Anda di halaman 1dari 11

Al- fana, Al baqa Al ijtihad dan hulul

(MAKALAH)

DISUSUN OLEH :

Oriza Isabel Offisia

Muhammad Rion

Putri Ratna Sari

Sultan perwira

Desvalia Rahma

DOSEN PENGAMPU :

JONI PUTRA, M.PD.I.

PRODI PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

RADEN INTAN LAMPUNG

2020
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul [judul makalah] ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas [dosen/guru] pada [bidang
studi/mata kuliah] [nama bidang studi/mata kuliah]. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang [topik makalah] bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada [bapak/ibu] [nama guru/dosen], selaku [guru/dosen] [bidang
studi/mata kuliah] [nama bidang studi/mata kuliah] yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

[tempat, tanggal pembuatan makalah]

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Akhlak Tasawuf merupakan disiplin ilmu murni dalam Islam. Akhlak dan Tasawuf mempunyai hubungan
yang sangat erat. Sebelum bertasawuf, seseorang harus berakhlak sehingga bisa dikatakan bahwasanya
At tashawwufu nihayatul akhlaq sedangkan al-akhlaqu bidayatut tashawwuf. Dalam tasawuf, digunakan
pendekatan suprarasional yaitu dengan intuisi / wijdan. Intuisi disini maksudnya adalah mengosongkan
diri dari dosa. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang AL-FANA, AL-BAQA, ITTIHAD, AL-HULUL
dan WAHDAT AL-WUJUD yang merupakan salah satu komponen dari akhlak tasawuf

LATAR BELAKANG

Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan lebih jelas tentang AL-FANA, AL-BAQA, ITTIHAD, AL-HULUL
dan WAHDAT AL-WUJUD sehingga teman-teman bisa mempelajarinya dengan lebih mudah.

TUJUAN

Didalam makalah ini baik pemakalah maupun pembaca mampu lebih mendalami dan mengetahui antara
AL-FANA, AL-BAQA, ITTIHAD, AL-HULUL dan WAHDAT AL-WUJUD sehingga pemakalah maupun pembaca
mendapatkan pengetahuan lebih banyak lagi.
BAB II

PEMBAHASAN

AL-FANA, AL-BAQA dan ITTIHAD

A. PENGERTIAN, TUJUAN DAN KEDUDUKAN AL-FANA, AL-BAQA DAN AL-ITTIHAD

Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda dengan al-fasad

(rusak). Fana artinya tidak tampak sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu
yang lain. Dalam hubungan ini Ibn Sina ketika membedakan antara benda-benda yang bersifat
samawiyah dan benda –benda yang bersifat alam, mengatakan bahwa keberadaan benda alam itu atas
dasar permulaany, bukan atas dasar perubahan bentuk yang satu kepada bentuk yang lainnya, dan
hilangnya benda alam itu dengan cara fana, bukan cara rusak!.

Adapun artinya fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya
sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain, fana berarti
bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat yang tercela.

Dalam pada itu Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud fana adalah lenyapnya indrawi
atau kebasyariahan, yakin sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang
yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat daripada alam baharu, alam rupa dan
alam wujud ini, maka dikatakan ia telah fana dari alam cipta atau dari alam makhluk. Selain itu fana juga
dapat berarti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiat) lahir batin.

Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal, sedang menurut yang
dimaksud para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia.
Karena lenyapnya (fana) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah. Dalam istilah
tasawuf, fana dan baqa datang beriringan, sebagai mana dinyatakan oleh para ahli tasawuf :

“Apabila tampaklah nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqa lah yang kekal”

Tasawuf ituialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan tuhannya, karena kehadiran hati mereka
bersama Allah.

Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa yang dimaksud dengan fana adalah lenyapnya sifat-sifat
basyariah, akhlak yang tercela, kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqa
adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari
dosa dan maksiat. Untuk mencapai baqa ini perlu
dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlak yang
terpuji.

Selanjutnya fana yang dicari oleh orang sufi adalah penghancuran diri (al-fana ‘an al-nafs), yaitu
hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Menurut al-Qusyairi, fana
yang dimaksud adalah:

“Fana seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya
dan tentang makhluk lain itu, sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula makhluk lain ada, tetapi
ia tak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya”.

Kalau seorang sufi telah mencapai al-fana al-nafs, yaitu kalau wujud jasmaniah tak ada lagi (dalam
arti tak disadarinya lagi), maka yang akan tinggal ialah wujud rohaniah. Menurut Harun Nasution,
kelihatannya persatuan dengan Tuhan ini terjadilangsung setelah tercapainnya al-fana al-nafs. Tak
ubahnya dengan fana yang terjadi ketika hilangnya kejahilan, maksiat dan kelakuan buruk diatas.
Dengan hancurnya hal-hal ini yang langsung tinggal (baqa) ialah pengetahuan, takwa dan kelakuan baik.

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa yang dituju dengan fana dan baqa ini adalah
mencapai persatuan secara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan, sehingga yang didasari hanya Tuhan
dalam dirinya.

Adapun kedudukannya adalah merupakan hal, karena hal yang demikian tidak terjadi terus-
menerusdan juga karena dilimpahkan oleh Tuhan. Fana merupakan keadaan dimana seorang hanya
menyadari kehadiran tuhan dalam dirinya, dan kelihatan lebih merupakan alat jembatan atau maqam
menuju ittihad (penyatuan rohani dengan tuhan).

Berbicara fana dan baqa ini erat hubungannya dengan al-ittihad, yakni penyatuan batin atau
rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari fana dan baqa itu sendiri adalah ittihad itu. Hal yang
demikian sejalan dengan pendapat Mustafa Zahri yang mengatakan bahwa fana dan baqa tidak dapat
dipisahkan dengan pembicaraan paham ittihad. Dalam ajaran itihad sebagai salah satu metode tasawuf
sebagai dikatakan oleh al-Badawi, yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun sebenar-benarnya yang
ada dua wujud yang berpisah dari yang lain karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud,
maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai (manusia) dengan yang
dicintai (tuhan) ataau tegasnya antara sufi dan Tuhan.

Dalam situasi ittihad yang demikian itu, seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan,
suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari
mereka dapat memanggil yang satu dengan kata-kata: “Hai Aku”.
Dengan demikian jika seorang sufi mengatakan misalnya “maha suci aku”, maka yang dimaksud aku
disitu bukanlah sufi sendiri, tetapi sufi yang telah bersatu batin dan rohaninya dengan Tuhan, melalui
fana dan baqa.

B. TOKOH YANG MENGEMBANGKAN FANA

Dalam sejarah tasawuf, Abu Yazid Al-Bustami disebut sebagai sufi yang pertama kali
memperkenalkan faham fana dan baqa. Nama kecinya adalah Thaifur. Nama beliau sangat istimewa
dalam hati kaum sufi seluruhnya.Ketika Abu Yazid telah fana dan mencapai baqa maka dari mulutnya
keluarlah kata-kata yang ganjil, yang jika tidak hati-hati memahami akan menimbulkan kesan seolah-
olah Abu Yazid mengaku dirinya sebagai tuhan padahal sesungguhnya ia tetap manuisia biasa, yaitu
manusia yang mengalami pengalaman bathin bersatu dengan tuhan. Diantara ucapan ganjilnya ialah:
“tisdak ada tuhan melainkan saya. Sembahlah saya, amat sucilah saya, alngkah besarnya
kuasaku.”Selanjutnya Abu Yazid Mengatakan “Tidak ada tuhan selain aku, maka sembahlah aku, Maha
Suci Aku, Maha Besar Aku.”

Selanjutnya diceritakan bahwa: seseorang lewat dirumah Abu yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid
bertanya:” siapa yang engkau cari?” Jawabnya:”Abu Yazid.” Lalu Abu Yazid mengatakan: “pergilah”.
Dirumah i ni tidak ada kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi.”Ucapan yang keluar dari mulut
abu yazid itu, bukanlah kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu diucapkannya melalui diri tuhan dalam
Ittihad yang dicapainya dengan tuhan. Dengan demikian sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya
sebagai tuhan.

C. FANA DAN BAQA DAN ITTIHAD DALAM PANDANGAN AL-QURAN

Fana dan Baqa merupakan jalan menuju Tuhan, hal ini sejalan dengan firman Allah surat Al-kahfi ayat
10 yang berbunyi:

“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.”( Q. S. Al-
Kahfi, 18: 110).

Paham ittihad ini juga dapat dipahami dari keadaan ketika Nabi Musa ingin melihat Allah. Musa
berkata: “Ya Tuhan, bagai mana supaya aku sampai kepada-Mu?” Tuhan berfirman: Tinggalah dirimu
(lenyapkanlah dirimu) baru kamu kemari (bersatu).

Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Allah swt. telah memberi peluang kepada manusia untuk
bersatu dengan Tuhan secara rohaniyah atau bathiniyah, yang caranya antara lain dengan beramal
shaleh, dan beribadat semata-mata karena Allah, menghilangkan sifat-sifat dan akhlak buruk (Fana),
meninggalkan dosa dan maksiat, dan kemudian menghias diri dengan sifat-sifat Allah, yang kemudian ini
tercakup dalam konsep Fana dan Baqa, hal ini juga dapat dipahami dari isyarat ayat di bawah ini:

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran
dan kemuliaan.” (Q.S. Al-Rahman: 26-27).
BAB III

AL HULUL

A. PENGERTIAN, TUJUAN DAN KEDUDUKAN HULUL

Secara harifah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia
yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiannya melalui fana. Menurut keterangan Abu Nasr al-
Tusi dalam al-Luma sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan
memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah kemanusiaan
dalam tubuh itu dilenyapkan.

Sebelum Tuhan menjadikan makhluk, Ia hanya melihat diri-Nya sendiri. Allah melihat pada zatnya
sendiri dan Ia pun cinta pada zatnya sendiri, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari
banyaknya ini.

Al-hallaj berkesmimpulan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan dalam diri
Tuhan terdapat sifat ketuhanan (nasut). Jika sifat ketuhanan pada diri manusia menyatu dengan sifat
kemanusian pada diri Tuhan maka terjadilah Hulul.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka al-hulu dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana
manusia dan Tuhan menyatu secara Rohaniah. Dalam hal ini hulul pada hakikatnnya istilah lain dari al-
ittihad sebagaimana telah disebutkan diatas.

Tujuan dari hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma kedalam diri insane (nasut) dan hal ini terjadi
pada saat kebatinan seseorang insane telah suci bersih dalah menempuh perjalanan hidup kebatinan.

B. TOKOH YANG MENGEMBANGKAN PAHAM AL-HULUL

Sebagaimana telah disebutkan diatas, bahwa tokoh yang mengembangkan paham al-hulul adalah al-
hallaj. Nama lengkapnya adalah Husein Bin Mansur al-Hallaj. Ia lahir tahun 244 H. (858 M), dinegri
Baidha, salah satu kota kecil yang terletak di Persia. Dia tinggal sampai dewasa di Wasith, dekat
Baghdad, dan dalam usia 16 tahun ia sudah belajar pada seorang sufi yang terbesar dan terkenal
bernama Sahl bin Ab-bashrah di Negri Ahwaz.

Dalam paham al-Hulul yang dikemukakan al-Hallaj tersebut ada dua hal yang dapat dicatat. Pertama,
bahwa paham al-hulul merupakan pengembangan.

BAB IV

WAHDAT AL-WUJUD

A. PENGERTIAN DAN TUJUAN WAHDAT AL-WUJUD


Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat
artinya sendiri, tunggal, atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian wahdat al-
wujud berarti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam.
Dikalangan ulama kalasik ada yang mengartikan wahdat sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-
bagi pada bagian yang lebih kecil. Selain itu kata al-wahdah digunakan pula oleh para ahli filsafat dan
sufistik sebagai suatu kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara
yang tampak (lahir) dan yang batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan
berasal dari tuhan. Pengertian wahdatul wujud yang terakhir itulah yang selanjutnya digunakan para
sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud.

Selanjutnya paham ini juga mengambil pendirian bahwa dari kedua aspek batin atau al-haqq yang
merupakan hakikat, esensi atau subtansi. Paham ini selanjutnya membawa kepada timbulnya paham
bahwa antara makhluk (manusia) dan al-haqq (Tuhan) sebenernya satu kesatuan dari wujud Tuhan, dan
yang sebenernya ada adalah wujud Tuhan itu, sedangkan wujud makhluk hanya baying atau foto copy
dari Tuhan.

Dalam wujud lain uraian falsafah ini dapat dikemukakan sebagai berikut. Bahwa makhluk yang
dijadikan Tuhan dan wujudnya bergantung kepadanya, adalah sebagai sebab dari segala yang berwujud
selain Tuhan. Tuhanlah yang sebenarnya yang memiliki wujud hakiki atau yang wajibul wujud.
Sementara itu makhluk sebagai yang diciptakannya hanya mempunyai wujud yang bergantung kepada
wujud yang berada pada dirinya, yaitu Tuhan. Dengan kata lain yang mempunyai wujud sebenernya
Tuhan dan wujud yang dijadikan ini sebenernya tidak mempunyai wujud. Yang mempunyai wujud
sesungguhnya hanyalah Allah.

Paham Wahdatul Wujud tersebut mengisyaratkan bahwa pada manusia ada unsure lahir dan batin
dan pada tuhanpun ada unsur lahir dan batin. Dalam wahdatul wujud ini yang terjadi adalah bersatunya
wujud batin manusia dengan wujud lahir tuhan. Dengan cara demikian maka paham wahdatul wujud ini
tidak menggagu zat Tuhan dan dengan demikian tidak akan membawa keluar dari islam.

Selanjutnya jika kita buka Al-qur’an, didalamnya akan dijumpai ayat-ayat yang memberikan petunjuk
bahwa Tuhan memilki unsur zahir dan batin. Misalnya kita membaca ayat yang artinya berbunyi:

Dialah yang awal dan yang ahir yang zahir dan yang batin, dan Dia maha mengetahui segala sesuatu.
(QS. AL-HADID, 57;3)

Dan menyempurnakan untukmu ni’matnya lahir dan batin (QS. LUQMAN, 31:20)

Selanjutnya uraian tentang wujud manusia sebagai bergantung kepada wujud Tuhan sebagaimana
dikemukakan diatas dapat dipahami bahwa manusia adalah sebagai makhluk yang butuh dan fakir,
sedangkan Tuhan adalah sebagai yang Maha Kaya. Paham yang demikian sesuai pula dengan isyarat ayat
yang artinya berbunyi:

Hai manusia, kamulah yang berkhendak kepada Allah, dan Allah Dialah yang Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.(QS. FATHIR, 35:15)
Namun dalam pandangan sufi bahwa yang dimaksud dengan zahir adalah sifat-sifat Allah yang tampak,
sedangkan yang batin adalah zat-Nya. Manusia dianggap mempunyai unsure tersebut karena manusia
berasal dari pancaran Tuhan. Selanjutnya pada ayat 31 surat Luqman di atas dinyatakan bahwa yang
lahir dan batin itu merupakan nikmat yang dianugrahkan Tuhan kepada Manusia. Ayat yang demikian itu
jelas bahwa pada manusia juga ada unsur Lahir dan Batin.

B. TOKOH YANG MEMBAWA PAHAM WAHDATUL WUJUD

Paham wahdatul wujud dibawa oleh Muhyidin Ibn Arabi yang lahir di Murcia, Spanyol di tahun 1165.
Setelah selesai studi di Seville, beliau pindah ke Tunis di tahun1145, dan disana ia masuk aliran sufi. Di
tahun 1202 M. Ia pergi ke Mekkah dan meninggal di Damaskus tahun1240 M. Selain sebagai sufi, beliau
juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Menurut Hamka, Ibn Arabi dapat disebyt sebagai orang
yang telah sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakan pahamnya dengan berdasarkan
renungan fikiran dan filsafat dan zauq tasawuf. Ia menyajikan ajaran tasawufnya dengan bahasa yang
agak berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah dan ancaman kaum awam.
Baginya wujud (yang ada) itu hanya satu. Wujudnya makhluk adalah ‘ain ujud khaliq. Pada hakikatnya
tidaklah ada pemisah antara manusia dan Tuhan. Kalau dikatakan berlainan antara khalik dan makhluk
itu hanyalah lantaran pendeknya paham dan akal dalam mencapai hakikat
PENUTUP

Kesimpulan

Fana adalah proses menghancurkan diri bagi seorang sufi agar dapat bersatu dengan Tuhan. Sedangkan
Baqa adalah sifat yang mengiringi dari proses fana dalam penghancuran diri untuk mencapai ma’rifat.
Secara singkat, Fana adalah gugurnya sifat-sifat tercela, sedangkan Baqa adalah berdirinya sifat-sifat
terpuji. Adapun tujuan Fana dan Baqa adalah mencapai penyatuan secara ruhaniyah dan bathiniyiah
dengan Tuhan sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya. Sedangkan kedudukan Fana dan
Baqa merupakan hal. Dalam sejarah tasawuf, Sufi yang pertama kali memperkenalkan paham Fana dan
Baqa adalah Abu Yazid al-Bustami. Ittihad adalah kondisi penyatuan hamba dengan tuhannya, setelah
melalui peniadaan diri, penyaksian, penemuan zat dengan rasa kenikmatan yang luar biasa, maka ini
juga yang disebut kebahagiaan yang tinggi atau kebahagiaan yang sempurna. Hulul diartikan sebagai
penyatuan hamba dengan tuhannya, setelah zatNya melebur kedalam tubuh hambaNyan Wihdatu al-
wujud yaitu kesatuan dari dua wujud yang berbeda yaitu wujud pencipta atau tuhan (al-khaliq)dan
wujud ciptaan atau hamba (al makhluq). Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua
kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal, atau kesatuan, sedangkan al-wujud
artinya ada. Dengan demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya
digunakan untuk arti yang bermacam-macam.
DAFTAR PUSTAKA

NATA, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Anda mungkin juga menyukai