Anda di halaman 1dari 23

PESANTREN: ASAL USUL, KARAKTERISTIK DAN UNSUR-UNSUR

KELEMBAGAANNYA

Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Sosial, Pemikiran, dan
Kelembagaan Pendidikan Islam
Dosen Pengampu,
DR. Jamal Fakhri, M.Ag.
DR. Nadirsyah, MA.

Oleh

Harry Prayoga Subandi


NPM : 18001740

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)


METRO
2018/2019
HALAMAN JUDUL

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH …………………………………… 1


B. RUMUSAN MASALAH …………………………………………….… 2
C. TUJUAN PENULISAN ………………………………………………... 2

BAB II PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK

A. PENGERTIAN PONDOK PESANTREN ……………………………... 3


B. KARAKTERISTIK PONDOK PESATREN. ……………………….…. 5
C. UNSUR-UNSUR KELEMBAGAAN PONDOK PESANTREN ….…... 9

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN ………………………………………………………….12

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dunia pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan islam dimana


didalamnya belajar ilmu agama. Seperti kitab-kitab kalasik, dan kitab-kitab syariat
lainnya. Dan pada perkembangannya pondok pesantren mengalami kemajuan
yang tidak hanya berkutat pada pengkajian agama atau kitab-kitab klasik,
Melaikan pengajaran tentang ilmu-ilmu pengetahuan umum modern yang sudah
diperkenalkan termasuk teknologi.
Adanya berbagai macam bidang kemajuan keilmuan yang diadopsi oleh
pesantren tetap menjadi perhatian dan pengawasan pesantren, karena hal ini perlu
dilakukan oleh pesantren untuk mengantisipasi adanya masalah, utamanya dalam
menyaring dampak negatif keilmuan-keilmuan modern yang akan merusak citra
pondok pesantren itu sendiri, sehingga pemprogramannyapun dibatasi dan hanya
sebagai kepentingan tertentu saja.
Sehubungan dengan hal tersebut pondok pesantren tidak hanya sebagai
wadah pengkajian ilmu agama islam melainkan juga sebagai wahana pemberdaya
umat. hal ini dikarenakan kemajuan pondok pesantren dari masa ke masa, Seperti
yang kita ketahui bersama bahwa visi dan misi pondok pesantren bukanlah rahasia
publik akan tetapi fungsi maupun peran pesantren memanglah benar sebagai
pemberdaya umat baik dari berbagai bidang seperti; syi’ar keagamaan (dakwah)
pengkajian kitab, sejarah, seni budaya, ilmu pengatahuan alam, astronomi,
teknologi, olahraga, politik, bidang ekonomi, dan lain sebagainya.
Secara kasat mata ada timbal balik antara pondok pesantren dan
masyarakat (umat) tidak bisa dipisahkan karena keduanya adalah dua sisi yang
bersinambungan, olek karena itu penyusun akan menguraikan peran pondok
pesantren dalam pemberdayaan umat. Dengan latar belakang diatas serta rumusan
masalah yang diambil diharapkan menjadikan titik temu bukti terhadap adanya
judul makalah diatas.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan judul makalah yang kami susun ini , maka dalam makalah ini
kami akan membahas tentang pesantren dengan rumusan masalah:
1. Apa pengertian pondok pesantren?
2. Apa karakteristik pondok pesantren?
3. Apa unsur-unsur kelembagaan pondok pesantren?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian pondok pesantren
2. Untuk mengetahui karakteristik pondok pesantren
3. Untuk mengetahui unsur-unsur kelembagaan pondok pesantren
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pondok Pesantren


Sebagai bentuk perbandingan kami cantumkan beberapa pendapat tentang
pengertian pondok pesantren, antara lain sebagai Berikut:
1. Pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq (‫ )فندوق‬yang berarti penginapan.
asrama atau wisma sederhana, karena pondok memang sebagai tempat
penampungan sederhana dari para pelajar/santri yang jauh dari tempat
asalnya (Zamahsyari Dhofir, 1982: 18)1
2. Pesantren merupakan lembaga dan wahana agama sekaligus sebagai
komunitas santri yang “ngaji” ilmu agama islam. Pondok pesantren
sebagai lembaga tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga
mengandung makna keaslian (indigenous) Indonesia, sebab keberadaannya
mulai dikenal pada periode abad ke 13-17 M, dan di jawa pada abad ke 15-
16 M.2
3. Pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang mempunyai
kekhasan tersendiri dan berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya.
Pendidikan di pesantren meliputi pendidikan islam, dakwah,
pengembangan kemasyarakatandan pendidikan lainnya yang sejenis. Para
peserta didik pada pesantren disebut santri yang umumnya menetap di
pesantren. Tempat dimana para santri menetap, di lingkungan pesantren,
disebut dengan istilah pondok. Dari snilah timbul istilah pondok
pesantren.3
4. Pesantren merupakan subkultur pendidikan di Indonesia sehingga dalam
menghadapi pembaharuan akan memberikan warna yang unik.4

1 http://tsalmans.blogspot.com/2010/05/pengertian-pondok-pesantren.html
2 Mastuhu, dinamika sistem pendidikan pesantren (Jakarta: INIS, 1994), hlm.6.
3 Departemen agama RI direktorat jenderal kelembagaan agama islam, pondok pesantren dan
madrasah diniyah (Jakarta: 2003), hlm.1
4 Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA, kapita selekta pendidikan islam (bandung: ANGKASA, 2003),
hlm.115.
Dari beberapa pendapat diatas tidak dijumpai perbedaan dengan kata lain
pandangan tokoh-tokoh terhadap pondol pesantren memiliki kesamaan yang mana
persamaan ini merujuk pada pendidikan agama islam yang berciri khas pengajian
kitab kuning, pengajian syariat islam, dan ilmu agama.
Dalam penjelasan lain disebutkan Pesantren adalah tempat para santri
belajar ilmu agama islam. Kata pesantren berasal dari kata “santri” yang artinya
murid yang belajar ilmu agama islam. Disebut pesantrian atau pesantren karena
seluruh murid yang belajar atauthalabul ilmi di pesantren disebut dengan istilah
santri. Tidak dikenal dengan sebutan siswa atau murid. Sebutan santri merupakan
konsep yang sudah baku, meskipun maknanya sama dengan siswa, murid, atau
anak didik.
Adapun dalam arti yang sempit, santri adalah seorang pelajar sekolah
agama. yang bermukim di suatu tempat yang disebut pondok atau pesantren.
Sedangkan dalam arti yang luas dan yang lebih umum, santri mengacu pada
identitas seseorang sebagai bagian dari bebagai komunitas penduduk jawa yang
menganut islam secara konsekuen yang sembahyang dan pergi ke masjid jika hari
jum’at dan sebagainnya.
Di indonesia pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sudah lama
dikenal sejak zaman kolonial, umur pesantren sudah sangat tua dan tidak pernah
lekang diterpa oleh perubahan zaman.5 meskipun pada saat ini banyak budaya dan
tradisi yang masuk ke Indonesia khususnya di sector pendidikan hal tersebut tidak
menjadikan pesantren stagnaan terutama di Madura yang eksistensi pondok
pesantren tetap kokoh hal itu dikarenakan masyarakat Madura memiliki doktrin
keagamaan yang cukup besar, atau diidentik dengan keagamaan (Agamis). Namun
perubahan zaman sedikit banyak berpengaruh terhadap penyelenggaraannya
pendidikan pesantren. Sehingga muncul istilah pondok pesantren modern
Semakin lama, pesantren mengalami kemodernan dan jumlahnyapun semakin
banyak.
Modernisasi telah merambah ke berbagai bidang kehidupan umat manusia
termasuk pesantren. Modernisasi yang terjadi dan terlaksana di dunia pesantren
memiliki karakteristik tersendiri. Keunikan pesantren terletak pada kealotan dan

5 Drs. Hasan Basri,M.Ag. ilmu pendidikan islam (jilid II), (Bandung: ANGKASA, 2009), hlm.76.
kuatnya proses tarik menarik antara sifat dasar tradisional dengan potensi dasar
modernisasi yang progresif dan senantiasa berubah. Pesantren juga
mempertahankan kesopanan (tatakrama) yang baik bagi para santrinya dan
menjadi hal yang paling utama dan sudah menjadi ciri khas di berbagai pesantren
yang ada di Indonesia.
B. Karakteristik Pondok Pesantren
Pondok pesantren memiliki karakteristik yang pada umumnya pondok
pesantren memiliki tempat-tempat belajar yang saling berdekatan sehingga
memudahkan para santri untuk melangsungkan proses pembelajaran, diantara
tempat itu berupa madrasah sebagai tempat pembelajaran, asrama sebagai tempat
tinggal santri yang mondok, masjid sebagai tempat ibadah para penghuni
pesantren dan juga sebagai pusat belajar para santri, perpustakaan sebagai tempat
peminjaman berbagai kitab dan buku-buku pelajaran, rumah tempat tinggal kyai,
ustadz dan ustadzah, dapur umum yang digunakan sebagai tempat memasak untuk
para santri, dan tempat pemandian para santri.
Ada beberapa karakteristik pesantren secara umum dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Pondok pesantren tidak menggunakan batasan umur bagi santri-santri.
2. Sebagai sentral peribadatan dan pendidikan islam.
3. Pengajaran kitab-kitab islam klasik.
4. Santri sebagai peserta didik. Dan
5. Kyai sebagai pemimpin dan pengajar di pesantren
Zamakhsyari Dhofier mengatakan, karakteristik pendidikan di pesantren terlihat
dari bangunan-bangunan yang sengaja dibuat sederhana, sekaligus menekankan
kesederhanaan cara hidup para santri.6 Oleh karenanya, kehidupan pondok
pesantren adalah kehidupan dengan pola hidup mandiri, santri dituntut dapat
mengurus dirinya terutama kebutuhan badaniyahnya atau tidak tergantung pada
orang lain kecuali kepada Allah. Dalam belajar kitab-kitab klasik, kyai menuntut
pemebelajaran individual, artinya santri dituntut mampu belajar secara mandiri
dan berusaha membaca kitab-kitab yang lebih besar setelah kyai memberikan

6 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1982, hlm. 16-17


dasar dalam mempelajarinya.7 Dengan pola seperti ini akan terlihat santri yang
pintar dan kurang pintar.
Gambaran dari karakteristik pendidikan di pesantren dapat diklasifikasikan
kepada dua hal yakni pola umum pendidikan dan sisem pengajaran.
a. Pola Umum Pendidikan
Pola pendidikan Islam tradisional di lembaga-lembaga pengajian atau
pesantren sangat berbeda-beda. Pada umumnya bertingkat-tingkat sesuai dengan
usia atau kebutuhan murid apakah dia ingin menjadi ulama atau tidak. Tingkatan
pengajian yang paling rendah dimulai pada waktu anak-anak berumur sekitar 5
sampai 7 tahun dalam bentuk membaca atau menghafalkan surat-surat pendek dari
Al-Qur’an yang dikenal dengan nama turutan, yang dilanjutkan, secara bertahap,
membaca seluruh Al-Qur’an sampai lancar sekali, baik dalam pengenalan huruf-
huruf atau tulisan-tulisan Arab maupun pengucapannya. Untuk mencapai taraf ini
biasanya diperlukan waktu sekitar 5 atau 6 tahun. Proses seleksi terhadap murid-
murid yang pandai sudah terjadi dalam tingkatan ini.
Pengajian pada tingkat yang lebih tinggi berbentuk penerjemahan ke
dalam bahasa Jawa terhadap teks-teks Islam klasik yang masih bersifat elementer
baik yang mengenai tata bahasa Arab, hukum-hukum Islam maupun teologi Islam.
Setelah murid memperoleh dasar-dasar yang cukup dalam sistem pengajian ini,
barulah ia dianggap qualified untuk meneruskan pelajarannya ke lembaga-
lembaga pesantren yaitu sekitar 15 atau 16 tahun. Lembaga-lembaga pesantrenpun
mengenalkan tingkatan-tingkatan, dari yang mengajarkan teks-teks sederhana
sampai kepada pesantren luhur yang mengajarkan teks-teks tingkat tinggi. Untuk
masa sekarang murid dapat memperolehnya pada Institut Agama Islam Negeri
(IAIN).8
Dewasa ini, walau setelah Indonesia merdeka dan telah berkembang jenis-
jenis pendidikan Islam formal dalam bentuk madrasah, namun secara luas,
kekuatan pendidikan Islam di Jawa masih berada pada sistem pesantren. Posisi

7 Kepatuhan santri kepada kyainya, dan dalam beberapa hal, pelajaran-pelajaran dasar mengenai
kitab-kitab Islam klasik menjadi salah satu aspek penting dalam pembelajaran di pesantren.
Dhofier mengemukakan, kehidupan politik juga mewarnai kehidupan santri dan merupakan bagian
dari kehidupan pesantren, tetapi perjuangan politik tidak dianggap sebagai suatu kepentingan
pokok.
8 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1982, hlm. 20
dominan yang dipegang oleh pesantren disebabkan suksesnya lembaga pesantren
menghasilkan sejumlah besar ’ulama’ yang berkualitas tinggi yang dijiwai oleh
semangat untuk menyebarluaskan dan memantapkan keimanan orang-orang
Islam.9 Di sisi lain, figur kyai yang begitu kuat dan penguasaannya terhadap ilmu
pengetahuan agama menjadikan pesantren sebagai pusat pendidikan dan dakwah
Islam. Pesantren memainkan peranan penting dalam penyebaran di pedalaman
pula Jawa. Bahkan ada kemungkinan beberapa pesantren mengambil alih pusat-
pusat keagamaan pra Islam.10
Sebagai pusat-pusat pendidikan Islam, pesantren juga mendidik guru-guru
madrasah, guru-guru lembaga pengajian dan para khatib Jum’at. Keberhasilan
pemimpin-pemimpin pesantren dalam menelorkan sejumlah besar ulama yang
berkualitas tinggi adalah karena metode pendidikan yang dikembangkan para
kyai. Tujuan pendidikan tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran murid
dengan penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan
mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spritual dan kemanusiaan,
mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan
para siswa untuk hidup sederhana dan bersih hati.
Zamakhsari menambahkan, di antara cita-cita pendidikan pesantren adalah
latihan untuk dapat berdiri sendiri dan membina diri agar tidak menggantungkan
sesuatu kepada orang lain kecuali kepada Tuhan. Para kyai selalu menaruh
perhatian dan mengembangkan watak pendidikan individual. Anak-anak yang
cerdas dan memiliki kelebihan kemampuan daripada yang lain diberi perhatian
istimewa dan selalu didorong untuk terus mengembangkan diri dan menerima
kuliah pribadi secukupnya. Muridmurid juga diperhatikan tingkah laku moralnya
secara teliti. Mereka diperlukan sebagai makhluk yang terhormat sebagai titipan
Tuhan yang harus disanjung. Kepandaian berpidato dan berdebat betul-betul
dikembangkan. Kepada murid ditanamkan perasaan kewajiban dan
tanggungjawab untuk melestarikan dan menyebarkan pengetahuan tentang Islam
kepada orang lain, mencurahkan waktu dan tenaga untuk belajar, terusmenerus

9 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1982, hlm. 20


10 Hilmy Muhammadiyah dan Sulthan Fatoni, NU Identitas Islam Indonesia, Elsas, Jakarta, 2004,
hlm.110
sepanjang hidup.11 Menurut tradisi pesantren, pengetahuan seseorang diukur oleh
jumlah buku-buku yang telah pernah dipelajarinya dan kepada ulama mana ia
telah berguru. Jumlah buku-buku standar dalam tulisan Arab yang dikarang oleh
ulama terkenal yang harus dibaca dan telah diutentukan oleh lembaga-lembaga
pesantren. Kemudian masing-masing kyai dari berbagai pesantren biasanya
mengembangkan diri untuk memiliki keahlian dalam cabang pengetahuan
tertentu, di mana kitab-kitab yang dibaca juga cukup dikenal. Dengan demikian,
homogenitas pandangan hidup keagamaan terbina dengan baik, tapi di samping itu
sifat kekhususan seorang kyai juga dapat tersalur.
b. Sistem Pengajaran
Sistem pengajaran yang dikenalkan di pesantren pada umumnya ada dua
macam, yaitu sistem sorogan, sistem ini biasanya diberikan kepada murid-murid
yang telah menguasai pembacaan Al-Qur’an. Sistem ini merupakan sistem
pengajian dasar di rumah-rumah, di langgar dan di masjid yang diberikan secara
individual. Dalam sistem ini guru membaca beberapa baris ayat al-Qur’an atau
kitab-kitab bahasa Arab dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Jawa.
Kemudian murid mengulangi dan menerjemahkan kata demi kata sepersis
mungkin seperti yang dilakukan oleh gurunya. Dalam sistem ini murid diharapkan
dapat menguasai tata bahasa Arab dan artinya dengan benar.
Sistem bandongan merupakan sistem utama di lingkungan pesantren.
Dalam sistem ini sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca,
menerjemahkan kata demi kata, dan menerangkan maksudnya. Santri menyimak
kitab masing-masing dan mendengarkan dengan seksama terjemahan dan
penjelasan kyai. Kemudian santri mengulang dan mempelajari kembali sendiri-
sendiri. Pada tingkat halaqah yang lebih tinggi, sebelum santri mengikutinya,
harus terlebih dahulu mempelajari bagian-bagian dari kitab yang akan diajarkan
kyai, sehingga santri tinggal menyimak bacaan kyai dan mencocokkan
pemahamannya dengn keterangan kyai.12

11 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1982, hlm. 22


12 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, 1985, hlm.
58
Dengan melalui halaqah para santri juga dimotivasi untuk belajar sendiri
secara mandiri. Bagi santri yang rajin dan mempunyai kecerdasan yang tinggi
tentunya akan cepat menguasai apa yang diajarkan.
Dalam realitasnya, penyelenggaraan sistem pendidikan dan pengajaran di
pondok pesantren dewasa ini dapat digolongkan kepada 3 bentuk:
1. Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam,
yang pada umumnya diberikan dengan cara nonklasikal (sistem bandongan
dan sorogan) di mana seorang kyai mengajar santri berdasarkan kitab-kitab
yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad
pertengahan, sedang para santri biasanya tinggal dalam pondok ataun asrama
dalam pesantren.
2. Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam,
yang pada dasarnya sama dengan pondok pesantren, tetapi para santri tidak
disediakan pondok, namun tinggal dan tersebar di seluruh penjuru desa
sekeliling pesantren (santri kalong), di mana cara dan metode pendidikan dan
pengajaran diberikan dengan sistem weton, yaitu cara santri datang
berduyunduyun pada waktu-waktu tertentu.
3. Pondok pesantren dewasa ini merupakan lembaga gabungan antara sistem
pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran dengan
sistem bandongan, sorogan atau wetonan dengan para santri kalongan, yang
dalam istilah pendidikan pondok modern memenuhi kriteria pendidikan
nonformal, serta menyelenggarakan pendidikan formal berbentuk madrasah
dan bahkan sekolah umum dalam berbagai banyak tingkatan dan aneka
kejuruan menurut kebutuhan masyarakat.13
C. Unsur-unsur Kelembagaan Pondok Pesantren
1. Pondok
Pada awal perkembangannya, pondok bukanlah semata-mata dimaksudkan
sebagai tempat tinggal atau asrama para santri, untuk mengikuti dengan baik
pelajaran yang diberikan oleh kyai, tetapi juga sebagai tempat training bagi santri
yang bersangkutan agar mampu hidup mandiri dalam masyarakat. Namun dalam
perjalanan waktu, terutama pada masa sekarang, tampaknya lebih menonjol

13 Depag RI, Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren, Ditjen. Binbaga Islam, Jakarta, 1985, hlm.
9-10
fungsinya sebagai tempat pemondokan atau asrama, dan setiap santri dikenakan
semacam sewa atau iuran untuk pemeliharaan pondok.
Biasanya, pembangunan pondok bagi santri dibagun di atas tanah milik
kyai, walaupun dalam perkembangannya sudah banyak pemondokan didirikan di
atas tanah milik masyarakat yang diwakafkan ke pondok pesantren. Pemondokan
bagi santri merupakan ciri khas dari pondok pesantren dengan sistem pendidikan
tradisional sedang pada sistem modern hanya menyediakan gedung belajar dan
santri pulang pergi dari rumah mereka atau sebagaian dari mereka menyewa
rumah penduduk di sekitar pondok.
Harun Nasution mengatakan, transformasi pesantren telah terjadi tidak saja
dalam sarana, tetapi juga dalam sistem pendidikannya; di samping sistem salafi
juga madrasi dan bahkan digabung dengan pengembangan keterampilan tangan.
Meskipun demikian, pesantren tetap melestarikan tradisi utamanya yaitu
pembinaan moral untuk selalu berbuat sopan santun, semangat mencari ilmu dan
sikap hidup mandiri.14 Walau santri dalam format pesantren modern bisa pulang
pergi dari rumah mereka, bukan berarti lepas dari kontrol/pantauan pesantren.
Tetapi dengan sederetan aktivitas kepesantrenan justru diharapakan akan muncul
nilai-nilai dan tradisi keislaman yang mengakar kuat dalam jiwa santri.
Di Jawa sendiri pemondokan dibangun sesuai dengan jumlah santri yang
menuntut ilmu. Semakin besar jumlah santri, maka semakin banyak asrama yang
dibutuhkan dan ini dibebankan kepada santri dan wali santri dengan uang
sumbangan pembangunan. Sebagai contoh Pondok Pesantren Darussalam, blok
Agung di Banyuwangi mewajibkan para santri membanyar Rp. 6.000, / setahun,
menyediakan sepotong kayu bangunan, satu meter kubik pasir dan diwajibkan
membuat 200 buah batu bata setahun sekali. Pesantren Ploso di Kediri
mewajibkan para santrinya membayar uang pondok sebanyak Rp. 7.000,- setahun,
dan mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya di kampung asal santri di waktu
musim panen untuk kepentingan perluasan bangunan dalam lingkungan pesantren.
Ada tiga alasan pondok pesantren menyediakan pemondokan bagi santri.
Pertama, kemasyhuran seorang kyai, kedalaman pengetahuan agamanya menarik
santrisantri dari jauh untuk menuntut ilmu dari kyai tersebut sehingga untuk dapat

14 Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Paramadina, Jakarta, 1997, hlm. 15.


memaksimalkan diri menuntut ilmu santri harus menetap di dekat kediaman kyai.
Kedua, hampir semua pesantren berada di desa-desa terpencil di mana tidak
tersedia perumahan atau penginapan yang cukup untuk santri, dengan demikian
secara tidak langsung perlu adanya asrama bagi santri jauh. Ketiga, ada sikap
timbal balik antara kyai dan santri, di mana para santri menganggap kyainya
seolah-olah sebagai bapaknya sendiri, dan kyai menganggap para santri sebagai
titipan Allah yang harus dilindungi. Sikap saling membutuhkan ini menimbulkan
rasa tanggung jawab kyai untuk menyediakan asrama bagi santri, dan tumbuh
dalam diri santri sikap selalu taat kepada kyai.
Keadaan asrama biasanya sangat sederhana, cukup untuk berteduh dan
menaruh beberapa barang pribadi sehingga santri yang kaya pun harus puas
dengan keadaan seperti itu. Beberapa dapur juga disediakan bagi santri yang
memasak, sedangkan yang lainnya bisa berlangganan makan di warung sekeliling
pesantren, 2 atau 3 kali makan dengan membayar uang di muka untuk satu bulan
yang rata-rata bayarannya Rp. 4.000 sampai dengan Rp. 6.000 atau lebih,
tergantung dari jenis lauk-pauk makanannya. Untuk tempat tinggal santri putri
biasanya terpisah dari asrama putra dan keadaannnya pun tidak jauh berbeda
dengan arsama untuk santri putra.
2. Masjid
Keberadaan masjid tidak terlepas dari dunia pendidikan Islam karena ia
adalah salah satu pusat pengembangan ajaran Islam pada masa awal Islam.
Keberadaannya yang sangat vital menuntut pondok pesantren untuk membangun
masjid dalam pesantren sebagai tempat mendidik para santri, shalat lima waktu,
dan pengajian kitabkitab klasik. Seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah
pondok pesantren biasanya pertama-tama akan mendirikan masjid di dekat
rumahnya.
Masjid yang telah dibangun dijadikan sebagai tempat/lembaga pendidikan
bagi santri dalam pelatihan-pelatihan dan pendidikan elementer yang secara
tradisional diberikan dalam pengajian-pengajian. Terkadang rumah kyai, rumah
guru dan langgarlanggar juga menjadi tempat penyelenggaraan pengajian
(pendidikan). Dalam perkembangan terakhir menunjukkan, di dalam mesjid
terdapat ruangan-ruangan yang berupa kelas-kelas sebagaimana terdapat di
madrasah-madrasah. Namun demikian, masjid masih tetap digunakan sebagai
temapat belajar-mengajar. Pada sebagian pesantren masjid berfungsi sebagai
tempat i’tikaf dan melaksanakan latihan-latihan, atau suluk dan dzikir, maupun
amalan-amalan dalam kehidupan tarekat dan sufi.15 Sebagai lembaga pendidikan,
masjid atau langgar mempunyai fungsi yang tidak terlepas dari kehidupan
keluarga.
Sebagai lembaga pendidikan, berfungsi sebagai penyempurna pendidikan
dalam keluarga, agar selanjutnya anak mampu melaksanakan tugas-tugas hidup
dalam masyarakat dan lingkungannya. Pada mulanya pendidikan di langgar atau
di masjid, dalam arti sederhana dapat dikatakan sebagai lembaga pendidikan
formal, dan sekaligus lembaga pendidikan sosial.
Pada tahap-tahap awal, penyelenggaraan pendidikan antara langgar atau
surau dibedakan dengan masjid, di mana pendidikan di surau atau langgar adalah
pendidikan tingkat dasar yang biasa disebut pengajian al-Qur’an. Kemudian
pendidikan dan pengajaran di tingkat lanjutan disebut pengajian kitab dan
diselenggarakan di masjid. Dengan demikian, di seurau atau di langgar dan masjid
pada masa lalu (sebelum timbul dan berkembangnya madrasah), telah
diselenggarakan dua macam starata pendidikan yaitu pendidikan dasar, yang
disebut pengajian al-Qur’an, pendidikan ini berada di bawah bimbingan guru
mengaji al-Qur’an. Dan yang kedua, pendidikan tingkat lanjutan yang disebut
Guru Kitab.16
Zamakhsari Dhofier menekankan, semua lembaga-lembaga pengajian
tidak sama jenisnya; dalam kenyataannya lembaga-lembaga tersebut bertingkat-
tingkat. Bentuk yang paling rendah bermula pada waktu anak-anak berumur 5
tahun, menerima pelajaran dari orang tuanya menghafalkan beberapa surat pendek
dari juz Qur’an yang terakhir. Setelah mereka berumur 7 atau 8 tahun mulai
diajarkan membaca alfabet Arab dan secara bertahap diajar untuk dapat membaca
al-Qur’an. Pengajarnya biasanya orang tuanya sendiri, atau saudaranya atau
belajar di rumah tetangga (langgar). Pelajaran biasanya diberikan setelah shalat
maghrib. Program pengajaran ini biasanya akan berhenti setelah anak dapat

15 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1982, hlm. 136


16 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern,
LP3ES, Jakarta, 1986, hlm. 152
membaca sendiri al-Qur’an dengan lancar dan benar. Bagi beberapa anak dari
keluarga tertentu yang punya hubungan dengan kyai atau guru mengaji,
pendidikan pembacaan al-Qur’an hanya merupakan jenjang pertama. Mereka
masih melanjutkan pelajaran untuk dapat membaca dan menterjemahkan buku-
buku Islam klasik yang elementer yang ditulis dalam bahasa Arab. Sebagian dari
mereka mempunyai ambisi untuk menjadi ulama, sehingga setelah berkenalan
dengan beberapa kitab elementer, mereka memperdalam bahasa Arab sebagai alat
untuk dapat memperdalam buku-buku fiqh, ushul fiqh, hadis, adab (sastra Arab),
tafsir tauhid (teologi Islam), tarikh (sejarah Islam), tasawwuf, akhlak (etika
Islam). Untuk menempuh mata-mata pelajaran tersebut diperlukan guru-guru yang
cukup terdidik dan cukup berbobot. Ini dapat mereka peroleh di pesantren-
pesantren. Untuk masa sekarang dapat diperoleh pada Institut Agama Islam
Negeri (IAIN).17
3. Santri
Pengertian santri lebih tertuju kepada pesantren dengan sistem pendidikan
tradisional sedangkan pada pendidikan modern yang menganut sistem barat di
sebut siswa. Namun dalam pendidikan sistem tradisional pesantren ada dua
macam santri. Pertama, Santri Mukim yaitu santri yang berasal dari daerah yang
jauh dan menetap dalam kelompok pesantren, dan mereka juga mempunyai
tanggung Jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Kedua, Santri
Kalong yaitu santri yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren, yang
biasanya tidak menetap di dalam pesantren. Untuk mengikuti kegiatan pesantren,
mereka pulang pergi dari rumahnya sendiri. Keberadaan jumlah santri mukim dan
santri kalong menjadi cerminan besar dan majunya sebuah pondok pesantren.
Semaikin besar jumlah santri mukim, maka semakin besar sebuah pesantren. Dan
pesantren kecil jumlah santri kalongnya lebih banyak dari jumlah santri
mukimnya.

17 Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Paramadina, Jakarta, 1997, hlm. 20


Keberadaan santri di pondok pesantren dan menetap di asrama dengan
berbagai alasan antar lain:
a) Ia ingin mempelajari kitab-kitab lain yang membahas Islam secara lebih
mendalam di bawah bimbingan kyai yang memimpin pesantren
tersebut.
b) Ia ingin memperoleh pengalaman kehidupan pesantren, baik dalam
bidang pengajaran, keorganisasian maupun hubungan dengan
pesantren-pesantren yang terkenal.
c) Ia ingin memusatkan studinya di pesantren tanpa disibukkan oleh
kewajiban sehari-hari di rumah keluarganya. Di samping itu, dengan
tinggal di pesantren yang sangat jauh letaknya dari rumah tidak
memungkinkannya untuk pulang bolak-balik.
4. Kyai
Dalam tradisi pesantren banyak memiliki kemiripan dengan tradisi yang
ada dalam tasawuf, dalam hal ini tarekat. Misalnya saja dalam persoalan
penghormatan kepada kyai, sikap hormat kepada kyai adalah ajaran yang
mendasar yang ditanamkan kepada santri. Bahkan kepatuhan itu disinyalir lebih
penting dari mencari ilmu itu sendiri.
Penyebutan kyai di beberapa daerah berbeda-beda. Di Jawa barat sendiri
orang yang memimpin pesantren di sebut dengan Ajengan, sedangkan di Jawa
Timur di sebut Kyai.18 Perkembangan zaman membawa perubahan areal
penamaan kyai tidak terbatas pada orang yang mempunyai atau memimpin
pondok pesantren, akan tetapi beberapa orang yang mempunyai pengaruh besar di
kalangan masyarakat walaupun tidak mempunyai pondok pesantren di sebut juga
dengan kyai. Sebutan kyai pada masa penjajahan mempunyai kedudukan yang
prestise, karena kesultanan pada masa itu lebih banyak mengurus masalah politik,
maka secara otomatis bidang agama dipegang oleh kyai. Karena cakupan bidang
agama melingkupi segala aspek seperti, hak milik, perkawinan, perceraian, harta
warisan, dan lain-lain, kekuasan kyai lebih besar dari pada kesultanan atau raja
pada masa itu. Oleh karena itu, mereka lebih diterima secara umum di nusantara

18 Syahrul ’Adam Mf, ”Pesantren: Kiai dan Tarekat (Satu Potret Sejarah Sosial Pendidikan Islam
Indonesia), dalam Suwito MA dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Kencana, Jakarta,
2008, hlm. 273
dan bahkan pada masa kemerdekaan banyak di antara mereka diangkat menjadi
menteri, anggota parlemen, duta besar, dan pejabat-pejabat tinggi pemerintahan.
Bila ditelusuri lebih mendalam, keberadaan kyai dalam sejarah pondok
pesantren adalah salah satu yang sangat vital, karena keberlangsungan pesantren
tergantung dari peran kyai di dalamnya. Ronald Alan yang dikutip Hilmy
mengatakan, kyai adalah cendekiawan agama (ulama) yang karenav Islam tidak
memiliki sistem kependekatan, menjadi pemimpin-pemimpin Islam di Jawa. Kyai
tidak memperoleh gelar dari sistem pendidikan formal, tetapi lebih dari itu, gelar
itu datang dari masyarakat.19 Simuh menambahkan, sejak zaman Majapahit para
kyai sangat ditaati para santri dan dimuliakan laksana raja-raja lokal tak
bermahkota. Malah ada di antaranya menjelma menjadi kesultanan, yakni Demak,
Surabaya, dan lainnya.20 Karena pengaruh kyai yang cukup besar di masyarakat,
menempatkan kyai sebagai kelompok ”elite”, baik di tingkat nasional maupun
daerah. Sejak Indonesia merdeka, sebagian mereka diangkat menjadi anggota di
lembaga legislatif dan menjadi duta-duta besar.21
Secara umum, penyebutan kyai dalam sejarah pesantren atau masyarakat
Islam di Jawa mempunyai tiga pandangan berbeda antara lain:
a) Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat
seperti, ”Kyai Gadura Kencana” dipakai untuk sebutan kereta emas yang
ada di keraton Yogyakarta.
b) Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.
c) Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam
yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajar kitab-kitab
Islam klasik kepada para santrinya.
Berangkat dari beragamnya penggunaan istilah kyai, maka tidak benar
menurut Aliy As’ad, bila mengatakan bahwa kyai mesti ahli agama Islam.
Menurut As’ad, gelar kyai digunakan dalam tiga dimensi: pertama, kyai ulama
seperti Kyai Hasyim Asy’ari, Kyai Mahfudz al-Termasi, dan lain-lain. Kedua,
Kyai sebutan, artinya sebutan kepada yang mempunyai kelebihan, mereka juga

19 Hilmy Muhammadiyah dan Sulthan Fatoni, NU Identitas Islam Indonesia, Elsas, Jakarta, 2004,
hlm.110
20 Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, Teraju, Jakarta, 2003, hlm. 66
21 Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi, Usamah Press, Jakarta, 2003, hlm. 297
mempunyai pendukung untuk mengakui kelebihannya. Ketiga, Kyai aku-akuan
yakni kyai yang sebetulnya tidak mempunyai kelebihan spritual apa-apa.22 Untuk
mengetahui siapa yang layak disebut kyai, mesti harus ada parameter yang jelas.
Syahrul Adam yang mengutip Abuddin Nata23 menyebutkan, bahwa kyai secara
keilmuan mempunyai ciri-ciri,
1) menguasai ilmu agama secara mendalam;
2) keilmuan yang dimiliki telah mendapat pengakuan dari masyarakat
sekelilingnya;
3) menguasai kitab kuning dengan matang;
4) taat beribadah kepada Allah SWT;
5) mempunyai kemandirian dalam bersikap;
6) tidak mau mendatangi penguasa;
7) mempunyai geneologi ke-kyai-an;
8) memperoleh ilham dari Allah.
5. Kitab-kitab Islam Klasik
Unsur pokok lain yang cukup membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan
lain adalah bahwa pada pesantren diajarkan kitab-kitab klasik yang dikarang para
ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan
bahasa Arab. Pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian
dilanjutkan dengan kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam. Dan
tingkatan suatu pesantren dan pengajarannya biasanya diketahui dari jenis-jenis
kitab yang diajarkan.
Keseluruhan kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat digolongkan
kepada 8 kelompok:
a) Nahwu;
b) Fiqh;
c) Usul fiqh;
d) Hadis;

22 Aliy As’ad, “Pendahuluan Terjemahan Kitab Ta’lim Muta’allim” dalam Aliy As’ad,
Bimbingan bagi Penuntut Ilmu (Terjemahan Ta’lim al-Muta’allim), Menara Kudus, Kudus, tt.,
hlm. vii
23 Syahrul ’Adam Mf, ”Pesantren: Kiai dan Tarekat (Satu Potret Sejarah Sosial Pendidikan Islam
Indonesia), dalam Suwito MA dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Kencana, Jakarta,
2008, hlm. 273
e) Tafsir;
f) Tauhid;
g) Tasawuf dan etika;
h) Cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah.24
Kitab-kitab tersebut meliputi teks yang sangat pendek sampai teks yang
terdiri dari berjilid-jilid tebal mengenai hadis, tafsir, fiqh, ushul fiqh dan tasawuf.
Kesemuanya dapat digolongkan kepada tiga kelompok yaitu:
1. kitab-kitab dasar;
2. kitab-kitab tingkat menengah;
3. kitab-kitab besar.

24 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1982, hlm. 50


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Karakteristik pendidikan di pesantren digolongkan kepada dua : (a). Pola
Umum Pendidikan. Dimulai dari tingkatan pengajian yang paling rendah yakni
dimulai pada waktu anak-anak berumur sekitar 5 sampai 7 tahun dalam bentuk
membaca atau menghafalkan surat-surat pendek dari Al-Qur’an yang dikenal
dengan nama turutan, yang dilanjutkan, secara bertahap, membaca seluruh Al-
Qur’an sampai lancar. Untuk mencapai taraf ini biasanya diperlukan waktu sekitar
5 atau 6 tahun. Kemudian Pengajian pada tingkat yang lebih tinggi berbentuk
penerjemahan teks-teks Islam klasik yang masih bersifat elementer baik yang
mengenai tata bahasa Arab, hukum-hukum Islam maupun teologi Islam. Setelah
murid dianggap qualified untuk meneruskan pelajarannya ke lembaga-lembaga
pesantren yaitu sekitar 15 atau 16 tahun. Lembagalembaga pesantrenpun
mengenalkan tingkatan-tingkatan, dari yang mengajarkan teksteks sederhana
sampai kepada pesantren luhur yang mengajarkan teks-teks tingkat tinggi. (b).
Sistem Pengajaran, yaitu sistem sorogan, sistem ini merupakan sistem pengajian
dasar di rumah-rumah, di langgar dan di masjid yang diberikan secara individual.
Sistem bandongan, dalam sistem ini sekelompok murid mendengarkan seorang
guru yang membaca, menerjemahkan kata demi kata, dan menerangkan
maksudnya. Santri menyimak kitab masing-masing dan mendengarkan dengan
seksama terjemahan dan penjelasan kyai. Kemudian santri mengulang dan
mempelajari kembali sendiri-sendiri.
Unsur-unsur kelembagaan di pesntren adalah: 1. Pondok, tempat tinggal
atau asrama para santri, untuk mengikuti dengan baik pelajaran yang diberikan
oleh kyai; 2. Masjid, sebagai lembaga pendidikan, berfungsi sebagai penyempurna
pendidikan dalam keluarga dan juga menyelenggarakan dua macam starata
pendidikan yaitu pendidikan dasar, yang disebut pengajian al-Qur’an, pendidikan
ini berada di bawah bimbingan guru mengaji al-Qur’an. Dan yang kedua,
pendidikan tingkat lanjutan yang disebut Guru Kitab. 3. Santri, terbagi dua yaitu:
Santri Mukim (santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam
kelompok pesantren); Santri Kalong (santri yang berasal dari desa-desa di
sekeliling pesantren). 4. Kyai, yang menurut As’ad, digunakan dalam tiga
dimensi: pertama, kyai ulama, kyai sebutan, dan kyai aku-akuan. 5. Kitab-kitab
Islam Klasik, yang digolongkan kepada 8 kelompok: a. Nahwu; b. Fiqh; c. Usul
fiqh; d. Hadis; e. Tafsir; f. Tauhid; g. Tasawuf dan etika; h. Cabang-cabang lain
seperti tarikh dan balaghah.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman an-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyyah al-Islam wa Asalibuha, Dar al-


Fikr, Bairut, 1979
Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, Dharma Bakti, Jakarta, 1984
Aliy As’ad, “Pendahuluan Terjemahan Kitab Ta’lim Muta’allim” dalam Aliy
As’ad, Bimbingan bagi Penuntut Ilmu (Terjemahan Ta’lim al-Muta’allim),
Menara Kudus, Kudus, tt.
Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi, Usamah Press, Jakarta, 2003
Depag RI, Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren, Ditjen. Binbaga Islam,
Jakarta, 1985
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, al-Husna Dzikra, Jakarta, 1988
Hilmy Muhammadiyah dan Sulthan Fatoni, NU Identitas Islam Indonesia, Elsas,
Jakarta, 2004
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern, LP3ES, Jakarta, 1986
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Hidakarya Agung,
Jakarta, 1985
Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Paramadina, Jakarta, 1997
Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, Teraju, Jakarta, 2003
Syahrul ’Adam Mf, ”Pesantren: Kiai dan Tarekat (Satu Potret Sejarah Sosial
Pendidikan Islam Indonesia), Suwito MA dan Fauzan, Sejarah Sosial
Pendidikan Islam, Kencana, Jakarta, 2008
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1982
http://tsalmans.blogspot.com/2010/05/pengertian-pondok-pesantren.html
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994)
Departemen agama RI direktorat jenderal kelembagaan agama islam, Pondok
Pesantren dan Madrasah Diniyah (Jakarta: 2003)
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA, Kapita Selekta Pendidikan Islam (bandung:
ANGKASA, 2003),
Drs. Hasan Basri,M.Ag. Ilmu Pendidikan Islam (jilid II), (Bandung: ANGKASA,
2009)

Anda mungkin juga menyukai