Anda di halaman 1dari 11

KONSEP ITTIHAD DAN HULUL

Makalah ini disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Akhlaq Tasawuf

Dosen Pengampu
Faisal Abdullah M.S.I

Oleh;

Melisa Firnanda NIM 12104019


Nadia Ulfa NIM 12104016

FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PONTIANAK
2021
MUQODDIMAH

Segala puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Tuhan semesta
alam atas anugerah, rahmat, dan kasih sayang-Nya. Sholawat beriring salam
senantiasa terpanjatkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW beserta seluruh
ahlul bait, para sahabat, dan para pengikutnya. Kami mengucapkan syukur atas
limpahan nikmat sehat, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga
kami mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah mata Akhlaq Tasawuf
dengan pembahasan “Konsep Ittihad dan Hulul”.

Kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai kesempurnaan


dalam menyusun makalah ini. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan masih
terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kitik dan saran
yang sifatnya membangun, demi mencapai makalah yang lebih baik lagi
kedepannya.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk memperluas pengetahuan dan


wawasan. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami
mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Pontianak, 20 November 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
MUQODDIMAH .................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1
C. Tujuan .......................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 2
A. Ittihad ........................................................................................................... 2
B. Hulul............................................................................................................. 4
BAB III PENUTUP ............................................................................................... 7
A. Kesimpulan .................................................................................................. 7
B. Saran ............................................................................................................. 7
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 8

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang sangat kompleks. Sebagai sebuah sistem
ajaran keagamaan yang utuh dan lengkap, memberikan tempat kepada jenis
penghayatan keagamaan secara eksoterik (zhahiri, lahir), dan sekaligus esoterik
(bathini, batin) secara seimbang.1 Dalam kasus ini, sufisme/tasawuf secara tipikal
menjadi fenomena yang lebih merupakan suatu bentuk penghayatan keagamaan
(Islam) dengan karakter yang memberikan penekanan pada aspek esoterik.

Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi dua,


yaitu tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku dan tasawuf yang mengarah
pada teori-teori yang rumit dan memahami pemahaman mendalam. Pada
perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke arah pertama sering disebut
sebagai tasawuf akhlaqi. Adapun tasawuf yang berorientasi ke arah kedua disebut
sebagai tasawuf falsafi.

Tasawuf Falsafi merupakan tasawuf yang didalamnya tercampur antara


rasa (dzauq) tasawuf dan pemikiran akal. Tasawuf atau sufisme sebagaimana
halnya dengan mistisisme di luar agama Islam mempunyai tujuan memperoleh
hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan. Intisari dari mistisme, termasuk di
dalamnya sufisme, ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh
manusia dengan Tuhan lewat pengasingan diri. Kesadaran berada dekat dengan
Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad (bersatu dengan Tuhan).2

Ketika berbicara mengenai konsep berkomunikasinya hamba dengan


Tuhan, maka ada beberapa konsep popular yang sering ditemui, diantaranya yaitu
Ittihad dan hulul. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai dua konsep
tersebut (ittihad dan hulul).

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Ittihad dan hulul?
2. Bagaimana konsep pemikiran tasawuf Ittihad dan Hulul?
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi dari Ittihad dan hulul.
2. Dapat memahami konsep pemikiran tasawuf Ittihad dan Hulul.

1
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban:Membangun Makna dan Relevansi
Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995)
2
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 2006)

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ittihad

Secara bahasa Al-Ittihad (‫ )االتحاد‬berarti “The Union” atau “bergabung

menjadi satu”. Secara terminologi yang dimaksud dengan Ittihad adalah suatu
tingkatan dalam tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan
Tuhan; suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi
satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satunya lagi hanya
dengan satu panggilan : “Aku”.3 Ittihad ialah kondisi dimana seorang sufi telah
hilang kesadarannya bahkan kewujudan hakikinya digantikan atau diambil alih oleh
Tuhan, hingga yang keluar dari lisan ialah berupa lisan Tuhan.

Ittihad termasuk ke dalam jenis tasawuf falsafi, yakni, jenis tasawuf yang
cenderung membaurkan diri dengan filsafat metafisika. Bermula dari praktek
zuhud, lalu tasawuf (‘amal dan nazhar) dan berakhir pada filsafat, yaitu
menjelaskannya dengan menggunakan teori-teori dan ungkapan-ungkapan filsafat
dari sumber yang beraneka ragam.4 Bagi tasawuf falsafi, kondisi fana’ merupakan
titik tolak menuju “penyatuan” hamba dengan Tuhan.

Dengan kata lain, ketika salik telah mencapai derajat fana’ kemudian ia
tidak langsung kembali ke kondisi normal sebagai yang dikehendaki tasawuf
akhlaki, melainkan justru meningkat pada penyatuan dengan Tuhan yang menurut
Abu Yazid al-Busthami mengambil bentuk ittihad (the mystical union), dan
menurut al-Hallaj penyatuan itu mengambil bentuk hulul. Jika eksistensi tasawuf
akhlaki (’amali) telah mencapai puncak kesempurnaanya di tangan al-Ghazali,
maka tasawuf falsafi mencapai puncaknya pada abad ke-7 H di tangan Ibnu ‘Arabi
dengan paham wahdah al-wujud-nya.5

Dalam ittihad menurut A.R Badawi meskipun yang terlihat hanya satu
wujud insan, sebenarnya ada dua wujud yang terpisah satu sama lain. Karena yang
dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad bisa terjadi pertukaran
peranan antara yang mencintai dan yang dicintai atau tegasnya antara sufi dan
Tuhan. Dalam Ittihad, “identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu”. Sufi

3
Ibid
4
Muhammad Uqail bin ‘Ali al-Mahdi, Dirasah fi at-Tashawwuf al-Falsafi
aIIslami (Kairo: Dar al-Hadits, 1993)
5
Muniron, Ittihad dan hulul dalam pandangan al-Ghazali,(Jember : STAIN
Jember Press, 2013)

2
yang bersangkutan, karena fana’nya telah tak mempunyai kesadaran lagi, dan
berbicara dengan nama Tuhan.6

Imam Abu Yazid al-Bustomi merupakan pencetus konsep Ittihad.


Ungkapan Abu Yazid al-Busthami tentang kefanaan dan penyatuannya dengan
kekasihnya memang terasa berlebihan dan sering dicap menyesatkan oleh sebagian
pihak yang tidak memahami konsep ini. Antara lain ucapannya seperti: “Aku ini
Allah, tidak ada Tuhan kecuali Aku, maka sembahlah Aku. Katanya pula: betapa
sucinya Aku, betapa besarnya Aku”. “Aku keluar dari Abu Yazidku, seperti halnya
ular keluar dari kulitnya, dan pandanganku pun terbuka, dan ternyata sang pecinta,
Yang dicinta, dan cinta adalah satu. Sebab manusia itu dalam alam penyatuan
adalah satu”.7

Ungkapan-ungkapan yang terdengar ganjil ini beliau ucapkan bukan dalam


keadaan sadar/normal melainkan sudah berada dalam fase mabuk kerinduan dan
berada dipuncak ma’rifat yang mana Ruh nya telah diambil alih oleh Allah. Hingga
yang berbicara “Tidak ada tuhan selain Aku” itu bukanlah Abu Yazid melainkan
Allah melalui wujud Abu Yazid. Kasus serupa juga sama seperti yang dialami oleh
Al-Hallaj, dan Siti Jenar.

Ittihad itu akan tercapai kalau seorang sufi telah dapat menghilangkan
kesadarannya. Dia tidak mengenal lagi wujud tubuh kasarnya dan wujud alam
sekitarnya. Namun lebih dari itu sebenarnya. Menurut Nicolson, dalam paham
ittihad, hilangnya kesadaran adalah permulaan untuk memasuki tingkat ittihad yang
sebenarnya dicapai dengan adanya kesadaran terhadap dirinya sebagai Tuhan.
Keadaan inilah yang disebut dengan kesinambungan hidup setelah kehancuran
(“abiding after passing away”, al-baqa’ ba’ad al-fana’).8

Hal ini ditegaskan oleh Imam Junaid, bahwa dalam keadaan trance seorang
sufi tidak mengucapkan tentang dirinya sendiri, tapi tentang apa yang
disaksikannya, yaitu Allah, Al-Junaid berkomentar tentang perkataan-perkataan
ganjil Abu Yazid al-Busthami, bahwa dia (Abu Yazid) begitu terpesona oleh
penyaksian terhadap Allah, sehingga Ia mengucapkan apa yang membuatnya
terpesona. Penglihatan terhadap Yang Maha Benar membuatnya terbuai, di mana
tidak ada yang dia saksikan kecuali yang maha Benar, sehingga Ia meratapinya.
Perlu ditegaskan sekali lagi bahwa Ittihad bukanlah berarti bersatunya
Tuhan pada tubuh hamba, melainkan Ittihad adalah diambil alihnya kewujudan

6
Ibid
7
Fariddudin al-Athar, al-Tasawuf at-Islami wa tarikhuh, (Kairo: Lajnah al-ta’lif
wa al-Tarjamah, 1947)
8
Said bin Abdullah Al-Hamdany, Sanggahan Terhadap Tasawuf dan Ahli Sufi,
(Bandung: Pelita,1969)

3
seorang hamba oleh Tuhan hingga yang wujud hanya Tuhan tidak ada hamba,
sehingga yang berada dalam fisik hamba pada fase itu ialah hanya wujud Tuhan,
meskipun secara dzahir orang melihat wujud fisik si hamba masih ada.

B. Hulul
Kata Hulul adalah bentuk masdar dari kata kerja halla, yahulu, hululan yang
arti menempati, mistis, berinkarnasi.9 Hulul juga bermakna penitisan Tuhan ke
makhluk atau benda. Secara harfiah hulul mengandung arti bahwa Tuhan
mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu yang telah lenyap sifat
kemanusiaannya melalui fana’.10

Hulul menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ adalah paham
yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam
tubuh itu dilenyapkan.11 AI-Hallaj adalah ulama tasawuf yang pertama kali
mencetuskan konsep Hulul. Ia berpendapat bahwa Allah mempunyai dua sifat dasar
(nature), yaitu ketuhanan (lahut) dan kemanusiaan (nasut).

Teorinya ini dapat dilihat dalam bukunya yang berjudul at-Tawasin, bahwa
sebelum Tuhan menjadikan makhluk, Ia hanya melihat diri-Nya sendiri. Dalam
kesendirian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, dialog
yang di dalamnya tak terdapat kata-kata atau huruf-huruf.

Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian dzat-Nya. Allah


melihat kepada dzat-Nya dan Dia pun cinta pada dzat-Nya sendiri, cinta yang tak
dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dan yang
banyak ini. Dia pun mengeluarkan dari yang tiada (ex nihilo) bentuk (copy) dan
diri-Nya yang mempunyai segala sifat dan nama-Nya. Bentuk copian itu adalah
Adam. Setelah menjadikan Adam dengan cara ini, Dia memuliakan dan
mengagungkan Adam. Dia cinta pada diri Adam. Pada diri Adamlah Allah muncul
dalam bentuknya.12
Menurut Al-hallaj manusia juga mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya.
Ini dapat dilihat dari penafsiran Al-Hallaj mengenal kejadian Adam (QS. Al-
Baqarah :34).

9
DEPAG RI, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: khtiar Baru Van Hoeve, 2003)
10
Abdu Qadir Mahmud, al-falsafah al-Sufiyah fi al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996)
11
Harun Nasution, Op-cit
12
Ibid

4
َ َ ِِ ََ ‫استَ ْكبَ َر َوََا‬
ْ ‫يس أَبَ ٰى َو‬
ِ ِ ‫ِا‬
َ ‫س َج ُدوا إال إبْل‬
ِ
َ َ‫اس ُج ُدوا ِل َد َم ف‬
ِ ِ
ْ ‫َوإِ ْذ قُلْنَا لل َْم ََلئِ َكة‬
ِ
َ ‫الْ َكاف ِر‬
َ ‫ي‬
Artinya : “Dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah
kamu kepada Adam,” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur
dan adalah Ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”

Penafsiran al-Hallaj terhadap ayat ini adalah bahwa Allah memberikan perintah
kepada malaikat untuk sujud kepada Adam karena pada diri Adam Allah menjelma
sebagaimana Ia menjelma dalam diri Isa.

Kesimpulan dari pendapat al-Hallaj adalah dalam diri manusia terdapat sifat
ketuhanan (lahut) dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusian (nasut) dengan
demikian persatuan antara Tuhan dengan manusia bisa terjadi dan persatuan ini
dalam falsafat aI-Hallaj mengambil bentuk hulul (mengambil tempat). Agar dapat
bersatu dengan Tuhan manusia harus tenlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat
kemanusiaannya dengan fana, kalau sifat kemanusian ini telah hilang dan yang
tinggal sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya, di situlah baru Tuhan dapat
mengambil tempat dalam dirinya, dan ketika itulah roh Tuhan. Dan manusia bersatu
dalam tubuh manusia sebagaimana yang dinyatakan dalam syairnya berikut:
“Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku
Sebagaimana air putih disatukan dengan khamr
Dan jika ada sesuatu yang menyentuh engkau,
Ia menyentuh aku pula
Dan ketika itu dalarn tiap hal
Engkau adalah aku.”

“Aku adalah Dia yang kucintai


Dan Dia yang kucintai adalah aku.
Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh,
Jika engkau lihat aku engkau lihat Dia.
Dan jika engkau lihat Dia

5
Engkau lihat kami”13

Dengan cara inilah menurut al-Hallaj seorang sufi bisa bersatu dengan Tuhan.
Dalam persatuan ini din al-Hallaj kelihatan tak hilang. Sebagaimana halnya dengan
diri Abu Yazid dalam ittihad. Dalam ittthad diri Abu Yazid hancur dan yang ada
hanya diri Tuhan. Dalam paham al-Hallaj dirinya tak hancur sebagai mana bunyi
syair diatas.
Al-Hulul mempunyai dua bentuk, yaitu :
1. Al-Hulul Al-Jawari yakni keadaan dua esensi yang satu mengambil tempat
pada yang lain (tanpa persatuan), seperti air mengambil tempat dalam
bejana.
2. Al-Hulul As-Sarayani yakni persatuan dua esensi (yang satu mengalir
didalam yang lain) sehingga yang terlihat hanya satu esensi, seperti zat air
yang mengalir didalam bunga.
Al-hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu
secara rohaniah. Dalam hal ini hulul pada hakikatnya istilah lain dari al-ittihad
sebagaimana telah disebutkan diatas. Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan
secara batin. Untuk itu Hamka mengatakan bahwa al-hulul adalah ketuhanan (lahut)
menjelma kedalam diri insan (nasut), dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang
insan telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.14

13
Ibid
14
M. Sobirin dan Rosihan Anwar, Kamus Tasawuf, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2000)

6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari paparan makalah di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:

1. Pencapaian tertinggi yang diidamkan bagi seorang sufi adalah bersatunya


sang pencinta dan yang dicinta.
2. Konsep penyatuan ini bagi Abu Yazid al-Bustami dikenal dengan istilah
Ittihad, bagi al-Hallaj dikenal dengan istilah Hulul dan lbnu Arabi
menyebutnya dengan istilah wahdat al-wujud.
3. Perbedaan antara ittihad al-Bustami dengan hulul al-Hallaj adalah dalam
hulul diri al-hallaj tidak melebur atau hilang, sementara dalam ittihad diri
Abu Yazid hancur dan yang ada hanya diri Tuhan. Jadi dalam ittihad yang
dilihat satu wujud, sedang dalam hulul ada dua wujud tetapi bersatu dalam
satu tubuh.
4. Ittihad memiliki arti "bergabung menjadi satu", sehingga paham ini berarti
seorang sufi dapat bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur
dalam sandaran rohani dan jasmani (fana) untuk kemudian dalam keadaan
baqa, bersatu dengan Allah. Tokoh Yang Mengembangkan Paham Ittihad
adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Busthami.
5. Hulul secara bahasa berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh
manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat
kemanusiaannya melalui fana. Tokoh yang mengembangkan paham al-
Hulul adalah Husein bin Mansur al-Hallaj. Ia lahir tahun 224 H. (858 M.)

B. Saran
Setelah dipaparkannya materi mengenai Ittihad dan hulul yang seringkali
mendapat pandangan negatif, diharapkan kita dapat memahami konsep pemikiran
mereka agar kita terhindar dari su’udzon dan fitnah terhadap kekasihnya Allah.
Diharapkan juga melalui tulisan ini dapat membuka mata keilmuan kita mengenai
ilmu tasawuf yang seringkali disalah persepsikan oleh sebagian kalangan.

7
DAFTAR PUSTAKA
Al-Athar,Fariddudin, 1947 al-Tasawuf at-Islami wa tarikhuh, Kairo: Lajnah al-
ta’lif wa al-Tarjamah
Al-Hamdany,Said bin Abdullah, 1969, Sanggahan Terhadap Tasawuf dan Ahli
Sufi, Bandung: Pelita,
DEPAG RI, 2003, Ensiklopedi Islam, Jakarta: khtiar Baru Van Hoeve
Madjid, Nurcholish, 1995, Islam Agama Peradaban:Membangun Makna dan
Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina
Mahmud,Abdu Qadir, 1996 al-falsafah al-Sufiyah fi al-Islam, Beirut: Dar al-Fikr,
Muniron, 2003, Ittihad dan hulul dalam pandangan al-Ghazali, Jember : STAIN
Jember Press
Nasution, Harun, 2006, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan
Bintang
Rosihan Anwar,dan M. Sobirin, Kamus Tasawuf, Bandung: Remaja Rosda Karya
2000
Uqail bin ‘Ali al-Mahdi,Muhammad, 1993, Dirasah fi at-Tashawwuf al-Falsafi
aIIslami Kairo: Dar al-Hadits

Anda mungkin juga menyukai