Anda di halaman 1dari 16

  Pesantren Sekolah Elite, Oleh: A.

Jauhar Fuad

PESANTREN SEKOLAH ELITE

Oleh:
A. Jauhar Fuad*

Abstrak, Pesantren adalah suatu tempat yang tersedia untuk


para santri dalam menerima pelajaran-pelajaran agama Islam
sebagai tempat berkumpul dan tempat tinggalnya. Dalam
tulisan ini pesantren didefinisikan sebagai suatu tempat
pendidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran
agama Islam dan didukung asrama sebagai tempat tinggal
santri yang bersifat permanen.
Kata ‘elite’ adalah sebuah kata Perancis, yang berasal dari
kata Latin eligere, yang berarti ‘yang terpilih’. Dengan
konotasi positif timbul penghargaan, pujian.
Pesantren sebagai sekolah elite, secara harfiah ataupun elit
secara subtansial. Elit secara harfiah adalah pilihah/terpilih,
di pesantran harus benar-benar anak yang terpilih baik secara
mental, spiritual dan jasmani. Terpilih secara intelektual, ada
beberapa pesantren yang menerapakan seleksi bagi santrinya
misal pesantren Lirboyo, dan pesantren Gontor. Pesantren
juga sekolah elite secara subtasial, karena menurut sesuai
dengan ciri sekolah elite.

Kata Kunci, pesantren, sekolah elite.

Pendahuluan
Pesantren sebagai lembaga dakwah islamiyah yang memiliki
persepsi yang plural. Pesantren dapat dipandang sebagai lembaga
ritual, lembaga pembinaan moral, lembaga dakwah dan yang paling
penting sebagai institusi pendidikan Islam yang mengalami
konjungtur dan romantika kehidupan dalam menghadapi tantangan
internal maupun ekternal.1
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren dari awal berdirinya
hingga sekarang tetap eksis, menawarkan pendidikan kepada mereka

*
Dosen Tetap Fakultas Tarbiyah IAIT Kediri
1
Mujamil Qomar, Mukodimah, Pesantren: Dari Transformasi Metodologi
Menuju Demokrasi Institusi,(Jakarta: Erlangga, tt), h. viii.

Jurnal Tribakti, Volume 21, Nomor 2, Juli 2010 1 


  Pesantren Sekolah Elite, Oleh: A. Jauhar Fuad

yang masih buta huruf. Pesantren menjadi instistusi satu-satu yang


menjadi milik masyarakat pribumu yag memberikan kantribusi besar
dalam membentuk masyarakat melek huruf (literacy) dan melek
budaya (cultural literacy). Kanstribusi pesantren dalam sistem
pendidikan di Indonesia; melestarikan dan melanjutkan sistem
pendidikan rakyat; (2) mengubah sistem pendidikan aristokratis
menjadi sistem pendidikan demokratis.2
Pesantern merupakan lembaga pendidikan Islam paling otonom
yang tidak dapat di intervesi pihak-pihak manapun kecuali kiai.
Kiailah yang mewarnai semua bentuk kegiatan pesantren sehingga
menimbulkan perbedaan yang beragam sesuai selaranya masing-
masing. Variasi bentuk pendidikan ini juga yang diakibatkan
perbedaan kondisi sosi-kultural masyarakat yang mengelinginya.
Keunikan inilah yang menimbulkan kemenarikan dikalangan
pengamat. Dari sudut esensinya yang dikaitan dengan konsisi sosio-
kultural masyarakat, pesantren sebagai ‘subkultur’dalam pengertian
gejala yang unik dan terpisah dari dunia luar,3 dan pesantren sebagai
“institusi kultural”.4
Pesantren dengan keunikanya dapat dipandang dan disejasarkan
dengan sistem pendidikan yang lain. Bahkan keunikan yang ada dalam
sistem pendidikan pesantern memiliki kesamaan dengan sistem yang
dikembangkan pada sekolah-sekolah elite. Maka tidak dapat
dipungkiri bahwa pesantren sejajar dengan sekolah-sekolah elite yang
ada, terlebih jika dipandang pesantren telah melahirkan banyak tokoh
besar.

Pesantren
Pesantren menurut kamus berarti “asrama tempat santri atau
tempat murid-murid belajar mengaji…”.5 Pesantren menurut
pengertian dasarnya adalah “tempat belajar para santri”. Ada beberapa
istilah yang ditemukan dan sering digunakan untuk menunjuk jenis

2
Jalaluddin, kapita Selekta Pendidian, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), h.9.
3
Abdurahman Wahid, “Pesantren Sebagai Sumbkutur” dalam M. Dawan
Rahardjo (ed), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1995), h. 39-60.
4
Hadimulyo, “Dua Pesantren dua Wajah Budaya” dalam M. Dawan
Rahardjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, (Jakarta:
LP3ES, 1995), h. 55; dan Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi,
(Bandung: Mizan, 1991), h.247.
5
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dabanga Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 878

2 Jurnal Tribakti, Volume 21, Nomor 2, Juli 2010


pendidikan Islam tradisional khas Indonesia atau yang lebih terkenal
dengan sebutan pesantren.6
Akar kata pesantern berasal dari kata “santri”7, yaitu istilah
awalnya yang digunakan bagi orang-orang yang menuntut ilmu agama
di lembaga pendidikan tradisional Islam. Kata “santri” mendapat
awalan “pe” dan akhiran “an”, yang berarti tempat para santri
menuntut ilmu.8
Abu Hamid menganggap bahwa perkataan pesantren berasal
dari bahasa Sanskerta.9 Beral dari kata sant yang berarti orang yang
baik, dan disambung dengan kata tra yang berarti menolong.
Sedangkan pesantren berarti tempat untuk membina manusia menjadi
orang baik.10
Adapun pengertian secara terminologi, dapat dikemukakan
beberapa pendapat yang mengarah pada definisi pesantren. Pesantren
secara teknis, a place where santri (student) live, dan “the word
pesantren stems from “santri” which means one who seeks Islamic
knowledge. Usually the word pesantren refers to a place where the
santri devotes most of his or her time to live in and acquire
knowledge”.11 Kata pesantren berasal dari “santri” yang berarti orang
yang mencari pengetahuan Islam, yang pada umumnya kata pesantren

6
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup
Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 18.
7
Santri memeliki arti sempit dan luas. Pengrtian sempit, santri adalah
seorang pelajar sekolah agama, sedangkan pengertian yang lebih luas, santri
mengacu kepada seorang anggota bagian penduduk Jawa yang menganut Islam
dengan sungguh-sungguh menjalankan ajaran Islam, sholat lima waktu dan shalat
jum’at. Clifford Greertz, Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masayarakat Jawa.
Terjemahan aswab Mahasin dari The Religion of Java. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983),
h. 268
8
Ali Anwar, Pembaharuan Pendidikan di Pesantren Lirboyo, (Kediri: IAIT
Press, 2008), h. 22.
9
Bahasa kesusastratan Hindu Kuno. Baca Tim penyusun kamus, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, h. 878.
10
Abu Hamid, “Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi
Selatan” dalam Taufik Abdullah (Ed), Agama Perubahan Sosial, (Jakarta: Rajawali
Pers, 1983), h. 328
11
Abdurrahman Mas’ud, “Sejarah dan Budaya Pesantren” dalam Ismail
S.M. (Ed.), Dinamika Pesantren dan Madrasah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002),
h. 23; Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi,
(Yogyakarta: LKiS, 2004).

Jurnal Tribakti, Volume 21, Nomor 2, Juli 2010 3 


mengacu pada suatu tempat, di mana santri menghabiskan kebanyakan
dari waktunya untuk tinggal dan memperoleh pengetahuan.12
Pesantren adalah suatu tempat yang tersedia untuk para santri
dalam menerima pelajaran-pelajaran agama Islam sebagai tempat
berkumpul dan tempat tinggalnya.13 Dalam tulisan ini pesantren
didefinisikan sebagai suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang
menekankan pelajaran agama Islam dan didukung asrama sebagai
tempat tinggal santri yang bersifat permanen. Maka pesanten kilat dan
pesantren Romodlan yang diadakan di sekolah-sekolah tidak termasuk
dalam definisi ini.

Kategori Pesantren
Kategori pesantren dapat di pandang dari berbagai perspektif;
rangkaian kurikulum, tingkat kemajuan, keterbukaan dari segi
perubahan dan dari sudut sistem pendidikannya.14 Dari segi
kurikulumnya, Arifin mengolongkannya menjadi pesanten modern,
pesantren tahassus (tahassus ilmu alat, ilmu fiqh/ushul fiqh, ilmu
tafsir/hadits, ilmu tasawuf/thariqat, dan qira’at al-Qir’an) dan
Pesanten campuran.15 Berdasarkan kemajuan muatan kurikulumnya,
pesantren paling sederhana hanya belajar tulisan arab dan menghafal
beberapa surat dalam al Qur’an, pesanten sedang yang mengajakan
berbagai kitab fiqh, ilmu akidah, tata bahasa arab (nahwu sharaf), dan
pesantren paling maju yang mengajarkan kitab-kitab fiqh, aqidah, dan
tasawuf yang lebih mendalam dan beberapa mata pelajaran tradisional
lainnya.16
Dari persepkit keterbukan dibagi menjadi dua kategori yaitu
pesantren salafi dan khalafi. Pesantren salafi tipe mengajarkan kitab-
kitab Islam klasik sebagi inti pendidikan, dengan menerapkan sistem
pendidikan madrasah untuk memudahkan sistem sorogan dan tanpa
mengenalkan pelajaran umum. Sedangkan pesantren khalafi telah
12
Tentang definisi Pesantren, bandingkan, H.M. Arifin, M.Ed., Kapita
Selekta Pendidikan Umum dan Islam (Jakarta: Bina Aksara, 1991), hal. 240;
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi, h. 44; dan Sudjoko Prasodjo, dkk., Profil Pesantren,
Cet. III (Jakarta: LP3ES 1982), h. 61.
13
Lembaga Research Islam (Pesantren Luhur), Sejarah dan Dakwah
Islamiyah Sunan Giri, (Malang: Panitia Penelitian dan Pemugaran Sunan Giri
Gresik, 1975), h. 52.
14
Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokrasi Institusi,(Jakarta: Erlangga, tt), h. 16
15
M. Arifin, Kapita Selekta, h. 251-252
16
Martin Van Bruinessen, NU Tradisi Relasi-Relasi Kuasa Pencarian
Wacana Baru, Terj. (Yogyakarta, LiKIS, 1994), h. 21.

4 Jurnal Tribakti, Volume 21, Nomor 2, Juli 2010


memasukan pelajaran umum dalam madsarah yang dikembangkan
atau membuat tipe sekolah umum di lingkungan pesantren.17
Kategori pesantren dari sistem pendidikan yang dikembangkan.
Pesantren dalam pandangan ini dikelompokkan menjadi tiga macam:
(1) memiliki santri dan tinggal bersama kiai, kurikulum terantung kiai,
dan penjaran secara privasi, (2) memiliki madrsah kurikulum tertentu,
pengajaran bersifat aplikasi, kiai memberikan pelajaran secara umum
dalam waktu tertentu, santri bertempat tinggal di asrama, dan (3)
hanya berupa asrama, santri belajar di sekolah, madrasah, bahkan
peruruan tinggi umum agama di luar, kiai sebagai pengawas dan
pembina mental.18
Pesantren atas dasar kelembagaannya yang dikaitkan dengan
sistem pengajaranya. Menurut Azizy yang disederhanakan penulis
menjadi kategori: (1) pesantren yang menyelenggarakan sistem
pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, (2)
pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagaman dalam
bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak
menerakan kurikulum nasional, (3) pesantren yang mengarkan ilmu-
ilmu agama dalam bentuk madrasah diniyah.19
Ada yang membuat kategori pesantren berdasarkan sepesifikasi
keilmuan. Misalnya pesantren alat (mengutamakan penguasaan
gramatikal bahasa Arab), seperti pesantren Lirboyo, pesantren Ploso,
pesantren fiqh misalnya Tebuireng, Tambak Beras, Denanyar, Lasem,
pesantren Qira’ah al Qur’an seperti pesantren Krapyak, Wonokromo
dan pesantren tasawuf seperti pesantren Jampes di Kediri sebelum
perang dunia II.20

Basis Kultural Pesantren


Pendidikan pesantren adalah pendidikan tertua di Indonesia,
hingga saat ini model pendidikan pesantren masih bertahan di tengah-
17
Dhofier, Tradisi Pesantren, h. 41.
18
Lihat Suparlan Suryapratondo, Kapita Selekta Pondok Pesantren, (Jakarta:
PT. Paryu Barkah, tt), h. 84; Mustafa Syarif, Suparlan S., dan Abd. R. Saleh,
Administarsi Pesantren, (Jakarta: PT, Paryu Barkah, tt), h.8.
19
Ahmad Qodri Abdillah Azizy, “Pengantar: Memberdayakan Pesantren dan
Madrasah”, dalam Ismail SM., Nurul Huda dan Abdil Kholiq (eds), Dinamika
Pesantren dan Madrasah. (Yogyakarta: Kerjasama Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisingo Semarang dengan Pustaka pelajar, 2002), h. viii.
20
Abdurahman Wahid, Bunga Ramapai Pesantren, (ttp: CU Darma Bakti,
tt.), h. 25; Kafrowi, Pembaharuan Sistem Penddikan Produk Pesantren Sebagai
Usaha Peninkatan Prestasi dan pembinaan Kesatuan Bangsa, (Jakarta: Cemara
Indah, 1978), h. 47.

Jurnal Tribakti, Volume 21, Nomor 2, Juli 2010 5 


tengah modernisasi pendidikan di luar pesantren itu sendiri.
Sementara arus sedemikian kuat terhadap pesantren, justru dunia
pesantren tertantang untuk menjawab problematika pendidikan di
masyarakat.
Dengan demikian, pesantren sesungguhnya terbangun dari
konstruksi kemasyarakatan dan epistemologi sosial yang menciptakan
suatu transendensi atas perjalanan historis sosial. Sebagai center of
knowledge, dalam pendakian sosial, pesantren mengalami
metamorfosis yang berakar pada konstruksi epistemologi dari variasi
pemahaman di kalangan umat Islam. Hal yang menjadi titik penting
ialah kenyataan eksistensi pesantren sebagai salah satu pemicu
terwujudnya kohesi sosial. Keniscayaan ini karena pesantren hadir
terbuka dengan semangat kesederhanaan, kekeluargaan, dan
kepedulian sosial. Konsepsi perilaku (social behavior) yang
ditampilkan pesantren ini mempunyai daya rekat sosial yang tinggi
dan sulit ditemukan pada institusi pendidikan lainnya.
Kemampuan pesantren dalam mengembangkan diri dan
mengembangkan masyarakat sekitarnya ini dikarenakan adanya
potensi yang dimiliki oleh pondok pesantren, di antaranya sebagai
berikut; (1) pesantren hidup selama 24 jam; dengan pola 24 jam
tersebut, baik pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan
keagamaan, sosial kemasyarakatan, atau sebagai lembaga
pengembangan potensi umat dapat diterapkan secara tuntas, optimal
dan terpadu. (2) Pesantren mengakar pada masyarakat; pesantren
banyak tumbuh dan berkembang umumnya di daerah pedesaan karena
tuntutan masyarakat yang menghendaki berdirinya pesantren. Dengan
demikian, pesantren dan keterikatannya dengan masyarakat
merupakan hal yang amat penting bagi satu sama lain. Kecenderungan
masyarakat menyekolahkan anaknya ke pesantren memang didasari
oleh kepercayaan mereka terhadap pembinaan yang dilakukan oleh
pesantren yang lebih mengutamakan pendidikan agama.21
Ada tiga karakteristik sebagai basis utama kultur pesantren di
antaranya sebagai berikut. Pertama, Tradisionalisme, sebagaimana
disinggung di atas bahwa lembaga pendidikan pada umumnya adalah
milik atau paling tidak didukung masyarakat tertentu yang cenderung
mempertahankan tradisi-tradisi masa lalu. Sementara itu, dengan tetap
menyadari kemungkinan terjadinya kontroversial dalam segi tertentu,

21
http://www.pesantrenonline/artikel/detailartikel?.php=124
6 Jurnal Tribakti, Volume 21, Nomor 2, Juli 2010
kelompok yang dimaksud adalah Nahdhatul Ulama (NU) dan
Persatuan Tarbiyah Islam.22
Tradisionalisme dalam konteks pesantren harus dipahami
sebagai upaya mencontoh tauladan yang dilakukan para ulama salaf
yang masih murni dalam menjalankan ajaran Islam agar terhindar dari
bid’ah, khurafat, takhayul, serta klenik. Hal ini kemudian lebih
dikenal dengan gerakan salaf, yaitu gerakan dari orang-orang
terdahulu yang ingin kembali kepada al-Qur’an dan Hadis.23
Gerakan salaf ini dalam perjalanan sejarahnya telah memberikan
sumbangan besar terhadap modernisasi Islam. Gerakan salaf secara
sadar menolak anggapan bahwa Islam tidak cocok. Mereka mencari
tahu faktor yang menyebabkan ketidakcocokan tersebut, yakni karena
taqlid.
Kedua, Pertahanan Budaya (Cultural Resistance),
mempertahankan budaya dan tetap bersandar pada ajaran dasar Islam
adalah budaya pesantren yang sudah berkembang berabad-abad. Sikap
ini tidak lain merupakan konsekuensi logis dari modelling. Ide
cultural resistance juga mewarnai kehidupan intelektual dunia
pesantren. Subjek yang diajarkan di lembaga ini melalui hidayah dan
berkah seorang Kiai sebagai guru utama atau irsyadu ustadzin adalah
kitab klasik atau kitab kuning, diolah dan ditransmisikan dari satu
generasi ke generasi berikut, yang sekaligus menunjukkan keampuhan
kepemimpinan Kiai. Isi kitab kuning menawarkan kesinambungan
tradisi yang benar. Karena konsep cultural resistance pula, dunia
pesantren selalu tegar menghadapi hegemoni dunia luar. Sejarah
menunjukkan bahwa saat penjajah semakin menindas, saat itu pula
perlawanan kaum santri semakin keras. Penolakan Sultan Agung dan
Diponegoro terhadap kecongkakan Belanda, ketegaran kiai pada masa
penjajahan, serta kehati-hatian pemimpin Islam berlatar-belakang
pesantren dalam menyikapi kebijakan penguasa yang dirasakan tidak
bijaksana atau sistem yang established sehingga menempatkan mereka
sebagai kelompok ‘oposan’ adalah bentuk-bentuk cultural resistance
dari dulu hingga sekarang.24
Ketiga, Pendidikan Keagamaan, pendidikan pesantren didasari,
digerakkan, dan diarahkan oleh nilai-nilai kehidupan yang bersumber

22
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998),
h. 19-20.
23
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta: LP3ES,
1986), h. 29.
24
Mas’ud, “Sejarah dan, h. 26.
Jurnal Tribakti, Volume 21, Nomor 2, Juli 2010 7 
pada ajaran Islam. Ajaran dasar ini berkelindan dengan struktur sosial
atau realitas sosial yang digumuli dalam hidup sehari-hari. Dengan
demikian, pendidikan pesantren didasarkan atas dialog yang terus-
menerus antara kepercayaan terhadap ajaran dasar agama yang
diyakini memiliki nilai kebenaran mutlak dan realitas sosial yang
memiliki nilai kebenaran relatif.25

Alumni Pesantren
Pesantren merupakan lembaga yang telah banyak melahirkan
tokoh (telah menjadi figur-figur di masyarakat). Para santri yang telah
kembali dan telah berkiprah ke masyarakat sering kali mendapatkan
sebutan atau pangilan kiai.
Kata ‘kiai’ bisa berarti; sebutan bagi alim ulama (cerdik pandai
dalam agama Islam).26 Perkataan kiai dalam bahasa jawa di pakai
sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli
agama Islam yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan
pengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santri. Selain gelar kiai
juga ia juga sering disebut orang alim (orang yang dalam pengetahuan
Islamnya).27
Dahulu orang memandang seseorang yang pandai di bidang
agama Islam baru layak di pandang kiai bila ia mengasuh atau
memipin pesantren. Sekarang meski tidak memimpin pesantren, bila
ia memiliki keunggulan dalam mengusai ajaran-ajaran Islam dan
amalan-amalan ibadah, sehingga memiliki pengaruh yang yang besar
di masyarakat, sering juga disebut kiai seperti; kiai Ali Yafie, kiai
Abdul Muchith Muzadi, kiai Yasin Yusuf dan kiai Zainuddin MZ.28
Gelar kiai tidak diusahakan melalui jalur formal sebagai sarjana
misalnya, melainkan datang dari masyarakat yang secara tulus
memberinya tanpa intervensih pengaruh pihak luar. Oleh karena itu
kiai menjadi patron baik masyarakat sekitar terutama yang
menyangkut kepribadian utama. Sebagai patron,’kiai’ dalam
pandangan Martin Van Bruinessen, “memainkan peranan yang lebih
dari sekedar seorang guru”.29
Ia bukan saja menempatkan dirinya sebagai pengajar dan
pendidik santri-santriya, melainkan juga aktif memecahkan masalah-
25
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), h.
26.
26
Tim Peyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.199.
27
Dhofier, Tradisi Pesantren, h. 55.
28
Qomar, Pesantren, h. 28
29
Bruinessen, NU Tradisi, h. 21
8 Jurnal Tribakti, Volume 21, Nomor 2, Juli 2010
masalah krusial yang dihadapai masyarakat. Ia memimpin kaum
santri, memberikan bimbingan dan tuntunan kepada mereka,
menenangkan hati orang yang sedang gelisah, menggerakan
pembangunan, memberikan ketetapan hukum tentang berbagai
masalah aktual, bahkan tidak jarang ia bertindak sebagai tabib dalam
mengobati penyakit yang diderita orang yang mohon bantunnya.
Maka kiai mengemban tangung jawab moral-spiritual selain
kebutuhan materiil. Tidak berlebihan jika terdapat penilaian bahwa
figur kiai sebagai figur karismatik meyebabkan hampir segala masalah
kemasyarakatan yang tejadi disekitarnya harus dikonsultasikan
terlebih dahulu kepadanya sebelum mengabil sikap serhadap masalah
itu.30
Kepercayan masyarakat yang begituh tinggi terhadap kiai dan
didukung potensinya memecahkan berbagai problem sosial-psikis-
kultur-politik-religius menyebabkan kiai menempati posisi kelompok
elite dalam strukur sosial dan politik di masyarakat. Kiai sangat
dihormati oleh masyarakat melebihi penghormatan mereka terhadap
pejabat setempat. Petuah-petuahnya memiliki daya pikat yang luar
biasa, sehingga memudahkan baginya untuk menggalang masa baik
secara kebetulan maupun terorganisasi. Ia memiliki pengikut yang
banyak jumlanya dari kalangan santri dalam segala lapisan mulai dari
anak-anak sampai kelompok lanjut usia.31

Sekolah Elite
Secara harfiyah, “sekolah elite” berarti sekolah kecil, sekolah
yang jumlah muridnya sedikit atau terbatas. Pembatasan jumlah murid
dengan mempergunakan krteria tertentu. Ada sekolah elite yang hanya
menerima murid-murid kaya, ada sekolah elite yang hanya menerima
murid-murid cerdas, dan adapula sekolah elite yang membatasi pada
dengan tinggi badan paling tidak 170 cm.32
Di negara-negata tertentu seperti Jepang, Amerika Serikat,
Inggris, terdapat lebih dari satu jenis sekolah elite. Ada sekolah elite
yang dirancang untuk melahirkan elite intelektual, ada yang dirancang

30
Nazaruddin et, al. Seri Monografi Pondok Pesantren dan Angkatan Kerja,
Proyek Pembinaan dan Bnatuan kepada pondok pesntren, Jakarta 1985/1986
Departemen Agama RI., h. 28; Bachtiar Efendi, “Nilai-nilai Kaum Santri” dalam M.
Dawam Raharjo (ed.), Pergulatan Dunia Pesantren Memebangun dari Bawah,
(Jakarta: P3M, 1985), h. 51.
31
Qomar, Pesantren, h. 29
32
Mochtar Buchori, Transformasi Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan Kerjasama IKIP Muhammadiyah Jakarta, 1995), h. 166.

Jurnal Tribakti, Volume 21, Nomor 2, Juli 2010 9 


untuk melahirkan elite sosial, ada yang dirancang untuk melahirkan
elite politik.
Berbicara konteks Indonesia, apakah ada sekolah elite di negeri
ini? Dulu ada dan sekarangpun ada! Pada zaman penjajahan sekolah
dasar yang namanya ELS (Europeeshe Lagere School) adalah suatu
sekolah elite, sedangkan sekolah Volkschool (artinya sekolah rakyat)
adalah sekolah masal sekolah untuk semua orang. Sekolah untuk
putra-putra priyayi yang bernama van Deventer School adalah sekolah
untuk calon-calon istri pejabat pemerintah, yang namanya MOSVIA
(Middelbrabe Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren).33
Pandangan penulis sekarangpun masih ada sekolah elite. Hanya
saja wajahnya belum jelas benar, mana yang dirancag untuk
melahikan elite sosial, mana yang diracang untuk malahirkan elite
intelektual dan elite politi. Namun dalam penglihatan penulis ada
sekolah elite dari dulu hingga sekarang masih eksisi dalam melahirkan
elite-elite agamawan yaitu pesantren. Pada sekolah-sekolah elite
(pandanga penulis) umumnya enggan atau risi kalau disebut sebagai
demikian. Mereka menolak sebutan itu, mereka memandang diri
mereka sebagai “sekolah biasa”
Sekolah Al Azhar Jakarta, sekolah Santa Ursuli Jakarta, SMA
Taruna Magelang, Sekolah Pelita Harapan di Tangerang, Pesantren
Gontor Ponorogo, Pesantren Terpadu Arisalah Lirboyo Kediri,
Pesantren Tambakberas Jombang, Pesantren Tebuireng Jomban kalau
penulis memandang ini adalah sekolah elite. Lembaga pendidikan ini
akan melahirkan elite; elite sosial, elite intelektual, elite politik dan
elite agamawan. Yang sudah pasti, di sekolah ini program belajar para
siswa cukup berat. Siswa tidak bisa belajar secara santai.
Mengapa sekolah Indonesia enggan dipandang sebagai sekolah
elite? Karena di Indonesia selama ini kata elite dipandang
mengandung konotsai negatif; memencilkan diri, menempatkan diri di
atas yang lain-lain. Kata elite mangandung kata sombong, congkak.
Benarkah pandangan ini? Kata ‘elite’ adalah sebuah kata Perancis,
yang berasal dari kata Latin eligere, yang berarti ‘yang terpilih’. Pada
mulanya kata ini tidak mengadun konotasi negatif. Pada mulanya
konotasi yang timbul penghargaan, pujian.34
Kalau kata elite di pergunakan dalam makna aslinya, lepas dari
berbagai konotasi negatif yang ada sekarang ini, maka dapat

33
Brugmans, I.J. Geschiedenis Van Het Ondewijs In Nederlandsch-Indie,
(Groningen, Batavia: J.B. Wolters, 1938), h. 204.
34
Buchori, Trasformasi, h. 169.
10 Jurnal Tribakti, Volume 21, Nomor 2, Juli 2010
dikatakan, bahwa setiap masyarakat dan setiap negara memerlukan
elite cendekiawan, elite ekonomi, elite politik, elite birokrat, elite
militer, elite agamawan dan sebagainya. Kemerdekaan yang dirasakan
dan dinikmati sekarang ini, juga merupakan hasil perjuangan elite-
elite politik dari tiga generasi.
Elite-elite ini tidak akan lahir dari “sekolah biasa’. Sekolah biasa
hanya memberi dasar kepada mereka yang terbaik untuk bisa menjadi
bagian dari elite. Tetapi pengalaman yang benar-benar mereka
menjadi elite diperoleh dari tempat lain, di lembaha-lembaga khusus.
Memang ada orang-orang yang berhasil menjadi bagian dari
suatau kelompok elite tanpa mengikuti pendidikan di lembaga-
lembaga yang memiliki sifat dan karakter khusus tadi. Tetapi mereka
ini adalahah manusia-manusia perkecualian, orang-orang yang luar
biasa. Kelompok-kelompok elite yang dibutuhkan suatu negara tidak
penah terbentuk bila mengadalkan kepada orang pengecualian tadi,
tetapi setidaknya harus dibentuk.
Sekolah elite memiliki ciri-ciri tertentu; pertama, sekolah ini
terdapat pada tingkat sekolah menengah pertama dan atas. Jadi untuk
kelompok umur 13-18 tahun. Kedua, sekolah ini biasanya merupakan
boarding school, sekolah dengan asrama. Selama masa pendidikan
para siswa harus tinggal di asrama. Jadi seperti pondok pesanteran
tradisional. Ketiga, program pendidikan bersifat menyeluruh
(prehensive) dan berimbang (balanced). Keempat, kehidupan
pendidikan di sekolah elite sangat ketat. Tidak jarang para siswa harus
bangun pagi jam empat dan belajar sampai malam jam sepuluh
malam. 35

Pengaruh Pesanten terhada Sekolah Elite


Sistem pendidikan pesantren ketika dinilai melalui parameter
modernisasi selalu dipandang negatif karena terlalu mepertahankan
tradisi dan kurang tanggap terhadap perubahan dan perkembangan
zaman. Tetapi, belakangan ini ada aspek tertentu yang secara jujur
diakui sebagai kelebihan pesantren.
Pesantren adalah sistem pendidikan yang tumbuh dan
berkembang dan lahir dari kultur Indonesia yang bersifat indigenous.36
35
Ibid., h. 170.
36
Sedangkan budaya indigenous adalah budaya yang berkembang dari sistem
nilai masyarakat setempat atau lokal yang seringkali didasarkan atas sistem bahasa
dan hukum adat dengan indikator analisis pola-pola yang telah ada seperti pola
cocok tanam, maritim, pola hukum pendidikan, maupun kesenian yang memberi
format pada masyarakat pendukungnya.

Jurnal Tribakti, Volume 21, Nomor 2, Juli 2010 11 


Lembaga inilah yang dilirik kembali sebagai model dasar
pengembangan konsep pendidikan (baru) Indonesia.37 Pesantren
dengan demikian mulai diperhatikan dari multi perpektif sehingga
tidak selalu dinilai negatif. Ada segi-segi kelemahan sistem
pendidikan pesantren sehingga harus dikritik, tetapi ada juga
kelemahan-kelemahan tertentu yang perlu ditiru bahkan
dikembangkan.38
Meskipun tidak ada pengakuan secara ekplisit dari para pakar
pendidikan di Indonesia, karakter budaya pendidikan pesantren telah
diadopsi kedalam sistem pendidikan nasional. Gejala ini terlihat jelas
pada kemunculan’sekolah-sekolah unggulan’atau boarding school
sejak tiga dasawarsa terakhir.39 Sekarang ini sudah banyak
bermunculan sekolah unggulan yang menerapkan ‘sistem pesantren’
meskipun di bunkus dengan nama lain seperti boarding school,
sekolah internal atau lainnya.40 Jika boarding school (sekolah
berasrama umum) mengadopsi pendidikan pesantren secara diam-
diam, maka Depateman Agama mengembankannya secara terbuka.41
Podok atau asrama meskipun dalam batas tertenu ada perbedaan
secara mendasar dapat memberikan alternatif dalam proses
pembelajaran bila diberdayakan secara optimal, sehingga menjadi
kecenederungan sekolah-sekolah unggulan. Kehidupan pondok atau
asrama memberikan berbagai manfaat antara lain; interaksi antar
murid dengan guru bisa berjalan secara intensif, memudahkan kontrol
terhadap kegiatan murid, pergesekan sesama murid yang memiliki
kepentingan yang sama dalam mencari ilmu, menimbulkan
stimulus/rangsangan belajar, dan memberikan kesempatan yang baik
bagi pembinaan sesuatu.42
Hanya saja, motifasi pembangunan pondok bagi pesantren dan
asrama bagi sekolah unggulan cekup berbeda. Menurut akar
sejarahnya, pondok dibangun agar santri tidak jauh-jauh menempuh

37
Yasmadi, Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholis Majid Tehadap
Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta: Ciputat Perss, 2002), h. 3.
38
Qomar, Pesantren, h. 82.
39
Husni Rahim, Arah Baru Sisitem Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 153.
40
Ahmad Maghfurin, “Pesantren: Model Pendidikan Alternatif Masa
Depan”, dalam Ismail SM., Nurul Huda dan Abdil Kholiq (eds), Dinamika
Pesantren dan Madrasah. (Yogyakarta: Kerjasama Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisingo Semarang dengan Pustaka pelajar, 2002), h. 158.
41
Rahim, Arah Baru, h. 154.
42
Qomar, Pesantren, h.83
12 Jurnal Tribakti, Volume 21, Nomor 2, Juli 2010
perjalanan untuk belajar ada kiai atau agar santri bisa menginap
didekat kiai. Sedangkan asrama dibangun oleh sekolah ungulan untuk
mengefektifkan proses pembelajaran, sehingga menyakut berbagai
kompone yang terkait. Dengan pengertian lain, jika pondok dibangun
lantaran darurat, maka asrama dibangaun atas dasar perencanaan
pembelajaran yang matang dengan memenuhi kriteria efektifitas dan
efesiensi.43
Dengan sistem 24 jam atau sistem sepanjang hari (full-day
eduactinal system) yang dijalani, pesantren akan menjadi incaran para
orang tua lantaran kesibukanya tidak lagi mempunyai waktu yang
cukup untuk memberikan perhatian dan kontrol kepada putra-putrinya
setelah pulang sekolah.44 Dari sudut pertimbangan ini sistem
penddikan pesantren lebih dipercaya orang tua dari pada sistem
pendidikan formal terutama bagi orang tua karir yang memiliki
komitmen tinggi untuk menanamkan akhlak pada putra-putrinya.
Pesantren dinilai mampu membentengi para santri dari pengaruh-
pengaruh negatif arus globalisasi yang menghadikan budaya Barat.45
Pesantren masih survive dan mampu beradaptasi dengan
modernitas pendidikan. Bahkan pendidikan yang cenderung sekuler
dinilai gagal, pesantren ditujuk sebagai lembaga pendidikan
alternatif.46 Kegagalan pendidikan sekuler dilihat dari pembentukan
kepribadian. Di kota-kota besa seperti Jakarta hampir setiap siang
terjadi tawuran antara siswa. Tradisi ini unik sekali menginat pelajar
adalah kelompok yang sedang menjalani pendidikan, sedangkan
tawuran bertentang dengan pendidikan itu sendiri. Berbeda dengan
pelajar tersebut, santri pesantren tidak penah tawuran sesama santri
dari pesantren lain meskipun di Jakarta.
Pada dasarnya pendidikan pesantren dinilai sukses. Ada
kencenderungan orang tua di kota-kota besar yang mengirimkan
anaknya kepesantren, kendati dipesantren mereka belum tentu juga
mengalami kesadaran sepenuhnya. Sementara itu, pesantren sudah
terbiasa membimbing anak-anak yang ‘bermasalah’. Secara umum
pesantren masih diyakini potensinya membimbing mendidik, dan
membangun kepribadian para santri untuk menjadi orang Muslim

43
Ibid.
44
Maghfuri, “pesantren…” h. 159.
45
Qomar, Pesantren, h. 84.
46
Abdul Mukti, “Paradigma Pendidikan Pesantren; Ikhtiar Metodologi
Menuju Minimalis Kekerasan politik”, dalam Ismail SM., Nurul Huda dan Abdil
Kholiq (eds), Dinamika Pesantren dan Madrasah. (Yogyakarta: Kerjasama Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisingo Semarang dengan Pustaka pelajar, 2002), h. 134.

Jurnal Tribakti, Volume 21, Nomor 2, Juli 2010 13 


yang benar-benar saleh dan salehah yang memiliki ketahanan cukup
kuat dalam menghadapi tantangn dunia global.

Kesimpulan
Pesantren sebagai lembaga independen dalam melakukan
penatan terhadap sistem pendidikan yang di kembangkanya memiliki
bentuk yang unik. Banyak keunggulan yang dimiliki dari sistem
pendidikan yang ada di pesantren, yang dapat membuat beberapa
lembaga pendidikana untuk mengadopsinya. Suatu hal yang menarik
dalam kontek ini dengan adanya pondok atau asrama.
Pada dasawarsa terakhir banyak bermunculan sekolah elite
(sekolah terpilih) yang memiliki kesamaan pola dengan pesantren,
maka dalam hal ini penulis menggap pesantren sebagai sekolah elite.
Elite secara harfiah ataupun elit secara subtansial. Elit secara harfiah
adalah pilihah, sekarang ini masuk di pesantran harus benar-benar
anak yang terpilih baik secara mental, spiritual dan jasmani, dalam
artinya tidak semua anak mampu bertahan di pesantren. Terpilih
secara intelektual, ada beberapa pesantren yang menerapakan seleksi
bagi siswanya yangingin duduk di tingkat tertentu misal pesantren
Lirboyo, dan pesantren Gontor. Pesantren juga sekolah elite secara
subtasial, karena menurut pendapat Muchtar Buchori ciri sekolah elite,
dari segi usia, asrama (pondok), terprogram, dan sistem yang ketat.
Keempat komponen tersebut melekat dan terdapat pada sistem
pendidikan yang ada di pesantren.

Daftar Pustaka

Anwar, Ali, Pembaharuan Pendidikan di Pesantren Lirboyo, Kediri:


IAIT Press, 2008.
Arifin, M., Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), Jakarta:
Bumi Aksara, 1991.
Azizy, Ahmad Qodri Abdillah, “Pengantar: Memeberdayakan
Peantren dan Madrasah”, dalam Ismail SM., Nurul Huda dan
Abdil Kholiq (eds), Dinamika Pesantren dan Madrasah.
Yogyakarta: Kerjasama Fakultas Tarbiyah IAIN Walisingo
Semarang dengan Pustaka pelajar, 2002.
Buchori, Mochtar, Transformasi Pendidikan, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan Kerjasama IKIP Muhammadiyah Jakarta, 1995.

14 Jurnal Tribakti, Volume 21, Nomor 2, Juli 2010


Brugmans, I.J. Geschiedenis Van Het Ondewijs In Nederlandsch-
Indie, Groningen, Batavia: J.B. Wolters, 1938.
Bruinessen, Martin Van, NU Tradisi Relasi-Relasi Kuasa Pencarian
Wacana Baru, Terj. Yogyakarta, LiKIS, 1994.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan
Hidup Kiai, Jakarta: LP3ES, 1990.
Efendi, Bachtiar, “Nilai-nilai Kaum Santri” dalam M. Dawam Raharjo
(ed.), Pergulatan Dunia Pesantren Memebangun dari Bawah,
Jakarta: P3M, 1985.
Greertz, Clifford, Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masayarakat
Jawa. Terjemahan aswab Mahasin dari The Religion of Java.
Jakarta: Pustaka Jaya, 1983.
Hadimulyo, “Dua Pesantren dua Wajah Budaya” dalam M. Dawan
Rahardjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari
Bawah, Jakarta: LP3ES, 1995. Kuntowijoyo, Paradigma Islam
Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1991.
Hamid, Abu, “Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi
Selatan” dalam Taufik Abdullah (Ed), Agama Perubahan Sosial,
Jakarta: Rajawali Pers, 1983.
Jalaluddin, Kapita Selekta Pendidian, Jakarta: Kalam Mulia, 1990.
Kafrowi, Pembaharuan Sistem Penddikan Produk Pesantren Sebagai
Usaha Peninkatan Prestasi dan pembinaan Kesatuan Bangsa,
Jakarta: Cemara Indah, 1978.
Lembaga Research Islam (Pesantren Luhur), Sejarah dan Dakwah
Islamiyah Sunan Giri, Malang: Panitia Penelitian dan
Pemugaran Sunan Giri Gresik, 1975.
Maghfurin, Ahmad, “Pesantren: Model Pendidikan Alternatif Masa
Depan”, dalam Ismail SM., Nurul Huda dan Abdil Kholiq (eds),
Dinamika Pesantren dan Madrasah. Yogyakarta: Kerjasama
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisingo Semarang dengan Pustaka
pelajar, 2002.
Mas’ud, Abdurrahman, “Sejarah dan Budaya Pesantren” dalam
Ismail S.M. (Ed.), Dinamika Pesantren dan Madrasah
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Jurnal Tribakti, Volume 21, Nomor 2, Juli 2010 15 


----------, Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi,
Yogyakarta: LKiS, 2004.
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS,
1994.
Mukti, Abdul, “Paradigma Pendidikan Pesantren; Ikhtiar Metodologi
Menuju Minimalis Kekerasan politik”, dalam Ismail SM., Nurul
Huda dan Abdil Kholiq (eds), Dinamika Pesantren dan
Madrasah. Yogyakarta: Kerjasama Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisingo Semarang dengan Pustaka pelajar, 2002.
Nazaruddin et, al. Seri Monografi Pondok Pesantren dan Angkatan
Kerja, Proyek Pembinaan dan Bnatuan kepada pondok pesntren,
Jakarta 1985/1986 Departemen Agama RI.,
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia, Jakarta: LP3ES,
1998.
Qomar, Mujamil, Mukodimah, Pesantren: Dari Transformasi
Metodologi Menuju Demokrasi Institusi,Jakarta: Erlangga, tt.
Rahim, Husni, Arah Baru Sisitem Pendidikan Islam di Indonesia,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.
Suparlan S, Mustafa Syarif, dan Abd. R. Saleh, Administarsi
Pesantren, Jakarta: PT, Paryu Barkah, tt.
Suryapratondo, Suparlan, Kapita Selekta Pondok Pesantren, Jakarta:
PT. Paryu Barkah, tt.
Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah, Sekolah, Jakarta: LP3ES,
1986.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dabanga Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Wahid, Abdurahman, Bunga Rampai Pesantren, ttp: CU Darma Bakti,
tt.
----------, “Pesantren Sebagai Sumbkutur” dalam M. Dawan Rahardjo
(ed), Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: LP3ES, 1995.
Yasmadi, Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholis Majid Tehadap
Pendidikan Islam Tradisional, Jakarta: Ciputat Perss, 2002.

16 Jurnal Tribakti, Volume 21, Nomor 2, Juli 2010

Anda mungkin juga menyukai