Jauhar Fuad
Oleh:
A. Jauhar Fuad*
Pendahuluan
Pesantren sebagai lembaga dakwah islamiyah yang memiliki
persepsi yang plural. Pesantren dapat dipandang sebagai lembaga
ritual, lembaga pembinaan moral, lembaga dakwah dan yang paling
penting sebagai institusi pendidikan Islam yang mengalami
konjungtur dan romantika kehidupan dalam menghadapi tantangan
internal maupun ekternal.1
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren dari awal berdirinya
hingga sekarang tetap eksis, menawarkan pendidikan kepada mereka
*
Dosen Tetap Fakultas Tarbiyah IAIT Kediri
1
Mujamil Qomar, Mukodimah, Pesantren: Dari Transformasi Metodologi
Menuju Demokrasi Institusi,(Jakarta: Erlangga, tt), h. viii.
Pesantren
Pesantren menurut kamus berarti “asrama tempat santri atau
tempat murid-murid belajar mengaji…”.5 Pesantren menurut
pengertian dasarnya adalah “tempat belajar para santri”. Ada beberapa
istilah yang ditemukan dan sering digunakan untuk menunjuk jenis
2
Jalaluddin, kapita Selekta Pendidian, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), h.9.
3
Abdurahman Wahid, “Pesantren Sebagai Sumbkutur” dalam M. Dawan
Rahardjo (ed), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1995), h. 39-60.
4
Hadimulyo, “Dua Pesantren dua Wajah Budaya” dalam M. Dawan
Rahardjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, (Jakarta:
LP3ES, 1995), h. 55; dan Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi,
(Bandung: Mizan, 1991), h.247.
5
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dabanga Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 878
6
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup
Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 18.
7
Santri memeliki arti sempit dan luas. Pengrtian sempit, santri adalah
seorang pelajar sekolah agama, sedangkan pengertian yang lebih luas, santri
mengacu kepada seorang anggota bagian penduduk Jawa yang menganut Islam
dengan sungguh-sungguh menjalankan ajaran Islam, sholat lima waktu dan shalat
jum’at. Clifford Greertz, Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masayarakat Jawa.
Terjemahan aswab Mahasin dari The Religion of Java. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983),
h. 268
8
Ali Anwar, Pembaharuan Pendidikan di Pesantren Lirboyo, (Kediri: IAIT
Press, 2008), h. 22.
9
Bahasa kesusastratan Hindu Kuno. Baca Tim penyusun kamus, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, h. 878.
10
Abu Hamid, “Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi
Selatan” dalam Taufik Abdullah (Ed), Agama Perubahan Sosial, (Jakarta: Rajawali
Pers, 1983), h. 328
11
Abdurrahman Mas’ud, “Sejarah dan Budaya Pesantren” dalam Ismail
S.M. (Ed.), Dinamika Pesantren dan Madrasah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002),
h. 23; Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi,
(Yogyakarta: LKiS, 2004).
Kategori Pesantren
Kategori pesantren dapat di pandang dari berbagai perspektif;
rangkaian kurikulum, tingkat kemajuan, keterbukaan dari segi
perubahan dan dari sudut sistem pendidikannya.14 Dari segi
kurikulumnya, Arifin mengolongkannya menjadi pesanten modern,
pesantren tahassus (tahassus ilmu alat, ilmu fiqh/ushul fiqh, ilmu
tafsir/hadits, ilmu tasawuf/thariqat, dan qira’at al-Qir’an) dan
Pesanten campuran.15 Berdasarkan kemajuan muatan kurikulumnya,
pesantren paling sederhana hanya belajar tulisan arab dan menghafal
beberapa surat dalam al Qur’an, pesanten sedang yang mengajakan
berbagai kitab fiqh, ilmu akidah, tata bahasa arab (nahwu sharaf), dan
pesantren paling maju yang mengajarkan kitab-kitab fiqh, aqidah, dan
tasawuf yang lebih mendalam dan beberapa mata pelajaran tradisional
lainnya.16
Dari persepkit keterbukan dibagi menjadi dua kategori yaitu
pesantren salafi dan khalafi. Pesantren salafi tipe mengajarkan kitab-
kitab Islam klasik sebagi inti pendidikan, dengan menerapkan sistem
pendidikan madrasah untuk memudahkan sistem sorogan dan tanpa
mengenalkan pelajaran umum. Sedangkan pesantren khalafi telah
12
Tentang definisi Pesantren, bandingkan, H.M. Arifin, M.Ed., Kapita
Selekta Pendidikan Umum dan Islam (Jakarta: Bina Aksara, 1991), hal. 240;
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi, h. 44; dan Sudjoko Prasodjo, dkk., Profil Pesantren,
Cet. III (Jakarta: LP3ES 1982), h. 61.
13
Lembaga Research Islam (Pesantren Luhur), Sejarah dan Dakwah
Islamiyah Sunan Giri, (Malang: Panitia Penelitian dan Pemugaran Sunan Giri
Gresik, 1975), h. 52.
14
Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokrasi Institusi,(Jakarta: Erlangga, tt), h. 16
15
M. Arifin, Kapita Selekta, h. 251-252
16
Martin Van Bruinessen, NU Tradisi Relasi-Relasi Kuasa Pencarian
Wacana Baru, Terj. (Yogyakarta, LiKIS, 1994), h. 21.
21
http://www.pesantrenonline/artikel/detailartikel?.php=124
6 Jurnal Tribakti, Volume 21, Nomor 2, Juli 2010
kelompok yang dimaksud adalah Nahdhatul Ulama (NU) dan
Persatuan Tarbiyah Islam.22
Tradisionalisme dalam konteks pesantren harus dipahami
sebagai upaya mencontoh tauladan yang dilakukan para ulama salaf
yang masih murni dalam menjalankan ajaran Islam agar terhindar dari
bid’ah, khurafat, takhayul, serta klenik. Hal ini kemudian lebih
dikenal dengan gerakan salaf, yaitu gerakan dari orang-orang
terdahulu yang ingin kembali kepada al-Qur’an dan Hadis.23
Gerakan salaf ini dalam perjalanan sejarahnya telah memberikan
sumbangan besar terhadap modernisasi Islam. Gerakan salaf secara
sadar menolak anggapan bahwa Islam tidak cocok. Mereka mencari
tahu faktor yang menyebabkan ketidakcocokan tersebut, yakni karena
taqlid.
Kedua, Pertahanan Budaya (Cultural Resistance),
mempertahankan budaya dan tetap bersandar pada ajaran dasar Islam
adalah budaya pesantren yang sudah berkembang berabad-abad. Sikap
ini tidak lain merupakan konsekuensi logis dari modelling. Ide
cultural resistance juga mewarnai kehidupan intelektual dunia
pesantren. Subjek yang diajarkan di lembaga ini melalui hidayah dan
berkah seorang Kiai sebagai guru utama atau irsyadu ustadzin adalah
kitab klasik atau kitab kuning, diolah dan ditransmisikan dari satu
generasi ke generasi berikut, yang sekaligus menunjukkan keampuhan
kepemimpinan Kiai. Isi kitab kuning menawarkan kesinambungan
tradisi yang benar. Karena konsep cultural resistance pula, dunia
pesantren selalu tegar menghadapi hegemoni dunia luar. Sejarah
menunjukkan bahwa saat penjajah semakin menindas, saat itu pula
perlawanan kaum santri semakin keras. Penolakan Sultan Agung dan
Diponegoro terhadap kecongkakan Belanda, ketegaran kiai pada masa
penjajahan, serta kehati-hatian pemimpin Islam berlatar-belakang
pesantren dalam menyikapi kebijakan penguasa yang dirasakan tidak
bijaksana atau sistem yang established sehingga menempatkan mereka
sebagai kelompok ‘oposan’ adalah bentuk-bentuk cultural resistance
dari dulu hingga sekarang.24
Ketiga, Pendidikan Keagamaan, pendidikan pesantren didasari,
digerakkan, dan diarahkan oleh nilai-nilai kehidupan yang bersumber
22
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998),
h. 19-20.
23
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta: LP3ES,
1986), h. 29.
24
Mas’ud, “Sejarah dan, h. 26.
Jurnal Tribakti, Volume 21, Nomor 2, Juli 2010 7
pada ajaran Islam. Ajaran dasar ini berkelindan dengan struktur sosial
atau realitas sosial yang digumuli dalam hidup sehari-hari. Dengan
demikian, pendidikan pesantren didasarkan atas dialog yang terus-
menerus antara kepercayaan terhadap ajaran dasar agama yang
diyakini memiliki nilai kebenaran mutlak dan realitas sosial yang
memiliki nilai kebenaran relatif.25
Alumni Pesantren
Pesantren merupakan lembaga yang telah banyak melahirkan
tokoh (telah menjadi figur-figur di masyarakat). Para santri yang telah
kembali dan telah berkiprah ke masyarakat sering kali mendapatkan
sebutan atau pangilan kiai.
Kata ‘kiai’ bisa berarti; sebutan bagi alim ulama (cerdik pandai
dalam agama Islam).26 Perkataan kiai dalam bahasa jawa di pakai
sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli
agama Islam yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan
pengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santri. Selain gelar kiai
juga ia juga sering disebut orang alim (orang yang dalam pengetahuan
Islamnya).27
Dahulu orang memandang seseorang yang pandai di bidang
agama Islam baru layak di pandang kiai bila ia mengasuh atau
memipin pesantren. Sekarang meski tidak memimpin pesantren, bila
ia memiliki keunggulan dalam mengusai ajaran-ajaran Islam dan
amalan-amalan ibadah, sehingga memiliki pengaruh yang yang besar
di masyarakat, sering juga disebut kiai seperti; kiai Ali Yafie, kiai
Abdul Muchith Muzadi, kiai Yasin Yusuf dan kiai Zainuddin MZ.28
Gelar kiai tidak diusahakan melalui jalur formal sebagai sarjana
misalnya, melainkan datang dari masyarakat yang secara tulus
memberinya tanpa intervensih pengaruh pihak luar. Oleh karena itu
kiai menjadi patron baik masyarakat sekitar terutama yang
menyangkut kepribadian utama. Sebagai patron,’kiai’ dalam
pandangan Martin Van Bruinessen, “memainkan peranan yang lebih
dari sekedar seorang guru”.29
Ia bukan saja menempatkan dirinya sebagai pengajar dan
pendidik santri-santriya, melainkan juga aktif memecahkan masalah-
25
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), h.
26.
26
Tim Peyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.199.
27
Dhofier, Tradisi Pesantren, h. 55.
28
Qomar, Pesantren, h. 28
29
Bruinessen, NU Tradisi, h. 21
8 Jurnal Tribakti, Volume 21, Nomor 2, Juli 2010
masalah krusial yang dihadapai masyarakat. Ia memimpin kaum
santri, memberikan bimbingan dan tuntunan kepada mereka,
menenangkan hati orang yang sedang gelisah, menggerakan
pembangunan, memberikan ketetapan hukum tentang berbagai
masalah aktual, bahkan tidak jarang ia bertindak sebagai tabib dalam
mengobati penyakit yang diderita orang yang mohon bantunnya.
Maka kiai mengemban tangung jawab moral-spiritual selain
kebutuhan materiil. Tidak berlebihan jika terdapat penilaian bahwa
figur kiai sebagai figur karismatik meyebabkan hampir segala masalah
kemasyarakatan yang tejadi disekitarnya harus dikonsultasikan
terlebih dahulu kepadanya sebelum mengabil sikap serhadap masalah
itu.30
Kepercayan masyarakat yang begituh tinggi terhadap kiai dan
didukung potensinya memecahkan berbagai problem sosial-psikis-
kultur-politik-religius menyebabkan kiai menempati posisi kelompok
elite dalam strukur sosial dan politik di masyarakat. Kiai sangat
dihormati oleh masyarakat melebihi penghormatan mereka terhadap
pejabat setempat. Petuah-petuahnya memiliki daya pikat yang luar
biasa, sehingga memudahkan baginya untuk menggalang masa baik
secara kebetulan maupun terorganisasi. Ia memiliki pengikut yang
banyak jumlanya dari kalangan santri dalam segala lapisan mulai dari
anak-anak sampai kelompok lanjut usia.31
Sekolah Elite
Secara harfiyah, “sekolah elite” berarti sekolah kecil, sekolah
yang jumlah muridnya sedikit atau terbatas. Pembatasan jumlah murid
dengan mempergunakan krteria tertentu. Ada sekolah elite yang hanya
menerima murid-murid kaya, ada sekolah elite yang hanya menerima
murid-murid cerdas, dan adapula sekolah elite yang membatasi pada
dengan tinggi badan paling tidak 170 cm.32
Di negara-negata tertentu seperti Jepang, Amerika Serikat,
Inggris, terdapat lebih dari satu jenis sekolah elite. Ada sekolah elite
yang dirancang untuk melahirkan elite intelektual, ada yang dirancang
30
Nazaruddin et, al. Seri Monografi Pondok Pesantren dan Angkatan Kerja,
Proyek Pembinaan dan Bnatuan kepada pondok pesntren, Jakarta 1985/1986
Departemen Agama RI., h. 28; Bachtiar Efendi, “Nilai-nilai Kaum Santri” dalam M.
Dawam Raharjo (ed.), Pergulatan Dunia Pesantren Memebangun dari Bawah,
(Jakarta: P3M, 1985), h. 51.
31
Qomar, Pesantren, h. 29
32
Mochtar Buchori, Transformasi Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan Kerjasama IKIP Muhammadiyah Jakarta, 1995), h. 166.
33
Brugmans, I.J. Geschiedenis Van Het Ondewijs In Nederlandsch-Indie,
(Groningen, Batavia: J.B. Wolters, 1938), h. 204.
34
Buchori, Trasformasi, h. 169.
10 Jurnal Tribakti, Volume 21, Nomor 2, Juli 2010
dikatakan, bahwa setiap masyarakat dan setiap negara memerlukan
elite cendekiawan, elite ekonomi, elite politik, elite birokrat, elite
militer, elite agamawan dan sebagainya. Kemerdekaan yang dirasakan
dan dinikmati sekarang ini, juga merupakan hasil perjuangan elite-
elite politik dari tiga generasi.
Elite-elite ini tidak akan lahir dari “sekolah biasa’. Sekolah biasa
hanya memberi dasar kepada mereka yang terbaik untuk bisa menjadi
bagian dari elite. Tetapi pengalaman yang benar-benar mereka
menjadi elite diperoleh dari tempat lain, di lembaha-lembaga khusus.
Memang ada orang-orang yang berhasil menjadi bagian dari
suatau kelompok elite tanpa mengikuti pendidikan di lembaga-
lembaga yang memiliki sifat dan karakter khusus tadi. Tetapi mereka
ini adalahah manusia-manusia perkecualian, orang-orang yang luar
biasa. Kelompok-kelompok elite yang dibutuhkan suatu negara tidak
penah terbentuk bila mengadalkan kepada orang pengecualian tadi,
tetapi setidaknya harus dibentuk.
Sekolah elite memiliki ciri-ciri tertentu; pertama, sekolah ini
terdapat pada tingkat sekolah menengah pertama dan atas. Jadi untuk
kelompok umur 13-18 tahun. Kedua, sekolah ini biasanya merupakan
boarding school, sekolah dengan asrama. Selama masa pendidikan
para siswa harus tinggal di asrama. Jadi seperti pondok pesanteran
tradisional. Ketiga, program pendidikan bersifat menyeluruh
(prehensive) dan berimbang (balanced). Keempat, kehidupan
pendidikan di sekolah elite sangat ketat. Tidak jarang para siswa harus
bangun pagi jam empat dan belajar sampai malam jam sepuluh
malam. 35
37
Yasmadi, Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholis Majid Tehadap
Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta: Ciputat Perss, 2002), h. 3.
38
Qomar, Pesantren, h. 82.
39
Husni Rahim, Arah Baru Sisitem Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 153.
40
Ahmad Maghfurin, “Pesantren: Model Pendidikan Alternatif Masa
Depan”, dalam Ismail SM., Nurul Huda dan Abdil Kholiq (eds), Dinamika
Pesantren dan Madrasah. (Yogyakarta: Kerjasama Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisingo Semarang dengan Pustaka pelajar, 2002), h. 158.
41
Rahim, Arah Baru, h. 154.
42
Qomar, Pesantren, h.83
12 Jurnal Tribakti, Volume 21, Nomor 2, Juli 2010
perjalanan untuk belajar ada kiai atau agar santri bisa menginap
didekat kiai. Sedangkan asrama dibangun oleh sekolah ungulan untuk
mengefektifkan proses pembelajaran, sehingga menyakut berbagai
kompone yang terkait. Dengan pengertian lain, jika pondok dibangun
lantaran darurat, maka asrama dibangaun atas dasar perencanaan
pembelajaran yang matang dengan memenuhi kriteria efektifitas dan
efesiensi.43
Dengan sistem 24 jam atau sistem sepanjang hari (full-day
eduactinal system) yang dijalani, pesantren akan menjadi incaran para
orang tua lantaran kesibukanya tidak lagi mempunyai waktu yang
cukup untuk memberikan perhatian dan kontrol kepada putra-putrinya
setelah pulang sekolah.44 Dari sudut pertimbangan ini sistem
penddikan pesantren lebih dipercaya orang tua dari pada sistem
pendidikan formal terutama bagi orang tua karir yang memiliki
komitmen tinggi untuk menanamkan akhlak pada putra-putrinya.
Pesantren dinilai mampu membentengi para santri dari pengaruh-
pengaruh negatif arus globalisasi yang menghadikan budaya Barat.45
Pesantren masih survive dan mampu beradaptasi dengan
modernitas pendidikan. Bahkan pendidikan yang cenderung sekuler
dinilai gagal, pesantren ditujuk sebagai lembaga pendidikan
alternatif.46 Kegagalan pendidikan sekuler dilihat dari pembentukan
kepribadian. Di kota-kota besa seperti Jakarta hampir setiap siang
terjadi tawuran antara siswa. Tradisi ini unik sekali menginat pelajar
adalah kelompok yang sedang menjalani pendidikan, sedangkan
tawuran bertentang dengan pendidikan itu sendiri. Berbeda dengan
pelajar tersebut, santri pesantren tidak penah tawuran sesama santri
dari pesantren lain meskipun di Jakarta.
Pada dasarnya pendidikan pesantren dinilai sukses. Ada
kencenderungan orang tua di kota-kota besar yang mengirimkan
anaknya kepesantren, kendati dipesantren mereka belum tentu juga
mengalami kesadaran sepenuhnya. Sementara itu, pesantren sudah
terbiasa membimbing anak-anak yang ‘bermasalah’. Secara umum
pesantren masih diyakini potensinya membimbing mendidik, dan
membangun kepribadian para santri untuk menjadi orang Muslim
43
Ibid.
44
Maghfuri, “pesantren…” h. 159.
45
Qomar, Pesantren, h. 84.
46
Abdul Mukti, “Paradigma Pendidikan Pesantren; Ikhtiar Metodologi
Menuju Minimalis Kekerasan politik”, dalam Ismail SM., Nurul Huda dan Abdil
Kholiq (eds), Dinamika Pesantren dan Madrasah. (Yogyakarta: Kerjasama Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisingo Semarang dengan Pustaka pelajar, 2002), h. 134.
Kesimpulan
Pesantren sebagai lembaga independen dalam melakukan
penatan terhadap sistem pendidikan yang di kembangkanya memiliki
bentuk yang unik. Banyak keunggulan yang dimiliki dari sistem
pendidikan yang ada di pesantren, yang dapat membuat beberapa
lembaga pendidikana untuk mengadopsinya. Suatu hal yang menarik
dalam kontek ini dengan adanya pondok atau asrama.
Pada dasawarsa terakhir banyak bermunculan sekolah elite
(sekolah terpilih) yang memiliki kesamaan pola dengan pesantren,
maka dalam hal ini penulis menggap pesantren sebagai sekolah elite.
Elite secara harfiah ataupun elit secara subtansial. Elit secara harfiah
adalah pilihah, sekarang ini masuk di pesantran harus benar-benar
anak yang terpilih baik secara mental, spiritual dan jasmani, dalam
artinya tidak semua anak mampu bertahan di pesantren. Terpilih
secara intelektual, ada beberapa pesantren yang menerapakan seleksi
bagi siswanya yangingin duduk di tingkat tertentu misal pesantren
Lirboyo, dan pesantren Gontor. Pesantren juga sekolah elite secara
subtasial, karena menurut pendapat Muchtar Buchori ciri sekolah elite,
dari segi usia, asrama (pondok), terprogram, dan sistem yang ketat.
Keempat komponen tersebut melekat dan terdapat pada sistem
pendidikan yang ada di pesantren.
Daftar Pustaka