Anda di halaman 1dari 16

RELEVANSI SISTEM PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN

TRADISIONAL DALAM ERA MODERNISASI

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Analisis Kebijakan


Dan Problematika Pendidikan Islam

Oleh:
HALIDI
NIM : 2120100015

Dosen Pengampu:
Dr. H. Ahmad Ridani, M.M

STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS SAMARINDA
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah penulis memanjatkan puji Syukur Kepada Allah SWT, atas rahmat,

taufiq dan hidayah-Nya, hingga penulisan makalah yang berjudul “Relevansi sistem

pendidikan pondok pesantren tradisional dalam era modernisasi”

ini dapat di selesaikan. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi

Akhir zaman Nabi Mudammad SAW. Makalah ini kami buat dengan maksud untuk

menyelesaikan tugas kami mata kuliah Analisis Kebijakan dan Problematika Pendidikan

Islam, kami berharap penyusunan dalam bentuk makalah ini akan memberi banyak dalam

kemanafaatan serta perluasan ilmu pengetahuan.

Penulis menyadari ada kekurangan pada makalah ini. Oleh sebab itu, saran dan kritik

senantiasa diharapkan demi perbaikan karya penulis. Penulis juga berharap semoga karya

ilmiah ini mampu memberikan pengetahuan tentang pentingnya penggunaan bahasa

indonesia dalam pembelajaran.

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia sangat dipengaruhi dan diwarnai oleh

nilai-nilai agama sehingga kehidupan beragama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan

bangsa Indonesia. Sebagai negara yang berdasarkan agama, pendidikan agama tidak

dapat diabaikan dalam penyelengaraan pendidikan nasional. Umat beragama beserta

lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia merupakan potensi besar dan sebagai modal

dasar dalam pembangunan mental spiritual bangsa dan merupakan potensi nasional untuk

pembangunan fisik materiil bangsa Indonesia1. Hal ini sesuai dengan tujuan

pembangunan nasional, yaitu pembangunan masyarakat seutuhnya dan masyarakat adil

dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, agama tidak dapat

dipisahkan dengan penyelenggaraan pendidikan nasional Indonesia.

Pesantren secara historis telah mendokumentasikan berbagai peristiwa sejarah

bangsa Indonesia. Sejak awal penyebaran agama Islam di Indonesia, pesantren

merupakan saksi utama dan sarana penting bagi kegiatan Islamisasi tersebut.

Perkembangan dan kemajuan masyarakat Islam Nusantara, tidak mungkin terpisahkan

dari peranan yang dimainkan pesantren, karena besarnya peran pesantren dalam

perjalanan bangsa Indonesia tentunya pesantren itu harus dipertahankan. Apalagi

pesantren telah dianggap sebagai lembaga pendidikan yang mengakar kuat dari budaya

asli bangsa Indonesia.2 Kehadiran pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, kini

semakin diminati oleh banyak kalangan, termasuk masyarakat kelas menengah atas. Hal

ini membuktikan lembaga ini mampu memberikan solusi terhadap kebutuhan pendidikan

anak-anak mereka.

1
Hanun Asrorah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana ilmu, 1999), 181.
2
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan, 184
pesantren sebagai model institusi pendidikan yang memiliki keunggulan, baik dari

sisi transmisi dan internalisasi moralitas umat Islam maupun dari aspek tardisi

keilmuan,3 yang oleh Martin Van Bruinessen dinilainya sebagai salah satu tradisi agung

(great tradition).4

Akan tetapi di samping hal-hal tersebut di atas, terdapat beberapa tantangan pondok

pesantren dewasa ini. Tantangan yang dialami lembaga ini menurut pengamatan para ahli

semakin lama semakin banyak, kompleks, dan mendesak. Hal ini disebabkan oleh

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Ditengah derap kemajuan ilmu dan

teknologi yang menjadi motor bergeraknya modernisasi, dewasa ini banyak fihak merasa

ragu terhadap eksistensi lembaga pendidikan pesantren. Keraguan itu dilatar belakangi

oleh kecenderungan dari pesantren untuk bersikap menutup diri terhadap perubahan di

sekelilingnya dan sikap kolot dalam merespon upaya modernisasi. Menurut Azyumardi

Azra, kekolotan pesantren dalam mentransfer hal-hal yang berbau modern itu merupakan

sisa-sisa dari respon pesantren terhadap kolonial Belanda. Lingkungan pesantren merasa

bahwa sesuatu yang bersifat modern, yang selalu mereka anggap datang dari barat,

berkaitan dengan penyimpangan terhadap agama.5

Perkembangan dunia telah melahirkan suatu kemajuan zaman yang modern.

Perubahan-perubahan yang mendasar dalam struktur budaya masyarakat seringkali

membentur pada aneka kemapanan. Akibatnya ada keharusan untuk mengadakan upaya

kontekstualisasi bangunan budaya masyarakat dengan dinamika modernisasi, tak

3
Hanun Asrorah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana ilmu, 1999), 126
4
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat : Tradisi-Tradisi Islam di
Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), 17.
5
Azumardi Azra, "Pesantren : Kontinuitas dan Perubahan", Pengantar dalam Nucholis
Madjid, Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta : Paramida, 1997), xvi.
terkecuali dengan sistem pendidikan pesantren. Karena itu, sistem pendidikan pesantren

harus melakukan upaya-upaya konstruktif agar tetap relevan dan mampu bertahan.6

B. Rumusan Masalah :

1. Apa Pengertian Pondok Pesantren ?

2. Bagaimana Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional ?

3. Bagaimana Relevansi Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional Dalam Era Modern ?

C. Tujuan Rumusan Masalah :

1. Untuk mengetahui Pengertian Pondok Pesantren ?

2. Untuk memahami Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional ?

3. Untuk mengetahui Relevansi sistem Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional Dalam

Era Modern ?

6
Suwendi "Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pesantren : Beberapa Catatan", dalam
Pesantren Masa Depan, 216.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pondok Pesantren

Pondok berasal dari kata arab fundug yang berarti hotel atau asrama. Pondok

berfungsi sebagai asrama bagi santri. Pondok merupakan ciri khas tradisi pesantren yang

membedakan dengan sistem pendidikan tradisional di masjid-masjid yang berkembang di

kebanyakan wilayah islam negara-negara lain.7

Pesantren menurut prof. John berasal dari bahasa Tamil; santri yang berarti guru

mengaji. CC Berg juga berpendapat bahwa istilah santri berasal dari kata shastri (bahasa

India) yang berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau sarjana ahli kitab

suci agama Hindu, kata shastri berasal dari kata shastra, yang berarti buku-buku suci,

buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.8

Manfred Ziemek juga menyebutkan bahwa asal etimologi dari pesantren adalah

pesantrian berarti “tempat santri” santri atau murid (umumnya sangat berbeda-beda)

mendapat pelajaran dari pemimpin pesantren (kiai) dan oleh para guru (ulama atau

ustadz)9

Berdasarkan konsep tersebut dapat dipahami bahwa pesantren berasal dari India

dan dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa,

sistem tersebut kemudian diambil alih oleh Islam. Sekarang konsep dimaknai sebagai

7
Jasa Ungguh Muliawan, Ilmu Pendidikan Islam: Studi Kasus Terhadap Struktur Ilmu,
Kurikulum, Metodologi Dan Kelembagaan Agama Islam (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2015),
h. 299.
8
Jasa Ungguh Muliawan, Ilmu Pendidikan Islam: Studi Kasus Terhadap Struktur Ilmu,
Kurikulum, Metodologi Dan Kelembagaan Agama Islam (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2015),
h. 299.
9
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan Dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia
(Jakarta: Kencana, 2009) h. 61.
asrama dan tempat murid-murid mengaji khususnya dengan tujuan meningkatkan

kekuatan keagamaan (religious power) Islam.10

Pondok Pesantren merupakan salah satu lembaga sosial keagamaan yang menjadi

sarana pendidikan bagi umat islam yang ingin mempelajari lebih dalam lagi tentang ilmu-

ilmu keagamaan. Secara umum, di pesantren memiliki karakteristik, yang semua sama,

yaitu institusi yang dipimpin dan diasuh oleh kiai dalam satu konteks, yang berciri khas:

adanya masjid atau surau sebagai pusat pembelajaran dan asrama santri sebagai tempat

tinggal santri (peserta didik) disamping rumah yaitu tempat tinggal kiai dengan buku

“kitab kuning” sebagai buku pegangan.11

Jadi, pondok pesantren merupakan tempat untuk mendidik para santri yang

hendak mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam dengan rujukan kitab-kitab

klasik (kitab kuning sebagai buku pegangan) yang diajarkan oleh kiai, dengan ciri khas:

adanya masjid atau surau sebagai pusat pembelajaran dan asrama santri sebagai tempat

tinggal santri dan menjadi sarana pendidikan bagi umat Islam.

B. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional

Sistem pendidikan pondok pesantren tradisional adalah sistem pendidikan yang

berbeda dengan sistem pendidikan pesantren modern maupun sistem pendidikan formal

lainnya. Sistem pendidikan pesantren tradisional adalah sistem pendidikan yang tetap

mempertahankan sistem pendidikan dengan pola lama/ tradisional yakni dengan hanya

mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam atau kitab-kitab Islam klasik (kitab kuning),

meliputi tauhid, fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits, akhlak, tasawuf, bahasa Arab, dan

sebagainya. Sekalipun sistem madrasah diterapkan di pesantren ini, namun di dalamnya

tidak diajarkan pengetahuan umum.

10
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia
(Jakarta:kencana, 2009) h.298
11
Daulay, Haidar Putra Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah, dan Madrasah, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2001. Hal.9.
1. Ciri- ciri Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional

Pada pendidikan pesantren tradisional, kurikulum materi kajian hanya mengajarkan

ilmu-ilmu agama Islam atau kitab-kitab Islam klasik (kitab kuning), dengan ciri-ciri

pelaksanaan sistem pendidikan sebagai berikut :

a. tidak dikenal adanya kelas-kelas sebagai tingkatan atau jenjang pendidikan; dalam

sistem pendidikan pesantren tradisional tidak dikenal adanya kelas-kelas sebagai

tingkatan atau jenjang pendidikan; Seseorang dalam belajar di pesantren

tergantung sepenuhnya pada kemampuan pribadinya dalam menyerap ilmu

pengetahuan. Semakin cerdas seseorang, maka semakin singkat ia belajar. Menurut

tradisi pesantren, pengetahuan seorang santri diukur dari jumlah buku-buku atau

kitab-kitab yang telah dipelajarinya dan kepada ulama mana ia telah berguru.

Jumlah kitab-kitab standar berbahasa Arab yang harus dibaca (kutubul muqarrarah)

telah ditentukan oleh lembaga-lembaga pesantren. Dengan demikian,

b. Materi yang diajarkan dalam pesanten tradisional adalah kitab-kitab Klasik; dalam

pesantren tradisional kitab-kitab Islam klasik (kitab kuning) dijadikan mata kajian,

sekaligus sebagai sarana penjenjangan kemampuan santri dalam belajar.

c. Satuan waktu belajar tidak ditentukan oleh kurikulum atau usia, melainkan oleh

selesainya kajian satu atau beberapa kitab yang ditetapkan. Pengelompokan

kemampuan santri juga tidak didasarkan semata-mata kepada usia, tetapi kepada

taraf kemampuan santri dalam mengkaji dan memahami kitab-kitab tersebut.12

d. Penentuan kitab yang akan dikaji/dipelajari diserahkan kepada santri; dalam

pesantren tradisional, untuk menentukan kitab mana yang akan dikaji dan diikuti

oleh seorang santri tidak secara ketat ditentukan oleh kyai atau pesantren,

12
A. Wahid Zaini, “Orientasi Pondok Pesantren Tradisional Dalam Masyarakat Indonesia”, dalam
Tarekat, Pesantren, dan Budaya Lokal, ed. M. Nadim Zuhdi et. al. (Surabaya : Sunan Ampel Press, 1999), 79.
melainkan justru diserahkan kepada santri itu sendiri. Hal ini karena santri yang

meneruskan ke pesantren, terutama pesantren besar, dianggap telah mampu untuk

mengukur kemampuannya, sehingga pesantren atau kyai hanya membimbing

tentang cara menentukan pilihan kajian. Pemilihan materi belajar yang memberikan

keleluasaan kepada santri untuk ikut mengambil peranan di dalam menentukan

jenjang dan kurikulum belajarnya oleh sebagian peneliti dianggap sebagai adanya

proses demokratisasi di dalam proses belajar mengajar.13

e. Sistem Evaluasi; sistem evaluasi yang berlaku di dalam pesantren tradisional

biasanya tidak terlalu ketat dan mengikat, melainkan sangat memberi keleluasaan

kepada santri yang bersangkutan untuk melakukan self-evaluation (evaluasi diri

sendiri). Dalam evaluasi pengajaran ini, peranan kyai sangat menonjol dan lebih

besar pada metode sorogan, sementara pada metode wetonan para santri sangat

mempunyai peranan. Biasanya titik tekan evaluasi yang dilakukan oleh kyai dan

pengurus pesantren tidak sekedar pada pengetahuan kognitif, berupa sejauh mana

keberhasilan penyerapan ilmu dan pengetahuan yang telah diperoleh santri, tetapi

lebih jauh lagi pada keutuhan kepribadiannya berupa ilmu, sikap, dan tindakan-

tutur kata dan perbuatan-- yang terpantau dalam interaksi keseharian santri dengan

kyai. Dalam menentukan apakah seorang santri telah berhasil menyelesaikan suatu

kurikulum tertentu, dengan demikian tidak sekedar dinilai dari aspek penguasaan

intelektualnya, melainkan juga integritas kepribadian santri yang bersangkutan

yang dinilai dari kiprah dan tingkah laku kesehariannya.14

f. Proses pendidikan di pesantren berlangsung selama 24 jam; dalam pesantren

tradisional, penjadwalan waktu belajar tidaklah terlalu ketat. Timing dan alokasi
13
Ahmad Qodri A. Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial : Mencari Jalan Keluar (Yogyakarta : LKIS,
2000), 106.
14
A. Wahid Zaini, “Orientasi Pondok Pesantren Tradisional Dalam Masyarakat Indonesia”, dalam
Tarekat, Pesantren, dan Budaya Lokal, ed. M. Nadim Zuhdi et. al. (Surabaya : Sunan Ampel Press, 1999),hal.80
waktu bagi sebuah kitab yang dikaji biasanya disepakati bersama oleh kyai dan

santri sesuai dengan pertimbangan kebutuhan dan kepentingan bersama. Dapat saja

waktu 24 jam hanya dimanfaatkan empat atau lima jam untuk istirahat, sedangkan

sisanya untuk proses belajar mengajar dan beribadah, baik secara kolektif maupun

secara individual.

g. Pendidikan pesantren sangat menekankan aspek etika dan moralitas. Proses

pendidikan di sini merupakan proses pembinaan dan pengawasan tingkah laku

santri yang seharusnya merupakan cerminan ilmu yang telah diperoleh. Pembinaan

dan pengawasan ini dilakukan bersamaan dengan peneladanan langsung oleh kyai

dan pengurus sebagai kepanjangan tangan dari kyai, mulai dari urusan ibadah

sampai pada urusan keseharian santri.15

h. Sistem pemberian ijazah ; dalam pesantren tradisional dikenal pula sistem

pemberian ijazah, tetapi bentuknya tidak seperti yang dikenal dalam sistem modern.

Ijazah di pesantren berbentuk pencantuman nama dalam suatu daftar rantai

transmisi pengetahuan yang dikeluarkan oleh gurunya terhadap muridnya yang

telah menyelesaikan pelajarannya dengan baik tentang suatu kitab tertentu sehingga

si murid tersebut dianggap menguasai dan boleh mengajarkannya kepada orang

lain. Tradisi ijazah ini hanya dikeluarkan untuk murid-murid tingkat tinggi dan

hanya mengenai kitab-kitab besar dan masyhur. Para murid yang telah mencapai

suatu tingkatan pengetahuan tertentu tetapi tidak dapat mencapai ke tingkat yang

cukup tinggi disarankan untuk membuka pengajian, sedangkan yang memiliki

ijazah biasanya dibantu mendirikan pesantren.16

15
A. Wahid Zaini, “Orientasi Pondok Pesantren”, 81-82.
16
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta :
LP3ES, 1994. hal.23
i. Sistem pengajaran dalam mengkaji kitab-kitab Islam klasik (kitab kuning)

menggunakan metode sorogan, dan wetonan. pada metode sorogan; di mana santri

menghadap guru seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan

dipelajarinya, sedangkan metode wetonan, dimana para santri mengikuti pelajaran

dengan duduk di sekeliling kyai yang menerangkan pelajaran secara kuliah. Santri

membawa kitab yang sama dengan kitab kyai dan menyimak kitab masing-masing

serta membuat catatan padanya.

2. Tujuan Pendidikan Pesantren


Pada dasarnya pesantren adalah lembaga pendidikan Islam, di mana

pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan agama Islam diharapkan dapat

diperoleh di pesantren. Apa pun usaha yang dilakukan untuk meningkatkan pesantren

di masa kini dan masa yang akan datang harus tetap pada prinsip ini. Tujuan

pendidikan pesantren tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran murid dengan

penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi

semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan

tingkah laku yang jujur dan bermoral, serta menyiapkan para santri untuk hidup

sederhana dan bersih hati. Selain itu, tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk

mengejar kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka

bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan. 17 Tujuan

ini pada gilirannya akan menjadi faktor motivasi bagi para santri untuk melatih diri

menjadi seorang yang ikhlas di dalam segala amal perbuatannya dan dapat berdiri

sendiri tanpa menggantungkan sesuatu kecuali kepada Tuhan. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa secara umum tujuan pendidikan pesantren adalah mendidik

manusia yang mandiri, berakhlak mulia, serta bertaqwa.

17
Dhofier, Tradisi Pesantren, 21.
Berdasarkan tujuan pendidikan pesantren seperti di atas, maka yang paling

ditekankan adalah pengembangan watak pendidikan individual. Santri dididik sesuai

dengan kemampuan dan keterbatasan dirinya, sehingga di pesantren dikenal prinsip-

prinsip dasar belajar tuntas dan maju berkelanjutan. Bila di antara para santri ada yang

memiliki kecerdasan dan keistimewaan dibandingkan dengan yang lainnya, mereka

akan diberi perhatian khusus dan selalu didorong untuk terus mengembangkan diri,

serta menerima kuliah/bimbingan pribadi secukupnya. Para santri diperhatikan

tingkah laku moralnya dan diperlakukan sebagai makhluk yang terhormat sebagai

titipan Tuhan yang harus disanjung. Kepada mereka ditanamkan perasaan kewajiban

dan tanggung jawab untuk melestarikan dan menyebarkan pengetahuan mereka

tentang Islam kepada orang lain, serta mencurahkan segenap waktu dan tenaga untuk

belajar terus menerus sepanjang hidup.18

C. Relevansi Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional Dalam Era Modern.

Dengan memahami apa itu Pesantren, bagaimana sistem pendidikan pesantren

tradisional, serta apa tujuan pendidikan pesantren, maka eksistensi pesantren tradisional

ini bila dikaitkan dengan era modernisasi atau kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

dewasa ini, tetap relevan untuk dipertahankan, karena Pesantren tradisional tetap

konsisten dalam upaya membentuk kepribadian yang utuh, integrited, dan kaffah,

karena Kegiatan pendidikan di pesantren bukan hanya berorientasi pada transfer ilmu

semata , tapi juga tuntunan untuk mengamalkan nilai-nilai ajarannya.

Meskipun pesantren tradisional hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam

melalui kitab klasik (kitab kuning) sebagai inti kurikulumnya yang ditetapkan secara

mandiri oleh kiai, tanpa memasukkan kurikulum materi umum selain kitab kuning
18
Arifin, Imron. Kepemimpinan Kyai : Kasus Pondok Pesantren Tebuireng. (Malang : Kalimasahada Press,
1993)37.
tersebut, serta tidak mengikuti ujian negara, hal ini dimaksudkan untuk menjaga

kemurnian ajaran agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik tersebut, meski demikian

pesantren tradisional masih dapat menjadi patron (benteng) pendidikan moral bangsa,

karena mampu memberikan pemenuhan terhadap kebutuhan spiritual masyarakat.

Dalam rangka antisipsi perkembangan zaman di era globalisasi, agar pesantren

tradisional masih tetap terus relevan, sebaiknya pesantren juga harus berupaya

menyesuaikan diri dengan kondisi yang melingkupinya tanpa meninggalkan ciri khas

kepesantrenan yang dimilikinya. Upaya tersebut dengan cara pesantren mengenali

keseluruhan komponen-komponen pembentuknya secara baik, lalu mengembangkannya

secara modern sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi kapan pesantren berada.

Dengan adanya upaya tersebut, diharapkan pesantren tidak akan ketinggalan zaman dan

selalu relevan dengan kebutuhan zaman.

Pesantren datang sebagai bentuk penyempurna dari kepingan yang selama ini

dicari. Tradisional bukan berarti kuno dan lapuk. Justru ia berorientasi pada penguatan

karakter yang sudah lama didesain dalam perencanaan matang dan justru baru

didengungkan akhir-akhir ini. Cara tradisional ala pesantren sangatlah dinamis, banyak

lini yang bisa lebih dikuatkan dengan cara modern tetapi tetap manusiawi. Itulah

mengapa tradisionalisme pesantren justru harus dipertahakan untuk mewujudkan generasi

bangsa yang pintar dalam keilmuan sekaligus jujur, cerdas dan kuat secara karakter.

Oleh karena itu, pesantren melakukan sejumlah akomodasi yang dianggap tidak hanya

akan mendukung kontinuitas pesantren, tetapi juga bermanfaat bagi santri. Dalam

wujudnya secara kongkrit, pesantren merespon tantangan itu dengan beberapa bentuk.

Pertama, pembaharuan substansi atau isi pendidikan pesantren dengan memasukkan

subjek-subjek umum dan ketrampilan. Kedua, pembaharuan metodologi, seperti sistem

klasikal dan penjenjangan. Ketiga, pembaharuan kelembagaan, seperti kepemimpinan


pesantren, diversivikasi kelembagaan. Dan keempat, pembaruan fungsi, dari fungsi

kependidikan untuk juga mencakup fungsi sosial ekonomi.


BAB III

PENUTUP

a. pondok pesantren merupakan tempat untuk mendidik para santri yang hendak

mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam dengan rujukan kitab-kitab klasik

(kitab kuning sebagai buku pegangan) yang diajarkan oleh kiai, dengan ciri khas:

adanya masjid atau surau sebagai pusat pembelajaran dan asrama santri sebagai tempat

tinggal santri dan menjadi sarana pendidikan bagi umat islam..

b. Sistem pendidikan pondok pesantren tradisional adalah sistem pendidikan yang tetap

mempertahankan sistem pendidikan dengan pola lama/ tradisional yakni dengan

hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam atau kitab-kitab Islam klasik (kitab

kuning), meliputi tauhid, fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits, akhlak, tasawuf, bahasa Arab,

dan sebagainya, di dalamnya tidak diajarkan pengetahuan umum. Adapun ciri-ciri

lainnya diantaranya;

1. tidak dikenal adanya kelas-kelas sebagai tingkatan atau jenjang pendidikan


2. Satuan waktu belajar tidak ditentukan oleh kurikulum atau usia
3. sistem evaluasi yang berlaku di dalam pesantren tradisional biasanya tidak terlalu
ketat dan mengikat
4. Proses pendidikan di pesantren berlangsung selama 24 jam
5. Pendidikan pesantren sangat menekankan aspek etika dan moralitas
6. Dalam proses pembelajaran menggunakan metode sorogan, dan wetonan
c. Eksistensi sistem pendidikan pesantren tradisional bila dikaitkan dengan era
modernisasi atau kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, maka
pesantren tradisional tetap relevan, karena Pesantren tradisional tetap konsisten
dalam upaya membentuk kepribadian yang utuh, integrited, dan kaffah. Kegiatan
pendidikan di pesantren bukan hanya berorientasi pada transfer ilmu saja, tapi juga
tuntunan untuk mengamalkannya. Pesantren tradisional dapat menjadi patron
(pelindung) pendidikan moral, serta mampu memberikan pemenuhan terhadap
kebutuhan spiritual masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Hanun Asrorah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana ilmu, 1999).
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat : Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia
(Bandung: Mizan, 1999)
Azumardi Azra, "Pesantren : Kontinuitas dan Perubahan", Pengantar dalam Nucholis Madjid, Bilik-Bilik
Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta : Paramida, 1997).
Suwendi "Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pesantren : Beberapa Catatan", dalam Pesantren Masa Depan,
Jasa Ungguh Muliawan, Ilmu Pendidikan Islam: Studi Kasus Terhadap Struktur Ilmu, Kurikulum,
Metodologi Dan Kelembagaan Agama Islam (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2015).
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan Dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2009)
A. Wahid Zaini, “Orientasi Pondok Pesantren Tradisional Dalam Masyarakat Indonesia”, dalam Tarekat,
Pesantren, dan Budaya Lokal, ed. M. Nadim Zuhdi et. al. (Surabaya : Sunan Ampel Press, 1999).
Ahmad Qodri A. Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial : Mencari Jalan Keluar (Yogyakarta :
LKIS, 2000).
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta:
LP3ES, 1994.
Arifin, Imron. Kepemimpinan Kyai : Kasus Pondok Pesantren Tebuireng. (Malang : Kalimasahada
Press, 1993).

Anda mungkin juga menyukai