Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH ASAL-USUL PESANTREN DAN SEJARAH

PERKEMBANGANNYA

Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !


Makalah Asal-Usul Pesantren Dan Sejarah Perkembangannya
Oleh :  Siswanto dan Hildawani

1. Asal-usul Pesantren

Pesantren yang merupakan “Bapak” dari pendidikan islam di indonesia, didirikan karena adanya
tuntutan dan kebutuha zaman. Hal ini bisa dilihat dari perjalanan sejarah, dimana bila dirunut
kembali, sesungguhnya pesantren dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah islamiyah, yakni
menyebarkan dan mengembangkan Ajaran Islam, sekaligus mencetak kader-kader Ulama atau Da’i.

Pesantren sendiri menurut pengertian dasarnya adalah “ Tempat Belajar Para Santri “. Sedangkan
pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Disamping itu kata
“Pondok” mungkin juga berasal dari bahasa Arab “Funduq” yang berarti “Hotel atau Asrama”.[1]

Pembangunan suatu pesantren didorong oleh kebutuhan masyarakat akan adanya lembaga
pendidikan lanjutan. Namun demikian, faktor guru yang memenuhi persyaratan keilmuan yang
diperlukan akan sangat menentukan bagi tumbuhnya suatu pesantren. Pada umumnya berdiri suatu
pesantren yang diawali seorang Guru atau Kiai. Karena keinginan menuntut dan memperoleh ilmu
dari Guru tersebut, maka masyarakat sekitar, bahkan dari luar daerah datang kepadanya untuk
belajar. Mereka lalu membangun tempat tingggal yang sederhana disekitar tempat tinggal guru
tersebut. Semakin tinggi ilmu seorang guru tersebut, semakin banyak pula orang dari luar daerah
yang datang untuk mentut ilmu kepadanya dan berarti semakin besar pula pondok dan
pesantrennya.

Kelangsungan hidup suatu pesantren amat tergantung kepada daya tarik tokoh sentral (Kiai atau
Guru) yang memimpin, menuruskan atau mewarisinya. jika pewaris menguasi sepenuhnya baik
pengetahuan agama, wibawa, ketermpilan mengajar dan kekayaan lainnya yang diperlukan.
Sebaliknya pesantren akan menjadi mundur atau hilang, jika pewaris atau keturunan Kiai yang
mewarisinya tidak memenuhi persyaratan. Jadi seorang figur pesantren memang sangat
menentukan dan benar-benar diperlukan.

Biasanya santri yang telah menyelesaikan dan diakui telah tamat, diberi izin oleh Kiai untuk
membuka dan mendirikan pesantren baru didaerah asalnya. Dengan cara demikian pesantren-
pesantren berkembang diberbagai daerah terutama pedesaan dan pesantren asal dianggap sebagai
pesantren induknya.

B. Perkembangan Lembaga Pesantren Di Indonessia

Pesantren di Indonesia memang dan tumbuh berkembang sangat pesat. Berdasarkan laporan
pemerintah kolonial belanda, pada abad ke 19 untuk di jawa saja terdapat tidak kurang dari 1.853
buah, dengan jumlah santri tidak kurang 16.500 orang. Dari jumlah tersebut belum masuk
pesantren-pesantren yang berkembang diluar jawa terutama Sumatra dan Kalimantan yang
suasana kegiatan keagamaanya terkenal sangat kuat.

1. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam

Dalam mekanisme kerjanya, sistem yang ditampilkan pondok pesantren mempunyai keunikan
dibandingkan dengan system yang diterapkan dalam pendidikan pada umumnya, yaitu :

 Memakai system tradisional yang mempunyai kebebasan penuh dibandingkan dengan


sekolah moderen, sehingga terjadi hubungan dua arah antara santri dan kiai
 Kehidupan di pesantren menampakan semangat demokrasi karena mereka praktis berkerja
sama mengatasi problem nonkurikuler mereka.
 Para santri tidak mengidap penyakit simbolis, yaitu perolehan gelar atau ijazah, karena
sebagian besar pesantren tidak mengelurkan ijazah.
 Sitem pondok pesanten mengutamakan kesederhanaan,idealisme, persaudaraan,
persamaan, rasa percaya diri dan keberanian hidup.
 Alumni pondok pesantren tidak ingin menduduki jabatan pemerintahan, sehingga mereka
hampir tidak dapa dikuasi oleh pemerintah.[2]
Sementara itu yang menjadi cirri khas pesantreen dan sekaligus menujukan unsure-unsur
pokoknya, yang memebedakannya dengan lembagapendidikan lainnya, yaitu :

a. Pondok

Merupakan tempat tinggal kiai bersama para santrinya,. Adanya pondok sebagai tempat tingggal
bersama anatara kiai dengan para santrinya dan bekerjas sama untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehaari-hari, merupakan pembe da dengan lembaga pendidikan yang belangsung di mesjid atau
langgar.

b. Adanya Mesjid

Sebagai pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar. Mesjid yang merupakan unsure pokok kedua
dari pesantren, disamping berfungsi sebagai tempat unuk melakukan sholat berjama’ah setiap
waktu shalat, juga berfungsi sebagia tempat belajar- mengajaar.

c. Santri

Merupakan unsur pokok dari suatu pesantren, biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu :

2. Santri Mukim

Ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren.

2. Santri Kalong

Ialah santri-santri yang berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak
menetap dalam pesantren. Mereka pulang kerumah masing-masing setiap selesai mengikuti suatu
pelajaran di peantren.

d. Kiai
Merupakan tokoh sentral dalam pesantren yang memberikan pengajaran. Karena itu kiai adalah
salah satu unsur yang paling dominant dalam kehidupan suatu pesantren. Kemasyuran,
perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu pesantren banyajk bergantung pada keahlian
dan kedalaman ilmu, kharismatis dan wibawa, serta keterampilan kiai yang bersangbkutan dalam
mengelola pesantrennya.

e. Kitab-kitab islam klasik

Unsur pokok lain yang cukup membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya adalah
bahwa pada pesaantren diajarkan kitab-kitab klasik yang dikarang para ulama terdahulu, mengenai
berbagai macam ilmu pengetahuan agama islam dan bahasa arab.

2. Sistem Pendidikan Dan Pengajaran Pesantren

Sejarah perkembangan pondok pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat


nonklasikal, yaitu model sistem pendidikan dengan menggunakan metode pengajaran sorongan dan
wetonan atau bendungan (Menurut Istilah Dari Jawa Barat).

Sorongan, disbut juga sebagai cara mengajar perkepala yaitu setiap santri mendapat kesempatan
tersendiri untuk memperoleh pembelajaran seara langsung dari Kiai. Dengan cara sorongan ini,
pelajaran diberikan oleh pembantu Kiai yang disebut “Badal”. Mula-mula Badal tersebut
membacakan matan kitab yang tertulis dalam bahasa arab, kemudian menerjemahkan kata demi
kata kedalam bahasa daerah, dan menerangkan maksudnya, setelah itu santri disuruh membaca
dan mengulangi pelajaran tersebut satu persatu, sehingga setiap santri menguasinya.
Metode Bendungan atau Halqah dan sering juga disebut Wetonan, para santri duduk disekitar kiai
dengan membentuk lingkaran, dengan cara bendungan ini kiai mangajarkan kitab tertentu pada
sekelompok santri. Karena itu metode ini biasa juga dikatakan sebagai proses belajar mengaji
secara kolektif. Dimana baik kiai maupun santri dalam halaqah tersebut memegang kitab masing-
masing. Kiai membacakan teks kitab, kemudian menerjemahkannya kata demi kata, dan
menerangkan maksudnya. Santri menyimak kitabnya amasing-masing dac mendengarkan dengan
seksama terjemahan dan penjelasan-penjelasan kiai. Kemudian santri mengulang dan mempelajari
kembali secar sendiri-sendiri.

Perkembagan berikutnya, disamping teap mempertahankan sistem ketradisionalannya, pesantren


juga mengembangkan dan mengelola sistem pendidikan madrasah. Begitu pula, untuk mencapai
tujuan bahwa nantinya para santri mampu hidup mandiri, kebanyakan sekarang ini pesantren juga
memasukan pelajaran keterampilan dan pengetahuan umum.

Pada sebagian pondok, sistem penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran makin lama makin
berubah karena dipengaruhi oleh perkembangan pendidikan ditanah air serta tututan dari
masyarakat dilingkungan pondok pesantren itu sendiri. Dan sebagian pondok Lagi tetap
mempertahankan sistem pendidikan yang lama.

3. Keadaan Pesantren Pada Zaman Penjajahan

Pemerintahan kolonial belanda, terhadap pendidikan islam di Indonesia, dengan berbagia cara
mereka berusaha menekan dan mendiskreditkan pendidikan yang dikelola oleh pribumi, tak
terkecuali dalam hal ini pondok pesantren.

Sikap yang demikian, dilakukan belanda tidak semata-mata untuk menghambaat jalannya proses
pendiidkan pada pesantren. Tetapi alasan-alaasan lain yang tampaknya mendasari mengapa
pwemerintahan kolonialbelanda bersikap deikian. Sebab pada zaman penjajah tersebut, dikalangan
pemerintahan colonial, timbul dua alternatif untuk memberikan pendidikan kepada bangsa
Indonesia, yaitu memberikan lembaga pendiidkan yang berdasarkan lembaga pendidikan tradisiona,
yaitu pesantren, atau merndirikan lembaga pendidikan dengan sistem yang berlaku di barat pada
waktu itu.

Penyelenggaraan pendidikan di pesantren ini menurut pemerintahan kolonial belanda, terlalu jelek
dan tidak memungkinkan untuk menjadi sekolah-sekolah sendiri yang tidak hubungannya dengan
lembaga pendidikan yang telah ada.[3]

4. Pertumbuhan Dan Perkembangan Pesantren Di Zaman Kemerdekaan Dan Pembangunan

Dalam sejarahnya tentang peran pesantren, dimana sejak masa kebangkitan nsional sampai
dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, pesantren senantiasa tampil dan telah
mampu berpartisipasi secara aktif, dan tentu saja untuk ini secara jujur kita perlu angkat topi dengan
pesantren, oleh karena itulah setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, pesantren masih
mendapatan tempat dihati masyarakat Indonesia.

Begitu pula halnya dengan pemerintahan RI, mengakui bahwa pesantren dan madrasah merupakan
dasar dan sumber penidikan nasional, dan oleh karena itu harus dikembangkan, diberi bimbingan
dan bantuan. Wewenang dan pengembngan tersebut berada dibawah wewenang kementrian
agama.
Sejak awal kehadiran pesantrten dengan sifatnya yang lentur (flexible) ternyata mampu
menyesuikan diri dengan masyarakat. Begitu juga pada era kemerdekaan dan pembanguan
sekaarang, pesabtren telah mampu menapilkan dirinya aktif mengisi kemerdekaan dan
pembangunan, terutama dalam ranngka pengeembangan sumber daya manusia yang berkualitas.

Berbagai inovasi telah dilakukan untuk pengembangan pesantren baik oleh masyarakat maupun
pemerintah. Masuknya pengeahuan umum dan keterampilaan kedalampesantren adalah sebagai
upaya untuk memberikan bekaltambahan agar para santri bila telah menyelesaikan pendidikannya
dapat hidup layak dalam masyarakat. Masuknya sistem klasikal dengan menggunakan sarana dan
peralatan pengajaran madrasah sebagaimana yang berlaku di sekolah-sekolah bukan barang baru
lagi bagi pesantren. Bahkan ada pesantren yang lebih cendrung membina dan mengelola
madrasah-madrasah atau sekolah umum, baik tingkat dasar, menengah maupun perguruan tinggi.

Karena itulah akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan baru dalam rangka
renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan, yaitu :

a. Mulai akrab dengan metodologi ilmiah moderen.


b. Semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional, artinya tebuka atas perkembangan diluar
dirinya.
c. Diversifikasi program dan kegiatan makin terbuka dan ketergantungannya pun dengan kiai.
d. Dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.

Secara garis besar, pesantren sekarang ini dapat dibedakan dua macam yaitu

a. Pesantren Tradisional

Yaitu pesantren yang masih mempertahankan sistem pengajaran tradisional, dengan materi
pengbajaran kitab-kitab klasik yang sering disebut kitab kuning.

Diantara pesantren ini ada yang mengelola madrasah, bahkan juga sekolah-sekolah umum mulai
tingkat dasar dan menengah, dan ada pula pesantren-pesantren besar yang sampai keperguruan
tinggi. Murid-murid dan mahasiswa diperbolehkan tinggal dipondok atau diluar, tetapi mereka
diwajibkan mengikuti pengajaran kitab-kitab dengan cara sorongan maupun bandungan, sesuai
dengan tingkatan masing-masing. Guru-guru pada madrasah atau sekolah pada umumnya
mengikuti pengajian kitab-kitab pada perguruan tinggi.

b. Pesantren Moderen

Merupakan pesantren yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem klasikal dan sekolah
kedalam pondok pesantren. Semua santri yang masuk pondok terbagi dalam tingkatan kelas.
Pengajian kitab-kitab klasik tidak lagi menonjol, bahkan ada yang Cuma sekedar pelengkap, tetapi
berubah menjadi mata pelajaran atau bidang studi. Begitu juga dengan sistem yang diterapkan,
seperti cara sorongan dan bandungan mulai berubah menjadi individual dalam hal belajar dan kuliah
secara umum, atau Stadium General.

Kemudian dalam pertumbuhan dan perkembangannya seiring dengan perkembangan zaman, tidak
sedikit pesantren kecil yang berubah menjadi madrasah atau sekolah, atau karena kiai yang menjadi
tokoh sentral meninggal dunia.
DAFTAR PUSTAKA

 Dhofier Zamakhsyari, Tradisi Pesantren,LP3ES, Jakarta,1983


 Rais Amin, Cakrawala Islam, Antara Cita Dan Fakta,Mizan, Bandung, 1989.
 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2001.

________________________
[1] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren,LP3ES, Jakarta,1983, Hal.18
[2] Amin Rais, Cakrawala Islam, Antara Cita Dan Fakta,Mizan, Bandung, 1989, Hal.162
[3] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2001. Hal. 145
    Pendahuluan
Berbagai macam lembaga pendidikan di Indonesia, baik lembaga pendidikan formal
maupun non formal, senantiasa eksis dan ikut serta berperan dalam mencerdaskan kehidupan
anak bangsa. Salah satu lembaga pendidikan tersebut adalah pondok pesantren yang merupakan
sebuah lembaga non formal yang merupakan lembaga pendidikan tertua di negeri ini yang masih
memiliki peran penting dalam dunia pendidikan. 
Pondok pesantren merupakan sebuah sistem yang unik, tidak hanya unik dalam hal
pendekatan pembelajarannya, tetapi juga unik dalam pandangan hidup dan tata nilai yang dianut,
cara hidup yang ditempuh, serta semua aspek-aspek kependidikan dan kemasyarakatan lainnya.
Dari sistematika pengajaran, dijumpai sistem pelajaran yang berulang-ulang dari tingkat ke
tingkat, tanpa terlihat kesudahannya. Persoalan yang diajarkan seringkali pembahasan serupa
yang diulang-ulang dalam jangka waktu bertahun-tahun, walaupun buku teks yang dipergunakan
berlainan.
Dalam keputusan Musyawarah/ Lokakarya intensifikasi Pengembangan pondok
pesantren yang diselenggarakan pada tanggal 2 s/d 6 Mei 1978 di Jakarta tentang pondok
pesantren diberikan batasan sebagai  berikut: Pondok  pesantren  adalah  lembaga  pendidikan 
Islam yang minimal terdiri dari tiga unsur yaitu Kyai/ syekh/ ustadz yang mendidik serta
mengajar, santri dengan asramanya, dan masjid. Kegiatannya mencakup Tri Dharma Pondok
Pesantren yaitu keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT; pengembangan keilmuan yang
bermanfaat; dan pengabdian terhadap agama, masyarakat dan negara.[1]
Metode pembelajaran di pesantren ada yang bersifat tradisional, yaitu metode
pembelajaran yang diselenggarakan menurut kebiasaan-kebiasaan yang telah lama dipergunakan
dalam institusi pesantren atau merupakan metode pembelajaran asli pesantren. Ada pula metode
pembelajaran baru (tajdid), yaitu metode pembelajaran hasil pembaharuan kalangan pesantren
dengan mengintrodusir metode-metode yang berkembang di masyarakat modern. Penerapan
metode baru juga diikuti dengan penerapan sistem baru, yaitu sistem sekolah atau klasikal (Tim
Pengembang Ilmu Pendidikan, 2007: 453). 
Dalam keadaan aslinya pondok pesantren memiliki sistem pendidikan  dan pengajaran
non klasikal, yang dikenal dengan nama bandungan, sorogan, dan wetonan. Penyelenggaraan
pendidikan dan pengajaran  ini  berbeda  antara satu  pondok  pesantren  dengan  pondok
pesantren  lainnya,  dalam  arti  tidak ada  keseragaman  sistem  dalam penyelenggaraan
pendidikan dan pengajarannya.
Sejalan dengan perkembangan zaman, lembaga pendidikan pesantren juga tidak menutup
diri untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan baik metode maupun teknis dalam
pelaksanaan pendidikan pesantren itu sendiri. Meskipun demikian tidak semua pesantren mau
membuka mengadakan inovasi serta pembaharuan terhadap metode pembelajaran yang ada. 
Pada awal berdirinya pondok pesantren, metode yang digunakan adalah
metode wetonan dan sorogan bagi pondok non klasikal. Pada perkembangan selanjutnya metode
pembelajaran pondok pesantren mencoba untuk merenovasi metode yang ada tersebut untuk
mengembangkan pada metode yang baru yaitu metode klasikal. Kyai bertugas mengajarkan
berbagai pengajian untuk berbagai tingkat pengajaran di pesantrennya, dan terserah kepada santri
untuk memilih mana yang akan ditempuhnya.
Kalau santri ingin mengikuti semua jenis pengajian yang diajarkan, sudah tentu akan
membutuhkan waktu yang lama. Akan tetapi keseluruhan struktur pengajaran tidak ditentukan
oleh panjang atau singkatnya masa seorang santri mengaji pada Kyainya, karena tidak adanya
keharusan menempuh ujian dari Kyainya. Satu-satunya ukuran yang digunakan adalah
ketundukannya kepada sang Kyai dan kemampuannya untuk memperoleh “ngelmu” dari sang
Kyai.[2]
Di samping kurikulum pelajaran yang sedemikian fleksibel (luwes), keunikan pengajaran
di pesantren juga dapat ditemui pada cara pemberian pelajarannya, juga dalam penggunaan
materi yang telah diajarkan kepada dan dikuasai oleh para santri. Pelajaran diberikan dalam
pengajian yang berbentuk seperti kuliah terbuka.
Di samping itu, mata pelajaran yang diajarkan bersifat aplikatif, dalam arti harus
diterjemahkan dalam perbuatan dan amal sehari-hari, sudah tentu kemampuan para santri untuk
mengaplikasikan pelajaran yang diterimanya, menjadi perhatian pokok sang Kyai.[3] Proses
pembelajaran merupakan kegiatan yang kompleks, maka hampir tidak mungkin untuk
menunjukkan dan menyimpulkan bahwa suatu metode tertentu lebih unggul daripada metode
yang lainnya dalam usaha mencapai semua tujuan pembelajaran.

B.     Pengertian Model Pembelajaran Pesantren


Secara etimologis, metode berasal dari kata “met” dan  “hodes” yang berarti melalui.
Sedangkan secara terminologi, metode adalah jalan yang harus ditempuh untuk mencapai suatu
tujuan. Dengan demikian yang dimaksud dengan metode pembelajaran adalah cara-cara yang
harus ditempuh dalam kegiatan belajar mengajar untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Adapun metode yang digunakan di lingkungan pondok pesantren antara lain, seperti
tersebut di bawah ini dengan penyesuaian menurut situasi dan kondisi masing-masing:
1.      Metode tanya jawab
2.      Metode widya wisata
3.      Metode diskusi
4.      Metode pemberian situasi
5.      Metode imlak
6.      Metode problem solving
7.      Metode mutholaah
8.      Metode pembiasaan
9.      Metode proyek
10.  Metode dramatisasi
11.  Metode dialog
12.  Metode reinforcement
13.  Metode karya wisata
14.  Metode berdasarkan teori
15.  Metode hafalan/ verbalisme
16.  Connectionisme
17.  Metode sosiodrama
18.  Metode dengan sistem modul
Secara umum metode pembelajaran yang diterapkan pondok pesantren mencakup dua
aspek, yaitu:
1.      Metode yang bersifat tradisional (salaf), yakni metode pembelajaran yang diselenggarakan
menurut kebiasaan yang telah lama dilaksanakan pada pesantren atau dapat juga disebut sebagai
metode pembelajaran asli (original) pondok pesantren.
2.      Metode pembelajaran modern (tajdid), yakni metode pembelajaran hasil pembaharuan kalangan
pondok pesantren dengan memasukkan metode yang berkembang pada masyarakat modern,
walaupun tidak diikuti dengan menerapkan sistem modern, seperti sistem sekolah atau madrasah.
[4]
Pada umumnya pembelajaran di pesantren mengikuti pola tradisional, yaitu
model sorogan dan model bandongan. Baik dengan
model sorogan maupun bandongan keduanya dilakukan dengan pembacaan kitab yang dimulai
dengan pembacaan tarjamah, syarah dengan analisis gramatikal, peninjauan morfologi dan uraian
semantik. Kyai sebagai pembaca dan penerjemah, bukanlah sekadar membaca teks, melainkan
juga memberikan pandangan-pandangan (interpretasi) pribadi, baik mengenai isi maupun
bahasanya. Kedua model pengajaran ini oleh sementara pakar pendidikan dianggap statis dan
tradisional.
Secara teknis, model sorogan bersifat individual, yaitu santri menghadap guru seorang
demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajari. Sedangkan model bandongan
(weton) lebih bersifat pengajaran klasikal, yaitu santri mengikuti pelajaran dengan duduk di
sekeliling Kyai menerangkan pelajaran secara kuliah dengan terjadual.

C.    Macam-Macam Model Pembelajaran Pesantren


Berikut  ini  beberapa  metode  pembelajaran  yang menjadi ciri utama pembelajaran di
pesantren salafiyah:
1.      Metode Sorogan
Sorogan berasal dari kata sorog (bahasa jawa), yang berarti menyodorkan, sebab setiap
santri menyodorkan kitabnya dihadapan Kyai atau pembantunya (badal, asisten Kyai).
Sistem sorogan ini termasuk belajar secara individual, dimana seorang santri berhadapan dengan
seorang guru,  dan terjadi interaksi  saling  mengenal  antara keduanya.[5]
Pembelajaran dengan sistem sorogan biasanya diselenggarakan pada ruang tertentu. Ada
tempat duduk Kyai atau ustadz, di depannya ada meja pendek untuk meletakkan kitab bagi santri
yang menghadap. Setelah Kyai atau ustadz membacakan teks dalam kitab kemudian santri
mengulanginya. Sedangkan santri-sanri lain, baik yang mengaji kitab yang sama ataupun
berbeda duduk agak jauh sambil mendengarkan apa yang diajarkan oleh Kyai atau ustadz
sekaligus mempersiapkan diri menunggu giliran dipanggil.
Inti metode sorogan adalah berlangsungnya proses belajar mengajar secara face to
face antara Kyai dan santri. Keunggulan metode ini adalah Kyai secara pasti mengetahui kualitas
anak didiknya, bagi santri yang IQ nya tinggi akan cepat menyelesaikan pelajaran, mendapatkan
penjelasan yang pasti dari seorang Kyai. Kelemahannya adalah metode ini membutuhkan waktu
yang sangat banyak.
Meskipun sorogan ini dianggap statis, tetapi bukan berarti tidak menerima inovasi.
Malah menurut Suyoto, metode ini sebenarnya konsekuensi daripada layanan yang ingin
diberikan kepada santri. Berbagai usaha dewasa ini dalam berinovasi dilakukan justru mengarah
kepada layanan secara indivual kepada anak didik. Metode sorogan justru mengutamakan
kematangan dan perhatian serta kecakapan seseorang.[6]
Mastuhu memandang bahwa sorogan adalah metode mengajar secara indivividual
langsung dan intensif. Dari segi ilmu pendidikan, metode ini adalah metode yang modern karena
antara Kyai dan santri saling mengenal secara erat. Kyai menguasai benar materi yang
seharusnya diajarkan, begitu pula santri juga belajar dan membuat persiapan sebelumnya.
Metode sorogan dilakukan secara bebas (tidak ada paksaan), dan bebas dari hambatan
formalitas.[7]
2.      Metode Wetonan/ Bandongan
Wetonan istilah ini berasal dari kata wektu (bahasa jawa) yang berarti waktu, sebab
pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau sesudah
melakukan shalat fardhu. Metode wetonan ini merupakan metode kuliah, dimana para santri
mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling Kyai yang menerangkan pelajaran secara kuliah,
santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan padanya. Istilah wetonan ini di Jawa
Barat disebut dengan bandongan.
Pelaksanaan metode ini yaitu: Kyai membaca, menerjemahkan, menerangkan dan
seringkali mengulas teks-teks kitab berbahasa Arab tanpa harakat (gundul). Santri dengan
memegang kitab yang sama, masing-masing melakukan pendhabitan harakat kata langsung di
bawah kata yang dimaksud agar dapat membantu memahami teks.
Metode bandongan atau weton adalah sistem pengajaran secara kolektif yang dilakukan
di pesantren.[8] Disebut weton karena berlangsungnya pengajian itu merupakan inisiatif Kyai
sendiri, baik dalam menentukan tempat, waktu, terutama kitabnya. Disebut bandongan karena
pengajian diberikan secara kelompok yang diikuti oleh seluruh santri. Kelompok santri yang
duduk mengitari Kyai dalam pengajian itu disebut halaqoh. Prosesnya adalah Kyai membaca
kitab dan santri mendengarkan, menyimak bacaan Kyai, mencatat terjemahan serta keterangan
Kyai pada kitab atau biasa disebut ngesahi atau njenggoti.[9]
H. Abdullah Syukri Zarkasyi, memberikan definisi tentang metode bandongan, yaitu: “Di
mana Kyai membaca kitab dalam waktu tertentu, santri membawa kitab yang sama,
mendengarkan dan menyimak bacaan Kyai”.[10] Sedangkan Nurcholis Madjid memberikan
definisi tentang metode weton. Menurutnya, “weton adalah pengajian yang inisiatifnya berasal
dari Kyai sendiri, baik dalam menentukan tempat, waktu maupun lebih-lebih lagi kitabnya”.[11]
Senada dengan hal di atas, Hasbullah mendefinisikan tentang metode wetonan,
menurutnya:[12]
Metode wetonan adalah metode yang di dalamnya terdapat seorang Kyai yang membaca
kitab dalam waktu tertentu, sedangkan santrinya membawa kitab yang sama, lalu santri
mendengarkan dan menyimak bacaan Kyai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses
belajar mengaji secara kolektif.

Zamakhsyari Dhofier juga memberikan definisi tentang metode bandongan, menurutnya:


[13]
Dalam sistem ini sekelompok murid (antara 5 sampai 500) mendengarkan seorang guru
yang membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku
Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya sendiri dan membuat
catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran
yang sulit.

Dari beberapa definisi diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa model


pembelajaran bandongan sama dengan metode wetonan maupun halaqah. Dalam model
pembelajaran ini, santri secara kolektif mendengarkan dan mencatat uraian yang disampaikan
oleh Kyai, dengan menggunakan bahasa daerah setempat, dilaksanakan pada waktu-waktu
tertentu, materi (kitab) dan tempat sepenuhnya ditentukan oleh Kyai.
Keunggulan metode ini adalah lebih cepat dan praktis sedangkan kelemahannya metode
ini dianggap tradisional. Biasanya metode ini masih digunakan pada pondok-pondok pesantren
salaf.
3.      Metode Musyawarah/ Bahtsul Masa'il
Metode musyawarah atau dalam istilah lain bahtsul masa'il merupakan metode
pembelajaran yang lebih mirip dengan metode diskusi atau seminar. Beberapa orang santri
dengan jumlah tertentu membentuk halaqah yang dipimpin langsung oleh Kyai atau ustadz, atau
mungkin juga senior, untuk membahas atau mengkaji suatu persoalan yang telah ditentukan
sebelumnya.[14] Dalam pelaksanaannya, para santri dengan bebas mengajukan pertanyaan-
pertanyaan atau pendapatnya.
Kegiatan penilaian oleh Kyai atau ustadz dilakukan selama kegiatan musyawarah
berlangsung. Hal-hal yang menjadi perhatiannya adalah kualitas jawaban yang diberikan oleh
peserta yang meliputi kelogisan jawaban, ketepatan dan kevalidan referensi yang disebutkan,
serta bahasa yang disampaikan dapat mudah difahami oleh santri yang lain. Hal lain yang dinilai
adalah pemahaman terhadap teks bacaan, juga kebenaran dan ketepatan peserta dalam membaca
dan menyimpulkan isi teks yang menjadi persoalan atau teks yang menjadi rujukan.[15]
4.      Metode Pengajian Pasaran
Metode pengajian pasaran adalah kegiatan belajar para santri melalui pengkajian materi
(kitab) tertentu pada seorang Kyai/ ustadz yang  dilakukan oleh sekelompok santri dalam
kegiatan yang terus menerus selama tenggang waktu tertentu. Pada umumnya dilakukan pada
bulan Ramadhan selama setengah bulan, dua puluh hari atau terkadang satu bulan penuh
tergantung pada besarnya kitab yang dikaji.
Metode ini lebih mirip dengan metode bandongan, tetapi pada metode ini target
utamanya adalah selesainya kitab yang dipelajari. Jadi, dalam metode ini yang menjadi titik
beratnya terletak pada pembacaan bukan pada pemahaman sebagaimana pada
metode bandongan.
5.      Metode Hapalan (Muhafazhah)
Metode hapalan ialah kegiatan belajar santri dengan cara menghapal suatu teks tertentu di
bawah bimbingan dan pengawasan Kyai/ustadz. Para santri diberi tugas untuk menghapal
bacaan-bacaan dalam jangka waktu tertentu. Hapalan yang dimiliki santri ini kemudian
dihapalkan di hadapan Kyai/ustadz secara periodik atau insidental tergantung kepada petunjuk
Kyai/ustadz yang bersangkutan.[16] Materi pelajaran dengan metode hapalan umumnya
berkenaan dengan Al Qur’an, nazham-nazham nahwu, sharaf, tajwid ataupun teks-teks nahwu,
sharaf dan fiqih.
6.      Metode Demonstrasi/ Praktek Ibadah
Metode ini adalah cara pembelajaran yang dilakukan dengan meperagakan
(mendemonstrasikan) suatu keterampilan dalam hal pelaksanaan ibadah tertentu yang dilakukan
perorangan maupun kelompok di bawah petunjuk dan bimbingan Kyai/ustadz. dengan kegiatan
sebagai berikut:
-          Para santri mendapatkan penjelasan/ teori tentang tata cara pelaksanaan ibadah yang akan
dipraktekkan sampai mereka betul-betul memahaminya.
-          Para santri berdasarkan bimbingan para Kyai/ ustadz mempersiapkan  segala peralatan dan
perlengkapan yang diperlukan untuk kegiatan praktek. 
-          Setelah menentukan waktu dan tempat, para santri berkumpul untuk menerima penjelasan
singkat berkenaan dengan urutan kegiatan yang akan dilakukan serta pemberian tugas kepada
para santri berkenaan dengan pelaksanaan praktek.
-          Para santri secara bergiliran/ bergantian memperagakan pelaksanaan praktek ibadah tertentu
dengan dibimbing dan diarahkan oleh Kyai/ ustadz sampai benar-benar sesuai kaifiat (tata cara
pelaksanaan ibadah sesungguhnya).
-          Setelah selesai kegiatan praktek ibadah para santri diberi kesempatan menanyakan hal-hal yang
dipandang perlu selama berlangsung kegiatan.[17]
7.      Metode Muhawarah
Muhawarah adalah suatu kegiatan berlatih dengan bahasa Arab yang diwajibkan oleh
pesantren kepada para santri selama mereka tinggal di pondok. Beberapa pesantren,
latihan muhawarah atau muhadasah tidak diwajibkan setiap hari, akan tetapi hanya satu kali atau
dua kali dalam seminggu yang digabungkan dengan latihan   muhadhoroh atau khitobah, yang
tujuannya melatih keterampilan anak didik berpidato.
8.      Metode Mudzakarah
Mudzakarah merupakan suatu pertemuan ilmiah yang secara spesifik membahas masalah
diniyah seperti ibadah dan aqidah serta masalah agama pada umumnya.
Dalam mudzakarah tersebut dapat dibedakan atas dua tingkat kegiatan:
-          Mudzakarah diselenggarakan oleh sesama santri untuk membahas suatu masalah dengan tujuan
melatih para santri agar terlatih dalam memecahkan persoalan dengan mempergunakan kitab-
kitab yang tersedia. Salah seorang santri ditunjuk sebagai juru bicara untuk menyampaikan
kesimpulan dari masalah yang didiskusikan
-          Mudzakarah yang dipimpin oleh Kyai, dimana hasil mudzakarah para santri diajukan untuk
dibahas dan dinilai seperti dalam suatu seminar. Biasanya lebih banyak berisi Tanya jawab dan
hampir seluruhnya diselenggarakan dalam bahasa Arab.[18]

D.    Pengembangan Model Pembelajaran Pesantren


Dalam upaya pengembangan model pembelajaran di pesantren, yang menjadi
pertimbangan bukan upaya untuk mengganti metode sorogan menjadi model perkuliahan
sebagaimana sistem pendidikan modern, melainkan merenovasi sorogan menjadi sorogan yang
mutakhir (gaya baru). Dimaksudkan sorogan yang mutakhir ini sebagaimana praktik dosen-
dosen selama ini. Mereka mengajar kuliah dengan model sorogan. Mahasiswa diberi tugas satu
persatu pada waktu tatap muka yang terjadual, setelah membaca diadakan pembahasan dengan
cara berdialog dan berdiskusi sampai mendapatkan pemahaman yang jelas pada pokok bahasan.
[19]
Sejalan dengan itu, tampaknya perlu dikembangkan di pesantren model sorogan gaya
mutakhir ini sebagai upaya pengembangan model pengajaran. Sudah barang tentu akan lebih
lengkap apabila beberapa usulan metode sebagai alternatif perlu dipertimbangkan, seperti
metode ceramah, kelompok kerja, tanya-jawab, diskusi, demonstrasi, eksperimen, widya wisata,
dan simulasi.[20]
Metode pembelajaran yang lebih baik ialah mempergunakan kegiatan murid-murid
sendiri secara efektif dalam kelas, merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan
sedemikian rupa secara kontinu dan juga melalui kerja kelompok. Hal tersebut senada dengan
ucapan Confusius dalam Mel Siberman:[21]
Apa yang saya dengar, saya lupa
Apa yang saya lihat, saya ingat
Apa yang saya lakukan, saya faham

Pola pengembangan pembelajaran yang disebutkan di atas, dapat dituangkan ke dalam


metode pembelajaran yang digunakan sewaktu mengajar. Adapun metode-metode tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Metode Pembelajaran Terbimbing
Dalam teknik ini, guru menanyakan satu atau lebih pertanyaan untuk membuka
pengetahuan mata pelajaran atau mendapatkan hipotesis atau kesimpulan mereka dan kemudian
memilahnya kedalam kategori- kategori. Metode pembelajaran terbimbing merupakan perubahan
dari ceramah secara langsung dan memungkinkan santri mempelajari apa yang telah diketahui
dan dipahami sebelum membuat poin-poin  pengajaran. Metode ini sangat berguna ketika
mengajarkan konsep-konsep abstrak.[22]
2. Metode Mengajar Teman Sebaya
Beberapa ahli percaya bahwa satu mata pelajaran benar-benar dikuasai hanya apabila
seorang peserta didik mampu mengajarkan pada peserta lain. Mengajar teman sebaya
memberikan kesempatan pada peserta didik mempelajari sesuatu dengan baik pada waktu yang
sama, ia menjadi narasumber bagi yang lain.[23]
Adapun langkah-langkah metode mengajar teman sebaya ini, adalah:
-          Memulai dengan memberikan kisi-kisi atau bahan pelajaran kepada santri
-          Menyuruh santri untuk mempelajarinya atau mendiskusikannya sejenak
-          Menunjuk perwakilan dari santri untuk maju ke depan
-          Menyuruh perwakilan santri tersebut untuk mengajarkan (menerangkan) materi yang telah
didiskusikan atau dipelajari.

E.     Kesimpulan
Dalam keadaan aslinya pondok pesantren memiliki sistem pendidikan  dan pengajaran
non klasikal, yang dikenal dengan nama bandungan, sorogan, dan wetonan. Penyelenggaraan
pendidikan dan pengajaran  ini  berbeda  antara  satu  pondok  pesantren  dengan  pondok
pesantren  lainnya,  dalam  arti  tidak  ada  keseragaman  sistem  dalam penyelenggaraan
pendidikan dan pengajarannya.
Secara umum metode pembelajaran yang diterapkan pondok pesantren mencakup dua
aspek, yaitu metode yang bersifat tradisional (salaf) dan metode pembelajaran modern (tajdid).
Namun secara rinci dapat disebutkan beberapa model pembelajaran pesantren yaitu
model sorogan, wetonan (bandongan), musyawarah (bahtsul masa’il), pengajian
pasaran, muhafadzah (hapalan), demonstrasi, muhawarah, dan mudzakarah.
Perlu adanya pengembangan model pembelajara di pesantren yaitu dengan menggunakan
metode pembelajaran yang lebih baik yakni mempergunakan kegiatan murid-murid sendiri
secara efektif dalam kelas, merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan sedemikian rupa
secara kontinu dan juga melalui kerja kelompok. Pola pengembangan pembelajaran yang
dimaksud adalah metode pembelajaran terbimbing dan metode mengajar teman sebaya.

DAFTAR PUSTAKA

Agama RI, Departemen. Pola Pembelajaran Di Pesantren   . Jakarta: Departemen Agama RI, 2001.


Ali, A. Mukti. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini. Jakarta: Rajawali Press, 1987.
Arifin, Imron . Kepemimpinan Kyai, Kasus Pondok Pesantren Tebuireng. Malang: Kalimasyahada Press,
1993.
Depag RI. Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah; Pertumbuhan dan Perkembangannya. Jakarta: Depag
RI, 2003.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3S, 1985.
Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam/ Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok
Pesantren. Profil Pondok Pesantren Muaddalah. Depag RI, 2004.
Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Madjid, Nurcholish. Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina, 1997.
Munawaroh, Djunaidatul. “Pembelajaran Kitab Kuning di Pesantren”, dalam Abuddin Nata (ed). Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia Bekerja Sama dengan IAIN Jakarta, 2001.
Rahardjo, M. Dawam (ed). Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah. Jakarta: Perhimpunan
Pengembangan Pesantren, 1985.
Siberman, Mel. Active Learning 101 Strategies to Teach Any Subject, Terj. H. Sardjuli dkk. Yogyakarta:
Yappendis, 1996.
SM, Ismail. “Pengembangan Pesantren Tradisional”, dalam Ismail SM (Ed.). Dinamika Pesantren dan
Madrasah. Yoyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Suyoto. “Pesantren dalam Alam Pendidikan Nasional”, dalam M. Dawam Rahardjo (Ed.). Pesantren dan
Pembaharuan. Jakarta: LP3ES, 1988.
Tim Didaktik Metodik Kurikulum IKIP Surabaya. Pengantar Didaktik Metodik Kurikulum PBM. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1993.
Zarkasyi, Abdullah Syukri. “Pondok Pesantren Sebagai Alternarif Kelembagaan Pendidikan untuk Program
Pengembangan Studi Islam di Asia Tenggara”, dalam Zainuddin Fananie dan M. Thoyibi. Studi
Islam Asia Tenggara. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1999.

Anda mungkin juga menyukai