
Kabau Sumatera Barat. Model madrasah yang dimaksud adalah madrasah sebagai
kelayakan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal yang legitimate, atau
baik berafiliasi dengan Departemen Agama. Pengunaan model ini semata-mata
bertujuan untuk mengikuti perkembangan dunia yang menglobal. Dan diharapkan siswa
yang tamat dari Pesantren Thawalib ini tidak hanya diterima di Perguruan Tinggi
Agama (IAIN/STAIN), dan diharapkan dapat juga bersaing di perguruan tinggi umum
disamping dapat mengembangkan keterampilan sebagai wiraswasta di tengah-tengah
masyarakat kelak. Asumsi bahwa sesungguhnya pendidikan pondok pesantren merupakan
pendidikan yang membekali santri dengan masalah ukhrawi dengan pengetahuan agama,
membentuk watak mandiri, percaya pada diri sendiri, dan penguasaan pengetahuan
umum menjadi dasar pemikiran dan pertimbangan pendiri pondok pesantren Thawalib,
sehingga secara Legitimate. Sebagai pondok pesantren yang milik yayasan, sumber
dana untuk pembangunan fisik pondok pesantren disamping berasal dari keluarga,
juga memperoleh dukungan dana dari donatur dan masyarakat, serta juga mendapat
bantuan dari pemerintah. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembangunannya
senantiasa melibatkan unsur keluarga dan unsur masyarakat. Begitu juga dalam
kegiatannya senantiasa melibatkan masyarakat sekitar untuk mengikuti keagamaan di
lingkungan pesantren, seperti madrasah, majlis ta’lim, maupun pengajian rutin. 2.
Perkembangan Pesantren Thawalib Pada tahun 1928, Madrasah Thawalib Tanjung Limau
ini mendapat popularitet yang luar biasa dengan banjirnya pelajar yang
mendaftarkan diri untuk belajar di Thawalib khususnya daerah Tanah Datar bahkan
ada yang berasal dari Aceh, Tapanuli, Kurinci, Palembang, Bengkulu, Jambi, riau
dan pekan baru.127
127Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau, Ibid., hlm. 9

Madrasah yang didirikan di dalam Pondok

Pesantren Thawalib Tanjung Limau ini berafiliasi dengan Departemen Agama

49
Para murid atau santri bukan hanya sekedar menimba ilmu di kelas saja namun mereka
juga menambahnya di surau bagi laki-laki atau di asrama bagi perempuan. Dengan
makin bertambahnya jumlah murid yang belajar di Thawalib, dapat pula dibangun
lokal lainnya sehingga mencapai 11 buah lokal dibiayai dari swadaya masyarakat,
hasil sawah sekolah, infak dan sedekah termasuk uang pembangunan dari wali murid.
Demikian pula guru yang mengajar di Thawalib bukan hanya berasal dari Tanjung
Limau, tetapi ada yang dari daerah sekitarnya, dari Lima Kaum, Sungayang, Padang,
Malalo bahkan ada yang dari Kalimantan.128 Untuk menjaga keseimbangan proses
belajar mengajar, bagi guru diberikan bidang studi sesuai dengan keahlian mereka
masing-masing, disamping itu bagi murid yang tingkatannya lebih tinggi juga
diberikan amanah untuk mengajar dan membimbing murid dibawah tingkatannya, bahkan
setelah mereka menyelesaikan pendidikannya di Thawalib ada yang langsung menjadi
guru atau melanjutkan pendidikan ke perguruan lainnya. Jenjang kelas di Pesantren
Thawalib Tanjung Limau pada awalnya sampai kelas tujuh dan pada awal tahun 70-an
berganti menjadi Thawalib enam tahun (semenjak perobahan SGAP dan SGAA menjadi
Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah) Pada tahun 1943 diadakan perayaan milat
ke-20 berdirinya Thawalib Tanjung Limau, dengan mengundang ulama besar
Minangkabau. Dalam acara perayaan tersebut dibicarakan tentang kelancaran
pendidikan dan pembangunan Madrasah Thawalib sehingga dapat dikumpulkan dana
sedekah dan zakat berupa wakaf, infak, dan pada waktu juga dapat membeli sawah
yang

berdampingan dengan sekolah sekarang ini. Dibawah kepemimpinan Buya Haji Mukhtar
pendidikan di Thawalib tidak pernah terputus mencetak kader ulama dan muballigh
baik pada masa penjajahan Belada maupun pada masa penjajahan Jepang. Pada tanggal
17 Mei 1945 Haji Mukhtar Ya’qub berpulang ke Rahmatullah, selanjutnya kepemimpinan
Thawalib Tanjung Limau dilanjutkan oleh Buya Haji Isma’il Rasyad. Dengan segala
daya upaya Buya (sebutan sama
128Burhanuddin Daya, op. cit, hlm. 145
dengan Kyai di Jawa) Haji Isma’il Rasyad dan majlis guru serta bantuan masyarakat,
Madrasah Thawalib tetap berlangsung dengan baik dalam melintasi masa-masa yang
sangat berbahaya bagi kehidupan sebuah lembaga pendidikan agama seperti agresi
Belanda dan pergolakan PRRI yang sangat runcing.129 Pada tanggal 30 April 1967
Buya Haji Isma’il Rasyad juga dipanggil kehadirat Allah SWT. selanjutnya Thawalib
dikendalikan oleh Angku Imam Ibrahim. Setelah ditambahnya 4 lokal gedung yang
berhadapan dengan gedung yang lama pada masa Buya Haji Isma’il Rasyad dan gedung
yang lama itupun dirombak dijadikan dua tingkat, pada masa Angku Imam Ibrahim
ditambah pula satu lokal baru. Pada tahun 1970 didirikan pula dua lokal gedung
yang sejajar dengan gedung yang lama.130 Dengan berkembangnya Pondok Pesamtren
Thawalib Tanjung limau ini, menambah perhatian masyarakat serta wali murid, orang
tua untuk memperlancar keberadaan lembaga ini. Termasuk membangun asrama sampai
tingkat dua. Pada tahun 1976 didirikanlah Yayasan Pembina Thawalib Tanjung limau,
sebagai ketua Umum Haji Moeslim Aboud Ma’ani, MA dengan notaries Asmawel Amin, SH.
Tujuan pendirian Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau adalah “untuk membina dan
meningkatkan Perguruan Thawalib sesuai dengan Ajaran al-Qur-an dan al-Hadits dan
berusaha meneruskan dan melanjutkan cita-cita luhur almarhum Haji Mukhtar Ya’qub.
Beberapa tahun kemudian, karena kondisi kesehatan Angku Imam Ibrahim menurun, maka
pimpinan Thawalib dijalankan oleh Haji Alwi Yunus dan beliau juga merupakan murid
tertua dari almarhun Haji Mukhtar Ya’qub. Pada tanggal 29 Juli 1988 Haji Alwi
Yunus wafat. Untuk sementara waktu roda pimpinan Pesantren Thawalib dipimpin oleh
Zaini St. Marajo. Kemudian atas permintaan Yayasan Pembina Thawalib kepemimpinan
Thawalib dilanjutkan oleh Putra Almarhum Haji mukhtar Ya’qub, yakni Al Hafiz Haji
Fahmi Mukhtar, BA. Pada tanggal 1 Januari 1989 Departemen Agama mengangkat beliau
menjadi kepala Madrasah Aliyah Thawalib Tanjung Limau. Pada tanggal 1 Juli 2000 Al
Hafiz Haji Fahmi Mukhtar, BA pensiun dari PNS (sebagai Kepala Madrasah
129Yunus St.Mudo, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau 15 Januari 2009 130Yunus
St.Mudo, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau 15 Januari 2009

51
Aliyah Thawalib) dan juga mengajukan permohonan mundur sebagai pimpinan Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau kepada pengurus Yayasan Pembina Thawalib.131
Untuk meneruskan kepemimpinan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau selanjutnya,
atas kesepakatan pengurus Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau mengajukan
permohonan kepada Kepala Departemen Agama Kabupaten Tanah Datar untuk mengangkat
Drs. Fahrizal sebagai Kepala Madrasah Aliyah dan sekaligus menjabat sebagai
pimpinan Pondok Pesantren ini. Akhirnya permohonan tersebut dipenuhi oleh
pemerintah dan mulai tanggal 1 November 2000 sesuai dengan SK pengangkatannya Drs.
Fahrizal ditugaskan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Tanah Datar
sebagai kepala Madrasah Aliyah dan Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau
mengamanahkan kepemimpinan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau. Dari paparan
kondisi gambaran pondok Pesantren di atas, dapat penulis simpulkan bahwa pesantren
Thawalib Tanjung Limau telah mampu mencetak generasi awal yang handal dan merubah
sistem pendidikan seiring dengan terjadinya perubahan pendidikan di Sumatera Barat
khususnya di Kabupaten Tanah Datar, dan penulis ingin melihat bagaimana peranan
Thawalib Tanjung Limau dalam pengembangan pendidikan Islam sehingga, pesantren ini
kembali pada kejayaan seperti tempo dulu. C. Sarana dan Prasarana Istilah sarana
dan prasarana pendidikan biasa disebut dengan peralatan pendidikan, yang meliputi
hard ware (perangkat keras) dan soft ware (perangkat lunak). Menurut Usman dan
Asnawir, alat atau media adalah merupakan sesuatu yang bersifat menyalurkan pesan
dan dapat merangsang pikiran, perasaan, dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong
terjadinya proses belajar pada dirinya.132 Dalam pengertian yang luas, peralatan
pendidikan adalah semua yang digunakan guru dan murid dalam proses pendidikan. Ini
mencakup perangkat
131Dokumen Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau tahun 2000 132M. Basyirudin dan
Usman Asnawir, Media Pembelajaran, (Jakarta : DeliaCitra Utama, 2002), hlm. 11
keras dan perangkat lunak. Sedangkan yang dimaksud dengan alat pendidikan Islam
yaitu segala sesuatu yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan Islam.133
Berdasarkankan hasil dokumentasi, Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau
menempati lahan seluas 16.000 m2 yang sebagian besar digunakan untuk kegiatan
pengajaran, diantaranya; Pertama: Bangunan Masjid 1 buah, Mesjid dengan arsitektur
yang indah dan berkubah, dan memiliki menara. Dihadapan Mesjid, (di dalam
pekarangan mesjid) terletak makan pendiri Pesantren, dan di samping kiri merupakan
tempat berwudhu dan memiliki Toilet (WC) yang bagi menjadi dua bagian, yaitu untuk
pria dan wanita. dan tempat berwudhu lainnya ada di belakang mesjid. Di sebelah
kanan mesjid terletak Asrama dan tempat pendidikan taman kanak-kanak (Raudlatul
Atfal) milik masyarakat, yang sebentar lagi akan diserahkan sebagai wakaf kepada
yayasan. Kedua: Rumah Kyai/Buya 1 buah, Rumah kyai awal terbuat dari bambu dan
sekarang telah semi permanen yang terletak di belakang Asrama putri,bangunan ini
dilengkapi dengan dapur umum untuk memasak bagi santri yang memondok. Ketiga:
Asrama 1 kompleks dihadapan Masjid arah ketimur itulah ditemukan lokasi dari
kampus lama yang sudah bertingkat dua. Bagian depannya seberang jalan sekarang
sudah dibangun gedung baru dan kantor Koperasi pondok pesantren. Disebelah
utaranya kantor majelis guru dan administrasi sekolah. Lalu di jejeran sebelah
kantor ruangan kelas dan dibelakang itu asrama putera. Keempat: Ruang belajar 10
lokal. Kelima: Ruang Kepala Pondok 1 lokal, Keenam: Ruang majlis guru 1 lokal.
Ketujuh: Ruang perpustakaan 1 lokal. Sebagai penunjang proses pendidikan formal
bagi siswa disediakan perpustakaan yang terletak di dekat kampus sehingga sangat
memudahkan bagi siswa untuk membaca dan meminjam buku. Sampai saat ini
perpustakaan Thawalib memiliki koleksi buku sebanyak 12.000 exemplar yang terdiri
dari : Buku Agama = 686 Judul = 5187 exp, buku Umum = 699 Judul = 6515 exp. Buku-
buku tersebut berasal dari bantuan Departemen Agama, bantuan Dermawan dan alumni,
bantuan Departemen Pendidikan Nasional, dibeli dari anggaran
133Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Perspektif Islami, (Bandung : Rosda Karya, 2007),
hlm. 53

53
Pesantren,dan berasal dari kenang-kenangan siswa kelas 3 Aliyah. Disamping itu
untuk mengembangkan bakat dan minat para santri, pesantren juga menyediakan sarana
dan prasarana lain, seperti; ruang TPUS (Tempat Perbaikan Usaha Santri) 1 lokal,
lapangan volly 1 unit, laboratarium bahasa dan Komputer 1 lokal, dan koperasi
Pesantren Thawalib 1 lokal134 Pada intinya, seluruh bagunan dan lahan yang ada di
lingkungan pesantren ini dimanfaatkan untuk menambah wawasan keterampilan para
santri secara alami guna bekal kehidupan mereka setelah terjun ke masyarakat.
Disamping itu pihak pimpinan pesantren juga melakukan kerja sama dengan tenaga
ahli dalam bidang keterampilan menjahit, bahasa Jepang dan computer. Pondok
pesantren Thawalin Tanjung Limau mengunakan media pendidikan untuk menyalurkan
pesan, pikiran, perasaan yang secara kreatif dapat meningkatkan keterampilan
siswa/santri sesuai dengan visi misinya. Media pendidikan yang digunakan antara
lain: Pertama: Media visual, meliputi: gambar/photo, diagram chart, peta/globe,
poster dan papan tulis. Kedua: Media audio,meliputi: radio, tv, tape recorder,
abotarium bahasa, OHP, dan Komputer. Ketiga: Media cetak, meliputi: Al-Qur’an,
kitab-kitab klasik, dan majalah/bulten. Hal penting yang telah dilakukan oleh
pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam pemakaian media pendidikan ialah
adanya kemauan mengunakan produk budaya asing semacam OHP (Over Head Proyector)
dan Komputer untuk menghasilkan pembelajaran yang lebih berkualitas. D. Struktur
Organisasi dan Kepengurusan Pesantren Thawalib Pembahasan mengenai struktur
organisasi Pesantren Thawalib Tanjung Limau di bagi ke dalam empat bagian, yaitu:
status kelembagaan, struktur organisasi, gaya kepimpinan,dan susksesi kepimpinan.
Status kelembagaan pesantren Thawalib adalah sebagai milik institusi
134Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau, Laporan Pondok Pesantren Thawalib
Tanjung Limau Tahun Ajaran 2006/2007, (Tanjung Limau : Tidak diterbitkan, 2006)
Yayasan pembina Thawalib Tanjung Limau. Hal ini karena tanah yang dipergunakan
untuk bangunan pesantren adalah milik keluarga Ya’cub (ayah pendiri pesantren
Thawalib) dan H. Ismail. Sedangkan pimpinan pesantren itu sendiri diangkat dan
ditunjuk oleh keluarga yayasan. Pada perkembangan selanjutnya pimpinan pesantren
diangkat oleh Departemen Agama. Pada dasarnya struktur organisasi pesantren dapat
digolongkan menjadi dua sayap sesuai dengan pembagian jenis nilai yang
mendasarinya, yaitu nilai agama dengan kebenaran absolut dan nilai sosial dengan
kebenaran relatif. Sayap pertama penjaga nilai kebenaran absolut, dan sayap kedua
penjaga nilai kebenaran relatif yang bertanggung jawab pada pengamalan nilai
kebenaran absolut baik di dalam pesantren maupun diluar pesantren, sedangkan sayap
pertama bertanggung jawab pada kebenaran atau kemurnian agama. Sesuai dengan
hirarkis pembagian jenis nilai, maka sayap-1 mempunyai supremasi terhadap sayap-2,
dan oleh karena itu sayap-2 tidak boleh bertentangan dengan sayap-1, apalagi kalau
sampai melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar aqidah syari’ah agama dan
sunnah. Sayap-1 merupakan sumber informasi dan konfirmasi bagi sayap-2 dalam
melakukan tugas sehari-hari. Ajaran buya/kyai, ustaz dan kitab-kitab agama yang
diajarkan di pesantren diyakini sebagai memiliki kebenaran absolut oleh santri,
dan oleh karena itu tidak perlu dipertanyakan lagi kebenarannya, hanya perlu
dipahami maksudnya.

Tabel. 1
STRUKTUR ORGANISASI PONDOK PESANTREN THAWALIB TANJUNG LIMAU No 1 2 Jabatan
Pimpinan Pondok/Madrasah Syaikhul Pondok/Madrasah Nama Buya Fahrizal Alwis Buya H.
Sofyan Muchtar Buya Rifyal Ka’bah Keterangan

55
3 4 5 6 7 8 9

Kepala Tingkat Aliyah Kepala Tingkat Tsanawiyah Wakabid Kurikulum Wakabid Sarana
Wakabid Pendidikan Kepala Tata Usaha Bendahara

Drs. Fahrizal Alwis Imran, S.Ag Kasnida, S.Ag Ustadz Turmizi Miftah Novi.T,S.Ag
Asra, S.P H. Amiruddin

Gaya kerja dalam struktur organisasi di Pesantren Thawalib Tanjung Limau umumnya
masih merupakan garis lurus ke depan. Artinya, setiap unit kerja bergantung pada
atasan langsung. Keberhasilan kerja dalam struktur organisasi pesantren secara
kerja antar unit kerja bersifat co-acting bukan inter-acting, yaitu sama dengan
keberhasilan kerja suatu tim, di mana masing-masing unit kerja bekerja sendiri-
sendiri, kemudian hasilnya dapat dinikmati oleh seluruh tim. Kemudian gaya
kepemimpinan yang ditampilkan di Pesantren Thawalib Tanjung Limau bersifat
kolektif dengan menempatkan pimpinan pesantren sebagai pimpinan tertinggi yang
memiliki kedudukan dan kekuasan yang sangat kuat dan mantap. Ciri-ciri gaya
kepemimpinan yang ada di Pesantren Thawalib Tanjung Limau di antaranya adalah
paternalistik dan free rein leardership/laisser faire, di mana pimpinan pesantren
bersifat pasif, sebagai bapak yang memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk
berkreasi, tetapi juga otoriter, yaitu memberikan kata-kata final untuk memutuskan
apakah karya anak buah yang bersangkutan dapat diteruskan atau harus dihentikan.
Suksesi kepemimpinan di pesantren Thawalib Tanjung Limau awalnya dilakukan dengan
sistem musyawarah setelah meninggalnya pimpinan terdahulu. Kemudian dengan
berafiliasinya pesantren ini di bawah Departemen Agama, maka susksesi
kepemimpinannya langsung ditunjuk dan ditetapkan oleh Departemen Agama Kabupaten
Tanah Datar. Pimpinan ini tertuju untuk kepala Madrasah Tsanawiyah dan kepala
Madrasah Aliyah. Saat ini kepala Madrasah Tsanawiyah dipimpin oleh Irman, S.Ag,
sedangkan kepala Madrasah Aliyah
dipimpin oleh Drs. Fahrizal dan sekaligus bertindak sebagai pimpinan Pesantren. Di
Pesantren Thawalib Tanjung Limau, seluruh Buya, Ustadz dan santri senior yang
mengasuh pesantren dan mendampingi pimpinan pesantren adalah unsur pengurus yang
memberi pertimbangan dalam menetapkan kebijakan pengurus pembina pesantren. Di
samping itu juga ada pengurus lain yang bertugas mengurus hal-hal yang sifatnya
teknis operasional dan tidak secara langsung berkaitan dengan hal-hal yang
bersifat pendidikan dan pengajaran, misalnya pengurus yang mengurus gedung-gedung
bangunan, pendanaan, hubungan dengan instansi-instansi lain, baik pemerintah
maupun non pemerintah, dan sebagainya. Di samping itu juga ada wakil pondok yang
dikelompokkan ke dalam Dewan pendidikan yang bertugas menyelenggarakan proses
kegiatan belajar mengajar. Semua pengurus kedudukannya adalah membantu pimpinan
pesantren dalam memperlancar kegiatan belajar mengajar di pesantren tersebut. Jadi
dengan demikian, semua unsur pelaku yang secara organisatoris mengurus dan
bertangung jawab atas kemajuan pesantren, dari sejak kyai utama/pimpinan pesantren
yang merupakan pimpinan puncak sampai ke pembantu yang mengurus hal-hal yang
sifatnya teknis operasional selama memiliki kewenangan memutuskan dan melaksanakan
apa yang menjadi tanggung jawabnya adalah pengurus pesantren. E. Pengelolaan dan
Pendanaan Pesantren Thawalib Sebagaimana telah ditegaskan bahwa kyai/buya pengasuh
dan pimpinan pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah pimpinan tertinggi dan tokoh
kunci pesantren. Oleh karena itu, pada dasarnya mengenai masalah pengelolaan dan
pendanaan ada di tangan kyai dan keluarganya, tetapi secara teknis operasional
ditangani oleh unit-unit kerja dalam kelompok Sayap-2 yaitu para pengurus
pesantren. Pembagian kerja dalam pengelolaan di Pesantren Thawalib Tanjung Limau
mengunakan sistem menajemen dan administrasi modren, dalam artian sudah
menggunakan sistem manajemen dan administrasi profesional. Sebab, pembagian kerja
dari unit-unit kerja pada umumnya sudah jelas dan para administrator juga dianggap
sudah mampu. Sistem dokumentasi atau sistem filling

57
sistem sudah teratur dan akurat. Oleh karena itu, dalam pengelolaan dana, sarana,
dan dokumen-dokumen berharga lainnya, hampir dipastikan tidak ada
kebocorankebocoran dalam arti korupsi. Mengenai sumber dana kegiatan Pesantren
Thawalib Tanjung Limau ada dua jenis, yaitu dari sumbangan para santri berupa
iuran bulanan, dan sumbangan dari donatur atau masyarakat yang tidak mengikat,
baik pribadi maupun kelompok, yang biasanya berupa amal jariyah, wakaf, infak,
shdaqah dan sebagainya, atau melalui proyek-proyek kerja sama, dan bantuan
pemerintah pusat maupun daerah yang sifatnya insidentil.135 Disamping itu sumber
pendanaan yang digunakan oleh pesantren, yaitu hasil pertanian dari sawah abuan
136yang dimiliki oleh pesantren, dari hasil sawah ini bisa beli peralatan kantor,
membayar gaji guru,dan jika mencukupi digunakan untuk dana cadangan untuk
pembangunan lokal dan gedung lain yang dirasa perlu. Pada perkembangan berikutnya
di Pesantren Thawalib Tanjung Limau telah terjadi perubahan bahwa pihak pesantren
menyadari pentingnya perencanaan-perencanan yang akurat untuk mengembangkan
dirinya di masa mendatang. Seperti, mandata jumlah alumni, lahirnya organisasi
atau ikatanikatan santri di pesantren tersebut, memikirkan dan memproses pembelian
media dan material untuk perluasan pesantren, pembangunan gedung-gedung baru atau
aula yang dapat menampung sejumlah santri atau audience yang diinginkan, dan
sebagainya. Salah satu problematika yang dirasakan oleh pesantren Thawalib Tanjung
Limau, diantaranya, masih kurangnya dukungan masyarakat terutama pemerintah daerah
baik secara materi maupun mentalitas, Sebab sebagai pusat pendidikan dan sebagai
lingkungan belajar, pesantren harus didukung oleh masyarakatnya, disamping
tuntutan zaman yang berkembang diera serba teknologi. Sehingga hal ini akan
menjadi pusat pengembangan pendidikan Islam dan tekhnologi yang
135Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Januari 2009 136Abuan berarti hak milik yang diperoleh dari pemberian atau wakaf
atau hibah untuk dikelola dan hasilnya sepenuhnya menjadi hak yang mempunyai abuan
itu. Seorang anak yang sudah beranjak dewasa, biasanya sudah diberi abuan oleh
orang tuanya.
terpadu di Kabupaten Tanah Datar di masa-masa mendatang,

BAB IV ANALISIS EMPIRIK PERANAN PONDOK PESANTREN THAWALIB TANJUNG LIMAU DALAM
PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI KABUPATEN TANAH DATAR SUMATERA BARAT A. Latar
Belakang Berdirinya, Tujuan, Visi dan Misi Pesantren Thawalib Tanjung Limau

59
Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau didirikan oleh H. Mukhtar Ya'cub, ia
adalah seorang tokoh agama di kecamatan Pariangan dan merupakan alumnus dari Surau
Jembatan Besi, guru yang mengajar beliau adalah Haji Rasul (inyiak Deer)di Padang
Panjang. Perguruan itu tahun 1911 berganti nama menjadi Sumatera Thawalib.137
Pondok ini didirikan atas dasar partisipasi dan persatuan masyarakat desa Tanjung
Limau. Pondok pesantren ini didirikan tahun 1923, tetapi dengan nama Perguruan
Thawalib Tanjung Limau, pada tahun 1972 terjadi pergantian nama madrasah diganti
menjadi pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau, setelah salah seorang gurunya
mengikuti latihan pembinaan tentang pondok pesantren di Kalapa 2 Jakarta. 138
Selama pondok pesantren ini berdiri dan menjalankan fungsinya sebagai lembaga
pendidikan yang mengajarkan ilmu agama sudah mengalami perkembangan dan juga
kemunduran. Pada tahun pertama berdiri pondok ini cukup berperan besar dalam
mencetak kader ulama yang berkualitas. Tetapi setelah terjadi PRRI di Sumatera
Barat, pondok pesantren ini mengalami kemerosotan. Hal ini disebabkan banyaknya
para ulama yang mengajar di pesantren ini yang ditangkap oleh pemerintah. Murid-
murid perguruan ini berasal dari berbagai daerah, baik sekitar lingkungan Minang
Kabau, maupun dari luarnya, seperti Tapanuli, Lampung, Bengkulu, Jambi dan Riau.
Mereka belajar dan bertempat tingkal sebuah gedung bertingkat dua yang dibangun
sendiri oleh Haji Muchtar.139 Secara umum, tujuan didirikannya Pesantren Thawalib
adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang
beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, serta terwujudnya ulama intelektual,
intelektual ulama, berakhlak mulia, terampil dan bertanggung jawab serta berguna
bagi masyarakat.140
137Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Kasus Sumatera Thawalib,
( Yogyakarta : Tia Wacana Yogya, 1995), cet. ke-2, hlm. 144 138Zainuddin Mu'in St.
Marajo, Sejarah Ringkas Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Simabur Tanah
Datar, Makalah Latihan Instruktur Keterampilan Menjahit Pakaian Wanita, (Jakarta :
4-5 Oktober 1991), (tidak diterbitkan), hlm. 10 139Burhanuddin Daya, Ibid., hlm.
145 140Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung
Limau, 9 Februari 2009
Adapun Tujuan Pendidikan dari Pondok Pesantren Thawalib adalah : mempersiapkan
kader ulama, mubaligh, imam, khatib, cendikiawan, (2) mempersiapkan pemimpin
masyarakat, (3) mempersiapkan kader muda yang berjiwa wiraswasta/ mandiri, (4)
mempersiapkan kader muda yang siap membela agama, masyarakat, dan Negara, (5)
mempersiapkan kemahiran berbahasa asing (Arab, Inggris, dan Jepang). 141 Dari
tujuan itulah, maka lahir visi misi pensantren. Visi dan Misi pesantren Thawalib
Tanjung Limau ini sudah dirumuskan pada Semiloka Pesantren/ Perguruan Islam
Bersejarah se-Sumatera Barat di Bukittinggi pada Tahun 2003 (telah tertera dalam
buku Tata Tertib Santri). Sebagai lembaga pendidikan Islam, maka pesantren
Thawalib Tanjung Limau memiliki visi : “Istiqomah dalam Aqidah, Makmur dalam
Syari'ah, Uswatun Hasanah dalam Akhlaq”.142 Sementara misi yang diemban oleh
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau tersebut adalah sebagai berikut: (1)
mempersiapkan Kader Ulama, Muballigh, Imam, Khatib, Cendikiawan Muslim, (2)
mempersiapkan Kader Pemimpin masyarakat, (3) mempersiapkan kader muda yang siap
membela agama, masyarkat dan negara, (4) mempersiapkan Kader Muda yang berjiwa
wiraswasta/mandiri, (5) mempersiapkan kemahiran berbahasa (Indonesia, Arab,
Inggris dan Jepang), (6) menghasilkan lulusan yang mampu memahami kitab standar
(MKS) dan pengetahuan umum serta mampu bersaing untuk mendapatkan berbagai
kesempatan pendidikan selanjutnya, (7) menghasilkan lulusan yang memahami dan
menerapkan dalam kehidupan sehari-hari , Islam sebagai aqidah dan syari'ah, serta
sebagai orang Minangkabau yang tidak terlepas dari falsafah "Adat Basandi Syara',
Syara' Basandi Kitabullah".143 Sebagai lembaga pendidikan Islam, Pesantren
Thawalib ini juga memiliki Masjid sebagai lembaga penyiaran agama. Masjid
Pesantren juga berfungsi
141Supriadi , Guru Pesantren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 29
Januari 2009 142Fahrizal Alwis, Program Pengembangan Pembelajaran dan Pedoman
Penyelenggaraan kaderisasi Ulama Pondok Pesantren, Makalah disampaikan pada
Semiloka Pesantren bersejarah se-Sumatera Barat pada tahun 2003 143Dokumen Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau Tahun 2003

61
sebagai masjid umum, yaitu sebagai tempat belajar agama dan ibadah bagi masyarakat
umum. Masjid Pesantren sering dipakai untuk menyelenggarakan majlis ta’lim
(pengajian), diskusi-diskusi keagamaan, seminar dan sebagainya, baik oleh
masyarakat umum ataupun para santri. Dan tak kalah penting, bahwa Masid ini juga
digunakan sebagai laboratorium pendidikan Dai-Daiyah bagi calon Mubaligh yang akan
diturukan pada setiap bulan ramadhan ke berbagai daerah yang ada di Kabupaten
Tanah Datar. B. Kurikulum Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kurikulum yang
dijadikan sebagai alat dan pedoman dalam proses pendidikan di pesantren harus
relevan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Oleh karena itu, dalam konteks
ini pesantren bukan hanya berfungsi untuk mewariskan kebudayaan Islam dan nilai-
nilai moral pada suatu masyarakat, akan tetapi pesantren juga berfungsi untuk
mempersiapkan anak didik dalam kehidupannya di masyarakat nanti. Pengembangan
kurikulum pesantren pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari visi pembangunan
nasional yang berupaya menyelamatkan dan memperbaiki kehidupan nasional yang
tertera dalam Garis-garis Besar Haluan Negara. Oleh karena itu kurikulum yang
dipakai adalah perpaduaan kurikulum Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau dengan
kurikulum Depag dan Diknas, dalam program pengajaran merujuk kepada program inti
MTsN dan MAN yang dimodifikasi dengan program pengajaran Pontren Thawalib sendiri.
Mengingat kompleksitas masalah yang dihadapi pesantren, maka pengembangan
kurikulum pesantren dapat mengunakan strategi-strategi yang tidak merusak ciri
khas pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam yang pertama kali berdiri di
Indonesia khususnya di Kabupaten Tanah Datar. Strategi yang patut dipertimbangkan
adalah sebagai lembaga pendidikan non formal dan formal, pengembangan kurikulum
pesantren hendaknya tetap berada dalam kerangka sistem pendidikan nasional.
Kurikulum yang dipakai di pesantren Thawalib Tanjung Limau dibagi kepada dua
bentuk, yaitu :
11 Intra Kurikuler

Pada tahun pertama (Kelas I) ditekankan penguasaan Bahasa Arab dan pembinaan
Ibadah, Bahasa Arab diajarkan 12 jam dalam seminggu, dengan arti kata belajar 2
jam pelajaran setiap hari dengan demikian pada kelas II seluruh pelajaran Agama
diajarkan dengan bahasa pengatar Bahasa Arab karena Bahasa Arab sudah menjadi
bahasa keseharian bagi para siswa. Sedangkan Bahasa Inggris di programkan di kelas
II dengan porsi yang sama dengan Bahasa Arab di kelas I sehingga pada kelas III
para siswa telah dapat menguasai bahasa Arab dan Inggris sekaligus.
1 Extra Kurikuler 1

Disamping mengikuti kegiatan belajar formal dipagi hari para siswa disibukkan
dengan kegiatan extra pada sore hari, paket-paket tambahan belajar dan pembinaan
keterampilan disediakan sesuai dengan bakat dan kemauan siswa. Paket tambahan
tersebut terdiri dari :
a.

Paket yang mesti diikuti siswa yaitu : (1) muhadharah untuk tingkat Tsanawiyah,
(2) muzakarah untuk tingkat Aliyah, (3) tutorial pendalaman kitab (Ushul Fiqh,
Ilmu hadits, Qawaid, dll) untuk tingkat Aliyah, (4) Komputer.

b.

Paket pilihan siswa berbakat, yaitu : (1) bahasa Inggris Intensif, (2) bahasa Arab
Intensif, (3) bahasa Jepang, (4) hafizh al-Quran, (5) menjahit dan border, (6)
keputrian ( Masak-memasak, merangkai bunga ), (7) seni bela diri pencak silat, dan
(8) pramuka.

Atas dasar itu, untuk pengembangan pendidikan dalam proses pembelajaran Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau di dalam kelas menggunakan bahasa pengantar
seperti (a) bahasa Indonesia untuk mata pelajaran yang menggunakan bahasa
Indonesia, (b) bahasa Arab untuk segala mata pelajaran yang berbahasa Arab, (c)
bahasa Inggris untuk mata pelajaran bahasa Inggris, (d) bahasa Jepang untuk mata
pelajaran bahasa Jepang.144 Dengan pembiasaan mengunakan bahasa asing ini,
sehingga akan tercipta komunikasi
144Dokumen Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau tahun 2000

63
secara menyeluruh dengan istilah “hari-hari berbahasa” dikalangan para santri di
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau. Kemudian, buku sumber yang dipakai dalam
pelaksanaan kurikulum di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau ini adalah buku-
buku teks yang diterbitkan oleh Departemen Agama dan Dinas Pendidikan, serta buku
teks asli berbahasa Arab (kitab standar). C. Proses Pelaksanaan Pendidikan Islam
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Adapun unsur-unsur yang terkait dalam
proses pelaksanaan pendidikan Islam di pesantren Thawalib Tanjung Limau ini adalah
: 1. Kyai ( sebutan di Minang Kabau adalah Buya) Kyai dalam sistem pendidikan dan
pembelajaran memiliki teknis dalam ilmu agama Islam dan memiliki perhatian tehadap
keulamaan dengan gaya kepeimpinan yang khas. Buya Fahrizal Alwis, misalnya selain
sebagai kepala pada Madrasah Aliyah, juga aktif mengajar kitab kuning dan bahasa
Asing pada malam hari bagi santri yang memondok, kecuali hari Sabtu dan Minggu,
karena beliau harus pulang kampung untuk menjengguk anak dan istri. Pimpinan
Pesantren Thawalib bertindak sebagai pengasuh dan sekaligus sebagai guru utama di
pesantren tersebut. Dalam menjalankan tugasnya sebagai pengajar di pesantren,
pimpinan dibantu oleh buya atau kyai, ustadz dan santri senior yang lain. Saat ini
yang menjabat sebagai pimpinan pesantren adalah alumni dari Pesantren Thawalib
sendiri, yaitu Buya Drs. Fahrizal Alwis yang berasal luar kabupaten Tanah Datar,
yakni dari Kota Madya Padang Panjang. Pimpinan Pesantren Thawalib berkedudukan
sebagai seorang pegawai negeri sipil, dan kini jabatannya adalah kepala Madrasah
Aliyah pada pesantren ini, sedangkan kepala Madrasah Tsanawiyah dijabat oleh
Ustadz Imran, S.Ag. Karirnya di awali sebagai Mubaligh biasa di kabupaten Tanah,
dan kemudian diangkat sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan Departemen Agama
Kabupaten Tanah Datar sebagai tenaga penyuluh di kecamatan pariangan. Kemudian
karena perhatiannya terhadap lembaga pendidikan Islam, beliau
diperbantukan sebagai tenaga pengajar di pesantren Thawalib ini sebagai guru
bidang studi Tafsir, dan akhirnya Kepala kantor Departemen Agama kabupaten Tanah
Datar mengangkat buya sebagai Kepala Madrasah Aliyah di pesantren Thawalib pada
tanggal 1 November 2000. Dan atas permintaan masyarakat setempat serta hasil
musyawarah para Alumni buya diangkat sebagai pimpinan Pondok pesantren Thawalib
tanjung Limau hingga sekarang. 2. Ustadz Ustadz atau guru dalam sistem
pembelajaran di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar
Sumatera Barat menjadi motor dalam kerangka melaksanakan misi pondok pesantren.
Adapun Jumlah guru yang mengajar di Pondok Pesantren Thawalib untuk tahun ajaran
2007/2008 ini sebanyak 35 orang. Dan jumlah tenaga administrasi atau pegawai Tata
Usaha sebanyak 7 orang. Sementara jumlah ustadz/ustadzah yang membantu Buya/Kyai
dalam pembelajaran kitab kuning dan penguasaan bahasa Asing bagi santri yang
memondok sebanyak 8 orang, yaitu: Ustadz Miftah Novi.T, S.Ag, Ustadz Imran, S.Ag,
Ustadzah Yulbetriza, S.Ag, Ustadzah Wilda Isnaini, S.S, Ustadzah Kasnida, S.Ag,
Ustadz Muhammad Taufiq, S.Pd.I, Ustadzah Welni Fatma, S.Pd.I dan Yonnedi, S.Ag.
Ketika ditanya tentang motivasi mengajar di Pondok Pesantren Thawalib, mereka
mengatakan untuk mengamakan ilmu, untuk berkhidmat pada buya/kyai di pesantren,
dan untuk mengamalkan ilmu serta untuk mencari nafkah dengan konsep “mengabdi
dengan mengutamakan semangat keislaman”, jawaban tersebut menunjukan bahwa
motivasi para ustadz yang mengajar di pesantren ini semata-mata untuk mengamalkan
ilmu, berkhidmat pada buya/kyai dan pesantren, serta menjunjung tinggi nilai-nilai
dakwah menuju Pendidikan Islami.145
11 Santri /siswa

Para santri yang belajar di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau (tahun
2006/2007) terbagi ke dalam empat kelompok, yaitu: santri tingkat Raudlatul Adfhal
(RA) yang belajar membaca al-Qur’an melalui metode iqra’, dan mereka diperkenalkan
tentang agama seperti rukun islam dan rukun iman,
145Dokumen Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau tahun 2007

65
serta diajarkan ayat-ayat pendek dan doa-doa sebanyak 36 orang, santri tingkat
Diniyah Awaliyah sebanyak 60 orang, dan santri tingkat Tsanawiyah sebanyak 76
orang, dan santri tingkat Aliyah sebanyak 61 orang. Jadi jumlah seluruhnya
sebanyak 233 orang, sedangkan yang santri mukim hanya 46 orang, yaitu para santri
tingkat Aliyah yang mengambil jurusan Ilmu Agama, sementara yang lainnya menjadi
santri kalong. Mereka rata-rata berusia antara 13 tahun sampai 21 tahun. Santri
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau diwajibkan untuk mematuhi tata tertib,
aturan-aturan dan norma yang berlaku, yang secara khusus dibuat oleh pengasuh dan
pimpinan pondok pesantren. Tata tertib yang dibuat berisi kewajiban-kewajiban dan
larangan-larangan yang dituangkan dalam bentuk peraturan-peraturan pondok
pesantren Thawalib. Para santri menyadari bahwa setiap institusi memang harus ada
tata tertib dan peraturan-peraturan agar program dari sebuah instutisi atau
lembaga dapat berjalan sesuai dengan tujuan, visi dan misi pesantren ini.146
11 Kurikulum dan Sumber belajar

Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau termasuk tipe pesantren terpadu


(kombinasi) yang melaksanakan sistem pendidikan Salaf dan Khalaf. Melalui sistem
salaf pesantren ini mengajarkan ilmu agama Islam yang bersumber dari kutūb al-
Salāf (kitab karangan ulama salaf), yang meliputi bidang tauhid, tafsir, hadits,
bahasa Arab, fiqih, dan akhlak. Kurikulum ini diberikan kepada santri yang mondok
di pesantren yaitu mengunakan sistem halaqah dengan metode sorongan dan bandongan
ataupun melalui sistem madrasah yang bersifat klasikal. Kitab-kitab yang di
ajarkan seperti: Durus al-Fiqhiyyah, Fath alMu’ĩn.’Aqidah al-‘Awwam, Akhlaq li al-
Banîn, Gayah al-Wusūl, Fath al-Qarĩb, Bulug al-Marām, al-Ajrumiyyah, Tafsir al-
Jalālain, al-Qāwa’id al-Lugāh, Fath al-Wahhāb, dll.147 Kitab-kitab karangan ulama
salaf tersebut diajarkan pada santri
146Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009 147Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara
Mendalam,Tanjung Limau, 9 Februari 2009
dari tahun ke tahun tanpa ada perubahan, sekalipun pendidikan Islam di Indonesia
pada permulaan abad ke-20 diketahui sudah mengalami perubahan. Oleh Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau, perubahan yang diterima adalah perubahan sistem
dengan mengunakan sistem madrasah dengan mengikuti perubahan sistem pendidikan
Nasional.148 Sistem khalaf yang dipakai meminjam istilah Karel A. Steenbrink,
adalah “menolak sambil mengikuti”149, yakni mengikuti sistem madrasah yang
dipandang moderen yang secara historis ditolak pada mulanya. Akan tetapi pada
perkembangannya meniru sistem madrasah yang menyajikan ilmu pengetahuan umum atau
meniru sistem madrasah konsep Departemen agama RI. Sistem madrasah yang digunakan
tidak hanya terbatas pada pengenalan sistem klasikal, tetapi juga menerapkan semua
kuikulum dan metode pendidikan dan pengajaran yang digunakan sesaui dengan system
pendidikan Nasional, tanpa meninggalkan sistem tradisionalnya.150 Kemudian,
aktivitas Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau yang bernuansa pendidikan dan
sekaligus menjadi sumber belajar terlihat dalam latihan berpidato atau latihan
berkhutbah, membaca yasinan, diskusi kelompok. Aktivitas seperti ini dipandang
oleh pengasuh pondok merupakan upaya membekali santri sebagai kader ulama agar
terampil memimpin masyarakat dikemudian hari.151 Selain itu sumber belajar yang
dirasa penting dalam pembelajaran dan pengembangan pendidikan Islam di Pondok
Pesantren Thawalib ini adalah pesanpesan, nasehat dan petunjuk buya atau utadz,
terutama ketika berlangsungnya proses belajar mengajar, baik ketika belajar di
Masjid maupun di dalam kelas dan sewaktu belajar dengan sistem halaqāh.152
11 Metode Pendidikan dan Pengajaran 148 Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib,
Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 15 Februari 2009 149Karel A. Steenbrink,
Pesantren, Madrasah, Sekolah:Pendidikan Islam dalam Kurun Modren, (Jakarta : LP3S,
1986), cet. ke-1, hlm. 62 150Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara
Mendalam, Tanjung Limau, 15 Februari 2009 151Miftah Novi.T, Guru Pontren Thawalib,
Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9 Februari 2009 152Amiruddin St. Marajo,
Alumni/Dewan Pembina Pesantren, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 15 Februari
2009

67
Secara historis, pelaksanaan dan pengembangan kurikulum telah dilaksanakan sesuai
dengan bentuk dan pola pengajaran yang dilaksanakan. Adapun pelaksanaan pendidikan
ini berlangsung dengan cara : Pertama Klasikal mulai kelas 1 sampai kelas VI
(Thawalib Tanjung Limau 6 tahun), Kedua Halaqah yang dikelompokkan kepada al-
Thabāqah al-UÎa, al-Thabāqoh wusthā, al-Thobaqāh al-Ulya).153 Berdasarkan pada
pengelompokan metode di atas, maka pelaksanaaan pendidikan dan pengajaran di
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah perpaduan sistem pesantren
Salafiyah dengan Ashriyah. Untuk menjawab tantangan zaman yang semakin global
tersebut Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Simabur memakai motto: "Pesantren
Thawalib Tanjung Limau Yang Komprehensif, Berwawasan Dakwah Menuju Pendidikan
Islami".154 Secara institusi kelembagaan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau
tetap seperti dulu, yakni Thawalib Tanjung Limau enam tahun, sebagaimana yang
telah dirumuskan dan disepakati, oleh Pengurus Yayasan dengan Pimpinan Thawalib
beserta Majlis Guru pada tahun 2001. Bahwa secara kelembagaan pelaksanaan
pengajaran di Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau mulai kelas 1 sampai kelas
VI (Thawalib Tanjung Limau 6 tahun), adapun sistem disesuaikan dengan perkembangan
pendidikan di Indonesia, masing-masing tingkatan diberi kesempatan untuk mengikuti
Ujian Akhir Nasional (UAN) yang diselenggarakan oleh pemerintah.

11 Sistem Evaluasi

Berdasarkan hasil dokumentasi, Program Pengajaran / Kurikulum Pondok Pesantren


Thawalib Tanjung Limau - Simabur Tahun Ajaran 2006/2007 keseluruhan berjumlah 516
jam, kurikulum ini sudah dimodifikasi. Artinya kurikulum yang dipakai adalah
gabungan Kurikulum Diknas, Depag Dan
153Fahrizal Alwis, Program Pengembangan Pembelajaran dan Pedoman Penyelenggaraan
Kaderisasi Ulama Ponpes Thawalib Tanjung Limau, (Makalah disampaikan dalam
Lokakarya Regional Tingkat Pesantren dan Guru-guru Pesantren Penyelenggara Pondok
Pesantren Thawalib Thawalib Tanjung Limau Simabur Tanah Datar), tt., hlm. 10
154Tim Perencana, Master Plan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau, (tidak
diterbitkan, 2004), tt. hlm. 16
Kurikulum Thawalib (Versi Gontor), Pendalaman Kebahasaan dan Qira'atul Kutub di
Asrama, pada sore hari, dan pada malam hari dengan cara halaqah.155 Dari
pelaksanaan kurikulum, pihak pesantren melakukan evaluasi dengan tujuan untuk
mengukur sejumlah kemampuan santri dalam menyerap pelajaran, menghayati dan
menerima materi pelajaaran yang telah mereka pelajari baik dalam bentuk tulisan,
praktek ataupun hal yang lainnya, sehingga santri bisa diketahui apakah sudah
menguasai materi atau belum.156 Evaluasi hasil belajar di Pondok Pesantren
Thawalib yang ditempuh melalui sistem madrasah, dilakukan sebagaimana evaluasi
hasil belajar yang dilakukan pada sistem pendidikan klasikal, seperti dengan
melaksanakan ujian midsemester, ujian semester, ujian akhir. Evaluasi ini di awasi
oleh ustadz. Dan pelaksanaan evaluasi biasanya dengan bentuk lisan dan tulisan
ataupun dalam bentuk ujian praktek.157 Evaluasi yang dianggap masih relevan dengan
nilai ibadah dan pengabdian pada buya untuk memperoleh ilmu adalah “tes harian”
(al-Muaraja’ah alYaumiyyah) untuk mengetahui kemampuan santri dalam membaca dan
menerjemahkan kitab, terutama kitab yang telah diajarkan pada hari sebelumnya.
Evaluasi harian ini dimaksudkan supaya santri termotivasi untuk belajar setiap
saat.158 Menurut hemat penulis, evaluasi pendidikan dan pengajaran yang dilakukan
di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau telah mengarah pada ketiga aspek yang
ingin dicapai dalam tujuan pendidikan yaitu: aspek intelegensi (ranah kognitif),
aspek kepribadian (ranah afektif) dan aspek hubungan dengan keterampilan berbuat
dan berhubungan dengan masyarakat (ranah psikomotor). Yang di dalam sistem
evaluasi ini juga tercakup penguasaan terhadap kemampuan hubungan dengan Sang
Pencipta, yaitu Allah SWT. Ini terlihat pada amalan
155Kasra, Guru Pontren Thawalib/ Wakil Kepala, Wawanca Mendalam, Tanjung Limau, 29
Januari 2009 156Kasra, Guru Pontren Thawalib/ Wakil Kepala, Wawanca Mendalam,
Tanjung Limau, 29 Januari 2009 157Kasra, Guru Pontren Thawalib/ Wakil Kepala,
Wawanca Mendalam, Tanjung Limau, 29 Januari 2009 158Fahrizal Alwis, Pimpinan
Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 9 Februari 2009

69
(ibadah keseharian ) para santri dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan
pesantren maupun sewaktu kembali ke tengah-tengah keluarganya atau di masyarakat
nantinya.. Dari penjelasan yang diungkapkan di atas, cukup untuk dijadikan bahan
pertimbangan bahwa pesantren adalah, suatu lembaga pendidikan yang di dalamnya
terdapat beberapa unsur kelembagaan. Unsur-unsur kelembagaan yang ada pada sistem
pendidikan pesantren terdiri dari unsur-unsur organik dan unsur anorganik159 D.
Faktor Pendukung dan Penghambat Pengembangan Pendidikan Islam Berdasarkan sejarah
berdirinya dan berkembangnya Pesantren Thawalib Tanjung Limau, dapat dikatakan
bahwa pesantren ini telah mampu mempetahankan kehadirannya ditengah-tengah
kehidupan mayarakat dari zamanke zaman selama 85 tahun lebih. Dalam kurun waktu 85
tahun lebih ini, Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau telah mampu mencetak
alumni yang tersebar di berbagai daerah seluruh Indonesia dengan menempati
berbagai jenis pekerjaan, seperti sebagai birokrat, Polri, Jaksa dan Hakim,
Pengusaha, Ustadz, pemuka masyarakat, pedagang, dan lainnya. Dengan kata lain,
para alumni Pesantren Thawalib Tanjung Limau tidak hanya menjadi ustadz ahli agama
semata, akan tetapi lebih dari itu juga berkiprah di masyarakat sesuai dengan
nasibnya masing-masing. Kesuksesan pendidikan di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung
Limau terbukti dengan banyaknya alumi yang telah berhasil, diantara alumni Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung seperti: Prof. H. Sofyan Mukhtar, SH, Dr. H. Rifyal
Ka.bah, MA, Dr. H. Zainun Kamal, MA, Drs. H. Fathi Ismail, Drs. Masnal Zajuli, MA,
Drs. Afif Zamzami, M.Psi, H. Bahrizal, Drs. H. Dafrizal, Drs. Arpinus, M.Ag, H.
Fahmi Mukhtar, BA, H. Bukhari Manan, BSc, Drs. Zulkifli Nur, Drs. Jujardi Ridwan,
Drs. Fahrizal Alwis, Arius Agusta, S.Pd, H. Mursyida Mukhtar, Makmur DS, Harmaini
Khatib, Firdaus, BA, Rais Dt.Cu. Indo, BA, H. Caya Khairani, dll160
159Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Suatu Kajian tentang Unsur dan
Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta : INIS, 1994), hlm. 18 160Dokumen
Alumni Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau tahun 1990
Melihat banyak dan ragamnya jenis pekerjaan yang dijalankan oleh alumni Pesantren
Thawalib Tanjung Limau, maka pada masa mendatang diharapkan dari alumni ini mampu
membantu pesantren almamaternya menjadi pesantren yang lebih maju lagi. Disamping
itu, output yang diharapkan pada masa mendatang mampu mencetak para alumninya
sebagai ahli agama dan sekaligus ahli dalam bidang ilmu pengetahuan umum, sehingga
mereka mampu bersaing dengan alumni dari lembaga pendidikan lainya. Atas dasar
itu, harapan outcome dari Pesantren Thawalib Tanjung Limau dimasa depan berubah
menjadi bentuk pendidikan formal dengan perbandingan pelajaran sebayak 70 % ilmu
pengetehauan umum dan metode berpikir, dan 30% pendidikan agama yang bermoral, hal
ini memungkinkan karena selama ini Pesantren Thawalib Tanjung Limau telah
membelajarkan para santrinya dalam bentuk pendidikan formal dengan menyerap
kurikulum Dinas Pendidikan dan Departemen Agama. Untuk mewujudkan Pesantren
Thawalib Tanjung Limau menjadi pesantren yang berkualitas, tentu akan memerlukan
faktor pendukung dan mempertimbangkan faktor penghambatnya. Fahrizal Alwis,161
mengatakan bahwa pesantren Thawalib dalam mengembangkan pendidikan Islam dan
menuju pesantren yang terpadu harus memperhatikan aspek/faktor pendukungnya dan
penghambatnya, diantara faktor tersebut adalah sebagai berikut: 1. Faktor
pendukung, seperti: (a) pondok pesantren ini sudah memiliki ruang permanen untuk
pelaksanaan pendidikan dan pengajaran, (b) tenaga pengajar yang cukup baik, (c)
memiliki daftar rencana pelajaran, (d) melakukan pembagian mata pelajaran, (e)
memiliki administrasi yang lengkap di antaranya daftar hadir siswa dan guru, (f)
memiliki pustaka, (g) memiliki asrama putra dan putrid, (h) memiliki Labor Bahasa
dan Komputer, (i) memiliki Tempat Pendidikan Usaha Santri (TPUS), (j) dan
banyaknya alumni yang telah berhasil dan memperhatikan Almamaternya. 2. Faktor
penghambat, seperti: (a) banyak berdiri sekolah-sekolah umum di sekitar Pesantren,
(b) terjadinya perubahan nilai masyarakat, (c) minimnya
161Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009

71
Perhatian pemerintah Daerah terhadap Sekolah yang berstatus swasta, (d) dewasa ini
mulai kurangnya perhatian masyarakat terhadap pesantren dalam memasukan anaknya ke
Pesantren, (e) pondok pesantren selalu kalah saing dengan madrasah/sekolah negeri
karena madrasah/sekolah negeri terkelola dengan baik, sementara pondok pesantren
itu tergantung dari pengurus kalau kepengurusannya baik dan aktif maka baik dan
berkembanglah pulalah pondok pesantren itu, (f) adanya masalah internal antara
sesama pengurus yayasan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pendidikan
Islam di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau, tidak terlepas dari interaksi
yang terjadi di lingkungan pondok pesantren, baik interaksi interal pesantren,
maupun interaksi dengan pihak luar seperti masyarakat sekitarnya. Konsep
lingkungan masyarakat akan mempengaruhi interaksi suatu masyarakat yang ada. Yang
dimaksud konsep lingkungan masyarakat di sini adalah lingkungan kehidupan
masyarakat dalam pesantren dan luar pesantren Thawalib Tanjung Limau, baik berupa
lingkungan fisik maupun berupa lingkungan non fisik, yang secara langsung ataupun
tidak langsung ikut mempengaruhi pembentukan dan perkembangan kerpibadian para
siswa/santri dan masyarakat. Kepribadian individu dan kelompok dibentuk oleh
lingkungan kehidupan yang mengasuh dan mendidiknya.162 Dalam lingkungan kehidupan,
prilaku individu dan kelompok diseleksi, dispesialisasi, dan distratifikasi apa
yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, apa yang wajib dikerjakan
dan apa yang mesti ditinggalkan. Suatu kebiasaan yang secara terus-menerus dialami
oleh seseorang dari tahun ke tahun selama 24 jam setiap harinya, akhirnya
membentuk kepribadian, dan apabila hal itu telah diterima menjadi nilai kehidupan
bersama, maka sejak itu terbentuklah kepribadian yang utuh dan sangat sukar untuk
dirubah.

162A Pitirim Sorokin, Contempory Sociological Theories, (New York : Harper and
Brother, 1982), hlm. 192
E.

Peranan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam pengembangan pendidikan


Islam di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat 1. Peranan dalam Pengembangan
Kelembagaan Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau merupakan lembaga

pendidikan Islam yang menjalankan fungsi transfer ilmu agama Islam, pengembangan
dakwah, dan mereproduksi ulama. Pesantren Thawalib Tanjung Limau termasuk salah
satu Madrasah yang dicurigai dan diawasi oleh Pemerintah Belanda, yakni setelah
dilaksanakan Kongres Sumatera Thawalib yang pertama di Bukit Tinggi pada tahun
1930, salah satu Keputusan Muktamar itu ; “ Mendirikan satu partai politik yang
berlandaskan perguruan-perguruan Thawalib”.163 Pada awalnya diberi nama Persatuan
Muslim Indonesia (P.M.I), kemudian dirobah menjadi “PERMI” dengan sendirinya
perguruan Thawalib Tanjung Limau termasuk salah satu perguruan yang dicurigai oleh
pemerintah Belanda. Karena gerakan PERMI mengkhawatirkan Pemerintah Belanda, pada
waktu itu semua perguruan Thawalib berada di bawah lindungan PERMI. Kekhawatiran
Pemerintah Belanda semakin hebat, sehingga mengakibatkan guruguru Thawalib Tanjung
Limau banyak dikenakan larangan mengajar dan akibatnya beberapa perguruan Thawalib
ada yang ditutup. Madrasah Thawalib Tanjung Limau dengan kebijakan Haji Mukhtar
dibawah lindungan Allah SWT dapat dipertahankan sebagai lembaga pendidikan dan
dakwah, sekalipun tuan De Vries/ pegawai tinggi Belanda dari Medan turun mencek
langsung keberadaan pendidikan perguruan Thawalib. Demikian pula pada masa
penjajahan Jepang, Thawalib Tanjung Limau tetap eksis sebagai lembaga pendididkan
dan dakwah.164 Lembaga Pendidikan Islam ini bukanlah baku, tetapi ia fleksibel,
berkembang dan menurut kehendak waktu dan tempat.165 Untuk mengembangkan pesantren
ini, pada tahun 1943 diadakan perayaan HUT Madrasah Thawalib Tanjung Limau ke-20
dengan mengundang
163 Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau,
9 Februari 2009 164 Dokumen Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau tahun 1980
165Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2005),
cet. ke1, hlm. 100

73
ulama besar Minangkabau. Dalam perayaan tersebut dibicarakan juga tentang
kelancaran pendidikan dan penambahan pembangunan gedung. Dua tahun setelah itu
(1945) Buya Haji Mukhtar berpulang kerahmatullah, usaha beliau dilanjutkan oleh
Buya Haji Ismail Rasyad untuk memimpin Pesantren Thawalib Tanjung Limau
selanjutnya. Pada tanggal 30 April 1967 Buya Haji Ismail Raysad berpulang
kerahmatullah, untuk selanjutnya kepemimpinan Thawalib Tanjung Limau diamanahkan
kepada Angku Imam Ibrahim, pada masa ini, gedung dekat mesjid ditambah satu lokal
gedung lagi (melanjutkan rencana almarhum Buya Haji Ismail). Pada tahun 1970
didirikan pula gedung lainnya, sehingga Pesantren Thawalib Tanjung LImau sudah
mempunyai tiga buah gedung yang satu bertingkat, tingkatnya itu dijadikan asrama
bagi murid-murid perempuan yang tempat tinggal mereka jauh dari Pesantren Thawalib
Tanjung Limau. Kunci mempertahankan keberlangsungan pendidikan di Pondok Pesantren
Thawalib Tanjung Limau dari dulu adalah “musyawarah”, apa saja yang berhubungan
dengan perguruan Thawalib terlebih dahulu diambil keputusannya dengan musyawarah.
termasuk permintaan dari Inspeksi Pendidikan Agama yang datang ke Thawalib pada
1967 dan 1968 agar Thawalib di negerikan. Permintaan ini kembali dimunculkanada
pada tahun 1995 agar Madrasah Aliyah di negerikan, namun setelah bermusyawarah
dengan pemerintah kebijaksanaan Pengurus dan masyarakat status Thawalib Tanjung
Limau sebagai lembaga pendidikan swasta tetap di pertahankan sampai sekarang.
Munculnya usulan agar Thawalib statusnya di negerikan (baik dari pemerintah,
alumni maupun sebagian masyarakat atau dari beberapa orang pengurus yayasan
setelah tahun 1976, karena perkembangan pendidikan itu sendiri di Indonesia, dalam
perjalannya semenjak tahun 1966 sampai 1972 tidak beberapa orang murid yang sampai
ke kelas 6 (enam), karena diwaktu kelas empat, murid-murid itu mengambil ujian
P.G.A.N. IV tahun, setelah lulus mereka masuk ke P.G.A.N. VI Tahun. Mengingat
perkembangan dan ketahanan pesantren, maka pada tanggal 17 Desember 1976 diadakan
musyawarah terpadu antara pengurus pesantren
dengan Alim Ulama, ninik – mamak, serta cerdik pandai Tanjung Limau termasuk
alumni Thawalib. Musyawarah tersebut menghasilkan keputusan dengan membentuk
yayasan dengan nama “ Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau”.166 Karena perguruan
Thawalib Tanjung Limau memiliki lintas sektoral di bawah pembinaan Departemen
Agama, Pada tahun 1985 Madrasah Thawalib Tanjung Limau diklasifikasikan oleh
Departemen Agama setara dengan program pondok pesantren maka, madrasah Thawalib
dirubah menjadi Pondok Pesantren Thawalib. Sekarang ini lembaga yang berada dalam
naungan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah : Raudhatul Adfal (RA),
Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah
(MA).167 Kemudian disamping lembaga formal, menurut pimpinan, pesantren juga
mengembangkan lembaga yang besrifat sosial kemasyarakatan, seperti Badan Kontak
Majlis Ta’lim Pondok Pesantren Thawalib (BKMT Ponpes), lembaga ini dimanfaatkan
oleh santri dan masyarakat Tanjung Limau, Lembaga Koperasi Simpan Pinjam Pondok
Pesantren, dan Lembaga Didikan Subuh Thawalib (LDST).168

2. Peranan dalam Peningkatan Sumber Daya Manusia Permasalah seputar pengembangan


pendidikan Islam pondok pesantren dalam hubungannya dengan peningkatan kualitas
sumber daya manusia (human resources) merupakan masalah yang aktual dalam
pembicaraan seputar pesantren. Tututan kehidupan global dan keahlian menghendaki
kualitas sumber daya manusia terdidik dan keahlian dalam bidangnya. Realitas out
put pesantren yang
166Yayasan ini bertujuan untuk membina dan meningkatkan Perguruan Thawalib Tanjung
Limau meneruskan niat pertama (nawaitu) berdirinya Thawalib sesuai dengan ajaran
Al-Qur’an dan Sunnah, berusaha meneruskan dan melanjutkan cita-cita luhur almarhum
Haji Muchtar Ya’cub sebagai pendiri pertama perguruan tersebut, Lihat : Akta
Notaris Pendirian Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau No 3/1978 167Fahrizal
Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9 Februari
2009 168Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung
Limau, 9 Februari 2009

75
memiliki sumber daya manusia kurang kompetitif formal baik agama maupun umum.

inilah

yang kerap

menjadikannya termarginalisasi dan kalah bersaing dengan out put pendidikan Sahal
Mahfudz mengatakan kalau pesantren ingin berhasil dalam melakukan pengembangan
masyarakat yang salah satu dimensinya adalah pengembangan semua sumber daya, maka
pesantren harus melengkapi dirinya dengan tenaga yang terampil mengelola sumber
daya yang ada di lingkungannya, di samping syarat lain yang diperlukan untuk
berhasilnya pengembangan masyarakat sudah barang tentu, pesantren harus tetap
menjaga potensinya sebagai lembaga pendidikan”169 Pendidikan sampai saat ini
dianggap sebagai unsur utama dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Sumber
Daya Manusia lebih bernilai jika memiliki sikap, perilaku, wawasan, kemampuan,
keahlian serta keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan berbagai bidang sektor.
Pendidikan merupakan salah satu alat untuk menghasilkan perubahan pada diri
manusia. Manusia akan dapat mengetahui segala sesuai yang tidak atau belum
diketahui sebelumnya. Pendidikan merupakan hal seluruh umat manusia. Hak untuk
memperoleh pendidikan harus diikuti oleh kesempatan dan kemampuan serta
kemauannya.170 Dengan demikian, dapat dilihat dengan jelas betapa pentingnya
peranan pesantren sebagai lembaga pendidikan dalam meningkatkan kualitas SDM agar
sejajar dengan manusia lain, baik secara regional (otonomi daerah), nasional,
maupun internasional (global). Tinggi rendahnya kualitas SDM antara lain ditandai
dengan adanya unsur kreativitas dan produktivitas yang direalisasikan dengan hasil
kerja atau kinerja yang baik secara perorangan atau kelompok. Permasalahan ini
akan dapat diatasi apabila SDM mampu menampilkan hasil kerja produktif secara
rasional dan memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang umumnya dapat
diperoleh melalui pendidikan. Dengan demikian, pendidikan merupakan salah satu
solusi untuk meningkatkan kualitas SDM. Sehubungan dengan pengembangan SDM untuk
peningkatan kualitas, Azra mengemukakan bahwa “Pengembangan SDM berkualitas adalah
proses
169Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta : LKIS, 1994), hlm. 112
170Azyumardi Azra, Pendidikan Islam:Tradisi dan Modernisasi Menunuju Milinium
Baru, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2002), hlm. 50
kontekstual, sehingga pengembangan SDM melalui upaya pendidikan bukanlah sebatas
menyiapkan manusia yang menguasai pengetahuan dan keterampilan yang cocok dengan
dunia kerja pada saat ini, melainkan juga manusia yang mampu, mau, dan siap
belajar sepanjang hayat.”171 Program peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan
Islam memberi manfaat pada organisasi berupa produtivitas, moral, efisiensi,
efektivitas, dan stabilitas pesantren dalam mengantisipasi lingkungan, baik dari
dalam maupun ke luar pesantren yang selalu berubah mengikuti perkembangan zaman.
Perencanaan SDM yang berkualitas. Dalam lokakarya pengembangan Pesantren tahun
2001, merumuskan beberapa kecenderungan yang terjadi dalam masyarakat global yang
perlu menjadi bahan pertimbangan dalam pengembangan kualitas SDM. Kecenderungan
tersebut adalah: (1) Dibandingkan dengan dasawarsa 1970-an dan 1980-an, tiga
dasawarsa mendatang diperkirakan akan terjadi eksplosi yang hebat, terutama yang
menyangkut teknologi informasi dan bioteknologi. Dalam konteks peningkatan
kualitas SDM, implikasi yang dapat diangkat adalah para ilmuwan harus bekerja
dalam pendekatan multidisipliner dan adanya program pendidikan berkelanjutan
(S2/S3), dan (2) Eksplosi teknologi komunikasi yang semakin canggih dapat
mempersingkat jarak dan mempercepat perjalanan. Hal ini akan membuat bangsa yang
mempunyai kemampuan dan pengetahuan yang relevan dan menguasai teknologi baru
secara substantif mampu meningkatkan produktivitasnya. Hasil pemikiran di atas
menghadapkan kita pada arah, tantangan, dan tuntutan umum pendidikan dalam
kehidupan abad ke-21 sebagai masa depan suatu lembaga. Guna memenuhi tuntutan
komunitas pesantren yang semangkin meningkat, sudah sepantasnya penyelenggara
pesantren memikirkan upaya peningkatan kualitas para guru dan staf di dalamnya.
Upaya ini dimaksudkan agar segala tugas yang diberikan kepada mereka menghasilkan
kesuksesan yang maksimal. Upaya ini juga penting, mengingat rekrutmen guru atau
ustadz di pesantren biasanya didasarkan kepada program pre-service sebagaimana
dalam sistem persekolahan (sekolah-sekolah formal), sehingga dipandang masih
171Azyumardi Azra, Op. Cit., hlm. 59

77
memerlukan wawasan-wawasan dan keterampilan baru yang aktual. Misalnya guru atau
ustadz pesantren perlu menambah wawasan tentang kurikulum dan metode belajar
mengajar jika mereka bukan sarjana atau ahli pendidikan. Menurut pembina
Yayasan,172 Pondok pesantren Thawalib Tanjung Limau dalam menghadapi arus
globalisasi sekarang ini, telah melakukan usaha dalam peningkatan kualitas dan
sumber daya tenaga pendidik, yaitu berupa memberikan beasiswa bagi guru yang belum
S1 untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi terdekat. Kemudian usaha
lain yang dilakukan dalam pengembangan SDM ini, pesantren telah sering memberikan
pelatihan-pelatihan dan workshop bagi guru dan masyarakat sekitar, terutama dalam
bidang pendidikan dan bidang pertanian. 3. Peranan dalam Pengembangan Sarana dan
Prasarana Sarana dan prasarana yang berada di pondok pesantren, pada umumnya
sangat bergantung kepada bentuk pesantren atau kemampuan dan kemamuan kyai dalam
mengendalikan pondok pesantren yang didirikannya, esensi dan kegunaan perangkat
keras pada suatu pondok pesantren adalah untuk kelancaran interasksi dan
komunikasi atau penyampaian informasi dan penanaman nilai-nilai keagamaan yang
dilakukan kyai terhadap para santrinya pada saat-saat tertentu.173 Sarana dan
prasarana merupakan pendukung pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di pesantren.
Pesantren hendaknya mengupayakan tersedianya sumber belajar dan media pendidikan
dan pengajaran yang berbasis teknologi. Dan berangkat dari pembiayaan yang
ditunjang oleh adanya sawah abuan 174 pada awal berdirinya, hasil dari sawah abuan
tersebut guru-guru mendapat gaji, peralatan sekolah dapat dibeli, dan gedung-
gedung tambahan dapat dibangun. Kondisi itu masih dipertahankan sampai sekarang.
Adapun sarana dan prasarana yang telah tersedia Pondok Pesantren Thawalib Tanjung
Limau diantaranya: 6 (enam) ruang belajar, 1 (satu) ruang pimpinan (kepala), 1
(satu) ruang Majlis guru/ ustadz, 1
172Amiruddin St. Marajo, Sekretaris Yayasan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,
Tanjung Limau, 15 Februari 2009 173Taqiyuddin, Sejarah Pendidikan: Melaacak
Geneologis Pendidikan Islam Indonesia, (Bandung : Mulia Press, 2008), hlm. 189
174Abuan berarti hak milik yang diperoleh dari pemberian atau wakaf atau hibah
untuk dikelola dan hasilnya sepenuhnya menjadi hak yang mempunyai abuan itu.
Seorang anak yang sudah berangkat dewasa, biasanya sudah diberi abuan oleh orang
tuannya.
(satu) ruang perpustakaan, 1 (satu) ruang labor, 1 ((satu) unit asrama, 1 (satu)
ruang gudang dan 1 (satu) ruang koperasi, lapangan volly ball, 1 (satu )
masjid.175 Jadi pengembangan terhadap sarana dan prasarana Pondok pesantren
Thawalib Tanjung Limau sedikit demi sedikit mengalami perubahan, terutama pada
fasilitas pendidikan yang dibutuhkan para santri diantaranya sepuluh ruang
belajar, satu unit ruang asrama, satu ruang perpustakaan, satu ruang labor
komputer dengan 15 unit komputer, tiga ruang kantor, satu ruang untuk koperasi
Pesantren, satu ruang untuk labor bahasa Arab dan Inggris, lima belas unit mesin
jahit, satu lapangan volly ball, satu unit lapangan tenis meja dan lapangan bola
kaki milik bersama dengan masyarakat Tanjung Limau. 4. Peranan dalam Pengembangan
Keilmuan dan Keterampilan Peran pesantren Thawalib Tanjung Limau sebagai salah
satu lembaga (institusi) dalam pengembangan pendidikan Islam adalah mentransfer
ilmu agama Islam, baik kepada santri maupun kepada masyarakat. Tranformasi ilmu
agama Islam yang dilakukan oleh Pesantren Thawalib Tanjung Limau kepada santri
maupun masyarakat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan pendidikan dan pengajaran,
baik yang dilakukan secara rutin di lingkungan pesantren itu sendiri, ataupun
kegaitan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh masyarakat dengan melibatkan
pesantren di dalamnya.176 Pesantren Thawalib mempunyai peranan penting dalam
mewarisi dan mengembangkan warisan intelektual dan spritual itu. Hal ini bisa
dipahami, karena dilihat dari latar belakangnya, Pesantren Thawalib Tanjung Limau
berperan sebagai lembaga transformasi kultural yang menyeluruh dalam kehidupan
masyarakat. Pesantren Thawalib Tanjung Limau berdiri sebagai jawaban terhadap
penggilan dakwah keagamaan, untuk menegakkan nilai-nilai kemasyarakatan, dan
praktek-praktek keagamaan.177 Ilmu agama Islam yang ditransfer oleh Pesantren
Thawalib kepada santri
175Yayasan Pembina Thawalib Tanjung Limau, Permohonan Izin Perasional Kepala
Kantor Departemen Agama Wilayah Sumatera Barat untuk Madrasah Tsnawiyah dan Aliyah
Thawalib, ( Padang : tidak diterbitkan, 1976) 176Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren
Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9 Februari 2009 177Fahrizal Alwis,
Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9 Februari 2009

79
dan masyarakat sekitanya adalah berupa tradisi keilmuan fiqih dan sufistik (ilmu
Tasauf). Hal ini wajar, karena pada dasarnya Pesantren Thawalib Tanjung Limau
adalah merupakan salah satu lembaga pendidikan yang megajarkan tradisi keilmuan
agama. Transformasi keilmuan tasauf melahirkan nilai-nilai moral keagamaan yang
ditampilkan oleh pimpinan pesantren dan santrinya di tengahtengah kehidupan
masyarakat, sedangkan transformasi keilmuan fikih melahirkan faham-faham keagamaan
fikih bagi kepentingan ibadah kepada Allah. SWT.178 Awalnya Ilmu agama Islam yang
ditranspormasikan oleh Pesantren Thawalib Tanjung kepada santri dan masyarakat
sekitarnya adalah islam tradisional. Yang dimaskud dengan islam tradisional adalah
islam yang masih terikat kuat dengan pikiran ulama ahli fiqih, ahli hadits, ahli
tafsir, ahli tauhid dan ahli tasauf yang hidup antara abad ke -7 sampai abad ke-
13. M. Akan tetapi pada perkembangannya, seiring dengan terjadinya pembaharuan
pendidikan Islam pesantren Thawalib memberikan pendidikan Islam kepada santri dan
masyarakat didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh sistem pendidikan Islam.
Pengembangan pendidikan Islam yang dilakukan di pesantren Thawalib adalah dengan
membuat jaringan Islam, yakni membentuk kader ulama santri yang akan dipergunakan
sebagai pendakawah-pendakwah agama Islam yang akan diterjunkan ke daerah masing-
masing. Dengan itu, berarti Pesantren Thawalib Limau telah membuat dan
mengembangkan jaringan Islam secara luas, paling tidak sejak awal berdirinya tahun
1923 hingga berobah statusnya menjadi Pondok Pesantren tahun 1972 sampai sekarang
telah banyak alumninya yang menyebarkan ilmu agama Islam di tengah-tengah
masyarakat.179 Untuk menjamin kelangsungan hidup pendidikan Islam, maka Pesantren
Thawalib Tanjung Limau berusaha melakukan pengembangan pendidikan agama melalui
peningkatan rasa solidaritas dan kerja sama antara pesantren dengan masyarakat,
antara pesantren dengan pesantren lain dalam suatu forum silaturrahmi pondok
pesantren Sumatera Barat atau antara pesantren Thawalib
178Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009 179Fahizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara
Mendalam,Tanjung Limau, 9 februari 2009
dengan pemerintah dalam hal ini tentunya Departemen Agama. Cara praktis yang
ditempuh adalah mempersiapkan buya/kyai dari pesantren dengan membuka madrasah
yang ada jurusan keagamaanya dengan maksud agar kelak dikemudian hari akan ada
buya/kyai yang mengetahui ilmu agama dan menjadi tauladan dan tokoh ditengah-
tengah masyarakat.180 Jadi, pengembangan terhadap pendidikan agama yang dilakukan
oleh Pesantren Thawalib Tanjung Limau adalah dengan cara mengkader santri dan
keluarganya sebagai calon pemimpin agama (buya) dan mubaligh yang akan mengajak
masyarakat kepada Amar ma’ruf dan nahi mungkar, serta kemudian hari dapat
mengembangkan pesantren ke arah yang lebih maju lagi. Sebagaimana diketahui bahwa
Pondok Pesantren Thawalib terletak di Jorong Tanjung Limau yang mayoritas
penduduknya bertani dan berternak. Sehingga Pondok Pesantren dalam program-
programnya juga menyentuh dan mengarah kepada bidang pertanian, seperti
Agorbisnis, beternak sapi, dan lainlain. Program ini ditawarkan kepada masyarakat.
Dan jauh sebelum tahun 1990-an Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau juga telah
mengadakan program keterampilan kepada santri dan masyarakat sekitarnya, seperti
keterampilan menjahit, membordir, dan pertukangan.181 Inilah salah satu aspek yang
dapat diangkat di pesantren, sehingga dapat dikatakan bahwa Pondok Pesantren
Thawalib adalah Laboratorium sosialkeagamaan masyarakat. Orang tua yang memasukan
anaknya ke pesantren ini selain berharap agar mendapat pendidikan agama yang
mendalam, juga berharap agar anaknya dapat hidup mandiri dan dapat berkiprah di
tengah-tengah masyarakat yang sesungguhnya.182 Atas dasar itulah, maka kehadiran
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau di tengah-tengah masyarakat menjadi
bermanfaat hingga sekarang. Pesantren tidak hanya memberikan bidang dakwah
keagamaan semata, tetapi juga
180Fahizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 9
februari 2009 181Zainin St. Marajo, Dewan Pembina, Wawancara Mendalam, Tanjung
Limau, 15 Februari 2009 182Zainin St. Marajo, Dewan Pembina/ Tokoh Masyarakat,
Wawancara Mendalam,Tanjung Limau, 15 Februari 2009

81
memberikan bekal ilmu dan keterampilan bagi santri dan masyarakat sekitarnya.
Berdasarkan pengamatan di lapangan melalui wawancara dengan Fahrizal Alwis selaku
pimpinan Pondok Pesantren Thawalib mengatakan diantara pendidikan keterampilan
yang telah dikembangkan adalah: (1). Keterampilan menjahit dan bordir, (2).
Keterampilan dalam bidang Agrobisnis dan Peternakan Sapi, (3). Keterampilan
komputer dan Bahasa Jepang.183 Unsur utama suatu pendidikan selain terdiri atas
para pelaku yang merupakan unsur organik, juga terdiri atas unsur anorganik
lainnya., berupa : dana, sarana, dan alat-alat pendidikan lainnya, baik perangkat
keras maupun perangkat lunak. Hubungan antara nilai-nilai dalam suatu sistem
pendidikan merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lain. Dalam kaitannya dengan sistem pendidikan pesantren, maka para
pelaku pesantren adalah: kyai, ustadz mengajar agama, guru mengajar umum, santri,
dan pengurus serta adanya tempat untuk belajar (sarana dan prasarana). Seiring
dengan perkembangan zaman, Thawalib Tanjung Limau terus melakukan penyesuaian
struktur kepengurusan. Para pengurus terus melakukan penyesuaian struktur sesuai
dengan kebutuhan dan kultur yang berlaku di Pondok pesantren. Dalam praktiknya,
pola manajemen yang digunakan dalam menjalankan sistem tersebut adalah satu sistem
dengan dua sub sistem besar. Dalam tradisi kepemimpinan pesantren, pengasuh dan
pengurus adalah pemegang otoritas tertinggi dalam pengambilan keputusan. Hanya
saja secara manajerial keputusan tersebut dilakukan bersama sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya (tupoksi) yang termaktub dalam struktur dua sub sistem
pesantren. Pendidikan dan pembinaan yang dilaksanakan di PP. Thawalib Tanjung
Limau adalah pembinaan yang intergratif antara pendidikan di asrama dan lembaga
pendidikan formal. Artinya terjadi proses saling mendukung dan melengkapi antrara
pendidikan yang dilaksanakan di asrama santri dengan pendidikan dan pembinaan di
lembaga formal. Pendidikan dan Pembinaan yang dilakukan di sekolah diperdalam di
asrama santri yang disesuaikan dengan jenjang pendidikan di lembaga formal.
Sehingga tujuan santri untuk mengaji dan
183Fahrizal Alwis, Pimpinan Pontren Thawalib, Wawancara Mendalam, Tanjung Limau, 9
Februari 2009
membina akhlakul karimah diharapkan bisa tercapai secara sempurna. Berdasarkan
penjelasan mengenai sistem pendidikan di dalam teori di atas, maka sistem
pendidikan di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau dapat dikatakan sudah
memenuhi kriteria unsur-unsur dari sistem pendidikan. Sebab, dari hasil penelitian
di lapangan menunjukan bahwa unsur-unsur sistem pendidikan yang ada di Pondok
Pesantren Thawalib ke dalam dua aspek, yaitu unsur-unsur sistem pendidikan yang
bersifat lunak dan unsur-unsur yang bersifat keras. Kedua unsur tersebut saling
berkaitan, sehingga membentuk suatu kesatuan yang utuh dalam mencapai tujuan
Pondok Pesantren. Jadi dari uraian dan pendapat para ahli tersebut, dapat penulis
kemukakan, bahwa sistem pendidikan Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau sesuai
dengan tujuan, visi dan misinya, awalnya bersifat tradisional, tetapi pada
perkembangan selanjutnya seiring dengan terjadinya pembaharuan paradigma
pendidikan Islam, maka pesantren Thawalib Tanjung Limau menerapkan sistem
pendidikan pesantren yang mengabungkan antara sistem salaf dengan khalaf. Hal ini
bisa terlihat dari dibukanya sistem madrasah disamping sistem pondok sendiri yang
bersifat pendidikan Islam tradisional. Namun saat ini pesantren dihadapkan pada
persoalan lain dalam dinamika masyarakat. Telah terjadi pergeseran paradigma,
pergeseran problematika dengan isu baru walau mainstream lama dan percepatan roda
jaman dengan arus globalisasi dan westernisasi, serta abad informasi dan
komunikasi yang membawa manusia pada satu dunia kecil dengan sistem global yang
hanya dijangkau satu tangan saja. Ketika jelajah dunia cukup dengan jentikan jari
saja, maksud melalui internet. Era pasar bebas, perdagangan lintas batas, dunia
yang modern, megapolitan dan maju di milanium ketiga ini. Inovasi yang tiada
henti, produktifitas yang tinggi, dunia cyber yang menghegemoni seakan membuat
kita menjadi bodoh dan terkebelakang. Disisi lain kerusakan moral masyarakat,
seperti gunung es yang meleleh melaju begitu cepat, memporak porandakan norma dan
keluhuran peradaban yang sekian lama dengan susah payah di bangun. Kemaksiatan pun
ikut menglobal seperti bola salju yang menggelinding semakin lama semakin

83
membesar dan membesar menjadi raksasa yang menakutkan,

menggurita

membumi hanguskan keluhuran ajaran diniyah yang selalu di jungjung tinggi.


Perilaku menghalalkan segala macam, cara dalam berbagai bidang, baik politik,
ekonomi, sosial dan budaya. Semua ini memaksa kembali pesantren untuk keluar dari
sarangnya menyelamatkan dunia karena ada tugas yang sangat berat menantinya. Namun
zaman telah berganti kondisi saat ini bukan yang terjadi pada abad tradisional,
melainkan abad postmodernisme, sehingga mengharuskan pesantren melakukan
restrukturisasi dan revitalisasi dengan mensetel dan meng up gread sopt ware namun
tetap mempertahankan hard ware nya untuk menghadapi problem komplek dimasyarakat
global saat ini. Pesantren Thawalib Tanjung Limau harus tampil menghadapi tiga
persoalan tersebut di atas dengan menjadi agen of change, lokomotif kemajuan
dengan gerbong keadilan serta senantiasa menjadi oase bagi panasnya wabah demam
masyarakat yang hampir tidak mengenal dirinya sendiri. Pesantren Thawalib Tanjung
Limau dituntut menguasai teknologi, melihat kenyatan yang terjadi pada pesantren
rasanya seperti suatu yang utopia. Pesantren yang tradisional, pesantren yang
lugu, pesantren yang sederhana dan lain sebagainya. But the weaknes have ti be
strong, disanalah letak dari kekuatannya. Selain peran di atas menurut penulis,
pesantren peran perlu menajamkan dalam pemberdayaan masyarakat terutama saat
sekarang ini. Ada

beberapa upaya yang dapat dikembangkan dalam pola pemberdayaan masyarakat ini
diantaranya : (1) meningkatkan kualitas SDM dari para pengasuhnya dengan berbagai
pelatihan, lokakarya seminar dan work shop, (2) penempatan sarjana pendamping
bersama pesantren untuk membangun pesantren itu sendiri dan bersama dengan sarjana
pendamping membangun masyarakat, (3) pengembangan sarana dan prasarana pendidikan
agar tujuan yang telah ditetapkan akan mudah tercapai, (4) meningkatkan
pengembangan ilmu dan keterampilan agar para lulusan pesantren dapat berhasil dan
berdaya guna serta berkarya, (5) mengembangkan kelembagaan yang siap berkompetisi
Sekolah umum lainnya. Dari uraian di atas, dapat penulis tegaskan, bahwa Pondok
Pesantren
Thawalib Tanjung Limau telah berusaha dalam pengembangan pendidikan Islam di
Kabupaten Tanah Datar. Hal ini dilakukan sejalan dengan visi dan misi yang
dimiliki oleh pesantren ini. Dan keberadaan masyarakat Pondok Pesantren dalam hal
ini, baik pengurus yayasan, pimpinan, ustadz, santri dan masyarakat tertata dan
penuh tanggung jawab lahir dan batin, jasmani dan rohani, hati dan pikirannya
benar-benar ada di Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau. Untuk mewujudkan
output yang lebih berkualitas, pihak pengelola, baik yayasan maupun pimpinan
pondok telah berusaha melakukan kerjasama dengan berbagai pihak yang ada di
Kabupaten Tanah Datar, baik yang bersifat lembagalembaga pendidikan, ataupun
dengan organisasi sosial kemasyarakatan lainnya. Dan tak kalah pentingnya,
pesantren ini mencoba melakukan kerja sama dengan pemerintah dan swasta. Hal ini
dilakukan dalam rangka mengembangkan lembaga dan untuk memperoleh dana sebagai
penunjang operasionalnya lembaga ini. Dan terakhir penulis simpulkan, bahwa
sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren telah eksis di tengah-tengah
masyarakat semenjak zaman kolonial. Pesantren berperan dalam berbagai bidang
secara multidimensional, baik yang berkaitan langsung dengan aktivitas pendidikan
pesantren maupun di luar wewenangnya. Pesantren menjadi pusat pengembangan
keterampilan dan teknologi tepat guna bagi masyarakat desa, pusat pemberdayaan
ekonomi masyarakat sekitarnya, sebagai pusat reproduksi ulama, sebagai pusat
transmisi ilmu-ilmu Islam, sebagai pusat pelatihan, dan sebagai pusat pendidikan
lembaga Majlis Ta’lim dan didikan Subuh. Peran seperti inilah peranan yang
dijalankan oleh Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau Kabupaten Tanah Datar
dalam mengembangkan pendidikan Islam di Kabupaten Tanah Datar.

85
BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan temuan dan pembahasan hasil penelitian, maka diperoleh


kesimpulan sebagai berikut : 1. Latar belakang berdirinya pesantren Thawalib
Tanjung Limau ini dari Surau Gadang Tanjung Limau sebagai sarana belajar mengaji
bagi generasi muda Tanjung Limau dengan mengunakan sistem halaqah. Guru yang mula-
mula mengajar adalah Syekh Sulaiman Al- Mufassir AlMansyur. Pondok Pesantren ini
berdiri dalam rangka menjawab tantangan dan kekurangan Kader Ulama dan Kader
Pimpinan Masyarakat di Minang Kabau, yang dikenal dengan Adat Basandi Syarak,
Syarak Basandi Kitabullah. Adapun Tujuan didirikannya pesantren ini adalah untuk
menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman
dan bertaqwa kepada Allah SWT, serta terwujudnya ulama intelektual, intelektual
ulama, berakhlak mulia, terampil dan bertanggung jawab serta berguna bagi
masyarakat. Dan Visi yang dimiliki oleh Pondok Pesantren Thawalib ini yaitu
Istiqomah dalam Aqidah, Makmur dalam Syari'ah, Uswatun Hasanah cendikiawan, dalam
Akhlaq, dengan misi yang diemban kader pemimpin masyarakat, adalah: mempersiapkan
kader ulma, mubaligh, imam, khatib, dan mempersiapkan mempersiapkan kader muda
yang berjiwa wiraswasta, mempersiapkan kader muda yang siap membela agama,
masyarakat, dan negara, mempersiapkan kemahiran berbahasa asing (Indonesia,
Jepang, Arab, dan Inggris), dan menghasilkan lulusan yang memahami dan menerapkan
dalam kehidupan sehari-hari , Islam sebagai aqidah dan syari'ah, serta sebagai
orang Minangkabau yang tidak terlepas dari falsafah "Adat Basandi Syara', Syara'
Basandi Kitabullah. Pondok Pesantren Thawalib menerapkan sistem manejemen yang
sesuai dengan sistem pondok pesantren yang ada di Indonesia. Karena Pondok
Pesantren ini berada di bawah naungan Departemen Agama, maka manajemen dan sistem
pendidikan yang diselenggarakan adalah : Raudhatul Adfal (RA), Madrasah Diniyah
Awaliyah (MDA), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA). Pondok Pesantren
Thawalib menerapkan manejemen salaf dan khlaf Metode pembelajarannya mengunakan
sorongan, bandongan, halaqah, hafalan, dan klasikal. 2. Kurikulum yang dipakai di
Pondok Pesantren Thawalib Tanjung limau, yaitu dengan mengadopsi kurikulum
Departemen Agama, Departemen Pendidikan Nasional dan kurikulum kepesantrenan.
Penerapan kurikulum ini mendapat respon dari masyarakat, sehingga adanya
keterlibatan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh
pesantren. Di sisi lain pesantren dalam melakukan pengembangan kurikulum juga
memperhatikan, mempelajari dan memahami kebutuhan masyarakat seperti yang
dirumuskan dalam UU, Keputusan Pemerintah, peraturan

87
Daerah dan lain sebagainya. Menganalisis budaya masyarakat tempat pesantren
berada. Menganalisis kekuatan serta potensi daerah. Menganalisis syarat dan
tuntutan tenaga kerja. Menginterpretasi kebutuhan individu dalam kerangka
kepentingan masyarakat sekitar. 3. Proses pelaksanaan pendidikan Islam di Pondok
Pesantren Thawalib Tanjung Limau masih mengunakan kompenen-komponen pendidikan
Islam, seperti adanya Buya selaku pimpinan, ada ustadz untuk mengajar ilmu agama
(kitab), guru untuk mengajar pelajaran umum, ada santri /siswa, ada Masjid sebagai
sarana pegajian, ada sarana dan prasarana lainnya, mempunyai buku /kitab sebagai
sumber belajar, dan juga mengunakan evaluasi untuk mengukur kemampuan santri dalam
penguasaan materi yang telah diajarkan, baik tertulis maupun lisan dan praktek. 4.
Sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki cita-cita untuk membangun generasi
Islam, pondok pesantren ini dihadapkan pada faktor penghambat dan pendukung.
Faktor Penghambat, seperti masalah ekonomi, kurangnya perhatian pemerintah darerah
terhadap lembaga swasta, kompetisi yang tidak seimbang dengan sekolah umum, serta
terjadinya perubahan nilai di masyarakat. Meskipun kendala banyak, namun pesantren
tetap eksis dan optimis untuk mencerdaskan anak bangsa dan memberikan pengetahuan
agama, karena pesantren ini masih didukung oleh beberapa faktor pendukung,
seperti: Sarana dan prasarana yang sudah agak memadai, tenaga pendidik/ustadz yang
berkompeten, serta adanya rencana kerja yang jelas (Master Pan Pondok Pesantren
Thawalib). 5. Pondok Pesantren Thawalib Tanjung Limau yang telah berusia 85 tahun,
telah banyak menciptakan Alumni yang sudah bekerja sesuai dengan profesi dan nasib
masing-masing, seperti menjadi Polisi, Pengacara, Hakim, Dosen/Guru, pengusaha,
pedagang, dan lain-lain. Peranan yang telah berhasil dikembangkan di Pondok
Pesantren Thawalib dalam bentuk kelembagaan berupa : terbentuknya Persantuan
Mubaligh yang akan
berdakwah ke setiap Masjid dan Mushala yang ada dalam Kabupaten Tanah Datar
(Majlis Ta’lim) dan Lembaga Didikan Subuh Kecamatan Pariangan. Pengembangan dalam
peningkatan Simber daya manusia, yaitu meberikan pelatihan dan seminar serta
workshop bagi guru dan masyarakat. Pengembangan lain adalah di bidang pendidikan
umum yaitu diajarkannya ilmu-ilmu umum serta adanya jurusan umum di pesantren ini
(jurusan IPS). Pengembangan terhadap sarana dan prasarana, yaitu menambah lokal
dan mendirikan labor komputer dan bahasa bagi santri, serta menambah media
pembelajaran. Dan pengembangan dalam pendidikan keterampilan yakni
dibuka/diadakannya tempat untuk peningkatan ekonomi pesantren dalam bentuk Tempat
Pendidikan Usaha Santri (TPUS) berupa Koperasi Pondok Pesantren, pengembangan
bidang agrobisnis bidang peternakan sapi potong, TTG, dan pelatihan-pelatihan
menjahit dan bordir, perbengkelan dan elektronik serta komputer. Usahausaha di
atas berguna bagi santri dan masyarakat sekitarnya.

B. Saran-saran Mengingat peranan Pondok Pesantren Thawalib penting dalam proses


pengembangan pendidikan Islam di masyarakat, maka dalam kerangka membangun
eksistensi pesantren di tengah-tengah perubahan zaman yang sedang menglobalisasi
ini, penulis menyarankan sebagai berikut : 1. Pesantren lebih memperhatikan dan
mengembangkan wawasan berpikir keilmuan dari sistem pendidikan nasional, yaitu
metode berpikir deduktif, induktif, kausalitas, dan kritis. Hal ini sangat penting
artinya, jika kita masih mengangap pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang
komprehensif dalam mencetak kader ulama sebagai pendakwah umat dalam amar makruf
dan nahi mungkar. 2. Pesantren perlu melakukan inovasi-inovasi yang sifat untuk
kemajuan santri selama inovasi tersebut masih dalam kerangka sistem pendidikan
Islam dan konsep islam yang dianut. Hal ini dimaksudkan agar pesantren

89
tidak selamanya dikatakan sebagai komunitas yang kolot dan terbelakang. 3. Dalam
penerapan kurikulum yang diadopsi dari pemerintah dalam hal ini yang bersifat ilmu
umum, sebaiknya pondok pesantren mewarnainya dengan pendidikan Islam itu
sendiri,artinya pendidikan tersebut masih dalam ajaran al-Qur’an dan al-Hadits. 4.
Pondok pesantren, seharusnya memperluas pelayanan pendidikan kepada masyarakat
secara wajar dan sistematis, sehingga apa yang disajikan kepada masyarakat akan
tetap terasa bermuara pada pandangan dan sikap Islami, dan terasa bermanfaat bagi
kehidupan sehari-hari. Begitu juga mengenai aktivitas mesjid harus dijadikan basis
pembinaan umat. Materimateri kajian pendidikan Islam yang disampaikan lewat
khotbah jum’ah dan ceramah-cemah harus dapat di sesuaikan dengan kebutuhan dan
kondisi realitas umat yang dihadapi dan mengantisipasi kondisi perubahan masa
depan. Pondok pesantren dan mesjid perlu menggalang kerjasama dengan para ulama
dan para cendekiawan muslim yang di luar atau yang tergabung dalam perguruan
tinggi yang ada di sekitarnya. 5. Pendidikan Pesantren di masa depan harus menjadi
pendidikan yang mampu melahirkan anak-anak didik yang tidak hanya cemerlang secara
intelektual tetapi juga memiliki kecermelangan dalam sikap moral. Oleh karena itu,
dari sudut pengembangan akademik, pendidikan pesantren ditantang untuk memberikan
muatan-muatan ilmu eksak dalam

kurikulumnya, agar out putnya dapat menguasai IPTEK dengan baik, sehingga
pesantren ini mampu mengharumkan dan mengangkat prestasi Kabupaten Tanah Datar
diantara kabupaten-kabupaten lain yang ada di propinsi Sumatera Barat bahkan di
tingkat nasional.
91

Anda mungkin juga menyukai