Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH ILMU TASAWUF

FANA DAN BAQA

Disusun oleh:
Nabila Nur Rahmi(181310012)
Atu Fauziah(18131003)
Wahyu imanudin(181310011)

AKIDAH FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN ADAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN MAULANA
HASANUDIN BANTEN
KATA PENGANTAR

Assalamulaikum warahmatullah hiwabarakatuh..........

Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah swt yang telah memberikan
rahmat serta hidayahnya, sehingga dengan rahmat-nya inilah dapat menyelesaikan makalah
Ilmu Tasawuf. Saya berterimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu saya untuk
menyusun makalah ini dengan sebaik mungkin.

Jika dalam isi makalah yang kami susun ini masih banyak kekurangan saya mohon maaf.
Karena, saya di sini sedang mengikuti peroses pembelajaran sebagai mahasiswa.

Semoga bapak Agus Ali Dzawafi M.Fil.I dapat memberikan kritik dan saran-nya untuk
makalah yang kami susun ini demi terciptanya sebuah karya tulis yang lebih baik lagi
kedepan-nya. Dan semoga makalah ini selain dapat memenuhi tugas, juga dapat bermanfaat
dalam menambah wawasan kita dalam bidang ilmu pengetahuan. Amin ya robbal alamin..

Serang, 25 Maret 2019

Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Dalam islam ada ilmu yang namanya Tasawuf, yakni ilmu tentang bagaimana cara
mensucikan jiwa, menjernihkan akhlak agar tercapai kebahagiaan yang abadi.

Ada beberapa definisi tentang tasawuf. Tasawuf antara lain didefinisikan sebagai bukan
gerak lahir, dan bukan pengetahuan, teteapi kebajikan. Junayid al-Bagdadi menyatakan
bahwatasawuf adalah menyerahkan diri Anda kepada Allah dan bukan kepada yang lain 1.
Tasawuf secara etimologi dan triminalogi dapat diambil kesimpulan bahwa tasawuf adalah
pelatihan dengan kesungguhan untuk dapat membersihkan, memperdalam, mensucikan jiwa
atau rohani manusia. Hal ini dilakukan untuk melakukan pendekatan atau taqrub kepada
Allah dan dengannya segala hidup dan fokus yang dilakukan hanya untuk Allah semata.

Mengenai tasawuf, beberapa sufi menyandarkan pengertian dan dasar-dasarnya


kepada ayat-ayat Al-Qur`an. Berikut dalah ayat-ayat Al-Qur`an yang berkenaan dengan dasar
tasawuf menurut para sufi.

“Dan kepunyaan Allah lah timur dan barat maka kemanapunkamu menghadap disitulah
wajah Allah. Sesungguhnya Allah maha(rahmat-nya) lagi maha mengetahui”(QS Al
Baqarah:115)

“ Dan apabila hamba-hamba ku bertanya tentang ku, maka jawablah bahwasannya Aku
adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memeohon
kepadaku , maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perinthaku) dan hendaklah mereka
beriman kepadaku, agar mereka berada dalam kebenaraan” (QS Al- Baqarah:186).

Dalam pelaksanaan praktik tasawuf tentunya manusia jangan sampai lupa dan
meninggalkan juga bagaimana aktivitas kehidupan berdasarkan tujuan penciptaan manusia,
dan hakikat manusia menurut islam. Konsef fana dan baqa mulai dikembangkan oleh Abu
yazid Al Bustomi pada abad ke III hijriah yang dipandang sebagai cikal-bakal timbulnya
ajarann kesatuan wujud.

1
Rahmat, jalaluddin dkk.Kuliah kuliah Tasawuf.Bandung.Pustaka hidayah.2000. cet1.hal15
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fana dan Baqa

Dalam kajian tasawuf antara fana dan baqa tidak bisa dipisahkan. Hal ini dikarenakan
baqa merupakan sisi lain yang terikat dari fana. Fana diambil darri kata faniya – yafna – fana’
, secara bahasa berarti menjadi lenyap, hilang, dan tak kekal. Sedangkan baqa berarti dari
kata baqiya-yabqa-baqa’ yang berarti dawam atau terus menerus, tidak lenyap dan tidak
hancur.

 Fana

Fana dalam istilah ilmu tasawuf adalah suatu tingkatan pengalaman spiritual sufi yang
tertinggi menjelang ketingkat ijtihad, yakni hilangnya kesadaran tentang dirinya dari seluruh
makhluk dan hanya ditujukan kepada Allah semata, serta yang ada hanya Allah. Dengan
pekataan lain suatu keadaan mental hubungan manusia dan alam dengan dirinya sudah lenyap
dan hilang dari nilai-nilai kemanusiaan. Yang ada hanyalah pertemuan dirinya dengan sang
Maha kuasa pencipta alam semesta. Seorang sufi akan semakin tinggi tingkatannya dalam
berma’rifat jika ia terlebih dahulu menghancurkan dirinya, yaitu menghancurkan segala sifat
kehewanan yang penuh hawa nafsu dan pengaruh tabiat syaitan. Untuk kemudian
menetapkan sifat-sifat terpuji yang selalu mendapat cahaya Robbaniyah dan selalu mengarah
pada kebaikan yang bertujuan untuk mendapatkan Ridha Allah.

Al-fana an al-nafs, yaitu hancurnya perasaan atau kesadaan tentang adanya tubuh yang kasar
manusia. Berarti dirinya tetap ada dan demikian pula makhluk lain juga ada , tetapi ia tidak
sadar lagi pada mereka dan pada dirinya. Dengan demiikian yang menjadi tujuan para sufi
adalah al-fana an al-nafs yang menyebabkan mereka mengalami baqa pada diri Tuhan.

Hilangnya daya dan kesadaran qalbu dari hal-hal yang bersifat materi atau inderawi ,
sedangkan materi (jasad) manusiannya tetap utuh dan sama sekali tidak hancur. Jadi, yang
hilang hanyalah kesadaran akan dirinya sebagai manusia, sebagaimana dijelaskan oleh al-
qusyairi :

Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya terjadi karena hilangnya kesadaran
seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya itu. Sebenarnya dirinya tetap ada tetapi ia
tidak sadar dengan dirinya sendiri dan dengan alam sekitarnya.

Dalam proses al-fana ada empat situasi getaran psikis yang dialami oleh seseorang, yaitu:

 Sakar adalah situasi kejiwaan yang terpusat penuh kepada satu titik sehingga ia
melihat dengan perasaannya, seperti apa yang dialami oleh nabi Musa AS di Tursia.
 Sathotat berarti gerakan,sedangkan dalam istilah tasawuf dipahami sebagai suatu
ucapan yang terlontar dari luar kesadaran, kata-kata yang diucapkan dalam keadaan
sakar.
 Al-zawal al-hijab, nampaknya diartikan dengan bebas dari dimensi sehingga keluar
dari alam materi dan telah berbeda di alam ilahiyat sehingga getar jiwanya dapat
menangkap gelombang cahaya dan suara Tuhan
 Ghalab al-syuhud diartikan sebagai tingkat kesempurnaan musyahadah, pada tingkat
mana ia lupa pada dirinya dan alam sekitarnya, yang diingat dan dirasa hanya Allah
seutuhnya.

Sufisme yang sempurna adalah seorang yang melihat Tuhan dan ‘dirinya’ sendiri didalam
pengalaman misttikal, baik dengan pengetahuan mistikal maupun dengan penghayatan
esoteris. Artinya, seorang sufi yang sempurna adalah seseorang yang mengakui adanya esensi
dan bentuk, tetapi menyadari kesatuan esensial keduanya serta kemutlakan non-eksistensi
dari forn atau bentuk itu. Ini adalah fana yang paling tinggi yang bisa dicapai oleh seorang
sufi. Kalau Abu yazid menyatakan ada empat situasi gradual dalam proses fana, maka Ibn
Arabi berpendapat, bahwa proses gradual itu ada tujuh tahap.

a. Fana’an ma’ashi, meninggalkan dosa


b. Menjauhkan diri dari semua pebuatan apapun. Artinya, seorang sufi harus mampu
menyadari bahwa hanya Tuhan satu-satunya ‘agen’ dan mutlak di alam ini, manusia
tidak berbuat apa-apa
c. Menjauhkan diri dari sifat-sifat dan kualitas-kualitas dari wujud-wujud kontingen
(mumkinul wujud), si sufi harus menyadari bahwa segala macam bentuk-bentuk yang
ada, sebenarnya adalah kepunyaan Tuhan. Pengelihatan, pendengaran, dan perasaan
kita itu adalah milik Tuhan. Artinya Tuhahn melihat diriNya sendiri melalui mata kita
(sufi). Sufi sejati adalah mereka yang dapat melihat Tuhan dari Tuhan didalam Tuhan
dan dari mata Tuhan sendiri.
d. Menyingkir dari personalitas dirinya sendiri, menyadari non-eksistensi dari fenomenal
dirinya sendiri serta ‘ke-Tuhan-an’ dari subtansi yang tidak bisa berubah.
e. Meninggalkan seluruh alam, yakni mengabaikan dan menghentikan penglihatan
terhadap aspek fenomena dunia dan penyadaran terhadap aspek nyata (realita) yang
merupakan hakikat dari fenomena.
f. Menghilangkan segala hal selain Tuhan, menghilangkan kesadaran terhadap diri
sendiri sebagai seorang ‘pelihat’ atau pemirsa, tetapi adalah Tuhan itu sendiri yang
melihat dan yang dilihat, ia dilihat dari manifestasi-manifestasinya.
g. Melepaskan semua atribut-atribut atau sifat-sifat Tuhan serta hubungan – hubungan
atribut itu. Artinya, memandang Tuhan sebagai esensi alam ketimbang terhadap sebab
dari alam itu. Si sufi tidak memandang alam itu sebagai suatu sebab tetapi sebagai
suatu realita dalam penampakan. Tahapan ini adalah penyadaran penuh terhadap
kesatuan esensial dari semua yang ada dan tahap ini merupakan ihtisar dari seluruh
filsafat mistis.

Dari tahapan-tahapan diatas, terlihat bahwa tujuan akhir dari tasawuf Ibn Arabi adalah
pencapaian ‘pengetahuan sejati’ dan kebahagiaan puncaknya sebagai sufi adalah
‘penyadaran’ melalui intuisi mistik, yakni kesatuan esensialnya dengan Tuhan. Apa yang
diperolehnya dari pengetahuan sejati (ilm al-yaqin) adalah ‘esensi’ dari kepastian (aynul
yaqin) dan pada saat dia mentransendensikan tahap dualitas dari ‘pemberitahu’ dan yang
‘diketahui’ , ia tiba dipuncak kehidupan mistikal pada saat mana ia saling berhadapan dengan
Tuhan atau haqqul yaqin.

 Baqa

Sedangkan Baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri
manusia. Karna lenyapnya sifat-sifat basyariyah maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiyyah,
fana dan baqa datang beriringan. Ini merupakan pengalaman mistik tentang substansi atau
kehidupan bersama dengan Tuhan setelah terjadi fana dalam diri sufi.

Oleh karenanya kemana pun sufi menghadapkan mukanya, yang terlihat oleh mata hanyalah
Allah semata, hatinya yang mengahadap ke wilayah empiris menjadi tertutup. Untuk itu
hanya Allah yang berada dalam kesadaannya. Dalam fana Abu yazid bekata, Yang ada di
jubah ini hanya Allah. Dengan terjadinya fana tersebut menjadi pula baqa. Kesadaran tentang
selain Allah sirna(fana) tetapi kesadaran tentang Allah terus menerus berlangsung(baqa).
Inilah yanng dimaksud perpaduan anatara fana dan baqa. Sehingga baqa dan fana beredar atas
keikhlasan serta sirnanya pribadi dalam kekalnya Allah . juga kekalnya atas penyaksian
kepada Allah dan pengosongan dari pandangan diri sendiri sekalipun apa adanya. 2

B. Paham antara fana seiring baqa

Bahwa proses pengahncuran diri(fana) rupanya tidak dapat dipisahkan dari baqa (tetap, terus
hidup). Maksudnya adalah apabila proses penghilangan sifat manusia dari hasil penghancuran
tersebut, maka yang muncul kemudian adalah sifat yang ada pada manusia itu. Ada beberapa
faham kesufian yang membuktikan adanya keseiringan fana dan baqa, yaitu :

a. jika kejahilan dari seseorang hilang yang akan tinggal ialah pengetahuan.

b. jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya, maka yang akan tinggal ialah taqwanya.

c. siapa yang menghancurkan sifat-sifat (akhlak) yang buruk, maka tinggallah baginya sifat-
sifat yang baik.

d. siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya maka mempunyai sifat-sifat Tuhan.

Kebanyakan orang sufi dalam penghancuran diri lewat fana yang dicari adalah al dana’an al-
nafs. Maksudnya ialah dengan melewati al fana’an al-nafs maka hanculah perasaan atau
kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia.

2
Sholichin, M. Muchlis. Ilmu akhlak dan tasawuf. Malang : STAIN pemekasan press. 2009.
e. Al- qasyairi berpendapat tentang fana ,sebagai berikut : ‘fananya seseorang dari dirinya
dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya tetap ada demikian
pula makhluk lain ada tetapi ia tak saadar lagi pada mereka dan pada dirinya’

f. nichoison

arti fana adalah ‘the passing a way of the sufi from his phenominal existence’ kalau seorang
sufi telah mencapai al-dana’an al-nafs yaitu kalau wujud jasmaninya tak ada lagi, maka yang
akan tinggal ialah wujud rohaninya dan dapat bersatu dengan Tuhan.

C. Tokoh yang Memperkenalkan Fana dan Baqa

Dalam kajian sejarah tasawuf, Abu Yazid al-Bustomi (874 M) disebut-sebut sebagai
sufi yang pertama kali memperkenalkan paham fana dan baqa. Nama kecilnya dalah Thaifur.
Ia sangat istimewa di hati kaum sufi seluruhnya.

Ketika Abu Yazid telah fana dan mencapai baqa maka dari mulutnya keluarlah kata-kata
yang ganjil yang jika tidak hati-hati memahami maka akan menimbulkan kesan seolah-olah
Abu Yazid mengaku dirinya sebagai Tuhan, padahal yang sesungguhnya ia tetap manusia,
yaitu manusia yang mengalami pengalaman batin bersatu dengan Tuhan. Diantara ucapan
ganjil yang keluar dari dirinya, misal “tidak ada Tuhan, melainkan saya. Sembahlah saya,
amat sucilah saya, alangkah besarnya kuasa ku.”

Selanjutnya Abu Yazid mengatakan, “tidak ada Tuhan selain aku, maka sembahlah aku.
Maha suci aku, maha suci aku, maha besar aku.”

Seorang lewat dirumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya “siapa yang kau
cai?” jawabnya “Abu Yazid”. Lalu Abu Yazid mengatakan “pergilah” dirumah ini tidak ada
kecuali Allah yang maha kuasa.

Di lain waktu Abu Yazid berkata, “Yang ada dalam baju ini hanyalah Allah.” Ucapan yang
keluar dari mulut Abu Yazid itu, bukanlah kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu
diucapkannya melalui diri Tuhan dalam ittihad yang dicapainya dengan Tuhan. Dengan
demikian sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan. Bagi orang yang
bersikap toleran, ittihad dipandang sebagai penyelewengan (inhiraf), tetapi bagi orang yang
keras berpegang pada agama, itu dipandang sebagai kekufuran. Falam ittihad ini selanjutnya
dapat mengambil bentuk hulul dan wahdat al-wujud. Dengan demikian untuk mencapai hulul
dan wahdatul wujud pun sama dengan al-ittihad, yaitu melalui fana dan baqa.
D. Fana dan Baqa Menurut Alquran

Faham fana dan baqa yang ditujukan untuk mencapai ittihad itu dipandang oleh sufi sebagai
sejarah dengan konsep liqa al-rabbi menemui Tuhan. Fana dan baqa merupakan jalan menuju
berjumpa dengan Tuhan. Hal ini sejalan dengan firman Allah yang artinya:

Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia


mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam
beribadah kepadanya. (QS. al-Kahfi/18 : 110).
BAB III
PENUTUP
Paham tentang fana dan baqa mulai dikembangkan oleh Abu Yazid Al Bustami pada abad III
Hijriyah. Fana dan baqa erat hubungannya dengan al-ittihad, yakni penyatuan batin atau
rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari fana dan baqa itu sendiri adalah ittihad.

Paham ini dianggap sebagai cikal bakal timbulnya ajaran kesatuan wujud atau ittihad Di
antara beberapa inti ajaran tasawuf, pemahaman terhadap fana dan baqa merupakan dasar
untuk memahami hakikat diri dan hakikat ketuhanan. Paham ini merupakan peningkatan dari
paham makrifat dan mahabbah.
Daftar Pustaka

Mustofa.Ahlak Tasawuf.Bandung:Cv Pustaka Setia,1997.

Siregar, Rivay.Tasawuf. Jakarta:Fajar Interpratama,2002.

Sholichin, M. Muchlis. Ilmu akhlak dan tasawuf. Malang : STAIN pemekasan press. 2009.

https://www.google.com/amp/s/elfalasy88.wordpress.com/2008/08/21

https://dalamislam.com/akhlak/pengertian-tasawuf/amp

Anda mungkin juga menyukai