Segala puji dan syukur penulis kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, yang telah memberi rahmat serta hidayahNya kepada kita sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul “Tokoh dan ajaran tasawuf sufi besar”
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan
karena masih dalam tahap belajar. Oleh karena itu, penulis dengan terbuka akan menerima
kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Penulis berharap
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri dan para pembaca khususnya.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................................2
3.1 Kesimpulan............................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................................16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
Ditinjau dari lima istilah di atas, maka tasawuf dari segi kebahasaan
menggambarkan keadaan yang selalu beroreantasi kepada kesucian jiwa,
mengutamakan panggilan Allah, berpola hidup sederhana, mengutamakan kebenaran
dan rela mengorbankan demi tujuan-tujuan yang lebih mulia disisi Allah. Sikap
demikian pada akhirnya membawa sesesorang berjiwa tangguh, memiliki daya
tangkal ynag kuat dan efektif terhadap berbagai godaan hidup yang menyesatkan.
Selanjutnya, secara teriminologis tasawuf memiliki tiga sudut pandang pengertian.
Pertama, sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas. Tasawuf dapat
didefinisikan sebagai upaya penyucian diri dengan cara menjauhkan pengaruh
kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah. Kedua, sudut
pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang. Sebagai makhluk yang harus
berjuang, manusia harus berupaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber
pada ajaran agama, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Ketiga, sudut
pandang manusia sebagai makhluk bertuhan. Sebagai fitrah yang memiliki kesadaran
akan adanya Tuhan, harus bisa mengarahkan jiwanya serta selalu memusatkan
kegiatan-kegiatan yang berhubungna dengan Tuhan.
2
suluk dan perjalanan menuju (keridhaan) Allah dan meninggalkan (larangan-
larangan-Nya) menuju kepada (perintah-Nya).
Dari pengertian ini dapat dilihat bahwa tasawuf berkutat pada kegiatan-
kegiatan pembersihan jiwa, mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, cara-cara suluk dan
mendekatkan diri dan berada di hadirat Allah.
3
Fiqh yang terkenal di Baghdad pada waktu itu. Junaid juga bersahabat baik dengan
tokoh besar Fiqh iaitu Ibnu Syurayj. Oleh itu, selain daripada seorang tokoh sufi,
beliau juga merupakan seorang tokoh fiqh. Beliau juga dikenal sebagai seorang mufti
dalam mazhab Abu Tsaur, murid Imam Syafi’i. Imam Junaid sangat hebat dalam
bidang Fiqh sehingga ketika beliau berusia 20 tahun beliau telah mampu memberi
fatwa. Dalam masa yang sama Al-Junaid juga turut mendalami ilmu hadis. Setelah
mempelajari ilmu fiqh dan hadis, beliau memberikan penumpuan pada ilmu tasawwuf
walaupun pada hakikatnya Junaid sudah mulai mengenal ajaran tasawuf sejak
berumur 7 tahun di bawah bimbingan Sari al-Saqati. Imam Junaid mengambil ilmu
tasawuf bukan sahaja daripada ahli sufi yang menetap di Baghdad malah beliau
mengambil daripada ahli sufi yang ulang-alik dari luar Baghdad.
Imam Junaid adalah seorang ahli perniaga yang berjaya serta kaya raya. Beliau
memiliki sebuah gedung perniagaan di Kota Baghdad yang ramai dikunjungi
pelanggannya. Sebagai seorang guru sufi, beliau tidaklah disibukkan dengan
mengurusi perniagaannya sebagaimana peniaga lain di Baghdad. Imam Junaid akan
menutup kedainya setelah mengajar murid-muridnya. Kemudia beliau balik ke rumah
untuk beribadat seperti solat, membaca Al-Quran dan berzikir. Setiap malam beliau
berada di masjid besar untuk menyampaikan kuliahnya. Penduduk Baghdad sering
menghadiri kuliahnya sehingga kuliahnya dipenuhi para Jemaah.
Imam Junaid hidup dalam keadaan zuhud. Beliau redha dan bersyukur atas segala
nikmat yang dikurniakan Allah kepadanya. Beliau tidak pernah berangan-angan untuk
mencari kekayaan duniawi dari sumber pekerjaannya sebagai peniaga. Beliau akan
membahagi-bahagikan sebahagian daripada keuntungan perniagaannya kepada
golongan fakir miskin, peminta dan orang-orang tua yang lemah. Imam Junaid
seorang yang berpegang kuat kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Beliau sentiasa
merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah dalam setiap pengajiannya. Beliau pernah
berkata : “Setiap jalan tertutup, kecuali bagi mereka yang sentiasa mengikuti
perjalanan Rasulullah. Barangsiapa yang tidak menghafal Al-Quran, tidak menulis
hadis-hadis, tidak boleh dijadikan ikutan dalam bidang tasawuf.
b. Ajaran Iman Junaid Al-Baghdadi
Konsep pemikiran tasawuf yang dikembangkan oleh al-Junaid belum tersusun
secara sistematis, hanya disampaikan lewat ungkapan-ungkapan verbalnya, sehingga
pemikiran tasawufnya baru banyak ditemukan dari tulisan-tulisan murid-muridnya
4
yang mengutip pendapatnya. Suatu saat al-Junaid mengatakan, “Apabila saya telah
mengetahui sesuatu ilmu yang ternyata lebih besar dari pada tasawuf, tentulah saya
telah pergi untuk mencarinya, sekalipun harus dengan merangkak.”
Ajaran tasawuf al-Junaid berpusat pada konsep khauf, dan raja’. Takut (khauf)
membuat qabid (rasa kecut/susah/sempit). Harap (raja’) kepada-Nya membuat
menjadi basit (lapang/luas). Al-Junaid berkata: “Jika Allah membuat qabid dan khauf,
maka hancurlah eksistensi kemanusiaanku, dan apabila Allah membuat basit dan
raja’ maka Allah mengembalikan eksistensi kemanusiaanku”.
Sikap hidup zuhud dan fakir adalah jalan yang ditempuh oleh al-Junaid dalam
laku tasawufnya. Sebagaimana disampaikan oleh Sa’id Hawwa yang mengutip
pernyataan al-Junaid: “Kami tidak mengambil tasawuf dari pembicaraan atau
katakata, melainkan dari lapar dan keterlepasan dari dunia ini, dan dengan
meninggalkan hal-hal yang sudah biasa dan kami senangi”.
Al-Junaid memandang tasawuf sebagai jalan ke’arifan manusia dalam
menjalankan hidupnya. Baginya, orang ‘arif adalah orang yang tidak terikat oleh
waktu. Pemikirannya tentang ma’rifat terbagi menjadi dua, yaitu ma’rifat ta’aruf dan
ma’rifat ta’rif. Ma’rifat ta’aruf adalah bahwa Allah Swt. memberitahukan orang
banyak akan diri-Nya, dan memberi tahu orang banyak akan hal-hal yang menyerupai
diri-Nya. Adapun arti ma’rifat ta’rif adalah Allah memberitahu orang banyak bekas-
bekas kekuasaan-Nya dalam cakrawala dan dalam diri manusia, kemudian secara
halus terjadilah benda-benda menunjukkan kepada orang banyak bahwa mereka itu
ada yang menciptakan, yaitu Allah Swt.
Dalam hal cara untuk memperoleh ma’rifat, al-Junaid mengatakan harus melalui
maqamat dan ahwal. Ma’rifat tidak akan dapat tercapai tanpa pemurnian tauhid.
Adapun dasar-dasar ajaran tasawuf al-Junaid adalah sebagai berikut:
1. Seorang sufi harus meninggalkan kelakuan dan sifat-sifat yang buruk dan
menjalankan budi pekerti yang baik.
2. Ajaran tasawuf adalah ajaran-ajaran yang dapat memurnikan hati manusia dan
mengajarkan hubungan baik dengan makhluk lain.
3. Memalingkan perhatian dari urusan duniawi kepada urusan ukhrawi. Bagi orang
beriman, meninggalkan pergaulan sesama manusia itu lebih mudah dan berpaling
kepada Allah itu sulit. Menghancurkan gunung itu lebih mudah dari pada
menundukkan hawa nafsu.
5
4. Harus berpegang kepada tauhid, yaitu mengesakan Allah Swt. Dengan
sesempurna-Nya.
5. Seorang sufi harus bisa melakukan tiga syarat amalan, yaitu: (1) melazimkan ẓikir
yang disertai himmah dalam kesadaran penuh, (2) mempertahankan tingkat
kegairahan dan semangat yang tinggi, (3) senantiasa melaksanakan syari’at yang
ketat dan tepat dalam kehidupan sehari-hari.
Al-Junaid membatasi jumlah muridnya, yaitu hanya terbatas 20 orang. Ia
berusaha agar ajaran-ajarannya tidak sampai ke tangan orang awam agar mereka
tidak salah menafsirkannya. Walaupun dia sangat hati-hati, murid al-Junaid ada juga
yang pernah diadili dan mendapatkan tudingan zindik, yaitu al-Hallaj. Pada saat itu
alJunaid disuruh untuk menandatangani surat kuasa untuk menghukum mati muridnya
tersebut. Dalam surat kuasanya, al-Junaid menyampaikan, “Berdasarkan syari’at, ia
(al-Hallaj) bersalah, tetapi menurut hakikat, Allah Yang Maha Mengetahui”.
Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah yang nama lengkapnya adalah Ummul Khair
Rabi’ah binti Isma’il al-Adawiyah al-Qisiyyah adalah satu di antara para sufi Basrah
yang paling terkenal, Beliau juga termasuk dalam daftar tokoh-tokoh sufi (zahid)
abad pertama dan kedua hijriah.Beliau dilahirkan sekitar awal abad kedua
Hijriahmungkin sekitar tahun 95-99 H / 713 – 717 M, di kota Basrah, Iraq. Dia lahir
dalam sebuah keluarga yang miskin harta namun taat. Ayahnya hanya bekerja
mengangkut penumpang menyeberangi Sungai Dijlah dengan menggunakan sampan.
Menjelang dewasa, ujian tak jua berhenti menerpanya. Keadaan itu semakin
buruk setelah beliau ditinggalkan ayah dan ibunya. Ketika kedua orang tuanya
meninggal, dia dijual sebagai budak, tetapi akhirnya dibebaskan oleh tuannya karena
kesufian dan kesalehannya. Sejak kecil Rabi’ah memang berjiwa halus, mempunyai
keyakinan yang tinggi serta keimanan yang mendalam. Cinta dan gairah Rabiah
kepada Allah sangat dalam, hingga tidak ada satupun ruangan yang tertinggal di hati
maupun pikirannya untuk pikiran atau kepentingan lain.Rabi'ah hidup zuhud dan
sangat dekat dengan Tuhan. Banyak beribadah, bertaubat, menjauhi hidup duniawi
dan menolak segala bantuan materi yang diberikan orang kepadanya.
Memasuki usia lebih dari 90 tahun, Rabi'ah, wanita sufi Basrah yang terkenal dengan
6
ibadah, kedekatan, dan kecintaannya kepada Tuhan, menurut riwayat, beliau wafat
tahun 185 H/801 M. Banyak yang mengatakan bahwa beliau dikuburkan dekat kota
Yerussalem, namun terdapat perbedaan pendapat dalam hal ini. Mayoritas ahli
sejarah meyakini bahwa kota kelahirannya adalah tempat beliau dikubur.
7
Sementara itu, Al-Ghazali memberikan ulasan tentang syair Rabi’ah sebagai berikut:
“Mungkin yang dimaksud oleh Rabi’ah dengan cinta karena dirinya adalah cinta
kepada Allah SWT karena kebaikan dan karunia-Nya di dunia ini. Sedangkan cinta
kepada-Nya adalah karena ia layak dicintai keindahan dan keagungan-Nya yang
tersingkap kepadanya. Cinta yang kedua merupakan cinta yang paling luhur dan
mendalam serta merupakan kelezatan melihat keindahan Tuhan. Hal ini seperti
disabdakan dalam hadis qudsi, “Bagi hamba-hamba-Ku yang saleh Aku menyiapkan
apa yang tidak terlihat mata, tidak terlihat telinga, dan tidak terbesit di kalbu
manusia”.
Cinta Rabi’ah kepada Allah SWT begitu mendalam dan memenuhi seluruh relung
hatinya, sehingga membuatnya hadir bersama Tuhan. Hal ini seperti terungkap dalam
syairnya:
“Kujadikan Kau teman berbincang dalam kalbu. Tubuhku pun biar berbincang
dengan temanku.Dengan temanku tubuhku bercengkrama selalu. Dalam kalbu
terpancang selalu kekasih cintaku”.
Bagi manusia yang rasa cintanya kepada Allah SWT tidak secara tulus ikhlas, Rabi’ah
selalu mengatakan:
“ Dalam batin, kepada-Nya engkau durhaka, tetapi dalam lahir kau nyatakan cinta.
Sungguh aneh segala ini. Andaikan cinta-Mu memang tulus dan sejati tentu yang Ia
perintahkan kau taati, sebab pecinta selalu patuh dan bakti pada yang dicintai.
Dalam kesempatan bermunajat, Rabi’ah kerap kali menyampaikan, “Wahai Tuhanku,
tenggelamkan aku dalam mencintai-Mu, sehingga tidak ada yang menyibukkan aku
selain diri-Mu. Ya Tuhan, bintang di langit telah gemerlapan, mata telah bertiduran,
pintu-pintu istana telah dikunci dan tiap pecinta telah menyendiri dengan yang
dicintai, dan inilah aku berada di hadirat-Mu”.
Sewaktu fajar menyingsing, Rabi’ah berkata: “Tuhanku, malam telah berlalu dan
siang telah siap menampakkan diri. Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima
hingga aku merasa bahagia, ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa bersedih.
Demi kemaha kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan selama Engkau beri aku
hayat, sekiranya Engkau usir aku dari depan pintu-Mu, aku tidak akan pergi karena
cintaku pada-Mu telah memenuhi hatiku.”
Ajaran yang terpenting dari sufi wanita ini. adalah al-mahabbah dan bahkan menurut
banyak pendapat, ia merupakan orang pertama yang mengajarkan al-hubb dengan isi
dan pengertian yang khas tasawuf hal ini barangkali ada kaitannya dengan kodratnya
8
sebagai wanita yang berhati lembut dan penuh kasih, rasa estetika yang dalam
berhadapan dengan situasi yang ia hadapi pada masa itu.
Ayah al-Ghazali adalah seorang miskin pemintal kain wol yang taat, sangat
menyayangi ulama, dan sering aktif menghadiri pengajian-pengajian. Ketika
menjelang wafatnya, ayahnya menitipkan al-Ghazali dan adiknya yang bernama
Ahmad kepada seorang sufi. Ia menitipkan sedikit harta kepada sufi itu seraaya
berkata dalam wasiatnya :
“ Aku menyesal sekali Karen aku tidak belajar menulis, aku berharap mendapatkan
apa yang tidak aku dapatkan itu melalui dua putraku ini.”
Sang sufi menjalankan isi wasiatnya itu dengan cara mendidik dan mengajar
keduanya, smpai harta titipanya habis dan sufi itu tidak mampu lagi member makan
keduanya, selanjunya menyerahkan kedua anak titipanya pada pengelola sebuah
madrasah untuk belajar sekaligus menyambung hidup mereka.
Di madrasah tersebut, al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad bin
Muhammad Al-Rizkani. Kemudian, al-Ghazali memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah
di Naisabur, dan disinilah ia berguru kepada Imam Harmain ( al-Juwaini,wafat 478 H/
1086 M.) hingga menguasai ilmu mantiq, ilmu kalam, fiqh-ushul fiqh, tasawuf,
filsafat, dan retorika perdebatan.
Selama berada di Naisabur, al-Ghazali tidak saja belajar kepada al-Juwaini, tetapi
juga mempergunakan waktunya untuk belajar teori-teori tasawuf kepada Yusuf al-
Nasaj. Ilmu-ilmu yang didapatnya dari al-Juwaini benar-benar ia kuasai, termasuk
perbedaan pendapat dari para ahli ilmu tersebut, serta member sanggahan-sanggahan
kepada penentangnya. Karena kemahiranya dalam masalah ini, al-Juwain menjuluki
al-Ghazali dengan sebutan “Bahr Mu’riq” (lautan yang menghanyutkan). Kecerdasaan
9
dan keluasan wawasan berpikir yang dimiliki al-Ghazali membuatny menjadi popular.
Setelah Imam Harmain wafat (478 H/1086 M.), al-Ghazali pergi ke Baghdad, tempat
berkuasanya Perdana Menteri Nizham al-Muluk (w.485 H/ 1091 M.) dan juga temat
berkumpul sekaligus tempat diselenggarakannya perdebatan-perdebatan antara ulama-
ulama terkemuka, ia terpancing untuk melibatkan diri dalam perdebatan itu. Ternyata,
ia serig mengalahkan para ulama ternama, sehingga mereka tidak segan-segan
mengakui keunggulan al-Ghazali.
Sejak saat itu, nama al-Ghazali menjadi terkenal di kawasan kerajaan Saljuk. Hal
itu menyebabkannya dipilih oleh Nizam al-Muluk untuk menjadi guru besar di
Universitas NIzhamiya, Baghdad, pada tahun 483 H/ 1090 M. meskipun usianya baru
30 tahun. Selain mengajar di Nizhamiyah, ia juga aktif mengadakan perdebatan
dengan paham golongan-golongan yang berkembang waktu itu. Dibalik kegiatan
perdebatan dan penyelaman berbagai aliran, timbul pergolakan dalam dirinya karena
tidak ada yang memberikan kepuasan batinya, untuk itulah, ia memutuskan untuk
melepaskan jabatandan pengaruhnya untuk meninggalkan Baghdad menuju Syiria,
Palestin, dan kemudian ke Mekah untuk mencari kebenaran. Setelah memperoleh
kebenaran hakiki pada akhir hidupnya, tidak lama kemudian ia wafat di Thus pada
tanggal 19 Desember 1111 M, atau pada hari senin 14 Jumadi al-akhir tahun 505 H,
dengan meninggalkan banyak karya tulisnya.
Al-Ghazali merupakan salah seorang sufi yang sangat produktif menulis beberapa
kitab, antara lain :
1. Mizanu al-‘Amal
2. Bidayatu al-Hidayah
3. Miskatu al-Anwar
4. Al-Munqiz Mina al-Dalal
5. Minhaju al-Abidin
6. Al-Arbain Fi-Ushul al-Din
7. Ihya ‘Ulumu al-din
GHAZALI, ABU HAMID, nama lengkapnya Abu Hamid bin Muhammad bin
Muhammad bin Ahmad Al-Gazali, lahir di Thus provinsi Khurasan, wilayah Persia /
Iran sekarang 450 H / 1058 M dan meninggal 14 Jumadil Akhir 505 H / 19 Desember
10
1111 M, lebih dikenal dengan nama IMAM AL-GAZALI. Sebelum ayahnya
meninggal dunia, ketika Al-Ghazali masih kecil, beliau dan saudaranya telah
diserahkan kepada seorang ahli tasawuf yang kelak mendidiknya. Di Durjan, beliau
mempelajari ilmu Fiqih dan bahasa Arab. Dari sana beliau melanjutkan perjalanannya
ke kota Naisabur, dekat Thus. Di sini beliau belajar kepada Imam Al-
Haramain. Kepala sekolah Nizamiyah di Naisabur. Kemudian menjadi guru dan
mengajar perguruan tersebut. Selanjutnya, pindah dan mengajar pula di sekolah
Nizamiyah Baghdad, lalu menjabat sebagai Direktur sekolah-sekolah Nizamiyah
seluruh Baghdad. Kedalaman dan keluasan ilmunya telah menyebabkannya ragu
terhadap kebenaran hasil pengetahuan yang diperoleh melalui panca indera, melalui
akal pikiran. Ia ragu pula terhadap Mutakallimin, para Filosof, dan golongan Syi’ah
Batiniyyah. Apa yang dicarinya selama ini tentang jalan yang benar ditemukannya di
dalam tasawuf, di mana ia merasakan kejernihan pikiran sehingga terbukalah baginya
ilmu yang tak pernah didapatkannya sebelumnya. Hatinya menjadi terang, sikapnya
menjadi tabah, serta memperoleh “kepastian” tentang ilmu. Beliau berani
meninggalkan segala kemewahan, harta kekayaan, kehormatan, dan keluarga yang
ada di Baghdad untuk kemudian pergi ke Suriah pada tahun 489 H. Sebelumnya,
segala harta kekayaan yang diperoleh di Baghdad telah diwakafkan terlebih dahulu.
Di kota Damaskus, beliau tinggal selama 11 tahun.
Di Damaskus inilah mula-mula beliau melakukan pertobatannya dengan
melakukan khalwat, beriktikaf, menyucikan diri dan jiwanya, membersihkan akhlak
dan budi pekertinya, selalu berfikir tentang Allah SWT. Di situ kemudian beliau pergi
ke Yerussalem. Di sini pula beliau menetap dan berkhalwat di Masjid Baitul Maqdis.
Lama-kelamaan kemudian sesudah itu, beliau pergi ke Mesir dan seterusnya ke
Mekkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji. Kadang-kadang Al-Ghazali
pulang ke Baghdad untuk sekedar menengok keluarganya. Kehidupan yang demikian
ini berjalan bertahun-tahun. Setelah sekian lama berada di dalam pengembaraan,
akhirnya beliau pulang kembali dan menetap di Baghdad. Setelah mengarungi lautan
hidup yang luas itu, menyalami ilmu yang sangat dalam serta menegakkan ibadah,
maka pada tanggal 9 Desember 1111 M ( 505 H ), Hujjah al-Islam, Waliyyullah, dan
filosof Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad Al-Ghazali berpulang ke
rahmatullah.
dia fana’ dari dirinya sendiri dalam pandangan tauhidnya, dengan pengertian
bahwa dia fana’ dari melihat dirinya dan segala makhluk”. Perjalanan menuju puncak
11
itu dinamakan suluk. Salik (orang yang menempuh suluk) akan sukses bila sempurna
substansi hatinya dan mempunyai iradah (kemauan atau ketetapan hati) sebelum
melaksanakan suluk yang ditandai dengan usaha menyingkapkan tabir yang melintang
antara dirinya dan Allah (yakni harta, kehormatan, taqlid atau fanatisme aliran, dan
maksiat). Ketika tabir-tabir itu tersingkap, seorang salik membutuhkan seorang guru
yang menuntunnya, dan butuh tempat untuk mengasah ketajaman batinnya, yaitu
zawiyah sebagai tempat khalwat dan mengkonsentrasikan hati.
Dalam perjalanan itu, si salik akan melewati tahapan demi tahapan yang
mengantarnya pada status-status spiritual tertentu (manazil). Bila suatu status belum
mantap, ia disebut hal (keadaan); bila sudah mantap disebut maqam (posisi). Dalam
Ihya’, al-Ghazali menyebut delapan maqam sufí, yakni: taubat, sabar, syukur,
berharap (raja’), takut (khauf), zuhud, tawakkal, dan cinta (mahabbah). Cinta adalah
maqam yang tertinggi yang membuahkan rindu (syauq), intim, uns, dan ridha.
Untuk melewati setiap tahapan, seorang salik harus melakukan riyaḍah dan
mujahadah. Adapun yang dinamakan riyaḍah (latihan kerohanian) adalah pembinaan
diri dengan suatu perbuatan yang pada awalnya menjadi beban dan pada akhirnya
menjadi tabi’at atau karakter. Adapun mujahadah adalah perjuangan melawan
tarikan hawa nafsu.
Al-Jailani adalah seorang tokoh sufi yang sangat terkenal, seorang pendiri tarekat
Qadiriyah yang dilahirkan di Naif, Jailan pada 1 Ramadhan 470 H./ 1077 M. Sejak
kecil ia sudah ditinggal ayahnya. Kealimannya sudah tampak di masa bayinya. Ia
12
tidak mau menyusu di siang hari pada bulan Ramadhan. Ia dididik dalam lingkungan
besar lagi mulia, sesuai dengan nasab dan keturunannya. Ia digembleng dalam didikan
kaum sufi yang hidup serba sederhana dan ikhlas. Kesibukan al-Jailani dalam upaya
ruhaniah membuatnya asyik dan hamper lupa akan kewajibannya untuk berumah
tangga. Pada akhirnya, di usianya yang ke-51 beliau menikah dan mempunyai empat
orang istri. Dari keempat istrinya itu, al-Jailani empat puluh sembilan anak, dua puluh
putra dan selebihnya puteri.
Beliau menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti Fikih, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits,
Ilmu Khilaf, Ilmu Ushul, Ilmu Nahwu, Ilmu Tajwid, Ilmu Sharaf, Ilmu Arudh, Ilmu
Balaghah, Ilmu Mantiq dan Tasawuf. Beliau juga belajar kepada para ulama besar di
zamannya, seperti Abu al-Wafa’ bin Aqil, Muhammad bin Hasan al-Baqilani, Abu al-
Khatahab, al-Kalawazani dan Abu al-Husain Muhammad bin al-Qadhi Abu Ya’la,
Abu Zakariya at-Tibrizi, Abu al-Khair Hamad bin Muslim ad-Dibbas hingga ia
mendapatkan ijazah dan kedudukan tinggi dari al-Qadhi Abu Said al-Mukharami.
Bahkan al-Jailani juga belajar kepada Nabi Khidir a.s. selama tiga tahun. Satu tahun
pertama beliau makan dan minum, tahun kedua hanya makan saja, dan di tahun ketiga
beliau tidak makan dan tidak minum, hingga dinyatakan lulus belajarnya.
13
Sebagai seorang tokoh terkemuka, al-Jailani juga memiliki karya-karya sebagai
penopang ajarannya itu. Di antara karya yang terkenal adalah; al-Ghunyah li Thalib
Thariq al-Haqq, kitab ini memaparkan secara ringkas fikih mazhab Imam Hanbali dan
ajaran-ajarannya tentang akidah dan tasawuf; al-Fath ar-Rabbany, kitab ini berisi
kumpulan nasihat bagi para murid dan guru sufi dan semua kalangan yang tertarik
dengan jalan penyucian diri. Sesuai dengan judulnya, kitab ini hendak membawa
pembacanya pada keuntungan dan manfaat spiritual yang sangat besar; dan Futuh al-
Ghayb yang berisi kumpulan nasihat yang lebih lengkap dan mendalam dari
kumpulan sebelumnya.
b. Ajaran Syaikh Abdul Qadir al- Jailani
Di kalangan dunia tasawuf, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dijuluki Sultan al-
Auliya’ (rajanya para wali). Kedudukan yang mulia ini dicapainya karena akhlak
yang terpuji, ahwāl dan karamah yang dimilikinya. Syaikh Izzuddin bin Abdussalam
menyatakan: “Tidaklah diceritakan keramat seseorang secara mutawatir kecuali
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani”, pujian yang serupa juga diungkapkan oleh Ibnu
Taimiyah.
Tasawuf yang dikembangkan oleh Syaikh Abdul Qadir termasuk tasawuf akhlaki,
yaitu tasawuf yang berorientasi kepada perbaikan akhlak, mencari hakikat kebenaran
dan mewujudkan manusia yang dapat mencapai maqam ma’rifat kepada Allah. Beliau
adalah seorang sufi besar yang berhasil memadukan syari’at dan hakikat secara
sinergis, serta berpedoman kepada al-Qur’an dan al–Hadiś secara konsisten. Beliau
menyatakan: Setiap hakikat yang tidak berpijak kepada syari’at adalah kezindikan.
Terbanglah kepada Tuhanmu dengan dua sayapmu, yaitu al-Kitab dan as- Sunnah,
masuklah kepada-Nya sedangkan kedua tanganmu ada dalam genggaman Rasulullah,
jadikanlah Rasulullah Saw.sebagai temanmu dan pengajarmu, biarkan tangannya
menghiasimu dan membawamu kepada-Nya”.
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
15
DAFTAR PUSTAKA
http://lenydoank-oke.blogspot.com/2012/01/makalah-tasawuf.html
http://repository.syekhnurjati.ac.id/3194/1/Tokohtokoh%20Tasawuf%20dan%20Ajarannya
%20%20TEJO%20lengkap.pdf
http://bintukhauf.blogspot.com/2014/07/al-junaid-al-baghdadi-tokoh-sufi-siri-1.html
http://referensiagama.blogspot.com/2011/01/rabiah-al-adawiyah-dan-ajaran.html
http://dedegozin.blogspot.com/2015/04/konsep-tasawuf-imam-al-ghazali.html
https://an-nur.ac.id/ajaran-tasawuf-syaikh-abdul-qadir-al-jailani/
16