Dosen Pengampu
Faisal Abdullah M.S.I
Oleh;
FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PONTIANAK
2021
MUQODDIMAH
Segala puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Tuhan semesta
alam atas anugerah, rahmat, dan kasih sayang-Nya. Sholawat beriring salam
senantiasa terpanjatkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW beserta seluruh
ahlul bait, para sahabat, dan para pengikutnya. Kami mengucapkan syukur atas
limpahan nikmat sehat, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga
kami mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah mata Akhlaq Tasawuf
dengan pembahasan “Konsep Ittihad dan Hulul”.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
MUQODDIMAH .................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1
C. Tujuan .......................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 2
A. Ittihad ........................................................................................................... 2
B. Hulul............................................................................................................. 4
BAB III PENUTUP ............................................................................................... 7
A. Kesimpulan .................................................................................................. 7
B. Saran ............................................................................................................. 7
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 8
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang sangat kompleks. Sebagai sebuah sistem
ajaran keagamaan yang utuh dan lengkap, memberikan tempat kepada jenis
penghayatan keagamaan secara eksoterik (zhahiri, lahir), dan sekaligus esoterik
(bathini, batin) secara seimbang.1 Dalam kasus ini, sufisme/tasawuf secara tipikal
menjadi fenomena yang lebih merupakan suatu bentuk penghayatan keagamaan
(Islam) dengan karakter yang memberikan penekanan pada aspek esoterik.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Ittihad dan hulul?
2. Bagaimana konsep pemikiran tasawuf Ittihad dan Hulul?
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi dari Ittihad dan hulul.
2. Dapat memahami konsep pemikiran tasawuf Ittihad dan Hulul.
1
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban:Membangun Makna dan Relevansi
Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995)
2
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 2006)
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ittihad
menjadi satu”. Secara terminologi yang dimaksud dengan Ittihad adalah suatu
tingkatan dalam tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan
Tuhan; suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi
satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satunya lagi hanya
dengan satu panggilan : “Aku”.3 Ittihad ialah kondisi dimana seorang sufi telah
hilang kesadarannya bahkan kewujudan hakikinya digantikan atau diambil alih oleh
Tuhan, hingga yang keluar dari lisan ialah berupa lisan Tuhan.
Ittihad termasuk ke dalam jenis tasawuf falsafi, yakni, jenis tasawuf yang
cenderung membaurkan diri dengan filsafat metafisika. Bermula dari praktek
zuhud, lalu tasawuf (‘amal dan nazhar) dan berakhir pada filsafat, yaitu
menjelaskannya dengan menggunakan teori-teori dan ungkapan-ungkapan filsafat
dari sumber yang beraneka ragam.4 Bagi tasawuf falsafi, kondisi fana’ merupakan
titik tolak menuju “penyatuan” hamba dengan Tuhan.
Dengan kata lain, ketika salik telah mencapai derajat fana’ kemudian ia
tidak langsung kembali ke kondisi normal sebagai yang dikehendaki tasawuf
akhlaki, melainkan justru meningkat pada penyatuan dengan Tuhan yang menurut
Abu Yazid al-Busthami mengambil bentuk ittihad (the mystical union), dan
menurut al-Hallaj penyatuan itu mengambil bentuk hulul. Jika eksistensi tasawuf
akhlaki (’amali) telah mencapai puncak kesempurnaanya di tangan al-Ghazali,
maka tasawuf falsafi mencapai puncaknya pada abad ke-7 H di tangan Ibnu ‘Arabi
dengan paham wahdah al-wujud-nya.5
Dalam ittihad menurut A.R Badawi meskipun yang terlihat hanya satu
wujud insan, sebenarnya ada dua wujud yang terpisah satu sama lain. Karena yang
dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad bisa terjadi pertukaran
peranan antara yang mencintai dan yang dicintai atau tegasnya antara sufi dan
Tuhan. Dalam Ittihad, “identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu”. Sufi
3
Ibid
4
Muhammad Uqail bin ‘Ali al-Mahdi, Dirasah fi at-Tashawwuf al-Falsafi
aIIslami (Kairo: Dar al-Hadits, 1993)
5
Muniron, Ittihad dan hulul dalam pandangan al-Ghazali,(Jember : STAIN
Jember Press, 2013)
2
yang bersangkutan, karena fana’nya telah tak mempunyai kesadaran lagi, dan
berbicara dengan nama Tuhan.6
Ittihad itu akan tercapai kalau seorang sufi telah dapat menghilangkan
kesadarannya. Dia tidak mengenal lagi wujud tubuh kasarnya dan wujud alam
sekitarnya. Namun lebih dari itu sebenarnya. Menurut Nicolson, dalam paham
ittihad, hilangnya kesadaran adalah permulaan untuk memasuki tingkat ittihad yang
sebenarnya dicapai dengan adanya kesadaran terhadap dirinya sebagai Tuhan.
Keadaan inilah yang disebut dengan kesinambungan hidup setelah kehancuran
(“abiding after passing away”, al-baqa’ ba’ad al-fana’).8
Hal ini ditegaskan oleh Imam Junaid, bahwa dalam keadaan trance seorang
sufi tidak mengucapkan tentang dirinya sendiri, tapi tentang apa yang
disaksikannya, yaitu Allah, Al-Junaid berkomentar tentang perkataan-perkataan
ganjil Abu Yazid al-Busthami, bahwa dia (Abu Yazid) begitu terpesona oleh
penyaksian terhadap Allah, sehingga Ia mengucapkan apa yang membuatnya
terpesona. Penglihatan terhadap Yang Maha Benar membuatnya terbuai, di mana
tidak ada yang dia saksikan kecuali yang maha Benar, sehingga Ia meratapinya.
Perlu ditegaskan sekali lagi bahwa Ittihad bukanlah berarti bersatunya
Tuhan pada tubuh hamba, melainkan Ittihad adalah diambil alihnya kewujudan
6
Ibid
7
Fariddudin al-Athar, al-Tasawuf at-Islami wa tarikhuh, (Kairo: Lajnah al-ta’lif
wa al-Tarjamah, 1947)
8
Said bin Abdullah Al-Hamdany, Sanggahan Terhadap Tasawuf dan Ahli Sufi,
(Bandung: Pelita,1969)
3
seorang hamba oleh Tuhan hingga yang wujud hanya Tuhan tidak ada hamba,
sehingga yang berada dalam fisik hamba pada fase itu ialah hanya wujud Tuhan,
meskipun secara dzahir orang melihat wujud fisik si hamba masih ada.
B. Hulul
Kata Hulul adalah bentuk masdar dari kata kerja halla, yahulu, hululan yang
arti menempati, mistis, berinkarnasi.9 Hulul juga bermakna penitisan Tuhan ke
makhluk atau benda. Secara harfiah hulul mengandung arti bahwa Tuhan
mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu yang telah lenyap sifat
kemanusiaannya melalui fana’.10
Hulul menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ adalah paham
yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam
tubuh itu dilenyapkan.11 AI-Hallaj adalah ulama tasawuf yang pertama kali
mencetuskan konsep Hulul. Ia berpendapat bahwa Allah mempunyai dua sifat dasar
(nature), yaitu ketuhanan (lahut) dan kemanusiaan (nasut).
Teorinya ini dapat dilihat dalam bukunya yang berjudul at-Tawasin, bahwa
sebelum Tuhan menjadikan makhluk, Ia hanya melihat diri-Nya sendiri. Dalam
kesendirian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, dialog
yang di dalamnya tak terdapat kata-kata atau huruf-huruf.
9
DEPAG RI, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: khtiar Baru Van Hoeve, 2003)
10
Abdu Qadir Mahmud, al-falsafah al-Sufiyah fi al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996)
11
Harun Nasution, Op-cit
12
Ibid
4
َ َ ِِ ََ استَ ْكبَ َر َوََا
ْ يس أَبَ ٰى َو
ِ ِ ِا
َ س َج ُدوا إال إبْل
ِ
َ َاس ُج ُدوا ِل َد َم ف
ِ ِ
ْ َوإِ ْذ قُلْنَا لل َْم ََلئِ َكة
ِ
َ الْ َكاف ِر
َ ي
Artinya : “Dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah
kamu kepada Adam,” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur
dan adalah Ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”
Penafsiran al-Hallaj terhadap ayat ini adalah bahwa Allah memberikan perintah
kepada malaikat untuk sujud kepada Adam karena pada diri Adam Allah menjelma
sebagaimana Ia menjelma dalam diri Isa.
Kesimpulan dari pendapat al-Hallaj adalah dalam diri manusia terdapat sifat
ketuhanan (lahut) dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusian (nasut) dengan
demikian persatuan antara Tuhan dengan manusia bisa terjadi dan persatuan ini
dalam falsafat aI-Hallaj mengambil bentuk hulul (mengambil tempat). Agar dapat
bersatu dengan Tuhan manusia harus tenlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat
kemanusiaannya dengan fana, kalau sifat kemanusian ini telah hilang dan yang
tinggal sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya, di situlah baru Tuhan dapat
mengambil tempat dalam dirinya, dan ketika itulah roh Tuhan. Dan manusia bersatu
dalam tubuh manusia sebagaimana yang dinyatakan dalam syairnya berikut:
“Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku
Sebagaimana air putih disatukan dengan khamr
Dan jika ada sesuatu yang menyentuh engkau,
Ia menyentuh aku pula
Dan ketika itu dalarn tiap hal
Engkau adalah aku.”
5
Engkau lihat kami”13
Dengan cara inilah menurut al-Hallaj seorang sufi bisa bersatu dengan Tuhan.
Dalam persatuan ini din al-Hallaj kelihatan tak hilang. Sebagaimana halnya dengan
diri Abu Yazid dalam ittihad. Dalam ittthad diri Abu Yazid hancur dan yang ada
hanya diri Tuhan. Dalam paham al-Hallaj dirinya tak hancur sebagai mana bunyi
syair diatas.
Al-Hulul mempunyai dua bentuk, yaitu :
1. Al-Hulul Al-Jawari yakni keadaan dua esensi yang satu mengambil tempat
pada yang lain (tanpa persatuan), seperti air mengambil tempat dalam
bejana.
2. Al-Hulul As-Sarayani yakni persatuan dua esensi (yang satu mengalir
didalam yang lain) sehingga yang terlihat hanya satu esensi, seperti zat air
yang mengalir didalam bunga.
Al-hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu
secara rohaniah. Dalam hal ini hulul pada hakikatnya istilah lain dari al-ittihad
sebagaimana telah disebutkan diatas. Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan
secara batin. Untuk itu Hamka mengatakan bahwa al-hulul adalah ketuhanan (lahut)
menjelma kedalam diri insan (nasut), dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang
insan telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.14
13
Ibid
14
M. Sobirin dan Rosihan Anwar, Kamus Tasawuf, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2000)
6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari paparan makalah di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
B. Saran
Setelah dipaparkannya materi mengenai Ittihad dan hulul yang seringkali
mendapat pandangan negatif, diharapkan kita dapat memahami konsep pemikiran
mereka agar kita terhindar dari su’udzon dan fitnah terhadap kekasihnya Allah.
Diharapkan juga melalui tulisan ini dapat membuka mata keilmuan kita mengenai
ilmu tasawuf yang seringkali disalah persepsikan oleh sebagian kalangan.
7
DAFTAR PUSTAKA
Al-Athar,Fariddudin, 1947 al-Tasawuf at-Islami wa tarikhuh, Kairo: Lajnah al-
ta’lif wa al-Tarjamah
Al-Hamdany,Said bin Abdullah, 1969, Sanggahan Terhadap Tasawuf dan Ahli
Sufi, Bandung: Pelita,
DEPAG RI, 2003, Ensiklopedi Islam, Jakarta: khtiar Baru Van Hoeve
Madjid, Nurcholish, 1995, Islam Agama Peradaban:Membangun Makna dan
Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina
Mahmud,Abdu Qadir, 1996 al-falsafah al-Sufiyah fi al-Islam, Beirut: Dar al-Fikr,
Muniron, 2003, Ittihad dan hulul dalam pandangan al-Ghazali, Jember : STAIN
Jember Press
Nasution, Harun, 2006, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan
Bintang
Rosihan Anwar,dan M. Sobirin, Kamus Tasawuf, Bandung: Remaja Rosda Karya
2000
Uqail bin ‘Ali al-Mahdi,Muhammad, 1993, Dirasah fi at-Tashawwuf al-Falsafi
aIIslami Kairo: Dar al-Hadits