Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

“Konsep Ijtihad dan Hullul”

(Mata Kuliah :Akhlak Tasawuf)

Dosen Pengampu :

Dr. H. Ahmad Madani, M.Pd.I

Disusun oleh :

1. Junita Anggraini (2011003146)


2. Wahyu Muflissah (2011003156)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MA’ARIF JAMBI

TAHUN AKADEMIK 2020/2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena

limpahan rahmat dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah tentang


“konsep ijtihad dan hulul” dengan baik tanpa kurang suatu apapun. Tak lupa kami
juga berterimakasih dosen pengampu dalam mata kuliah Akhlak Tasawuf
semester II STAI MA’ARIF JAMBI pada kelas sore yang sudah memberikan
tugas ini.
Kami selaku penulis berharap semoga kelak makalah ini dapat berguna
dan juga bermanfaat serta dapat menambah wawasan kita tentang judul makalah
ini. Kami pun menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami
mengharapkan kritik dan saran serta usulan demi perbaikan makalah yang kami
buat di masa yang akan mendatang. Mengingat tak aka nada sesuatu yang
sempurna tanpa ada saran yang membangun.
Mudah-mudahan makalah sederhana ini bisa di pahami bagi siapapun
yang membacanya. Sekiranya makalah yang di susun ini dapat bermanfaat bagi
kami sendiri ataupun bagi yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf
apabila terdapat kesalahan dan kata kata yang kurang berkenan dalam penulisan
kami.

Jambi, Maret 2021

Pemakalah
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................ii

DAFTAR ISI....................................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN...............................................................................4

A. LATAR BELAKANG........................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH....................................................................4
C. TUJUAN.............................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................

A. PERKEMBANGAN TASAWUF.........................................................
B. IJTIHAD DAN HULUL.......................................................................
C. TOKOH-TOKOH.................................................................................

BAB III PENUTUP.........................................................................................

A. KESIMPULAN...................................................................................
B. SARAN...............................................................................................
C. DAFTAR PUSTAKA.........................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Tasawuf Falsafi merupakan tasawuf yang didalamnya tercampur antara


rasa (dzauq) tasawuf dan pemikiran akal. Dzauq lebih dekat dengan tasawuf dan
rasio lebih dekat dengan filsafat. Adapun ciri dari tasawuf falsafi adalah
menyusun teori-teori wujud berlandaskan rasa atau kajian proses bersatunya
Tuhan dengan manusia dan tasawuf ini bersifat pemikiran dan renungan.

Berdasarkan tasawuf falsafi, maka konsepsi tentang Tuhan merupakan


lebih lanjut dari pemikiran para ahli kalam (teolog) dan filosof. Jika dalam
tasawuf sunni mengenal ma’rifah adalah sebagai maqam yang tertinggi yang
dapat dicapai oleh manusia dimana manusia dapat mengenal Allah dengan hati.
Dalam tasawuf falsafi dikatakan bahwa manusia dapat melewati maqam tersebut.
Manusia dapat naik kejenjang yang lebih tinggi, yakni persatuan dengan Tuhan
yang dikenal dengan istilah Ittihad, Hulul, Wahdah al-Wujud maupun Isyraq.

B.       Rumusan Masalah

1. Bagaimana perkembangan tasawuf ?

2. Bagaimana pengertian Ittihad dan Hulul ?

3. Siapakah tokoh Ittihad dan Hulul ?

D. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui perkembangan tasawuf.
2. Untuk mengetahui apa itu ittihad dan hulul.
3. Untuk mengetahuitokoh-tokoh ittihad dan hulul.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Ajaran Tasawuf

           Benih-benih tasawwuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal
ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah, dan pribadi
Nabi SAW. Peristiwa dan perilaku hidup Nabi SAW. Sebelum diangkat menjadi
Rasul, berhari-hari ia berkhalwat di gua Hira’, terutama pada bulan Ramadhan. Di
sana Nabi SAW banyak berfikir dan bertafakur dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah SWT.

           Kemudian puncak kedekatan Nabi SAW dengan Allah SWT tercapai


ketika melakukan Isra’-Miraj. Didalam Isra’-Miraj Nabi SAW telah sampai ke
sidratul muntaha (tempat terakhir yang dicapai Nabi SAW ketika miraj di langit
yang ke tujuh), bahkan telah sampai kehadirat Ilahi dan sempat berdialok dengan
Allah SWT. Karena itu Muhammad Husain Haekal (Mesir, 20 Agustus 1888-8
Desember 1956), seorang sastrawan dan politikus Mesir yang banyak menulis
biografi, menulis dalam bukunya Hayat Muhammad (Sejarah Hidup Muhammad),
bahwa hidup sederhana yang dilakukan oleh Nabi SAW bukanlah suatu kewajiban
agama, tetapi dengan cara itulah ia memberikan teladan tentang ketangguhan
mental yang tidak lemah.1

           Ibadah Nabi SAW. Ibadah Nabi SAW juga merupakan cikal bakal
tasawwuf. Dalam diri Nabi SAW terkumpul sifat-sifat utama, yaitu rendah hati,
lemah lembut, jujur, tidak suka mencari-cari cacat orang lain, sabar, tidak angkuh,
santun dan tidak mabuk ujian. Nabi SAW adalah tipe ideal bagi seluruh kaum
muslimin, termasuk pula bagi para sufi, hal ini sesuai dengan firman Allah SWT
dalam surah Al-Ahzab Ayat 21 yang artinya:
1 Abuddin, 1996, Akhlak Tasawuf Jakarta : Raja Grafindo Persada. Hal 45
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi
mu (yaitu) bagi orang yang mengharap (Rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyak menyebut nama Allah.”2

B. Pengertian Ittihad dan Hulul

1. Pengertain Ittihad

Ittihad menurut bahasa berarti penyatuan atau perpaduan dua hal, artinya
perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai sesuatu apapun. Dalam tasawuf, ittihad
adalah kondisi dimana seorang sufi merasa dirinya menyatu dengan Tuhan
sehingga masing-masing diantara keduanya bisa memanggil kata-kata aku.

Menurut Abu Yazid, proses ittihad adalah naiknya jiwa manusia kehadirat
Illahi, bukan melalui reinkarnasi. Sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan
pandangannya, yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu, yakni Allah.
Bahkan dia tidak melihat dan tidak menyadari sendiri karena dirinya terlebur dala
Dia yang dilihat.

A.R. Al-Badawi berpendapat bahwa di dalam ittihad yang dilihat hanya


satu wujud. Walaupun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang
lain. Hal ini terjadi karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud. Sehingga
akan terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai dan yang dicintai (sufi dan
Tuhan). Dalam ittihad, “identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu”. Hal
ini bisa terjadi karena sufi telah memasuki fana yang tidak mempunyai kesadaran
lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.

Apabila seorang sufi telah berada dalam keadaan fana, maka pada saat itu
ia telah dapat menyatu dengan Tuhan. Di dalam perpaduan itu ia menemukan

2 Surah Al-Ahzab ayat 21


hakekat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan, itulah yang
dimaksud dengan ittihad.

Secara kebahasaan ittihâd berarti integrasi, menyatu, atau persatuan.


Dalam tasawuf filosofis,ittihad adalah pengalaman puncak spiritual seorang sufi,
ketika merasa dekat dengan Allah, bersahabat,mencintai dan dicintai Allah,dan
mengenal-Nya sedemikian rupa hingga dirinya merasa menyatu dengan
Allah. Pengalaman ittihad hanya akan terjadi bila seorang sufi mengalami fana`
dan baqa`.

Fana` secaraetimologi berarti hancur lenyap dan hilang; sedangkan baqa`


berarti tetap, kekal dan abadi. Dalam
terminologi para sufi “fana` merupakan pengalaman spiritual seorang sufi, ketika
kesadaran tentang diridan lingkungannya lenyap sementara waktu, sedangkan
baqa` adalah keadaan spiritual seorang sufi,ketika dirinya merasa tetap bersama
Allah”.

Ketika Abu Yazid al-Busthami mengalami fanâ` dan baqâ`, pada dirinya
terjadi pengalamanspiritual sebagai berikut:
a. Hijab atau tabir yang menjadi penghalang di antara dirinya dan Allah tersingkap
atau mengalami
mukâsyafah;
b. Dalam keadaan mukâsyafah, Abu Yazid al-Busthami menyaksikan keagungan
Allah yang dinamakan musyahadah;
c. Dalam keadaan musyahadah, Abu Yazid al-Busthami mengenal Allah secara
langsung yang dalam istilah tasawuf disebut ma’rifah;

d. Dalam keadaan ma’rifah, Abu Yazid al-Busthami terpesona keindahan Allah


hingga ia merasakekal bersama-Nya.3

Ittihad yang dialami Abu Yazid al-Busthami diperoleh melalui perjuangan


(mujâhadah) yangpanjang dan berat dengan menempuh maqamat, yaitu tangga-
tangga rohani hingga melawati mahabbah dan ma’rifah kemudian mengalami
3 Nasiruddin, 2009, Pendidikan Tasawuf, Semarang : Rasail Media Grup. Hal. 123
fana` dan baqa`, atau mengalami mahabbah, cinta sejati terhadap Allah yang
membawanya kepada pengalaman fanâ` dan baqâ` kemudian mengalami ma’rifah
yang menjadi gerbang ittihad.

2. Pengertian Hulul

Kata Hulul adalah bentuk masdar dari kata kerja halla yang berarti tinggal
atau berdiam diri, secara terminologi kata al-Hulul diartikan dengan paham bahwa
tuhan dapat menitis ke dalam makhluk atau benda. Di samping itu al-Hulul
berasal dari kata halla yang berarti menempati suatu tempat (Halla bi al-Makani).
Jadi secara garis besarnya adalah menempati suatu tempat.

Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh


manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat
kemanusiaannya melalui fana. Dengan pengertian lain, hulul merupakan paham
yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu
dilenyapkan seperti yang diungkapkan oleh Abu Nasr Al-Tusi dalam bukunya
“Al-Luma”.4

Faham al-Hulul dapat dikatakan sebagai lanjutan atau bentuk lain dari
faham (ajaran) al-ittihad. Tetapi dua konsep ajaran ini berbeda. Dalam ajaran
ittihad, diri manusia lebur dan yang ada hanya diri Allah. Sedangkan dalam
konsep al-Hulul, diri manusia tidak hancur. Dalam konsep ittihad yang dilihat satu
wujud, sedangkan dalam konsep ajaran al-Hulul disana ada dua wujud tetapi
bersatu dalam satu tubuh.

Helbert W. Mason mengatakan al-Hulul adalah penyatuan sifat ketuhanan


dengan sifat kemanusiaan. Tetapi dalam kesimpulannya konsep al-Hulul bersifat
majayiz, tidak dalam pengertian yang sebenarnya (haqiqiy). Menurut Nashiruddin
at-Tushiy, al-Hulul adalah faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh

4 A Mustofa, 2014, Akhlak Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia. Hal. 38


manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah sifat-sifat
kemanusiaan yang ada didalam tubuh itu dilenyapkan.

Al-Hulul memiliki dua bentuk, yaitu :

a.       Al-Hulul Al-Jawari yakni keadaan dua esensi yang satu mengambil tempat
pada yang lain (tanpa persatuan), seperti air mengambil tempat dalam bejana.

b.      Al-Hulul As-Sarayani yakni persatuan dua esensi (yang satu mengalir


didalam yang lain) sehingga yang terlihat hanya satu esensi, seperti zat air yang
mengalir di dalam bunga.

Al-Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu
secara rohaniah. Hamka mengatakan bahwa hulul adalah ketuhanan (lahut)
menjelma ke dalam diri insan (nasut), dan hal ini terjadi pada saat kebatinan
seseorang telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.

Secara harfiah istilah hulûl berasal dari kata kerja halla-yahullu-hulûlan,


yang berarti menempati, menjelma atau inkarnasi (incarnation). Dalam tasawuf
filosofis, hulûl adalah pengalaman spiritual seorang sufi, ketika demikan dekat
dengan Allah, bersahabat, mengenal dan dikennal Allah, mencintai
dan dicintai Allah dengan mendalam; kemudian Allah memilih sufi tersebut,
menempati dirinya danmenjelma pada pada diri sufi tersebut.

Jadi, menurut pandang Al-Hallaj, ketika hulûl benar-benar terjadi pada diri
seorang sufi, makapada hakikatnya telah terjadi empat proses yang berikut:
a) Tuhan turun mendekati sufi tersebut; b)Tuhan telah memilih sufi tersebut untuk
dijadikan tempat hulûl;
c) Tuhan menjelma pada diri sufi; dan
d)Tuhan menyatu dengan sufi tersebut.5

5 Zahri Mustafa, 1998, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya : PT Bina Ilmu. Hal. 79
Konsep hulûl secara filosofis dibangun di atas landasan teori lahut dan
nasut. Lahut berasal dariperkataan ilah yang berarti tuhan, sedangkan lâhût berarti
sifat keilahian atau ketuhanan.

Nâsût berasaldari perkatan nas yang berarti manusia; sedangkan nasut


berarti sifat kemanusiaan. Dalam pandangan Al-
Hallaj, yang memperkenalkan konsep hulûl dalam tasawuf filosofis, Tuhan
memiliki lâhût dan nâsût.

Demikian juga manusia memiliki lâhût dan nâsût. Lahut Tuhan adalah
dzat Allah yang ghaib al-ghuyub;sedangkan nâsût Tuhan adalah ruh Allah yang
ditiupkan ke dalam tubuh manusia. Lahut manusia ialah ruh Allah yang ditiupkan
ke dalam diri manusia; sedang nâsût manusia adalah sifat basyariyah, yaknisifat
kemanusiaan manusia.

Menurut Al-Hallaj, hulûl dimungkinan terjadi antara nâsût Allah dengan


lâhût manusia, yakniantara ruh Allah dengan ruh manusia, karena ruh manusia
berasal dari ruh Allah. Sebagaimana disebutkan pada ayat Al-Qur`an yang
berikut:

“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan Aku telah meniupkan
roh (ciptaan)-Kuke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud,
menghormati Adam”. (Q. S. al-Hijr/15 : 29 dan Q.S. Shad/38: 72).6

Ayat di atas, secara harfiah, menunjukkan salah satu proses penciptaan


manusia itu adalah Allahmeniupkan ruh ke dalam janin (embrio), “Aku (Allah)
telah meniupkan ruh-Ku ke dalam tubuh Adam”. Jadi, pada diri Nabi Adam dan
manusia pada umumnya, menurut pandangan para pendukung tasawuffilosofis,
terdapat ruh Allah yang menjadi ruh manusia, karena Allah telah meniupkannya,
ketika janin berusia 16 minggu setelah proses reproduksi sempurna.

Ruh yang ditiupkan Allah ke dalam janin tetapmilik Allah karena Allah
tidak menghibahkanya. Manusia hanya memiliki hak guna dan hak pakai
6 Q. S. al-Hijr/15 : 29 dan Q.S. Shad/38: 72
dalambatas waktu yang ditentukan Allah. Oleh sebab itu, ruh manusia sepenuhnya
berada dalam penguasaanAllah dan menjadi wewenang Allah secara mutlak.
Ketika ajal sudah tiba, maka Allah menyabut ruhmanusia untuk dikembalikan
kepada-Nya.

Manusia yang berhasil membersihkan jiwanya dari kekufuran,


kemusyrikan, kemunafikan, berbagai penyakit hati dan sifat-sifat tercela, maka
jiwanya akan kembali bersih

Tasawuf filosofis, yakni menghayati wujud Allah dengan kepekaan rasa


dan ketajaman pemikiran,telah mengundangkan perdebatan di kalangan kaum
Muslimin yang terbagi ke dalam tiga golongan.7

1. Pertama, golongan yang mendukung Al-Hallaj. Mereka meyakini bahwa


Al-Hallaj tidak menjadi kafirdengan mengemukakan hulul tersebut.
2. Kedua, para ulama fiqh, terutama dari kalangan Hanabilah, parapengikut
Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka menyatakan bahwa Al-Hallaj telah
sesat, bahkan telah keluardari Islam, karena menyatakan bahwa Allah telah
hulul pada dirinya. Al-Hallaj telah mengambil teorihulûl dari kaum
Nasrani yang meyakini bahwa Allah telah memilih tubuh Nabi Isa,
menempati, danmenjelma pada diri Nabi Isa putra Maryam. Nabi Isa,
dalam keyakinan Nasrani, menjadi Tuhan, karenanilai kemanusi-aannya
telah hilang. Dalam keyakinan Nasrani Hulul Allah pada diri Nabi Isa
bersifatfundamental dan permanen.
3. Ketiga, para ulama yang bersifat moderat dalam memahami hulul
yangdialami Al-Hallaj. Mereka, seperti Al-Ghazali meyakini bahwa Al-
Hallaj tidak menjadi kafir atau keluardari Islam dengan mengalami hulul
tersebut, tetapi ia tidak sepatutnya mengemukan pandangan hulultersebut
di depan orang banyak,karena akan menimbulkan fitnah. Hulul seharusnya
hanya menjadipengalaman pribadi saja, bukan konsumsi untuk khalayak.

Para ulama yang moderat ini berpendapatbahwa hulûl-nya Allah pada diri
Al-Hallaj bersifat sementara; tidak fundamental dan permanen. Al-Hallaj

7 Permadi, 2004, Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta : PT Rineka Cipta. Hal. 198
tidak menjadi Tuhan dan tidak menyatakan dirinya Tuhan. Ia hanya mengucapkan
kata-kata syathahat, ana al-Haqq (aku Tuhan yang Maha Benar) yang tidak
disadarinya selama syathahat.

Oleh karenanya,Al-Hallaj tidak bisa divonis kafir atau murtad, keluar dari
keyakinan Islam. Ia pun tetap manusia, tidakmenjadi Tuhan dan tidak kehilangan
nilai kemanusiannya. Ketika syathahat berlalu, ia kembali kepadajati dirinya
seorang yang kokoh menganut keyakinan tauhid sebagaimana disebutkan dalam
syair Al-Hallaj yang berikut:

‫انا سر الحق ما الحق انا * بل انا حق ففرق بیننا‬


‫وقلبي من سوى التوحید خال‬
‫* وظنوا بي حلوال واتحادا‬
Aku rahasia al-Haqq, al-Haqq itu bukanlah aku, aku hanya mencapai hakikat.
Bedakanlah di antara kami. Mereka mengira aku hulul dan ittihad; padahal hatiku
kosong dari segala sesuatu selain tauhid.

Kasus Al-Hallaj dibawa ke Mahkamah Syari’ah dan divonis dengan


hukuman mati yang dieksekusi pada tahun 309 H/ 922 M. dengan disalib pada
tiang gantungan. Al-Hallaj dituduh telah sesat dan menyesatkan umat dengan
mengaku diri-nya Tuhan, ketika mengalami syathahat. Ia dianggap telah menodai
kesucian agama. Al-Hallaj dituduh dengan tuduhan berlapis. Selain dituduh telah
menodai kesucian agama, ia pun dituduh terlibat makar yang hendak
menggulingkan pemerintah.8

Al-Hallaj diancam dengan hukuman mati. Ia mengajukan surat


permohonan pengampunan kepada Khalifah, namunpengampunan Khalifah Al-
Muqtadir Billah untuk Al-Hallaj tidak terlaksana karena sikap Perdana Menteri
yang menghalanginya. Ringkasnya, ittihad yang dialami Abu Yazid Al-Busthami
(w. 260 H.) dan hulul yang dialmi Al-Hallaj (w 309 H.) dalam menghayati dan
merasakan wujud Allah berbasis pada pengalaman pribadi,yakni dengan
merasakan dirinya bersatu dengan Allah. Ittihad terjadi dengan taraqi, sufi
berjuangmenghampiri Allah hingga merasakan bersatu dengan-Nya. Hulul

8 Amir, 2000, Ilmu Jiwa Dalam Tasawuf, Jakarta : Pustaka Azzam. Hal 67
berlangsung dengan tanazul, yakni sufi berjuang menghampiri Allah hingga Allah
turun menghampiri sufi kemudian terjadi penyatuan antara hamba dengan Allah.

C. Tokoh Ittihad dan Hulul

1. Tokoh Ittihad

Jika mempelajari tentang ittihad, kita akan mengenal Abu Yazid Al-
Bustomi. Abu Yazid Al-Bustomi adalah seorang penyebar dan pembawa ajaran
ittihad dalam tasawuf. Lahir di Bistam, Persia pada tahun 874 M. Kehidupannya
yang sederhana menaruh sayang dan kasih pada fakir miskin. Sebagian besar
waktunya dipergunakan untuk beribadah dan memuja Tuhan, yang dimulai
dengan timbulnya faham fana’ dan baqa’.

  Dia menjelaskan, suatu malam ia bermimpi dengan berkata “Tuhanku, apa


jalannya untuk sampai kepadamu ? Dia menjawab : Tinggalkan dirimu dan
datanglah”. Setelah mengetahui proses pendekatan diri kepada Tuhan, ia
meninggalkan dirinya ke hadirat Allah melalui fana. Dekat atau belum
keberadaannya dapat dilihat melalui “Syatahat” yang diucapkan. Syatahat adalah
ucapan yang dikeluarkan seorang sufi pada permukaan ia berada di pintu gerbang
ittihad.

2.      Tokoh Hulul

Hulul diajarkan oleh Husein Ibnu Mansur Al-Hallaj, lahir di kota Persia
pada tahun 858 M. Menurut pemikiran tasawufnya ia mengatakan bahwa “aku
ingin untuk tidak mengingini”. Dan “Aku tidak ingin dari Tuhan kecuali Tuhan”.

Dari ucapannya yang telah ganjil adalah ketika ia mencapai ittihad :


“Maha suci Aku, Maha suci Aku, Maha suci Aku”. Dan kalimat yang ganjil yang
dikeluarkan tatkala ia mencapai proses hulul adalah seperti ucapan “Tuhan
mempunyai sifat kemanusiaan dan manusia mempunyai sifat ketuhanan, nasut dan
lahut, ia mengambil hadits sebagai dasar pemikirannya “Tuhan menciptakan
Adam sesuai bentuknya”.

Karena ucapan-ucapan yang ganjil itu menyebabkan ia dihukum mati


dengan tuduhan menyebarkan ajaran sesat dan membahayakan, juga mempunyai
hubungan erat dengan golongan oposisi yaitu Syiah dan Qaramithah. Akhirnya
pada tahun 922 M, ia dijatuhi hukuman mati. Jasadnya dibakar dan dibuang ke
sungai Tigris.9

  

BAB III

PENUTUP

9 Http://Amirkhan. Wordpress.com/2012/06/27/Tasawuf-falsafi-ijtihad-hulul
A. Kesimpulan

Dalam tasawuf, ittihad dan hulul sebenarnya memiliki makna yang sama.
Terdapat kesatuan antara manusia dengan Tuhannya. Namun dalam ittihad sifat
kemanusiaan dalam diri manusia tersebut telah hilang dan sepenuhnya diambil
alih oleh tuhan. Sedangkan dalam hulul sifat kemanusiaan tersebut tetap ada
dalam diri manusia. Tokoh dalam ittihad adalah Abu Yazid Al-Bustami,
sedangkan hulul diajarkan oleh Husein Ibnu Mansur Al-Hallaj.

B. Saran

Dengan adanya makalah ini di harapkan baik pemakalah ataupun pembaca


dapat mendapatkan ilmu dan wawasan yang bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA
Amir An-najar. Ilmu Jiwa Dalam Tasawuf. Jakarta: Pustaka Azzam.2000.

Http://Amrikhan.Wordpress.Com/2012/06/27/Tasawuf-Falsafi-Ittihad-Hulul.

K.Permadi. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta:PT RINEKA CIPTA. 2004

Mustafa.Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: PT. BINA ILMU:


1998.

Mustofa, A. 2014. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.

Nasirudin. Pendidikan Tasawuf. 2009. Semarang: RaSAIL Media Group

Nata, Abuddin. 1996. Akhlaq Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai