Anda di halaman 1dari 14

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Etika Pragmatis Dalam Pendidikan Islam


Etika keilmuan diatur menurut nilai-nilai dan etika pramatisme. Pragmatisme berasal dari
kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah aliran dalam
filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki
kegunaan bagi kehidupan nyata.
Pragmatisme berpandangan bahwa substansi kebenaran adalah jika agama memberikan
kebahagiaan. Pendidika agama Islam adalah bagian dari tugas agama maka mengajarkan
pendidikan Agama Islam merupakan kebenaran. Pragmatisme juga menilai manfaat suatu
perbuatan dari dampak materil yang ditimbulkannya, misalnya lembaga pendidikan dibangun
dengan tujuan memperoleh keuntungan materil dari sumbangan orang tua murid dan dari
pemerintah.
Dalam filsafat pendidikan Islam, pragmatisme tentu ada karena tujuan pendidikan Islam
adalah membentuk anak didik yang bertaqwa kepada Allah, berkepribadian luhur, berilmu
pengetahuan luas, terampil, dan dapat diamalkan dalam kehiduan sehari-hari. Dengan tujuan
itulah, pragmatisme menegaskan bahwa pendidikan Islam diberikan kepada anakdidik agar
memilki keahlian duniawi dan ukhrawi. Keduanya harus memberikan keuntungan.
Filsuf yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah William James dan John
Dhewey. William James lahir di New York Citty pada tahun 1842. Pandangan filsafatnya,
diantaranya menyatakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, berlaku umum, yang bersifat tetap,
yang berdiri sendiri lepas dari akal yang mengenal. Sebab, pengalaman kita berjalan terus dan
segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah karena
di dalam praktik, apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Nilai
konsep atau pertimbangan kita bergantung pada akibatnya, kepada kerjanya. Artinya bergantung
pada keberhasiln perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu. Pertimbangan itu benar
apabila bermamfaat bagi pelakunya. Memperkaya hidup dan kemungkinan-kemungkinannya.
Dalam filsafat pendidikan Islam, pragmatisme tentu ada karena tujuan pendidikan Islam
adalah membentuk anak didik yang bertakwa kepada Allah, berkepribadian luhur, berilmu
pengetahuan yang luas, terampil, dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
tujuan itulah, pragmatisme menegaskan bahwa pendidikan Islam diberikan kepada anak didik
agar memiliki keahlian duniawi dan ukhrawi. Keduanya harus membeikan keuntungan.
Tokoh pragmatisme yang kedua adalah John Dewey. Sebagai pengikut filsafat
pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi
perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang
praktis, tidak ada faedahnya. Oleh karena itu, filsafat harus berpijak pada pengalaman dan
mengolahnya secara kritis.
Menurutnya, tak ada sesuatu yang tetap. Manusia senantiasa bergerak dan berubah. Jika
mengalami kesulitan, segera berfikir untuk mengatasi kesulitan itu. Oleh karena itu, berpikir
tidak lain dari alat (instrumen) untuk bertindak. Kebenaran dari pengertian dapat ditinjau dari
berhasil tidaknya memengaruhi kenyataan. Satu-satunya cara yang dapat dipercaya untuk
mengatur pengalaman dan untuk mengetahui artinya yang sebenernya adalah metode induktif.
Metode ini tidak hanya berlaku bagi ilmu pengetahuan fisika, melainkan juga bagi persoalan-
persoalan sosial dan moral.
Apabila filsafat pendidikan Islam berkiblat pada pandangan pragmatisme John Dewey,
tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah segala sesuatu yang sifatnya nyata, bukan hal
yan diluar jangkauan pancaindra. Sebagaimana pendidikan Islam yang dikembangkan oleh
Fakultas Tarbiyah, tujuannya harus nyata, yaitu melahirkan sarjana pendidik yang mampu
menerapkan ilmu pendidikan agama Islam dalam dunia pendidikan. Adapun aspek di luar tujuan
yang real dapat dikembangkan secara individual, misalnya pendidik yang berbudi luhur. Tujuan
ini untuk semua manusia, bukan hanya untuk pendidik, tetapi bagi pendidik sangat diperlukan
sikap dan mental yang berbudi luhur.
Etika keilmuan berkaitan dengan kode etik bagi para pendidik. Akan tetapi, dalam
perspektif filsafat, pendidikan etika pendidikan itu membahas pula masalah yang berkaitan
dengan substansi etika yang dimiliki oleh dunia pendidikan Islam, terutama berkaitan dengan
hal-hal dibawah ini:
1.    Keilmuan yang bersumber kepada wahyu Al-Qur’an dan As-Sunnah
2.    Keilmuan yang berbasis kepada pola pendidikan tradisional Islam, seperti Pondok Pesantren
Salafiyah
3.    Keilmuan sebagai alat yang merumuskan prinsip-prinsip pendidikan dengan mempertimbangkan
istilah-istilah terminologi dalam Islam
4.    Keilmuan yang mengarahkan pendidikan kepada tujuan umum dalam beragama Islam, yaitu
tujuan utama pendidikan, yaitu tujuan utama pendidikan Islam adalah membentuk anak didik
yang beriman dan bertakwa. Tujuan ini merupakan tujuan umum dalam Islam
5.    Keilmuan yang mengacu kepada doktrin agama Islam dan kebergantungan kepada tokoh agama,
kebesaran seorang pengasuh pondok pesantren dan khariismatik kyai.
Etika keilmuan dalam pendidikan Islam di atas jumlahnya masih banyak karena etika
yang dipertahankan tidak akan mudah runtuh, apalagi pendidikan yang demikian sebagai salah
satu karakteristik mutlak dalam pendidikan Islam.[1]
B.     Positivisme Dalam Etika Keilmuan
Paham yang berkaitan dengan etika keilmuan dapat terlepas dari pandangan positivisme,
selain pragmatisme di atas. Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Comte
menguraikan secara singkat pendapat-pendapat positivis hukum tiga stadia, klasifikasi ilmu-ilmu
pengetahuan, dan bagan mengenai tatanan dan kemajuan.[2]
Positivisme berasal dari kata “positif:. Kata positif di sini sama artinya dengan faktual,
yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme pengetahuan kita tidak boleh
melebihi fakta-fakta.
Etika keilmuan yang menganut positivisme akan mempertegas tentang kebenaran
pengetahuan terletak pada fakta-fakta yang konkret dan indrawi. Dengan demikian, apabila
pendidikan Islam menganut paham ini, tidak akan dibahas segala hal yang berhubungan dengan
kebenaran metafisikal, apalagi yang supranatural. Aka tetapi, etika keilmuan yang dibangun oleh
filsafat pendidikan Islam tidak menganut paham positivisme, meskipun menerima kebenaran
yang menggunakan paham tersebut. Dalam Islam, kebenaran yang hakiki hanya kebenaran
Tuhan, selain kebenaran Tuhan, hanyalah kebenaran yang nisbi. Akan tetapi, setiap kebenaran
nisbi diyakini oleh umat Islam sebagai cara menuju kebenaran hakiki.
Meskipun menurut Comte yang memberikan istilah “positivisme”, gagasan yang
terkandung dalam kata itu bukan verasal dari dia, menurut kaum positivis, pandangan bahwa
masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa metode-metode penelitian empiris dapat
dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya, sudah tersebar luas di lingkungan
intelektual pada masa Comte. Akan tetapi, kebanyakan kelompok positivis berasal dari kalangan
orang-orang progresif, yang bertekad mencampakkan tradisi irasional dan memperbarui
masyarakat menurut hukum alam sehingga menjadi lebih rasional, Comte percaya bahwa
penemuan hukum-hukum alam itu akan membukakan batas-batas pasti yang (inherent) dalam
kenyataan sosial, dan melampaui batas-batas itu dengan usaha pembaruan akan merusakkan dan
menghasilkan yang sebaliknya. Skeptisisme Comte yang berhubungan dengan usaha-usaha
pembaruan besar-besaran serta penghargaan terhadap tonggak-tonggak keteraturan sosial
tradisional menyebabkan dia dimasukkan dalam kategori orang konservatif.
Etika keilmuan yang dibangun oleh Comte dengan positivisme memberikan pemahaman
bahwa puncak kebenaran dari pengetahuan adalah segala sesuatu yang empirik, dan setiap
dinamika dari kebenaran empirik itu bersifat progresif. Oleh karena itu, substansi dari etika
keilmuan sepantasnya menuju ke arah yang terus lebih baik dan memiliki masa depan yang
cerah.
Hukum tiga tahap merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner
umat manusia dari masa primitif sampai peradaban Perancis abad kesembilan belas yang sangat
maju. Hukum ini, yang mungkin paling terkenal dalam gagasan-gagasan teoretis pokok Comte,
tidak lagi diterima sebagai suatu penjelasan mengenai perubahan sejarah secara memadai. Juga
terlalu luas dan umum sehingga tidak dapat benar-benar tunduk pada pengujian empiris secara
teliti, yang menurut Comte harus ada untuk membentuk hukum-hukum sosiologi.
Hukum itu menyatakan bahwa umat manusi berkembang melalui tiga tahap utama.
Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berfikir yang dominan teologis, metafisik, dan positif.
Lebih lagi, pengaruh cara berfikir yang berbeda-beda ini meluas ke pola-pola kelembagaan dan
organisasi sosial masyarakat. Jadi, watak struktur sosial masyarakat bergantung pada gaya
epistimologisnya atau pandangan dunia, atau cara mengenal dan menjelaskan gejala yang
dominan.
Dalam fase teologis, akal budi manusia, yang mencari kodrat sadar manusia, yakni sebab
pertama dan sebab akhir (asal dan tujuan) dari segala akibat singkatnya, pengetahuan absolut
mengendalikan bahwa semua gejala dihasilkan oleh tindakan langsung dari hal-hal supernatural.
Dalam fase metafisik, yang hanya merupakan suatu bentuk lain dari yang pertama, akal
budi mengandaikan bukan hal supernatural, melainkan kekuatan-kekuatan abstrak, hal-hal yang
benar-benar nyata melekat pada semua benda (abstraksi-abstraksi yang dipersonifikasikan), dan
yang mampu menghasilkan semua gejala.
Dalam fase terakhir, yakni fase positif, akal budi sudah meninggalkan pencarian yang sia-
sia terhadap pengertian-pengertian yang absolut, asal dan tujuan alam semesta, serta sebab-sebab
gejala, dan memusatkan perhatiannya pada studi hukum-hukumnya yakni hubungan-hubungan
urutan dan persamaannya yang tidak berubah. Penalaran dan pengamatan, digabungkan secara
tepat, merupakan sarana-sarana pengetahuan ini”.[3]
Dari pandangan Comte tentang tiga tahapan pemikiran manusia, dapat diambil
pemahaman bahwa etika keilmuan yang terus berkembang tidak selamnya hierarkis sistematis
sebagaimana yang dikemukakan oleh Comte sebab dalam ajaran Islam tidak dikenal tahapan
demikian. Pandangan manusia seharusnya didasarkan pada dua etika yang paling mendasar,
yaitu:
1.    Pandangan bahwa semua makhluk Allah hanya tunduk mutlak kepada Sang Pencipta. Oleh
karena itu, semua usaha manusia merupakan salah satu bentuk pengabdian kepada Allah
2.    Semua pengabdian manusia sepenuhnya harus didukung oleh rencana-rencana Allah yang
tertuang dalam wahyu-Nya, yang berupa wahyu tertulis (Al-Quran dan As-Sunnah) dan wahyu
yang tidak tertulis. Kedua wahyu tersebut memerlukan pemikiran mendalam, rasional, dan dapat
dipertanggung jawabkan di hadapan manusia dan di hadapan Allah.
Pada zaman teologis, manusia percaya bahwa di belakang gejala-gejala alam terdapat
kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala tersebut. Kuasa ini dianggap sebagai
makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia, tetapi orang percaya bahwa mereka
berada pada tingkatan yang lebih tinggi daripada makhluk-makhluk insani biasa zaman teologis
ini dibagi lagi menjadi tiga periode, yaitu:
1.    Animisme. Tahap ini merupakan tahapan paling primitif karena benda-benda dianggap
mempunyai jiwa
2.    Politisme. Tahap ini merupakan perkembangan dari tahap pertama. Pada tahap ini, manusia
percaya pada dewa yang menguasai suatu lapangan tertentu misalnya dewa lat, dewa gunung,
dewa halilintar, dan sebagainya.
3.    Monoteisme. Tahap ini lebih tinggi daripada dua tahap sebelumnya, karena pada tahap ini,
manusia hanya memandang satu Tuhan sebagai penguasa.
Pada metafisis, kuasa-kuasa adikodrati diganti dengan konsep dan prinsip yang abstrak,
seperti “kodrat” dan “penyebab”. Metafisika pada zaman ini dijunjung tinggi.
Adapun zaman positivis adalah zaman yang dianggap Comte sebagai zaman tertinggi dari
kehidupan manusia. Alasannya ialah pada zaman ini tidak lagi ada usaha manusia untuk mencari
penyebab yang terdapat di belakang fakta-fakta.
Pada zaman terakhir inilah dihasilkan ilmu pengetahuan dalam arti yang sebenarnya. Ilmu
pengetahuan tidak semuanya mencapai kematangan yang sama pada saat yang bersamaan. Oleh
karena itu, perkembangan ilmu penetahuan dapat dilukiskan berdasarkan rumitnya bahan yang
dipelajari di dalamnya. Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif,
sedangkan sesuatu yang di luar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat
dan ilmu pengetahuan.[4]
C.    Etika Keilmuan Pada Zaman Renaissance Dan Humanisme
Istilah Renaissance berasal dari bahasa Prancis yang berarti kebangkitan kembali. Para
sejarawan menggunakan istilah tersebut untuk menunjukan berbagai periode kebangkitan
intelektual, khususnya yang terjadi di Eropa. Orang yang pertama menggunakan istilah tersebut
adalah Jules Michelet, seorang sejarawan Perancis yang terkenal. Menurutnya, Renaissance ialah
period penemuan manusia dan dunia, bukan sekedar kebangkitan kembali yang merupakan
permulaan kebangkitan modern.
Awal mula suatu masa baru ditandai oleh suatu usaha besar dari Descartes (1596-1650
M) untuk memberikan suatu bangunan yang baru kepada filsafat. Dalam bidang filsafat, zaman
Renissaince kurang menghasilkan karya penting bila dibandingkan dengan bidang sains.
Sejak saat itu, dan telah dimulai sebelumnya, yaitu sejak permulaan Renaissance,
individualisme dan humanisme telah dicanangkan. Descartes memperkuat idea-idea ini.
Humanisme dan individealisme merupakan ciri Renaissance yang penting. Pada abad
pertengahan, manusia di anggap kurang dihargai sebagai manusia. Kebenaran diukur
berdasarkan ukuran dari Gereja (Kristen), bukan menurut ukuran yang dibuat oleh manusia.
Humanisme sesungguhnya telah mengambil moral kemanusiaan seluruhnya dari agama.
Humanisme menyatakan bahwa pendidikan spiritual dan menepati janji, dalam nisbatnya dengan
keutamaan-keutamaan moral, dapat dicapai tanpa keyakinan terhadap Tuhan.
Manusia adaah makhluk yang memiliki nilai-nilai asli (bawaan) dalam alam fisik. Ia
memiliki esensi yang khas, yang merupakan makhluk atau fenomena kekecualian dan mulia.
Sebab, dia mempunyai kehendak, dan berada dalam alam sebagai “penyebab yang mandiri”.
Manusia mempunyai kemampuan menentukan pilihan dan menciptakan masa depannya sebagai
usaha menentang nasib yang ditentukan oleh alam.
Dengan sosok seperti ini, manusia adalah makhluk yang selalu mengejar cita-cita dan
berusaha mengubah “apa yang ada” menjadi “apa yang semestinya”, atau “apa yang kini ada”
menjadi “apa yang seharusnya ada”, di dalam alam, masyarakat, dan dirinya sendiri pula.
Perubahan-perubahan tersebut memberinya keyakinan tentang adanya perubahan menuju
kesempurnaan.
Dengan pandangan di atas, etika keilmuan yang dibangun di atas paham humanisme
adalah etika meterialisme karena sesungguhnya manusia adalah materi, yang dalam paham
meterialisme, kehidupan manusia akan berakhir sebagaimana benda lainnya, hanya keberakhiran
materi yang merupakan perubahan yang abadi. Oleh sebab itu, tidak ada kehancuran, yang ada
hanyalah perubahan.
Dalam pendidikan Islam dikenal etika keilmuan dengan paham humanisme, tetapi dalam
pandangan Islam humanisme yang dimaksudkan adalah tentang kemuliaan manusia karena Allah
memuliakannya, sebagaimana Allah berfirman dalam surat At-Tin ayat 4-5:

                                     َ‫ ثُ َّم َر َد ْد نهُ اَ ْسفَ َل َسا فِلِ ْين‬.‫لَقَ ْد خَ لَ ْقنَا ا ِال ْنسنَ فِ ْي اَ حْ َس ِن تَ ْق ِو يم‬
Artinya:
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudan,
kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)”  (Q.S. At-Tin: 4-5)
Ayat tersebut menyatakan bahwa secara genetis manusia diciptakan dengan kreativitas
Tuhan yang terbaik, tetapi sebaik apapun fisik manusia, ia akan mengalami kerusakan, bahkan
derajatnya yang tinggi pun akan menjadi sangat rendah.
Yang menyebabkan kemuliaan manusia terjaga dan harkat martabatnya tetap tinggi
adalah keilmuannya yang dapat membangun keimanan dan ketakwaan, sebagaimana disebutkan
ayat At-Tin berikutnya:
            ‫ت فَلَهُ ْم ا جْ ٌر َغ ْي ُر َم ْمنُوْ ٍن‬ ّ ‫اِ الَّ ا لَّ ِذ ْينَ ا َمنُوْ ا َو َء ِملُو ا ا ل‬
ِ ‫صلِ َح‬
Artinya:
“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; Maka bagi mereka, pahala
yang tiada putus-putusnya” (Q.S. At-Tin: 6)
Kemuliaan manusia harus dibentuk oleh iman dan amal shaleh. Iman merupakan
landasan spiritual manusia, sedangkan amal shaleh adalah perpaduan antara ilmu pengetahuan
dan teknologi, artinya ilmu yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, sehingga
manusia berperilaku rasional dan terjaga spiritualitasnya. Amal shaleh adalah cara kerja yang
profesional.
Perlu diketahui pula bahwa dalam sejarah filsafat, masa etik diisi oleh tiga macam aliran
filsafat, yaitu aliran Epicorus, Stoa, dan Skeptis. Epicorus yang mendirikan sekolah filosofi kahir
di Samos pada tahun 341 SM dan meninggal di Athena pada tahun 217 SM dalam usia 70 tahun.
Menurut pendapat Epicorus, ajaran etiknya adalah mencari kesenangan, tujuannya memperkuat
jiwa untuk menghadapi semua keadaan.
Yang kedua adalah aliran Stoa didirikan di Athena oleh Zeno dari Kition (133-266 SM).
Ia dilahirkan di Kition pada tahun 340 SM, dan meninggal di Athena pada tahun 264 SM ia
mencapai umur 76 tahun. Ajaran etiknya adalah memberikan petunjuk tentang sikap sopan
santundalam kehidupan. Tujuanya menyempurnakan moral manusia.
Yang terakhir adalah aliran Skeptis. Skeptis artinya ragu-ragu terhadap segala sesuatu
merupakan fondasi keyakinan. Sekolah yang dijadikan aliran Skeptis adalah sekolah aliran
Pyrrhon dari Elis. Phyrron sendiri lahir tahun 360 SM dan meninggal dunia pada tahun 270 SM.
Itulah beberapa pandangan tentang etika yang nantinya akan dianut oleh para filusuf dan
bisa jadi oleh ilmuan. Lalu, di mana letak atau posisi etika keilmuan dalam konteks pendidikan
Islam? Dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, etika keilmuan yang harus dibangun adalah
sebagai berikut:
1.    Semua ilmu bersumber dari Allah SWT. Karena Allah Rabbul-alamin
2.    Semua ilmu wajib digali dan dicari sebanyak mungkin karena Islam mewajibkan mencari ilmu
sejak manusia dari buaian hingga ke liang lahat
3.    Setiap ilmu yang dimiliki sekecil apapun harus diamalkan dalam hidup
4.    Setiap ilmu yang dimiliki harus menjadi cahaya yang menerangi kehidupan dan menolong
orang-orang yang masih bodoh atau awam
5.    Setiap ilmu yang dimiliki harus disebarkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan umum
6.    Setiap ilmu yang dikembangkan harus mempermudah usaha manusia dalam mempertahankan
kehidupannya dan tidak mendatangkan kemadharatan.[5]
BAB II
PEMBAHASAN
A.     ETIKA PRAGMATIS DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Aliran pragmatis timbul pada abad 20. Pendiri aliran ini adalah Charks E. Peirce.
Aliran Pragmatisme adalah suatu aliran yang memandang realitas sebagai sesuatu
yang secara tetap mengalami perubahan(terus-menerus berubah).[2]
Makna “etika”. Istilah dipakai dalam dua macam arti. Yang satu tampak dalam
ungkapan seperti “ saya pernah belajar etika.” Dalam penggunaan seperti ini etika
dimaksudkan sebagai suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap
perbuatan-perbuatan manusia.
Makna kedua seperti yang terdapat dalam ungkapan “ia bersifat etis” atau “ia
seorang yang jujur” dalam hal-hal tersebut bersifat etik merupakan predikat yang
dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, manusia-manusia yang lain,
dalam arti yang demikian ini, “bersifat etik” setara dengan “bersifat susila”.[3]
Menurut Ibnu Miskawaih tentang etika dalam karyanya yang berjudul Tahdzib Al-
Akhla, dia mencoba menunjukkan bagaimana kita dapat memperoleh watak-watak yang
lurus untuk menjalankan tindakan-tindakan yang secara moral benar terorganisasi dan
tersistem.[4]
Menurut Aristoteles tujuan hidup manusia adalah mendapatkan kebahagian,
kebahagiaan manusia akan dapat diwujudkan dengan sendirinya melalui dua jalan,
pertama, melalui sifat pertengahan antara mengikuti dorongan sifat kebinatangan dan
kemanusiaan, yakni nafsu makan, hasrat, dan nafsu yang berada dibawah bimbingan
akal. Kedua, kebahagiaan itu terjadi pada pengguna akal dalam melakukan penelitian
ilmu pengetahuan dan merenungkan tentang kebenaran[5].
Patut pula diangkat bahwa etika sebagai ilmu pengetahuan dapat berarti
penyelidikan mengenai tanggapan-tanggapan kesusilaan, sedangkan etika sebagai
ajaran bersangkutan dengan membuat tanggapan-tanggapan kesusilaan.
Sedangkan menurut Al- Ghazali tujuan pendidikan adalah mengembangkan budi
pekerti yang mencangkup penanaman kualitas moral dan etika
kepatuhan,kemanusiaan, kesederhanaan dan membenci hal-hal yang buruk seperti
melanggar perintah atau kehendak tuhan.[6]
Etika dalam kajian filsafat merupakan bagian dari aksiologi karena etika
berbicara tentang tujuan yang hendak dicapai dalam segala sesuatu. Sedangkan
dalam ontologi dipertanyakan apa hakekat sesuatau, dalam epistimologi dipertanyakan
bagaimana sesuatu itu terjadi dan dari mana sesuatu itu ada, maka dalam aksiologi
dipertanyakan mengenai tujuan dari hakikat sesuatu. Misalnya, tentang pendidikan
islam maka muncul pertanyaan, apa pendidikan islam itu? Mengapa pendidikan islam
diperlukan? Untuk apa ada pendidikan?
Berbicara tentang etika keilmuan, apabila digunakan perspektif pragmatisme,
etika keilmuan diatur menurut nilai-nilai dan etika pragmatism. Pragmatisme berasal
dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Pragmatisme
adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa criteria kebenaran sesuatu ialah
apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.
Pragmatisme berpandangan bahwa subtansi kebenaran adalah jika segala
sesuatu memiliki fungsi dan manfaat bagi kehidupan. Pendidikan agama Islam adalah
bagian dari tugas agama maka mengajarkan pendidikan islam adalah kebenaran.
Pragmatisme menurut para filsuf-filsuf yang terkenal sebagai berikut :
         Menurut William James dan John Dewey, filsafatnya diantaranya menyatakan bahwa
tiada kebenaran yang mutlak, berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri
lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman yang kita anggab benar dalam
perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah karena didalam praktik. Menurut
Jemes, dunia tidak dapat diterangakan dengan berpangkal pada satu asas saja. Dunia
adala dunia yang terdiri dari banyak hal yang saling bertentangan tentang kepercayaan
agama.
Dalam filsafat Islam, pragmatisme tentu ada karena tujuan pendidikan Islam adalah
membentuk anak didik yang bertagwa kepada Allah SWT, berkepribadian luhur,
berpengetahuan yang luas, terampil, dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Agar anak didik memiliki keahlian duniawi dan ukhrowi, dan keduanya bisa memberikan
keuntungan.
         Menurut John Dewey, tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan
nayata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang
praktis, filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara kritis.

Secara umum, pargmatisme berarti hanya ide yang dapat dipraktikkan yang
benar dan berguna. Apabila filsafat Islam berkiblat pada pandangan Pragmatime John
Dewey, tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah segala sesuatu yang
sifatnya nyata, bukan hal yang diluar jangkauan panca indra.
Etika keilmuan berkaitan pula dengan kode etik bagi para pendidik. Dalam
perspektif islam, pendidikan etika juga membahas pula masalah yang berkaitandengan
substansi etika yang dimiiki oleh dunia pendidikan Islam, terutama brkaitan dengan hal-
hal sebagai berikut:
  Keilmuan yang bersumber pada Al Qur’an dan As-Sunnah.
  Keilmuan yang berbasis kepada po;a pendidikan tradisional Islam.
  Keilmuan sebagai alat yang merumuskan prinsip-prinsip pendidikan
  Keilmuan yang mengarahkan pendidikan kepada tujuan umum dalam beragama Islam.
  Keilmuan yang mengacu pada dokrin agama Islam dan kebergantungan kepada tokoh
agama.

B.     POSITIFISME DALAM ETIKA KEILMUAN


Paham yang berkaitan dengan etika keilmuan tidak dapat  terlepas dari
pandangan positivisme, selain pragmatisme di atas. Positisme di perkenalkan oleh
Aguste Comte(198-1857) yang bertuang dalam karya utama Aguste Comte adalah
Cours de Philosophic Positive, yaitu kursus tentang Filsafat Positif (180-1842), selain itu
karyanya yang pantas disebutkan di sini adalah Discour L’esprit Positive(1844) yang
artinya pembicaraan tentang jiwa positif.
Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata positif disini sama artinya
dengan factual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta.
Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak boleh melebihi fakta-fakta. Dengan
demikian, ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang
pengetahuan. Oleh karena itulah, Positisme menolak cabang filsafat metafisika.
   Etika keilmuan yang menganut Positivisme akan mempertegas tentang
kebenaran pengetahuan terletak pada fakta-fakta yang Konkret dan indrawi. Hukum itu
menyatakan bahwa umat manusia berkembang melalui tiga tahap hidup. Tahap-tahap
ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan, Teologis, metafisik, dan positif.
Tahap teologis merupakan periode yang paling lama dalam sejarah manusia,
karena bentuk pemikiranya yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi bahwa
semua benda memiliki kelengkapan hidupnya sendiri.
Tahap metafisik terutama merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan
metafisik, tahap ini ditandai dengan hukum-hukum alam yang asasi dan dapat
ditemukan dengan akal budi.
Tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber
pengetahuan terakhir. Akan tetapi, pengetahuan selalu bersifat sementara, dan
pengetahuan dapat ditinjau kembali dan di perluas.
Dari pandangan Comte tentang tiga tahapan pemikiran manusia, dapat diambil
pemahaman bahwa etika keilmuan yang terus berkembang tidak
selamanya hierarkis sistematis sebagaimana dikemukakan oleh Comte sebab ajaran
Islam tidak dikenal tahapan demikian. Pandangan manusia seharusnya didasarkan
pada dua etika yang paling mendasar, yaitu :
1.    Pandangan bahwa semua makhluk Allah hanya tunduk mutlak kepada sang pencipta.
2.    Semua pengabdian manusia sepenuhnya harus didukung oleh rencana-rencana Allah
yang tertuang dalam wahyu-Nya, yang berupa ( Al-Qur’an dan As-Sunnah).
            
C.   ETIKA KEILMUAN PADA ZAMAN RENAISSANCE DAN HUMANISME

             Istilah Renaissance berasal dari bahasa perancis yang berarti kebangkitan


kembali. Orang yang pertama menggunakan istilah ini adalah Jules Michelet.
Menurutnya, Renaissance adalah periode penemuan manusia dan dunia, bukan
sekedar kebangkitan kembali yang merupakan permulaan kebangkitan modern.
             Awal mula suatu masa baru ditandai oleh suatu usaha besar dari Descartes
(1596-1650). Sejak saat permulaan Renaissance, individualisme dan humanism telah
dicanangkan. Descartes memperkuat ide-ide ini. Humanisme dan individualisme
merupakan cirri Renaissance yang sangat penting. Humanisme ialah pandangan
bahwa manusia mampu mengatur dunia dan dirinya.
             Pada abad pertengahan, manusia kurang dihargai sebagai manusia.
Kebenaran diukur berdasarkan ukuran dari Gereja(Kristen), bukan menurut ukuran
yang dibuat manusia.
             Humanisme sesungguhnya telah mengambil moral kemanusiaan seluruhnya
dari agama. Humanisme menyatakan bahwa pendidikan spiritual dan menepati janji,
dalam nisbatnya dengan keutamaan-keutamaan moral, dapat dicapai tanpa keyakinan
terhadap Tuhan. Manusia adalah makhluk yang selalu mengejar cita-cita dan berusaha
mengubah “apa yang ada” menjadi “apa yang semestinya”  atau “ apa yang kini ada”
menjadi “apa yang seharusnya ada” didalam alam, masyarakat, dan dirinya sendiri
pula.
             Etika keilmuan yang dibangun di atas dasar Humanisme adalah
etika meterealisme karena sesungguhnya manusia adalah materi, karena manusia
akan berakhir sebagaimana benda yang lain, hanya keberakhiran materi yang
merupakan perubahan abadi. Oleh sebab itu tidak ada kehancuran yang ada hanyalah
perubahan.
             Humanisme yang dimaksudkan adalah tentang kemuliaan manusia karena
Allah memuliakanya, sebagaimana firmanya dalam surat At-Tin ayat 4-5 :

‫ان فِي َأحْ َس ِن‬


َ ‫لَقَ ْد َخلَ ْقنَا اإل ْن َس‬ .             ‫ثُ َّم َر َد ْدنَاهُ َأ ْسفَ َل َسافِلِين‬
‫تَ ْق ِو ٍيم‬
      
            
Artinya :
“ sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya. Kemudian, kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya
(neraka).”  (Q.S. At-Tin : 4-5)
Yang menyebabkan kemulyaan manusia terjaga dan harkat martabatnya tetap
tingi adalah keilmuannya yang dapat membangun keimanan dan ketakwaan,
sebagaimana disebutkan dalam surat At-Tin ayat 6:

ٍ ُ‫ت فَلَهُ ْم َأجْ ٌر َغ ْي ُر َم ْمن‬


‫ون‬ َ ‫ِإال الَّ ِذ‬
ِ ‫ين آ َمنُوا َو َع ِملُوا الصَّالِ َحا‬
Artinya :
“kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi
mereka, pahala yang tiada putus-putusnya”. (Q.S. At-Tin : 6)
Perlu diketahui pula bahwa dalam sejarah filsafat, masa etik diisi oleh tiga
macam aliran filsafat, yaitu aliran Epicorus, Stoa, dan Skeptis. Epicorus yang
mendirikan sekolah filosofi lahir di samos pada tahun 341 SM dan meninggal di Athena
pada tahun 217 SM dalam usia 70 tahun. Menurut pendapat Epicorus, ajaran etiknya
adalah mencari kesenangan, tujuanya memperkuat  jiwa untuk menghadapi semua
keadaan.
Yang kedua adalah aliran Stoa didirikan di Athena oleh Zeno dari Kition (133-266
SM). Ia dilahirkan di Kition pada tahun 340 SM, dan meninggal di Athena pada tahun
264 SM ia mencapai umur 76 tahun. Ajaran etiknya adalah memberikan petunjuk
tentang sikap sopan santun dalam kehidupan. Tujuanya menyempurnakan moral
manusia.
Yang terakhir adalah aliran Skeptis. Skeptis artinya ragu-ragu. Keragu-raguan
terhadap segala sesuatu merupakan fondasi keyakinan. Sekolah yang dijadikan
aliran Skeptis adalah sekolah aliran Pyrrhon dari Elis. Pyrrhon sendiri lahir tahun 360
SM dan meninggal dunia pada tahun 270 SM.

KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa etika keilmuan dalam filsafat
pendidikan islam itu sangat peting, karena dalam agama kita sudah diajarkan tata cara
berperilaku yang baik, dan cara berpikir yang kritis, agar kita bisa menjadi orang yang
berpikir jerman dan berhati mekah.
Jadi etika keilmuan yang harus dibangun adalah :
1.     Semua ilmu bersumber dari Allah SWT. Karena Allah Robbul ‘alamin.
2.     Setiap ilmu wajib di gali dan dicari sebanyak mungkin karena islam mewajibkan
mencari ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahat.
3.     Setiap ilmu yang dimiliki sekecil apapun harus diamalkan dalam hidup.
4.     Setiap ilmu yang dimili harus menjadi cahaya yang menerangi kehidupan dan
menolong orang-orang yang masih bodoh atau awam.
5.     Setiap ilmu yang dimili harus sdisebarkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan umum
6.     Setiap ilmu yang dikembangkan harus mempermudah usaha manusia dalam
mempertahankan kehidupannya dan tidak mendatangkan kemadharatan.
Jadi etika keilmuan itu menjelaskan bagaimana cara berpikir yang baik, agar kita bisa
menjadi seorang pendidik yang bisa memberikan contoh, teladan yang baik pada anak
didik kita nanti.
                              

Anda mungkin juga menyukai