Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lembaga pendidikan yang memainkan perannya di Indonesia, jika dilihat dari
struktur internal pendidikan Islam serta praktek-praktek pendidikan yang
dilaksanakan salah satunya pendidikan pondok pesantren. Pendidikan pondok
pesantren adalah pendidikan Islam yang diselenggarakan secara tradisional,
bertolak dari pengajaran Qur’an dan hadits dan merancang segenap
pendidikannnya untuk mengajarkan kepada siswa Islam sebagai cara hidup atau
way of life.1
Sejarah pendidikan di Indonesia mencatat, bahwa pondok pesantren
merupakan bentuk lembaga pendidikan pribumi tertua di Indonesia. Ada dua
pendapat mengenai awal berdirinya pondok pesantren di Indonesia. Pendapat
pertama menyebutkan bahwa pondok pesantren berakar pada tradisi Islam
sendiri, dan pendapat kedua mengatakan bahwa sistem pendidikan model pondok
pesantren adalaah asli Indonesia. Dalam pendapat pertama ada dua versi, yang
berpendapat bahwa pondok pesantren berawal sejak zaman Nabi masih hidup.
Dalam awal-awal dakwahnya, Nabi melakukan dengan sembunyi-sembunyi
dengan peserta sekelompok orang, dilakukan dirumah-rumah, seperti yang
tercatat di dalam sejarah, salah satunya adalah rumah Arqam bin Abu Arqam.
Sekelompok orang yang tergolong dalam As-Sabiqunal Awwalun inilah yang
kelak menjadi perintis dan pembuka jalan penyebaran agama Islam di Arab,
Afrika, dan akhirnya menyebar ke seluruh dunia.2
Versi kedua menyebutkan bahwa pondok pesantren mempunyai kaitan yang
erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat ini
berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Indonesia pada awalnya lebih
1
Mochtar Buchori, Spektrum Problematika Pendidikan di Indonesia, cet. Ke-1, (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1994), h. 243-244
2
Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pesantren dan
Madrasah Diniyah Pertumbuhan dan Perkembangannya, (Jakarta: 2003), h. 8
banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat yang melaksanakan amalanamalan
dzikir dan wirid tertentu. Pemimpin tarekat itu disebut kyai, yang mewajibkan
pengikutnya melakukan suluk selama 40 hari dalam satu tahun dengan cara
tinggal bersama sesame anggota tarekat dalam sebuah masjid untuk melakukan
ibadah-ibadah di bawah bimbingan kyai. Untuk keperluan suluk ini, para kyai
menyediakan ruangan khusus untuk penginapan dan tempat memasak yang
terdapat di kiri kanan masjid.3
Pendapat kedua mengatakan, pondok pesantren yang dikenal saat ini pada
mulanya merupakan pengambilalihan dari sistem pondok pesantren yang
diadakan orang-orang Hindu di Nusantara. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa
jauh sebelum datangnya Islam ke Indonesia, lembaga pondok pesantren pada
masa itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran ajaran agama Hindu.
Tertera jelas dalam laporan pemerintah kolonial Belanda, pada abad ke- 19
untuk di Jawa saja terdapat tidak kurang dari 1.853 buah pondok pesantren,
dengan jumlah santri tidak kurang 16.500 orang. Dari jumlah tersebut belum
termasuk pesantren-pesantren yang berkembang di luar Jawa terutama Sumatera
dan Kalimantan yang suasana keagamaanya terkenal sangat kuat. 4 Hal ini pun
membuktikan bahwa eksistensi pondok pesantren tidak punah seiring
perkembangan zaman.
Salah satu pondok pesantren tertua yang ada dikalimantan adalah Pondok
Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah atau biasa dikenal Pondok Pesantren Rakha
berada di Amuntai berdiri pada 13 Oktober 1922 yang didirikan oleh KH.
Abdurrasyid yang dikenal sebagai seorang Alumnus Universitas Al-Azhar Cairo
pada tahun 1912-1922.5 Awal mula pendiriannya Ponpes Rakha dinamakan
Arabische School. Seiring dengan tantangan dan perkembangan zaman Ponpes

3
Ibid., h. 9
4
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 139.
5
H. Syafriansyah, “Sejarah Singkat Pesantren Rasyidiyah Amuntai Kalsel”, dalam Mimbar Rasyidiyah
Khalidiyah Media Informasi dan Komunikasi, edisi 01 tahun 2005, hlm. 12
ini mampu eksis dan konsisten dalam pola pembelajaran ala pondok pesantren
walaupun sudah banyak melewati hampir satu abad zaman tetapi mampu
menjawab tantangan zaman saat ini dengan menghadirkan lembaga pendidikan
formal dan nonformal, yaitu:

1. Sekolah Tinggi Agama Islam ( STAI RAKHA )


2. Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an ( STIQ RAKHA)
3. Madrasah Aliyah Normal Islam Putra
4. Madrasah Aliyah Normal Islam Putri
5. Madrasah Tsanawiyah Normal Islam Putra
6. Madrasah Tsanawiyah Normal Islam Putri
7. Ma’had aly
8. Qismu Takhassus Diny
9. Raudhah Tahfidz Al – Qur’an
10. Taman Pendidikan Al-Qur’an / Taman Kanak-kanak Al Qur’an
11. Pendidikan Usia Dini ( PAUD )
12. RA Normal Islam Terpadu
13. MI Normal Islam Terpadu

Pendidikan Non Formal


1. Madrasah Diniyah
2. Tahfidzil Qur'an
3. Takhassus Pendalaman Kitab Kuning

Undang-Undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren menjadi landasan


hukum afirmasi atas jaminan kesetaraan tingkat mutu lulusan, kemudahan akses
bagi lulusan, dan independensi penyelenggaraan Pesantren, serta landasan hukum
bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk memberikan fasilitasi dalam
pengembangan Pesantren. Undang-Undang Nomor 18 tahun 2019 tentang
Pesantren memberikan landasan hukum bagi rekognisi terhadap peran Pesantren
dalam membentuk, mendirikan, membangun, dan menjaga Negara Kesatuan
Republik Indonesia, tradisi, nilai dan norma, varian dan aktivitas,
profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan, serta proses dan metodologi
penjaminan mutu.
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren disahkan Presiden
Joko Widodo pada tanggal 15 Oktober 2019 di Jakarta. UU 18 tahun 2019
tentang Pesantren mulai berlaku setelah diundangkan oleh Plt. Menkumham
Tjahjo Kumolo pada tanggal 16 Oktober 2019 di Jakarta.
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren diundangkan dan
ditempatkan pada Lembaran Negara Rbpublik Indonesia Tahun 2019 Nomor
191. Penjelasan Atas UU 18 tahun 2019 tentang Pesantren diundangkan dan
ditempatkan pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6046.
Fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan tidak lepas dari tujuan
berdirinya pesantren itu sendiri yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pada awalnya pendidikan pesantren menggunakan sistem trodisonal, sistem ini
sangat sederhana contohnya seperti sorogan, watona dan bandongan lebih maju
lagai sistem pendidikan pesantren menggunakan sistem modern karena sistem
yang lama dianggap kurang sesuai dengan perkembangan zaman maka perlu
adanya inovasi di samping sistem tradisional sebagai ciri khas pesantren. Inovasi
yang dilakukan dengan cara membuka sekolah-sekolah, kursus dan pelatihan
keterampilan bagi para santri dengan tujuan agar para santri berdaya dalam
menghadapi, modrenisasi, industrialisasi dan globalisasi.
Pesantren yang menjadi harapan masrakat dan tempat menuntut ilmu bagi
masarakat dengan harapan mampu menghadapi permasalahan yang ada, ternyata
pesantren itu sendiri juga menghadapi problem adapun permasalahan yang
dihadapi pondok pesantren yaitu:
a. Problem kurikulum karena kebanyakan pesantren terutama yang salaf
kurikulumnya masih tetap menggunakan kurikulum tradisional sehingga
lulusannya maksimal guru ngaji atau penceramah sebagian ada yang jadi
petani dan jadi pengangguran.
b. Manajemen dan perencanaannya, banyak pesantren yang tanpa
menggunakan manajemen dan perencanaan pokoknya yang penting jalan
sehingga pesatren ini tidak ada perkembangan dan kemajuan.
c. Keuangan. Keuangan pesantren dihasikan dari iuran atau spp santri
sementera kebanyakan santrinya dari ekonomi rendah dan iurannya yang
tidak disesuaikan dengan kemampuan akibatnya biaya operasionalnya
sering mengalami kendala karena kekurangan biaya.
d. Kesiswaan, karena kebanyakan santrinya berasal dari pelosok desa dan
orang tuanya bermata pencaharian pertanian, kadang ketika musim
panen tiba wali santri meminta ijin untuk meliburkan anaknya agar dapat
membantunya tapi seiring dengan perkembangan wali santri sudah mulai
menerima perubahan.6
Seharusnya para pihak pimpinan pondok pesantren menyadari kompleksitas
masalah yang dihadapi mengharuskan pondok pesantren untuk berbenah diri
mencari alternatif solusinya mengadakan pembaharuan serta pengembangan
dalam semua aspek pendidikan, sebab kalau hal ini dibiarkan maka banyak
dampak negatif yang terjadi seperti para alumninya tidak siap dalam menghadapi
tantangan zaman bahkan eksistensi pondok pesantren akan terisolasi dari dunia
pendidikan.
Berdasarkan uraian di atas, makalah ini akan membahas tentang eksistensi
pendidikan Pesantren dalam lingkup kajian Sosiologi Pendidikan, dengan judul:
“Eksistensi Pendidikan Pesantren dalam Perspektif Sosiologi Pendidikan”.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang
diajukan dalam makalah ilmiah ini adalah: Bagaimana esksistensi pendidikan

6
Departemen Agama RI,Pola pengembangan masarakat melalui pondok pesantren (2003),h.58
yang diselenggarakan oleh pondok pesantren dalam perspektif Sosiologi
Pendidikan?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk membahas esksistensi pendidikan yang diselenggarakan oleh pondok
pesantren dalam perspektif Sosiologi Pendidikan.
2. Untuk mengetahui bagaimana pesantren berupaya berkontribusi dalam sistem
pendidikan nasional.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Pondok Pesantren


1. Pengertian Pesantren
Perkataan pesantren berasal dari kata santri,7 dengan awalan pe di depan dan
akhiran an berarti tempat tinggal para santri.8 Sedangkan asal-usul kata “santri”,
dalam pandangan Nurcholish Madjid dapat dilihat dari dua pendapat. 9 Pertama,
pendapat yang mengataakan bahwa “santri” berasal dari perkataaan “sastri”,
sebuah kata daari bahasa sansekerta yang artinya melek huruf. Pendapat ini
menurut Nurcholish Madjid agaknya didasarkan atas kaum santri adalah kelas
literary bagi orang Jawa yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab
bertulisan dan berbahasa Arab.di sisi lain, Zamakhsyari Dhofier berpendapat,
kata santri dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama
Hindu.atau secara umum dapat diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau
buku-buku tentang ilmu pengetahuan.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwaperkataan santri sesungguhnya
berasal dari bahasa Jawa, dari kata “cantrik”, berarti seseorang yang selalu
mengikuti seorang guru kemana guru pergi menetap.
Istilah pesantren bisa disebut pondok saja atau kata ini digabungkan menjadi
pondok pesantren, secara esensial, semua istilah ini menggabungkan makna yang
sama. Sesuai dengan namanya, pondok berarti tempat tinggal/menginap
(asrama), dan pesantren berarti tempat para santri mengkaji agama Islam dan
sekaligus di asramakan.

7
Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri, Strategi Kebudayaan dalam Islam, cet. Ke-1,
(Yogyakarta: Sipress, 1994), h. 1.
8
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, cet. Ke-6, (Jakarta:
LP3ES, 1994), h. 18
9
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, cet. Ke-1, (Jakarta: Paramadina,
1997), h. 19-20
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pengertian pondok pesantren adalah suatu
lembaga pendidikan dan keagamaan yang berusaha melestarikan, mengajarkan
dan menyebarkan ajaran Islam serta melatih para santri untuk siap dan mampu
mandiri. Atau dapat diambil pengertian dasarnya sebagai suatu tempat dimana
para santri belajar pada seorang kyai untuk memperdalam atau memperoleh
ilmu-ilmu agama yang diharapkan nantinya menjadi bekal bagi santri dalam
menghadapi kehidupan di dunia maupun di akhirat.
2. Karakteristik Pesantren
Dalam wawasan yang lebih luas, bentuk pengertian tentang arti pesantren
dapat dilihat dan jenis-jenis pesantren sebagai berikut:
a. Pesantren Salaf
Pesantren bentuk salaf disebut juga dengan pesantren tradisional yang
masih mempertahankan sistem pengajaran tradisional, dengan materi
pengajaran kitab klasik yang disebut kitab kuning. Disamping itu model
model pengajarannya juga bersifat non klasik yaitu dengan
menggunakan metode sorogan dan bandongan.10 Sorogan, disebut juga
sebagai cara mengajar perindividu yaitu setiap santri mendapat
kesempatan tersendiri untuk memperoleh pelajaran secara langsung dari
kyai.sedangkan bandongan dilakukan dengan cara kyai mengajarkan
kitab tertentu kepada sekelompok santri, karena itu metode ini bisa juga
dikatakan sebagai proses belajar mengajar secara kolektif. Pada metode
yang lebih lanjut, diteruskan dengan santri mempelajari bahan kajian
sebelum mengaji kitab dengan kyai, sehingga pada saat materi itu
disampaikan, santri tinggal menyimak bacaan kyai dan mencocokkan
pemahamannya.11
b. Pesantren Khalaf (Modern)

10
Fauti Subhan, Membangun Sekolah Unggulan dalam Sistem Pesantren, (Surabaya: Alpha, 2006),
cet. Ke-1, h. 8
11
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1999), h. 156
Pesantren khalaf juga disebut sebagai pesantren modern yang berusaha
memadukan secara penuh sistem klasikal dan sekolah ke dalam
pesantren. Pada pola ini pesantren memiliki ciri:
1) Mulai akrab dengan metodologi ilmiyah modern.
2) Semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional, artinya
terbuka atas perkembangan dirinya.
3) Penggolongan program dan dan kegiatannya makin terbuka dan
ketergantungannyapun absolut dengan kyai, yang sekaligus dapat
membekali para santri dengan berbagai para santri dengan
beberapa pengetahuan di luar mata pelajaran agama maupun
keterampilan yang diperlukan dilapangan kerja.
4) Dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.12
Arah dari pesantren ini adalah adanya keinginan memposisikan
pesantren sebagai lembaga elit yang fleksibel. Karena pada
keyakinan bahwa pesantren adalah lembaga yang mampu
menciptakan sebuah sikap hidup universal yang merata, yang
membentuk santri dalam hidup mandiri dengan tidak
menggantungkan diri kepada siapapun dan lembaga masyarakat
apapun.

Ciri-ciri pesantren secara kelembagaan paling tidak mengenal lima


unsur, yaitu:
1) Kiai, sebagai pimpinan pengajar dan pendidik
2) Santri sebagai peserta didik;
3) pengajaran kitab kitab islam klasik
4) pondok (asrama) dan masjid

12
Rush Karim, Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Sosial Budaya, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1991), h. 134
Model pesantren dapat digolongkan sebagai berikut:
1) Pesantren tradisional dengan sistem asrama yang hanya mengajarkan
kitab kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama ulama besar
sejak abad pertengahan

2) Pesantren tradisional tanpa asrama dengan model pendidikan dan


pengajaran weton, santri kalong yang tetap tinggal di rumah masing-
masing atau di rumah- rumah penduduk sekitar pesantren

3) Pesantren kombinasi dua model pesantren di atas, yakni


menyelenggarakan sistem pendidikan dan pengajaran non klasikal
tetapi juga menyelenggarakan pendidikan formal berbentuk madrasah,
bahkan sekolah umum. Begitu pula para santrinya ada yang menetap
di pondok dan ada santri kalong. Model seperti ini lebih dikenal
dengan pesantren modern. Kondisi ini menggiring pesantren untuk
diklasifikasikan menjadi beberapa model, yaitu pesantren salaf,
pesantren modern, pesantren kombinasi salaf-modern.13

B. Konsep Pendidikan Pesantren


1. Dasar Kebijakan Pendidikan Pesantren
Pesantren merupakan salah satu jenis lembaga pendidikan Islam yang
indigenous “asli” di Indonesia. Pesantren termasuk jenis pendidikan
keagamaan bagi umat Islam Indonesia yang masuk dalam UU No 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP 55 Tahun 2007 tentang
pendidikan agama dan keagamaan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 18
tahun 2019 tentang Pesantren turut menjadikan dasar kebijakan pendidikan
pesantren. Undang-Undang Nomor 18 tahun 2019 merupakan kesepakatan

13
Muttaqien, Dadan. “Sistem Pendidikan Pondok Pesantren.” Journal of Chemical Information and
Modeling 5, No. 1 (2019): 1689–1699.
bersama dengan melibatkan pihak yang mewakili komunitas Pesantren, yang
masing-masing telah memvalidasi rumusan norma hukum secara optimal
sesuai dengan karakteristik dan kekhasan Pesantren.
Undang-Undang Pesantren No. 18 Tahun 2019 menjelaskan
diantaranya adalah;
Pertama, Pengertian tentang Pesantren Pada BAB I Pasal 1
menerangkan bahwa “pesantren adalah lembaga yang berbasis
masyarakat dan didirikan oleh perseorangan, yayasan , organisasi
masyarakat Islam, dan/atau masyarakat yang menanamkan keimanan dan
ketakwaan kepada Allah Swt. menyemaikan akhlak mulia serta
memegang teguh ajaran Islam rahmatan lil'alamin yang tercermin
dari sikap rendah hati, toleran, keseimbangan, moderat, dan nilai
luhur bangsa Indonesia lainnya melalui pendidikan, dakwah Islam,
keteladanan, dan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia”.14 Selanjutnya, pada pasal 2 Menyebutkan
bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang menerapkan kurikulum
kitab kuning sebagai ciri khas dari pesantren.15
Kedua, BAB II menyebutkan : “Pesantren berasaskan;
a. Ketuhanan Yang Maha Esa;
b. Kebangsaan
c. Kemandirian
d. Keberdayaan
e. Kemaslahatan
f. Multikultural
g. Profesionalitas
h. Akuntabilitas;

14
“Undang-Undang No.18 Tahun 2019 Tentang Pesantren.”

15
Ibid
i. Keberlanjutan
j. Kepastian hukum.
Dan Pesantren diselenggarakan bertujuan: a) untuk membentuk
manusia yang unggul dalam segala bidang dan memiliki akhlakul
karimah, beriman, bertakwa, mandiri, berpaham moderat, cinta tanah air
dan mendorong paada kerukunan umat beragama serta meningkatnya
kualitas kehidupan dan juga kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya
fungsi pesantren disebut sebagai lembaga pendidikan, lembaga
dakwah dan juga lembaga pemberdayaan masyarakat.
Ketiga, BAB III menjelaskan tentang pendirian dan penyelenggaraan Pesantren,
a.”Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk pengkajian kitab
kuning”; b.“Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk Dirasah
Islamiah dengan Pola Pendidikan Muallimin;” c. “Pesantren yang menyelenggarakan
pendidikan dalam bentuk lainnya yang terintegrasi dengan pendidikan umum”
selanjutnya dijelaskan bahwa pesantren harus memiliki unsur-unsur minimal yaitu;
adanya seorang kiai, santri yang tinggal di pesantren, asrama atau pondok untk
tempat tinggal, masjid atau musholla, dan kurikulum yang diterapkan asalah
kitab kuning atau dirosah Islamiyah dengan pola pendidikan muallimin.16 Dan
Pesantren didirikan oleh perorangan, yayasan, oramas Islam atau masyarakat yang
berasaskan pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka tunggal ika, yang
berkomitmen untuk menyebarkan islam yang rahmatan lil ‘alamin, dalam
pendirian pesantren harus didaftarkan dan juga berbadan hukum.17

Selanjutnya yang dimaksud kiai pada UU Pesantren BAB III Pasal 9 ; “Kiai
adalah seseorang yang memiliki pendidikan pesantren, berpendidikan tinggi
Pesantren dan ahli di bidang agama Islam yang merupakan pemimpin dari
pesantren, pendidik, pengasuh dan suri tauladan di dalam pesantren”.18
16
Ibid. BAB III Pasal 5
17
Ibid, BAB III Pasal 6
18
Ibid, BAB III Pasal 9
Pada pasal 17 BAB III disebutkan bahwa pesantren menyelenggarakan
pendidikan formal juga non formal yaitu pendidikan dasar, yang meliputi: ‘ula
dan wustha. Pendidikan menengah atau ulya dan pendidikan tinggi yang berbentuk
Ma’had Ali.19

Selanjutnya kurikulum yang diterapkan adalah perpaduan antara kurikulum


pesantren dan pendidikan umum yang ditentukan oleh Menteri Pendidikan. 20.
Pasal selanjutnya menerangkan bahwa santri yang sudah menyelesaikan
pendidikannya dan dinyatakan lulus berhak melanjutkan ke jenjang pendidikan
sejenis ataupun berbeda, dan santri berhak mendapat lapangan pekerjaan.21

Bunyi pasal berikutnya adalah bahwa pesantren dapat menyelenggarakan


pendidikan tinggi atau Ma’had Ali dengan program sarjana, megister dan doktor,
juga alumni dari Ma’had Ali tersebut berhak mendapatkan gelar sarjana dan
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dan ijazahnya dapat
dipergunakan untuk menacari lapangan kerja sebagaimana pendidikan umum
lainnya.22 Dan ijazah yang dikeluarkan pesantren memiliki kedudukan yang
setara dengan pendidikan formal lainnya, dengan memenuhi jaminan mutu
pendidikan dari pemerintah.

Keempat, pesantren akan menerima dana abadi dari pemerintah hal tersebut
tertuang pada pasal 49 ayat 1 dan 2.23

Demikian sebagian deskripsi dasar kebijakan atau pendidikan pesantren didalam


UU NO. 18 tahun 2019 tentang pesantren, sebenarnya undang-undang ini terdiri
dari IX BAB dan 55 pasal.

2. Pola Pembelajaran Pendidikan Pesantren


19
Ibid, BAB III Pasal 17
20
Ibid. BAB III Pasal 18 dan 20
21
Ibid. BAB III Pasal 19 dan 21
22
Ibid. BAB III Pasal 22
23
Ibid. BAB V Pasal 48
Sistem pendidikan di Ponpes ini menggunakan sistem tradisional. Penerapan
system ini dibangun dari cara yang sederhana dengan model dan metode yang
sederhana pula, namun kesederhanaannya itu melahirkan hasil efektif dan produktif
sehingga cara tersebut banyak digunakan dalam proses pembelajaran. Secara
substantif, materi yang dikaji di pondok pesantren adalah ilmu-ilmu agama
(fikih,nahwu, tafsir, hadis, tauhid, dan tasawwuf). Sumber belajar menggunakan kitab
turats dikenal dengan kitab kuning. Materi nahwu (bahasa Arab) dan fikih mendapat
porsi mayoritas. Hal itu dilakukan karena ilmu nahwu merupakan ilmu kunci.
Seseorang tidak dapat membaca kitab kuning bila belum menguasai ilmu nahwu.
Materi fikih dipandang sebagai ilmu yang banyak berhubungan dengan kebutuhan
masyarakat dan kehidupan sehari-hari baik yang berhubungan dengan makhluk
maupun khaliq. Tidak heran bila sebagian pakar menyebut sistem pendidikan Islam di
pesantren bersifat “fikih oriented atau nahwu oriented”. “Penyelenggaraan
pendidikan pesantren tidak memiliki kurikulum tertulis. Kiai berperan utama sebagai
kurikulum aktual yang mengarahkan program pembelajaran dan seluruh aktivitas
santrinya di pesantren. Kurikulum pesantren dapat dikatakan sejalan dengan
kehidupan pribadi kiai sebagai pendiri/pemimpin dan pengasuh pesantren.

C. Konsep Sosiologi Pendidikan


1. Pengertian Sosiologi Pendidikan
Secara historis, sosiologi dan pendidikan dianggap sebagai pengetahuan kuno,
yang keberadaannya berbarengan dengan awal mula adanya manusia. Apabila
sosiologi dipahami dalam arti luas, yakni sebagai social interraction (interaksi sosial)
atau human relationship (hubungan antar manusia), maka sosiologi telah ada sejak
zaman Nabi Adam. Namun sosiologi dalam pengertian scientific (ilmu pengetahuan),
yakni sebagai ilmu yang tersistematisasi dan bermetode, maka baru diakui sejak abad
ke 19 melalui Auguste Comte (1798-1857), yang kemudian ia dikenal sebagai bapak
pendiri sosiologi.
Demikian juga dengan pendidikan, kalau pendidikan dipahami dalam arti luas,
yakni sebagai proses belajar, mengenal, dan mengetahui, maka pendidikan telah ada
sejak zaman Nabi Adam juga. Ketika Allah swt mengajari Adam utuk mengenal
nama-nama seluruh benda yang ada di sekitarnya, dapat dikatakan bahwa peristiwa
tersebut sebagai aktivitas pendidikan (QS. Al-Baqarah: 31): “Dan Dia ajarkan
kepada Adam nama-nama (benda) semuanya kemudian Dia perlihatkan kepada para
Malaikat seraya berfirman, ‘sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu
yang benar!”. Tetapi sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, ilmu
pendidikan baru diakui pada abad 19, ketika para ahli berhasil merumuskan obyek,
metode, dan sistemnya.

Secara etimologis (asal-usul kata), “sosiologi pendidikan” berasal dari kata


‘sosiologi’ dan ‘pendidikan.’ ‘Sosilogi’ berasal dari bahasa Latin dan Yunani, yakni
kata “sociu” dan “logos”. “Sociu”’ (Yunani) yang berarti ‘kawan’, ‘berkawan’,
ataupun ‘bermasyarakat’, sedangkan ‘logos’ berarti ‘ilmu’ atau bisa juga ‘berbicara
tentang sesuatu’. Dengan demikian secara harfiah istilah “sosiologi” dapat diartikan
ilmu tentang masyarakat. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara
manusia dalam kelompok-kelompok dan struktur sosialnya.24

Secara terminologis, beberapa ahli mendefinisikan sosiologi secara agak berbeda.


Marx Weber memandang sosiologi sebagai studi tentang tindakan sosial antar
hubungan sosial. Sebagai ilmu yang berusaha untuk menafsirkan dan memahami
(interpretative understanding) tindakan sosial serta hubungan sosial untuk sampai
pada penjelasan kausal.25 Pitirim A. Sorokin mengatakan bahwa sosiologi adalah
suatu ilmu yang mempelajari: (a) Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka
ragam gejala-gejala sosial (misal: antara gejala ekonomi dengan agama; keluarga
dengan moral; hukum dengan ekonomi; dan gerakan masyarakat dengan politik); (b)

24
Made Pidarta, Landasan Kependidikan (Jakarta : Rineka Cipta, 2000),145.
25
George Rirzer, Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda,Terj. Alimandan (Jakarta:
RajaGrafindo, 2003), 38
Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala-gejala sosial dengan gejala-gejala
non sosial (misal: gejala geografis dan biologis).26

Dari berbagai definisi yang dikemukan oleh para ahli dapatlah disimpulkan
bahwa sosiologi adalah ilmu tentang masyarakat atau cabang ilmu sosial yang
mempelajari secara sistematik kehidupan bersama manusia yang ditinjau dan diamati
dengan menggunakan metode empiris yang di dalamnya terkandung studi tentang
kelompokkelompok manusia, tatanan sosial, perubahan sosial, sebab-sebab sosial,
dan segala fenomena sosial yang mempengaruhi perilaku manusia. 27 Jadi sosiologi
dapat dipahami sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana manusia itu berhubungan
satu dengan yang lain dalam kelompoknya dan bagaimana susunan unit-unit
masyarakat atau sosial di suatu wilayah serta kaitannya satu dengan yang lain.

Sementara istilah pendidikan, secara etimologis mempunyai padanan kata


education dalam bahasa Inggris, dan al-tarbiyah, alta’lîm, al-ta’dîb, dan al-riyādah,
dalam bahasa Arab. Walau setiap term tersebut mempunyai makna yang berbeda,
karena perbedaan teks dan konteks kalimatnya, namun dalam beberapa hal, term-term
tersebut mempunyai kesamaan makna. Dalam definisi ini buku ini diambil sisi
kesamaannya. Pengertian ‘pendidikan’, secara sederhana, adalah proses pengubahan
sikap dan perilaku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia
melalui pengajaran dan pelatihan.28

Kesimpulan dalam definisi diatas bahwa kajian sosiologi pendidikan


menekankan implikasi dan akibat sosial dari pendidikan dan memandang masalah-
masalah pendidikan dari sudut totalitas lingkup sosial kebudayaan, politik dan
ekonomisnya bagi masyarakat. Apabila psikologi pendidikan memandang gejala
pendidikan dari konteks perilaku dan perkembangan pribadi, maka sosiologi

26
Pitirim A. Sorokin, Contemporary Sociological Theories (New York: Harper and Row, 1928), 760-762
27
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: RajaGrafindo, 2003), Cet. ke-35, hal 20-23.
28
Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Prenada, 2011), hal 8
pendidikan memandang gejala pendidikan sebagai bagian dari struktur sosial
masyarakat.

2. Prinsip Sosiologi Pendidikan


Aktivitas pendidikan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Sementara
masyarakat senantiasa berubah sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang terjadi. Agar pendidikan tidak kehilangan arah dalam
menghadapi masyarakat yang terus berubah, maka dunia pendidikan perlu terus
mengkaji dan menganalisis aspek-aspek perubahan, baik dari perspektif positif
maupun negatifnya. Setelah itu dunia pendidikan perlu mengembangankan aspek
positif dan meminimalisasi aspek negatif. Hal ini didasari dengan beberapa
alasan:
Pertama, pendidikan mau tidak mau harus bisa menyiapkan sebuah generasi
yang siap memasuki masyarakat yang berubah menuju masyarakat berbasis
pengetahuan. Jika pendidikan tidak menghasilkan manusia yang siap memasuki
masyarakat dengan segala bentuk tuntutan dan karakternya, maka pendidikan
dianggap gagal memberikan bekal dan prasyarat memasuki perubahan dan masa
depan. pendidikan, sekolah dan guru, harus bisa membekali siswanya
kemampuan kreatif dengan memberi pengetahuan dan pengalaman hidup secara
profesional di tengah masyarakat ekonomi dan masyarakat pengetahuan. Beri
pengetahuan profesional kepada siswa, kreatifitas dan kapabelitas memahami
dunia yang berubah, dengan segala dampaknya, tempat mereka akan bekerja dan
menjalani hidupnya. Di sinilah pentingnya dunia pendidikan memanfaatkan jasa
pemikiran sosiologis.29
Kedua, praktisi pendidikan dapat merumuskan cara menetapkan orientasi
yang relevan dengan dunia yang berubah di satu pihak, namun di lain pihak
dunia pendidikan tidak mengalami distorsi dan disorientasi. Pendidikan
bagaimanapun merupakan tempat yang bertanggung jawab dalam menumbuhkan

29
Maliki, Zainuddin. Sosiologi Pendidikan. Yogjakarta: Gajah Mada University Press, 2008. Hal 7
tata nilai kemanusiaan, tata masyarakat yang disemangati oleh prinsip keadilan
dan kesejahteraan bersama. Masyarakat ekonomi apalagi dalam mode produksi
ekonomi tingkat lanjut dapat menggiring siapa saja menjadi komunitas yang
terdistorsi, termasuk masyarakat kependidikan menjadi institusi ekonomi yang
hanya mengabdi kepada kepentingan kapitalis. Pendidikan harus tetap mampu
menjadi institusi penyembuhan di tengah masyarakat yang tidak menentu, yang
terbelah, masyarakat yang sakit.30
Ketiga, pendidikan memerlukan perangkat pisau analisa sosiologis, karena ia
bukan sekedar mesin atau teknologi pembelajaran saja. Sekolah dan guru tidak
lagi bisa berkacamata kuda. Dalam hal ini hanya mempertinggi kapabilitas
mereka dalam mengejar target kurikulum, memperbaiki test score para siswanya
dan hanya fokus kepada keberhasilan dalam ujian akhir nasional. Pendidikan
harus dikaitkan dengan perkembangan dan dinamika lingkungan masyarakat
berada. Pendidikan harus memberikan pencerahan kepada siswanya untuk
memahami dunia yang selalu berubah cepat. Dunia yang tidak lagi memiliki
batas teritorial, lokal, regional, dan bahkan nasional. Manusia sekarang hidup di
zaman global, yang tidak ada sekat-sekat lagi antara satu negara dengan negara
lain. Dalam mengahadapi dunia yang setiap saat berubah tersebut, pendidikan
harus membekali kepada anak didiknya untuk selalu siap berubah (ready to
change) dan siap belajar (ready to learn).
Keempat, pendidikan sebagai “agent of social change”, di satu sisi, dituntut
mempunyai fungsi transformatif, yakni pendidikan menjadi jembatan untuk
memajukan masyarakat agar tidak ketinggalan dalam dinamika perubahan.
Lembaga-lembaga pendidikan dituntut memberikan berbagai pengalaman kepada
peserta didik dan masyarakatnya, baik ilmu, teknologi maupun keterampilan
untuk menghadapi masa depan. Sementara di sisi lain, pendidikan tetap dituntut
mentransmisikan nilai-nilai budaya kepada generasi muda. Nilai-nilai budaya
bangsa seperti struktur keluarga, agama, norma sosial, dan filsafat hidup
30
Ibid, hal 8
berbangsa perlu dipertahankan untuk menjaga keutuhan dan kelangsungan hidup
bernegara.

BAB III
ESKSISTENSI PENDIDIKAN YANG DISELENGGARAKAN OLEH
PONDOK PESANTREN DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI PENDIDIKAN

A. Pondok Pesantren Sebagai Satuan Pendidikan Dalam Sistem Pendidikan


Nasional
Menurut Mastuhu Pesantren adalah “lembaga pendidikan Islam tradisonal
untuk memepelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan megamalkan
ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagaman sebagai pedoman
perilaku sehari-hari.31
Sedangkan menurut Undang-Undang No. 18 tahun 2019 Bab I pasal 1: “
Pesantren adalah Lembaga yang berbasis masyarakat dan didirikan oleh
perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam, dan/atau masyarakat yang
menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt, menyemaikan akhlak
mulia serta memegang teguh ajaran Islam rahmatan lil'alamin yang tercermin
dari sikap rendah hati, toleran, keseimbangan, moderat, dan nilai luhur bangsa
Indonesia lainnya melalui pendidikan, dakwah Islam, keteladanan, dan
pemberdayaan masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia”.
Selanjutnya Tujuan pendidikan pesantren menurut Mastuhu adalah
“menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi
masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula
atau abdi masyarakat yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana
31
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren ; Suatu Kajian Tentang Unsur Dan Nilai Sistem
Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994), hlm 55
kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti sunnahnya), mampu berdiri
sendiri,bebas teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan
Islam dan kejayaan umat islam di tengah-tengah masyarakat dan mencintai ilmu
dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia.32
Kehidupan dalam pesantren berbeda jauh dengan sekolah-sekolah pada
umumnya,pesantren memiliki komunitas sendiri, didalam pondok pesantren
santri, ustadz dan kiai serta pengurus pesantren tinggal dalam satu kampus,
dengan menerapkan norma-norma dan kebiasaan-kebiasaan berlandaskan nilai-
nilai Islam, secara eksklusif berbeda dari masyarakat sekitarnya.
Model pendidikan yang diterapkaan di pesantren sangat signifikan dengan
tujuan pendidikan yang tercantum dalam undang-undang SISDIKNAS No. 20.
Tahun 2003 Bahwa; “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya
potensi agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga Negara demokratis serta bertanggungjawab”. 33 Dalam lembaga pendidikan
pesantren tujuan pendidikan yang tekandung dalam undang-undang No.20 tahun
2003 sudah tercakup dalam tujuan dan fungsi pesantren.
Oleh karena itu dalam perjalanan dan perkembagan pendidikan, pesantren
tercatat memiliki peranan penting dalam mencerdaskan bangsa Indonesia
sehingga eksistensinya sampai saat ini terus meningkat dalam menghadapi era
global. Dan dapat dinyatakan sejak dahulu aktifitas pesantren telah melaksanakan
tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 2 Tahun
1989, yaitu“Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia

32

33
“Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional” 0932, No.1 (2003)
Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan
mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.”
B. Kontribusi Pesantren dalam Sistem Pendidikan Nasional
Lembaga dan sistem pendidikan pesantren telah ada sebelum Indonesia
merdeka dari penjajahan negara asing. Dan sejarahpun mencatat bahwa para
ulama atau kiyai memberikan kontribusi yang cukup besar bagi bangsa Indonesia
dalam meraih kemerdekaan. Sebagai bukti atas peran ulama dalam
memperjuangkan Indonesia sebagai Negara merdeka banyak di antara mereka
yang menjadi pahlawan perjuangan kemerdekaan Indonesia, sebutlah misalnya
Pangeran Diponeogoro, Imam Bonjol, K.H.Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim
Asy’ari.
Lembaga pendidikan tradisional pesantren telah berdiri di pelosok negeri
selain sebagai tempat belajar agama Islam juga oleh para ulama juga dijadikan
sebagai basis perjuangan umat bahkan untuk menentang penjajahan sebagai
tempat untuk mengkader pejuang-pejuang bangsa, hal ini dapat dibuktikan
dengan penetapan beberapa ulama sebagai pahlawan perjuangan dan
kemerdekaan bangsa Indonesia. Para pendiri bangsa terutama dari kalangan
santri membentuk karakter bangsa ini berbasis di pesantren. Para ulama yang
telah kembali dari menuntut ilmu khususnya ke Timur Tengah yang dibantu oleh
ulama lain dengan secara ikhlas tanpa bantuan dari pihak pemerintah sekalipun
mendirikan lembaga pendidikan berupa pesantren di pelosok desa. Di tempat
inilah mereka menbentuk karakter generasi yang cerdas, berkhlak dengan
semangat juang untuk lepas dari penjajahan asing. Meskipun tujuan utama
pendirian pesantren untuk mengajarkan agama Islam kepada generasi bangsa,
tetapi juga tempat membangkitkan semangat kebangsaan dan untuk
mencerdaskan bangsa Indonesia.
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia dalam menyelenggarakan
pendidikan nasional, pesantren dapat disebut sebagai sub sistem pendidikan
nasional, karena merupakan salah satu komponen yang menyelenggarakan
pendidikan secara nasional. Pasa masa penjajahan bangsa lain terhadap bangsa
Indonesia bahkan hingga awal-awal kemerdekaan perhatian pemerintah terhadap
pesantren masih setengah hati bahkan cenderung tidak mendapat perhatian yang
dari pihak pemerintah.
Menurut Masykur iklim politik nasional di era 1990-an menjadi tonggak
kemajuan para intelektual pesantren untuk lebih banyak berperan di bidang
pengembagan ekonomi dan politik.34 Munculnya santri menengah menjadi
indikator penting untuk mengukur peran sosial-politik santri. Kemunculan
organisasi berbasis Islam seperti Ikatan Cendekiawan Indonesia (ICMI) dan
terbentuknya bank-bank syari’ah menjadi tolak ukur kiprah kalangan santri.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa pesantren telah mengambil bagian dalam
penyelengaraan pendidikan khususnya di pedesaan bahkan dalam
perkembangannya beberapa daerah telah berdiri pesantren bukan lagi di
pedesaan, tetapi di daerah kota. Itu artinya, dalam dinamikanya pesantren bukan
hanya milik masyarakat desa, tetapi sudah merambah ke masyarakat perkotaan
dan sedikit banyak ikut mempengaruhi perkembangan masyarakat kota tersebut
Keadaan pesantren kini telah mengalami perkembangan melampaui
perkembangan sebelumnya. Ketika periode awal, kiyai di pulau Jawa cenderung
memilih mendirikan pesantren di wilayah pedesaan untuk menghindari
perlawanan langsung dengan pemerintah kolonial. Memasuki periode awal
kekerdekaan, lembaga pendidikan ini masih mempertahankan tradisi dekat
dengan penduduk desa itu sehingga tidak mendapat perhatian yang baik
pemerintah pusat. Memasuki era 1990-an, pemerintah mulai melirik dunia
pesantren dan sebaliknya, pihak pesantren meresponnya dengan melakukan

34
Masykur, Anis. Modernisasi Pesantren. Depok: Bornea Pustaka, 2010.
pembaharuan baik aspek kurikulum, pembelajaran sampai kepada manajemen
pengelolaan pesantren dari sistem kekeluargaan atau keluarga ke sistem yayasan.
Kontribusi pesantren dalam pendidikan nasional tidak bisa dinafikan bahwa
pesantren adalah basis perjuangan umat Islam dalm mengajarkan agama kepada
masyarakat juga sekaligus basis perjuangan untuk merebut kemerdekaan dari
tangan penjajah. Pesantren telah menanamkan bibit pendidikan kedapa generasi
bangsa yang berbasis di pedesaan. Pesntren mengajarkan kepada santri tentang
kemandirian, kewirausahaan, kemajuan ilmu pengetahuan, perbedaan baik
pendapat, suka, ras, agama, dan lain sebagainya. Pesantren telah mengajarkan
etika kepada santrinya sebagai dasar pembentukan karakter peserta didik.
Dengan demikian, maka pesantren telah memberikan kontribusi yang cukup
besar terhadap sistem pendidikan nasional untuk memanusiakan manusia
sekaligus memuliakan manusia agar kembali ke kodratnya yang sebenarnya
sebagai makhluk ciptaan Allah swt yang paling sempurna dan paling mulia.
C. Tumbuh Kembang Pondok Pesantren dalam Perspektif Sosiologi
Pendidikan
Perubahan yang terjadi pada dunia pesantren saat ini tidak lain hanyalah untuk
menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan untuk
memenuhi tuntutan dan kebutuhan. Keberadaan pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam dikelola seutuhnya oleh kyai dan santri pada dasarnya berbeda
diberbagai tempat baik kegiatan maupun bentuknya. Hal ini terbukti adanya
beberapa pesantren yang telah mengalami perubahan dan mengembangkan diri
baik dalam sistem pengajaran maupun dalam kurikulum. masyarakat. Pada saat
seperti saat ini masih ada beberapa pesantren yang senantiasa mempertahankan
sistem pelajaran tradisional yang menjadi ciri khasnya, yaitu pesantren yang tetap
mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya
tanpa memperkenalkan pengajaran ilmu pengetahuan umum. Dalam hal ini
pesantren berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang mendidik para santri untuk
menghasilkan para Kyai, ustadz atau guru ngaji yang bertugas untuk
menyebarkan dan mengajarkan agama Islam kepada masyarakat, sehingga
terbentuk masyarakat yang religius (Releguse Comunity) yang mampu
menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya
Saat ini perubahan juga terjadi pada dunia pesantren. Pertama, pada sistem
pendidikan pesantren tidak hanya mengajarkan kitab-kitab klasik tetapi juga
mengajarkan santri-santrinyanya dengan ilmu-ilmu modern. Kedua, berdirinya
pesantren yang mana dulu pesantren tumbuh dan berkembang di masyarakat
pedesaan akan tetapi sekarang banyak pesantren tumbuh dan berkembang di
masyarakat perkotaan. Perbedaan jenis pesantren ini bukan berarti melihat
pesantren dengan kerangka dikotomis yang ketat, tetapi dilihat sebagai suatu
iklim sosioreligius dimana peran-peran pola hubungan saling terkait satu sama
lain dan kita dapat melihat pesantren pada proporsi yang sebenarnya sesuai
dengan peran pengembangan dan pendidikan agama Islam

D. Upaya Pendidikan Pondok Pesantren Berdaya Saing dan Unggul


Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam merupakan suatu lembaga
pendidikan yang unik, karena kehidupan di pesantren mempunyai keistimewaan
tersendiri. kharisma seorang kyai dijadikan tauladan dan pembentukan tersendiri.
Peran dan sosok seorang kyai ikut berpengaruh dalam membentuk kepribadian
dan karakter bagi para santri. Karena pesantren itu sendirilah yang merumuskan
tentang eksistensi masa depan pesantren yang bersangkutan. Para kyai sebagai
pemimpin berperan banyak dalam menentukan pendidikan bagaimana yang
dikehendaki di masa depan. Disisi lain pembelajara pesantren mengarah pada
pengembangan intelektualitas berpadu dengan pembangunan akhlak. Pada
dasarnya memang pesantren itu sendiri dalam semangatnya adalah pancaran
kepribadian pendirinya, maka tak heran kalau timbul anggapan bahwa hampir
semua pesantren itu merupakan hasil usaha pribadi atau individual.
Pendidikan pesantren, dimana para santri berada di bawah bimbingan dan
pengawasan para pengasuh pondok, menjadikan para santri terbiasa hidup dalam
tatanan nilai dan etika yang harus dipatuhi. Hubungan erat dengan para pengasuh
yang dekat, menumbuhkan sikap persaudaraanyang erat. Tata nilai pondok
ditanamkan pada diri santri serta disiplin dijaga agar para santri terbiasa hidup
dalam tata tertib yang kesemuanya bertolak dari pendidikan akhlak.
Berdasarkan pembahasan diatas maka substansial yang didapatkan adalah
pembiasaan kepada santri adalah point utama untuk bekal mereka kedapannya
karena dengan kebiasaan yang baik maka akan menghasilkan karakter dan
kepribadian yang berilmu dan beradab dengan menerapkan model kurikulum
dalam bentuk formal yang terdiri dari materi umum dan agama dan juga kegiatan
non formal yang menangani keseharian santri yang bertujuan untuk membekali
dan membina santri menjadi pribadi muslim yang sempurna
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pendidikan harus sesuai dengan potensi peserta didik dan proses pendidikan
akan berjalan seimbang dengan karakter peserta didik sebagai potensi utama,
sehingga pendidikan harus dikembalikan sepenuhnya pada siswa. Pesantren
sebagai salah satu lembaga pendidikan keagamaan di Indonesia telah memiliki
sejarah yang sangat panjang dan telah memberikan kontribusi yang nyata dalam
membangun moral dan akhlak generasi bangsa.
B. Saran
UU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan dapat berperan untuk
mempertahankan pesantren sebagai pendidikan local genius di Indonesia. Namun
dengan catatan UU tersebut tidak mengubah karakter pendidikan pesantren.
Selain itu, UU ini juga mampu memberikan intervensi yang positif terhadap
pesantren jika bertujuan untuk mengarahkan, membimbing pesantren seperti
dalam hal manajemen, pengelolaan, pengembangan dan lain-lain. Akan tetapi,
intervensi tersebut akan menjadi negatif jika nantinya membuat pesantren yang
ada di Indonesia yang demikian banyak dan beraneka ragam menjadi pesantren
yang seragam karena harus mengikuti kebijakan pemerintah. Dengan demikian,
UU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan bertujuan untuk membentuk individu
supaya memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau
menjadi ahli ilmu agama yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berilmu,
mandiri, ta’awun, tawazun, dan tawasut. Tujuan tersebut tentu saja selaras
dengan tujuan pesantren, sehingga antara keduanya bisa saling mendukung untuk
mewujudkannya. Setelah diperhatikan, UU tersebut memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kelebihan yang dimiliki mampu membawa pesantren ke arah yang
lebih jelas. Sedangkan kekuranganya justru nampak seperti sebuah intervensi
yang mencampuri rumah tangga pesantren terlalu dalam. Padahal pesantren
adalah lembaga yang mandiri, sehingga perlu dipertimbangkan lagi supaya
nantinya ada batasan dan kejelasan pada bagian mana pemerintah bisa
melakukan intervensi. Tentu UU ini masih banyak kekurangan, sehingga perlu
penyempurnaan. Untuk itu, ketika dalam pembahasan diperlukan masukan dari
semua pihak

Daftar Pustaka

Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri, Strategi Kebudayaan dalam
Islam, cet. Ke-1, (Yogyakarta: Sipress, 1994),

Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Prenada, 2011)

Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Pondok


Pesantren dan Madrasah Diniyah Pertumbuhan dan Perkembangannya, (Jakarta:
2003)

Fauti Subhan, Membangun Sekolah Unggulan dalam Sistem Pesantren, (Surabaya:


Alpha, 2006), cet. Ke-1

George Rirzer, Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Terj. Alimandan


(Jakarta: RajaGrafindo, 2003)
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1999)
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan
dan Perkembangan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995)

H. Syafriansyah, “Sejarah Singkat Pesantren Rasyidiyah Amuntai Kalsel”,


dalam Mimbar Rasyidiyah Khalidiyah Media Informasi dan Komunikasi, edisi 01
tahun 2005,

Dadan Muttaqien, “Sistem Pendidikan Pondok Pesantren,” Journal of Chemical


Information and Modeling”, Vol. 5, No. 1 (2019): 1689.

Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, cet. Ke-1,


(Jakarta: Paramadina, 1997)

Made Pidarta, Landasan Kependidikan (Jakarta : Rineka Cipta, 2000)

Maliki, Zainuddin. Sosiologi Pendidikan. Yogjakarta: Gajah Mada University Press,


2008.

Masykur, Anis. Modernisasi Pesantren. Depok: Bornea Pustaka, 2010.

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren ; Suatu Kajian Tentang Unsur Dan
Nilai Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994

Mochtar Buchori, Spektrum Problematika Pendidikan di Indonesia, cet. Ke-1,


(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994)

Pitirim A. Sorokin, Contemporary Sociological Theories (New York: Harper and


Row, 1928)
Rush Karim, Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Sosial Budaya,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991)
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: RajaGrafindo, 2003), Cet.
ke-35
Undang-Undang No.18 Tahun 2019 Tentang Pesantren.
“Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional” 0932,
No.1 (2003)
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, cet.
Ke-6, (Jakarta: LP3ES, 1994)

Anda mungkin juga menyukai