Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

“RELATIVISME-CONTEXTUALISME”
Mata Kuliah: Fisafat Ilmu
Dosen Pengampu: Drs. Alimuddin Sabban Miru, M.Pd

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 3
Nurhaliza (1928040010)
Sri Rajmi Arinih Talib (1928040011)
Safira Musrina (1928040012)
Andi Rahma Mutiarisma (1928040013)

PENDIDIKAN KESEHJATERAAN KELUARGA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
TAHUN AKADEMIK 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Alhamdulillahi Rabbil Alamin Segala puji kita panjatkan kehadirat Allah
SWT. Yang atas Nikmat dan rahmat-Nya sehingga kami dapat meyelesaikan
penyusunan makalah “Relativisme-Contextualisme”. Tidak lupa kami ucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Evaluasi Pembelajaran yang di ampu
oleh Dosen Drs. Alimuddin Sabban Miru, M.Pd
Tentunya dalam makalah ini dengan segala keterbatasan tidak lepas dari
kekurangan, oleh karena itu, sangat diharapkan kritik dan saran yang membangun
dari dosen dan semua pembaca untuk perkembangan pengetahuan kami dan
membuat makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami selaku
penyusun makalah ini khususnya dan para pembaca umumnya. Aamiin .

Baubau, 11 Oktober 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i


KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................ 1
C. Tujuan .............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................. 2
A. Pengertian relativisme ..................................................................... 2
B. Sejarah dan perkembangan pahan relativisme ................................ 5
C. Aliran-aliran relativisme .................................................................. 6
D. Pengertian kontruktivisme ............................................................... 10
E. Epistemology Kontekstual ............................................................... 10
F. Kritik
......................................................................................................... 1
2 .......................................................................................................
BAB III PENUTUP ........................................................................................... 14
A. Kesimpulan ...................................................................................... 14
B. Saran ................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 15

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Paham relativisme ini telah memasuki bidang filsafat, akidah dan bahkan
metodologi studi keilmuan. Dalam bidang filsafat, doktrin relativisme
menyentuh pembahasan epistemologi — sumber-sumber ilmu. Dalam
relativisme ini semua sudut pandang sama validnya dan bahwa semua kebenaran
relatif terhadap individu. Ini berarti bahwa semua posisi moral, semua sistem
agama, semua bentuk seni, semua gerakan politik, dll, adalah kebenaran yang
relatif terhadap individu. Dalam makalah ini akan dijelaskan lebih lanjut
mengenai relativisme, sejarah dan perkembangannya, serta aliran alirannya.

B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian relativisme?
2. Bagaimana sejarah dan perkembangan paham relativisme?
3. Apa saja aliran-aliran relativisme?
4. Apa pengertian kontekstualisme ?
5. Apa Epistemology Kontekstual?
6. Bagaimana kritik terhadadap Epistemology Kontekstual?
C. Tujuan
1. Mengetahui apa itu relativisme.
2. Mengetahui sejarah dan perkembangan paham relativisme.
3. Mengetahui aliran-aliran relativisme.
4. Mengetahui pengertian kontekstualisme
5. Mengetahui Epistemology Kontekstual
6. Mengetahui kritik terhadadap Epistemology Kontekstual

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Relativisme
Relativisme ialah sebuah faham yang memegang prinsip bahwa kebenaran
dipandang sebagai sesuatu yang tidak mutlak alias relatif. Apa yang dipandang
sebagai kebenaran oleh orang belum tentu berlaku untuk orang lain. Menurut
paham ini kebenaran ditentukan oleh siapa yang menjadi pelakon, karena setiap
individu dipengaruhi oleh sejarah, budaya, dan psikologi.1 Ukuran untuk
memandang suatu kebenaran pun menjadi kompleks dan tak pasti. Karena tidak
ada ukuran umum atau satu pijakan tertentu untuk menilai sebuah kebenaran.
Labih jauh, setiap orang boleh berpendapat kebenaran sebagai kesalahan atau
pun sebaliknya. Gagasan filosofis pandangan relatif terhadap perbedaan persepsi
dan pertimbangan. Tidak ada kebenaran yang universal dan obyektif menurut
relativisme, sebaliknya setiap sudut pandang memiliki kebenarannya sendiri.
Dalam doktrin relativisme sendiri terdapat beberapa prinsip kunci yang
menjadi pijakan utama; Pertama, apa yang diamati ada sebagaimana diamati
oleh pengamat. Artinya sesuatu disebut ada ketika seorang hadir dalam situasi
tersebut, dan tidak disebut ada, ketika ia absen darinya. Kedua, apa yang diamati
adalah benar bagi si pengamat. Maksudnya, kebenaran tadi boleh dianggap
sebuah kebathilan bagi selain dari pengamat. Ketiga, kebenaran adalah identik
dengan apa yang diamati, dan berhubungan dengan kondisi fisik pengamat. Itu
berarti, kebenaran itu subyektif, bukan obyektif. Keempat, dengan adanya alat-
alat indra yang berbeda, apa yang diamati akan berbeda, dan apa yang dianggap
benar akan berbeda pula. Oleh sebab itu, kebenaran tergantung siapa yang
bersinggungan. Kelima, kebenaran tidak akan terlepas dari pengamat dan dari
pernyataan bahwa sesuatu itu benar. Argument ini sekilas identik dengan
argument yang keempat. Keenam, adalah keliru megatakan seseorang benar dan
mengatakan yang lain salah. Jelasnya, prinsip ini melarang saling memberi
peringatan dan memberi nasihat antar satu sama lain. Ketujuh, kebenaran adalah
sebuah kesepakatan umum. Maknanya ketika sebuah kesalahan disepakati

2
menjadi sebuah kebenaran, maka akan merubah statusnya menjadi benar. Dari
sini maka jelaslah sesungguh relativisme adalah sebuah doktrin yang
berpandangan bahwa kebenaran itu bersifat nisbi belaka. Sebuah doktrin yang
merupakan jelmaan baru dari sophist, yang kemudian dipopulerkan kembali di
abad 20 oleh Nietzche dengan prinsip bahwa semua tata nilai bersifat subyektif
dan tak menentu.
Jadi, Relativisme adalah suatu paham yang terdiri dari beragam argumen.Di
balik beragam argumen tersebut, ada satu yang sama, yakni bahwa realitas, dan
seluruh aspeknya, termasuk pikiran, moralitas, pengalaman, dan penilaian
manusia, tidaklah mutlak, melainkan relatif posisinya pada sesuatu yang lain.
Yang paling sering ditemukan adalah relativisme dalam bidang moral.
Argumen yang sering muncul adalah, apa yang baik dan buruk itu amat relatif
pada kultur setempat. Di satu tempat satu tindakan dianggap baik. Sementara di
tempat lain, tindakan yang sama dianggap tidak baik.
Argumen-argumen relativisme sering membawa kita pada akhir yang
membingungkan, karena kita seolah tidak lagi bisa memutuskan secara pasti apa
yang baik dan buruk, apa yang benar dan apa yang salah. Namun relativisme
jelas memiliki pesonanya sendiri yang memikat para pemikir dunia, dan tak bisa
begitu saja diabaikan.
Nuansa relativistik bisa kita temukan hampir di setiap aliran filsafat. Tentu
saja dalam beberapa hal, seperti dalam upaya memahami budaya masyarakat
lain, nuansa relativistik semacam itu amatlah berguna, sehingga kita tidak
memutlakkan nilai-nilai yang kita miliki. Nuansa relativistik juga bisa
ditemukan di dalam Filsafat Ilmu Pengetahuan, terutama dalam konsep
paradigma yang dirumuskan Thomas Kuhn, maupun konsep
“inkomensurabilitas”, yang juga berarti tak terbandingkan, yang dirumuskan
oleh Ludwig Wittgenstein.
Filsafat posmodern juga dengan tegas menyebarkan nuansa relativisme atas
nama kebebasan dan ekspresi diri. Di dalam sejarah filsafat, sudah sejak masa
Yunani Kuno, kaum Sofis yang memegang erat relativisme bertarung
argumentasi dengan Sokrates di pasar-pasar kota Athena.

3
Pada level etika (filsafat moral), relativisme juga memiliki pengaruh besar.
Pandangan ini mempertanyakan keabsahan tolok ukur moral dan hukum yang
telah berlaku lama di masyarakat. Apa yang baik dan apa yang benar digoyang,
dan dipertanyakan ulang.
Pada satu sisi proses ini sebenarnya amat baik, sehingga seluruh masyarakat
bisa merefleksikan ulang nilai-nilai yang mereka anut. Namun pada sisi lain,
proses ini menciptakan ketidakpastian yang membawa orang pada kebingungan
dan anarki sosial. Di dalam ranah ilmu pengetahuan, relativisme menggoyang
arti obyektivitas ilmiah yang selama beradab-abad menjadi tolok ukur dari
penelitian ilmiah di berbagai bidang keilmuan.
Relativisme berpijak pada satu pengandaian dasar, bahwa manusia adalah
mahluk yang terikat dengan akar historis dan budaya, sehingga ia tidak pernah
bisa sampai pada kebenaran yang bersifat universal.
Pengandaian ini sangat masuk akal, berjalan searah dengan paham
relativisme, dan jelas tidak bisa diabaikan begitu saja. Semua upaya untuk
memberi pendasaran pada kemampuan manusia untuk sampai pada kebenaran
universal tidak bisa mengabaikan begitu saja argumen-argumen relativisme
yang, harus diakui, amat memikat.
Di dalam filsafat bahasa, manusia dianggap sebagai mahluk yang sudah selalu
tertanam pada bahasa tertentu, dan tidak bisa begitu saja melepaskan bahasanya
untuk memahami dan menjelaskan “kebenaran universal”. Paham-paham lain
seperti pluralisme (hidup bersama dalam perbedaan tata nilai) dan
konstruktivisme (realitas adalah bentukan pikiran manusia) juga kental dengan
nuansa relativisme di jantung argumennya.
Seperti sudah disinggung sebelumnya, ada satu kelemahan yang amat
mendasar dari relativisme, yakni paham tersebut mengajak kita memasuki alam
ketidakpastian eksistensial diri dan anarki sosial, karena tidak ada lagi satu
pijakan bersama yang mendasari makna hidup maupun relasi-relasi sosial politik
masyarakat.

4
Dari dua hal itu, yakni ketidakpastian makna hidup dan anarki sosial, kita bisa
menurunkan banyak sekali hal-hal negatif, mulai dari kecenderungan bunuh diri
yang amat tinggi di dalam masyarakat modern, negara otopilot di mana
pemerintah tak lagi memegang otoritas yang diberikan kepadanya, sampai
dengan anarki sosial yang menciptakan kekacauan serta beragam kejahatan
lainnya, seperti penjarahan, pemerkosaan, penghancuran, pembunuhan, dan
sebagainya.
Relativisme sebenarnya juga memiliki wajah positif. Paham ini mengajak kita
memikirkan ulang nilai-nilai yang kita anut selama ini, baik sebagai pribadi
maupun masyarakat, dan bertanya, apakah nilai-nilai yang kita anut masih
relevan untuk menanggapi perubahan jaman yang terus terjadi?
Relativisme menjauhkan kita dari sikap otoriter dan terburu-buru di dalam
membuat penilaian. Jika dipergunakan secara tepat, relativisme bisa membawa
kita pada kebenaran yang lebih dalam, dan memastikan keadilan bisa terwujud
di dalam kehidupan.

B. Sejarah dan Perkembangan Paham Relativisme


Doktrin relativisme mulanya berasal dari Protagoras (490 SM-420 SM),
tokoh Sophis Yunani terkemuka abad 5 SM. Ia termasuk salah seorang sofis
pertama dan juga yang paling terkenal. Selain sebagai filsuf, ia juga dikenal
sebagai orator dan pendebat ulung. Ditambah lagi, ia terkenal sebagai guru yang
mengajar banyak pemuda pada zamannya. Ia berprinsip bahwa manusia adalah
ukuran segala sesuatu (man is the measure of all things). Manusia yang dimaksud
di sini adalah manusia sebagai individu. Dengan demikian, pengenalan terhadap
sesuatu bergantung pada individu yang merasakan sesuatu itu dengan panca
indranya. Contohnya bagi orang sakit, angin terasa dingin. Sedangkan bagi
orang sehat, angin itu terasa panas. Di sini kedua orang tersebut benar, sebab
pengenalan terhadap angin berdasarkan keadaan fisik dan psikis orang-orang
tersebut
Di zaman Barat postmodern doktrin ini dicetuskan oleh F. Nietzsche dengan
doktrin yang disebut nihilisme yang intinya adalah relativisme. Kemudian

5
relativisme berkembang pada peradaban modern yang didasarkan atas dasar
rasionalisme, materialisme, positivisme, evolusonisme dan hedonisme. Paham
ini selalu terkait dengan masalah etika, agama dan kebudayaan. Pada abad ke-
20 paham ini mendapat dukungan dari ahli-ahli antropologi dan pengajian
kemanusiaan seperti Ruth Benedict, Edward Westermarck, Hans Reihenbach
dan lain-lain.
Dalam bukunya Ethical Judgment, Edel memperinci beberapa faktor
suburnya relativisme pada abad ke-20. Pertama, pandangan bahwa peradaban
dan kebudayaan, begitu pula agama, sebenarnya hanya buatan manusia. Dan
manusia, menurut Darwin, adalah bagian daripada dunia hewan. Kebenaran
tidak pernah diperoleh manusia dari Tuhan, kerana Tuhan itu tidak dikenali serta
nun jauh di sana dan tidak pernah ada hubungannya dengan manusia.
Kedua, dalam kehidupan politik, manusia modern mengukur baik dan
buruknya tindakan politik hanya berdasarkan ukuran dimilikinya kekuasaan.
Cara pandang ini dipengaruhi oleh perkembangan ilmu politik itu sendiri. Sejak
Machiavelli sampai Marx dan Lenin, terus hingga masa kini, yang dijadikan
perhatian ialah bagaimana merebut dan meraih kekuasaan. Kekuasaan dijadikan
tujuan dan dipergunakan sebagai sarana dalam upaya memahami perjuangan
manusia di lapangan sosial.
Ketiga, Teori ekonomi dan pandangan psikologi modern juga tidak kurang
pentingnya dalam ikut menyuburkan relativisme, seperti misalnya teori Pavlov,
Karen Horney dan Abram Kardiner.
Keempat, Relativisme juga muncul kerana manusia tidak lagi mengetahui
jalan yang bisa menghubungkan dirinya dengan sumber-sumber kebenaran,
sedangkan citra dirinya dan hubungannya dengan sumber-sumber kebenaran
telah dikaburkan oleh pandangan yang menempatkan dirinya tidak lebih tinggi
dari hewan bahkan benda.

C. Aliran-Aliran Relativisme

6
Aliran-aliran relativisme dapat terbagi mnejadi beberapa macam, diantaranya
yaitu:
1. Relativisme Antropologis
Relativisme antropologis adalah relativisme yang mengacu pada sikap
metodologis, di mana peneliti menangguhkan (atau tanda kurung) bias
budayanya sendiri saat mencoba memahami kepercayaan dan perilaku dalam
konteks lokal mereka. Hal ini juga kerap kali dikenal sebagai relativisme
metodologis, dan perhatian khusus pada penghindaran etnosentrisme atau
penerapan standar budaya sendiri untuk penilaian budaya lain.
2. Relativisme Filosofis
Relativisme Filosofis adalah relativisme yang menegaskan kebenaran
proposisi bergantung pada kerangka metafisik, atau teoritis, atau metode
instrumental, atau konteks di mana proposisi diekspresikan, atau pada orang,
kelompok, atau budaya yang menafsirkan proposisi.
3. Relativisme Deskriptif
Relativisme deskriptif adalah relativisme yang mengasumsikan bahwa
kelompok budaya tertentu memiliki cara berpikir, standar penalaran yang
berbeda, dan sebagainya, dan itu adalah tugas antropolog untuk menjelaskan,
tetapi tidak mengevaluasi validitas prinsip dan praktik kelompok budaya ini.
Mungkin saja seorang antropolog dalam penelitian lapangannya menjadi
relativis deskriptif tentang beberapa hal yang biasanya menyangkut filsuf
(misalnya, prinsip-prinsip etika) tetapi tidak tentang yang lain (misalnya,
prinsip-prinsip logis). Namun, klaim empiris relativis deskriptif tentang
prinsip-prinsip epistemik, cita-cita moral dan sejenisnya sering diimbangi
oleh argumen antropologis bahwa hal-hal seperti itu bersifat universal, dan
banyak literatur terbaru tentang masalah ini secara eksplisit berkaitan dengan
sejauh mana, dan bukti, budaya atau moral atau linguistik atau universal
manusia. Fakta bahwa berbagai spesies relativisme deskriptif merupakan
klaim empiris, dapat menggoda filsuf untuk menyimpulkan bahwa mereka
tidak terlalu menarik secara filosofis, tetapi ada beberapa alasan mengapa
tidak demikian. Pertama, beberapa filsuf, terutama Kant, berpendapat bahwa

7
beberapa jenis perbedaan kognitif antara manusia (atau bahkan semua
makhluk rasional) tidak mungkin, sehingga perbedaan seperti itu tidak
pernah dapat ditemukan untuk memperoleh fakta, sebuah argumen yang
menempatkan batas apriori pada apa yang empiris. Penyelidikan dapat
menemukan dan versi relativisme deskriptif apa yang benar. Kedua, klaim
tentang perbedaan aktual antara kelompok memainkan peran sentral dalam
beberapa argumen untuk relativisme normatif (misalnya, argumen untuk
relativisme etis normatif sering dimulai dengan klaim bahwa kelompok yang
berbeda pada kenyataannya memiliki kode moral atau cita-cita yang
berbeda).
4. Relativisme Normatif
Relativisme normatif adalah relativisme yang menyangkut klaim normatif
atau evaluatif bahwa cara berpikir, standar penalaran, atau sejenisnya hanya
benar atau salah relatif terhadap suatu kerangka kerja. 'Normatif' berarti
dalam arti umum, berlaku untuk berbagai pandangan; dalam kasus
keyakinan, misalnya, kebenaran normatif sama dengan kebenaran. Sekalipun
bahwa kebenaran atau kebenaran relatif kerangka kerja selalu jelas,
tantangan pertama adalah untuk menjelaskan apa artinya dalam kasus
tertentu (misalnya, sehubungan dengan konsep, kebenaran, norma
epistemik). Relativisme normatif katakanlah, dalam hubungannya dengan
relativisme etis normatif) karena itu menyiratkan bahwa hal-hal (seperti
klaim etis) tidak hanya benar dalam dirinya sendiri, tetapi hanya memiliki
nilai kebenaran yang relatif terhadap kerangka kerja yang lebih luas (misal,
kode moral).
5. Relativisme Metafisik
Relativisme Metafisik adalah posisi bahwa objek, dan kenyataan pada
umumnya, hanya ada secara relatif terhadap objek lain, dan tidak memiliki
makna dalam isolasi . Relativisme Metafisik mengandaikan Realisme bahwa
ada hal-hal objektif aktual di dunia yang relatif terhadap hal-hal nyata
lainnya. Gagasan bahwa tidak ada realitas "di luar sana" yang terlepas dari

8
pikiran kita mirip dengan konsep Subjektivisme metafisik , dan bertentangan
dengan Objektivisme .
6. Relativisme Epistemologis
Relativisme Epistemologis (atau Relativisme Kognitif ) adalah gagasan
bahwa pengetahuan kita tentang dunia nyata harus dibantu oleh konstruksi
mental kita , dan bahwa kebenaran atau kepalsuan pernyataan relatif
terhadap kelompok sosial atau individu. Relativisme Epistemologis
berpendapat bahwa ada bias kognitif , bias notasi dan bias budaya , yang
semuanya mencegah kita untuk mengamati sesuatu secara objektif dengan
indra kita sendiri, dan yang tidak dapat kita hilangkan. Oleh karena itu, ini
merupakan posisi anti-dogmatis yang menegaskan bahwa kebenaran
proposisi bergantung pada siapa yang menafsirkannya karena tidak ada
konsensus moral atau budaya yang dapat atau akan dicapai.
7. Perspektivisme
Perspektivisme adalah salah satu jenis Relativisme Epistemologis yang
dikembangkan oleh Friedrich Nietzsche yang berpendapat bahwa semua ide
(penciptaan ide-ide baru) berlangsung dari sudut pandang tertentu. Bahwa
ada banyak kemungkinan perspektif yang menentukan kemungkinan
penilaian kebenaran atau nilai yang mungkin kita buat. Oleh karena itu, tidak
ada cara untuk melihat dunia yang dapat dianggap "benar" secara definitif ,
tetapi tidak selalu berarti bahwa semua perspektif sama validnya .
8. Relativisme Moral
Relativisme Moral adalah posisi bahwa proposisi moral atau etika tidak
mencerminkan kebenaran moral obyektif dan / atau universal, melainkan
membuat klaim relatif terhadap keadaan sosial, budaya, sejarah atau pribadi.
9. Relativisme Estetika
Relativisme Estetika adalah pandangan filosofis bahwa hukuman keindahan
adalah relatif kepada individu, budaya, periode waktu dan konteks, dan
bahwa ada tidak ada kriteria yang universal keindahan. Relativisme dalam
sejarah,relativisme kebenaran,relativisme budaya,relativisme
kultural,contoh relativisme budaya,contoh relativisme,relativisme

9
agama,relativisme budaya pdf,relativisme epistemologi,teori relativisme
ham
D. Pengertian Kontekstualisme
Kontekstualisme menggambarkan kumpulan pandangan dalam filsafat
yang menekankan konteks di mana sebuah tindakan, ucapan, atau ungkapan
terjadi, dan berpendapat bahwa, dalam beberapa hal penting, baik itu
tindakan, ucapan, atau ungkapan hanya dapat dipahami relatif terhadap
konteks itu.
Pandangan kontekstualis berpendapat bahwa konsep filosofis
kontroversial, seperti "makna P"," mengetahui bahwa P", "memiliki alasan
untuk A", dan mungkin bahkan "menjadi betul" atau "menjadi benar" hanya
memiliki makna yang relatif terhadap konteks yang ditentukan. Beberapa
filsuf berpendapat bahwa ketergantungan konteks dapat menyebabkan
relativisme; Namun, pandangan kontekstual semakin populer dalam filsafat.
Dalam etika, pandangan "kontekstual" sering kali dikaitkan erat dengan
etika situasional, atau dengan relativisme moral. Dalam teori arsitektur,
kontekstualisme adalah teori desain dimana tipe bangunan modern (tidak
disalahartikan dengan modernisme) diselaraskan dengan bentuk kota biasa ke
kota tradisional.
E. Epistemology Kontekstual
Dalam epistemologi, kontekstualisme adalah perlakuan terhadap kata
'tahu' sebagai sensitif-konteks. Ekspresi sensitif konteks adalah konteks yang
"mengemukakan proposisi yang relatif berbeda terhadap penggunaan
konteks yang berbeda".
Misalnya, beberapa istilah yang relatif tidak kontroversial dianggap
sensitif terhadap konteks adalah indeksikal, seperti 'Saya', 'di sini', dan
'sekarang'. Sementara kata 'Saya' memiliki makna bahasa linguistik yang
konstan dalam semua konteks penggunaan, yang mengacu pada beragam
konteks. Demikian pula, kontekstual epistemik berpendapat bahwa kata
'tahu' adalah konteks yang sensitif, yang mengungkapkan hubungan yang
berbeda dalam beberapa konteks yang berbeda.

10
Kontekstualisme diperkenalkan, sebagian, untuk merongrong argumen
skeptis yang memiliki struktur dasar ini:
a) Saya tidak tahu bahwa saya tidak berada dalam skenario skeptis H
(misalnya, saya bukan otak dalam tong)
b) Jika saya tidak tahu bahwa H tidak demikian, maka saya tidak tahu
proposisi biasa O (misalnya, saya memiliki tangan)
c) Kesimpulan: Karena itu, saya tidak tahu O
Prinsip utama epistemologi kontekstual, tidak peduli pengetahuan apa
yang dianutnya, yang penting adalah kaitan pengetahuan bersifat peka
terhadap konteks.
Artinya, ketika kita menghubungkan pengetahuan dengan seseorang,
konteks di mana kita menggunakan istilah 'pengetahuan' akan menentukan
standar yang relatif dengan mana "pengetahuan" dapat dikaitkan (atau
ditolak). Jika kita menggunakannya dalam konteks percakapan sehari-hari,
kontekstualis mempertahankan, sebagian besar klaim kita untuk
"mengetahui" sesuatu itu benar, terlepas dari usaha skeptis untuk
menunjukkan bahwa kita hanya tahu sedikit atau tidak sama sekali. Tetapi
jika istilah 'pengetahuan' digunakan saat hipotesis skeptis sedang dibahas,
kita dianggap "hanya tahu" sedikit sekali, jika ada. Kontekstual
menggunakan ini untuk menjelaskan mengapa argumen skeptis dapat
bersifat persuasif, sementara pada saat bersamaan, itu berguna melindungi
kebenaran klaim biasa kita untuk "mengetahui" banyak hal.
Penting untuk dicatat bahwa teori ini tidak memungkinkan seseorang dapat
memiliki pengetahuan pada satu saat dan bukan yang lain, karena ini tidak
akan menjadi jawaban epistemologis yang memuaskan. Kontekstualisme apa
yang dimaksud adalah bahwa dalam satu konteks, ucapan pengaitan
pengetahuan bisa benar, dan dalam konteks standar pengetahuan yang lebih
tinggi, pernyataan yang sama bisa salah. Hal ini terjadi dengan cara yang
sama seperti 'saya' dapat digunakan dengan benar (oleh orang yang berbeda)
untuk merujuk pada orang yang berbeda pada saat bersamaan.

11
Dengan demikian, standar untuk menghubungkan pengetahuan dengan
seseorang, klaim kontekualis, bervariasi dari konteks pengguna satu ke yang
berikutnya. Jadi, jika saya mengatakan "John tahu bahwa mobilnya ada di
depannya", ucapannya benar jika dan hanya jika (1) John percaya bahwa
mobilnya ada di depannya, (2) mobil sebenarnya ada di depan dari dia, dan
(3) John memenuhi standar epistemis yang dipilih oleh konteks (pembicara
saya). Ini adalah akun pengetahuan kontekstual yang longgar, dan ada
banyak teori pengetahuan yang berbeda secara signifikan yang sesuai dengan
template kontekstual ini dan dengan demikian masuk dalam bentuk
kontekstual.
F. Kritik
Namun, epistemologi kontekstual telah dikritik oleh beberapa filsuf.
Kontekstualisme bertentangan dengan bentuk umum Invariantisme , yang
mengklaim bahwa pengetahuan tidak sensitif konteks (yaitu invarian).
Kritik yang lebih baru telah dalam bentuk teori saingan, termasuk Subject-
Sensitive Invariantism (SSI), terutama karena karya John Hawthorne
(2004), dan 'Interest-Relative Invariantism' ' (IRI), karena Jason Stanley
(2005).
SSI mengklaim bahwa ini adalah konteks subjek atribusi pengetahuan
yang menentukan standar epistemik, sedangkan kontekstualisme yang
mempertahankannya adalah penyumbangnya. IRI, di sisi lain, berpendapat
bahwa ini adalah konteks kepentingan praktis subjek atribusi pengetahuan
yang menentukan standar epistemik. Stanley menulis bahwa IRI yang
telanjang adalah "hanya klaim bahwa seseorang atau tidak mengetahui
bahwa p dapat ditentukan sebagian oleh fakta-fakta praktis tentang
lingkungan subjek."
("Kontekstualisme" adalah keliru untuk salah satu bentuk Invariantisme,
karena "kontekstualisme" di antara para ahli epistemologis dianggap
terbatas pada klaim tentang sensitivitas konteks dari pengetahuan (atau kata
"tahu"). Jadi, setiap pandangan yang mempertahankan bahwa sesuatu selain
pengaitan pengetahuan bersifat sensitif terhadap konteks tidak secara tegas

12
merupakan bentuk kontekstualisme). DeRose (2009) menanggapi serangan
baru-baru ini terhadap kontekstualisme, dan berpendapat bahwa
kontekstualisme lebih unggul dari saingan terakhir ini.
Sebuah alternatif untuk kontekstualisme yang disebut contrastivism telah
diusulkan oleh Jonathan Schaffer. Kontrasepsi, seperti kontekstualisme,
menggunakan pendekatan semantik untuk mengatasi masalah skeptisisme.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Relativisme adalah suatu paham yang terdiri dari beragam argumen.Di balik
beragam argumen tersebut, ada satu yang sama, yakni bahwa realitas, dan
seluruh aspeknya, termasuk pikiran, moralitas, pengalaman, dan penilaian
manusia, tidaklah mutlak, melainkan relatif posisinya pada sesuatu yang lain.
Nuansa relativistik bisa kita temukan hampir di setiap aliran filsafat. Tentu saja
dalam beberapa hal, seperti dalam upaya memahami budaya masyarakat lain,
nuansa relativistik semacam itu amatlah berguna, sehingga kita tidak
memutlakkan nilai-nilai yang kita miliki.
Aliran-aliran relativisme dapat terbagi mnejadi beberapa macam, diantaranya
yaitu:
1. Relativisme Antropologis
2. Relativisme Filosofis
3. Relativisme Deskriptif
4. Relativisme Normatif
5. Relativisme Metafisik
6. Relativisme Epistemologis
7. Perpektivisme
8. Relativisme moral
9. Relativisme estetika

B. Saran
Kami menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami
mengharapkan saran dari berbagai pihak.
1. Dari pihak dosen, Kami mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan
makalah ini.
2. Untuk para mahasiswa, kami mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat
dan berguna sebagai pelengkap belajar.

14
DAFTAR PUSTAKA

Dio (2020, 04 Desember). Relativisme: Pengertian, Filsafat, Aliran, Etika. Dikutip


11 Oktober 2020 dari Feelsafat:
https://www.feelsafat.com/2020/11/relativisme.html
Wattimena, Reza. 2012. Relativisme dan Hati Nurani. Dikutip 11 Oktober 2020
dari rumah filsafat: https://rumahfilsafat.com/2012/02/25/relativisme-dan-
hati-nurani/

15

Anda mungkin juga menyukai