Anda di halaman 1dari 25

ALIRAN – ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN DAN

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Ayu Nurcahyani1, Baharudin Yusuf1, Eka Risna1


1
Program Studi Pendidikan Agama Islam, UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Jl. Cimencrang, Cimenerang, Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat 40292

ayunurcahyanikng@gmail.com

Abstrak : Seiring banyaknya perubahan dan perkembangan dalam kehidupan


melahirkan berbagaimacam pemikiran filosofis guna untuk menciptakan
kehidupan yang ideal terutama dalam bidang pendidikan. Begitu pun dalam kajian
filsafat, terdapat banyak pemikiran-pemikiran yang kian waktu kian berkembang
sesuai dengan perubahan yang terjadi. Hal tersebut tidak lain terjadi karena
manusia ingin menciptakan suatu peradaban dunia yang lebih baik, maka tak
jarang konsep lama yang diganti, berkembang atau pun dimodifikasi oleh konsep
yang baru. Begitu pun dalam aliran-aliran filsafat pendidikan, terus berkembang
dari waktu ke waktu hingga melahirkan berbagai konsep aliran yang hingga kini
teraplikasikan dalam dunia pendidikan. Setelah itu, falsafah pendidikan barat pun
akhirnya merembes kepada para filosof-filosof muslim yang akhirnya melahirkan
berbagai aliran-aliran filsafat pendidikan Islam.

Kata Kunci : Filsafat, Aliran – aliran Filsafat, Pendidikan Barat, Pendidikan


Islam.

1. PENDAHULUAN
Pembentukan dan penyempurnaan kualitas manusia dalam dunia
pendidikan selalu berkenaan dengan persoalan proses pemanusiaan yang
mengarah pada perbaikan dan kemajuan, sehingga dengan demikian dikatakan
pula bahwa kemajuan peradaban suatu masyarakat sangat tergantung pada pola
dan sistem yang ditempuh oleh suatu lembaga pendidikan dalam menggemleng

1
subjek-subjek didiknya. Pendeknya transformasi sosial dan budaya yang akan
mengarah pada kemajuan peradaban suatu bangsa dan negara tergantung pada
orientasi, sistem dan strategi yang ditempuh lembaga pendidikan, utamanya
pendidikan formal yang secara niscaya lebih terencana, terprogram dan tertata
secara rapi ke arah tujuan yang diinginkan.
Lahirnya aliran-aliran dalam filsafat pendidikan dan pendidikan Islam pun
selalu didasarkan atas keinginan menciptakan manusia-manusia ideal melalui
jalur pendidikan. Oleh karena itu pula berbagai pemikiran kependidikan pun
akan selalu mengacu pada cara pandang seseorang atau sekelompok orang
dalam menilik eksistensi manusia dalam memperoleh pengalaman-pengalaman
yang pada gilirannya akan membentuk peradaban dan kebudayaan manusia itu
sendiri. Oleh karena itu, corak dan model yang ditawarkannya pun memiliki
hubungan signifikan dengan cara pandang aliran dalam memandang realitas
manusia, baik hakikat maupun eksistensinya di dunia dalam kaitannya dengan
dirinya, alam dan Tuhan.

2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitiaan kepustakaan (library
research), yaitu metode pengumpulan data berdasarkan buku-buku yang
berkaitan dengan pembahasan mengenai aliran-aliran filsafat pendidikan dan
filsafat pendidikan Islam. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data-
data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap berbagai literatur yang ada
hubungannya dengan judul pembahasan jurnal ini.

3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Aliran-aliran dalam Filsafat Pendidikan
Dalam proses pertumbuhan nya, filsafat sebagai hasil pemikiran
para ahli filsafat atau filosof sepanjang kurun waktu dengan obyek
permasalahan hidup di dunia, telah melahirkan berbagai macam
pandangan. Adakalanya pandangan-pandangan itu saling kuat menguatkan
dan tidak jarang pula yang berlawanan. Begitu pula halnya dengan filsafat

2
pendidikan, bahwa dalam sejarahnya telah melahirkan berbagai pandangan
atau aliran.[ CITATION Dra15 \l 1057 ]
Pemikiran edukatif berbeda dengan pemikiran filosofis. Pemikiran
filosofis dijadikan sebagai dasar dan sumber bagi pemikiran edukatif.
Essensialisme, perennialisme, progressivisme, rekonstruksionisme dan
eksistensialisme merupakan refleksi dari pemikiran filosofis : idealisme,
realisme, neo-thomisme, eksperimentalisme atau pragmatisme dan
eksistenialisme (Arthur Ellis, 1986 : 115). Pemikiran edukatif yang
dikaitkan atau tidak memisahkan diri dari landasan pemikiran filosofis
akan membentuk falsafah pendidikan. George R. Knight mencoba untuk
menarik hubungan antara aliran falsafah terhadap munculnya teori-teori
pendidikan. Alur pikir demikian menunjukkan bahwa aliran falsafah
idealisme menjadi dasar dan sumber inspirasi munculnya teori pendidikan
essensialisme. [CITATION Pro13 \p 37 \l 1057 ]
Untuk mengenal perkembangan pemikiran dunia filsafat
pendidikan, di bawah ini akan diuraikan garis-garis besar aliran-aliran
filsafat dalam pendidikan, yaitu :
1. Essensialisme
Aliran ini merupakan falsafah pendidikan tradisional yang
memandang bahwa nilai-nilai pendidikan hendaknya bertumpu pada
nilai-nilai yang jelas dan tahan lama sehingga menimbulkan kestabilan
dan arah yang jelas pula. Gerakan essensialisme modern sebenarnya
berkembang pada awal abad ke-20 dan muncul sebagai jawaban atas
aliran progressivisme.[CITATION Pro13 \p 37 \l 1057 ] Filsafat
essensialisme adalah aliran filsafat yang lebih merupakan perpaduan
ide filsafat idealism-objektif dan realisme-objektif. [CITATION Pro11 \p
166 \l 1033 ]
Essensialisme muncul pada zaman Renaissans, dengan ciri-ciri
utamanya berbeda dengan progressivisme. Perbedaan ini terutama
dalam memberikan dasar pijakan mengenai pendidikan yang penuh
flesksibelitas, dimana serba terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak

3
ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Bagi esensialisme, pendidikan
yang berpijak pada pandangan itu mudah goyah dan kurang terarah.
[ CITATION Dra15 \l 1057 ] Karena itu essensialime memandang bahwa
agar pendidikan memiliki tujuan yang jelas dan kukuh diperlukan
nilai-nilai yang kukuh yang akan mendatangkan kestabilan. Untuk itu
perlu dipilih nilai-nilai yang mempunyai tata yang jelas dan teruji oleh
waktu.[CITATION Pro11 \p 169 \l 1057 ]
Essensialisme pertama kali muncul sebagai reaksi atas simbolisme
mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Aliran ini beranggapan bahwa
manusia perlu kembali kepada kebudayaan lama, yaitu kebudayaan
yang telah ada semenjak peradaban manusia yang pertama. Hal ini
mengingat kebudayaan lama itu tengah banyak membuktikan
kebaikan-kebaikannya untuk manusia.
Esensialis percaya bahwa pelaksanaan pendidikan memerlukan
modifikasi dan penyempurnaan sesuai dengan kondisi manusia yang
bersifat dinamis dan selalu berkembang. Namun mengingat
pengembangan manusia akan selalu berada di bawah azas ketetapan
dan natural, maka pendidikan harus dibina atas dasar nilai-nilai yang
kukuh dan tahan lama agar memberikan kejelasan dan kestabilan arah
bangunannya. Pendidikan yang fleksibel dan terbuka untuk perubahan,
toleran dan tidak berhubungan dengan doktrin dan norma yang
universal menjadikan eksistensinya mudah goyah dan tidak memiliki
arah yang jelas. Oleh karena itu, pendidikan harus didasarkan pada
azas yang kukuh yang secara nyata telah teruji kebenaran dan
ketangguhannya dalam perjalan sejarah.[CITATION Pro11 \p 169 \l 1057 ]
Dalam hal ini, essensialisme menekankan pada tujuan pewarisan
nilai-nilai kultural-historis kepada peserta didik melalui pendidikan
yang akumulatif dan terbukti dapat bertahan lama serta dinilai untuk
diketahui oleh semua orang. Pengetahuan ini dilaksanakan dengan
memberikan skill, sikap, dan nilai-nilai yang tepat, yang merupakan

4
bagian essensial dari unsur-unsur pendidikan.[CITATION Pro13 \p 38 \l
1057 ]
Karena para esensialis meyakini bahwa manusia, alam jagad raya
dan Tuhan merupakan tiga hal yang saling terkait dalam peraihan
pengetahuan, maka Comenius (1592-1670) mengandaikan bahwa
membina kesadaran manusia akan alam semesta dan dunianya untuk
membentuk kesadaran spiritual menuju Tuhannya adalah tugas pokok
pendidikan. Maka dari itu sistem sekolah harus mengutamakan realitas
dunia dimana ia hidup dan situasi praktis, karena memang pendidikan
tidak lain adalah agar anak-anak didiknya kelak mampu hidup di
dalam masyarakatnya dan memiliki kesiapan mental dalam
menghadapi berbagai problem dalam kehidupannya.[CITATION Pro11 \p
170 \l 1057 ]
Untuk mewujudkan hal di atas, maka dalam pandangan
esensialisme hakikat belajar yang sesungguhnya berupaya untuk
kembali pada psikologi pendidikan tentang pola dan cara manusia
dalam proses peraihan pengetahuan melalui aktivitas belajar.
Berdasarkan ini para esensialis memaknai belajar sebagai melatih daya
jiwa yang secara potensial sudah ada, seperti daya pikir, ingat dan
perasaan. Mereka yakin bahwa proses belajar adalah proses
penyesuaian individu dengan lingkungan dalam pola stimulus dan
respon. Dalam hal ini guru adalah sebagai agen untuk memperkuat
pembentukan kebiasaan dalam rangka penyesuaian dengan
lingkungannya. Tidak seperti perenialisme yang menolak
progressivisme dalam keseluruhan aspek yang menjadi
karaktersitiknya, esensialisme hanya memberikan penolakan dalam
beberapa aspek khusus saja, seperti pemberian konsentrasi aktivitas
pembelajaran semata-mata berpusat pada anak didik saja sehingga
terlihat kesan pengabaian fungsionalitas pendidik sebagai orang yang
mengatur dan mengarahkan proses pembelajaran itu sendiri. Maka
dalam mewujudkan hal ini, esensialis memberikan bentuk perhatian

5
bukan pada subjek belajar, tetapi lebih pada subjek kurikulum.
[CITATION Pro11 \p 170-171 \l 1057 ]
Kurikulum dipusatkan pada penguasaan materi pelajaran dan
karenanya fokus pendidikan selama sekolah dasar adalah keterampilan
membaca, menulis dan berhitung; sementara pada sekolah menengah
hal tersebut diperluas dengan memasukkan pelajaran matematika,
sains, humaniora, sebagai pondasi yang esensial bagi keutuhan
pendidikan secara umum untuk memenuhi kebutuhan hidup. Asumsiya
adalah bahwa dengan pendidikan yang ketat terhadap disiplin ilmu ini
akan dapat membantu mengembangkan intelek siswa dan pada saat
yang sama akan menjadikannya sadar terhadap lingkungan dunia
fisiknya. Menguasai dasar konsep dan fakta dari disiplin ilmu yang
esensial tadi merupakan suatu keharusan.[CITATION Pro13 \p 38 \l 1057 ]
Ulrich menekankan “Core Curriculum” (inti kurikulum) termasuk
bahasa asing, dalam rangka hubungan internasional yang lebih erat dan
luas di masa depan.[CITATION Pro11 \p 171 \l 1057 ]
Guru, dalam proses pendidikan dipandang sebagai center for
excellence, karena dituntut untuk menguasai bidang studi dan sebagai
model atau figur yang amat diteladani bagi siswa. [CITATION Pro13 \p
38 \l 1057 ] Guru mengambil peran yang sangat besar dalam untuk
mengatur dan mengarahkan subjek didik ke arah kedewasaan. Maka
dari itu, guru harus dibekali dengan berbagai pengetahuan dan
keterampilan yang memadai untuk menyokong kompetensinya dalam
menjalankan tugas. Jadi, esensialme lebih menekankan aspek guru
dalam setiap gerak aktivitas belajar di sekolah. Guru yang berkualitas
akan dapat melahirkan subjek didik yang berkualitas pula. [CITATION
Pro11 \p 171 \l 1057 ]
Metode yang digunakan adalah metode tradisional yaitu discipline
method, suatu metode yang menggunakan pendekatan psikologis
pendidikan yang mengutamakan latihan-latihan berpikir logis, teratur,

6
ajek, sistematis, menyeluruh menuju latihan penarikan kesimpulan
yang baik dan komprehensif.[CITATION Pro11 \p 172 \l 1057 ]
Sekolah, melalui upaya guru, berperan untuk melestarikan dan
mentransmisikan ilmu kepada para pelajar atau generasi selanjutnya
yang berupa budaya dan sejarah dengan melalui pengetahuan dan
hikmah. Masing-masing pelajar dalam sekolah ini akan mempelajari
ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang diperlukan
untuk membuatnya berjasa bagi masyarakatnya.[CITATION Pro13 \p 38 \l
1057 ]
2. Perennialisme
Walaupun perennialisme muncul dipengaruhi falsafah neo-
skolastik namun sama halnya dengan essesialisme, perennialisme
merupakan aliran pendidikan tradisional. Perennialisme berasal dari
kata perennial yang dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of
Current English diartikan sebagai continuing throughout the whole
year, atau lasting for a long time, yakni kekal atau abadi. Menurut para
ahli pada aliran ini umumnya sepakat bahwa perennialisme mengacu
pada falsafah yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang
bersifat kekal. Menurut pengertian ini bahwa dalam pendidikan harus
didasari oleh nilai-nilai kultural masa lampau, regressive road to
culture, oleh karena kehidupan modern saat ini banyak menimbulkan
krisis dalam banyak bidang.[CITATION Pro13 \p 38-39 \l 1057 ]
Dalam pengertiannya yang lebih umum dapat dikatakan bahwa
tradisi dipandang juga sebagai prinsip-prinsip yang abadi yang terus
mengalir sepanjang sejarah manusia, karena ia adalah anugerah Tuhan
pada semua manusia dan memang merupakan hakikat insaniah
manusia. Karena esensi aliran ini berupaya menerapkan nilai-nilai atau
norma-norma yang bersifat kekal dan abadi yang selalu seperti itu
sepanjang sejarah manusia, maka perennialisme dianggap sebagai
suatu aliran yang ingin kembali atau mundur kepada nilai-nilai
kebudayaan masa lampau. Dalam konteksnya bukan berarti

7
bernostalgia dan sekedar mengingat-ingat kembali pola kehidupan
masa lampau tetapi untuk membina kembali keyakinan akan nilai-nilai
asasi masa silam untuk menghadapi problematika kehidupan manusia
saat sekarang sampai kapan pun dan dimana pun.[CITATION Pro11 \p
158-159 \l 1057 ] Maka timbulnya aliran ini adalah berasal dari
pemikiran orang-orang Eropa yang berusaha untuk mencari jawaban
akibat banyaknya ketimpangan, kekacauan, kebingungan serta
berbagai problematika lainnya. Mereka menganggap bahwa ide umum
yang terkandung dalam pemikiran filsuf zaman Yunani Kuno dan
Abad Pertengahan itu adalah memiliki nilai yang ideal dan masih tetap
relevan untuk menjawab persoalan masa kini.[CITATION Pro13 \p 39 \l
1057 ]
Aliran ini berkeyakinan bahwa walaupun manusia hidup di
lingkungan dan tempat yang berbeda-beda, namun hakikat manusia
tetap sama yaitu sebagai makhluk yang rasional. Aliran ini
berpendapat bahwa rasionalitas adalah hukum pertama yang akan tetap
benar di segala zaman dan tempat.
Dalam hal ini, Mortimer J. Adler mengungkapkan, bahwa manusia
adalah makhluk rasional yang memiliki kemampuan intelektual yang
tampak dalam kapasitasnya sebagai subjek yang aktif dan dapat
melakukan tindakan-tindakan seni, membaca dan mendengar, menulis
dan berbicara serta berfikir. Kecuali itu, mengingat manusia adalah
juga makhluk sosial maka kehidupan intelektualnya juga hidup di
tengah-tengah komunitas yang akan menjadi eksis melalui komunikasi.
Aristoteles sebagai salahsatu tokoh yang menjadi rujukan aliran ini
menekankan bahwa melatih dan membiasakan diri merupakan hal
yang mendasar bagi pengembangan kualitas manusia. Oleh karena itu,
kesadaran disiplin perlu ditanamkan sejak dini.[CITATION Pro11 \p 161-
162 \l 1057 ]
Dalam hal pendidikan, perennialisme memandang bahwa tujuan
utama pendidikan adalah untuk membantu siswa dalam memperoleh

8
dan merealisasikan kebenaran abadi. [CITATION Pro13 \p 40 \l 1057 ]
Robert M. Hutchins, salah seorang tokoh perennial menyimpulkan
bahwa tugas pokok pendidikan adalah pengajaran. Pengajaran
menunjukkan pengetahuan sedangkan pengetahuan adalah kebenaran.
Kebenaran pada setiap manusia adalah sama, oleh karena itu dimana
pun dan kapan pun akan tetap sama.[CITATION Pro11 \p 163 \l 1057 ]
Aliran ini menilai bahwa kebenaran itu bersifat universal dan konstan.
Maka jalan untuk mencapainya adalah melatih intelek dan disiplin
mental. Tujuan pendidikan tersebut terurai dalam format kurikulum
yang berpusat pada materi (content based, subject-centered) dan
mengutamakan disiplin ilmu sastra, matematika, bahasa humaniora,
sejarah, dan lain-lain.[CITATION Pro13 \p 40 \l 1057 ] penyesuaian diri
pada kebenaran merupakan tujuan belajar itu sendiri. Maka tuntutan
tertinggi dalam beajar adalah latihan dan disiplin mental. Cara mudah
untuk mengajar subjek didik adalah dengan cara menumbuhkan
keinginan untuk belajar. Realisasi diri sangat tergantung pada disiplin
diri, sedangkan disiplin diri itu sendiri dapat diraih melalui disiplin
eksternal. Berdasarkan hal ini, sampai pada kesimpulan bahwa belajar
adalah upaya keras untuk memperoleh sesuatu ilmu pengetahuan
melalui disiplin tinggi dalam latihan pengembangan prinsip-prinsip
rasional.[CITATION Pro11 \p 164 \l 1057 ]
Makna hakiki dari belajar menurut aliran ini adalah belajar untuk
berpikir. Dengan cara latihan berpikir, subjek didik akan memiliki
senjata ampuh dalam menghadapi berbagai rintangan yang akan
menurunkan martabat kemanusiaannya seperti kebodohan,
kebingungan, keragu-raguan dan ignorasi. Tugas subjek didik adalah
mempelajari berbagai karya dalam berbagai literatur filsafat, sejarah
dan sains, sehingga dengan demikian ia berkenalan dengan berbagai
prestasi di masa lalu menuju pembentukan pemikiran yang akan
mengisi kehidupannya dan membangun prestasi-prestasinya pula.
Subjek dasar yang harus dipelajari diantaranya sejarah, bahasa,

9
matematika, pengetahuan alam, filsafat dan seni yang dianggap sangat
berguna untuk mengembangkan pemikirannya sehingga dengan
demikian mereka memiliki kemampuan rasional yang kukuh dalam
menghadapi tantangan realitas kehidupannya.
Ketika seorang anak mengalami kegagalan dalam belajar tugas
guru adalah bagaimana ia mampu menyelesaikan berbagai persoalan
yang harus anak hadapi melalui pendekatan intelektual belajar yang
sama bagi subjek didik. Dalam hal ini guru harus menghindari sikap
yang kurang menyenangkan atau bahkan menyakiti subjek didik.
Melalui pendekatan penyadaran akan intelektualitas, anak akan dapat
diarahkan dan dikembangkan pada penyempurnaan kemanusiaannya.
[CITATION Pro11 \p 164-165 \l 1057 ]
Perennialisme membedakan belajar pada dua wilayah yaitu
pengajaran dan penemuan. Yang pertama belajar memerlukan bantuan
guru. Guru dalam hal ini memberikan pengetahuan dan pencerahan
kepada subjek-subjek didik, baik dengan cara menunjukkan atau
menafsirkan implikasi dari pengetahuan yang diberikan. Guru dalam
pandangan perennialisme, mestilah orang yang menguasai betul
terhadap disiplin ilmunya, sehingga mampu mengarahkan muridnya
menuju pada kebenaran. [CITATION Pro13 \p 40 \l 1057 ] Namun, tugas
guru dalam konteks aliran ini tentu lebih pada pembimbing dari pada
pemberi atau transfer pengetahuan. Sedangkan yang kedua, tidak lagi
membutuhkan bantuan guru, karena subjek didik dalam pola ini
diharapkan telah dapat belajar atas kemampuannya sendiri.[CITATION
Pro11 \p 165 \l 1057 ]
Berdasarkan konsep dasar di atas, maka perennialisme cenderung
pada subject-centered dalam kurikulum maupun metode dan
pendekatan yang ditempuh dalam proses pembelajaran. Dalam
kurikulum akan terlihat materi-materi yang mengarah pada
kepentingan dan kebutuhan subjek didiknya dalam
menumbuhkembangkan potensi berpikir kreatif yang dimilikinya,

10
sedangkan dalam metode tentu mengutamakan metode yang selalu
menjaga kebebasan berfikir individu, baik melalui diskusi dan
pemecahan masalah maupun dalam penelitian dan penemuan.
[CITATION Pro11 \p 165-166 \l 1057 ] Sedangkan sekolah berperan untuk
melatih intelektual demi tercapainya kebenaran, dimana kebenaran
tersebut suatu ketika akan diwariskan kepada generasi berikutnya.
Oleh karena itu, sekolah harus menyiapkan anak-anak dan remaja
dalam menghadapi kehidupannya.[CITATION Pro13 \p 40 \l 1057 ]
3. Progressivisme
Aliran progressivisme adalah suatu aliran filsafat pendidikan yang
sangat berpengaruh dalam abad ke 20 ini. Usaha pembaharuan dalam
lapangan pendidikan pada umumnya terdorong oleh aliran
progressivisme ini. Biasanya aliran progressivisme ini dihubungkan
dengan pandangan hidup liberal “The liberal road to culture”. Yang
dimaksud dengan ini ialah pandangan hidup yang mempunyai sifat-
sifat sebagai berikut : fleksibel (tidak kaku, tidak menolak perubahan,
tidak terikat oleh suatu doktrin tertentu), corious (ingin mengetahui,
ingin menyelidiki), toleran dan open-minded (mempunyai hati
terbuka).[ CITATION Dra15 \l 1057 ]
Progressivisme secara bahasa dapat diartikan sebagai aliran yang
menginginkan kemajuan-kemajuan secara cepat. Dalam konteks
filsafat pendidikan, progressivisme merupakan suatu aliran yang
menekankan bahwa pendidikan bukanlah sekadar upaya pemberian
sekumpulan pengetahuan kepada subjek didik, tetapi hendaklah berisi
beragam aktivitas yang mengarah pada pelatihan kemampuan berpikir
mereka secara menyeluruh, sehingga mereka dapat berpikir secara
sistematis.
Menurut aliran progressivisme, pendidikan adalah proses
perkembangan, sehingga seorang pendidik mesti selalu siap untuk
memodifikasi berbagai metode dan strategi dalam pengupayaan ilmu-
ilmu pengetahuan terbaru dan berbagai perubahan-perubahan yang

11
menjadi kecenderungan dalam suatu masyarakat. Kualitas pendidikan
tidak dapat ditentukan semata-mata dari standarisasi suatu nilai
kebaikan, kebenaran ataupun keindahan yang bersifat perennial, tetapi
ditentukan oleh sejauhmana suatu pendidikan itu mampu untuk terus
menerus merekontruksi pengalaman.
Dalam hal pendidikan, John Dewey beranggapan bahwa sekolah
merupakan model masyarakat demokratis dalam bentuk kecil, dimana
para siswa dapat belajar dan mempraktikan keterampilan yang
diperlukan untuk hidup di alam demokratis. Ia memandang bahwa
memfokuskan perhatian pada penguasaan pengetahuan yang baku
seperti dalam aliran essensialisme dan perennialisme adalah tidak
perlu. Sebagai gantinya progressivisme mendapatkan perhatian pada
how to think (bagaimana cara berpikir) daripada menekankan perhatian
pada what to think (apa yang harus dipikirkan).[CITATION Pro13 \p 45 \l
1057 ]
Perhatian progressivisme banyak dipusatkan pada sekolah yang
mengutamakan peserta didik (child-centered school) dan menekankan
kurikulum yang mengutamakan aktivitas (activity-centered
curriculum). Terdapat beberapa prinsip dasar progressivisme yang
dirangkum oleh Kneller sebagai berikut :
a. Pendidikan itu seharusnya “kehidupan” itu sendiri bukan
persiapan untuk hidup.
b. Belajar harus dikaitkan secara langsung dengan minat anak.
c. Belajar melalui pemecahan masalah (problem solving)
harus didahulukan daripada pengulangan mata pelajaran
secara ketat.
d. Peranan guru bukan untuk menunjukkan tapi membimbing.
e. Sekolah mesti meningkatkan upaya kerja sama, bukan
bersaing.
f. Hanya perkenan secara demokratislah –sesungguhnya dapat
meningkatkan- peranan ide personalitas anak secara bebas,

12
padahal itu diperlukan bagi kondisi pertumbuhan anak yang
benar.[CITATION Pro13 \p 47 \l 1057 ]

Apabila dihubungkan dengan kurikulum yang diterapkan di


Indonesia sekarang ini, maka pandangan aliran progresivisme tersebut
sangat relevan dan mempengaruhi, bahkan menjadi salah satu dasar
dalam pengembangan kurikulum tersebut. Kurikulum yang dimaksud
ialah Kurikulum 2013. Kurikulum ini mulai diberlakukan di Indonesia
pada akhir 2013 atau awal tahun 2014. Kurikulum 2013 dimaknai
sebagai kurikulum yang dikembangkan dalam rangka meningkatkan
dan menyeimbangkan antara kemampuan soft skill dan hard skill yang
berupa sikap, keterampilan, dan pengetahuan. (Fadlillah, 2014)

Aliran progresivisme disebutkan sebagai salah satu yang mendasari


pengembangan Kurikulum 2013, dikarenakan dalam Kurikulum 2013
pendekatan pembelajaran yang digunakan ialah pendekatan saintifiks.
Di mana pendekatan saintifiks ini lebih menekankan pada pemecahan
sebuah masalah (problem solving). Yang dimaksud pendekatan
saintifik yaitu pembelajaran dilakukan dengan kegiatan mengamati,
menanya, mengumpulkan informasi, menalar, dan
mengkomunikasikan. Jadi dapat dipahami bahwa Kurikulum 2013
sangat cocok dengan pandangan aliran progresivisme. (Fadlillah M,
2017)

4. Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme merupakan pengembangan dari aliran
sebelumnya, yaitu progresivisme. Salah satu yang melatarbelakangi
munculnya rekonstruksionisme adalah ketidakpuasan terhadap
progresivisme yang dianggap kurang relevan pada abad kemajuan
teknologi yang pesat ini. Sehingga muncullah rekonstruksionisme,
yaitu merekonstruksi masyarakat dan menciptakan suatu tatan dunia
yang baru secara global (Prof. Dr. Abd. Rachman Assegaf, 2013)

13
Rekonstruksionome sendiri dipelopori oleh Georgr Count dan Harold
Rugg tahun 1930, yang ingin membangun masyarakat baru yang
pantas dan adil (Drs. Uyoh Sadulloh, 2015).
Caroline Pratt (1948), seorang rekonstruksionis sosial yang
mahsyur pada masanya menyatakan bahwa nilai terbesar suatu sekolah
harus menghasilkan manusia-manusia yang dapat befikir secara efektif
dan bekerja secara konstruktif, yang saat bersamaan dapat membuat
suatu dunia yang lebih baik dibandingkan dengan sekarang ini untuk
hidup di dalamnya. Dengan kata lain, sekolah tidak hanya mentransfer
pengetahuan mengenai tatanan sosial yang ada saja, tetapi juga harus
berusaha untuk merekonstruksinya (Drs. Uyoh Sadulloh, 2015).
Aliran ini berpendapat bahwa sekolah harus mendominasi atau
mengarahkan perubahan atau rekonstruksi pada tatanan sosial. Count
dan Rugg berpendapat, bahwa sekolah harus melakukan perbaikan
masyarakat yang spesifik. (Drs. Uyoh Sadulloh, 2015).
Count mengemukakan bahwa sekolah akan betul – betul berperan
apabila sekolah menjadi pusat bangunan masyarakat baru secara
keseluruhan, membasmi kemelaratan, peperangan, dan kesukuan
(rasialisme). Bahwa sekolah harus bersatu dengan buruh, wanita, para
petani, dan kelompok – kelompok minoritas untuk mengadakan
perubahan yang diperlukan.
Tujuan pendidikan rekonstruksionisme yaitu menyadarkan peserta
didik dan memberi keterampilan kepada mereka agar mampu
memecahkan masalah – masalah yang berkaitan dengan permasalahan
sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi dalam sekala global.
Kurikulum sendiri merupakan subject matter yang berisikan
permasalahan sosial, ekonomi, dan politik yang beraneka ragam yang
dihadapi manusia, termasuk yang dihadapi oleh peserta didik itu
sendiri.

14
Kemudian peran guru yaitu menyadarkan peserta didik terhadap
permasalahan untuk dipecahkan. Guru mendorong peserta didik untuk
dapat berfikir alternatif dalam memecahkan setiap permasalahan.

5. Eksistensialisme
Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang segala
gejala berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia
berada di dunia. Cara berada manusia berbeda dengan cara beradanya
benda-benda materi. Keberadaan benda-benda materi berdasarkan
ketidaksadaran akan dirinya sendiri dan juga tidak terdapat komunikasi
antara satu dan lainnya. Tidak demikian halnya dengan manusia.
Manusia berada bersama dengan manusia lainnya sederajat. Benda-
benda materi akan bermakna karena manusia. [CITATION Yay1 \p 61 \l
1057 ]
Bagi eksistensialisme, benda-benda materi, alam fisik, dan dunia
yang berada diluar manusia tidak akan bermakna atau tidak memiliki
tujuan apa-apa kalau terpisah dari manusia. Jadi dunia ini bermakna
karena manusia. Eksistensialisme mengakui bahwa apa yang
dihasilkan sains cukup asli, namun tidak memiliki makna kemanusiaan
secara langsung.
Eksistensialisme berhubungan erat dengan pendidikan karena pusat
pembicaraan eksistensialisme adalah keberadaan manusia. Dan
pendidikan hanya dilakukan oleh manusia. [CITATION Teg111 \p 183 \l
1057 ] Tujuan pendidikan eksistensialisme ialah mendorong setiap
individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk
pemenuhan diri. Setiap individu memiliki kebutuhan dan perhatian
yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga dalam
menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan berlaku
secara umum. Langkah yang ditempuh untuk memenuhi tujuan
pendidikan versi eksistensialisme yaitu dengan memberi bekal
pengalaman yang komprehensif dalam semua bentuk kehidupan.

15
[CITATION Yay1 \p 62 \l 1057 ] Eksistensialisme lebih memperhatikan
pemahaman makna dan tujuan hidup manusia ketimbang melakukan
pemahaman terhadap kajian-kajian ilmiah dan metafisika tentang alam
semesta.
Kurikulum eksistensialisme cenderung bersifat liberal, membawa
manusia pada kebebasan manusia.oleh karena itu, di sekolah harus
diajarkan pendidikan sosial untuk mengajarkan rasa hormat terhadap
kebebasan dan privasi masing-masing individu. Proses belajar-
mengajar pengetahuan tidak ditumpahkan, tetapi ditawarkan agar
hubungan antara guru dan siswa direalisasikan sebagai suatu dialog.
[CITATION Teg111 \p 183 \l 1057 ]
Adapun mengenai metode pembelajarannya, eksistensialisme
cenderung pada metode Socrates, yaitu metode induksi sebagai proses
pemahaman manusia atas dirinya. Menurut Yaya Sunarya
eksistensialisme ini tidak terfokus pada metode tertentu, hal ini
berdasarkan prinsip eksistensialisme, yakni memberikan kebebasan
kepada individu untuk mengembangkan potensinya secara maksimal.
Dengan demikian, metode yang digunakan guru pun pasti beragam.
Namun, metode apa pun yang digunakan eksistensialisme
diproyeksikan untuk membentuk karakter yang baik dan untuk
menggapai kebahagiaan.
Ketika proses belajar berlangsung, para guru harus memberikan
kebebasan kepada siswa untuk memilih dan memberi pengalaman-
pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari
kehidupannya. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan banyak
orang, tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang
mereka sukai: logika menunjukkan bahwa kebebasan memiliki aturan,
dan rasa hormat akan kebebasan orang lain itu penting. [CITATION
Yay1 \p 64 \l 1057 ]
Essensialisme dan perennialisme, karena karakteristiknya yang
menekankan pada aspek nilai, moral, disiplin mental, prinsip-prinsip

16
umum dan pewarisan budaya atau tradisi yang menjiwai zaman Yunani,
rennaisans dan abad pertengahan, maka sering disebut sebagai aliran
tradisional, sedangkan aliran progressivisme, rekontruksionisme,
futurisme, humanisme, eksistensialisme, dan sejenisnya dikategorikan
sebagai aliran kontemporer. Garis demarkasi yang membatasi penyebutan
tradisional dan kontemporer ini agaknya tidak berpijak pada waktu semata,
melainkan pada kekhasan aliran tersebut. Ditilik dari sejarah
kemunculannya, justru progressivisme muncul lebih awal di Amerika
Serikat daripada essensialisme. Asumsi pendukung essensialisme adalah
bahwa progressivisme telah menimbulkan ketidakstabilan pelaksanaan
pendidikan dan kurang memerhatikan nilai-nilai, norma, serta pewarisan
budaya. Sama halnya, jika berbicara mengenai Ormas Islam di Indonesia,
Muhammadiyah yang sering disebut sebagai kelompok modernis justru
lahir lebih awal (1912) daripada Nadlatul Ulama (1926) yang dinisbatkan
sebagai kelompok tradisionalis. Agaknya, tradisionalisme cenderung hadir
sebagai kritik bagi modernisme. Dimana sumber munculnya
progressivisme sebagai falsafah pendidikan yang tergolong modern-
kontemporer? Akar falsafah pendidikan komtemporer bisa dilacak dari
basis filosofisnya, pragmatisme.[CITATION Pro13 \p 40-41 \l 1057 ]

B. Aliran-aliran Filsafat Pendidikan Islam


Pengaruh falsafah Yunani yang merembes dalam pendidikan Islam
di satu sisi dapat menimbulkan manfaat penting, namun di sisi lain
mencemaskan, karena terjadinya polarisasi antar-aliran pemikiran
pendidikan Islam sehingga memunculkan nama “baru” dan “klasik” yang
belum tentu memiliki latar belakang dan faktor yang sama. Namun karena
terma-terma yang berkembang dalam kepustakaan demikian luas
penggunaan istilah aliran pemikiran Yunani, pada akhirnya peristilahan
pendidikan Islam terjebak dalam padanan kata yang mereka. Dalam hal ini
Muhammad Jawwad Ridla membagi aliran utama pemikiran pendidikan
Islam dalam tiga bagian, yaitu aliran religius-konservatif (al-diniy al-

17
muhafidz), aliran religius-rasional (al-diniy al-‘aqlaniy), dan aliran
pragmatis instrumental (al-dzarai’i).[ CITATION Pro13 \l 1033 ]

1. Aliran Religius-Konservatif (al-Diniy al-Muhafidz)


Aliran ini dalam membahas pendidikan cenderung bersikap murni
keagaamaan. Aliram ini memaknai ilmu dengan pengertian sempit,
yakni hanya mencakup ilmu-ilmu yang dibutuhkan saat sekarang
(hidup di dunia) yang jelas-jelas akan membawa manfaat kelak di
akhirat (al-Thusi dalam Adab al-Muta’allim). Penuntut ilmu harus
mengawali belajarnya dengan Al-Qur’an, menghafalkan bahkan
menafsirkannya. Ulum Al-Qur’an merupakan induk semua ilmu, lalu
dilanjutkan belajar al-Hadits, Ulum Al-Hadits, Ushul, Nahwu, dan
Sharaf (Ibn Jama’ah dalam Tadzkrat). Tokoh-tokoh yang
dikategorikan dalam aliran ini meliputi, Al-Ghazali, Nasiruddin al-
Thusi, ibn Jama’ah, ibn Sahnun, ibn Hajar al-Haitsami, dan al-Qabisi.
Pandangan konservatif yang dimaksud dalam aliran ini adalah
mengarah pada konsep hierarki nilai yang menstrukturkan ragam ilmu
secara vertical sesuai dengan penilaian mereka tentang keutamaan
masing-masing ilmu. Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu-ilmu
keagamaan, yaitu pengetahuan tentang jalan menuju akhirat, hanya
dapat diperoleh dengan kesempurnaan rasio dan kejernihan akal budi.
Rasio adalah sifat manusia yang paling utama, karena hanya dengan
rasiolah manusia mampu menerima amanat dari Allah dan dengannya
pula mampu “mendekatkan” di sisi-Nya.[CITATION Pro13 \p 57 \l 1033 ]
Pola umum pemikiran Al-Ghazali dalam pendidikannya antara
lain:
a. Kegiatan menuntut ilmu tiada lain berorientasi pada pencapaian
ridha Allah.
b. Teori ilmu ilhami sebagai landasan teori pendidikannya, dan
diperkuat dengan sepuluh kode etik peserta didik.
c. Tujuan agamawi merupakan tujuan punvak menuntut ilmu.

18
d. Pembatasan term al-’ilm hanya pada ilmu tentang Allah.
(Baharuddin dan Wahyuni, 2010 hal. 39)

Dari deskripsi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran


utama aliran konservatif antara lain :

a. Ilmu adalah al hal, yaitu ilmu yang dibutuhkan saat sekarang


yang bisa membawa manfaat di akhirat.
b. Ilmu-ilmu selain ilmu keagamaan adalah sia-sia, dan
c. Ilmu hanya bisa diperoleh melalui rasio.[ CITATION Ari13 \l
1033 ]
2. Aliran Religius-Rasional (al-Diniy al-‘Aqlaniy)
Aliran religius-rasional banyak membangun konsep-konsepnya
dari pemikiran falsafah Yunani dan berusaha menyelaraskan pemikiran
tersebut dengan pandangan dasar dan orientasi keagamaan. Di antara
tokoh-tokoh religius-rasional ini adalah Ikhwan al-Shafa, al-Farabi,
Ibn Sina, dan Ibn Miskawaih.
Kelompok Ikhwan al-Shafa paling banyak bicara atas nama aliran
ini. Platonisme telah mempengaruhi pandangan Ikhwan al-Shafa
tentang dualism yang mengasumsikan bahwa belajar adalah sekedar
aktivitas mengingat ulang dan berpikir. Menurut Ikhwan al-Shafa, jiwa
itu berada pada posisi tengah antara dunia fisik-material dan dunia
akal.
Penekanan pada akal ini terimplikasi dalam pengembangan
kurikulum dan keilmuan yang dipelajari, dimana dalam aliran ini
memberikan perhatian lebih kepada ilmu-ilmu rasional-filosofis,
seperti riyadiyyat (ilmu-ilmu eksak), dan teologi. Ikhwan al-Shafa
sendiri mengklasifikasikan ilmu-ilmu riyadiyyat (eksak) menjadi
empat bagian, yaitu aritmatika, ilmu ukur (handasah), astronomi dan
musik. Sedang ilmu-ilmu manthiqiyyat terbagi dalam antologi
(pengetahuan tentang syair), retorika, esagogi (logika kritis),
Phatygorbas-Paramenyas (karya Aristoteles), dan kitab al-Burhan.

19
Ibn Sina sebagai salah satu pendukung aliran ini menggarisbawahi
perlunya studi falsafah sebagai basis konstruksi keseluruhan disiplin
keilmuan yang dipelajari, karena falsafah akan menghantarkan
manusia untuk bisa menjadi kenyataan sebenarnya dari segala sesuatu,
sepanjang batas kemampuan manusiawi yang dimiliki segala sesuatu
adakalanya ada karena keterlibatan peran kita.[CITATION Pro13 \p 57-
58 \l 1033 ]
Teori utama dalam aliran religius-rasional ini antara lain:
a. Pengetahuan adalah muktasabah, yakni hasil perolehan dari
aktivitas belajar.
b. Modal utama ilmu adalah indera
c. Lingkup kajian meliputi pengkajian dan pemikiran seluruh
realitas yang ada
d. Ilmu pengetahuan adalah hal yang begitu bernilai secara moral
dan sosial
e. Semua ragam ilmu pengetahuan adalah penting. [ CITATION
Ari13 \l 1033 ]
3. Aliran Pragmatis-Instrumental (al-Dzarai’i)
Menurut Jawwad Ridla, Ibn Khaldun adalah tokoh satu-satunya
dari aliran ini, karena pemikirannya lebih banyak bersifat pragmatis
dan lebih berorientasi pada aplikasi praktis. Secara ringkas bisa
dikatakan bahwa aliran pragmatis yang digulirkan Ibn Khaldun
merupakan wacana baru dalam pemikiran pendidikan Islam. Bila
kalangan konservatif mempersempit ruang lingkup “sekuler”
dihadapan rasionalitas Islam dan mengaitkannya secara kaku dengan
pemikiran atau warisan salaf, sedang kalangan rasional dalam sistem
pendidikannya berpikiran idealistik sehingga memasukkan semua
disiplin ilmu yang dianggap substantif bernilai, maka Ibn Khaldun
mengakomodir ragam keilmuan yang nyata terkait dengan kebutuhan
langsung manusia, baik berupa kebutuhan spiritual-rohaniah maupun
kebutuhan material. Meskipun demikian, Ibn Khaldun sejalan dengan

20
kalangan rasionalis dalam hal pengakuan rasio (al-‘aql) atau daya pikir
(al-fikr).[CITATION Pro13 \p 58-59 \l 1033 ]
Tokoh aliran Pragmatis adalah Ibnu Khaldun. Sedangkan tokoh
Pragmatisme Barat yaitu John Dewey. Bila filsafat pendidikan Islam
berkiblat pada pandangan pragmatisme John Dewey, tujuan yang ingin
dicapai dalam pendidikan adalah segala sesuatu yang sifatnya nyata,
bukan hal yang di luar jangkauan pancaindera. (Basri, 2009 hal. 99)
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan dan pembelajaran adalah
tabi’i (pembawaan) manusia karena adanya kesanggupan berfikir.
Pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian duniawi dan
ukhrowi, keduanya harus memberikan keuntungan, karena baginya
pendidikan adalah jalan untuk memperoleh rizki.
Berdasarkan sumbernya, ilmu dapat dibagi menjadi dua yaitu: 1)
Ilmu ‘aqliyah (intelektual) yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari olah
pikir rasio, yakni ilmu Mantiq (logika), ilmu alam, Teologi dan ilmu
Matematik, dan 2) Ilmu naqliyah yaitu ilmu yang diperoleh manusia
dari hasil transmisi dari orang terdahulu, yakni ilmu Hadits, ilmu Fiqh,
ilmu kebahasa-Araban, dan lain-lain.
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas
yang semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari
aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan
pendidikan merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya
masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan.
Menurutnya bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala
sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.[ CITATION Ari13 \l 1033 ]
Dari pemikiran Ibnu Khaldun tersebut, maka ide pokok pemikiran
aliran pragmatis antara lain:
a. Manusia pada dasarnya tidak tahu, namun ia menjadi tahu
karena proses belajar,
b. Akal merupakan sumber otonom ilmu pengetahuan, dan

21
c. Keseimbangan antara pengetahuan duniawi dan ukhrawi.

22
SIMPULAN

Bertolak dari cita-cita para filosof untuk menciptakan peradaban


pendidikan yang realisme dan idealisme, maka muncullah dua aliran tradisional
yaitu aliran Esensialisme dan aliran Perenialisme, dan tiga aliran modern yaitu
aliran Progressivisme, aliran Rekonstruksionisme, dan aliran Eksistensialisme.
Antara alirsan yang satu dengan yang lain saling bertautan dalam mengisi setiap
perkembangan zaman. Di dalamnya membahas mengenai konsep kependidikan,
mulai dari peranan pendidik, subjek didik, kurikulum, mata pelajaran, metode dan
strategi pendidikan dan lain-lain.

Setelah adanya aliran-aliran pendidikan dari dunia barat, ternyata


perkembangan tidak hanya sampai pada titik tersebut. Para filosof muslim pun
melahirkan beberapa aliran filsafat pendidikan Islam, yang memodifikasi
pendidikan dengan based content yang mendalami tentang kajian-kajian ilmu
dalam Islam. Mereka berpendapat lebih mengutamakan ilmu-ilmu yang membawa
manfaat untuk kehidupan akhirat, namun ada pula pendapat yang menengahi
antara kehidupan dunia dan akhirat. Terdapat tiga aliran di dalamnya,
diantaranya : Aliran Religius-Konservatif (al-Diniy al-Muhafidz), Aliran Religius-
Rasional (al-Diniy al-‘Aqlaniy), dan Aliran Pragmatis-Instrumental (al-Darai’i).

23
DAFTAR PUSTAKA

Am, A. (2013, Desember Selasa). Aliran-aliran dalam Filsafat Pendidikan Islam.


Retrieved Februari Sabtu, 2019, from Avisha.com: [ CITATION Ari13 \l
1033 ]

Assegaf, P. D. (2013). Aliran Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: PT


RajaGrafindo Persada.

Baharuddin, & Wahyuni. (2010). Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta:


Ar-Ruzz Media.

Basri, H. (2009). Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Dra. Zuhairini, d. (2015). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Fadlillah. (2014). Implementasi Kurikulum 2013. Yogyakarta: Ruzz Media.

Fadlillah, M. (2017). Aliran Progresivisme dalam Pendidikan di Indonesia. Jurnal


Dimensi Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 5 No. 1 , 22.

Prof. Dr. Muhmidayeli, M. (2011). Filsafat Pendidikan. Bandung: PT Refika


Aditama.

Gandhi, T. W. (2011). Filsafat Pendidikan : Madzhab-madzhab Filsafat


Pendidikan. Yogyakarta: Ar Ruzz Media.

Suryana, Y. (n.d.). Filsafat Pendidikan. Bandung: Arfino Raya.

24
25

Anda mungkin juga menyukai