Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

Konsep Zuhud dan Mahabbah dalam Tasawuf


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ahlak Tasawuf

Dosen Pengampu : Nurhidayati, S.Th.I.,M.Pd.I

Disusun Oleh :

Dani Suntara Kogoya

Jurusan : Tarbiyah ( I )

Progaram Studi : Pendidikan Agama Islam (PAI)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AS-SYAFI’IYAH

NABIRE – PAPUA

2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa yang
senantiasa melimpahkan rahmat dan ridho-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah materi mata kuliah Ahlak Tasawuf yang berjudul “Konsep
Zuhud dan Mahabbah dalam Tasawuf”.

Makalah ini berisi uraian mengenai konsep zuhud dan mahabbah dalam
tasawuf, sumber ajaran tasawuf (Al-Qur’an dan Al-Hadist), dan tokoh-tokoh tasawuf.

Tak lupa, kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu dosen selaku
pembimbing kami dalam pembelajaran mata kuliah Ahlak Tasawuf, juga kepada
semua teman-teman yang telah memberikan dukungan kepada kami dalam
menyelesaikan makalah ini. Harapan terdalam kami, semoga penyusunan makalah ini
bisa bermanfaat bagi kita semua serta menjadi tambahan ilmu dan wawasan bagi para
pembaca. Kami menyadari jika dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, dengan hati yang terbuka kritik serta saran yang
konstruktif guna kesempurnaan makalah ini.

Demikian makalah ini kami susun, apabila ada kata-kata yang kurang
berkenan dan banyak terdapat kekurangan, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Semoga bermanfaat. Amin.

Nabire, 11 Desember 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………..ii

DAFTAR ISI…………………………………………………………………….…iii

BAB I

PENDAHULUAN…………………………………………………………………1

A. Latar Belakang………………………………………………………..……..1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………….….….2
C. Tujuan………………………………………………………………….........2

BAB II

PEMBAHASAN…………………………………………………………….……..3

A. Pengertian zuhud dan mahabbah…………………………………………….3


B. Macam-macam zuhud dan mahabbah………………………………..….…..9
C. Tinkatan zuhud dan mahabbah…….……………………………………….12
D. Faktor dan alat untuk mencapai zuhud dan mahabbah……………………..15

BAB III

PENUTUP……………………………………………………………………….17

A. Kesimpulan……………………………………………………….………17
B. Saran………………………………………………………………...…….18

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………...…..19
i
i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tasawuf adalah salah satu pilar Islam. Ia adalah ajaran dan amalan
Rasulullah saw, beserta para sahabatnya. Sesungguhnya tanpa tasawuf agama ini
akan kehilangan ruhnya dan tidak ada bedanya dengan ideologi buatan manusia.

Sepeninggal Rasulullah dan para sahabatnya, setelah Islam berkembang,


ilmu-ilmu Islam pun mengalami perkembangan yang hebat. Jika tadinya hanya
iman, Islam, dan Ihsan, maka mulai muncul ilmu-ilmu baru seperti ilmu tafsir,
nahwu sharaf, musthalah hadits, ushul fiqih dan lain-lain. Umat Islam pun terdiri
dari berbagai macam bangsa dengan berbagai bahasa. Untuk memudahkan dalam
mempelajari Islam, para ulama Islam membagi ilmu-ilmu dengan memberinya
istilah baru seperti aqidah untuk iman, fiqih untuk Islam, dan tasawuf untuk
ikhsan. Dalam mempelajari ilmu Islam dibolehkan secara terpisah, tetapi dalam
mengamalkan wajib serentak antara iman, Islam, dan ikhsan.

Tasawuf merupakan salah satu jalan dalam mendekatkan diri kepada


Tuhan, sebuah kesadaran akan adanya komunikasi dengan Tuhan. Tasawuf sangat
erat hubungannya dengan keadaan menjauhi hidup duniawi dan kesenangan
material atau biasa disebut dengan istilah zuhud. Sedang orang yang mempunyai
sifat zuhud disebut zahid. Setelah itu barulah barulah meningkat menjadi sufi.

Tokoh-tokoh sufi yang menulis dan mengajarkan konsep zuhud seperti


Imam Ghazali, Syech Abdul Qodir Jailani, Imam Qusyairi dan tokoh-tokoh sufi
lainnya telah dianggap oleh sebagian orang sebagai pemicu dan penyebab
kemunduran umat Islam. Terlepas dari benar atau salah tentang masalah praktek
zuhud ini, maka disini saya tertarik untuk mengkaji tentang landasan normatif dan
pendapat-pendapat yang telah dilontarkan oleh para tokoh sufi. Apakah konsep
zuhud ada dalam ajaran Islam (al-Quran dan Hadits)? Apakah Rasulullah SAW

1
dan para sahabatnya telah mempraktekkan zuhud sama seperti konsep yang telah
diajarkan kaum sufi? Atau, apakah konsep dan praktek zuhud yang diajarkan
tokoh sufi merupakan warisan suri tauladan dari Rasulullah SAW dan
sahabatnya? lainnya harus dilalui seseorang dalam menempuh perjalanan menuju
ma'rifat.

Dalam perkembangan zuhud terdapat dua golongan zahid. Satu golongan


zahid meninggalkan kehidupan dunia serta kesenangan material dan memusatkan
perhatian pada ibadah karena didorong oleh perasaan takut akan masuk neraka di
akhirat kelak. Tuhan dipandang sebagai suatu dzat yang ditakuti, dan perasaan
takutlah yang menjadi pendorong mereka (zuhud). Satu golongan lain didorong
oleh perasaan cinta kepada Tuhan. Bagi mereka, Tuhan bukanlah dzat yang harus
ditakuti dan dijauhi, namun harus dicintai dan didekati. Maka mereka
meninggalkan kehidupan duniawi dan banyak beribadah karena ingin
mendekatkan diri kepada Tuhan (mahabbah).

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian zuhud dan mahabbah ?

2. Apa saja macam-macam zuhud dan mahabbah ?

3. Apa saja tingkatan zuhud dan mahabbah ?

4. Apa saja factor dan alat untuk mencapai maqam zuhud dan mahabbah ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu zuhud dan mahabbah

2. Untuk mengetahui macam jenis zuhud dan mahabbah tasawuf.

3. Untuk mengetahui tingkatan/maqam zuhud dan mahabbah.

4. Untuk mengetahui factor dan alat mencapai maqam zuhud dan mahabbah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Zuhud dan Mahabbah

1. Pengertian dan Sumber Ajaran Zuhud

Secara etimologis, zuhud berarti ‫ فى الشيء‬:‫زهُ َد – يزهَد – زهدًا‬:

Tiada ingin (kepada sesuatu) dan meninggalkannya.

Jadi, arti zuhud bila ditinjau dari pengertian bahasa adalah berpaling atau
tidak ingin kepada sesuatu bisa karena meremehkan atau menganggap sedikit
sesuatu sehingga ia meninggalkannya.

Berbicara mengenai arti zuhud secara terminologis, maka tidak bisa


dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tidak bisa
terpisahkan dari tasawuf, yaitu. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam.
Zuhud sabagai ajaran tasawuf adalah adanya kesadaran dan komunikasi langsung
antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan dan merupakan suatu
tahapan (maqam) menuju ma’rifat kepada Allah SWT. Kemudian, zuhud sebagai
akhlak Islam yaitu sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang Muslim
dalam memahami dan mensikapi urusan dunia.

Kedua pengertian ini pada hakekatnya adalah sama, bahwa zuhud adalah
merupakan syarat yang harus dimiliki seorang muslim untuk meraih ridho Allah.
Karena pentingnya praktek zuhud.

Pengertian zuhud menurut tokoh sufi, yaitu;

Imam al-Ghazali mengartikan; “zuhud adalah sebagai maqam orang


orang yang menempuh jalan akhirat. Orang tersebut tidak tertarik dengan sifat
duniawi, dan lebih tertarik dengan kepentingan akhirat.

3
Imam al-Qusyairi mengartikan; “zuhud dengan meninggalkan
kenikmatan dunia dan tidak mempedulikan orang yang dapat menikmatinya.
Tidak merasa bangga dengan kenikmatan dunia dan tidak akan mengeluh karena
kehilangan dunia.

Sementara al-Junaid mengartikan; “zuhud adalah kosongnya tangan dan


hati (jiwa) dari kepemilikan dan dari hal yang mengikutinya (ketamakan).

Seorang tokoh sufi terkemukan, yaitu Syekh Abdul Qadir al-Jilani


membagi zuhud menjadi dua macam, yaitu; zuhud haqiqi dan zuhud shury.

Zuhud haqiqi (mengeluarkan dunia dari hatinya), Namun hal ini tidak
berarti bahwa seorang zahid hakiki menolak rejeki yang diberikan Allah SWT
kepadanya. Seorang zahid hakiki ketika mendapatkan rejeki, justru
menjadikannya sebagai sarana dalam membantu mendekatkan dirinya dan
beribadah kepada Allah SWT, dengan mendistrbusikan kekayaannya bagi
kemanfaatan manusia. Seorang zahid hakiki adalah orang yang selalu melatih
dirinya dengan berbagai mujahadah, baik dengan jiwa, tenaga, maupun apa yang
dimilikinya menuju taqarrub ilallah. Untuk menjadi zahid hakiki tidak bisa
diperoleh dari bacaan saja, namun harus diperoleh melalui latihan, ritual, riyadhah
dengan ikhlas karena Allah SWT. Dengan demikian, zuhud di dunia merupakan
jalan untuk menempuh kehidupan abadi di akhirat kelak.

Zuhud shury (mengeluarkan dunia dari hadapannya, tetapi hatinya tetap


meniginginkan dunia). Zuhud Shury bukan merupakan ajaran inti dari tasawuf,
karena seseorang hatinya yang masih menginginkan kenikmatan dunia akan
menjadi penghalang atau hijab mendekatkan diri pada Allah. Yang menjadi fokus
dan inti praktek zuhud dalam tasawauf adalah Zuhud hakiki, yang merupakan
salah satu dari station atau maqomat yang harus dilalui dan dipraktekkan.

Beberapa tokoh sufi memberikan ilustrasi tentang zuhud hakiki. Menurut


Sahal al-Tsauri; “Tidak dianggap ikhlas ibadah seseorang jika ia masih takut
dengan empat perkara : lapar, telanjang, fakir, dan kehinaan”. Selanjutnya tokoh
sufi terkenal Hasan Bashsri juga ikut memberikan pesan; “Waspadalah terhadap

4
dunia ini. Ia seperti ular yang lembut sentuhannya dan mematikan bisanya.
Berpalinglah dari pesonanya. Sedikit pesonanya, maka engkau akan terjerat
olehnya. Waspadalah terhadapnya, pesonanya mematikan”.

Dapat disimpulkan bahwa zuhud adalah sikap seseorang yang lebih


mencintai urusan akhirat dari pada urusan dunia. Tidak tertarik untuk mencintai
dan menikmati kenikmatan dunia. Orang yang melakukan praktek zuhud
mengganggap materi dunia sesuatu hal yang rendah dan menjadi hijab atau
penghalang untuk menuju ma'rifat pada Allah. Tujuan utama hidup manusia
bukan untuk berlomba-lomba mencari meteri dunia, tetapi untuk menyembah
Allah. Para kaum sufi menempatkan urusan dunia sebagai sarana untuk beribadah
bukan merupakan tujuan hakiki dari kehidupan.

Dalil-dalil zuhud dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist

Sebagaimana dalam hadist Nabi Muhammad saw.

َ َ ‫ل الله ِ صَلَ ّى الله ُ عَلَيْه ِ و َآلِه ِ و‬


‫ كُنْ فِي ال ُد ّن ْيَا‬:َ‫س َل ّم َ بِمَنْكِب َيّ فَق َال‬ ُ ْ ‫سو‬
ُ َ ‫ أَ خَذ َ ر‬:َ‫ن اب ْ ِن عُم َر َ رَضِي َ الله ُ عَنْهُم َا قَال‬
ِ َ‫ع‬
َ ِ‫ ِإذ َا أَ ْمسَي ْتَ فَلا َ تَن ْتَظِر‬:ُ‫ن عُم َر َ رَضِي َ الله ُ عَنْهُم َا يَقُوْل‬
‫ و َِإذ َا‬،َ‫الصّ بَاح‬ ُ ْ ‫ وَك َانَ اب‬.‫ل‬ َ ّ ‫ك َأَ َن‬
ٍ ْ ‫ك غَرِي ْبٌ أَ ْو عَاب ِر ُ سَبِي‬
‫ك‬
َ ِ ‫ك لم َِو ْت‬
َ ِ ‫ وَم ِنْ حَيَات‬،َ‫ضك‬
ِ َ ‫ك لم َِر‬ َ ِ ْ‫ وَخ ُ ْذ م ِن‬،‫أَ صْ ب َحْ تَ فَلا َ تَن ْتَظِرِ ال ْمَسَاء‬
َ ِ ‫صح ّت‬ َ

Artinya: “Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah SAW


memegang kedua pundakku lalu bersabda, “Jadilah engkau hidup di
dunia seperti orang asing atau musafir (orang yang sedang bepergian).”
Lalu Ibnu ‘Umarradhiyallahu ‘anhu menyatakan, “Apabila engkau
berada di sore hari, maka janganlah menunggu hingga pagi hari. Dan
apabila engkau berada di pagi hari maka janganlah menunggu hingga
sore hari. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum datang waktu
sakitmu. Dan pergunakanlah hidupmu sebelum datang kematianmu.”

(HR. Al-Bukhariy no.6416).

Hadits dari Jabir r.a yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: "Rasulullah
SAW masuk ke pasar yang ada di daerah dataran tinggi, sementara orang-orang

5
berada di sekeliling beliau. Beliau (Nabi) melintasi bangkai kambing yang kedua
telinganya kecil, beliau mengangkat telinganya lalu bersabda : “Siapa di antara
kalian yang mau membeli ini seharga satu dirham?” mereka menjawab : “Kami
tidak mau memilikinya, untuk apa?” Beliau (Nabi) bersabda : “Apa kalian mau
(bangkai) ini milik kalian?” mereka menjawab: “Demi Allah andai masih hidup
pun kami tidak sudi menerimanya karena kambing tersebut kedua telinganya
kecil, apalagi kalau sudah mati?” Beliau bersabda: “Demi Allah, dunia lebih hina
bagi Allah melebihi (bangkai) ini bagi kalian”.

Dalam Hadits Rasulullah SAW, antara lain Kemudian Hadits yang senada
dengan itu juga diriwayatkan oleh Imam Tirmizi: “Seandainya dunia itu di sisi
Allah sebanding dengan sayap seekor nyamuk, niscaya Allah tidak mau memberi
orang-orang kafir walaupun hanya seteguk air saja”. Dalam versi yang lain
Rasulullah SAW juga pernah mengatakan: "“Zuhudlah engkau pada dunia, pasti
Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada pada manusia, pasti
manusia akan mencintaimu”.

Bahkan, menurut para tokoh sufi, bahwa mencintai urusan dunia bukan
untuk kepentingan akhirat akan menjadi penyebab sumber dari segala kesalahan
baik secara dzohir maupun batin. Sebagaimana dijelaskan dalam hadist Nabi
Muhammad SAW, yang berbunyi;

ّ ُ ‫س ال ُد ّن ْيَا وَح‬
‫ُب‬ ُ ْ‫ل ر َأ‬
ِ ّ ُ ‫خط ِيئَة ٍ ك‬
َ

Artinya : “Mencintai dunia adalah sumber segala kesalahan.”(H.R Baihaqy).

Secara dzohir, orang yang berlebihan mencintai dunia akan menghalalkan


segala cara yang bertentangan dengan aturan agama. Sedangkan secara batin, akan
mengakibatkan hati sesorang menjadi kotor sehingga jauh dari pandangan Allah.

Dalam al-Qur'an Surat al-An'am ayat 32 Allah mengatakan:


“Dan tidaklah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau
belaka”.

6
Kemudian ayat ini ditegaskan lagi oleh Allah dalam surat al-Ankabut ayat
64: " Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main.
Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka
mengetahui”.

Selanjutnya dalam surat al-A'la ayat 16 dan 17: “Tetapi kamu (orang-
orang kafir) memilih kehidupan duniawi, Sedang kehidupan akhirat adalah lebih
baik dan lebih kekal.”

Allah juga telah menjelaskan dalam firman Nya yang lain (surat al-Syura
ayat 20) : “Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami
tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan
di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada
baginya suatu bahagian pun di akhirat”.

2. Pengertian dan Sumber Ajaran Mahabbah.

Cinta atau yang dikenal dalam bahasa Arab Mahabbah berasal dari kata
ahabbah-yuhibbu-mahabbatan, yang secara bahasa berarti mencintai secara
mendalam, kecintaan, atau cinta yang mendalam. Selain itu, al-mahabbah dapat
pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan dengan tujuan
untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti
cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada
anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau
seorang pekerja pada pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat
pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat
ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak,yaitu cinta kepada
Tuhan.

Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukkan suatu


paham atau aliran dalam tasawwuf. Dalam hubungan ini, objek mahabbah lebih
ditunjukkan kepada Tuhan. Dari sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakan
diatas , tampaknya ada juga yang cocok dengan arti mahabbah yang dikehendaki

7
dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara
ruhani kepada Tuhan.

Mahabbah menurut terminologi dan para sufi ialah;

Menurut Al-Qusyairi ; “Mahabbah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia


yang bentuknya adalah disaksikan nya (kemutlakan) Allah Swt oleh hamba,
selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya.
Mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba yang mencintai-Nya itu selanjutnya
dapat mengambil bentuk iradah dan rahmah Allah yang diberikan kepada hamba-
Nya dalam bentuk pahala dan nikmat yang melimpah.”

Menurut Imam al-Gazāli mengatakan bahwa; “mahabbah adalah


kecenderungan hati kepada sesuatu”.

Kecenderungan yang dimaksud oleh al-Gazali adalah kecenderungan


kepada Tuhan karena bagi kaum sufi mahabbah yang sebenarnya bagi mereka
hanya mahabbah kepada Tuhan. Hal ini dapat dilihat dari ucapannya,
“Barangsiapa yang mencintai sesuatu tanpa ada kaitannya dengan mahabbah
kepada Tuhan adalah suatu kebodohan dan kesalahan karena hanya Allah yang
berhak dicintai.” Al-Gazali berkata, “ Cinta adalah inti keberagamaan. Ia adalah
awal dan juga akhir dari perjalanan kita. Kalau pun ada maqam yang harus
dilewati seorang sufi sebelum cinta, maqam itu hanyalah pengantar ke arah cinta,
maqam itu akibat dari cinta saja”.

Pengertian tersebut di atas sesuai dengan tingkatan kaum muslimin dalam


pengalamannya terhadap ajaran agama, tidak semuanya mampu menjalani hidup
kesufian, bahkan hanya sedikit saja yang menjalaninya, yang terbanyak adalah
kelompok awam mahabbah-nya.

Dalil-dalil Mahabbah dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist

Mengenai Mahabbah sesuai dengan firman Allah Swt. Surat Ali imran: 31
yang artinya: Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha

8
Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan dalam hadis Nabi Muhammad SAW,
sebagai berikut:

ِ ‫لَا ّ ِلله‬
َّ ‫يح ِ ُُّب ّه ُ ِإ‬ ّ َّ ‫يح‬
ُ َ ‫َِب ال ْمَر ْء َ لا‬ ُ ‫ََب ِإلَيْه ِ م ََِّم ّا سِوَاهُمَا و َأَ ْن‬
ّ َّ ‫ن أَ ْن يَكُونَ الله ُ وَرَسُولُه ُأَ ح‬
ِ ‫اث م َنْ ك ََُّنّ ف ِيه ِ وَجَد َ ح َلَاوَة َ ا ِْلإيمَا‬
ٌ َ ‫ثَل‬
َّ ‫َف فِي‬
ِ‫الَن ّار‬ َ ‫و َأَ ن ْيَك ْرَه َ أَ ْن يَع ُود َ فِي ا ْلكُ ْفرِ كَمَا يَك ْرَه ُ أَ ْن ي ُ ْقذ‬

Artinya: “Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan
merasakan manisnya iman, yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai
daripada selain keduanya; kedua: tidak mencintai seseorang kecuali hanya karena
Allah; ketiga benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan
ke neraka.

B. Macam-macam zuhud dan mahabbah

1. Macam-macam zuhud

Di dalam kitab Tazkiyatun Nafs karya Ibnu Qayyim, Ibnu Rajab dan Imam
Ghazali zuhud dibagi ke dalam beberapa tingkatan, yaitu:

1. Yaitu seorang berzuhud terhadap dunia tapi sebenarnya ia


menginginkannya (tertarik kepadanya). Hatinya condong kepadanya.
Jiwanya berpaling Namun, ia memiliki usaha, bermujahadah untuk
mencegahnya. Inilah yang disebut mutazahhid atau orang yang berusaha
untuk zuhud.
2. Seorang meninggalkan dunia dalam rangka taat kepada Allah karena ia
melihatnya sebagai suatu yang hina, jika dibanding apa yang hendak ia
gapai (yaitu akhirat). Orang ini sadar betul bahwa ia berzuhud. Ia juga
memperhitungkannya. Keadaannya sama seperti orang yang meninggalkan
sekeping dirham untuk mendapatkan dua keping.
3. Seorang berzuhud terhadap dunia dalam rangka taat kepada Allah dan dia
berzuhud dalam kezuhudannya. Artinya ia melihat dirinya tidak
meninggalkan sesuatu pun. Keadaan orang seperti ini ibarat seorang
membuang sampah lalu mengambil mutiara. Perumpamaan lainnya,
seperti sesorang yang ingin memasuki istana raja tetapi dihadang oleh

9
seekor anjing di depan pintu gerbang. Lalu ia melemparkan sepotong roti
untuk menyibukkannya. Dan dia pun masuk menemui sang raja. Maka,
setan adalah anjing yang menggongong di depan pintu gerbang menuju
Allah, menghalangi manusia untuk memasukinya. Padahal pintu itu
terbuka, penghalang (hijab)-nya pun tersingkap. Dunia ini ibarat sepotong
roti. Siapa yang melemparkannya agar berhasil menggapai kemuliaan sang
raja, bagaimana mungkin masih memperhitungkannya?

2. Macam-macam mahabbah

Mahabbah mawaddah adalah jenis cinta mengebu-gebu, membara


dan“nggemesi”. Orang yang memiliki cinta jenis mawaddah, maunya selalu
berdua, enggan berpisah dan selalu ingin memuaskan dahaga cintanya. Ia ingin
memonopoli cintanya, dan hampir tak bisa berfikir lain.

a. Mahabbah rahmah adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang,


lembut,siap berkorban, dan siap melindungi. Orang yang memiliki cinta
jenis rahmah ini lebih memperhatikan orang yang dicintainya dibanding
terhadap diri sendiri. Baginya yang penting adalah kebahagiaan sang
kekasih meski untuk itu ia harus menderita. Ia sangat memaklumi
kekurangan kekasihnya dan selalu memaafkan kesalahan kekasihnya.
Termasuk dalam cinta rahmah adalah cinta antar orang yang bertalian
darah, terutama cinta orang tua terhadap anaknya, dan sebaliknya. Dari itu
maka dalam al Qur’an , kerabat disebut al arham, dzawi al arham ,yakni
orang-orang yang memiliki hubungan kasih sayang secara fitri, yang
berasal dari gharba kasih sayang ibu, disebut rahim (dari katarahmah).
Sejak janin seorang anak sudah diliputi oleh suasana psikologis kasih
sayang dalam satu ruang yang disebut rahim.
b. Mahabbah mail, adalah jenis cinta yang untuk sementara sangat
membara, sehingga menyedot seluruh perhatian hingga hal-hal lain
cenderung kurang diperhatikan. Cinta jenis mail ini dalam al Qur’an

10
disebut dalam konteks orang poligami dimana ketika sedang jatuh cinta
kepada yang muda, cenderung mengabaikan kepada yang lama.
c. Mahabbah syaghaf. Adalah cinta yang sangat mendalam, alami, orisinil
dan memabukkan. Orang yang terserang cinta jenis syaghaf (qad
syaghafaha hubba) bisa seperti orang gila, lupa diri dan hampir-hampir tak
menyadari apa yang dilakukan. Al Qur’an menggunakan term syaghaf
ketika mengkisahkan bagaimana cintanya Zulaikha, istri pembesar Mesir
kepada bujangnya, Yusuf.
d. Mahabbah ra’fah, yaitu rasa kasih yang dalam hingga mengalahkan
norma-norma kebenaran, misalnya kasihan kepada anak sehingga tidak
tega membangunkannya untuk shalat, membelanya meskipun salah. Al
Qur’an menyebut term ini ketika mengingatkan agar janganlah cinta
ra`fah menyebabkan orang tidak menegakkan hukum Allah, dalam hal ini
kasus hukuman bagi pezina.
e. Mahabbah shobwah, yaitu cinta buta, cinta yang mendorong perilaku
menyimpang tanpa sanggup mengelak. Al Qur’an menyebut term ini
ketika mengkisahkan bagaimana Nabi Yusuf berdoa agar dipisahkan
dengan Zulaiha yang setiap hari menggodanya (mohon dimasukkan
penjara saja),sebab jika tidak, lama kelamaan Yusuf tergelincir juga dalam
perbuatan bodoh, wa illa tashrif `anni kaidahunna ashbu ilaihinna wa akun
minaljahilin.
f. Mahabbah syauq (rindu). Term ini bukan dari al Qur’an tetapi dari hadis
yang menafsirkan al Qur’an. Dalam surat al `Ankabut ayat 5 dikatakan
bahwa barangsiapa rindu berjumpa Allah pasti waktunya akan tiba.
Kalimat kerinduan ini kemudian diungkapkan dalam doa ma’tsur dari
hadis riwayat Ahmad; wa as’aluka ladzzata an nadzori ila wajhikawa as
syauqa ila liqa’ika, aku mohon dapat merasakan nikmatnyamemandang
wajah Mu dan nikmatnya kerinduan untuk berjumpa dengan Mu.Menurut
Ibn al Qayyim al Jauzi dalam kitab Raudlat al Muhibbin waNuzhat al
Musytaqin, Syauq (rindu) adalah pengembaraan hati kepadasang kekasih
(safar al qalb ila al mahbub), dan kobaran cinta yangapinya berada di

11
dalam hati sang pecinta, hurqat al mahabbah wa iltihab naruha fi qalb al
muhibbi.
g. Mahabbah kulfah. yakni perasaan cinta yang disertai kesadaran mendidik
kepada hal-hal yang positif meski sulit, seperti orang tua yang menyuruh
anaknya menyapu, membersihkan kamar sendiri, meski ada pembantu.
Jenis cinta ini disebut al Qur’an ketika menyatakan bahwa Allah tidak
membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya,
layukallifullah nafsan illa wus`aha.

C. Tingkatan zuhud dan mahabbah

1. Tingkatan zuhud

Muhammad Ibnu Abidurrahman. Menurutnya, sikap zuhud terbagi menjadi tiga,


yaitu sebagai berikut;

a. Zuhud tingkat mubtadi’. Sikap zuhud ini terjadi pada orang yang
memiliki sesuatu dari dunia baik harta, pangkat, maupun keindahan dunia
lainnya. Ia berada di pertengahan antara menggunakannya di jalan Allah
Swt. dan menikmati dunianya.
b. Zuhud tingkat mutawasit. Sikap zuhud ini merupakan kelanjutan sikap
yang pertama. Zuhud pada tingkatan ini menjadikan seseorang tidak lagi
enggan menggunakan dunianya untuk kepentingan akhiratnya tanpa
merisaukan masa depannya. Ia yakin akan jaminan Allah Swt. bagi dirinya.
Sikap zuhud seperti ini telah dicontohkan oleh sahabat Abu Bakar dan
Umar bin Khattab. Mereka menginfakkan sebagaian besar hartanya di jalan
Allah Swt. tanpa risau dengan masa depan mereka.
c. Zuhud tingkat muntahi. Sikap zuhud ini adalah tingkat tertinggi. Orang
yang memiliki sikap zuhud ini memandang dunia tidak lebih dari sarana
beribadah kepada Allah Swt. Ia memiliki dunia dan mengusahakannya
sebagai bagian dari ibadah kepada Allah Swt. Akan tetapi, harta yang
dimilikinya tidak memiliki tempat sedikitpun dalam hatinya, bahkan

12
menjadi beban bagi hatinya. Zuhud tingkat ini dicontohkan oleh Rasulullah
saw. dan keluarganya.

Muhammad Ibnu Abidurrahman memandang zuhud bukanlah sikap


menjauhi dunia yang menyebabkan orang menjadi enggan berusaha memperoleh
dunia dan menjadi miskin dunia. Zuhud adalah sikap orang yang memiliki dunia
dan tidak terlena olehnya. Bahkan, jika seseorang tidak memiliki satupun bagian
dari dunia dan tidak mau berusaha, ia tidak dapat disebut sebagai orang zuhud.

2. Tingkatan mahabbah

Menurut Al-Sarraj, sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution, ada tiga


macam tingkatan mahabbah, yaitu;

a. Mahabbah orang biasa


b. Mahabbah orang shidiq
c. Mahabbah orang yang arif

Mahabbah orang biasa, mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan


berzikir, memuji Allah, suka menyebut nama-nama Allah, dan memperoleh
kesenangan dalam berdialog dengan Allah.

Mahabbah orang shidiq adalah cinta dari seseorang yang kenal kepada Allah,
kepada kebesaran-Nya, kepada kekuasaan-Nya, kepada ilmu-Nya, dan lain-lain.
Juga cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari
Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada
Tuhan..Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari
dialog itu. Cinta tingkat kedua ini membuat seseorang sanggup menghilangkan
kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta
kepada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya.

Mahabbah orang yang arif adalah cinta dari seseorang yang tahu betul kepada
Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai.
Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai.

13
Dari ketiga tingkatan mahabbah yang dikemukakan oleh Harun Nasution
tersebut tampak menunjukkan suatu proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal
sifat-sifat Tuhan dengan menyebut-Nya melalui dzikir, dilanjutkan dengan
leburnya diri (fana) pada sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya menyatu kekal (baqa)
dalam sifat Tuhan. Dari ketiga tingkatan ini tampaknya cinta yang terakhirlah
yang ingin dituju oleh mahabbah.

Terlepas dari banyaknya penjelasan mengenai defenisi dan “seluk-beluk”


cinta atau mahabbah tersebut, namun yang pasti, mahabbah pada dasarnya
merupakan sebuah sikap operasional. Dengan kata lain, konsep mahabbah (cinta
kepada Allah) adalah salah satu ajaran pokok yang memungkinkan Islam
membawa rahmat bagi seluruh isi alam. Kalau makrifat merupakan tingkat
pengetahuan tentang Tuhan melalui hati, sedang mahabbah adalah merupakan
perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta. Seluruh jiwa terisi oleh rasa
kasih dan kasih dan cinta kepada Tuhan. Rasa cinta yang tumbuh dari
pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan, sudah sangat jelas dan mendalam,
sehingga yang dilihat dan dirasa bukan cinta, tetapi”diri yang dicintai”. Oleh
karena itu menurut al-Gazali, mahabbah itu adalah manifestasi dari makrifat
kepada Tuhan.

Demikian cintanya orang-orang sufi kepada Tuhan, mereka rela


mengorbankan dirinya demi memenuhi keinginan Tuhannya. Olehnya itu, cinta
atau mahabbah pada hakikatnya adalah lupa terhadap kepentingan diri sendiri,
karena mendahulukan kepentingan yang dicintainya yaitu Tuhan. Mahabbah
adalah suatu ajaran tentang cinta atau kecintaan kepada Allah. Tetapi bagaimana
bentuk pelaksanaan kecintaan kepada Allah itu tidak bisa dirumuskan secara pasti
karena hal itu menyangkut perasaan dan penghayatan subyektif tiap sufi.

14
D. Faktor dan alat untuk mencapai zuhud dan mahabbah.

1. Faktor-faktor yang menumbuhkan sifat zuhud

Mengutip buku Akhlak Rasul menurut Al-Bukhari dan Muslim (Abdul


Mun’im al-Hasyimi, 2018), setidaknya ada lima faktor yang bisa menumbuhkan
sifat zuhud di dalam hati seseorang.

a. Memikirkan kehidupan akhirat. Di dalam Islam, kehidupan di dunia


adalah ladang akhirat. Jika dia beramal baik, maka dia akan mendapatkan
pahala dan ganjaran. Juga sebaliknya. Bila dia berlaku buruk selama di
dunia, maka ia akan mendapatkan siksa. Di akhirat kelak. Dengan
senantiasa memikirkan kehidupan akhirat, maka dia akan selalu ingat
bahwa amal yang dia kerjakan di dunia akan dipertanggungjawabkan di
hadapan Allah. Sehingga dia tidak tertartik lagi dengan kenikmatan di
kehidupan dunia yang sementara ini.
b. Menumbuhkan kesadaran bahwa kenikmatan di dunia bisa memalingkan
hati dari ingat kepada Allah. Di samping itu, perlu juga ditumbuhkan
dalam hati bahwa kenikmatan dunia membuat seseorang akan lama berdiri
di hadapan Allah untuk mempertanggungjawabkan semuanya kepada-Nya.
c. Menumbuhkan kesadaran bahwa memburu dunia sangatlah melelahkan.
Tidak jarang seseorang saling sikut, berbuat keji dan hina, untuk
mendapatkan dunia. Hal itu tentu saja membuat derajat manusia semakin
rendah di hadapan Allah, meskipun mungkin derajatnya tinggi di hadapan
manusia.
d. Menyadari bahwa dunia itu terlaknat. Sebagaimana keterangan dalam
hadits nabi, dunia dan yang ada di dalamnya adalah terlaknat kecuali
dzikir kepada Allah, belajar atau mengajar, dan pekerjaan yang ditujukan
hanya kepada Allah. Jadi apapun itu, jika membuat seseorang menjadi
jauh dari Allah maka terlaknat.
e. Merasa bahwa dunia adalah hina dan godaannya bisa membahayakan
kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini selaras

15
dengan firman Allah dalam QS. Al-A’laa ayat 16-17; "Sedangkan kamu
(orang-orang kafir) memilih kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat
itu lebih baik dan lebih kekal."

2. Alat untuk mencapai mahabbah

Untuk mencapai mahabbah seperti yang sudah disebutkan diatas,para ahli


tasawuf menjawab dengan menggunakan pendekatan psikologi,yaitu pendekatan
yang melihat adanya potensi rohaniyah yang ada dalam diri manusia. Harun
Nasution dalam bukunya falsafah dan mistisis dalam islam mengatakan bahwa
dalam diri manusia ada alat untuk memperoleh ma’rifat oleh sufi disebut sir.

Dengan mengutip pendapat al-Qusyairi Harun Nasution mengatakan


bahwa dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat digunakan untuk berhubungan
dengan Tuhan.

a. Al-qalb(hati sanubari),sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan.


b. Roh sebagai alat untuk mencintai Tuhan.
c. Sir yaitu alat untuk melihat Tuhan.

Sir lebih halus dari pada ruh, dan ruh lebih halus dari pada qalb.
Kelihatanya sir bertempat di ruh, dan ruh bertempat di qalb, dan sir timbul dan
dapat menerima iluminasi dari Allah kalau qalb dan ruh telah suci sesuci-sucinya
dan kosong-sekosongnya, tidak berisi apapun.

Dengan keterangan tersebut,dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai


Tuhan adalah ruh, yaitu ruh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta
dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu,melainkan hanya diisi oleh
cinta kepada Tuhan. Ruh yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu telah
dianugerahkan Tuhan kepada manusia sejak kehidupannya dalam kandungan
ketika umur empat bulan. Dengan demikian alat untuk mahabbah itu sebenarnya
telah diberikan Tuhan manusia tidak tahu sebenarnya hakikat ruh itu,yang
mengetahui hanyalah Allah.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpilkan bahwa zuhud dalam ajaran tasawuf
sebagaimana diajarkan dan dipraktekkan oleh para tokoh sufi adalah bersumber
dari ajaran Islam. Praktek kehidupan zuhud sebagai maqomat dalam sistem ajaran
tasawuf merupakan warisan dari potret kehidupan Rasulullah dan para
sahabatnya. Seseorang yang ingin mencapai derajat dan ma'rifat pada Allah harus
lebih mencintai akhirat dari pada kenikmatan dunia. Tanda seseorang yang
memiliki sikap zuhud adalah menjadikan dunia sebagai sarana untuk meraih
akhirat, bukan untuk dinimakti dan dicintai. Semakin tinggi tingkat kelapangan
jiwa untuk melepaskan rasa kepemilikan dunia, maka semakin tinggi pula
derajatnya di sisi Allah.

Kemudian Mahabah dalam konsep tasawuf adalah menenkankan perasaan


cinta kepada tuhan.Tuhan bukanlah suatu zat yang harus ditakuti, tapi sebaliknya
sebagai zat yan harus dicintai dan didekati. Untuk dapat mencintai dan dekat
dengan tuhan, maka sekarang harus banyak melakukan peribadatan dan
meninggalkan kesenangan duniawi.

Berbagai sebab yang mengutamakan rasa cinta Allah swt . Pertama :


memutuskan interaksi duniawi dan mengeluarkan rasa cinta kepada selain Allah
SWT. dari hati karena hati dapat di ibaratkan seperti sebuah bejana yang tidak
akan muat untuk menampung sebuah cuka, umpamanya, jika tidak dikeluarkan
semua air darinya.

Kedua bagi kuatnya rasa cinta adalah kuatnya pengenalan Allah SWT.
Keluasanya dan mendominasi terhadap hati hal itu dapat terjadi setelah setelah
mensucikan hati dari segala kesibukan duniawi dan berbagai interaksinya.
Berjalan seperti peristiwa peletakan sebuah benih di bumi setelah
membersihkannya dari rerumputan, dimana dia merupakan bagian ke dua.

17
Kemudian dari benih itu tumbuhlah sebuah pohon cinta dan ma’rifat yaitu
kalimah yang baik yang dicontohkan oleh allah swt dalam sebuah surat yaitu surat
ibrahim ayat 24: “Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti
pohon yang baik akarnya kokoh dan cabangnya (menjulang) kelangit”.

Aliran sufi mahabbah dipelopori dan dikembangkan oleh seorang seorang


sufi wanita bernama Rabiah al-Adawiyah ia lahir di basrah pada tahun 714 M .
rabiah meninggal pada tahun 801 M di barsrah.

B. Saran

Kita sebagai orang islam yang harus selalu menjalankan syariat islam
secara serentak bersamaan dengan iman dan ihsan, harus benar-benar
mengabdikan diri kepada Allah karena kita diciptakan oleh Allah dan kepada-Nya
pula kita akan kembali. Jadi janganlah sekali-kali kita tidak mengerjakan
perintahnya atau malah melupakannya. Mungkin dengan kita mengetahui uraian
tentang zuhud dan mahabbah diatas kita dapat mengukur diri kita seberapa besar
kedekatan kita kepada Sang Pencipta.

18
DAFTAR PUSTAKA

ulfatunnazilah94.blogspot.com/2015/04/mahabbah.html?m=1

https://islam.nu.or.id/post/read/105132/lima-faktor-yang-bisa-menumbuhkan-
sifat- zuhud

IsaAbdulQadir,HarahapKhairulAmru,LubisAfrizal,HakekatTasawuf,Jakarta:Qisth
iPress,2005

https://www.google.com/amp/s/janganmales.wordpress.com/2015/09/13/zuhud-
macam-macamnya-dan-tingkatannya/amp/

19

Anda mungkin juga menyukai