1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
menggunakan kurikulum ganda, yaitu kurikulum Kemendiknas dan kurikulum
Kemenag. Meskipun demikian, karena otoritas pesantren ada pada kyai, seringkali
pesantren juga membuat kurikulum sendiri sebagai tambahan dari materi kurikulum
Kemendiknas dan Kemenag, karena dianggap kedua kurikulum tersebut belum
mengakomodir semangat institusi pesantren tersebut.
2
menyebutnya boarding school. Sistem”boarding” tentu saja merupakan salah satu
karakteristik dasar sistem Pendidikan Pesantren. Ada beberapa nilai fundamental
pendidikan pesantren yang selama ini jarang dipandang oleh kalangan yang
menganggap dirinya modern, antara lain: (1) komitmen untuk tafaquh fi addin, nilai-
nilai untuk teguh terhadap konsep dan ajaran agama; (2) pendidikan sepanjang waktu
(fullday school); (3) pendidikan integratif dengan mengkolaborasikan antara
pendidikan formal dan nonformal pendidikan seutuhnya, teks dan kontekstual atau
teoritis dan praktis; (4) adanya keragaman, kebebasan, kemandirian dan
tanggungjawab; (5) dalam pesantren diajarkan bagaimana hidup bermasyarakat.
B. Diskripsi Singkat
C. Kompetensi Dasar
D. Indikator
Setelah mengikuti pelatihan peserta dapat:
1. Menjelaskan pengertian perturan Perundang-undangan Pondok Pesantren
2. Menunjukkan peraturan perundang-undangan pondok pesatren,
3. Menjelaskan urgensi peraturan Pondok Pesantren,
4. Menjelaskan perkembangan peraturan Perundang-undangan Pondok
Pesantren, dan
5. Menganalisis pelaksanaan perundangan-undangan Pondok Pesantren
3
BAB II
KEBIJAKAN MANAJEMEN PONDOK PESANTREN
A. Pesantren
1. Pengertian Pesantren
Undang-Undang No.18 Tahun 2019 tentang Pesantren menyebutkan bahwa
Pesantren adalah lembaga yang berbasis masyarakat dan didirikan oleh
perseorangan, Yayasan, organisasi masyarakat islam, dan/atau masyarakat yang
menamamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt., menyemaikan akhlak
mulia serta memegang teguh ajaran islam rahmatan lil’alamin yang tercermin dari
sikap rendah hati, toleran, keseimbangan, moderat, dan nilai luhur bangsa
Indonesia lainnya melalui pendidikan, dakwah islam, keteladanan, dan
pemberdayaan masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara sederhana Pesantren adalah tempat para santri. Imam Zarkasyi (muhtadi,
2021), secara definitif mengartikan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam
dengan sistem asrama atau pondok, di mana Kyai sebagai figur sentralnya, masjid
sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama Islam dibawah
bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya. Sehingga secara
singkat pesantren dapat dikatakan sebagai laboratorium serta miniatur kehidupan,
di mana para santri belajar hidup dan bermasyarakat dari berbagai segi dan
aspeknya.
Dalam pondok pesantren ada beberapa unsur-unsur yang perlu diperhatikan
yaitu meliputi: (1) pondok; (2) masjid; (3) santri; (4) pengajian kitab-kitab Islam
klasik; dan (5) Kyai. Sedangkan fungsi utama pesantren sesungguhnya sangat
sederhana yaitu mensinergikan pelaku pendidikan yakni tenaga pendidik dan
santri, dengan materi yang menjadi objek kajian dalam suatu lingkungan tersendiri.
Dari berbagai definisi pesantern diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang tertua di Indonesia yang
dipimpin oleh seseorang kyai yang mempunyai karismatik dan bersifat independent
dimana santri disediakan tempat menginap.
4
2. Tujuan Pendidikan Pesantren
Tujuan pendidikan pesantren berorientasi pada dua (2) tujuan pokok, yaitu:
pertama, tujuan yang berorientasi ukhrowi, yaitu membentuk seorang hamba agar
melakukan kewajiban kepada Allah. Kedua, tujuan yang berorientasi duniawi, yaitu
membentuk manusia yang mampu menghadapi segala bentuk kehidupan yang
lebih layak dan bermanfaat bagi orang.
Pesantren harus mampu memunculkan atau membentuk kepribadian yang
mantap yang dilengkapi dengan ilmu pengetahuan dengan harapan setelah
kembali ke kampung halaman dapat menjadi muslim yang menjadi suri tauladan
yang mampu memantulkan culture pesantren dalam menempuh hidup di dunia
serta dapat menyiarkan nilai-nilai dari ajaran agama Islam yang menjadi pembuka
terhadap cakrawala baru dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.
Pesantren merupakan hasil usaha mandiri Kyai yang dibantu oleh para dewan
pengajar, santri serta masyarakat, sehingga memiliki berbagai macam bentuk.
Selama ini belum pernah terjadi, dan barangkali cukup sulit jika harus
menyeragamkan sistem pendidikan pesantren dalam skala nasional. Karena setiap
pesantren pasti memiliki ciri khusus dalam hal pelaksanaan pendidikannya
disebabkan perbedaan pola piker Kyai dan keadaan social budaya maupun social
geografis yang mengelilinginya. Untuk kategori pendidikan pesantren bisa
diteropong dari segi rangkaian kurikulumnya dan juga dari sudut sistem
pendidikannya.
3. Sisi Kurikulum
Dari segi kurikulumnya, M. Arifin (Muhtadi, 2021), menggolongkan menjadi 3
macam, yaitu pesantren modern, pesantren tahassus (tahassus ilmu alat, ilmu fiqh/
ushul fiqh, ilmu tafsir/ hadits, ilmu tasawuf/ thariqat, dan qira’at al-Qur’an) dan
pesantren campuran. Sedangkan kategori pesantren jika dipandang dari sistem
pendidikan yang dikembangkan dikelompokkan menjadi tiga macam: pertama,
memiliki santri yang belajar dan tinggal bersama Kyai, kurikulum tergantung Kyai,
dan pengajaran secara individual. Kedua, memiliki madrasah, kurikulum tertentu,
pengajaran bersifat aplikasi, Kyai memberikan pelajaran secara umum dalam
5
waktu tertentu, santri bertempat tinggal di asrama untuk mempelajari pengetahuan
agama dan umum. Dan ketiga, hanya berupa asrama, santri belajar di sekolah/
madrasah, dan Kyai sebagai pengawas dan pembina mental.
4. Sistem Pengajaran
Pada permulaan didirikan pondok pesantren, sistem pengajaran yang
digunakan adalah sejenis sistem wetonan, sorogan, dan non-klasikal. Akan tetapi
disebabkan oleh tuntutan zaman dan kebutuhan masyarakat serta akibat kemajuan
dan perkembangan pendidikan, maka pada sebagian pondok pesantren ada yang
mengembangkan dengan menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan dan
pengajaran pada lembaga pendidikan jalur sekolah (pendidikan formal), dan
sebagian lagi masih tetap bertahan pada sistem pengajaran yang lama. Perbedaan
bentuk dan sistem yang berlaku di kalangan pondok pesantren karena bentuk dan
sistem pondok pesantren ditentukan oleh Kyai sebagai pemimpin pondok
pesantren dan para pendukung pondok pesantren masing-masing. Oleh sebab itu
penye¬lenggaraan sistem pendidikan dan pengajaran antara satu pondok
pesantren dengan pondok pesantren yang lain berbeda-beda dan tidak ada
keseragaman. Hal demikian ini menjadikan pondok pesantren sebagai sebuah
kultur yang unik.
5. Pengembangan Pesantren
Pengembangan pendidikan yang terjadi di dunia Islam tidak lebih dari respon
positif para modernis Muslim terhadap ketertinggalan umat Islam dari kemajuan
Barat modern. Pengembangan sendiri merupakan sebuah gerakan Islam yang
mencakup gerakan-gerakan pembaharuan atau moderinisasi Islam.
Menurut Fazlur Rahman modernisasi di dunia Islam terjadi pada abad ke-19
yang digerakkan oleh elit penguasa (birokrat) dengan tujuan menciptakan
keseimbangan (equilibrium) antara masyarakat Barat dan Islam. Sedangkan untuk
modernisasi pendidikan di Indonesia Hasnun Asrohah mengatakan pada
permulaan abad ke-20 masyarakat Islam Indonesia telah mengalami beberapa
perubahan baik dalam bentuk kebangkitan agama, perubahan, maupun
6
pencerahan yang diakibatkan adalah dorongan untuk melawan penjajah bangsa
Belanda. Sebab tidak mungkin bangsa Indonesia harus mempertahankan segala
aktivitas dengan cara tradisional untuk melawan kekuatan-kekuatan kolonialisme
Belanda.
Ada hubungan yang erat antara modernisasi dan pendidikan terutama
pendidikan Islam yang turut mewarnai dinamika di Indonesia. Istilah modernisasi
lebih diarahkan kepada istilah pengembangan (development) yang merupakan
proses multidimensional yang kompleks. Dalam dunia pendidikan, Azyumardi Azra
mengatakan bahwa modernisasi umumnya dilihat dari dua segi, yaitu pertama
pendidikan dipandang sebagai suatu variabel modernisasi. Artinya tanpa
pendidikan yang memadai akan sulit bagi masyarakaat manapun untuk mencapai
tujuan. Kedua, pendidikan dipandang sebagai objek modernisasi.
Dalam konteks ini, pendidikan pesantren pada umumnya dipandang masih
terbelakang dalam berbagai hal, karena itulah pendidikan harus diperbarui,
dibangun kembali sehingga dapat memenuhi harapan dan fungsi yang dipikulkan
kepadanya. Dari perspektif kependidikan, pesantren merupakan satu-satunya
lembaga pendidikan yang tahan terhadap gelombang modernisasi. Padahal, di
berbagai kawasan Dunia Muslim, lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam
seringkali lenyap, tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan modern. Kenyataan ini
dapat dilihat pada kelembagaan pendidikan tradisional di kawasan Timur Tengah
yang tersimplifikasi atas tiga jenis, yaitu madrasah, kuttab, dan masjid. Hingga
pertengahan akhir abad ke-19, ketiga lembaga tersebut masih mampu bertahan,
akan tetapi sejak perempatan terakhir abad ke-19, gelombang pembaharuan dan
modernisasi yang semakin kencang menimbulkan perubahan yang tidak bisa
dimundurkan lagi dalam eksistensi lembaga pendidikan Islam tradisional itu.
Berkaitan dengan kenyataan di atas, ada benarnya jika kemudian analisis
Karel A. Stenbrink dimunculkan. Menurut pengamat keIslaman asal Belanda itu,
Pesantren meresponi atas kemunculan dan ekspansi sistem pendidikan modern
Islam dalam bentuk “menolak sambil mengikuti”. Dalam wujudnya secara konkrit,
pesantren merespon tantangan itu dengan beberapa bentuk. Pertama,
pembaharuan substansi atau isi pendidikan pesantren dengan memasukkan
7
subyek-subyek umum dan keterampilan (vocational). Kedua, pembaharuan
metodologi, seperti sistem klasikal dan penjenjangan. Ketiga, pembaharuan
kelembagaan seperti kepemimpinan pesantren, diversifikasi lembaga pendidikan.
Dan keempat, pembaharuan fungsi, dari fungsi kependidikan untuk juga mencakup
fungsi sosial-ekonomi.
Jika kita mencari lembaga pendidikan Islam yang asli di Indonesia dan berakar
sangat kuat dalam masyarakat, tentu kita akan menempatkan pondok pesantren di
nomor pertama. Akan tetapi, ternyata lembaga yang dianggap merakyat ini masih
menyisakan berbagai kegelisahan yang dirasakan oleh masyarakat juga. Karena
keluaran pondok pesantren masih diragukan kemampuannya dalam menjawab
tantangan zaman, terutama ketika berhadapan dengan derasnya arus modernisasi
dan perkembangan IPTEK.
Geliat Pondok Pesantren masih tetap lestari hingga saat ini yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia, keunikan dalam metodologi pesantren telah secara nyata
memberi nilai tambah yang signifikan dalam mengisi kemerdekaan, merawat
keberagaman dan toleransi, memperkokoh demokrasi dan mendorong laju
pembangunan sehingga diperkirakan jumlah Pondok Pesantren yang tersebar di
seluruh provinsi di Indonesia adalah 26.975 pondok pesantren di Indonesia per
Januari 2022 (Kemenag, 2022).
Untuk menjamin penyelenggaraan Pesantren dalam menjalankan fungsi
pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat, diperlukan
pengaturan untuk memberikan rekognisi, alirmasi, dan fasilitasi kepada Pesantren
berdasarkan tradisi dan kekhasannya. Sementara itu, pengaturan mengenai
Pesantren belum mengakomodasi perkembangan, aspirasi dan kebutuhan hukum
masyarakat, serta belum menempatkan pengaturan hukumnya dalam kerangka
peraturan perundang-undangan yang terintegrasi dan komprehensif.
Hal tersebut menyebabnya perlakukan hukum yang tidak sesuai dengan norma
berdasarkan kekhasan dan kesenjangan sumber daya yang besar dalam
pengembangan Pesantren. Sebagai bagian strategis dari kekayaan tradisi dan budaya
8
bangsa Indonesia yang perlu dijaga kekhasannya, Pesantren perlu diberi kesempatan
untuk berkembang dan ditingkatkan mutunya oleh semua komponen bangsa,
termasuk Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Oleh karena itu, diperlukan undang-undang yang dapat dijadikan sebagai
landasan hukum yang kuat dan menyeluruh dalam penyelenggaraan Pesantren yang
dapat memberikan rekognisi terhadap kekhasannya, sekaligus sebagai landasan
hukum untuk memberikan afirmasi dan fasilitasi bagi pengembangannya. Untuk
memproteksi dan mengembangkan lembaga Pondok Pesantren maka saat ini telah
disyahkan Undang Undang No. 18 tahun 2019 tentang Pesantren dengan mengacu
pada dasar hukum yaitu Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C, Pasal 28B, Pasal 29, dan
Pasal 31 UUD 1945. Selain di syahkannya undang-undang tersebut, untuk
menghormati peran besar Santri maka tiap tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari
Santri Nasional (HSN) dengan mengacu pada dasar yuridis yaitu Keputusan Presiden
Nomor 22 Tahun 2015 tentang penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.
9
Pesantren dengan kekhasannya tumbuh dan berkembang di masyarakat dituntut
untuk dapat melahirkan insan beriman dan bertaqwa yang memiliki karakter cinta
tanah air; 3). Aspek yuridis maka dengan telah syahkanya UU tersebut maka secara
hukum Pondok Pesantren telah memiliki kedudukan yang jelas dan pasti sebagai
elemen bangsa, karenanya didalam penyelenggaraannya Ponpes sekarang memiliki
proteksi dan perhatian dari Negara.
Melalui UU tersebut maka secara garis besar Ponpes sekarang harus lebih
mampu meningkatkan kualitasnya dengan tetap teguh mempertahankan norma-
norma umum penyelenggaraan pesantren, rukun pesantren (arkanul ma’had), dan jiwa
pesantren (ruhul ma’had). Dalam UU tersebut memuat 10 Bab dan 42 Pasal, yang
terdiri dari 1) Ketentuan Umum 2) Asas, Tujuan Dan Ruang Lingkup 3),
Penyelenggaraan Pesantren 4), Pembinaan 5), Pengelolaan Data Dan Informasi 6),
Pendanaan 7), Kerja Sama 8), Partisipasi Masyarakat 9), Ketentuan Peralihan dan 10)
Ketentuan Penutup.
Mencermati beberapa pasal dalam UU tersebut maka ada beberapa hal yang
penting di antaranya pada Bab 1 Pasal 1, yang dimaksud ‘Pesantren’ di dalam RUU
tersebut adalah lembaga yang berbasis dan didirikan oleh masyarakat yang
menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah, menyemaikan akhlakul karimah
dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia melalui pendidikan, dakwah Islam rahmatan
lil’alamin, ketaladanan, dan khidmah.
Pada Bab II Pasal 2, penyelenggaraan pesantren berasaskan Ketuhanan Yang
Maha Esa, kebangsaan, kemandirian, pemberdayaan, kemaslahatan, multikultural,
profesionalisme, akuntabilitas, keberlanjutan, dan kepastian hukum. Selanjutnya, pada
Bab III tentang Penyelenggaraan Pesantren pasal 5 menerangkan bahwa pesantren
wajib mengembangkan Islam rahmatan lilalamin dan berlandaskan Pancasila, UUD
1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.
Adapun pasal 6-10 membahas tentang unsur-unsur pesantren, kompetensi kiai,
tipologi santri, asrama, masjid/musholla, hingga uraian kajian kitab kuning/dirasah
islamiyah. Dalam Pasal 11-12 berisikan tentang pendirian dan penyelenggaraan
pesantren oleh masyarakat di mana nantinya akan diatur oleh dengan Peraturan
Menteri, namun tetap menampilkan kekhasan, yang mencerminkan tradisi, kehendak
10
dan cita-cita, serta ragam, dan karakter pesantren. Sedangkan untuk Pasal 13-31
membahas mengenai tiga fungsi pesantren yang terdiri dari fungsi pendidikan,
dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.
Dalam. Pasal 14 menyebutkan pesantren dapat menyelenggarakan pendidikan
formal (jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi) dan pendidikan non formal
(pengajian kitab kuning). Selain itu, kurikulum pendidikan muadalah dan pendidikan
diniyah formal juga dijelaskan di dalam Pasal 15-16. Kedua pasal ini berisi rumusan
mengenai kurikulum keagamaan Islam (berbasis kitab kuning) dengan pola muallimin
dan kurikulum umum (seperti pendidikan pancasila dan kewarganegaraan, bahasa
Indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam, seni, dan budaya).
Pesantren sebagai lembaga berbasis masyarakat maka sumber pendanaan
utama pada prinsipnya berasal dari masyarakat, namun demikian pemerintah Pusat
membantu pendanaan melalui APBN yang sesuai dengan kemampuan keuangan
negara, sedangkan pemerintah daerah membantu pendanaan melalui APBD yang
sesuai dengan kewenangannya, selain itu sumber pendanaan pesantren juga bisa
bsumber dari donatur lain yang sah dan tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Menurut UU tersebut maka Pemerintah Pusat menyediakan dan mengelola
dana abadi Pesantren untuk memastikan ketersediaan dan ketercukupan anggaran
dalam pengembangan Pesantren. UU tersebut juga mengatur kerja sama Pesantren
dengan lembaga lainnya yang bersifat nasional maupun internasional, melalui
program pertukaran peserta didik, perlombaan, sistem pendidikan, kurikulum, bantuan
pendanaan, pelatihan dan peningkatan kapasitas, serta bentuk kerja sama lainnya
yang dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Barangkali sekarang yang menjadi tantangan bagi para pegiat Pondok
Pesantren adalah untuk mendesak pemerintah agar selekasnya mengesahkan
perangkat aturan pelaksana secara tehnis dan relevan atas UU Pondok Pesantren,
misalnya Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Pendidikan, Peraturan Menteri
Agama, Peraturan Gubernur atau Perda Propinsi serta Peraturan Daerah Kabupaten
Kota seluruh Indonesia.
11
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang pesantren dapat di download pada link berikut ini
https://bit.ly/uuno18tahun2019 dan berikut Main Mapnya
12
BAB III
PENUTUP
13
Daftar Pustaka
14