KELEMBAGAANNYA
Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Sosial, Pemikiran, dan
Kelembagaan Pendidikan Islam
Dosen Pengampu,
DR. Jamal Fakhri, M.Ag.
DR. Nadirsyah, MA.
Oleh
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. KESIMPULAN ………………………………………………………….12
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………
BAB 1
PENDAHULUAN
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian pondok pesantren
2. Untuk mengetahui karakteristik pondok pesantren
3. Untuk mengetahui unsur-unsur kelembagaan pondok pesantren
BAB II
PEMBAHASAN
1 http://tsalmans.blogspot.com/2010/05/pengertian-pondok-pesantren.html
2 Mastuhu, dinamika sistem pendidikan pesantren (Jakarta: INIS, 1994), hlm.6.
3 Departemen agama RI direktorat jenderal kelembagaan agama islam, pondok pesantren dan
madrasah diniyah (Jakarta: 2003), hlm.1
4 Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA, kapita selekta pendidikan islam (bandung: ANGKASA, 2003),
hlm.115.
Dari beberapa pendapat diatas tidak dijumpai perbedaan dengan kata lain
pandangan tokoh-tokoh terhadap pondol pesantren memiliki kesamaan yang mana
persamaan ini merujuk pada pendidikan agama islam yang berciri khas pengajian
kitab kuning, pengajian syariat islam, dan ilmu agama.
Dalam penjelasan lain disebutkan Pesantren adalah tempat para santri
belajar ilmu agama islam. Kata pesantren berasal dari kata “santri” yang artinya
murid yang belajar ilmu agama islam. Disebut pesantrian atau pesantren karena
seluruh murid yang belajar atauthalabul ilmi di pesantren disebut dengan istilah
santri. Tidak dikenal dengan sebutan siswa atau murid. Sebutan santri merupakan
konsep yang sudah baku, meskipun maknanya sama dengan siswa, murid, atau
anak didik.
Adapun dalam arti yang sempit, santri adalah seorang pelajar sekolah
agama. yang bermukim di suatu tempat yang disebut pondok atau pesantren.
Sedangkan dalam arti yang luas dan yang lebih umum, santri mengacu pada
identitas seseorang sebagai bagian dari bebagai komunitas penduduk jawa yang
menganut islam secara konsekuen yang sembahyang dan pergi ke masjid jika hari
jum’at dan sebagainnya.
Di indonesia pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sudah lama
dikenal sejak zaman kolonial, umur pesantren sudah sangat tua dan tidak pernah
lekang diterpa oleh perubahan zaman.5 meskipun pada saat ini banyak budaya dan
tradisi yang masuk ke Indonesia khususnya di sector pendidikan hal tersebut tidak
menjadikan pesantren stagnaan terutama di Madura yang eksistensi pondok
pesantren tetap kokoh hal itu dikarenakan masyarakat Madura memiliki doktrin
keagamaan yang cukup besar, atau diidentik dengan keagamaan (Agamis). Namun
perubahan zaman sedikit banyak berpengaruh terhadap penyelenggaraannya
pendidikan pesantren. Sehingga muncul istilah pondok pesantren modern
Semakin lama, pesantren mengalami kemodernan dan jumlahnyapun semakin
banyak.
Modernisasi telah merambah ke berbagai bidang kehidupan umat manusia
termasuk pesantren. Modernisasi yang terjadi dan terlaksana di dunia pesantren
memiliki karakteristik tersendiri. Keunikan pesantren terletak pada kealotan dan
5 Drs. Hasan Basri,M.Ag. ilmu pendidikan islam (jilid II), (Bandung: ANGKASA, 2009), hlm.76.
kuatnya proses tarik menarik antara sifat dasar tradisional dengan potensi dasar
modernisasi yang progresif dan senantiasa berubah. Pesantren juga
mempertahankan kesopanan (tatakrama) yang baik bagi para santrinya dan
menjadi hal yang paling utama dan sudah menjadi ciri khas di berbagai pesantren
yang ada di Indonesia.
B. Karakteristik Pondok Pesantren
Pondok pesantren memiliki karakteristik yang pada umumnya pondok
pesantren memiliki tempat-tempat belajar yang saling berdekatan sehingga
memudahkan para santri untuk melangsungkan proses pembelajaran, diantara
tempat itu berupa madrasah sebagai tempat pembelajaran, asrama sebagai tempat
tinggal santri yang mondok, masjid sebagai tempat ibadah para penghuni
pesantren dan juga sebagai pusat belajar para santri, perpustakaan sebagai tempat
peminjaman berbagai kitab dan buku-buku pelajaran, rumah tempat tinggal kyai,
ustadz dan ustadzah, dapur umum yang digunakan sebagai tempat memasak untuk
para santri, dan tempat pemandian para santri.
Ada beberapa karakteristik pesantren secara umum dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Pondok pesantren tidak menggunakan batasan umur bagi santri-santri.
2. Sebagai sentral peribadatan dan pendidikan islam.
3. Pengajaran kitab-kitab islam klasik.
4. Santri sebagai peserta didik. Dan
5. Kyai sebagai pemimpin dan pengajar di pesantren
Zamakhsyari Dhofier mengatakan, karakteristik pendidikan di pesantren terlihat
dari bangunan-bangunan yang sengaja dibuat sederhana, sekaligus menekankan
kesederhanaan cara hidup para santri.6 Oleh karenanya, kehidupan pondok
pesantren adalah kehidupan dengan pola hidup mandiri, santri dituntut dapat
mengurus dirinya terutama kebutuhan badaniyahnya atau tidak tergantung pada
orang lain kecuali kepada Allah. Dalam belajar kitab-kitab klasik, kyai menuntut
pemebelajaran individual, artinya santri dituntut mampu belajar secara mandiri
dan berusaha membaca kitab-kitab yang lebih besar setelah kyai memberikan
7 Kepatuhan santri kepada kyainya, dan dalam beberapa hal, pelajaran-pelajaran dasar mengenai
kitab-kitab Islam klasik menjadi salah satu aspek penting dalam pembelajaran di pesantren.
Dhofier mengemukakan, kehidupan politik juga mewarnai kehidupan santri dan merupakan bagian
dari kehidupan pesantren, tetapi perjuangan politik tidak dianggap sebagai suatu kepentingan
pokok.
8 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1982, hlm. 20
dominan yang dipegang oleh pesantren disebabkan suksesnya lembaga pesantren
menghasilkan sejumlah besar ’ulama’ yang berkualitas tinggi yang dijiwai oleh
semangat untuk menyebarluaskan dan memantapkan keimanan orang-orang
Islam.9 Di sisi lain, figur kyai yang begitu kuat dan penguasaannya terhadap ilmu
pengetahuan agama menjadikan pesantren sebagai pusat pendidikan dan dakwah
Islam. Pesantren memainkan peranan penting dalam penyebaran di pedalaman
pula Jawa. Bahkan ada kemungkinan beberapa pesantren mengambil alih pusat-
pusat keagamaan pra Islam.10
Sebagai pusat-pusat pendidikan Islam, pesantren juga mendidik guru-guru
madrasah, guru-guru lembaga pengajian dan para khatib Jum’at. Keberhasilan
pemimpin-pemimpin pesantren dalam menelorkan sejumlah besar ulama yang
berkualitas tinggi adalah karena metode pendidikan yang dikembangkan para
kyai. Tujuan pendidikan tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran murid
dengan penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan
mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spritual dan kemanusiaan,
mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan
para siswa untuk hidup sederhana dan bersih hati.
Zamakhsari menambahkan, di antara cita-cita pendidikan pesantren adalah
latihan untuk dapat berdiri sendiri dan membina diri agar tidak menggantungkan
sesuatu kepada orang lain kecuali kepada Tuhan. Para kyai selalu menaruh
perhatian dan mengembangkan watak pendidikan individual. Anak-anak yang
cerdas dan memiliki kelebihan kemampuan daripada yang lain diberi perhatian
istimewa dan selalu didorong untuk terus mengembangkan diri dan menerima
kuliah pribadi secukupnya. Muridmurid juga diperhatikan tingkah laku moralnya
secara teliti. Mereka diperlukan sebagai makhluk yang terhormat sebagai titipan
Tuhan yang harus disanjung. Kepandaian berpidato dan berdebat betul-betul
dikembangkan. Kepada murid ditanamkan perasaan kewajiban dan
tanggungjawab untuk melestarikan dan menyebarkan pengetahuan tentang Islam
kepada orang lain, mencurahkan waktu dan tenaga untuk belajar, terusmenerus
13 Depag RI, Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren, Ditjen. Binbaga Islam, Jakarta, 1985, hlm.
9-10
fungsinya sebagai tempat pemondokan atau asrama, dan setiap santri dikenakan
semacam sewa atau iuran untuk pemeliharaan pondok.
Biasanya, pembangunan pondok bagi santri dibagun di atas tanah milik
kyai, walaupun dalam perkembangannya sudah banyak pemondokan didirikan di
atas tanah milik masyarakat yang diwakafkan ke pondok pesantren. Pemondokan
bagi santri merupakan ciri khas dari pondok pesantren dengan sistem pendidikan
tradisional sedang pada sistem modern hanya menyediakan gedung belajar dan
santri pulang pergi dari rumah mereka atau sebagaian dari mereka menyewa
rumah penduduk di sekitar pondok.
Harun Nasution mengatakan, transformasi pesantren telah terjadi tidak saja
dalam sarana, tetapi juga dalam sistem pendidikannya; di samping sistem salafi
juga madrasi dan bahkan digabung dengan pengembangan keterampilan tangan.
Meskipun demikian, pesantren tetap melestarikan tradisi utamanya yaitu
pembinaan moral untuk selalu berbuat sopan santun, semangat mencari ilmu dan
sikap hidup mandiri.14 Walau santri dalam format pesantren modern bisa pulang
pergi dari rumah mereka, bukan berarti lepas dari kontrol/pantauan pesantren.
Tetapi dengan sederetan aktivitas kepesantrenan justru diharapakan akan muncul
nilai-nilai dan tradisi keislaman yang mengakar kuat dalam jiwa santri.
Di Jawa sendiri pemondokan dibangun sesuai dengan jumlah santri yang
menuntut ilmu. Semakin besar jumlah santri, maka semakin banyak asrama yang
dibutuhkan dan ini dibebankan kepada santri dan wali santri dengan uang
sumbangan pembangunan. Sebagai contoh Pondok Pesantren Darussalam, blok
Agung di Banyuwangi mewajibkan para santri membanyar Rp. 6.000, / setahun,
menyediakan sepotong kayu bangunan, satu meter kubik pasir dan diwajibkan
membuat 200 buah batu bata setahun sekali. Pesantren Ploso di Kediri
mewajibkan para santrinya membayar uang pondok sebanyak Rp. 7.000,- setahun,
dan mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya di kampung asal santri di waktu
musim panen untuk kepentingan perluasan bangunan dalam lingkungan pesantren.
Ada tiga alasan pondok pesantren menyediakan pemondokan bagi santri.
Pertama, kemasyhuran seorang kyai, kedalaman pengetahuan agamanya menarik
santrisantri dari jauh untuk menuntut ilmu dari kyai tersebut sehingga untuk dapat
18 Syahrul ’Adam Mf, ”Pesantren: Kiai dan Tarekat (Satu Potret Sejarah Sosial Pendidikan Islam
Indonesia), dalam Suwito MA dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Kencana, Jakarta,
2008, hlm. 273
dan bahkan pada masa kemerdekaan banyak di antara mereka diangkat menjadi
menteri, anggota parlemen, duta besar, dan pejabat-pejabat tinggi pemerintahan.
Bila ditelusuri lebih mendalam, keberadaan kyai dalam sejarah pondok
pesantren adalah salah satu yang sangat vital, karena keberlangsungan pesantren
tergantung dari peran kyai di dalamnya. Ronald Alan yang dikutip Hilmy
mengatakan, kyai adalah cendekiawan agama (ulama) yang karenav Islam tidak
memiliki sistem kependekatan, menjadi pemimpin-pemimpin Islam di Jawa. Kyai
tidak memperoleh gelar dari sistem pendidikan formal, tetapi lebih dari itu, gelar
itu datang dari masyarakat.19 Simuh menambahkan, sejak zaman Majapahit para
kyai sangat ditaati para santri dan dimuliakan laksana raja-raja lokal tak
bermahkota. Malah ada di antaranya menjelma menjadi kesultanan, yakni Demak,
Surabaya, dan lainnya.20 Karena pengaruh kyai yang cukup besar di masyarakat,
menempatkan kyai sebagai kelompok ”elite”, baik di tingkat nasional maupun
daerah. Sejak Indonesia merdeka, sebagian mereka diangkat menjadi anggota di
lembaga legislatif dan menjadi duta-duta besar.21
Secara umum, penyebutan kyai dalam sejarah pesantren atau masyarakat
Islam di Jawa mempunyai tiga pandangan berbeda antara lain:
a) Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat
seperti, ”Kyai Gadura Kencana” dipakai untuk sebutan kereta emas yang
ada di keraton Yogyakarta.
b) Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.
c) Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam
yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajar kitab-kitab
Islam klasik kepada para santrinya.
Berangkat dari beragamnya penggunaan istilah kyai, maka tidak benar
menurut Aliy As’ad, bila mengatakan bahwa kyai mesti ahli agama Islam.
Menurut As’ad, gelar kyai digunakan dalam tiga dimensi: pertama, kyai ulama
seperti Kyai Hasyim Asy’ari, Kyai Mahfudz al-Termasi, dan lain-lain. Kedua,
Kyai sebutan, artinya sebutan kepada yang mempunyai kelebihan, mereka juga
19 Hilmy Muhammadiyah dan Sulthan Fatoni, NU Identitas Islam Indonesia, Elsas, Jakarta, 2004,
hlm.110
20 Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, Teraju, Jakarta, 2003, hlm. 66
21 Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi, Usamah Press, Jakarta, 2003, hlm. 297
mempunyai pendukung untuk mengakui kelebihannya. Ketiga, Kyai aku-akuan
yakni kyai yang sebetulnya tidak mempunyai kelebihan spritual apa-apa.22 Untuk
mengetahui siapa yang layak disebut kyai, mesti harus ada parameter yang jelas.
Syahrul Adam yang mengutip Abuddin Nata23 menyebutkan, bahwa kyai secara
keilmuan mempunyai ciri-ciri,
1) menguasai ilmu agama secara mendalam;
2) keilmuan yang dimiliki telah mendapat pengakuan dari masyarakat
sekelilingnya;
3) menguasai kitab kuning dengan matang;
4) taat beribadah kepada Allah SWT;
5) mempunyai kemandirian dalam bersikap;
6) tidak mau mendatangi penguasa;
7) mempunyai geneologi ke-kyai-an;
8) memperoleh ilham dari Allah.
5. Kitab-kitab Islam Klasik
Unsur pokok lain yang cukup membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan
lain adalah bahwa pada pesantren diajarkan kitab-kitab klasik yang dikarang para
ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan
bahasa Arab. Pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian
dilanjutkan dengan kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam. Dan
tingkatan suatu pesantren dan pengajarannya biasanya diketahui dari jenis-jenis
kitab yang diajarkan.
Keseluruhan kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat digolongkan
kepada 8 kelompok:
a) Nahwu;
b) Fiqh;
c) Usul fiqh;
d) Hadis;
22 Aliy As’ad, “Pendahuluan Terjemahan Kitab Ta’lim Muta’allim” dalam Aliy As’ad,
Bimbingan bagi Penuntut Ilmu (Terjemahan Ta’lim al-Muta’allim), Menara Kudus, Kudus, tt.,
hlm. vii
23 Syahrul ’Adam Mf, ”Pesantren: Kiai dan Tarekat (Satu Potret Sejarah Sosial Pendidikan Islam
Indonesia), dalam Suwito MA dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Kencana, Jakarta,
2008, hlm. 273
e) Tafsir;
f) Tauhid;
g) Tasawuf dan etika;
h) Cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah.24
Kitab-kitab tersebut meliputi teks yang sangat pendek sampai teks yang
terdiri dari berjilid-jilid tebal mengenai hadis, tafsir, fiqh, ushul fiqh dan tasawuf.
Kesemuanya dapat digolongkan kepada tiga kelompok yaitu:
1. kitab-kitab dasar;
2. kitab-kitab tingkat menengah;
3. kitab-kitab besar.