Anda di halaman 1dari 21

PESANTREN SEBAGAI IDENTITAS ISLAM DALAM MENCETAK

ULAMA DI INDONESIA
oleh
Pajriah Putri Islamy
Program Pascasarjana Pendidikan Islam
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan
Pajriahputri0@gmail.com

Abstrak
Pesantren, sebagai institusi pendidikan Islam, menonjol dengan
keunggulan yang mencakup baik tradisi keilmuan maupun aspek
transmisi dan tingkat keterlibatan umat Islam. Hal ini menjadikan
pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang melahirkan para ulama
di Indonesia. Berdasarkan studi pustaka, tulisan ini bermaksud untuk
menuliskan pesantren sebagai identitas islam dalam mencetak ulama di
Indonesia, penelitian ini menggunakan metode library research yaitu
sumber referensi dari literature yang membahas tentang pesantren sebagai
identitas islam dalam mencetak ulama di Indonesia. Hasil penelitian
menunjukkkan bahwa eksistensi peran pesantren itu sebagai identitas
islam sangat selaras dengan sejarah perkembangan pesantren, untuk
menghasilkan ulama yang memiliki pengetahuan yang luas, tetapi tetap
mempertahankan ciri utamanya, yaitu menghasilkan ulama dan pesantren
dari masa lalu, yang masih merupakan bagian dari identitas Islam.

Kata kunci: Pesantren, Identitas Islam, Ulama, Indonesia

A. PENDAHULUAN
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang menekankan
pembelajaran yang lebih fokus pada materi agama dibandingkan dengan pelajaran
umum. Pesantren berfungsi sebagai tempat di mana individu dapat memperoleh
pendidikan Islam yang menyeluruh. Sebagai lulusan pesantren, mereka menjadi
individu yang dianggap dapat diandalkan dalam mengembangkan dan
memperjuangkan nilai-nilai keislaman di masyarakat Indonesia. Menurut data
Kementerian Agama, pada tahun 2023 terdapat setidaknya 39.043 pesantren di
Indonesia, dengan total jumlah santri mencapai 4,08 juta. Oleh karena itu, setiap
lulusan pesantren diharapkan memiliki kompetensi khusus, terutama dalam
bidang agama Islam.(Abdurrahman Zain, 2017).
Dari perspektif historis, Sekolah pribumi tertua di Indonesia adalah
pesantren. Sebelum Indonesia merdeka, bahkan sebelum Islam masuk ke
Indonesia, ada pesantren. Pondok pesantren terus berubah seiring dengan dunia
pendidikan pada umumnya. Pesantren adalah komunitas dan lembaga pendidikan
yang tersebar di seluruh Indonesia, dan mereka mempunyai peran yang sangat
besar dalam membentuk karakter religius masyarakat Indonesia. Sebagai institusi
pendidikan Islam, pesantren telah banyak melahirkan pemimpin bangsa Indonesia
di masa lalu, sekarang, dan mungkin juga di masa depan. Lulusan pesantren tidak
hanya berkontribusi dalam hal keagamaan, tetapi juga aktif berpartisipasi dalam

1
pembangunan negara. Keseluruhan, pesantren memiliki sejarah panjang sebagai
lembaga pendidikan yang tidak hanya melestarikan nilai-nilai agama, tetapi juga
memberikan kontribusi besar dalam pembentukan identitas dan kepemimpinan
bangsa Indonesia (M. Hasan, 2015).
Peran pesantren di masa lalu memang sangat menonjol, terutama dalam
menggerakkan, memimpin, dan berperan aktif dalam perjuangan melawan
penjajah. Pesantren menjadi basis yang kuat untuk memobilisasi masyarakat
dalam perlawanan terhadap penindasan kolonial. Pada masa sekarang, peran
pesantren tetap signifikan, terutama ketika pemerintah mensosialisasikan
program-programnya melalui para pemimpin pesantren. Di masa mendatang,
peran pesantren diyakini akan tetap besar. Globalisasi dan industrialisasi,
meskipun membawa kemajuan, juga membawa dampak negatif seperti depresi,
kebimbangan, dan ketidakpastian terhadap masa depan. Pesantren dianggap
sangat diperlukan sebagai wadah untuk menyeimbangkan akal dan hati,
memberikan pemahaman agama, moral, dan nilai-nilai spiritual yang dapat
membantu individu dalam menghadapi tantangan zaman modern. Pesantren dapat
menjadi tempat untuk membentuk karakter, memperkuat nilai-nilai keimanan, dan
memberikan pandangan positif terhadap masa depan.(Sangkot Nasution, 2017).
Pesantren dianggap sebagai lembaga pendidikan yang unggul di kalangan
masyarakat Islam. Aspek tradisi keilmuan, yang merupakan bagian dari tradisi
besar Islam, serta penyebaran dan internalisasi akhlak umat Islam adalah sumber
keuntungan tersebut. Pesantren dianggap sebagai genius lokal yang penting dalam
sejarah perkembangan dan kemajuan pendidikan Islam di Indonesia. Pesantren
melakukan banyak hal, tidak hanya di bidang keagamaan. Pendidikan di Indonesia
terdiri dari pondok pesantren, yang merupakan komponen penting dari sistem
pendidikan nasional. Oleh karena itu, pandangan yang menganggap peran
pesantren sebagai sesuatu yang kecil dan rendah dalam mencapai tujuan
pembangunan nasional dapat dianggap keliru. Sebaliknya, pesantren diakui
sebagai lembaga pendidikan yang memiliki kontribusi besar dalam membentuk
karakter, moralitas, dan keilmuan masyarakat Indonesia.(Achmad Kemal Riza,
2011).
Penyelenggaraan pendidikan Islam tradisional di pesantren sangat penting
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Pesantren
berkembang menjadi tempat pendidikan agama, tempat menjaga tradisi Islam, dan
lembaga yang mencetak tokoh agama. Lebih dari itu, mereka menjadi lembaga
sosial yang terlibat dalam proses perubahan sosial politik di Indonesia.Pesantren
menjadi pusat pembentukan karakter dan nilai-nilai keagamaan, serta berperan
dalam membentuk pandangan dan sikap masyarakat terhadap isu-isu sosial dan
politik. Sehingga, dari gambaran tersebut, pesantren terlihat sangat memukau, dan
hal ini menjadi inspirasi penulis untuk mengangkat tema "Pesantren sebagai
Identitas Islam dalam Mencetak Ulama di Indonesia". Tema ini mencerminkan
pengakuan terhadap kontribusi pesantren dalam membentuk identitas Islam dan
mencetak ulama yang memiliki peran kunci dalam mewujudkan keberagaman dan
kemajuan masyarakat Indonesia.

2
B. KAJIAN TEORI
1. Pengertian Pesantren
Secara etimologis, istilah "pondok pesantren" merupakan gabungan
dari kata "pondok" dan "pesantren". Kata "pondok" berasal dari bahasa
Arab "funduk" yang artinya hotel. Dalam konteks pesantren di Indonesia,
istilah "pondok" lebih merujuk pada lingkungan padepokan yang terdiri
dari kamar-kamar yang dipetak-petak, berfungsi sebagai asrama bagi para
santri. Jadi, istilah "pondok pesantren" mencerminkan tempat tinggal atau
asrama yang disediakan bagi para santri untuk belajar dan tinggal dalam
lingkungan pendidikan Islam (Penyusun, 2008). Sementara itu, istilah
Pesantren berasal dari kata dasar "santri", dengan awalan "pe" dan akhiran
"an" yang berarti "tempat". Oleh karena itu, pesantren dapat diartikan
sebagai wadah santri. Sebaliknya, ada beberapa teori yang mencoba
menjelaskan asal kata "santri". Salah satunya mengatakan bahwa kata
"santri" berasal dari kata Sansekerta "sastri", yang berarti literasi atau
pengetahuan. (Achmad Kemal Riza, 2011).
Kedua, istilah tersebut berasal dari "cantrik," yang mengacu pada
seseorang yang selalu mengikuti guru ke mana pun guru pergi dan
menetap (B.J Marwoto, 2009). Sementara itu, ketiga, berasal dari bahasa
India dan memiliki makna sebagai individu yang memiliki pengetahuan
tentang kitab-kitab suci agama Hindu atau pengetahuan umum. Pondok
pesantren, sebagai institusi pendidikan dan pusat penyebaran Islam tertua
di Indonesia, muncul dan berkembang seiring masuknya Islam di negara
ini.
Pada tahap awal pendiriannya, pondok pesantren umumnya
memiliki struktur yang sangat sederhana. Proses pembelajaran sering
dilakukan di langgar (mushalla) atau masjid, yang dipimpin oleh seorang
kiai yang didampingi oleh beberapa santri yang datang untuk mengaji
(Hanun Asrohah, 2011). Seiring bertambahnya jumlah santri dan perluasan
tempat belajar, pengajian tersebut berkembang menjadi entitas pendidikan
yang unik yang dikenal sebagai pesantren. Sistem umum yang digunakan
dalam proses belajar-mengajar di pesantren adalah wetonan atau
bandongan sorogan.
Dari perspektif epistemologi, banyak teori yang menjelaskan
epistemologi pesantren lebih berfokus pada aspek fisik. Umumnya, teori-
teori ini menekankan integrasi lima elemen kunci pesantren, yaitu Kiai,
Santri, Masjid, Pondok, dan Pengajaran kitab-kitab Islam klasik.
Pesantren-pesantren juga dapat diklasifikasikan berdasarkan struktur fisik
dan kurikulum (M. Hasan, 2015).
Namun, secara faktual, kehidupan di pesantren mencerminkan
keragaman dan dinamika yang bervariasi sesuai dengan konteks sosial
budaya masyarakat di sekitarnya. Meskipun di sebagian besar wilayah
kelima unsur pesantren mungkin terpenuhi, namun di beberapa daerah,
mungkin satu atau dua unsur tersebut tidak terpenuhi. Dengan melihat
kondisi pesantren yang kompleks dan beragam, baik dari segi fisik,
budaya, pendidikan, maupun struktur organisasinya, dapat disimpulkan

3
bahwa pesantren tidak semudah yang terlihat dengan adanya kiai, santri,
atau masjid (Hidayat, 2004).
Awalnya, tujuan pokok pesantren adalah mempersiapkan santri
agar dapat mendalami dan menguasai ilmu pengetahuan agama (tafaqqahu
fi al-din). Bahkan, sejak zaman dahulu, pesantren dikenal sebagai lembaga
penghasil ulama (reproduction of ulama), di mana ilmu agama ditransfer
dan tradisi Islam dijaga. Namun, pada hakikatnya, pesantren juga
merupakan suatu institusi pendidikan yang fokus pada pembentukan
individu dengan tingkat moralitas keagamaan Islam dan tingkat sosial
yang tinggi, yang diimplementasikan melalui sistem pendidikan dan
metodenya (Lubis, 2007).
Dengan demikian, pergerakan dan pengajaran ilmu-ilmu agama,
sosial, dan eksak di pesantren melibatkan lebih dari sekadar transfer
pengetahuan. Proses tersebut sebenarnya merupakan suatu usaha
pembentukan karakter (character building) yang berakar pada nilai-nilai
Islam. Hal ini menjadi lebih penting mengingat perubahan dan dinamika
yang terjadi dalam kehidupan sosial, yang kadang-kadang berlangsung
secara luar biasa dan di luar perkiraan banyak orang, terutama dalam era
global saat ini. Menariknya, kemajuan spektakuler dalam teknologi
kecerdasan buatan (artificial intelligence) juga ternyata memengaruhi
perubahan dalam tata nilai keagamaan dan sosial (Musawar, 2021).
Oleh karena itu, pesantren saat ini tidak hanya berperan sebagai
lembaga pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai institusi keagamaan dan
sosial. Perannya telah berkembang, menjadi agen perubahan sosial dan
pembangunan masyarakat (agent of social change). Dalam konteks
pembelajaran pesantren, ilmu-ilmu keislaman menjadi fokus utama,
tercermin dalam kurikulum yang menekankan karya-karya keislaman dari
ulama masa klasik Islam (dikenal sebagai "Kitab Kuning" di lingkungan
pesantren) sebagai materi utama untuk santri.
Di tengah tantangan era globalisasi dan arus informasi, peran
pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dengan akar tradisi yang
kokoh dalam masyarakat menjadi aspek yang perlu kita tinjau kembali
(Roihan, 2016). Pesantren, dianggap sebagai "Bapak" dari pendidikan
Islam di Indonesia, didirikan sebagai respons terhadap tuntutan dan
kebutuhan zaman. Hal ini terlihat dalam konteks sejarah, di mana
pesantren lahir sebagai tanggapan terhadap tanggung jawab dakwah
Islamiyah, yaitu menyebarkan dan mengembangkan Ajaran Islam, sambil
mencetak kader-kader Ulama atau Da’I. (Jajat Burhanudin, 2022).
2. Asal-usul Pesantren di Indonesia
Secara umum, terdapat dua pandangan dominan mengenai Asal
usul pesantren sebagai institusi pendidikan Islam memiliki pandangan
yang menekankan bahwa pesantren berasal langsung dari tradisi Islam.
Menurut pandangan ini, pesantren lahir dari pola kehidupan tasawuf dan
kemudian berkembang di wilayah Islam, seperti Timur Tengah dan Afrika
Utara yang dikenal dengan sebutan Zawiyat (Darwis, 2016).

4
Di sisi lain, ada pandangan yang menyatakan bahwa pesantren
dapat dianggap sebagai kelanjutan dari tradisi Hindu-Buddha yang
mengalami proses Islamisasi. Beberapa individu melihat adanya
keterkaitan antara kata "pesantren" dan kata "shastri" dari bahasa
Sanskerta. Pesantren diakui sebagai lembaga pendidikan tertua di
Indonesia, mengalami transformasi menjadi milik umat Islam setelah
proses Islamisasi dalam perkembangannya. Berdasarkan penelitian
sejarah, pada abad ke-15, pesantren pertama di Jawa Timur didirikan atas
inisiatif para wali yang mengajarkan Islam, dan Maulana Malik Ibrahim
dianggap sebagai pendiri pondok pesantren pertama di Indonesia (Darwis,
2016).
Di sisi lain, Raden Rahmat yang dikenal sebagai Sunan Ampel
diakui sebagai tokoh yang mengembangkan pondok pesantren pertama di
Jawa Timur. Sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, pesantren
adalah tempat di mana para siswa tinggal bersama dan belajar di bawah
bimbingan seorang guru yang disebut kiai.
Asrama juga disediakan sebagai tempat tinggal bagi santri.
Menurut Mahmud Yunus, Raden Fatah membentuk organisasi pesantren
pertama di Jawa pada tahun 1476, dan upaya ini dianggap sebagai
kelanjutan dari aktivitas Sunan Ampel sebagai pendiri pondok pesantren
pertama di pulau Jawa (Muh. Saerozi, 2014).
Seiring berjalannya waktu, pondok pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam terintegrasi dengan kegiatan dakwah dan tanggung
jawabnya. Peran ganda ini kemudian menjadi potensi yang signifikan
dalam konteks politik pendidikan. Pada masa kerajaan Islam, pesantren
ikut berperan dalam membentuk karakter keislaman. Menuju tahun 1900,
ideologi politik keagamaan yang menantang kekuasaan kolonial Belanda
mulai muncul di dalam institusi pendidikan ini. Dengan demikian, peran
pesantren dalam mendidik masyarakat dan membangun bangsa telah
terealisasi selama tiga setengah abad di Indonesia (J. Pedersen, 2012).
Pesantren-pesantren di Indonesia dapat dikelompokkan
berdasarkan dua kriteria utama, yaitu (1) sarana yang dimiliki dan (2)
sikap terhadap tradisi. Dari segi sarana, pesantren dapat diklasifikasikan ke
dalam berbagai jenis, meskipun setiap jenis tidak mencerminkan isi dan
kegiatan yang dilakukan. Sementara itu, dari segi sikap terhadap tradisi,
pesantren dibagi menjadi tiga kategori, yaitu (1) pesantren salafi, (2)
pesantren khalafi, dan (3) pesantren modern (Suwito dan Fauzan, 2012).
Pesantren Salafi merupakan jenis pesantren yang konsisten dalam
mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam Klasik sebagai inti dari
kurikulumnya. Di pesantren ini, mata pelajaran umum tidak diajarkan, dan
tradisi masa lalu cenderung dipertahankan. Sistem madrasah digunakan
untuk memfasilitasi sistem sorogan, mirip dengan lembaga pengajian
dalam bentuk lama. Contoh pesantren Salafi dapat ditemukan di Pesantren
Lirboyo dan Ploso di Kediri, Jawa Timur, serta Pesantren Maslakul Huda
di Kajen, Pati, Jawa Tengah. (Zuhairini, 2013). Pesantren Salafi terlihat
cenderung menolak hal-hal baru, lebih fokus pada pemeliharaan tradisi,

5
dan menegaskan peran mereka sebagai pelindung utama tradisi (Khoirun
Niam, 2017).
Pesantren khalafi, di sisi lain, terlihat menerima inovasi baru yang
dianggap positif sambil tetap menjaga tradisi lama yang dianggap
bermanfaat. Jenis pesantren ini menyediakan mata pelajaran yang sama di
madrasah dengan sistem klasikal dan mendirikan sekolah umum di sekitar
pesantren. Meskipun demikian, pelajaran yang ditemukan dalam kitab-
kitab ilmu klasik masih relevan dan masih digunakan. Pesantren
Tebuireng, Tambak Beras, dan Rejoso di Jombang, Jawa Timur, tidak
hanya menyelenggarakan pendidikan madrasah, tetapi juga membangun
sekolah menengah umum seperti SMP dan SMA, serta menawarkan
kursus pendidikan. (Abdul Halim, Abd. Basyid, 2021)..
Pesantren modern merupakan jenis pesantren di mana tradisi salaf
telah ditinggalkan secara total. Meskipun bahasa Arab diajarkan, siswa
tidak memahami bahasa Arab yang digunakan dalam kitab-kitab Islam
klasik. Penguasaan bahasa Inggris dan Arab biasanya karena alasan
praktis. Pesantren Gontor di Ponorogo adalah salah satu contoh dari jenis
pesantren ini. Meskipun mereka berfokus pada penguasaan bahasa Arab
dan Inggris, mereka telah lama meninggalkan pengajaran kitab-kitab Islam
klasik.(Hasan Asari, 2018).
Pesantren-pesantren dengan gaya kekotaan, seperti As-Syafi-iyah
di Jakarta, Pesantren Prof. Dr. Hamka di Padang, dan Zaitun di Indramayu,
menggabungkan gaya kampus kontemporer dengan elemen Islami yang
khas. Dalam lingkungan pesantren yang tidak lagi mengutamakan
pengajaran kitab-kitab kuning, siswa dan mahasiswa dari berbagai jurusan
dapat berbicara satu sama lain (Abdul Halim, Abd. Basyid, 2021).
Sistem pendidikan pesantren memiliki tujuan utama yang
Tampaknya dibuat berdasarkan petunjuk yang ditemukan dalam surat al-
Taubah, di mana dijelaskan bahwa setiap murid harus memiliki tiga ciri.
Pertama, setiap murid harus belajar dan mampu mempelajari agama
(tafaqquh fi al-din). Kedua, setiap murid harus memiliki kemampuan
untuk memberi peringatan kepada orang lain (al-inzar) dan ketiga, setiap
murid harus memiliki kemampuan untuk melindungi dirinya dan
masyarakatnya dari hal-hal yang dapat merusak agama (al-ihzar). (Daulay,
Haidar, 2012).
Selain mengikuti petunjuk al-Qur'an, kalangan pesantren
merumuskan beberapa tujuan pendidikan. Salah satu tujuan tersebut
adalah bahwa pendidikan pesantren tidak hanya bertujuan untuk
memperkaya pengetahuan murid, tetapi juga untuk meningkatkan
moralitas, melatih semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan
kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan
bermoral, serta menyiapkan murid untuk hidup sederhana dan bersih hati.
Setiap murid diajarkan untuk memprioritaskan etika agama di atas etika-
etika lainnya.
Dengan demikian, tujuan pesantren bukanlah untuk mencari
kekuasaan, kekayaan, atau keagungan duniawi. Sebaliknya, fokusnya

6
adalah untuk menanamkan pada para santri bahwa belajar bukan hanya
suatu kegiatan intelektual semata, melainkan juga merupakan kewajiban
dan bentuk pengabdian kepada Tuhan. Pesantren bertujuan untuk
membentuk individu yang tidak hanya cerdas secara pengetahuan, tetapi
juga memiliki karakter moral dan spiritual yang kuat. (Abdul Halim, Abd.
Basyid, 2021).
Pandangan KH Syaifuddin Zuhri tentang pesantren menekankan
bahwa pesantren bukan hanya tempat untuk memperoleh berbagai ilmu
atau melakukan ibadah semata, melainkan tempat di mana diajarkan nilai-
nilai yang mutlak diperlukan oleh seseorang dalam menjalani kehidupan.
Tujuan utama pesantren adalah menghasilkan santri yang berilmu, peka
terhadap kondisi masyarakat, dan menjadi benteng dalam memelihara
agama Tuhan (Zuhairini, 2013).
Unsur-unsur yang ada dalam pesantren meliputi pondok, masjid,
santri, Kyai, dan kitab klasik. Kelima elemen ini menjadi unsur pokok
yang dapat menjelaskan hakikat pesantren dan membedakannya dari
lembaga pendidikan lain. Berikut penjelasan singkat mengenai masing-
masing unsur:
1) Pondok: Dalam konteks tradisi pesantren, pondok merujuk pada
asrama di mana santri tinggal bersama dan mengikuti pembelajaran di
bawah bimbingan Kyai. Area pesantren biasanya dibatasi oleh pagar
sebagai batas dengan masyarakat umum. Konstruksi pondok dapat
bervariasi, didanai melalui berbagai sumber seperti sumbangan
masyarakat, gotong royong santri, atau bantuan dari pemerintah. Kyai
memiliki peran kunci dalam pengembangan dan pengelolaan pondok, dan
setiap pesantren memiliki kapasitas yang berbeda dalam hal mendirikan
pondok.
2) Masjid: Masjid merupakan elemen penting dalam struktur
pesantren, berperan sebagai tempat ideal untuk mendidik dan melatih
santri dalam praktik ibadah, pengajaran kitab-kitab klasik, dan kegiatan
sosial. Secara umum, masjid pesantren dibangun dekat kediaman Kyai dan
menjadi pusat kegiatan spiritual di kompleks pesantren.

3) Kyai: Kyai adalah gelar yang diberikan kepada individu yang


memiliki ilmu dan penguasaan dalam bidang agama Islam. Keberadaan
Kyai sangat vital dalam pesantren, tidak hanya sebagai pemimpin pondok
pesantren, tetapi juga sebagai pengelola dan pendorong perkembangan
pesantren sesuai dengan visi dan misi yang diinginkan. Kyai seringkali
bukan hanya sebagai figur pimpinan, melainkan juga sebagai pemilik
pesantren atau kepala keluarga yang membawa tradisi keilmuan Islam.
4) Santri: Santri adalah para siswa pesantren yang tinggal bersama
di pondok. Mereka belajar di bawah bimbingan Kyai dan mengikuti
kegiatan pendidikan agama Islam. Tujuan santri melibatkan pendalaman
ilmu agama, memberikan peringatan kepada masyarakat, dan berperan
sebagai perisai diri sendiri serta masyarakat terhadap potensi pengaruh

7
yang merusak ajaran agama. Santri juga menjadi tulang punggung dalam
mempertahankan dan meneruskan tradisi keagamaan pesantren.
5) Kitab Klasik: Kitab klasik Islam merupakan materi utama dalam
kurikulum pesantren. Pengajaran kitab-kitab klasik ini menjadi prioritas
utama untuk membentuk pemahaman agama santri. Kitab-kitab ini sering
disebut sebagai "Kitab Kuning" dan menjadi landasan untuk pembelajaran
di pesantren.
Semua unsur ini bersama-sama membentuk identitas dan hakikat
pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional di Indonesia. Kyai
di pesantren tidak hanya berperan sebagai figur orang tua bagi santri,
tetapi juga sebagai teladan yang diikuti dalam segala tindakan dan
perilakunya. Kyai, sebagai pemimpin, pemilik, dan guru utama pesantren,
secara tidak berlebihan dianggap sebagai sosok yang menduduki posisi
tinggi, bahkan dapat diibaratkan sebagai raja di dalam pesantren.
Jumlah santri sebuah pesantren seringkali digunakan sebagai
ukuran kemajuan pesantren. Ketika jumlah santri meningkat, pesantren
dianggap semakin maju. Dua kategori santri adalah Mugim, yang tinggal
di dalam pondok pesantren, dan Kalong, yang tinggal di luar kompleks
pesantren, baik di rumah mereka sendiri maupun di rumah orang-orang di
sekitar mereka. Santri yang belajar dalam satu pondok biasanya memiliki
ikatan kekeluargaan dan solidaritas yang kuat baik antara mereka sendiri
maupun antara mereka dan Kyai mereka.
Situasi sosial di antara para santri di pesantren mengharuskan
adanya sistem sosial yang khusus. Di lingkungan pesantren, santri belajar
untuk hidup dalam masyarakat, berorganisasi, memimpin, dan menjadi
pemimpin. Mereka diwajibkan untuk patuh pada Kyai dan mengambil
contoh dari kehidupannya dalam berbagai aspek, serta bersedia
melaksanakan tugas yang diberikan oleh Kyai. Pesantren unik
dibandingkan dengan institusi pendidikan lainnya karena para santri
tinggal bersama dengan Kyai atau guru mereka dalam kompleks yang
mandiri. Pesantren menciptakan ciri-ciri tertentu, seperti hubungan akrab
antara santri dan Kyai mereka, kesetiaan dan ketaatan santri pada Kyai
mereka, gaya hidup mandiri dan sederhana, semangat gotong royong, dan
kedisiplinan.Pesantren biasanya memiliki fasilitas fisik yang sederhana,
terdiri dari masjid atau langgar sebagai pusat kegiatan, rumah Kyai dan
keluarganya, pondok tempat tinggal santri, dan ruang belajar.

3. Kurikulum Pesantren
Menurut Karel A. Steenbrink, pengamatan terhadap kurikulum
pesantren telah dilakukan sejak akhir abad ke-19. Contohnya, LWC Van
Den Berg, Seorang pakar pendidikan dari Belanda, Van Den Berg,
melakukan pengamatan terkait pendidikan di pesantren. Dalam
wawancaranya dengan para Kyai (pengasuh pesantren), Van Den Berg
menyusun daftar kitab-kitab kuning yang pada masa itu digunakan di
pesantren-pesantren di Jawa dan Madura. Kitab-kitab tersebut, yang
umumnya masih digunakan hingga saat ini, melibatkan berbagai bidang

8
seperti fikih (baik secara umum maupun ibadah), tata bahasa Arab,
Ushuluddin, Tasawwuf, dan Tafsir.
Dari hasil penelitiannya, Van Den Berg menyimpulkan bahwa
kitab-kitab yang digunakan di pesantren pada masa itu sebagian besar
berasal dari zaman pertengahan dunia Islam. Pendekatan terhadap Al-
Qur'an tidak dilakukan secara langsung, melainkan melalui seleksi yang
telah dilakukan oleh kitab-kitab lain, terutama kitab fikih. Temuan ini
menunjukkan adanya pengaruh kuat dari tradisi ilmiah Islam klasik dalam
kurikulum pesantren pada periode tersebut.
Meskipun Islam yang masuk ke Jawa pada masa itu memiliki
pengaruh sufistik, kedudukan tasawwuf dalam daftar buku tersebut relatif
lemah. Kesimpulan utama adalah bahwa studi fikih dan tata bahasa Arab
merupakan profil utama pesantren pada akhir abad ke-19. Dari perspektif
sejarah Islam di Indonesia, orientasi pesantren terhadap studi fikih sudah
dimulai sejak abad ke-17. Perubahan ini dipengaruhi oleh gerakan
"pemurnian" dan "pembauran" yang dimulai pada abad ke-17. Contohnya,
gerakan Padri di Minangkabau terinspirasi oleh gerakan Wahabi di Saudi
Arabia. Gerakan modernis, seperti Kaum Muda, Al-Irsyad,
Muhammadiyah, dan Persis, juga merupakan bagian dari gelombang
pembauran yang signifikan dalam proses tersebut.
Tarekat Naqsyabandiyah, yang lebih berorientasi syari'ah dari pada
tarekat sebelumnya, setidaknya juga ikut berpartisipasi dalam proses
pemurnian dan pembaruan tersebut. Seperti halnya kaum modernis, ulama-
ulama tradisionalis pun tidak ketinggalan memperkuat kedudukan ilmu
Fiqh di Indonesia. Sejak awal abad ke-19, santri-santri Nusantara
memperoleh kesempatan untuk belajar ke Mekkah yang akhirnya menjadi
kelompok ulama yang tangguh. Ulama-ulama besar (yang tradisionalis)
seperti Kyai Nawawi Banten, Kyai Mahfud Termas, Kyai al-Abdul Ghani
Bima, Kyai Arsyad al-Banjar, Kyai Abdul Shomad Palembang, Kyai
Khalil Bangkalan, dan Kyai Hasyim Asy'ari, membawa orientasi baru di
lingkungan pesantren dalam hal pendalaman ilmu fiqh secara tuntas.
Sebagian dari mereka menghasilkan karya-karya fiqh yang hingga
akhir abad ini menjadi rujukan di pesantren-pesantren Jawa dan Madura.
Kyai Nawawi Banten menulis kitab fiqh berupa syarah (komentar)
terhadap karya fiqh Syafi'iyah seperti Nihayat al-Zain, sebuah komentar
terhadap kitab Fath al-Mu'in. Kyai Mahfud Termas menulis kitab Muhibat
zi al-Fadl, yang beraliran Syafi'i, terdiri dari 4 jilid tebal. Kitab ini terbukti
menjadi bacaan yang dihormati oleh para Kyai dan santri-santri senior.
Meskipun pesantren memberikan penekanan pada pelajaran fiqh, mata
pelajaran lainnya juga tidak diabaikan.
Dalam konteks ini, mata pelajaran yang berhubungan dengan ilmu
alat, pembinaan iman, dan akhlak menjadi sangat penting. Pengajaran
bahasa Arab dianggap sebagai ilmu bantu untuk memahami kitab-kitab
agama, sementara pembinaan iman dan moral santri dilakukan melalui
pembelajaran mata pelajaran tauhid dan akhlak. Pendekatan ini
menunjukkan bahwa pesantren tidak hanya menekankan pada aspek

9
keilmuan formal, tetapi juga pada pembentukan karakter dan nilai-nilai
spiritual dalam pendidikan agamanya.Kurikulum tauhid diajarkan kepada
para santri melalui pengajian kitab mulai dari tingkat dasar hingga tingkat
tinggi.
Seorang santri dapat memulai pembelajaran tauhid dengan kitab-
kitab yang memiliki teks sederhana, seperti al-Aqa'id al-Sughra, 'Aqidat
al-Sanusiat, Matn al-Jauharat atau Jauharat al-Tauhid oleh Ibrahim al-
Laqqani, Matn al-Bajuri atau Kifayat al-Awwam oleh Muhammad al-
Fadali, dan Matn al-Kharidat atau al-Kharidat al-Bahiyyat oleh al-Dardir.
Kitab-kitab tersebut pada dasarnya menjelaskan sifat-sifat wajib, mustahil,
dan harus bagi Tuhan, yang sering disebut sebagai sifat dua puluh. Selain
itu, kitab-kitab tersebut juga menjelaskan perbuatan (kasb) manusia secara
singkat, yang secara jelas mengikuti faham Asy'ariah.
Kitab-kitab pedoman yang digunakan sebagai silabi di setiap
pesantren umumnya berbeda, karena penentuan kurikulum dan kitab
pedoman ditetapkan oleh Kyai pengasuh. Meskipun demikian, isi kitab-
kitab tersebut tidak jauh berbeda. Pada pengajian kitab yang lebih tinggi,
digunakan kitab-kitab yang berbasis Asy'ariah dengan penjelasan yang
lebih mendalam, seperti yang dijelaskan dalam kitab-kitab syarah. Kitab-
kitab syarah ini kadang-kadang juga membandingkan faham al-Asy'ari
dengan faham Maturidi dan Mu'tazilah, seperti yang terlihat dalam
pembahasan kitab Tuhfat al-Murid Syarh Jauharat al-Tauhid. Dalam
pengajian semacam ini, Kyai menjelaskan faham Asy'ariah secara lebih
mendalam dan menekankan agar santri mengikuti faham Asy'ariyah, serta
meninggalkan faham Mu'tazilah yang dianggap menyimpang dari ajaran
Islam (Athoillah & Wulan, 2019).
4. Pengertian Ulama
Istilah Ulama Secara bahasa merupakan kata serapan yang disadur
dari bahasa Arab. Kata 'Ulamā' dalam bahasa Arab merupakan bentuk
jamak dari kata 'alīm yang berarti "orang yang berilmu". Meskipun
demikian, hingga saat ini, definisi Ulama secara istilah masih menjadi
subjek perdebatan. Beberapa kalangan akademisi mendefinisikan Ulama
secara umum sebagai mereka yang memiliki pengetahuan yang mendalam,
baik itu pengetahuan keagamaan maupun pengetahuan non-keagamaan
(Mohamad Kamil Ab. Majid, 2015). Ulama adalah mereka yang takut
kepada Allah subhanahu wata'ala, sebagaimana firman-Nya:
… ‫ِإَّن َم ا َي ْخ َش ى َهَّللا ِمْن ِع َب اِدِه اْلُع َلَم اُء ِإَّن َهَّللا َع ِز يٌز َغ ُفوٌر‬
Artinya; “…Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa
lagi Maha Pengampun.” (QS. Fathir: 28)
‫ ِإَّن اَأْلْن ِبَي اَء َلْم ُيَو ِّر ُثوا ِديَن ارًا َو َال ِد ْر َهمًا ِإَّن َم ا‬، ‫ِإَّن اْلُع َلَم اَء َو َر َث ُة اَأْلْن ِبَي اِء‬
‫َو َّر ُثوا اْلِع ْلَم َفَم َن َأَخ َذ ُه َأَخ َذ ِبَح ٍّظ َو اِفٍر‬
Artinya; “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi.
Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka
hanya mewariskan ilmu. Barang siapa mengambil warisan tersebut ia

10
telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Tirmidzi no. 2681; HR.
Ahmad (5/169); HR. Ad-Darimi (1/98); HR. Abu Dawud no. 3641).

Pesantren menjadi tempat yang memberdayakan individu-individu


yang tidak hanya bersemangat dan militan, tetapi juga memiliki tanggung
jawab penuh terhadap tugas dan lingkungannya. Mereka bertanggung
jawab secara menyeluruh, baik secara vertikal maupun horisontal, dalam
upaya membentuk dan memperkuat Indonesia. Pesantren dianggap sebagai
tahapan awal bagi para santri sebelum mereka terlibat secara langsung
dalam medan pertempuran, baik itu dalam konteks konflik zaman dulu
maupun dalam tantangan kekinian. Santri yang mengalami proses
pembelajaran yang intensif di pesantren selama masa karantina umumnya
akan memiliki karakter yang militan, religius, dan bertanggung jawab
terhadap tugas-tugasnya. Oleh karena itu, pesantren dianggap sebagai
tempat yang sangat berperan dalam membentuk para ulama di Indonesia
(Moch Lukluil Maknun, Muhammad Aji Nugroho, 2022).
5. Tokoh ulama di Indonesia
a. Ahmad Dahlan (1869-1923)
Menurut Zuhairini (2013:199), Ahmad Dahlan dilahirkan di
Yogyakarta pada tahun 1869 M dengan nama kecil Muhammad
Darwis. Beliau merupakan putra dari KH. Abu Bakar Bin Kyai
Sulaiman, seorang khatib di Masjid Besar (Jami’) Kesultanan
Yogyakarta. Ibunya adalah putri Haji Ibrahim, seorang penghulu.
Ahmad Dahlan menyelesaikan pendidikan dasarnya di sebuah
Madrasah di Yogyakarta, dengan fokus pada bidang Nahwu, Fiqih, dan
Tafsir.
Pada tahun 1890, Ahmad Dahlan pergi ke Makkah untuk
menuntut ilmu, dan belajar di sana selama satu tahun. Kemudian,
sekitar tahun 1903, beliau kembali ke Makkah dan menetap di sana
selama dua tahun. Cita-cita KH. Ahmad Dahlan sebagai seorang ulama
sangat jelas; beliau ingin memperbaiki masyarakat Indonesia
berdasarkan cita-cita agama Islam. Usaha-usahanya difokuskan pada
pembangunan hidup beragama. Keyakinan beliau adalah bahwa untuk
membangun masyarakat, semangat bangsa harus dibangun terlebih
dahulu. Dalam konteks Serikat Islam, usaha-usahanya ditekankan pada
bidang politik yang berlandaskan cita-cita agama. Sementara
Muhammadiyah menekankan usahanya pada perbaikan hidup
beragama melalui kegiatan pendidikan dan sosial.(M. Hasan, 2015).
b. Hasyim Asy’ari (1871-1947)
Terdapat kesalahan dalam informasi yang diberikan. Menurut
sumber yang diberikan, Hasyim Asy'ari dilahirkan pada tanggal 14
Februari tahun 1871 M. Menurut Zuhairi (2013:202-203), Hasyim
Asy'ari lahir pada tanggal 14 Februari tahun 1871 M di Jombang, Jawa
Timur. Awalnya, ia belajar agama Islam dari ayahnya sendiri.
Selanjutnya, Hasyim Asy'ari melanjutkan pendidikannya di berbagai

11
pondok pesantren, termasuk di Purbalinggo, Plangitan, Semarang,
Madura, dan tempat-tempat lainnya.
Selama belajar di Siwalan Panji (Sidoarjo) pada tahun 1891,
Kyai Ya’kub, yang mengajarnya, tertarik dengan sikap baik dan sopan
santunnya. Kyai Ya'kub ingin mengambil Hasyim Asy'ari sebagai
menantu, dan akhirnya, Hasyim Asy'ari dinikahkan dengan putri Kyai
Ya'kub bernama Khadijah pada tahun 1892. Tak lama setelah itu, ia
pergi ke Makkah bersama istrinya untuk menunaikan ibadah haji,
sementara istrinya meninggal di sana. Jasa KH. Hasyim Asy'ari tidak
hanya terbatas pada pengembangan ilmu di pesantren Tebuireng, tetapi
juga melibatkan keikutsertaannya dalam mendirikan organisasi
Nahdatul Ulama (NU). Ia bahkan menjabat sebagai Syeikhul Akbar
dalam organisasi ulama terbesar di Indonesia. Selain itu, Hasyim
Asy'ari juga memiliki peran penting dalam kepemimpinan MIAI
(Majelis Islam Ala Indonesia), yang kemudian menjadi Masyumi. Dia
juga terlibat aktif dalam berbagai gerakan pemuda dan kelompok,
seperti GPII Muslimat, Hizbullah, Sabilillah, Barisan Mujahidin, dan
lain-lain, di mana ia menjadi penganjur dan penasihat.(Zamaksari
Dhofier, 2020).
c. Azyumardi Azra
Mohammad Hatta Azra, lahir di Lubuk Alung, Sumatra Barat
pada 4 Maret 1955, tumbuh dalam lingkungan keluarga yang memiliki
kedalaman keagamaan. Pendidikan formalnya dimulai saat berusia 9
tahun di sebuah Sekolah Dasar di sekitar rumahnya. Kemudian, ia
melanjutkan pendidikannya di Pendidikan Guru Agama Negeri di
Padang. Hatta Azra dikenal sebagai seorang pemikir yang sangat aktif
dan tidak pernah berhenti untuk berkontribusi dalam mengubah
pemikiran Islam di Indonesia. Dedikasinya yang besar terhadap
pengembangan pemikiran Islam di tanah air tercermin melalui karya-
karya cemerlangnya, baik berupa tulisan artikel dan esai yang
dipublikasikan di berbagai media massa maupun melalui sejumlah
buku yang telah ia terbitkan.(Mahrus, 2011).
d. Hamka
Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang lebih dikenal dengan
julukan Hamka, lahir di desa Kampung Molek, Maninjau, Sumatera
Barat, pada 17 Februari 1908. Hamka merupakan seorang sastrawan
Indonesia, ulama, dan aktivis politik. Pendidikan rendahnya ditempuh
di SD Maninjau. Pada usia 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera
Thawalib di Padang Panjang, di mana Hamka mulai mempelajari
agama dan mendalami bahasa Arab.

C. METODOLOGI PENULISAN
Penulisan ini menjelaskan pesantren sebagai identitas islam dan pencetak
ulama di indonesia yaitu melihat dan mengkaji literatur. Penulisan ini disusun
dengan studi literatur dengan metode content analysis (Hamzah, 2019). Dimana
sejumlah literatur dan segala materi yang berkaitan dibahas dan dianalisis demi

12
mendapatkan penjelasan tentang pesantren sebagai identitas islam dalam
mencetak ulama di Indonesia.
D. PEMBAHASAN
1. Pesantren sebagai Identitas Islam
Sebelum tahun 1960-an, pusat-pusat pendidikan pesantren di
Indonesia lebih dikenal dengan sebutan "pondok." Istilah "pondok"
mungkin berasal dari konsep asrama tempat tinggal para santri yang
terbuat dari bambu, atau dapat juga berasal dari kata Arab "funduq," yang
merujuk pada hotel atau asrama. Pandangan serupa diungkapkan oleh
Manfred Ziemek, yang mengutip pendapat Prasodjo S., bahwa istilah
"pondok" (kamar, gubuk, rumah kecil) digunakan dalam bahasa Indonesia
untuk menyoroti kesederhanaan struktur bangunan pesantren.
Kemungkinan lainnya adalah bahwa "pondok" berasal dari kata Arab
"funduq" yang memiliki arti ruang tidur, tempat menginap, atau hotel
sederhana (Zamaksari Dhofier, 2020).
Dari penjelasan ini, istilah "pondok" merujuk pada tempat tinggal
sederhana bagi santri yang sedang mempelajari Islam. Kata "pesantren"
sendiri berasal dari gabungan kata "santri," dengan awalan "pe" di depan
dan akhiran "an," yang secara harfiah mengartikan sebagai tempat tinggal
para santri. Profesor Johns, sebagaimana dikutip oleh Zamakh-sari
Dhofier, menyatakan bahwa istilah "santri" kemungkinan berasal dari
bahasa Tamil yang artinya guru mengaji. Di sisi lain, C.C. Berg, yang juga
dikutip oleh Dhofier, berpendapat bahwa asal-usul istilah tersebut dapat
ditelusuri ke "shastri" dalam bahasa India yang merujuk pada seseorang
yang memahami buku-buku suci Agama Hindu atau seorang sarjana ahli
kitab suci Agama Hindu.
M. Chaturverdi dan BN Tiwari, yang juga dikutip oleh Dhofier,
menjelaskan bahwa kata "Shastri" berasal dari "shastra" yang berarti buku-
buku suci, literatur agama, atau karya ilmiah tentang pengetahuan.
Beberapa sarjana berpendapat, termasuk Sangkot Nasution (2017), bahwa
dari asal-usul kata "santri," lembaga pesantren pada dasarnya adalah
lembaga pendidikan keagamaan di Indonesia saat masih menganut agama
Hindu-Buddha yang dikenal sebagai "mandala" dan kemudian diislamkan
oleh para kyai. Dengan berbagai pandangan ini, dapat diinterpretasikan
bahwa istilah "pondok" dan "pesantren" memiliki makna serupa, yaitu
sebagai tempat belajar para santri, sementara "santri" yang berasal dari
"shastri" mengacu pada guru agama atau seseorang yang ahli dalam
memahami kitab suci dan ilmu agama.
Ziemek mengutip pendapat Hamid A. bahwa pesantren dapat
diartikan sebagai "tempat pendidikan manusia yang baik-baik" karena
kadang-kadang ikatan kata "sant" (manusia baik) dihubungkan dengan
suku kata "tra" (suka menolong). Menurut Geertz, yang dikutip oleh
Ziemek, kata "santri" mungkin berasal dari kata Sanskerta "Shastri",
seorang ilmuwan Hindu yang pandai menulis, yang memiliki arti yang
sempit dan luas dalam bahasa modern. Arti yang sempit adalah "seorang
pelajar sekolah agama yang disebut pondok atau pesantren", sedangkan

13
arti yang luas dan lebih umum adalah "santri" yang merujuk pada seorang
anggota bagian penduduk Jawa yang benar-benar menganut.
Kareel A. Steenbrink berpendapat bahwa pendidikan pesantren
berasal dari India dalam hal bentuk dan sistemnya. Sistem ini umumnya
digunakan untuk mengajar dan mendidik orang Hindu di Jawa sebelum
Islam masuk dan menyebar di sana. Kemudian, Islam menggunakannya
setelah Islam masuk dan menyebar di sana. Seperti halnya "mengaji" atau
"pesantren", istilah-istilah seperti "pondok" (Jawa), "langgar" (Jawa),
"surau" (Minangkabau), dan "rangkang" (Aceh) tidak berasal dari bahasa
Arab, tetapi dari bahasa India. Secara garis besar, ada dua pendapat
tentang bagaimana pesantren didirikan sebagai lembaga pendidikan Islam,
menurut Ramayulis. Pertama dan terpenting, pesantren adalah lembaga
pendidikan Islam yang bermula dari tradisi Islam.
Pendapat ahli, seperti yang dikutip oleh Zamakhsari Dhofier dan
Kareel A. Steenbrink, menyimpulkan bahwa pesantren memiliki dua
kemungkinan asal-usul. Pertama, pesantren lahir dari pola kehidupan
tasawuf, yang kemudian berkembang di wilayah Islam seperti Timur
Tengah dan Afrika Utara yang dikenal dengan sebutan Zawiyat. Kedua,
pesantren dianggap sebagai kelanjutan dari tradisi Hindu-Budha yang telah
mengalami proses islamisasi. Ahli berpendapat bahwa ada hubungan
antara kata "pesantren" dengan kata "shastri" dari bahasa Sanskerta.
Sebagaimana diutarakan oleh beberapa ahli, seperti Zamakhsari
Dhofier dan Kareel A. Steenbrink, terdapat perbedaan pendapat dalam
memahami asal-usul pesantren. Pendapat pertama menekankan faktor latar
belakang sejarah, sementara pendapat kedua lebih mengarahkan
tinjauannya kepada asal-usul kata. Meskipun demikian, keduanya tidak
membantah bahwa pesantren sudah ada di Nusantara sebelum kedatangan
bangsa Eropa pada sekitar abad XVI. Pendapat yang lebih mendukung
adalah pendapat kedua, yang menyatakan bahwa asal-usul pesantren
sebagai institusi pendidikan Islam merupakan hasil dari proses islamisasi
dari tradisi Hindu-Budha oleh para kyai. Contohnya, para Wali Songo
melakukan islamisasi budaya Hindu-Budha yang telah berkembang dan
mengakar dalam lapisan masyarakat Indonesia, seperti tradisi sekaten,
wayang, dan lain sebagainya.
Menurut Haedari dan rekan-rekannya, secara etimologis, kata
"tradisional" berasal dari kata dasar "tradisi," yang merujuk pada tatanan,
budaya, atau adat yang hidup dalam sebuah komunitas masyarakat. Dalam
konteks pesantren, "tradisional" diartikan sebagai konsensus bersama yang
harus dijunjung tinggi dan ditaati oleh suatu komunitas masyarakat
setempat. Kata "tradisional" juga mencerminkan peninggalan kebudayaan
klasik, kuno, dan konservatif. Pesantren, sebagai salah satu bentuk
pendidikan Islam tradisional, menjunjung tinggi dan melestarikan tradisi,
budaya, dan tatanan kehidupan Islami dalam proses pendidikan santrinya.
Meskipun demikian, seiring perkembangan zaman, beberapa tradisi
pesantren, seperti pola hidup sederhana, dapat mengalami perubahan di
beberapa pesantren modern. Beberapa pesantren modern bahkan

14
menyediakan fasilitas yang lebih baik dan kenyamanan hidup bagi santri,
menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman. Meskipun begitu, pola-pola
khas tersebut masih menjadi ciri khas pesantren tradisional yang
mempertahankan nilai-nilai dan tradisi Islam.Penulis menyatakan bahwa
metode pembelajaran di pesantren seperti sorogan, bandongan, atau
wetonan perlu direkonstruksi dengan mengembangkan budaya kritis bagi
santri. Budaya kritis ini dianggap penting untuk membudayakan sikap
kritis dan santun dalam menyampaikan pendapat, sehingga santri tidak
hanya menerima begitu saja apa yang disampaikan oleh kyai-nya. Budaya
kritis ini juga diharapkan dapat melatih santri untuk menjadi progresif
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, mencegah kejumudan berpikir,
dan menjadikan santri sebagai solusi atas permasalahan masyarakat
modern.
Dalam masyarakat tradisional, seseorang dapat diakui sebagai kyai
karena diterima oleh masyarakat, yang datang untuk meminta nasehat atau
mengirimkan anaknya belajar kepada kyai. Tidak ada kriteria formal untuk
menjadi kyai, dan gelar ini lebih diberikan oleh masyarakat berdasarkan
pengetahuan agama, kesalehan, keturunan, jumlah murid, dan pengabdian
kepada masyarakat. Gelar kyai bukan hasil dari pendidikan formal,
melainkan diberikan oleh masyarakat karena kepercayaan terhadap
kompetensi kyai dalam menyebarkan ajaran Islam dan pengembangan
ilmu agama di pesantren. Kyai dianggap sebagai orang yang paling tahu
tentang ajaran Islam, sehingga masyarakat sering meminta fatwa atau
nasihat tentang berbagai persoalan keagamaan dan kehidupan sehari-hari
kepada kyai (Sadali, n.d.).
2. Pesantren sebagai Pencetak Ulama di Indonesia
Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional,
menghadapi tantangan besar di era modern. Tantangan ini mencakup
pergeseran paradigma dalam menjalankan fungsi pesantren, khususnya
terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Nurcholish
Madjid, seorang intelektual Muslim, menyoroti bahwa pesantren berada di
persimpangan antara melanjutkan fungsinya sebagai lembaga pendidikan
keagamaan saja atau ikut serta dalam pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, yang merupakan ciri utama abad ini. Seiring perubahan
paradigma ini, pesantren perlu merumuskan kembali visi dan misinya.
Terdapat pemahaman fungsional di kalangan pesantren yang mengklaim
tugas utamanya adalah mencetak ulama, dan urusan ilmu pengetahuan
dapat menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan lain. Namun, hal ini
menjadi sebuah beban dan tuntutan bagi pesantren untuk mengkaji
kembali perannya dalam menghadapi perkembangan zaman.
Reaksi negatif terhadap modernitas, yang sering dianggap sebagai
westernisasi, muncul di kalangan pesantren. Beberapa melihat modernitas
sebagai ancaman terhadap nilai-nilai Islam dan kultur tradisional. Namun,
dalam menghadapi modernitas, sikap terbuka dianggap sangat penting.
Nurcholish Madjid menekankan bahwa Islam sebagai agama terbuka, dan
sikap keterbukaan inilah yang dapat membawa kemajuan. Melalui sikap

15
terbuka, umat Islam dapat mengadopsi perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi tanpa kehilangan identitas dan nilai-nilai keagamaan.
Dalam konteks modernitas, sikap terbuka menjadi kunci
keberhasilan pesantren. Pesantren perlu mempertimbangkan pendekatan
yang lapang terhadap ilmu pengetahuan umum, sejalan dengan semangat
keterbukaan Islam dalam sejarah klasik. Meskipun masih terdapat
dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum di beberapa pesantren,
banyak dari mereka telah melakukan perubahan bertahap dan mengambil
langkah-langkah menuju modernisasi sistem dan lembaga pesantren. Ini
dilakukan untuk tetap relevan dalam menghadapi perubahan masyarakat
dan tuntutan zaman, sambil mempertahankan nilai-nilai positif dari sistem
pendidikan Islam tradisional.(Sangkot Nasution, 2017).
Pada abad ke-18, pesantren memiliki peran penting dalam
menyebarkan ajaran Islam di masyarakat Indonesia. Proses pendirian
pesantren sering melibatkan "perang nilai" dengan masyarakat sekitar,
tetapi melalui dukungan masyarakat, pesantren berhasil diterima dan
bahkan menjadi panutan dalam kehidupan masyarakat. Pesantren tidak
hanya berfungsi sebagai pusat pendidikan agama, tetapi juga dapat
memberikan kontribusi ekonomi dan memakmurkan masyarakat di
sekitarnya. Tradisi pesantren merupakan kerangka sistem pendidikan
Islam tradisional di Indonesia. Meskipun ada banyak kumpulan karangan
tentang pesantren yang ditulis oleh intelektual Islam Indonesia, belum
banyak yang membahas pesantren secara menyeluruh dalam konteks
struktur sosial, keagamaan, dan politik masyarakat Islam di pedesaan di
Jawa.
Pesantren memainkan peran kunci dalam penyebaran Islam dan
penguatan ketaatan masyarakat terhadap Islam di Jawa. Lembaga-lembaga
pesantren memiliki pengaruh besar terhadap karakter ke-Islaman kerajaan-
kerajaan Islam dan memegang peran sentral dalam penyebaran Islam
hingga pelosok daerah. Pengaruh pesantren juga terlihat dalam penulisan
manuskrip tentang pengajaran Islam di Asia Tenggara, yang dikumpulkan
oleh para penjelajah pertama dari perusahaan dagang Belanda dan Inggris.
Sejak akhir abad ke-16, lembaga-lembaga pesantren menjadi fokus
penting dalam pemahaman sejarah Islamisasi di wilayah Indonesia. Kyai,
pemimpin pesantren, memiliki peran sentral dalam mengembangkan
ajaran dan pengaruhnya melalui pengajaran di pesantren. Hubungan
pesantren dengan pejabat setempat juga sangat erat, menciptakan jaringan
yang mendukung penyebaran nilai-nilai Islam dalam masyarakat.
Kiprah kyai dalam menumpas para perusuh pada masa tersebut
mendapat perhatian besar dari pejabat setempat hingga raja. Raja-raja
sering mengirim putra-putrinya untuk belajar pada kyai tertentu, dan
sebagai bentuk penghormatan, pesantren sering dibebaskan dari pajak
tanah. Kyai pada masa itu terkenal dengan kesaktiannya, dan para raja
sering meminta bantuan kyai ketika menghadapi ancaman atau kekacauan.
Contoh konkret adalah permintaan bantuan kepada Kyai Agung
Muhammad Besari oleh Pakubuwono untuk menghalau musuh.

16
Pengaruh adat Hindu di mana posisi biksu mendapatkan kasta
tertinggi juga memengaruhi pandangan masyarakat Jawa terhadap kyai
dan santri. Orang-orang di pesantren, baik kyai maupun santri, dianggap
mendapatkan tempat tinggi dalam stratifikasi sosial. Bahkan, para raja
sering menikahkan anak-anak mereka dengan kyai terkenal,
menggabungkan dua strata tertinggi dalam masyarakat. Misalnya, Kiai
Kasan Besari menjadi menantu Pakubuwono II.
Meskipun kehidupan di pesantren pada waktu itu bersifat asketis,
peran pesantren sangat luar biasa pada masa penjajahan. Pesantren jarang
berkompromi dengan penjajahan, dan banyak dari mereka memainkan
peran penting dalam perlawanan dan pergerakan nasionalis melawan
penjajah. Pesantren selalu menjadi basis perjuangan mengusir penjajahan,
tempat berkumpul pemuda yang ingin maju ke medan pertempuran untuk
melakukan "isian dan gemblengan." Selama perjuangan kemerdekaan,
ulama dan kyai sering menjadi pahlawan yang dihormati, dan beberapa
mitos bahkan muncul, seperti sosok Kiai Seibi Angin di balik perjuangan
heroik Jaka Sembung.
Pada akhir abad ke-19, pesantren mengalami perkembangan pesat,
terutama karena sikap non-kooperatif ulama terhadap kebijakan "politik
etis" pemerintah kolonial Belanda. Sikap non-kooperatif ini tercermin
dalam pendirian pesantren di daerah-daerah terpencil untuk menghindari
intervensi pemerintah kolonial dan memberikan kesempatan pendidikan
kepada masyarakat yang belum terjangkau. Sebagai lembaga pendidikan
yang memiliki sejarah panjang, pesantren dikenal sebagai tempat
pendidikan terbuka untuk seluruh lapisan masyarakat. Pada periode
tertentu, pesantren tidak hanya mengajarkan agama tetapi juga
menyediakan pendidikan umum. Ini menjadikan pesantren sebagai
alternatif terhadap sistem pendidikan kolonial yang lebih ditujukan untuk
kalangan elit. Dalam sejarahnya, pesantren aktif melawan budaya,
ideologi, dan politik yang dianggap dapat merusak keyakinan mereka.
Pendiri Nahdatul Ulama yang dipelopori oleh para tokoh pesantren
mencerminkan sikap perlawanan terhadap pengaruh budaya dan ideologi
yang dianggap merusak. Pesantren juga menghadapi konflik dengan
gerakan komunis pada suatu waktu, dianggap sebagai ancaman terhadap
keberagamaan masyarakat Indonesia. Pada masa menjelang kemerdekaan,
pesantren menolak budaya "saikere," tindakan membungkuk sembilan
puluh derajat sebagai penghormatan terhadap matahari yang diimpor oleh
Jepang sebagai lambang kekuasaannya.
Perlawanan pesantren terhadap berbagai bentuk pengaruh asing
mencerminkan keteguhan sikap mereka dalam mempertahankan nilai-nilai
keagamaan dan kultural. Selama masa ini, terjadi penangkapan terhadap
tokoh agama terkenal seperti KH. Hasyim Asy'ari. Analisis terhadap
hubungan pesantren dengan masyarakat sekitarnya menunjukkan bahwa
keterlibatan pesantren, ulama/kiai, dan santri sangat erat dengan
masyarakat sekitarnya. Tradisi pesantren juga melibatkan kehidupan di
luar pesantren, seperti undangan dari masyarakat kepada kiai untuk

17
menghadiri acara tertentu atau alumni pesantren yang menyebar ke daerah-
daerah untuk menyebarkan ilmu yang mereka peroleh di pesantren. Acara-
agara keagamaan seperti peringatan maulid Nabi, Nuzul al-Qur'an,
walimah al-ursy, pengajian, dan lainnya menjadi momen di mana kiai,
pesantren, dan santri saling terlibat, memberikan pengaruh besar dalam
masyarakat.
Tidak jarang, masyarakat memberikan dukungan finansial, seperti
sumbangan sukarela, infaq, waqaf, dan amal jariyah lainnya, untuk
mendukung perkembangan pesantren karena cinta mereka terhadap
lembaga ini. Dalam menghadapi modernisasi pendidikan Islam dan
perubahan sosial ekonomi, sebagian pesantren telah merespons dengan
melakukan pembaruan, termasuk pembaruan isi pendidikan dengan
memasukkan mata pelajaran umum dan keterampilan, pembaruan
metodologi, kelembagaan, dan fungsi pesantren.
Di era modern ini, pesantren tidak hanya dituntut untuk berperan
sebagai tokoh publik, tetapi juga diharapkan memiliki keterampilan
khusus. Modernitas, yang pada dasarnya merupakan produk Barat,
memberikan dampak yang signifikan. Perubahan telah terjadi di berbagai
sektor, termasuk dunia pesantren, dan pesantren diharapkan menjadi
alternatif dalam pembangunan yang berfokus pada masyarakat dan nilai-
nilai (people-centered development dan value-oriented development) (Z,
2012)..

E. KESIMPULAN
Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki akar dalam
tradisi Islam Indonesia, memainkan peran integral dalam membentuk identitas
keislaman dan mencetak ulama yang berperan penting dalam masyarakat. Selain
menjadi tempat untuk memperdalam pengetahuan agama, pesantren juga
berfungsi sebagai pusat pembentukan karakter dan kepemimpinan. Para santri
tidak hanya mendapatkan pendidikan formal, tetapi juga terlibat dalam kehidupan
sehari-hari yang penuh dengan nilai-nilai etika, solidaritas, dan tanggung jawab
sosial. Dalam kurun waktu yang panjang, pesantren telah melahirkan banyak
ulama terkemuka yang tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga memiliki
kemampuan untuk menghubungkan nilai-nilai Islam dengan konteks kehidupan
sehari-hari.
Selain peran utamanya sebagai lembaga pendidikan, pesantren juga
memiliki dimensi sosial dan kultural yang tidak dapat diabaikan. Mereka menjadi
penjaga tradisi Islam dan perekat kebhinekaan di Indonesia. Pesantren seringkali
membuka pintu bagi santri dari berbagai latar belakang etnis, sosial, dan ekonomi,
menciptakan lingkungan inklusif yang mencerminkan ajaran Islam tentang
persaudaraan dan kesetaraan. Dalam konteks keberagaman masyarakat Indonesia,
pesantren berperan sebagai simbol persatuan, di mana budaya lokal dan keislaman
bersatu dalam harmoni.
Dengan demikian, pesantren tidak hanya menjadi tempat mencetak ulama,
tetapi juga menjadi katalisator untuk memperkuat identitas Islam yang kaya,

18
toleran, dan berkembang di Indonesia. Meskipun dihadapkan pada tantangan
modernisasi, pesantren tetap relevan sebagai wadah pendidikan yang
menggabungkan nilai-nilai tradisional dengan kebutuhan zaman. Sebagai lembaga
yang melampaui batas pendidikan formal, pesantren menjadi salah satu elemen
kunci dalam membangun masyarakat yang berlandaskan pada nilai-nilai
keislaman dan kebhinekaan.

REFERENSI

Abdul Halim, Abd. Basyid, P. P. (2021). Religious Identity Transformation:


Cultural Interbreeding Between Dayak Indigenous Culture and Islam.
Journal of Indonesian Islam, 15.
https://jiis.uinsby.ac.id/index.php/JIIs/article/view/1738
Abdurrahman Zain. (2017). PENGARUH PENGETAHUAN SANTRI TENTANG
PERBANKAN SYARIAH TERHADAP MINAT MEMILIH PRODUK BANK
SYARIAH ( Studi Kasus Santri Pondok Pesantren Modern Ummul Quro Al-
Islami ). UIN SYARIF HIDAYATULLAH.
Achmad Kemal Riza. (2011). Contemporary Fatawa Of Nahdlatul Ulama:
Between Observing the Madhhab and Adapting the Context. Journal of
Indonesian Islam, 5. https://jiis.uinsby.ac.id/index.php/JIIs/article/view/80/80
Athoillah, M. A., & Wulan, E. R. (2019). Transformasi Model Pendidikan Pondok
Pesantren di Era Revolusi Industri 4.0. Prosiding Seminar Nasional, 2.
https://doi.org/Vol 2 (2019): Prosiding Nasional: Bargaining Pesantren di Era
Revolusi Industri 4.0
B.J Marwoto. (2009). Kamus Latin Populer. Kompas Media Nusantara.
Darwis, D. (2016). Dinamika Pendidikan Islam: Sejarah Ragam dan
Kelembagaan. Rasail.
Daulay, Haidar, P. (2012). Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia. Perdana
Publishing.
Hamzah, A. (2019). Metode Penelitian Kepustakaan. Literasi Nusantara.
Hanun Asrohah. (2011). Responses toward Modernity and Mechanism The
Dynamics Of Pesantren in Organizing Transformation. Journal of
Indonesian Islam, 5. https://jiis.uinsby.ac.id/index.php/JIIs/article/view/81
Hasan Asari. (2018). Sejarah Pendidikan Islam. Perdana Publishing.
Hidayat, R. (2004). Ilmu Pendidikan Islam (Issue 1). Perdana Publishing.
Ihsan Harun. (2018). Pondok Pesantren Modern: Politik Pendidikan Islam Dan
Problematika Identitas Muslim. Jurnal As-Salam, 2, 54.
https://doi.org/10.37249/as-salam.v2i1.9
Imam Subhi. (2014). Rekonstruksi Pendidikan Pesantren Dalam Pembentukan
Kader Ulama. Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, 1, 120.
https://scholar.google.com/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=pesantren+sebagai+pencetak+ulama&btnG
J. Pedersen. (2012). Fajar Intelektualisme Islam: Buku dan sejarah Penyebaran
Informasi di Dunia Arab, terj. Alwiyah Abdurrahman. Mizan.

19
Jajat Burhanudin. (2022). Two Islamic Writing Traditions in Southeast Asia:
Kitab Jawi and Kitab Kuning with Reference to the Works of Da’ud al-
Fatani dan Nawawi al-Bantani. Al-Jamiah: Journal of Islamic Study, 60.
https://doi.org/10.14421/ajis.2022.601.1-28
Khoirun Niam. (2017). Nahdlatul Ulama And The Production Of Muslim
Intellectuals In The Beginning Of 21st Century Indonesia. Journal of
Indonesian Islam, 11. https://jiis.uinsby.ac.id/index.php/JIIs/article/view/555
Lubis, S. A. (2007). Konseling Islami Kyai dan Pesantren. eLSAq Press.
M. Hasan. (2015). Perkembangan Pendidikan Pesantren di Indonesia. Pendidikan
Islam, 1, 55.
Mahrus, S. K. (2011). Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Ar-Ruzz Media.
Moch Lukluil Maknun, Muhammad Aji Nugroho, Y. L. (2022). Kontribusi Ulama
Nusantara Terhadap Keilmuan Islam Di Indonesia; Studi Kasus Inventarisasi
Manuskrip Ponpes Tremas Dan Tebuireng. Jurnal Muslim Heritage, 7, 112.
https://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/muslimheritage/article/view/
3625/2134
Mohamad Kamil Ab. Majid. (2015). Ulama Dan Perubahan Sosial Dalam Islam.
Jurnal Ushuluddin, 1(10), 81.
Muammar Kadafi Siregar. (2018). Pondok Pesantren Antara Misi Melahirkan
Ulama Dan Tarikan Modernisasi. Jurnal Pendidikan Agama Islam Al-
Thariqoh, 3, 24. https://doi.org/10.25299/althariqah.2018.vol3(2).2263
Muh. Saerozi. (2014). Historical Study On The Changes Of Religious And Moral
Education In Indonesia. Journal of Indonesian Islam, 8.
https://jiis.uinsby.ac.id/index.php/JIIs/article/view/142
Musawar. (2021). Khilāfah in the View of Nahdhatul Ulama (NU),
Muhammadiyah, and Nahdhatul Wathan (NW) Ulema in Lombok. Al-
Jamiah: Journal of Islamic Study, 59.
https://aljamiah.or.id/index.php/AJIS/article/view/59203
Penyusun, T. (2008). Kamus Bahasa Arab. Pusat Bahasa.
Rohmatulloh. (2022). Gus Baha, Santri Gayeng, And The Rise Of Traditionalist
Preachers On Social Media. Journal of Indonesian Islam, 16.
https://jiis.uinsby.ac.id/index.php/JIIs/article/view/3198
Roihan, M. (2016). Pendidikan Islam di Pesantren.
Sadali. (n.d.). Eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan islam. 53–70.
Sangkot Nasution. (2017). Pesantren Sebagai Bentuk Identitas Pendidikan Islam.
Jurnal Pendidikan Islam, 2, 67.
Suwito dan Fauzan. (2012). Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Kencana.
Yasmadi. (2020). Modernisasi Pesantren. Ciputat Press.
Z, A. (2012). Perkembangan Pesantren di Indonesia. Jurnal Pendidikan Agama
Islam, 1.
Zainal Arifin. (2012). Perkembangan Pesantren Di Indonesia. Jurnal Pendidikan
Agama Islam, 9, 78.
https://ejournal.uin-suka.ac.id/tarbiyah/jpai/article/view/3808
Zamaksari Dhofier. (2020). Tradisi Pesantren (Studi Tentang Pandangan Hidup
Kyai). LP3ES.
Zuhairini. (2013). Sejarah Pendidikan Islam. Bumi Aksara.

20
21

Anda mungkin juga menyukai