Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Pesantren merupakan institusi pendidikan tradisional yang lahir dan
berkembang bersandingan dengan datangnya agama Islam ke Nusantara.
Dengan demikian wajar jika Pesantren di sebut lembaga pendidikan tertua dan
indegenous atau asli di masyarakat Indonesia (Ziemik, 1986: 100).
Jika melihat sejarahnya yang panjang, bahwa Pesantren tidak
berlebihan kalau Pesantren keterkaitannya dengan islamisasi Indonesia sangat
erat sekali. Hadirnya Pesantren merupakan bagian dari instrumen masuk dan
perkembangnya islam di Indonesia beberapa ahli sejarah dan pengamat,
bersepakat Islam masuk ke Indonesia melalui jalan damai (hanif). Islam di
anut salah satunya melalui Patronase raja atau sultan yang selanjutnya dianut
oleh rakyat atau masyarakat, kemudian bermunculan para Ulama yang
menjadi sairnya politik raja. Kehawatiran pengusaha terhadap para Ulama saat
itu, yang kosmopolit di ekspresikan dalam bentuk peminggiran Para Ulama
dari lingkugan istana. Para Ulama menjadi terpinggir dan berpindah berbagai
daerah dan pedalaman. Seiring berjalannya waktu, mereka membentuk
komunitas masing-masing yang pada akhirnya mendirikan sebuah Pesantren
sebagai jaringan Islam khususnya di Jawa, Pesantren bersama industri tarekat
memerankan diri masing-masing sebagai tempat penyebaran Islam di
Indionesia kala itu dan bertahan hingga sekarang (Haidari, 2010: 07)
Keberadaan Pesantren terlahir dari buah pikiran dan inisiatif
masyarakat yang inovatif dan menjadikannya sebagai institusi kultural yang
memiliki karakter tertentu (Halim: 2005).

1
2

Pesantren dalam kenyataannya terus bertahan, berkembang dan maju.


Mampu beradaptasi dengan tantangan zaman. Di tengah-tengah perubahan
sosial budaya yang sangat dinamis dan siginifikan, pesantren dengan cirinya
yang khas tetap tumbuh dan mengundang banyak peminat baik dari kalangan
bawah, menengah, dan atas. Dalam lingkungan yang penuh perubahan,
Pesantren bahkan makin banyak (Mochtar: 2020).
Eksistensi Pesantren pun tidak lagi terbatas di pedesaan atau peloksok,
tetapi juga berkembang di perkotaan. Hampir tidak terdengar cerita jika
sebuah Pesantren tutup atau tidak beroperasi karena sepi peminat. Tidak
heran apabila dari masa ke masa data Pesantren menunjukkan penambahan
jumlah yang signifikan terus meningkat dari tahun ke tahun, baik lembaganya
maupun santrinya (Mochtar: 2020).
Adanya Pesantren di tengah masyarakat Indonesia telah mampu
menunjukkan sebagai lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang
karena kompetensi sendiri dan terkooptasi dari kepentingan dan kebutuhan
diluar pesantren atau terlepas dari kepentingan politik/kelompok tertentu.
Biasanya, keberhasilan dan kehormatan Pesantren, tidak dapat
dilepaskan keterkaitannya pada setiap nilai-nilai kehidupan yang terpelihara
dan ditanamkan oleh seorang Kiyai Pengasuh Pesantren kepada para
santrinya pada umumnya.
(Basit: 2019) Secara umum dapat dilihat dari hubungan antara santri
dengan Kiyainya yang sangat dihormati dan dimuliakan, juga seorang Kiyai
dengan masyarakat disekitar Pesantren merupakan seorang yang ditokohkan
sebagai Uswah (Figur) yang dihormati. Peran fundamental seorang Kiyai yang
merupakan Founder (Pendiri), Pengasuh, Pendidik sekaligus Pemimpin
tertinggi merupakan karakter corak Pendidikan yang istimewa yang sampai
saat ini masih melekat erat dijaga dan dipertahankan disetiap Pesantren di
Indonesia.
3

Ciri khas sebuah Pesantren dan sekaligus yang sangat mempengaruhi


keberlangsungan lembaga ini adalah kemandiriannya (Solichin, 2012).
Kemandirian merupakan sifat dan karakter yang diperlihatkan untuk tidak
ketergantungan diri atau badan kepada orang lain atau kepada pihak tertentu,
sehingga Pesantren sebagai sebuah komunitas atau kelompok sosial, dapat
tumbuh dan berkembang dengan mengandalkan skill sendiri atau berdikari,
tidak terpengaruh oleh kepentingan oportunis dan kesenangan sesaat.
Kemandirian yang dicapai Pesantren adalah tidak lepas dari peran
Sumber Daya Manusia yang berakselerasi Pesantrennya membentuk Manusia
yang unggul, produktif, inovatif, dan profesional. Sebab, manusia memiliki
potensi sentral dalam menciptakan dan mewujudkan kinerja pembangunan,
yang menetapkan manusia dalam sudut pandang dan porsinya sebagai
resource pembangunan itu. Hal ini merujuk kepada nilai dan harga manusia
ditentukan oleh relevansi konstruksinya pada sebuah proses produk kualitas
manusia perlu diprogramkan dengan sebaik mungkin agar dapat sesuai dengan
pedoman pembangunan dan tuntunan dimasyarakat (Tjokrowinoto, 1995: 28).
Pengembangan SDM Pesantren merupakan ajaran dari agama islam,
yang sejak dari awal telah menuntun manusia untuk berupaya meningkatkan
kualitas hidupnya yang diawali dari pembangunan budaya, kecerdasan yang
dimiliki bertumpu dan titik tolaknya adalah sebuah pendidikan yang akan
mempersiapkan manusia itu menjadi makhluk Individual responsiblelity dan
makhluk sosial yang mempunyai rasa kebersamaan dalam mewujudkan
kehidupan yang damai dan tentram serta maju dimana pendidikan moral jika
terwujud dengan baik dan sempurna (keadilan, kebenaran, dan kasih sayang)
dapat ditegakkan sehingga kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin
dapat dinikmati bersama secara beriringan (Prima, 2016: 6).

Menurut Bunyamin (1993: 38) ada beberapa pendapat mengenai


tipologi Pesantren, ada 3 kategori yaitu:
4

1. Kelompok A terdiri: a) Semua santri berdomisili dan belajar


bersama kyai; b) Kurikulum pendidikannya ‘terserah’ pada
kyai; c) Cara memberikan pelajaran individual; d) Tidak
menggunakan pembelajaran sistem madrasah;

2. Kelompok B terdiri: a) Memiliki madrasah untuk tempat


belajar mengajar; b) Pembelajarannya dari Kyai hanya praktek;
c) Para santri berdomisili di Pesantren dan mengikuti pelajaran
dari kyai disamping itu juga mendapatkan pembelajaran umum
di madrasah; dan

3. Kelompok C terdiri: a) Pesantren berfungsi sebagai asrama; b)


Semua santri melaksanakan pembelajaran di madrasah dan di
sekolah seperti pada umumnya; c) Fungsi seorang kyai sebagai
pengawas dalam pembinaan mental dan sprititual.

Ditinjau dari jenis pendidikan yang diterapkan pada masing-masing


Pesantren di Indonesia menurut (Basit dan Widiastuti: 2019) menjadi tiga
tipe yaitu Pesantren Salaf, Pesantren Khalaf (Modern), dan Pesantren
Perpaduan/terpadu. Ini dipengaruhi orientasi pesantren yang mengalami
perubahan seiring perkembangan zaman, tantangan zaman dan kebutuhan di
masyarakat.

Dalam Efendi & Erwanti (2005: 10) menjelaskan bahwa secara


tipologi Pesantren menurut Departemen Agama dibagi menjadi 3. Yaitu:

1. Pesantren Salafiyah, yaitu Pesantren yang hanya


menyelenggarakan pembelajaran dan pengajaran terfokus
kepada kitab klasik yang di kenal dengan kitab kuning/kitab
klasik yang dikarang ulama Salaf dan tidak menyelenggarakan
kitab formal.

2. Pesantren khalafiyah atau Ashriyah (modern), yaitu sering di


5

kategorikan sebagai Pesantren Modern. Karena selain


mengajarkan pembelajaran pengetahuan keagamaan,
mempelajari kitab kuning dengan sistem sekolah/madrasah juga
di ajarkan berbagai keterampilan praktis.

3. Pesantren Kombinasi/Campuran adalah Pesantren yang


menyelenggarakan Pendidikan sekolah atau disebut pendidikan
madrasah yang menyelenggarakan pengajaran berbagai kitab
klasik yang berbahasa arab.

Jadi tidak berhenti hanya bertujuan untuk penyebaran dakwah dan


merebut kemerdekaan dari para penjajah, saat ini pesantren diharuskan dan
dipaksa secara zaman memberikan solusi atas permasalahan di masyarakat
yang semakin heterogen. Seperti permasalahan hal ekonomi, sosial, politik,
budaya sampai keberlangsungan hidup masyarakat secara keseluruhan
(Halim: 2005).

Sejatinya tujuan pokok Pendidikan di Pesantren adalah untuk


melahirkan generasi yang ahli didalam Ilmu agama Islam (mutafagaih fi ad-
din). Ini meliputi kedalam tiga hal yaitu; (1)Pembentukan kepribadian mulia
(Akhlakul karimah), (2)Penguatan Kompetensi santri, dan (3)Penjagaan serta
pelestarian keilmuan Islam (Nafih dkk, 2007: 50).

Ada yang berpendapat tentang tujuan pokok Pendidikan di Pesantren


menurut (Arifin, 1995:248) terbagi menjadi 2; yaitu: tujuan umum dan tujuan
khusus. Pesantren secara umum memiliki tujuan untuk membimbing anak
didik/santri agar menjadi manusia yang berkepribadian yang islami yang
mampu dengan ilmu agamanya menjadi muballigh dalam masyarakat atau
Da’i untuk berdakwah dengan ilmu dan amalnya (perbuatnnya). Sedangkan
tujuan khusus dari Pesantren adalah mempersiapkan para santri untuk
menjadi sorang yang ‘alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh Kiyai atau
pimpinan pondoknya dan mengamalkannya dalam kehidupan masyarakat.
6

Pola Pendidikan Pesantren yang telah diajarkan dalam pengajian-


pengajian (ta’lim) dengan cara badogan yaitu metode pengajian yang
didalam prosesnya, beberapa santri mendengarkan seorang guru membaca
menerjemahkan dan menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku islam
dalam bahasa arab (Dhofir, 1982: 28), maupun sorogan yaitu aktifitas
pembelajaran secara individual dimana santri berhadapan langsung dengan
Ustadz atau Kiyai untuk membaca dan menjelaskan atau menghafal pelajaran
yang diberikan sebelumnya dan santri dianggap telah menguasainya. Ini
biasanya sering kali dijumpai proses pembelajaran yang pasif, dimana
transfer ilmu hanya berjalan satu arah dari guru ke santri (Bawani, 1993: 97).

Menurut Syafe’i (2017: 86) Proses pembelajaran atau belajar


mengajar di Pesantren sebagai salah satu bentuk aktifitas pendidikan dari
dulu dikembangkan pada dasarnya lebih terfokus dan dititikberatkan pada
pengajaran agama yang bersumber dari Al Qur’an dan hadits serta literatur
keislaman klasik atau disebut kitab kuning atau kitab klasik karangan para
Ulama dalam bahasa arab yang dapat membantu pemahaman materi
keagamaan yang disampaikan oleh kiyai atau ustadz dengan berharap agar
para santri menjadi cendikiawan muslim (ulul al bab) untuk mengemban
amanah sebagai pemimpin mengelola bumi ( khalifah fil ard).

Proses pembelajaran dan pengajaran di Pesantren juga sangat


mempengaruhi kualitas santri yang dihasilkan. Kepribadian, karakter,
kemandirian, dan kematangan ilmu pengetahuan itu merupakan sebagian
tolak ukur yang dilihat oleh masyarakat terhadap lulusan Pesantren apalagi
lulusan Pesantren modern yang sangat melekat menguasai dua keilmuan
baik agama dan umum yang akan di praktekan di masyarakat (Basit &
Widiastuti: 2019).

Untuk mencapai hal demikian Pesantren saat ini mencoba


mengintegrasikan (match) kurikulum pendidikannya dengan beberapa hal
7

yang lebih modern dan berpotensi terhadap perkembangan Pesantren.

Melihat kebutuhan pembangunan dan kemajuan pengetahuan


berbasis teknologi apalagi sudah memasuki revolusi industri 4.0
mengakibatkan tantangan untuk Pesantren semakin hari semakin besar.
Tantangan tersebut menyebabkan terjadinya banyak pergeseran nilai
Pesantren, baik nilai yang berkaitan dengan sumber belajar maupun nilai
yang berkaitan dengan pengelolaan pendidikan pesantren, pergeseran sistem
pesantren dan metode belajar pesantren, serta pergerseran pengembangan
fungsi kelembagaan Pesantren itu sendiri (Anas, 2012: 95-96).

Pada umumnya kebutuhan Pesantren meliputi banyak hal


kewajibannya dalam membayar kebutuhan sandang, pangan dan papan para
santri yang cukup besar, gaji pegawai, ustadz, tagihan listrik, internet
prabayar, kebutuhan air untuk minum atau mandi dan juga pengelolaan
gedung atau asrama dan fasilitas lainnya. Saat ini kebutuhan bertambah
dengan harus melengkapi fasilitas berupa laptop, komputer, internet, alat-alat
kesehatan, alat percetakan dan fasilitas lain dalam menunjang kemajuan serta
kebutuhan untuk menunjang ekonomi pesantren (Mursyid: 2011).

Sebab Pesantren tidak terikat dengan pemerintah atau partai tertentu,


mereka berdiri sendiri dan tanpa bantuan dana pemerintah. Di dalamnya ada
entitas sosial yang sangat memperhatikan kebutuhan santri untuk dapat
bermanfaat dimasyarakat nantinya. Kendatipun ada sampai Pesantren
melibatkan santrinya untuk membayar SPP dan ada donatur atau pihak-pihak
yang membantu ‘sealakadarnya’ itu pun belum mampu dan tidak cukup
untuk memenuhi operasional Pesantren untuk jangka panjang.

Oleh karena itu sebuah Pesantren diharuskan mandiri tidak


ketergantungan dengan pihak lain diluar pesantren, dengan cara mendirikan
unit usaha dikelola secara mandiri yang dapat menunjang kebutuhan
operasional dan pengembangan pesantrennya (Mursyid: 2011).
8

Dalam penelitian ini mencoba untuk menepis stigma ‘kurang baik’


akan manajemen Pesantren yang tidak lagi melanggengkan quo-nya
pesantren yaitu tidak lagi sebagai institusi pendidikan yang tradisional,
konservatif, dan terbelakang.
Penulis dalam tesis ini mencoba mendeskripsikan dan berupaya
mengungkapkan tentang Pemberdayaan di Pesantren yang dimaksud adalah
pemberdayaan mendasar untuk santri atau pengembangan potensi santri/soft
skill seorang murid yang dapat mewujudkan kemandirian Pesantrennya
dengan Pendidikan wirausaha dalam upaya untuk pemberdayaan ekonomi.
Sebab Tujuan akhir dari pemberdayaan ekonomi Pesantren adalah
kemandirian pesantren (Muttaqien, 2016).
Potensi pemberdayaan ekonomi Pesantren bisa lebih dikembangkan
untuk memajukan perekonomian masyarakat sekitar. Hal ini akan berdampak
pada pengurangan kemiskinan umat. Jika pemberdayaan ekonomi Pesantren
dikembangkan dan dijalankan secara luas dan merata dalam suatu wilayah,
maka hal ini akan mengurangi jumlah kemiskinan di wilayah tersebut. Pada
akhirnya, kesejahteraan di daerah tersebut akan meningkat dan memiliki
kemajuan (Fahoni & Rohim, 2019).
Sangat potensial apabila Pesantren bergerak ke arah ekonomi,
sebagaimana kekuatan yang dimilikinya. Jika Pesantren hanya menjadi
penonton di era yang akan datang, maka lembaga-lembaga ekonomi mikro
lain boleh jadi bergerak ke arah kemajuan (Irhamni: 2011).
Yang dimaksud dengan kemandirian Pesantren adalah tidak terikat
dengan lembaga apapun, mampu berjuang secara mandiri baik untuk
menjalankan operasional pesantren maupun menunjang fasilitas pesantren.
Kemandirian Pesantren dari segi ekonomi adalah sebuah
tuntutan dewasa ini, sebab jika Pesantren secara ekonomi telah mandiri
maka dalam segala proses keberlansungan pendidikan akan dapat
dijalankan dengan lancar dan baik pula, maka terhindar dari kendala
9

atau hambatan yang timbul sebab dari perekenomian yang belum


mencukupi kebutuhan (Safiudin, 2021).

Sebelumnya kita telah tahu yang tersebar di Indonesia membuktikan


bahwa Pesantren setelah mengalami beberapa periode dan regenerasi ke
generasi cukup lama. Perkembangan Pesantren cukup pesat dan signifikan
baik dari sistem penyelenggaraan pendidikanya maupun dari segi
jumlahnya yang semakin menggurita.

Tercatat, menurut informasi yang dikutip dari bagian data dan


informasi statistika Kementerian Agama Republik Indonesia tahun
2020/2021 saat menjelang peringatan hari santri nasional bahwa di Indonesia
jumlah Pesantren adalah 30.495, dengan jumlah santri 4.300.000 (4,3 juta)
kemudian ada sejumlah 474.000 pengajar yang tersebar seantero Kabupaten
dan kota di Indonesia (Rizaty, 2021).
Gambar 1. Potensi Ekonomi Pesantren di Indonesia (2021) sumber: katadata.co.id

Menurut Gambar 1. di atas, Pesantren berpotensi besar ekonominya


dapat menopang semua kebutuhan kemajuannya secara mandiri. Menurut
10

statistika Kementerian Agama, Pesantren ada yang memiliki potensi di


bidang Koperasi, UKM, dan ekonomi syari’ah tercatat paling banyak yaitu 1.
845 pesantren.

Menurut statistika Kementerian Agama tercatat 1.479 pesantren


memiliki potensi di bidang agrobisnis, kemudian ada 1.141 pesantren
berpotensi di bidang perkebunan. Ada juga tercatat 1.053 pesantren
berpotensi di bidang peternakan dan tercatat 797 pesantren di bidang
olahraga.

Tidak sampai disitu, menurut statistika Kementerian Agama tercatat


ada 112 pesantren berpotensi vokasional, lalu ada 318 pesantren berpotensi
di bidang kemaritiman, kemudian ada sejumlah 349 pesantren berpotensi
dibidang pusat kesehatan yang telah dijalankan.

Saat ini dengan data sebanyak itu pemerintah tidak mengendorkan


visi dan misinya untuk terus mewujudkan kemandirian ekonomi Pesantren,
dengan tegas agar terus mendukung potensi ekonomi Pesantren dan
memberdayakan santri agar dapat membantu secara langsung ekonomi
Pesantrennya. Dengan demikian, masyarakat disekitar pesantren juga bisa
terberdayakan dan dapat memulihkan ekonomi daerah semakin membaik.
Adanya proses kearah kemandirian ini, Pesantren yang selalu
diberikan ‘label tidak baik’ dengan nama ‘lembaga pengedar proposal’ dana
bantuan, baik pada institusi formal atau non formal. Labelling tersebut
tentunya tidak mengenakan untuk pesantren. Pesantren akan terbebas dari
stigma itu Pesantren menjadi lembaga yang kuat, terutama dalam sektor
ekonomi (Rofiq, 2005).
Apakah mampu bertahan tetap mandiri dan berkelanjutan? yang saat
ini dengan dihadapkan pandemi covid-19 yang sudah berjalan 2 tahun
lamanya belum menemukan titik kapan berakhir. Sangat terasa oleh sebagian
besar Pesantren yang mengandalkan SPP dan kantin atau koperasi Pesantren,
11

Sebagian besar Pesantren yang terpaksa harus memulangkan santrinya atau


pembelajaran dengan sistem Daring atau menunda kedatangan santri karena
kebijakan PSBB saat ini (Kholis dkk, 2021).
Maka Pesantren juga perlu mengelaborasi sumber-sumber
pendapatan yang menjadi penunjang operasional Pesantren di luar sumber
pendanaan yang selama ini menjadi fokus utama, seperti SPP, dapur,
kantin atau koperasi (Prajono & Pranarka, 1996).
Kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merangkul para
santri dan Pesantren di Indonesia untuk bahu membahu membantu
pemerintah dalam akselerasi pemulihan ekonomi nasional dampak dari
pandemi Covid-19 (Kholis dkk, 2021).
Disamping itu, menurut Prima (2016: 8) dibalik kemandirian pesantren
yang terus dikembangkan, juga harus menciptakan generasi yang kompenten,
itu tidak cukup dengan memberikan bekal keilmuan saja secara teori. Namun
perlu dibubuhi dengan kemampuan keterampilan dengan memanfaatkan
potensi diri. Untuk itu perlu dikembangkan Pesantren sebagai basis yang
mampu mencetak para santrinya memiliki jiwa wirausaha yang profesional.
Sehingga terlahir santri yang mampu berkiprah baik agama, ilmu pengetahuan
dan berwirausaha.
Menurut (Maksum & Majdi, 2018) potensi ekonomi mandiri yang
melekat pada Pesantren adalah santri. Analisis potensi diri ini dipahami,
bahwa santri banyak mempunyai potensi/bakat bawaan, seperti kemampuan
membaca al-Qur’an, kaligrafi, pertukangan, dan berdagang attau berbisnis dan
lain sebagainya.
Namun Pemberdayaan santri rata-rata kurang diperhatikan dan kurang
diberdayakan hanya dibekali teori tanpa praktek yang maksimal bahkan ada
beberapa pesantren modern yang operasional Pesantrennya mengandalkan
tenaga ahli dari luar tanpa melirik santrinya sebagai pionir dalam lembaga
sendiri. Ada juga kurangnya Bakat bawaan santri sudah seharusnya selalu
12

dipupuk dan dikembangkan. Dengan adanya pendidikan berwirausaha itulah,


diterapkan untuk penelusuran potensi/bakat dan minat santri, kemudian dibina
dan dilatih dan diberdayakan (Prima, 2016: 9).
Beberapa Pesantren walaupun sudah memberikan wadah untuk skill
santrinya namun masih belum produktif. Maksudnya dibekali santri saat nanti
dapat dipraktekan ketika lulus atau selesai namun tidak diterapkan dari santri
oleh santri untuk santri demi kemajuan dan kemandirian pesantren. Ini untuk
ke depannya wajah Pesantren menjadi semakin maju. (Maksum & Majdi,
2018)

Kemandirian Pesantren dapat dirasakan apabila pendidikan


wirausaha dapat diajarkan teori dan prakteknya kepada para santri.
Pendidikan ini disampaikan dalam proses belajar mengajar pada santri di
tingkat SMP dan SMA atau sederajat. Namun hal tersebut kurang maksimal
karena pendidikan wirausaha di sebagian pesantren belum disertai praktek
langsung untuk para santri. Sebagian besar pesantren belum memiliki unit-
unit usaha produktif yang mendukung dalam proses pendidikan wirausaha

Pendidikan wirausaha untuk santri tidak akan maksimal jika tanpa


praktek langsung di unit bisnis.
Yayasan Al Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School Parung
Bogor, merupakan salah satu Pesantren terbesar di Indonesia sebanyak 15.000
yang sudah mengembangkan sikap dan prinsip kemandirian pada santrinya.
Pendidikan wirausaha Yayasan Al Ashriyyah Nurul Iman Islamic
Boarding School yang telah diterapkan dan teraplikasi secara mandiri,
berupaya mewujudkan pendidikan mencetak seorang entrepreneur atau
santripreneur. Konsep entrepreneurship bukan diartikan sebagai konsep yang
mengubah potensi dasar manusia tetapi mengkoordinasikan sebuah skill/
kemampuan santri (Prima, 2016: 7).
13

Keberhasilan ini banyak civitas akademika baik kalangan orang-orang


pondok, pelajar, pengusaha, pemerintah dari dalam negeri dan luar negeri hilir
mudik tertarik datang untuk kerja sama dan studi banding. Salah satunya
berkunjung ke unit-unit wirausaha Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman
Islamic Boarding School.
Yayasan Al Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School dengan
15.000 santrinya dari Sabang sampai Merauke mengenyam pendidikan secara
maksimal secara free dari mulai pendidikan, makan, kesehatan, tempat
tinggal, ini sesuai motto yang dimiliknya adalah Free and quality education
supported by social entrepreneurship.
Santri Yayasan Al Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School
dihadapkan dengan program ‘pengabdian’ (Internship/magang) selama dua
tahun setelah menyelesaikan studi S-1 nya. Ini menjadi modal awal dimana
santri Yayasan Al Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School
mempraktekan ilmunya terutama untuk belajar berwirausaha.
Potensi santri dimanfaatkan Yayasan Al Ashriyyah Nurul Iman Islamic
Boarding School dalam upaya santrinya yang diberdayakan untuk
meningkatkan kualitas dan adektif terhadap perkembangan lingkungan,
potensi yang harus dikembangkan santri yang dididik berjiwa
kewirausahaannya untuk bekal dikemudian hari.
Selain itu upaya pemberdayaan santri Yayasan Al Ashriyyah Nurul
Iman Islamic Boarding School bertujuan agar dapat memajukan ekonomi
pesantren, bukan hanya terfokus santri dibekali untuk nanti saat selesai di
Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School, namun adanya
santri yang berwirausaha menjadikan ekonomi pesantren semakin mandiri dan
maju serta sustinable (berkelanjutan).
Dalam tesis ini penulis berusaha mengungkapkan pemberdayaan santri
mampu menunjang kemandirian ekonomi di Pesantren Al Ashriyyah Nurul
Iman Islamic Boarding School, mengingat santri yang potensial menjadi
14

seorang entrepreneurship atau santripreneur itu tidak diartikan mengubah


konsep potensi dasar santri tetapi mengkondisikan sebuah kemampuan santri
yaitu dengan menumbuhkan jiwa wirausaha santri. Sehingga santri dibekali
kemampuan diri yang mandiri dan hasil usaha sendiri.
Kenapa santri harus berwirausaha? seperti di Pesantren Al Ashriyyah
Nurul Iman Islamic Boarding School, sebab ini merupakan menjadi pekerjaan
sunnah. Sesuai dengan hadist yang diriwayakan oleh sahabat Rifa’ah bin Rafi’
r.a:
ِ
ُ َ‫َأي اَلْ َك ْس ب َأطْي‬
?‫ب‬ َّ ‫اع ةَ بْ ِن َرافِ ٍع رض ي اهلل عنه‬
ُّ :‫َأن اَلنَّيِب َّ ص لى اهلل عليه وسلم ُس ِئ َل‬ َ َ‫َع ْن ِرف‬
.‫ص َّح َحهُ اَحْلَاكِ ُم‬ ِِ
َ ‫ َو‬،‫ َو ُك ُّل َبْي ٍع َمْبُرو ٍر َر َواهُ اَلَْبَّز ُار‬,‫ َع َم ُل اَ َّلر ُج ِل بِيَده‬:‫قَ َال‬
“Dari Rifa’ah bin rafi’ r.a, bahwasannya Nabi Muhammad SAW
pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang paling baik?, Beliau menjawab:
Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang
baik.” (HR. Al Bazzar dan dianggap sahih menurut Hakim) Ibnu Hajar (2000:
371).

Yayasan Al Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School dalam


pengembangan kemandirian para santrinya diajarkan dan dibekali melalui
unit-unit usaha yang dikelola secara mandiri dan secara profesioanl tanpa
bantuan dari tenaga ahli (non-santri). Unit usaha yang dimaksud adalah
meliputi bidang agraris, jasa, pertanian, industri kreatif, energi terbarukan,
dan perdagangan.

Santri Yayasan Al Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School


diajarkan dengan banyak hal melalui unit-unit usaha meliputi: Pabrik air
Hexagonal OINTIKA, Pabrik Roti, Pabrik Tahu dan Tempe, Koperasi Nurul
Iman Sejahtera, Percetakan Nurul Iman Offset, Susu Kedelai, Budidaya Ikan
Air Tawar dan Ikan Hias, Integrited Farming (Pertanian, Perikanan,
Peternakan, Bioflok), Daur Ulang Sampah, Paving Blok, Biogas, Animasi
15

Nurul Iman, Even Organizer, Konveksi Nurul Iman, Tata Boga, Parfum
Nurul Iman, Nice Milk, BERNI, Nicare, dan Puluhan unit usaha lainnya.

Selain itu santri Yayasan Al Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding


School diajarakan BPO (Business Process Outsourcing) dan Fintech
( financial technology) karena Nurul Iman dan Indonesia sudah dihadapkan
dengan era digitalisasi atau serba digital.

Dibawah Bimbingan Yang Mulia Al Alim Al Allamah Al Arif Billah


Sayyiduna Syekh Al Habib Saggaf Bin Mahdi Bin Syekh Abu Bakar Bin
Salim sebagai Founder (Pendiri) yang dilanjutkan oleh Yang Mulia Dr.
(Can) Umi Waheeda, S.Psi., M.Si. santri Yayasan Al Ashriyyah Nurul Iman
Islamic Boarding School diajarkan wirausaha mulai dari unit usaha Daur
ulang sampah, Namun dengan pengelolaan profesional yang dijalankan
lambat laun tumbuh dan berkembang secara maksimal.

Dengan unit usaha yang di jalankan oleh santri di Yayasan Al


Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School mampu menopang
kebutuhan dan menjalankan operasioanal Pesantren Al Ashriyyah Nurul
Iman Islamic Boarding School. Dengan 15.000 santri di dalamnya lembaga
ini harus benar-benar intensif dalam menjalankan kewirausahaan yang
dimiliki. Dari situlah bekal santri yang akan didapat dari skill dan
kemampuan berwirausaha.

Tidak heran jika Yayasan Al Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding


School dan Pesantren lainnya merupakan tonggak berlangsungnya dakwah
dan juga pendidikan Islam di Indonesia serta wajah asli pendidikan
Nusantara.

Hadirnya Yayasan Al Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School


dengan melalui program Kementerian Perindustrian Republik Indonesia
pemerintah mencanangkan program santripreneur beberapa tahun
16

kebelakang dan terpilih sebagai salah satu Pilot Project yang berkolaborasi
dengan Bank Indonesia unruk mengembangkan potensi ekonomi yang ada.

Selain itu juga program ini sebagai proses untuk mengembangkan


ekonomi syariah karena melihat geliat bisnis pesantren yang tinggi namun
belum maksimal dalam pendanaan, jaringan, maupun pengelolaannya.
Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman dipilih karena melihat potensi dan juga
telah mengembangkan bisnis baik skala kecil, menengah, dan sudah
memiliki industri.

Kondisi  Yayasan Al Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School


dengan banyak nya potensi santri di dalamnya, menimbulkan pertanyaan.
Mengapa beberapa Pesantren pemberdayaan santri hanya stag (berhenti)
pembekalannya difokuskan saat akan lulus, tidak dipraktekan secara nyata di
Pondoknya masing-masing sebelum lulus? Akibatnya tidak tahu jalan
kemana dalam melangkah karena kurangnya pengalaman praktek kerja.

Prima (2016: 10) Seharusnya santri diberdayakan dan dilatih sebelum


lulus secara bertahap sehingga memiliki skill yang diminati. Untuk
membenahi dan membentuk pribadi yang unggul dan prifesional, Pesantren
dituntut untuk lebih fleksible dalam melihat realitas sosial, alam, dan
lingkungan sekitarnya. Demikian sistem kelembagaannya diharuskan
dikelola dengan manajemen yang baik dan profesional yang kompetitif
dengan responsif terhadap segala kemajuan IPTEK.

Disamping itu, lembaga ini juga secara praktik harus mampu


menyiapkan dan mendidik sumber dayanya yang berkualitas dan mampu
bersaing, sehingga dapat terhapus stigma masyarakat bahwa pesantren
sebagai lembaga pendidikan kolot (kuno) dan terbelakang yang hanya
mengurusi dan mempelajari urusan yang berkaitan dengan akhirat saja
(Munawir, 1985: 422).
17

Kemudian Penulis akan mencoba merelevansikan konsep hubungan


pendidikan Pondok Al Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School
dengan diterapkannya kewirausahaan untuk menyongsong masa depan
melalui pemberdayaan santri. Apakah konsep entrepreneurship di Yayasan
Al Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School bisa memberdayakan
santri yang mampu menopang ekonomi pesantren secara mandiri.

Dari beberapa pandangan di atas, penulis mencoba merelevansikan


pemberdayaan entrepreneurship santri untuk kemandirian ekonomi
pesantren sehingga Pesantren lebih berkembang dan bisa menopang semua
kebutuhan dan operasional Pesantren, disamping bekal para santri agar
mengetahui arah dan tujuan ketika lulus karena kesiapan yang cukup matang
dan bimbingan profesional dengan kerja nyata di Pesantren Al Ashriyyah
Nurul Iman Islamic Boarding School.

Dengan ini penulis akan berusaha menganalisis setelah mencari latar


belakang permasalahan di atas dan membuat format dari gagasan tersebut
yang dikemas dalam suatu rumusan “Pemberdayaan Santri Untuk
Kemandirian Ekonomi Pesantren (Studi Deskriptif Kualitatif
Pemberdayaan Santri Untuk Kemandirian Ekonomi Di Yayasan Al
Ashriyyah Nurul Iman Parung-Bogor).”

1.2. Fokus Penelitian

Fokus penelitian berguna untuk pembatasan tentang obyek penelitian


yang akan diangkat, manfaat lainnya adalah agar peneliti tidak terjebak pada
banyaknya data yang diperoleh di lapangan dan tetap fokus seusai topik yang
diangkat.

Penelitian ini difokuskan pada “Pemberdayaan Santri Untuk


Kemandirian Ekonomi Pesantren (Studi Deskriptif Kualitatif Pemberdayaan
18

Santri Untuk Kemandirian Ekonomi Di Yayasan Al Ashriyyah Nurul Iman


Parung-Bogor).”

1.3. Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan pembahasan masalah di atas, maka yang


menjadi fokus permasalahan penelitian dalam tesis ini dapat dirumuskan
dalam bentuk beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut.

1. Bagaimana Pemberdayaan Santri Untuk Kemandirian Ekonomi


Pesantren Di Yayasan Al Ashriyyah Nurul Iman Islamic
Boarding School Parung-Bogor?

2. Bagaimana Manajemen Pemberdayaan Santri Untuk


Kemandirian Ekonomi Pesantren Di Yayasan Al Ashriyyah
Nurul Iman Islamic Boarding School Parung-Bogor?

3. Apa yang menjadi Faktor Pendukung dan Hambatan


Pemberdayaan Santri Untuk Kemandirian Ekonomi Pesantren Di
Yayasan Al Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School
Parung-Bogor?

1.4. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini sesuai dengan rumusan masalah


di atas yaitu sebagai berikut.

a. Untuk mengetahui Bagaimana Pemberdayaan Santri Untuk


Kemandirian Ekonomi Pesantren Di Yayasan Al Ashriyyah Nurul
Iman Islamic Boarding School Parung-Bogor.

b. Untuk mengetahui Bagaimana Manajemen Pemberdayaan Santri


Untuk Kemandirian Ekonomi Pesantren Di Yayasan Al
19

Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School Parung-Bogor.

c. Apa yang menjadi Faktor Pendukung dan Hambatan


Pemberdayaan Santri Untuk Kemandirian Ekonomi Pesantren Di
Yayasan Al Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School
Parung-Bogor.

1.5. Kegunaan Hasil Penelitian

Adapun kegunaan dari hasil penelitian dalam tesis ini diharapakan


dapat:

a. Bagi Peneliti, diharapkan menjadi pengalaman dan


pengaplikasian ilmu serta bentuk pengabdian terhadap
masyarakat dan memberikan informasi dan sumbangan
pengembangan penelitian selanjutnya, kemudian memberikan
pengetahuan ilmiah baik ilmu agama dan ilmu umum
khususnya bagi penuntut ilmu dimana saja berada baik di
Pesantren Modern/Boarding School atau lembaga lainnya.

b. Bagi Pesantren, diharapkan berguna dalam upaya memberi


motivasi dan alternatif untuk pengembangan skill
entrepreneurship santri serta pembentukan life-skill demi
pemberdayaan santri dan mewujudkan kemandirian ekonomi
pesantren.

c. Bagi Pemerintah, memberikan solusi apabila program


ekonomi umat ingin terus bertransformasi dan memiliki daya
saing yang kompetitif dan memberikan solusi dalam
memecahkan masalah sosial dalam masyarakat. Kemudian
bisa dijadikan salah satu bahan informasi dan pemikiran
dalam mengantisipasi bentuk pendidikan pesantren yang
20

dapat menambah pembelajaran kewirausahaan pengelolaan


lembaga pendidikan yang mandiri namun tetap berkualitas,
terintegrasi dan sesuai perkembangan zaman, sehingga
menciptakan masyarakat yang berkualitas, berakhlakul
karimah, bermartabat, dan melahirkan entrepreneur muda
Indonesia.

d. Bagi Civitas Akademika STIE Ganesha, memberikan


khasanah keilmuan dan studi kepustakaan terkait
pengembangan ekonomi khususnya untuk prodi manajemen
pada konsentrasi sumber daya manusia terhadap
pemberdayaan ekonomi umat dan pengembangan resource
masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai