Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

HAKIKAT KRITISISME DAN POSTIVISME DALAM FILSAFAT


BESERTA PARA TOKOHNYA
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Filsafat
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Kisyani Laksono, M.Hum.

Disusun oleh :
1. Wifaq Febi Rohadatul Aisy Nur (23020144176)
2. Diah Anita (23020144179)
3. Amelia Afidatun Ni’mah (23020144188)
4. Mochammad Wahyu Ramadhan (23020144202)

PRODI SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2024
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT
atas segala rahmat-Nya sehingga makalah berjudul “Hakikat Kritisisme dan
Positivisme dalam Filsafat” dapat tersusun hingga selesai. Shalawat dan salam kami
curahkan kepada nabi besar, Nabi Muhammad SAW.
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah
Pengantar Filsafat. Selain itu, pembuatan makalah ini juga memiliki tujuan agar
menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis maupun pembaca.
Sebagai akhir dari pengantar ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah ikut membantu kelancaran proses pembuatan makalah ini. Sebelum
itu, kami sangat menyadari keterbatasan dari pengetahuan kami hingga makalah ini
masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran agar ke depannya dapat
semakin lebih baik lagi. Akhir kata, semoga makalah ini dapat berguna bagi para
pembaca dan pihak-pihak lain yang berkepentingan, aamiin.

Surabaya, 21 Februari 2024

Penulis,

2 | HAKIKAT KRITISISME DAN POSTIVISME DALAM FILSAFAT BESERTA PARA TOKOHNYA


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................... 2


DAFTAR ISI ........................................................................................ 3
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ...................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ................................................................. 4
1.3 Tujuan .................................................................................... 4
BAB 2 ISI ............................................................................................. 5
2.1 Definisi Filsafat Kritisisme .................................................. 5
2.2 Tokoh-tokoh Kritisisme ........................................................ 5
2.2.1 Immanuel Kant .............................................................. 5
2.2.2 David Hume .................................................................. 6
2.2.3 Karl Popper ................................................................... 9
2.3 Definisi Filsafat Positivisme ................................................. 12
2.4 Tokoh-tokoh Positivisme ...................................................... 12
2.4.1 Auguste Comte ............................................................. 12
2.4.2 Ernst Mach ................................................................... 13
2.4.3 Ludwig Wittgenstein .................................................... 14
2.5 Perbandingan Filsafat Kritisisme dan Positivisme ............... 16
BAB 3 PENUTUP ................................................................................ 18
3.1 Kesimpulan .......................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 19

3 | HAKIKAT KRITISISME DAN POSTIVISME DALAM FILSAFAT BESERTA PARA TOKOHNYA


BAB 1
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Istilah pertarungan antara akal dan hati merupakan filsafat, yakni baik akal ataupun
hati mampu untuk mengendalikan jalan hidup manusia. Seharusnya, akal dan hati itu harus
balance atau seimbang dan serasi, hal itu dikarenakan kedua unsur tersebut sangat penting
dalam menuntun kehidupan manusia. Oleh karena itu, jika hanya menggunakan salah satunya
saja, maka dapat membahayakan kehidupan manusia. Ahmad Tafsir dalam bukunya yang
berjudul Filsafat Umum mengatakan bahwa filsafat secara bahasa ialah keinginan yang
mendalam untuk mendapat kebijakan atau keinginan yang mendalam untuk menjadi bijak.
Mengutip pendapat dari Poedjawijatna di dalam buku Ahmad Tafsir, ia mendefinisikan
filsafat sebagai sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya
bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka. Sebagaimana kalimat pembuka, bahwa
pertarungan akal dan hati yang dikatakan dengan filsafat. Akal di sini bermaksud pada logis
yang bertempat di kepala, sedangkan hati ialah rasa yang kira-kira bertempat di dalam dada.
Akal itulah yang menghasilkan pengetahuan logis yang disebut dengan filsafat, sedangkan
hati pada dasarnya menghasilkan pengetahuan.
Dunia pemikiran tentu akan sangat mempengaruhi roda kehidupan manusia. Manusia
melihat adanya kemajuan ilmu pengetahuan telah mencapai hasil yang menggembirakan. Di
sisi lain, jalannya filsafat tersendat-sendat. Diperlukan upaya agar filsafat dapat berkembang
sejajar dengan ilmu pengetahuan alam. Aliran Rasionalisme dan Empirisme sangat bertolak
belakang. Rasionalisme berpendirian bahwa rasio merupakan sumber pemikiran atau
pengetahuan. Sedangkan Empirisme berpendirian bahwa pengalaman menjadi sumber
pemikiran. Dari sini muncullah tokoh Immanuel Kant dengan filsafatnya, yaitu filsafat
Kritisisme yang berusaha menyelesaikan pertentangan antara kedua filsafat tersebut. Dan
yang kedua adalah dalam kajian Filsafat, terdapat istilah yang disebut dengan Positivisme.
Positivisme ditengarai sebagai paham yang mempengaruhi pesatnya perkembangan Ilmu
pengetahuan saat ini. Dalam catatan sejarah Positivisme dengan metodenya mampu
mempengaruhi penganutnya untuk bangkit membuat temuan- temuan ilmiah yang sangat
spektakuler sampai saat ini. Munculnya paham ini bertepatan dengan masa Renaissance yang
dikenal sebagai masa kebangkitan filsafat.

4 | HAKIKAT KRITISISME DAN POSTIVISME DALAM FILSAFAT BESERTA PARA TOKOHNYA


Pemahaman kritisisme dan positivisme penting dalam sejarah pemikiran filsafat karena
keduanya menawarkan pandangan yang berbeda tentang sifat pengetahuan dan cara kita
memahami dunia. Kritisisme, seperti yang dikembangkan oleh Immanuel Kant, menekankan
pentingnya pertanyaan kritis dan evaluasi terhadap asumsi-asumsi yang mendasari
pengetahuan kita. Sementara itu, positivisme, seperti yang diusung oleh Auguste Comte,
menekankan pengamatan empiris dan pengujian empiris sebagai dasar dari pengetahuan yang
sah. Pemahaman yang baik tentang kedua aliran pemikiran ini memungkinkan kita untuk
lebih mendalam memahami akar dan perkembangan filsafat modern serta implikasi
filosofisnya dalam berbagai bidang keilmuan.

2. Rumusan Masalah

1. Apa definisi filsafat Kritisisme ?


2. Siapa saja tokoh-tokoh dalam filsafat Kritisisme ?
3. Apa definisi filsafat Positivisme ?
4. Siapa saja tokoh-tokoh dalam filsafat Positivisme ?
5. Bagaimana perbandingan antara filsafat Kritisisme dan Positivisme ?

3. Tujuan

1. Menjelaskan definisi filsafat Kritisme dan Positivisme


2. Memaparkan tokoh-tokoh dalam filsafat Kritisme
3. Menjelaskan definisi filsafat Positivisme
4. Memaparkan tokoh-tokoh dalam filsafat Positivisme
5. Menjabarkan perbandingan antara filsafat Kritisisme dan Positivisme

BAB 2
ISI

2.1 Filsafat Kritisisme


Kritisisme di sini adalah untuk menguji kemampuan rasio dan menentukan batas
batasnya sebelum menggunakan rasio tersebut, yang di mana berperan untuk membangun
suatu sistem pemikiran (Nirasma, 2020). Ada juga yang dimaksud dengan transendental,
5 | HAKIKAT KRITISISME DAN POSTIVISME DALAM FILSAFAT BESERTA PARA TOKOHNYA
transendental sendiri adalah sebuah pengetahuan yang di mana bersumber dari apriori atau
berpraanggapan sebelum mengetahui keadaan sebenarnya, yang mana dalam sistemnya
terdapat makna untuk kesahihan pengetahuan yang berasal dari apriori tersebut, dengan
menggabungkannya dalam rasio untuk menganalisis apa yang ada atau dengan objek objek
dunia luar. Istilah kritisisme (transendental) yang diterapkan oleh Immanuel Kant ini sering
kali disalahpahami oleh khalayak, karena dilihat lagi bahwa sering muncul dalam halaman
halaman karya Immanuel Kant para pembaca awam terkadang terdorong untuk menganggap
bahwa ia berusaha memberikan cara mengakses segala hal yang sepenuhnya berada di luar
dunia ini, anggapan orang-orang tersebut tentu saja keliru (Aiken, 2020).
Adapun beberapa argumen dari Immanuel Kant, dari beberapa argumen yang
dimunculkan Immanuel Kant memunculkan lagi beberapa persoalan mengenai gagasan
Berkeley yang dimana mempersoalkan mengenai ketidakjelasan ide kali ini milik siapa. Yang
menyadari bahwa aku adalah ada karena aku berpikir demikian juga gagasan Rene Descartes
tentang keakuannya, muncul kembali persoalan mengenai apakah ide saya sendiri atau ide
dari Allah (Muthmainnah, 2018). Maka dari itu, Immanuel Kant memiliki gagasan bahwa
pengetahuan tersebut terjalin atas dasar pengetahuan apriorinya Immanuel Kant yang dengan
itu bahwa segala sesuatu yang ada, akan tetapi inderawi serta akan sehat kita terbatas akan
benda tersebut, maka dari itu pengetahuan tersebut dikatakan dengan kritisisme
(transendental).

2.2 Tokoh-Tokoh Filsafat Kritisisme


Beberapa tokoh yang mendasari filsafat Kritisisme antara lain :
2.2.1 Immanuel Kant
Immanuel Kant adalah seorang filsuf terkenal asal Jerman yang hidup pada abad
ke-18. Dia adalah seorang pemikir yang sangat berpengaruh dalam Sejarah filsafat.
Immanuel Kant lahir di Kalinigrad, Rusia pada tanggal 22 April 1724. Dia adalah anak
keempat dari Sembilan bersaudara. Ayahnya seorang tukang jahit yang berasal dari
Prussia, dan ibunya berasal dari Skotlandia. Immanuel Kant memnulai studinya pada
usia16 tahun di Universitas Königsberg, dia belajar fisafat, matematika, dan juga sains
alam. Dan menyelesaikan gelar doktornya pada tahun 1755. Dia juga adalah seorang
profesor di Universitas Königsberg selama 40 tahun. Dia mengajar filsafat pada tingkat
universitas dan beberapa karyanya yang paling terkenal ditulis pada periode ini. Dalam
karirnya, dia menerbitkan karya-karya seperti “Kritik Aristotelian Sang Akal Pikiran
Rasio” dan “Dasar-dasar Metafisika Moral.” Salah satu kontribusi besar Kant adalah
dalam bidang etika. Dia mengembangkan teori etika kategoris imperatif, yang
menyatakan bahwa aturan moral harus bersifat universal dan harus didasarkan pada
moralitas murni. Immanuel Kant juga memainkan peran penting dalam perkembangan
filsafat epistemologi. Dia berpendapat bahwa manusia hanya bisa memahami dunia
melalui kategori-kategori bentuk pemikiran apriori dan tidak bisa memahami dunia itu
sendiri sejauh ia yang tampak. Ini dikenal sebagai “Kopernikanikan balik.”

6 | HAKIKAT KRITISISME DAN POSTIVISME DALAM FILSAFAT BESERTA PARA TOKOHNYA


Immanuel Kant menyoroti pentingnya pemikiran kritis dan otonom manusia
dalam mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang realitas. Salah satu
kontribusi penting Immanuel Kant dalam bidang kritisisme adalah pemisahan yang
tegas antara hal hal yang dapat diketahui melalui pengalaman (fenomena) dan aspek
aspek yang melebihi batas pengetahuan manusia (noumena). Dalam karyanya “Critique
of Pure Reason” (Kritik Der Reinen Vernunft), Immanuel Kant mengajukan bahwa
meskipun kita dapat mengamati dunia melalui indra kita, pengetahuan kita tentang
dunia ini selalu terbatas dan ditentukan oleh struktur kognitif yang melekat pada pikiran
kita. Dengan demikian, Immanuel Kant menekankan bahwa realitas sejati di luar
pengetahuan kita tetap menjadi misteri yang tidak dapat dipahami dengan sepenuhnya.
Pandangan Kant tentang kritisisme juga menekankan pentingnya akal budi atau reason
dalam memahami dunia.
Menurut Immanuel Kant, akal budi adalah kemampuan dalam kita yang
memungkinkan untuk mengatur dan memahami indra serta pengalaman kita dalam
kerangka konsep dan kategori yang ditentukan oleh pikiran kita. Kant percaya bahwa
kita tidak hanya menerima pengetahuan dari pengalaman belaka, tetapi kita juga
berkontribusi dalam pembentukan pengetahuan melalui struktur kognitif kita sendiri.
Inilah yang dikenal dengan “transendental deduction,” yaitu kemampuan kita dalam
memberikan bentuk dan makna pada pengalaman kita. Kritisisme Immanuel Kant juga
membawa konsekuensi filosofis yang signifikan, terutama dalam pemahaman tentang
etika dan agama. Immanuel Kant mengusulkan bahwa etika harus didasarkan pada
kewajiban moral yang rasional, yang disebutnya “imperatif kategoris.” Ia juga
menegaskan perlunya untuk menghargai martabat manusia dan menghindari
memperlakukan manusia sebagai sarana semata. Dalam bidang agama, Kant
mengajukan gagasan tentang “iman yang rasional” yang di mana keyakinan dan
tindakan agama harus dapat dipertanggungjawabkan oleh akal budi manusia, tanpa
ketergantungan pada otoritas agama eksternal. Inti dari kritisisme Immanuel Kant, yang
mencakup pemisahan fenomena dan noumena, peran akal budi dalam memahami dunia,
serta konsekuensi filosofis dalam etika dan agama. Pandangan pandangan ini telah
memberikan fondasi penting bagi pemikiran filsafat modern dan terus menjadi objek
studi dan diskusi hingga saat ini.
2.2.2 David Hume
David Hume seorang Skotlandia, yang dilahirkan dan dibesarkan di sebuah
perkebunan kecil milik keluarga di Ninewells yang terletak 9 mil dari Berwick,
Edinburgh. David Hume lahir pada tanggal 26 April 1711. Dia adalah anak kedua dari
pasangan keluarga terpandang Josep Hume dan Cathrine Falconer. Sang ayah adalah
seorang tuan tanah yang sangat dihormati di tengah masyarakat. Dan sang ibu
Catherine adalah putri dari Sir David Falconer, yang di mana ia adalah seorang
President of the Scottish court of Session. Yang di mana artinya David Hume
dibesarkan di keluarga pengusaha di pihak ayah dan pakar hukum di pihak ibu. Tetapi
masih banyak informasi yang belum diketahui dari kehidupan David Hume terkecuali
7 | HAKIKAT KRITISISME DAN POSTIVISME DALAM FILSAFAT BESERTA PARA TOKOHNYA
terdapat sebuah biografi singkat yang ditulisnya tepat 4 tahun sebelum meninggal yang
berjudul “My Own Life.”
Skeptisisme dapat dipahami sebagai : the theory that we do not have any
knowledge (or almost no knowledge ). We can not be completely certain that
practically any of our beliefs are true. Maksudnya manusia sesungguhnya tidak
memiliki ilmu pengetahuan yang utuh terhadap sesuatu hal, sehingga mereka pun tidak
dapat menklaim bahwa kepercayaan atau keimanan yang mereka miliki sesungguhnya
mutlak benar. Skeptisme dapat dibagi pada dua tingkatan. Pertama, skeptisme global
yang menegaskan bahwa manusia tidak mengetahui satu pun atau sekurangnya sangat
mendekati ketidaktahuan itu. Kedua, skeptisme lokal yang berpendirian bahwa
kalaupun manusia dapat mengetahui sesuatu maka manusia tidak dapat mengetahui
aspek-aspek di luar dari dirinya (external world), induksi (induction), Aku (the self),
kebebasan (free will) dan masalah metafisik lainnya. Lawan dari skeptisme adalah
Dogamatisme, berasal dari bahasa Yunani dogma bermakna opini (opinion) atau
kepercayaan (belief) . Inti dari paham dogmatisme adalah keyakinan bahwa manusia
dapat memiliki ilmu pengetahuan tentang segala sesuatu.
Dalam khazanah filsafat dan teologi, teori kausalitas (causal relationship)
merupakan isu yang fundamental. Prinsip teori ini menegaskan bahwa setiap peristiwa
harus mempunyai sebab dan setiap sebab niscaya melahirkan akibat alaminya. Hukum
sebab-akibat merupakan eksistensi yang signifikan. Teori kausalitas atau sebab-akibat
bahkan sangat penting pada tataran rekonstruksi ilmu pengetahuan. Tokoh empirisme
David Hume dari golongan filosof Barat menekankan bahwa pengalaman lebih
memberi keyakinan daripada kesimpulan logika an sich atas keniscayaan sebab-akibat.
Hume berpendapat bahwa proses kausalitas adalah proses hubungan dan saling
berurutan yang secara konstan terjadi. Hume yang menganut paham empirisme
bersikeras dalam mereduksi pengetahuan berdasarkan data-data yang dapat ditangkap
panca indra. Namun di sisi lain, sikap skeptis Hume membawa pengaruh pada
merosotnya paham deisisme dengan cepat pada pertengahan tahun 1770-an.
Pandangan David Hume tentang kausalitas turut menginspirasi peneliti untuk
berefleksi secara tepat. Beberapa konsep yang digunakan empirisme di antaranya
bahwa segala pengetahuan bersumber dari panca indera dan pengamatan. Hukum
sebab-akibat bukanlah proses abstraksi faktor penyebab dan dampak. Teori
Epistemologi Hume merupakan pemikir yang menolak bahwa sumber pengetahuan ada
dua. Ia meyakini bahwa sumber pengetahuan hanya ada satu yaitu persepsi dari indra.
Penolakan bagi kaum rasionalis dilakukan Hume terhadap gagasan mengenai ide
bawaan. Ia memberikan penolakan dengan mengemukakan pandangan mengenai
persepsi berbentuk kesan dan ide. Hume menolak gagasan rasionalisme yang
menyatakan bahwa pemahaman terhadap dunia dilakukan dengan hubungan interelasi
yang berlandaskan ontologi ide bawaan. Di sisi lain, Hume menolak pandangan tokoh
empirisme lain, yaitu John Locke dan George Berkeley. Pandangan yang ditolaknya
adalah mengenai adanya keterbatasan metode empiris. Penolakan ini dilakukan dengan
8 | HAKIKAT KRITISISME DAN POSTIVISME DALAM FILSAFAT BESERTA PARA TOKOHNYA
memberikan gagasan bahwa hakikat manusia menjadi dasar bagi semua ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan tentang manusia hanya dapat dipahami melalui
metode-metode ilmu pengetahuan alam. Pendapatnya ini didasarkan kepada kenyataan
mengenai keberhasilan ilmu-ilmu alam dalam pengetahuan tentang manusia. Hume
menolak gagasan mengenai sumber pengetahuan yang dikemukakan oleh Plato dan
René Descartes. Ia menyatakan bahwa pemahaman dunia metafisika melalui rasio yang
dikemukakan oleh Plato merupakan suatu bentuk ilusi dan kebohongan.
Pada konteks melihat fenomena kausalitas, Hume mengajukan pertanyaan yang
sangat umum yakni kesan apa yang memunculkan gagasan tentang adanya sebab
(cause)? Terhadap pertanyaan ini, Hume menggunakan prinsip empirisme skeptis yang
telah dia rintis. Prinsipnya, jika tiada kesan yang muncul, maka tiada gagasan yang
didapat, dan jika tiada gagasan maka perihal demikian tidak layak disebut pengetahuan.
Dengan kata lain, jika tidak ada kesan maka gagasan menjadi tidak bermakna. Lewat
penerapan prinsip empirisme, Hume kemudian mengajukan pertanyaan yang
kelihatannya sederhana tetapi fundamental. Kesan apa jika ada yang memunculkan
gagasan adanya sebab (cause) ? Bagi Hume, yang pertama adalah bahwa gagasan
kausalitas (sebab-akibat) harus muncul dalam pikiran dari bagaimana cara suatu objek
saling berkaitan.
Kedekatan, konjungsi, dan keterkaitan gagasan kausalitas sehari-hari menurut
Hume muncul dari kesan (impression) kita atas hubungan antara dua objek, yaitu :
a. Hubungan kedekatan atau kontak, menjelaskan kita biasanya
mempertimbangkan bahwa untuk menjadi sebab, sesuatu bersentuhan dengan
sesuatu yang disebabkan. Misalnya, seperti saat kita melihat sebuah bola biliar
menggelinding menuju bola lainnya dan bersentuhan. Ketika bola kedua
bergerak, kita akan mengatakan bahwa bola pertamalah yang menyebabkan bola
kedua bergerak.
b. Hubungan lain antar-objek yang penting bagi gagasan kausalitas sehari-hari
adalah bahwa akibat pasti dengan segera mengikuti sebab. Dengan kata lain,
sebab harus mendahului akibat. Kita menganggap bola biliar 1 sebagai sebab
pergerakan bola biliar 2 ketika mendapatkan dua kesan hubungan antara kedua
bola tersebut, yaitu bahwa bola biliar 1 dalam ruang berdekatan dengan bola
biliar 2 dan pergerakannya (bola 1) merupakan pendahulu sementara atas
pergerakan bola 2. Dua hubungan ini tergabung, sebab (cause) berdekatan
secara ruang dengan akibat (effect) dan menjadi pendahulu sementara terhadap
akibat, Hume menamakannya hubungan berdekatan (conjunctional).

2.2.3 Karl Popper


Sir Karl Raymund Popper merupakan seorang filsuf dan profesor asal Vienna dan
Inggris. Dia juga disebut sebagai filsuf terbesar abad 20 dibidang filsafat ilmu. Popper
terkenal dengan gagasan falsifikasinya, yang mana merupakan lawan dari verifikasi
9 | HAKIKAT KRITISISME DAN POSTIVISME DALAM FILSAFAT BESERTA PARA TOKOHNYA
terhadap ilmu. Saat memasuki usia 17 tahun Popper sempat menganut aliran politik
komunisme. Beberapa waktu kemudian Popper meninggalkan aliran politik tersebut
sambil mengkritik para pengikutnya yang menerima ajaran tersebut dengan tidak kritis.
Tahun 1919 merupakan tahun ketika Popper menemukan teori baru yang
mempengaruhi perkembangan intelektual dalam filsafatnya. Hal tersebut adalah
tumbangnya teori Newton oleh konsep dan pemikiran baru dari Einstein.
Teori mengenai gaya berat dan kosmologi baru yang ditemukan oleh Einstein
tersebut telah menjadikan Popper terkesan, karena Einsten mengatakan bahwa teorinya
tersebut tidak akan mampu dipertahankan jika gagal dalam tes tertentu. Hal ini
bertentangan dengan pemahaman kaum marxisme yang cenderung selalu melakukan
verifikasi atas teori-teori yang mereka anggap benar, kaum marxisme merupakan aliran
yang cukup dogmatis. Dari peristiwa inilah, Popper menemukan pemahaman baru
bahwa sikap ilmiah merupakan sikap kritis dengan tidak mencari-cari pembenaran,
melainkan melakukan pengujian yang nantinya dapat menyangkal teori yang telah diuji
(Saepullah, 2020).
Gagasan Popper ini merupakan kritik terhadap kecenderungan pandangan
positivisme yang mendominasi pada masa tersebut. Popper berusaha melakukan
perbaikan dalam proses melahirkan sebuah konsep dan teori ilmu pengetahuan, hal ini
bermaksud untuk menjauhkan teori tersebut dari subjektivitas dan kesalahan yang fatal.
Dalam hal ini proses peninjauan ilmu pengetahuan haruslah bersinggungan dengan
filsafat. Popper beranggapan bahwa prinsip ilmu pengetahuan harus berhubungan erat
dengan falsifikasi. Falsifikasi merupakan cara pandang terhadap sesuatu berdasarkan
dari sisi kesalahan. Jika memandang suatu teori tersebut salah, maka berbagai upaya
yang dilakukan untuk membuktikan teori tersebut memang salah, hingga akan
dibuatkan teori baru untuk menggantikannya.
Inti dari pemikiran Poper adalah pendapatnya tentang asimetri logis (logical
asymmetry) antara verification dan falsifiability yang menginspirasi beliau untuk
mengambil falsifiability sebagai kriteria batas pemisah antara ilmiah, dan yang non
ilmiah. “Satu teori harus dipandang ilmiah jika, dan hanya jika, ia dapat difalsifikasi.”
Muhammad Muslih menyatakan bahwa falsifikasi merupakan suatu upaya untuk
mencari data tandingan dari suatu teori melalui eksperimen ilmiah. Hal yang demikian
tersebut merupakan inti dari “prinsip falsibilitas.” Suatu teori yang bekerja dengan cara
mengeksklusifkan kemungkinan-kemungkinan yang ada demi mendapatkan teori baru
yang dapat menentang atau menjatuhkan teori sebelumnya, menurut Popper suatu hal
yang pasti tidak bersifat ilmiah (Saepullah, 2020). Sebuah kesimpulan tunggal
(acceptable) atau terbukti (verivied) akan didapatkan ketika telah dilakukan pengujian,
sehingga teori tersebut dapat dikatakan lolos untuk sementara waktu. Namun demikian,
jika nanti kesimpulan-kesimpulan tersebut dapat diuji kesalahannya (falsified) maka
falsifikasinya juga memfalsifikasi teori yang dari sana disimpulkan secara logis.

10 | HAKIKAT KRITISISME DAN POSTIVISME DALAM FILSAFAT BESERTA PARA TOKOHNYA


Melihat pada masa lalu sejarah dan perjalanan Islam, konsep falsifikasi yang di
populerkan oleh Karl Popper ini sebenarnya telah ada jauh sebelum teori tersebut lahir.
Dalam sejarah Islam, konsep falsifikasi sudah diterapkan dalam keilmuan islam sejak
lama. Seperti pada zaman Nabi Muhammad SAW dengan adanya tantangan untuk
menguji Al-Quran. Hal ini berupa tantangan Allah yang turun berupa wahyu untuk
kaum kafir agar membuat ayat Al-Quran. Seperti dijelaskan dalam (QS. Huud : 13)
yang artinya:
Bahkan mereka mengatakan : “Muhammad telah membuat-buat Al-Qur’an itu",
Katakanlah : “(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-
buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup
(memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar."(QS. Huud :
13).

Kaum kafir mekkah menuduh bahwa nabi Muhammad sudah mengada-adakan


Al-Quran. Mereka menuduh bahwa Al-Quran bukan wahyu berdasarkan Allah, namun
semata-mata buatan nabi Muhammad belaka. Nabi Muhammad diperintahkan untuk
menantang orang-orang kafir Quraisy, termasuk juga orang-orang yang menyangsikan
bahwa Al-Quran itu menjadi Firman Allah. Tantangan itu bahwa bila mereka
menyangsikan Al-Quran & menduga bahwa Al-Qur’an hanya bikinan Muhammad saja,
bukan wahyu Allah, maka mereka diminta menciptakan sepuluh surat yang sama
menggunakan Al-Quran yang isinya meliputi hukum-hukum (syariat) kemasyarakatan,
hikmah, nasihat, keterangan mistik mengenai umat yang terdahulu & insiden yang akan
datang menggunakan susunan istilah-istilah yang sangat latif & halus sukar ditiru sang
siapa pun, lantaran ketinggian bahasanya yang memiliki efek yang sangat mendalam
pada jiwa tiap-tiap orang yang membaca & mendengarnya (Harahap, 2013).
Setelah adanya tantangan untuk menguji dan membuat Al-Qur’an, terbukti bahwa
tidak ada seorang pun kaum kafir yang mampu untuk melakukannya. Dari peristiwa ini
terbukti bahwa kaum kafir sama sekali tidak bisa menemukan kesalahan ataupun
kekurangan dalam Al-Qur’an, malah sebaliknya semakin mereka berusaha untuk
menjatuhkan Al-Qur’an, maka semakin kuat pula kebenaran Al-quran tersebut yang
mereka dapatkan. Berdasarkan sejarah ini dapat disandingkan dengan konsep falsifikasi
Poper yang mengatakan bahwa “semakin kuat suatu teori diuji, maka semakin
kokohlah kebenarannya” sesuai dengan konsep yang ada dalam sejarah peradaban
Islam. Dengan upaya-upaya penyangkalan terhadap Al-Qur’an, sama sekali tidak dapat
melemahkan kebenarannya sedikit pun.
Pada tahun 1934, Popper menggebrak dunia filsafat dengan bukunya yang
berjudul “The Logic Scientific Discovery”. Dalam bukunya tersebut Popper melakukan
banyak kritik terhadap kecenderungan metodologi sains di masa itu yang didominasi
oleh kaum yang menganut ajaran Positivisme. Salah satu pokok filsafat Popper adalah
bahwa yang kita sebut pengetahuan ilmiah sebenarnya hanyalah pendapat atau
kesimpulan yang didasarkan atas informasi yang tidak lengkap dan pada prinsipnya
selalu dapat digantikan dengan sesuatu yang mungkin lebih mendekati kebenaran.
11 | HAKIKAT KRITISISME DAN POSTIVISME DALAM FILSAFAT BESERTA PARA TOKOHNYA
Popper berargumen bahwa proses verifikasi itu lemah karena hanya bekerja melalui
logika induksi (penyimpulan suatu teori umum dari pembuktian fakta-fakta partikular).
Karl Popper lebih condong untuk menggunakan falsifikasi. Jadi fokus penelitian
sains bukanlah pembuktian positif, namun pembuktian negatif. Teori falsifikasi Popper
di pandang memiliki kontribusi besar bagi perkembangan ilmu, terutama dalam mengisi
kekosongan metode ilmiah yang di tinggalkan karena hanya terfokus pada metode
induktif. Berbeda dengan gagasan falsifikasi, di dalamnya terdapat kritik untuk menguji
kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam sebuah teori atau ilmu. Semakin suatu teori
atau ilmu bertahan dari kritik atau dari upaya penyingkapan kesalahannya maka
semakin benar keberadaan teori itu. Popper menghindari dua hal yang ekstrim, yakni
pandangan obyektifisme yang memandang hukum alam ada pada kenyataan fisik dan
pandangan subyektifisme yang beranggapan bahwa hukum alam adalah dimiliki dan
dikuasai oleh manusia. Menurutnya, manusia terus bergerak semakin mendekati
kebenaran. Metodelogi atau logika penemuan ilmiah yang dikembangkan Popper dalam
bukunya Logic of Scientific Discovery hanya terdiri dari aturan untuk menilai sebuah
teori yang sudah dirumuskan, dimana dalam pandangan Popper tersebut ditegaskan
bahwa teori ilmiah tidak didasarkan atau dikukuhkan oleh fakta melainkan dirontokkan
olehnya.

2.3 Positivisme
Positivisme adalah pendekatan filosofis yang menekankan pentingnya pengalaman
empiris dan observasi dalam membangun pengetahuan. Pendekatan ini mengajar bahwa
pengetahuan yang sahih dapat diperoleh melalui metode ilmiah yang terstruktur, seperti
eksperimen, survei, dan observasi. Positivisme menekankan pentingnya bukti empiris,
metode ilmiah, dan pendekatan kritis dalam memahami alam semesta.
Positivisme berasal dari paradigma ilmu pengetahuan yang berakar pada filsafat
empirisme. Filsafat empirisme mengajarkan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau
parsial didasarkan pada pengalaman yang menggunakan indera, bahwa sumber pengetahuan
harus dicari dalam pengalaman. Para pengikut aliran empirisme berpandangan bahwa semua
ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami,
pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan dan bukan akal.
August Comte, seorang filsuf berkebangsaan Prancis yang hidup di abad 18, dikenal
sebagai tokoh pencetus Positivisme. Istilah Positivisme sendiri pertama kali diperkenalkan
oleh Saint Simon pada sekitar tahun 1825, namun baru dikenal luas sejak August Comte
menulis karyanya yang berjudul “Cours de Philosop Positive”. Positivisme mengajarkan
bahwa pengetahuan yang sahih dapat diperoleh melalui metode ilmiah yang terstruktur,
seperti eksperimen, survei, dan observasi. Positivisme menekankan pentingnya bukti empiris,
metode ilmiah, dan pendekatan kritis dalam memahami alam semesta. Positivisme juga
memiliki beberapa kritik, seperti kritik terhadap pendekatan analitik, sistematik, dan induktif.
Kritik ini menganggarkan bahwa pendekatan positivisme tidak mencakup aspek subjektif.
Positivisme adalah pendekatan filosofis yang sangat berpengaruh dalam pembangunan
pengetahuan, karena ia mengajar bahwa pengalaman empiris dan observasi adalah sumber
12 | HAKIKAT KRITISISME DAN POSTIVISME DALAM FILSAFAT BESERTA PARA TOKOHNYA
utama dari pengetahuan. Pendekatan ini memiliki beberapa konsep yang penting, seperti
empirisme, logis, metode ilmiah, dan pendekatan kritis. Positivisme juga memiliki beberapa
kritik, tetapi ia masih sangat berpengaruh dalam pembangunan pengetahuan karena
kemampuannya untuk mengumpulkan dan menganalisis data empiris.

2.4 Tokoh-tokoh
Beberapa tokoh yang mendasari filsafat Positivisme antara lain :
2.4.1 Auguste Comte
Auguste Comte, lahir pada 19 Januari 1798 dan meninggal pada 5 September
1857, adalah seorang filsuf, matematikawan, dan ilmuwan sosial terkenal yang dikenal
sebagai pendiri positivisme. Dia lahir di Montpellier, Perancis, dengan nama lengkap
Isidore Marie Auguste François Xavier Comte. Comte dianggap sebagai bapak
sosiologi karena memperkenalkan metode ilmiah dalam ilmu sosial dan menciptakan
istilah "sosiologi". Meskipun pendidikannya terganggu oleh politik dan perbedaan
agama, dia terus menulis tentang moralitas, pemerintahan, dan mengembangkan
klasifikasi ilmu pengetahuan yang masih relevan hingga hari ini. Meskipun dikenal
sebagai sosok keras kepala, ia juga diakui sebagai mahasiswa yang cerdas dan
pemberontak.
Kontribusinya terhadap ilmu sosial meliputi pengembangan teori positivisme dan
identifikasi tahap-tahap perkembangan ilmu pengetahuan, serta pendirian sosiologi
sebagai ilmu sosial yang menggunakan metode ilmiah dan teori yang dapat dibuktikan.
Positivisme Comte terdiri dari tahap-tahap perkembangan ilmu pengetahuan, yaitu:
a. Tahap Teologi : Mengumpulkan data dari sumber-sumber non-ilmiah.
b. Tahap Metafisika : Mengumpulkan data dari sumber-sumber non-ilmiah
dengan teori tak dapat dibuktikan.
c. Tahap Astrologi : Mengumpulkan data dari sumber-sumber non-ilmiah
dengan teori dapat dibuktikan.
d. Tahap Psikologi : Mengumpulkan data dari sumber-sumber ilmiah
namun
dengan teori tak dapat dibuktikan.
e. Tahap Sosiologi : Mengumpulkan data dari sumber-sumber ilmiah
dengan teori dapat dibuktikan.
Auguste Comte, seorang filsuf dan sosiolog Prancis, menekankan pentingnya
metodologi positif dalam ilmu pengetahuan. Baginya, ilmu pengetahuan harus didasarkan
pada fakta yang dapat dibuktikan melalui pengamatan, percobaan, dan perbandingan. Comte
juga percaya bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah memahami dan mengatur masyarakat
secara ilmiah. Dalam pandangannya, ilmu sosial harus bersifat positif dengan menggunakan
pengetahuan yang dapat diuji dan ditujukan untuk mengatasi masalah sosial.

13 | HAKIKAT KRITISISME DAN POSTIVISME DALAM FILSAFAT BESERTA PARA TOKOHNYA


2.4.2 Ernst Mach
Ernst Mach (1838 - 1916) adalah fisikawan dan filosof yang terkenal karena
karyanya dalam optik, mekanik, dan dinamika gelombang. Dilahirkan di Chirlitz,
Republik Ceko, Mach memperoleh pendidikan di rumah sebelum melanjutkan studi di
Universitas Vienna, di mana dia meraih gelar doktor fisika pada tahun 1860 dengan
tesis tentang muatan listrik dan induksi. Karirnya menampilkan berbagai peran,
termasuk menjadi profesor matematika di Universitas Graz dan kemudian profesor
fisika, di mana ia mulai menggabungkan minatnya dengan fisiologi, khususnya dalam
persepsi kecepatan suara. Pada tahun 1867, Mach bergabung dengan Universitas
Charles di Prague sebagai profesor fisiologi eksperimental, dan dari sana ia
melanjutkan penelitian tentang berbagai aspek fisiologi dan fenomena gelombang,
termasuk fenomena Doppler dan propagasi gelombang suara. Meskipun pensiun dari
pengajaran pada tahun 1901, Mach tetap aktif menulis dan terlibat dalam politik hingga
kematiannya pada tahun 1916.
Ernst Mach mengemukakan bahwa pengalaman langsung merupakan dasar
pengetahuan manusia, yang dapat bersifat inderawi baik secara langsung maupun tidak
langsung. Baginya, pengetahuan dalam ilmu fisika adalah hasil abstraksi dari
pengalaman langsung, di mana teori-teori fisika hanya berperan sebagai alat analisis
untuk membantu manusia memahami pengalaman tersebut. Mach menegaskan bahwa
teori fisika tidak mampu menjelaskan seluruh aspek dari pengalaman langsung,
sehingga hanya berfungsi sebagai instrumen analitis dalam pemahaman manusia
terhadap pengalaman langsung.
Ernst Mach menolak gagasan-gagasan metafisika dan menekankan pentingnya
fenomena yang dapat diamati. Baginya, pengetahuan berasal dari pengalaman inderawi,
baik itu langsung atau tidak langsung. Mach meyakini bahwa apa yang disebut sebagai
pengetahuan dalam ilmu fisika merupakan hasil abstraksi dari pengalaman langsung,
sementara teori fisika berperan sebagai alat analisis untuk memfasilitasi pemahaman
manusia terhadap pengalaman tersebut. Dia juga berpendapat bahwa teori fisika hanya
dapat memberikan pemahaman terbatas terhadap pengalaman langsung, sehingga hanya
berfungsi sebagai alat analisis tambahan.

2.4.3 Ludwig Wittgenstein


Ludwig Wittgenstein, lahir pada 26 April 1889 dan meninggal pada 29 September
1951, adalah seorang filsuf, matematikawan, dan ilmuwan sosial terkemuka yang
dianggap salah satu tokoh paling berpengaruh dalam bidang filsafat dan bahasa pada
abad ke-20. Dilahirkan di Wina, Austria, Wittgenstein berasal dari keluarga yang kaya
dan berpendidikan. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Linz dan Berlin, ia
berangkat ke Inggris untuk mempelajari teknik di Universitas Manchester sebelum
tertarik pada matematika dan melanjutkan studinya di Trinity College, Universitas
Cambridge, di mana ia belajar bersama Bertrand Russel. Namun, minatnya kemudian
beralih ke filsafat. Wittgenstein juga dikenal atas karya sosiologinya yang membahas
14 | HAKIKAT KRITISISME DAN POSTIVISME DALAM FILSAFAT BESERTA PARA TOKOHNYA
moralitas dan kemajuan moral, serta kontribusinya dalam mengembangkan klasifikasi
ilmu pngetahuan yang masih relevan hingga saat ini.
Kontribusi penting Ludwig Wittgenstein dalam positivisme terletak pada
pandangannya terhadap bahasa dan penggunaannya dalam membangun pengetahuan.
Wittgenstein mengembangkan prinsip pluralitas bahasa, yang menekankan bahwa studi
bahasa tidak bertujuan untuk menemukan hukum-hukum, melainkan untuk
mendeskripsikan variasi permainan bahasa dalam kehidupan manusia. Baginya, bahasa
tidak dapat dijelaskan secara parsial atau behavioristik karena memiliki dimensi yang
lebih kompleks yang mencerminkan kehidupan manusia secara menyeluruh.
Wittgenstein juga memandang bahasa sebagai objek kajian yang eksis secara
independen dan tidak memiliki hubungan kausalitas dengan hakikat manusia. Sebagai
objek material, bahasa memiliki karakter empiris dan dapat diverifikasi secara empiris
pula. Pandangan ini mencerminkan prinsip fisikalisme dalam positivisme logis, yang
menganggap bahasa sebagai sumber pengetahuan yang sepadan dengan fenomena alam
lainnya dan dapat disubjektifkan pada verifikasi seperti dalam ilmu-ilmu alam.
Dalam karyanya “Tractatus Logico-Philosophicus,” Ludwig Wittgenstein
mengkritik berbagai konsep dalam filsafat yang berkaitan dengan bahasa. Buku
Tractatus prinsipnya membahas tentang hakikat bahasa yang menggambarkan hakikat
bahasa yang menggambarkan hakikat realitas dunia fakta. Melalui teori tersebut,
Wittgenstein berpendapat bahwa hakikat makna bahasa merupakan suatu
penggambaran realitas dunia fakta yang diletakkan dalam struktur logika. Suatu
ungkapan bahasa yang berupa kalimat dalam kehidupan manusia sehari-hari jikalau
dikembalikan kepada strukturnya, maka akan kita jumpai sejumlah proposisi-proposisi
yang menggambarkan suatu realitas dunia fakta. Gambaran ini bukan merupakan suatu
kata kiasan melainkan merupakan suatu gambaran logis (Kaelan, 2003).
Bagi Wittgenstein, untuk mengatasi suatu kebingungan bahasa dalam penggunaan
logika bahasa dalam menjelaskan konsep-konsep filsafat yang menimbulkan kekaburan

makna, dimana sebenarnya banyak ungkapan yang tidak bermakna apa-apa, diperlukan
struktur logika bahasa dalam mengungkapkan realitas melalui proposisi yang
merupakan suatu gambar dan perwakilan dari suatu realitas fakta. Seseorang dapat
mengetahui situasi yang diwakili oleh proposisi tersebut, tanpa harus dijelaskan
padanya. Sebuah gambar hanya memiliki ciri sebagaimana dimiliki oleh proposisi. Ia
mewakili beberapa situasi yang dilukiskan melebihi dirinya sendiri dan tidak seorang
pun perlu menjelaskan tentang apa yang digambarkan (Kaelan, 2003).
Jenis proposisi yang paling sederhana disebut proposisi elementer yang
merupakan penjelasan keberadaan suatu bentuk peristiwa. Contoh, seseorang meyakini
adanya listrik, tapi tidak bisa menunjukkan apa yang disebut listrik tersebut. Tidaklah
tepat apabila kita menunjuk lampu pijar, kabel dan komponen lainnya sebagai apa yang
disebut listrik. Namun kita meyakini tanpa listrik tidak mungkin misalnya lampu pijar
15 | HAKIKAT KRITISISME DAN POSTIVISME DALAM FILSAFAT BESERTA PARA TOKOHNYA
menyala. Begitulah Wittgenstein meyakini keberadaan proposisi elementer, sebab tanpa
adanya proposisi elementer, tidak mungkin realitas diungkapkan ke dalam bahasa.
Selain proposisi yang menggambarkan keberadaan peristiwa, terdapat pula proposisi-
proposisi logika, yaitu kebenaran-kebenaran yang berdasarkan pada prinsip-prinsip
logis Misalnya: proposisi “Amin berada di rumah atau di luar rumah” yang merupakan
kebenaran tautologies, dan "Amin berada di rumah atau tidak berada di rumah” yang
merupakan suatu kontradiksi. Bagi Wittgenstein, proposisi logika bukanlah proposisi
sejati, sebab tidak menggambarkan sesuatu, tidak mengungkapkan suatu pikiran, juga
tidak menggambarkan suatu bentuk peristiwa atau tidak merupakan suatu gambar dari
sesuatu. Namun, proposisi logika ini tetap bermakna meski kebenarannya bersifat
tautologis (Kaelan, 2002)

2.5 Perbandingan Kritisisme dan Positivisme

Berdasarkan uraian penjelasan di stas dapat diketahui persamaan dan perbedaan di antara
kedua aliran tersebut, perbandingan antara keduanya penulis jabarkan dalam tabel sebagai
berikut:
Tabel 1. Perbandingan Kritisisme dan Positivisme

No. Aspek Kritisisme Positivisme


Mengkritisi dasar-dasar Mengedepankan pengamatan
Pendekatan pengetahuan manusia, empiris dan metode ilmiah
1
Metodologi meragukan keyakinan yang untuk memperoleh pengetahuan
dianggap pasti. yang valid.

16 | HAKIKAT KRITISISME DAN POSTIVISME DALAM FILSAFAT BESERTA PARA TOKOHNYA


Mempercayai bahwa
Mengutamakan kritisisme
Sumber pengetahuan berasal dari
2 terhadap pemikiran manusia
Pengetahuan pengalaman empiris yang dapat
dan kesadaran subjektif.
diamati secara objektif.

Mengakui keterbatasan
Mempercayai bahwa melalui
Keterbatasan pengetahuan manusia dan
3 pengamatan dan analisis ilmiah,
Pengetahuan ketidakmungkinan mencapai
kebenaran mutlak dapat dicapai.
kebenaran mutlak
Mengasumsikan bahwa fakta
Mempertanyakan asumsi dan
Kritik Terhadap dapat diidentifikasi dan
4 interpretasi terhadap fakta yang
Fakta diinterpretasikan secara
dianggap subjektif.
obyektif.
Menyoroti sifat kritis
Menggunakan pengetahuan
Fungsi pengetahuan untuk mendorong
5 sebagai dasar untuk memahami
Pengetahuan pertanyaan dan refleksi lebih
dan mengontrol alam.
lanjut.

BAB 3
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Memahami kritisisme dan positivisme sangat penting dalam perkembangan pemikiran
filsafat dan ilmu pengetahuan karena keduanya menawarkan pendekatan yang berbeda

17 | HAKIKAT KRITISISME DAN POSTIVISME DALAM FILSAFAT BESERTA PARA TOKOHNYA


terhadap pengetahuan dan pemahaman dunia. Kritisisme menekankan pada keterbatasan
pengetahuan manusia dan pentingnya mempertanyakan asumsi serta keyakinan, sementara
positivisme menekankan pada pentingnya observasi dan pengalaman empiris dalam
membangun pengetahuan yang valid. Pemahaman yang mendalam tentang kedua pendekatan
ini dapat membantu dalam mengembangkan perspektif yang lebih luas dan kritis terhadap
berbagai bidang pengetahuan.
Pendekatan kritisisme menekankan bahwa pemahaman manusia tentang dunia bersifat
subjektif dan terbatas, karena dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti konteks budaya, sejarah,
dan kepentingan politik. Ini mengarah pada kesadaran akan kerentanan terhadap bias dan
kesalahan dalam pemahaman. Sementara itu, pendekatan positivisme menekankan pada
observasi dan pengalaman empiris sebagai dasar pengetahuan yang dapat diandalkan, dengan
keyakinan bahwa realitas dapat dipahami melalui metode ilmiah yang objektif.
Dengan demikian, implikasi dari kritisisme adalah bahwa manusia perlu terus
mempertanyakan dan menguji pemahaman mereka tentang dunia, serta menyadari bahwa
pengetahuan bersifat relatif dan terus berkembang. Di sisi lain, positivisme menegaskan
perlunya mengandalkan data empiris dan metode ilmiah yang ketat untuk membangun
pengetahuan yang dapat diandalkan. Kedua pendekatan ini dapat saling melengkapi dalam
menyediakan perspektif yang lebih komprehensif terhadap pemahaman manusia tentang
dunia.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, S. (2020). Skeptisisme terhadap Agama dalam Filsafat David Hume. Jurnal
Filsafat Islam, Jurnal Toleransi. 2(2). 1771-1776.
18 | HAKIKAT KRITISISME DAN POSTIVISME DALAM FILSAFAT BESERTA PARA TOKOHNYA
Anggi Maharani. (2022). Biografi Aguste Comte, Bapak Sosiologi Dunia. Jurnal Filsafat.
3(1). 156-160.

Bakhtiar, Amsa. (2014). Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Gufron, I. (2016). Pemikiran Ludwig Wittgeinstein Dalam Kerangka Analitika Bahasa


Filsafat Barat Abad Kontemporer. Jurnal Misykah. 1(1). 118-144.
Harahap, M. (2013). Tantangan Allah Terhadap Orang Yang Mengingkari atau Meragukan
Al-Qur’an. Jurnal Filsafat Islam. 4(3). 200-215.

Hendrianto, S (2022). Posituvisme dan Post Positivisme: Refleksi Atas Perkembangan Ilmu
Pengetauan dan Perencanaa Kota Dalam Tinjauan Filsafat Ilmu dan Metodologi
Penelitian. Jurnal Modul. 22(1). 21-30.

Irham, N. (2016). Positivisme Auguste Comte:Analisa Epistemologis Dan Nilai Etisnya


Terhadap Sains. Jurnal Cakrawala, 11(2). 160-170.

Jalaludin, M.L (2023). Signifikasi Makna Kritisisme (Transendental) dalam Filsafat


Immanuel Kant. Jurnal Filsafat Islam. 2(1). 710-711.

Kaelan. (2004). Filsafat Analitis Menurut Ludwig Wittgensten: Relevansinya Bagi


Pengembangan Pragmatik, Jurnal Humaniora. 16(2)

______. (2003). Filsafat Analitis Menurut Ludwig Wittgenstein: Relevansinya bagi


Pengembangan Filsafat Bahasa. Disertasi S3 Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.
______. (2002). Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya. Yogyakarta: Paradigma.

Laurensius, D. (2023). Ludwig Wittgenstein, Filsuf Bahasa Paling Berpengaruh di Abad 20.
Jurnal Filsafat. 2(1). 345-353.

Nabu,H. (2022). Konsep Kausalitas Perspektif David Hume. Jurnal Filsuf Indonesia. 2(3).
56-65.

Nicholas A., Michael B. (2023). Ernst Mach’s Biography & Accomplishments, Significant
Physicists.

O. Hasbiansyah. (2000). Menimbang Positivisme, Jurnal Komunikasi. 1(1). 140-149.

Popper, Karl. (1934). The Logic of Scientific Dicorvery. London : Routledge.


19 | HAKIKAT KRITISISME DAN POSTIVISME DALAM FILSAFAT BESERTA PARA TOKOHNYA
Riski, M.A..(2021). Teori Falsifikasi Karl Raimund Popper:Urgensi Pemikirannya dalam
Dunia Akademik. Jurnal Filsafat Indonesia, 4(3), 261-272.

Saepullah, Asep. (2020). Epistemologi Falsifikasionisme Karl R. Popper: Relevansinya Bagi


Teologi dan Pemikiran Keislaman. Journal of Islamic Civilization, 2(2), 60–71.

Serafica, G., Nibras, N.N. (2019). Biografi dan Pemikiran Auguste Comte, Bapak Sosiologi.
Kompas.Com.

Syafirna,F. (2023). Menganalisa Pemikiran Immanuel Kant (Kritisisme dan


Implementasinya. Jurnal Filsafat, 4(2), 239-242.

T. Subandi. (2009). Timbulnya Sosiologi Pendidikan dapat Gambarkan Masyarakat, Jurnal


Sosiologi dan Pendidikan, 3(1). 210-220.

Vanya Karunia Mulia Putri. (2022). Empirisme: Pengertian dan Contohnya. Kompas.Com.

Yohanes, W.P. (2021). Yang Dapat Diekspresikan dan Tidak Dapat Diekspresikan dalam
Bahasa Menurut Ludwig Wittgenstein, Jurnal Filsafat Bahasa. 1(4). 111-121.

20 | HAKIKAT KRITISISME DAN POSTIVISME DALAM FILSAFAT BESERTA PARA TOKOHNYA

Anda mungkin juga menyukai