Anda di halaman 1dari 24

HUBUNGAN POLITIK DENGAN PENDIDIKAN

Makalah ini disusun untuk MemenuhiTugas Mata Kuliah


Politik dan Kebijakan Pendidikan

Dosen Pengampu: Dr. H. Anis Fauzi, M.Si.

Oleh:
FARIDZ ADHA (192630040)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT. Berkat rahmat serta inayah-Nya

penyusun berhasil menuntaskan makalah ini. Shalawat beserta salam semoga

senantiasa tercurah limpahkan kepada junjungan alam, Nabi Muhammad SAW,

kepada keluarga, sahabat, serta umatnya yang setia hingga akhir zaman. Aamiin.

Makalah berjudul Hubungan Politik dan Kebijakan Pendidikan ini disusun

untuk memenuhi tugas dari Dr. H. Anis Fauzi, M.Si. pada mata kuliah Politik dan

Kebijakan Pendidikan. Dalam penyusunannya, penyusun banyak memperoleh

bantuan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, penyusun mengucapkan terima

kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Semoga Allah membalas dengan kebaikan yang berlipat ganda.

Penyusun menyadari bahwa studi kasus ini sangat jauh dari sempurna. Oleh

karenanya, kritik dan saran membangun sangat penyusun harapkan demi

kemajuan bersama. Akhir kata, semoga makalah ini mampu memberikan

wawasan kepada kita semua. Aamiin.

Lebak, 12 September 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB. I PENDAHULUAN......................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah..........................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................2
BAB. II PEMBAHASAN.......................................................................................3
A. Postmodernisme......................................................................................3
B. Dekonstruksionalisme ............................................................................4
1. Konsep Dasar Strukturalisme............................................................4
2. Ide Akan Pusat...................................................................................5
3. Logosentrisme...................................................................................6
4. Differ(a)nce (Efek dari Dekonstruksi)..............................................8
5. Upaya Dekonstruksi: Upaya untuk Menjatuhkan Oposisi Biner......8
C. Biografi Tokoh dan Pemikirannya........................................................10
1. Jecques Derrida...............................................................................10
2. M. Iqbal ..........................................................................................12
3. M. Arkoen.......................................................................................15
4. Al-Jabiri...........................................................................................17
BAB. III PENUTUP.............................................................................................20
A. Kesimpulan............................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................21

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dunia terus mengalami sebuah proses yang tiada henti menuju perubahan demi
perubahan. Paradigma perubahan selalu diawali dan dipandu oleh ilmu pengetahuan
yang merupakan ranah kognitif manusia. Bersumber pada ranah perubahan kognitif
selanjutnya menuju tahap perubahan nilai (afeksi) dan pada titik tertentu membentuk
sebuah skill (performance) pada diri manusia dalam bentuk perilaku sikap sosial dalam
kebudayaannya. Maka pergeseran paradigma kognitif dalam hal ini ilmu pengetahuan
secara simultan akan melahirkan pergeseran yang signifikan pada ranah-ranah yang
lain. Disinilah secara kasat mata pergeseran kehidupan manusia terus mengalami
gelombang yang tiada pernah berhenti, laksana gelombang peradaban yang terus
bergerak nampak tiada bertepi.

Gelombang peradaban yang abadi tersebut dibingkai oleh hasrat manusia yang terus
bersemayan dalam diri. Manusia senantiasa merasa tidak puas dan tidak dapat bertahan
dengan perkembangan pengetahuan pada periode-periode sebelumnya. Secara teologis,
pengetahuan animisme, bergeser menuju dinamisme dari dinamisme menuju ke
politeisme, dan politeisme menuju konsep monoteisme. Menyangkut paradigma ilmu
pengetahuan, dari teosentris, ke empirisme, dari empiris ke rasionalisme, dari
rasionalisme ke positivisme, dari positivisme ke materialisme, dari materialisme ke
idealisme dan pada tataran tertentu intuisionisme juga mendapat posisinya sebagai
paradigma ilmu pengetahuan. Berbagai simbol telah diciptakan manusia untuk
dilekatkan mewakili bahasa manusia dalam menyebut pergeseran paradigma pemikiran
dan pengetahuan manusia dari waktu ke waktu.

Kerangka pikir atas pergeseran pengetahuan manusia mengacu pada sebuah freame
besar yakni masa kuno/klasik, masa pertengahan, masa modern dan postmodern. Secara
siginifikan masa klasik dan pertengahan di barat, wacana pikir dan rasionalisme
manusia, belum mendapatkan porsi yang signifikan. Pada masa modern rasio manusia
seolah-olah sebuah kendaraan yang sangat daksyat mengantarkan manusia pada sebuah
kehidupan yang seolah-olah nyaman dan penuh kemapanan. Dengan perkembangan
teknologi yang terstruktur sedemikian rupa. Disinilah modernisme dicirikan dengan

1
gerakan rasionalisme yang begitu gencar. Rasionalisme telah menggiring manusia pada
sebuah masa pencerahan yang disebut dengan mainstream pemikiran modernisme dan
fakta sosialnya disebut modernitas. Setelah berjalan sekian dekade kemapanan dan
kenyamanan paham modernisme mendapat kritik dan pergeseran paradigma. Pergeseran
pemikiran modernisme itu mendapat kritik yang cukup signifikan yang merupakan
mainstream gerakan postmodernisme dengan segala lingkup dan permasalahannya.
Disinilah tugas ini akan mencoba memberikan paparan yang komprehensip berkaitan
dengan Postmodernisme secara umum dan Dekonstruksi secara khusus.

B. Rumusan Masalah
1) Apa Postmodernisme; Pengertian dan konseptualisai?
2) Bagaimana Riwayat serta Pemikiran Derrida, M. Iqbal, M. Arkoen, dan Al-Jabiri?
3) Apa itu Dekonstruksionalisme?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dibuatnya makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Filsafat Ilmu dan Manajemen Pendidikan dan untuk mengetahui tentang
bagaimana histori Posmodernisme dan riwayat hidup Derrida serta isi dari
Dekonstruksionalisme.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Postmodernisme
Hal ini berkaitan dengan konsepsi tentang postmodern. Menurut Bambang Sugiharto 1,
terdapat tiga konsepsi tentang postmodern yang dapat digolongkan sebagai berikut.
Pertama, pemikiran yang hendak merevisi kemodernan dan cenderung kembali ke pra-
modern. Corak pemikiran yang mistiko-mitis dan semboyan khas pemikiran ini adalah
holisme. Kedua, pemikiran yang erat pada dunia sastra dan banyak pada persoalan
linguistik. Kata kunci yang populer adalah dekonstruksi, yaitu Kecenderungan untuk
mengatasi gambaran-gambaran dunia modern melalui gagasan anti gambaran dunia
sama sekali. Semangat membongkar segala unsur yang penting dalam sebuah gambaran
dunia, seperti diri, tuhan, tujuan, dunia nyata dan lain-lain. Tokoh yang berperan dalam
teoriteori tersebut adalah J. F. Lyotard, M. Foucauld, Jean Baudrillard, Jacques derrida.
Ketiga, pemikiran yang hendak merevisi modernisme, tidak dengan menolak
modernisme secara total, namun dengan memperbaharuinya premis-premis modern
disana-sini saja. Singkat kata, kritik terhadap imanen terhadap modernisme dalam
rangka mengatasi berbagai konsekuensi negatifnya.

A. Toynbee menjelaskan bahwa sejarah baru telah dimulai sejak berakhirnya dominasi
barat, yaitu pada tahun 1875, yang ditandai surutnya individualisme, kapitalisme dan
kristianitas, serta bangkitnya kekuatan non-Barat. Kecenderungan ini juga ditandai oleh
zaman yang terkomputasi dan ambiguitasnya sebuah kebenaran2. Untuk itulah
kemudian, penolakan terhadap semua klaim kebenaran yang dihasilkan oleh rasional-
empirik memunculkan beragam gerakan untuk mencari alternatif baru dalam peradaban.

Dari beberapa konsepsi yang ada, penulis menggunakan konklusi yang digunakan
Bambang Sugiharto, yaitu konsepsi postmodernisme dalam filsafat yang merujuk pada
pengertian, segala bentuk refleksi kristis atas paradigma-paradigma modern dan atas
metafisika pada umumnya.

1
I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2011). Hlm. 30
2
J. F. Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, (Manchester:
Manchester University Press, 1982), hlm. 13.

3
B. Dekonstruksionalisme

Sebelum memasuki pengertian dekonstruksi, penting untuk memahami alur terbentuknya


dekonstruksi. Dekonstruksi berawal dari ketidakpuasan Jacques Derrida terhadap filsafat
Barat.

Menurut Derrida, kebenaran tak lain adalah sebuah konstruksi bahasa. Bagi filsuf Perancis
ini, konsep-konsep yang menjembatani filsafat/metafisika dalam sebuah narasi tidak lahir
dengan sendirinya. Narasi muncul dari teks, dan teks berurusan secara langsung dengan
bahasa. Teks-teks tersebut menuturkan wacana dan menciptakan klaim-klaim berdasar
struktur atau tata pikiran yang dikonstruk di dalamnya. Lantas, Derrida mencoba mencari
strategi pembentukan makna dibalik teks-teks itu, antara lain dengan mengeksplisitkan
sistem-sistem perlawanan yang tersembunyi atau cenderung didiamkan oleh pengarang.
Oleh karena itu, Derrida mengawali proyek dekonstruksinya bertolak dari bahasa. 3Alur
terbentuknya dekonstruksi dimulai dari strukturalisme.

1. Konsep Dasar Strukturalisme

Konsep strukturalisme berawal dari ahli linguistik asal Swiss, Ferdinand de Saussure, yang
berargumen bahwa makna bahasa diturunkan dari struktur. Konsep ini kemudian
dirumuskan pada banyak pengertian yang lebih kompleks. Pada akhirnya muncullah asumsi
bahwa setiap sistem seperti bahasa, filsafat, agama, dan budaya datang dari struktur yang
tetap.

Penting untuk membedakan antara pengertian struktur dan sistem. Saussure menggunakan
struktur kata dan sistem pada pemahaman yang berbeda. Sistem bisa berarti bahasa, seperti
halnya sains, filsafat, kebudayaan, agama, dan lain-lain. Namun sistem hanya dapat
berfungsi dengan baik karena ada struktur yang bekerja dengan baik di dalamnya yang
membuatnya memiliki nilai. Setiap sistem berisi satuan-satuan struktur yang bekerja sama
dengan teratur. Struktur sendiri berisi peraturan dan unit yang saling berhubungan satu
sama lain.

Sebagai contoh, unit dalam struktur linguistik adalah kata dan fonem. Jadi, peraturan adalah
bentuk dari grammar (tata bahasa) yang menyusun sebuah kata. Sebuah unit mempunyai
makna, dan makna dari unit memberi definisi pada perbedaan antara unit lain. Dengan kata
lain, sebuah unit memiliki makna jika memiliki struktur berbeda dengan unit yang lain.

3
Muhammad Al-Fayyadl. Derrida. (Yogyakarta: Lkis, 2011). Hal.22

4
Sebagai contoh, kita dapat mengatakan pasir karena pasir bukanlah pasar ataupun pusar.
Makna kata pasir terbentuk karena ada perbedaan dengan kata lain dalam unitnya. Bisa
dikatakan, kata dapat memiliki makna karena ada perbedaan kombinasi.

Menurut Saussure dalam Al-Fayyadl4dalam penggunaan sehari-hari, bahasa tidak dapat


dilepaskan dari sistem pemaknaan tertentu yang dipakai untuk menunjuk satu realitas.
Tanpa sistem ini, maka tidak akan terjadi komunikasi antar individu. Sistem inilah yang
disebut sebagai sistem tanda. Dalam pandangan Saussure, tanda terdiri atas dua komponen
yaitu konsep oposisi biner dari petanda (signified/signifiè) dan penanda
(signifier/signifiant).

Dalam sistem bahasa, penanda diartikan sebagai citra akustik atau bunyi (sound),
contohnya bunyi dari kata pasir. Petanda adalah gambaran abstrak atau konsep dari pasir.
Hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer (manasuka). Kombinasi antar
keduanya menunjukkan bahwa sebuah tanda benar-benar memiliki makna.

Tidak lama setelah Saussure wafat, gerakan intelektual yang disebut strukturalisme makin
mengukuhkan eksistensinya. Analisis struktural Sausussure telah bertransformasi dalam
banyak bidang, seperti antropologi, kesusastraan, psikologi, arsitektur, filsafat, dan lain-
lain.

Strukturalisme menggunakan pendekatan dalam mencari pola dan struktur dari sistem yang
sudah umum, untuk mencari oposisi biner. Sebagai contoh, hampir pada setiap kebudayaan,
struktur dari sebuah pengetahuan dibentuk dari oposisi biner seperti laki-laki/perempuan,
normal/abnormal, rasional/irasional, baik/jahat. Di mana bagian kedua biasanya dianggap
minoritas dan termarginalkan. Makna dari tiap-tiap pasangan begitu erat dengan logika
perbedaan, laki-laki adalah laki-laki karena dia bukanlah perempuan.

2. Ide Akan Pusat

Saussure berpendapat bahwa posisi bunyi (citra akustik) memiliki peran sentral. Hal ini
dikarenakan adanya citra akustik yang memungkinkan kehadiran penutur secara langsung
untuk menyampaikan gagasannya pada pendengar. Setiap kajian, menurut Saussure, hampir
seluruhnya terpusat pada bunyi (phone) dan bukan aksara. Hal ini bukannya tanpa alasan.
Alasan pertama yang melandasi adalah anggapan bahwa langue (kosakata dalam pikiran
masyarakat) relatif berkembang ketimbang aksara. Alasan kedua adalah karena bunyi dapat

4
Ibid, hlm. 37

5
menampilkan penutur sebagai subjek yang utuh dalam kegiatan berbahasa. Sederhanya,
dimana ada bunyi disitu ada penutur yang tampak secara fisik. Berbeda dengan aksara yang
memiliki penutur bersifat imajinatif (tidak benarbenar hadir).

Ketika pengaruh strukturalisme makin massif di dunia barat pada pertengahan abad-10,
termasuk metode kritik sastra, datanglah filsuf dari Perancis, Jacques Derrida, dan
menyampaikan ceramah legendarisnya yang bertajuk, Structure, Sign and Play in the
Discourse of the Human Sciences untuk simposium di Universitas John Hopkins pada
tahun 1966. Dalam simposiumnya itu, Derrida berkata bahwa semua struktur pada akhirnya
membutuhkan ketetapan untuk tidak harus “bermain” lagi. Struktur dapat ditetapkan dan
tidak memiliki peran karena ada pusat di dalamnya yang menjamin stabilitas struktur. Pusat
adalah unsur dalam struktur yang mengacu dan terhubung pada sesuatu yang membuat
struktur memiliki ketetapan, stabil, menjaga kondisi keseluruhan, dan menjaga semua
bagian tetap dalam satu kesatuan. Pusat adalah bagian yang menjaga struktur tetap bersama,
membatasi pergerakan (permainan) unsur-unsur lain dalam struktur. Dengan demikian,
pusat merupakan bagian yang paling penting dari sebuah struktur dan tidak dapat
disubtitusikan dengan hal lain.

Dalam sejarah filsafat Barat, pusat selalu memiliki pengganti. Pusat sendiri menjadi
penentu bagaimana nilai yang dianut dalam masyarakat.Akhirnya Derrida mendekonstruksi
nilai absolut dengan memindahkan pusat. Pemutusan hubungan sistem yang berpusat oleh
Derrida adalah cara untuk melihat bahwa adanya pusat merupakan sebuah konstruksi.

3. Logosentrisme

Ajaran Saussure (1959: 65) berpendapat bahwa tuturan lebih superior daripada tulisan.
Baginya, posisi tuturan berada pada urutan pertama dari bahasa, sedangkan tulisan hanyalah
turunan dari tuturan. Hal ini dikarenakan tuturan diasosiasikan dengan kehadiran
(presence), karena bahasa yang dituturkan selalu membutuhkan kehadiran pembicara,
sesorang yang berbicara. Dengan kata lain, tuturan akan terjadi jika ada kehadiran si
pembicara.

Derrida5 menyebut konsep ini sebagai metafisika kehadiran. Konsep akan kehadiran inilah
yang menjajah alam pikiran Barat mulai dari Plato, Descartes, hingga Freud. Kehadiran
merupakan bagian dari oposisi biner dari kehadiran/ketidakhadiran, di mana kehadiran

5
Derrida, Of Grammatology, terj. Gayatri Chakravorty Spivak, (Baltimore: The John Hopkins University Press,
1974; revisi, 1976)

6
memiliki kedudukan lebih tinggi ketimbang ketidakhadiran. Tuturan juga diasosiasikan
dengan kehadiran, dan keduanya dianggap sebagai superior daripada tulisan dan
ketidakhadiran. Keistimewaan dari tuturan dan kehadiran ini disebut Derrida sebagai
logosentrisme.

Logos (bahasa Yunani), mengacu pada Raman Selden adalah istilah pada Perjanjian Baru
yang kemungkinan besar membawa ide tentang kehadiran: “In the beginning was the
word.”6. (Pada awalnya adalah sebuah kata). Kata kemudian menjadi muasal dari
segalanya. Kata menanggung kehadiran tetap atas dunia. Pernyataan ini yang memastikan
bahwa adanya kehadiran Tuhan (sesuatu yang berbicara), dan keberadaan Tuhan.
Kehadiran Tuhan adalah muasal segalanya (Tuhan menciptakan dunia dengan berbicara).
Karena kedudukan kehadiran diatas ketidakhadiran, maka tuturan memiliki posisi di atas
tulisan. Derrida menyebut keistimewaan tuturan daripada tulisan dengan fonosentrisme,
yaitu bentuk klasik dari logosentrisme.

Fonosentrisme menganggap tulisan sebagai bentuk turunan dari tuturan. Tuturan lebih
terlihat sebagai gagasan murni. Ketika kita mendengar tuturan kita akan
menghubungkannya dengan kehadiran. Tulisan terlihat sebagai sesuatu yang tidak murni,
karena tulisan dapat diulang ‒tulis ulang, cetak, cetak ulang, dan sebagainya. Pengulangan
ini menimbulkan interpretasi dan reinterpretasi.7

Pemosisian kehadiran pada tempat yang lebih tinggi daripada ketidakhadiran menjadikan
setiap sistem selalu menghadirkan pusat, sesuatu yang dianggap vital dalam sebuah sistem
dan pemberi makna. Gagasan ini ada dihampir setiap filsafat Barat. Sebagai contoh adalah
teori psikoananlisis Freud: maskulinitas bertindak sebagai superior daripada feminitas
karena adanya alat kelamin laki-laki (penis) menegaskan sebuah kehadiran sedangkan alat
kelamin perempuan menegaskan ketidakhadiran.

Saat ini, sejarah menunjukkan bahwa banyak dari filsafat dulu terbukti salah setelah muncul
teori baru oleh filsuf atau intelektual setelahnya. Begitu juga Derrida, ia mengklaim bahwa
penilaian tersebut adalah hal yang mustahil. Baginya kesuperioritasan laki-laki hanyalah
sebuah konstruksi yang telah berlangsung lama. Oleh karena itu, oposisi biner bukanlah
sesuatu yang natural melainkan bentukan. Ia berpendapat bahwa bukan filsafat atau sistem
yang bisa menjelaskan sesuatu secara absolut. Analisis ini ia peroleh setelah membaca

6
Raman Selden. Teori Sastra Masa Kini.(Yogyakarta: UGM Press, 1996)
7
Derrida, Op.cit.

7
ulang banyak proyek filsafat Barat mulai Plato, Aristoteles sampai Martin Heidegger.
Pemikiran Derrida ini telah mempengaruhi banyak orang untuk tidak menerima sesuatu
yang sudah ada sebelumnya (taken granted) melainkan dengan menginterpretasi kembali.

4. Différ(a)nce (Efek dari Dekonstruksi)

Upaya untuk menyelamatkan tanda menjadi kehadiran yang tetap, Derrida menciptakan
terminologi différance. Kosakata ini khusus diciptakan Derrida untuk menggantikan
kosakata lama yang sudah usang atau tidak memadai. Sepintas, différance memiliki
kesamaan dengan kata difference. Namun, différance bermakna lebih dari ‘perbedaan’,
yaitu menunjuk pada penundaan yang tidak memungkinkan sesuatu hadir. Kata différance
memiliki makna ganda: membedakan/menjadi berbeda (to differ) dan menunda (to defer.
Huruf ‘a’ menggabungkan sekaligus dua makna différance. “To differ” adalah konsep
spasial, tanda muncul dari sistem perbedaan. Sebaliknya, “to defer” adalah menunda,
penanda mencari sebuah penundaan ‘kehadiran’ tidak berakhir. 8

Derrida berargumen bahwa différance berfungsi sebagai strategi untuk menggerakkan


seluruh permukaan teks yang terlihat datar dan mapan. Strategi ini dilakukan dengan
memfungsikan kembali “logika permainan” yang direpresi oleh logika yang dominan
(logika pengarang). Oleh karena itu, kebenaran atau makna bukanlah prioritas utama yang
dicari dalam membaca teks. Semua ini dialami lebih sebagai proses. Dengan différance,
sebuah konsep mapan akan terus menerus dipertanyakan dan diujikan dengan
kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih radikal, paradoksal, atau bahkan absurd.

Dengan kata lain, différance adalah ruang mencari berbagai perspektif terhadap teks.
Proses menjadi bagian yang penting sehingga tidak diperlukan upaya untuk menyelamatkan
teks. Menurut Fayyadl 9, teks harus dibiarkan apa adanya, centang perenang, tidak stabil,
ambigu, dan rentan dengan paradoks.

5. Upaya Dekonstruksi: Upaya untuk Menjatuhkan Oposisi Biner.

melakukan pembacaan dekonstruktif adalah untuk menemukan sebuah hirarki filosofis di


mana terdapat dua terminologi oposisi, di mana yang satu direpresentasikan sebagai
superior dan yang lain sebagai inferior. Pertentangan terminologi ini disebut oposisi biner.
Oposisi biner termanifestasikan dalam kebiasaan sehari-hari dalam bentuk dikotomi yang

8
Derrida, Op.cit.
9
Muhammad Al-Fayyadl, Op.cit.

8
familiar seperti baik/jahat, siang/malam, laki-laki/perempuan, aktif/pasif, atau
rasional/irasional.

Dalam Writing and Difference, Derrida telah memperingatkan tidak semua oposisi biner
adalah oposisi yang natural. Beberapa kemungkinan hasil kebudayaan, yang lain biologis,
dan yang lain tematik10. Oposisi biner tidak bersifat universal tetapi sangat mempengaruhi
setiap kebudayaan secara spesifik. Dalam kebudayaan berbeda mungkin terdapat banyak
nama pada tiap oposisi biner dan beberapa dikotomi ini mungkin hanya milik kebudayaan
tertentu. Sebagai contoh, Yin dan Yang adalah konsep dari Timur atau Cina.

Derrida menemukan bahwa pasangan ini, semasuk akal apapun, adalah bukan oposisi yang
sederhana, mereka berhirarki. Dalam tiap pasangan, satu terminologi dilihat sebagai
superior sementara yang lain diposisikan sebagai inferior. Sebagai contoh terminologi
“man” dapat digunakan untuk menandai “human”,dan diposisikan sebagai superior, tetapi
“woman” hanya mengacu pada kasus khusus dari manusia berjenis perempuan dan
diposisikan sebagai inferior.

Untuk menguji interaksi dua oposisi ini dalam hirarki, mereka dapat mengikuti jejak
kekuatan antara dua perbedaan besar ini. Dalam hal ini, Derrida11 mengklaim bahwa:

In a traditional philosophical opposition we have not a peaceful coexistence of a vis-à-vis,


but rather with a violent hierarchy. One of the two terms governs the other (axiologically,
logically, etc.). …to deconstruct the opposition, first of all is to overturn the hierarchy at a
given moment.

(Dalam sebuah tradisi oposisi filosofis kita tidak hidup berdampingan secara damai secara
vis a vis, tetapi dengan hirarki kekerasan. Satu dari dua terminologi menentukan yang lain
(secara aksiologi, secara logika, dan lain-lain)... untuk mendekonstruksikan oposisi, hal
pertama yang harus dilakukan adalah mengobrak-abrik hirarki pada momen yang
diberikan)

Dapat disimpulkan bahwa membaca sebuah teks dengan cara dekonstruktif akan selalu
dimulai dengan upaya untuk menemukan oposisi biner tema, biologis, atau kultural yang
ada dalam teks. Setelah selesai, kemudian oposisi biner ini akan diobrak-abrik, dan pada
akhirnya hasilnya akan dianalisis.

10
Derrida, Writing and Difference, hlm. 55.
11
Derrida, Op,cit. 41

9
Menurut Derrida dalam Faruk12, langkah pertama untuk melakukan dekonstruksi pada
karya sastra adalah melakukan pembalikan terhadap hierarki terhadap sistem oposisional
yang sudah ada. Selanjutnya dekonstruksi harus melakukan pembalikan terhadap oposisi-
oposisi yang sudah klasik, pemelesetan besar-besaran terhadap sistem itu secara
keseluruhan.

C. Biografi Tokoh dan Pemikirannya


1. Jacques Derrida

Jacques Derrida lahir di Aljazair pada tangggal 15 Juli 1930. Pada tahun 1949 ia berpindah
kePerancis, di mana ia tinggal sampai akhir hayatnya. Ia mengajar di École Normale
Supérieure di Paris. Orang tuanya yang bernama Aimé Derrida dan Georgette Sultana
Esther Safar, menikah pada tahun 1923 dan pindah ke St.Agustinus di Aljazair pada tahun
1925. Pada tahun yang sama Rene Derrida (anak Aimé dan Georgette) lahir dan empat
tahun kemudian Paul Derrida (adik Rene) lahir. Namun tiga bulan kemudian Paul
meninggal. Pada tahun 1930 Jackie Derrida lahir. Di kemudian hari ia menyebut dirinya
“Jacques”.Sepanjang hidupnya ia curiga bahwa ia hanya menjadi pengganti atau pelengkap
ketiadaan Paul, kakaknya. Derrida adalah seorang keturunan Yahudi. Ia pernah mendapat
gelar doctor honoris causa di Universitas Cambridge. Pada tanggal 9 Oktober 2004, ia
meninggal dunia di usia 74 tahun karena penyakit kanker. Sedangkan latar belakang
pemikiran Derrida sangat dipengaruhi oleh filsuf Edmund Husserldan ahli bahasa
Ferdinand de Saussure. Buku pertama Derrida adalah menerjemahkan karya Husserl yang
berjudul The Origin of Geometry. Di dalam bukunya yang berjudul Of Grammatology,
Derrida menyampaikan pandangannya terhadap pemikiran Saussuremengenai definisi
bahasa. Ia mengatakan bahwa Saussure memberikan esensi manusia kepada bahasa.
Logosentrisme dan fonosentrisme adalah paham yang berusaha dikritik Derrida.
Menurutnya kelemahan logosentrisme adalah menghapus dimensi material bahasa, dan
kelemahan fonosentrisme adalah menomorduakan tulisan karena memprioritaskan ucapan.
Pada tahun 1987 Derrida mengeluarkan kumpulan esainya dalam teks yang berjudul
Pshyche. Dasar dari risalat ini adalah untuk menyatakan seberapa besar kemungkinan untuk
membicarakan (yang Lain). Menurut Derrida, sikap yang tepat terhadap (yang Lain) adalah
menunggu, menginginkan, dan bersiap bagi masa depan, yaitu dari mana (yang lain) itu
berasal (yang Lain) tidak berasal dari masa kini. Untuk menjelaskan mengenai sikap
menunggu dan bersiap, Derrida kembali mengutip dari tulisan sebelumnya yang berjudul

12
Faruk. Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012) hal. 182

10
structure dan Sign and Play. (Yang Lain) itu datang sebagai bencana, tidak peduli baik atau
buruk, kedatangannya akan terlalu asing untuk dihasilkan oleh realita.13

a. Pemikiran Derrida

Dengan demikian Derrida tidak hanya menggambarkan maksud teks-teks yang dibacanya
secara persis, tetapi juga mengubahnya menjadi teks yang memiliki makna baru. Dua
konsep itu yakni deskripsi/penggambaran (description) dan transformasi (transformation)
dapat digabungkan menjadi dekonstruksi (deconstruction). Sekilas konsep dekonstruksi ini
tampak aneh dan kontradiktif. Bagaimana mungkin membaca secara tepat sekaligus
mengembangkan makna teks dengan mengubahnya? Namun itulah yang kiranya dilakukan
Derrida. Menurut penelitian Nicholas Royle, Derrida sendiri tidak begitu suka dengan kata
tersebut. Konsep itu pun melepaskan diri dari Derrida, dan mulai menjadi sebuah paham,
yakni sebuah isme. Sejak saat itu konsep dekonstruksi terus menjadi subyek perdebatan
banyak pemikir lintas displin ilmu.

Royle bahkan berpendapat bahwa kita dapat memahami filsafat Derrida tanpa
menggunakan konsep dekonstruksi sama sekali. Memang hal itu akan sangat sulit, namun
bukan berarti tidak mungkin. Di dalam kamus filsafat dan kamus Bahasa Inggris, seperti
dikutip oleh Royle, dekonstruksi didefinisikan sebagai suatu tindakan untuk mengubah
konstruksi dari suatu benda. Di dalam kamus filsafat, dekonstruksi didefinisikan sebagai
suatu strategi analisis yang dikaitkan dengan filsuf Perancis, Jacques Derrida, yang
bertujuan untuk membuka pengandaian-pengandaian metafisis yang sebelumnya tidak
dipertanyakan, serta membuka kontradiksi internal di dalam filsafat maupun teori-teori
bahasa.

Royle sendiri mendefinisikan dekonstruksi sebagai sesuatu yang bukan seperti yang
dipikirkan orang banyak, pengalaman akan yang tak mungkin, cara berpikir untuk
menggoyang apa yang sudah dianggap mapan, apa yang membuat identitas dari sesuatu itu
juga sekaligus bukan merupakan identitas, dan masa depan yang masih belum ada itu
sendiri.14 Tentu saja beragam definisi tersebut pasti membuat orang bingung. Namun
Derrida sendiri tidak pernah secara jelas mendefinisikan arti dari konsep dekonstruksi. Ia
hanya menerapkannya dan membiarkan pembacanya merumuskan sendiri. Maka dapatlah
dikatakan bahwa hakekat dari dekonstruksi itu sifatnya plural. Tidak ada satu definisi utuh
yang bisa menjelaskan makna terdalam dari dekonstruksi.
13
http//wikipedia.com
14
Pada bab ini saya mengacu pada Nicholas Royle, Derrida, London: Routledge, 2003.

11
Dekonstruksi juga tidak hanya bergerak di tataran filsafat, melainkan juga menyentuh
literatur, politik, seni, arsitektur, dan bahkan ilmu-ilmu alam. Di dalam kajian lintas ilmu,
dekonstruksi dapat digambarkan sebagai suatu kekuatan untuk mengubah dan membelah
kepastian dan pakem-pakem lama yang tidak lagi dipertanyakan. Di dalam tulisan-
tulisannya, Derrida berulang kali menuliskan bahwa kekuatan untuk mengubah dan
membelah itu sebenarnya sudah terkandung di dalam teks itu sendiri. Yang ia lakukan
hanyalah mengaktifkan kekuatan itu, dan kemudian menyebarkannya ke keseluruhan teks.
Derrida mau melakukan de-sedimentasi terhadap teks, dan membuka kemungkinan-
kemungkinan baru yang sebelumnya tidak terpikirkan. Dalam arti ini ia mau menciptakan
gempa di dalam teks.

D. Muhammad Iqbal dan Pemikirannya


a. Riwayat Hidup M. Iqbal

Muhammad Iqbal merupakan seorang penya’ir, filsuf, ahli hukum, pemikir politik, dan
reformasi politik. Beliau lahir di Sialkot pada 22 Februari 1873, lahir dari keluarga yang
nenek moyangnya berasal dari lembah Kashmir. Beliau memulai pendidikanya pada
ayahnya yang bernama Nur Muhammad, seseorang yang dikenal sebagai ulama’.

Kemudian setelah menamatkan pendidian sekolah dasar di kampong kelahirannya pada


tahun 1895 segera melanjutkan pelajarannya ke Lahore. Di kota ini ia telah mendapat
binaan dan gemblengan dengan jiwa muda yang berhati baja oleh Maulana Mir Hasan,
seorang ulama’ kawakan yang merupakan teman ayahnya.

Dan ulama’ ini memberikan dorongan dan semangat yang mewarnai dan mendasari jiwa
Iqbal dengan ruh agama yang senantiasa bersemayam dalam jiwa, menggelora dalam hati,
serta menentukan gerak, langkah, tujuan dan arah. Sehingga keberhasilan ulama tersebut
dalam membinanya membawa kesan yang mendalam di hati Muhammad Iqbal.

Selain itu, di kota ini Muhammad Iqbal juga bergabung dengan perhimpunan sastrawan
yang sering diundang Musya’arah. Dalam perkumpulan ini, dimana sasatra Urdu
berkembang pesat dan bahasa Persi semakin terdesak, pada usia mudanya Iqbal
membacakan sajak-sajaknya. Berikutnya, Muhammad Iqbal juga memberanikan diri untuk
memberanikan sajaknya tentang Himalaya dihadapan para anggota terkemuka organisasi
sastra di Lahore.

12
Sehingga dengan adanya hal ini namanya semakin mencuat, dan menjadi semakin populer
diseluruh tanah air setelah sajaknya dimuat dalam majalah Maehan, suatu majalah bahasa
Urdu. Melaui majalah itu pula masyarakat luas semakin mengenal sehingga mendorong
majalah dan harian lainnya berebut meminta izin untuk menyiaran sajak-sajaknya.

Selain sebagai penya’ir, Muhammad Iqbal merupakan ahli politik terkemuka, yang mana
sumbagan dan perjuangannya merupakan modal pokok terbentuknya Negara Republik
Islam Pakistan di Barat Laut India.

Disamping ahli politik, beliau juga ahli pendidikan dan pengacara yang dijabatnya sejak
1908 sampai1937. Tujuan utamanya hanya sekedar untuk menartik hidup. Beliau jujur dan
ramah, sehingga tidak pernah menerima suatu perkara kalau sudah diyakini bahwa perkara
itu tidak dapat dibela olehnya

Begitulah Muhammad Iqbal, masih banyak bidang-bidang lain yang dikuasainya. Dan
pengaruh yang sedemikian besarnya sebagai penyair maupun filosof diabadikan sebagai
nama beberapa lembaa di Jerman, Italia, dan negara-negara lainnya.

Dan, kata paling terakhir sekali yang oleh beliau ucapkan adalah Allah. Saat itulah, fajar 21
April 1938 menjelang matahari terbit menyinari kota Lahore, dunia kehilangan seorang
pujanga besar. Saat itu pula, beliau Muhammad Iqbal yang jenazahnya dimakamkan di
dekat pintu gerbang masjid Shai di Lahore, pakistan meninggalkan banyak kesan dan pesan
yang dapat dipelajari serta direnungkan oleh generasi masa datang.15

b. Pemikiran Muhammad Iqbal

Gagasan Muhammad Iqbal khususnya pada pembaruan hukum Islam di India banyak
dipengaruhi oleh dinamika sosial yang terjadi di kalangan masyarakat Eropa. Iqbal merasa
bahwa ijtihad merupakan kebutuhan yang sangat mendesak dalam mengembangkan hukum
Islam yang mengacu kepada kepentingan umat dan kemajuan umum. Menurut Iqbal
pemahaman terhadap Alquran dan Hadis sebagai sumber etika harus mampu mengadopsi
dinamika perkembangan zaman. Untuk itu, umat Islam harus mampu memahami
kandungan nash-nash Syara’ (Alquran dan Hadis) secara utuh dan mendalam guna
15
 A.Mustofa, Filsafat Islam (Bandung, Pustaka Setia, 1997) hlm, 330.

13
menemukan solusi untuk masalah sosial yang terus berkembang dan kompleks. Iqbal juga
melihat pentingnya mengalihkan kekuasaan ijtihad individual kepada ijtihad kolektif
(ijma)’.

The Roconstruction of religion Thught in Islam (Rekonstruksi Pemikiran Keagamaan


dalam Islam), Karya ini merupakan karya terbesar dalam sistem pemikiran filsafatnya.
Karya ini pertama kali diterbitkan di London pada tahun 1934. Dalam karya ini mencakup
tujuh bagian pembahasan, yaitu: 1) Pengalaman dan Pengetahuan Keagamaan. 2)
Pembuktian secara filosofis mengenai pengalaman keagamaan. 3) Konsepsi tentan Tuhan
dan Sholat. 4) Tentang Ego-Insani, kemerdekaan dan keabadiannya. 5) Jiwa Kebudayaan
Islam. 6) Prinsip gerakan dalam struktur Islam. 7) Penjelasan bahwa agama itu bukan
sekedar mungkin, tetapi ada sebuah kritik terhadap Hegel yang merupakan seorang filsuf
asal Jerman yang beraliran Idealisme.

Iqbal memandang sudah saatnya kaum Muslim melakukan rekonstruksi terhadap segala
pemikiran yang berkembang di dunia Islam. Hal utama yang dilakukan Iqbal dalam hal ini
adalah menentang dualisme filsafat klasik yang abstrak, yang telah mempertahankan
pikiran dan materi dalam wadah yang ketat. Menurut Iqbal, cita-cita yang bersumber dari
idealisme dan kenyataan yang bersumber dari realisme bukanlah dua kekuatan yang saling
bertentangan. Keduanya kiranya dapat didamaikan. Iqbal dalam hal ini telah menarik
inspirasi dunia filsafat modern ke arah pendekatan induktif untuk mendekati semangat
Islam, meski bedanya, Islam mengakui adanya realitas transendental. Dari hal di atas
kiranya dapat dikatakan bahwa paradigma pemikiran yang digunakan Iqbal untuk
menelorkan gagasan rekonstruksinya adalah dengan menggunakan metodologi berpikir
yang bersifat sintesa. Dia kiranya telah berhasil memadukan tradisi intelektual Barat
dengan tradisi intelektual Timur dalam suatu paradigma berpikir. Namun demikian, upaya
sintesa pemikiran yang dilakukan Iqbal bukannya dilaksanakan tanpa sikap kritis. Dia
senantiasa menseleksi terlebih dahulu apa yang datang dari Barat, sehingga pemikirannya
tetap komprehensif; mencakup Timur dan Barat.

E. Muhammad Arkoun dan Pemikirannya


a. Riwayat Hidup Muhammad Arkoun

14
Muhammad Arkoun lahir pada tanggal 1 Februari 1928 di Taourirt-Mimoun, Kabilla, suatu
daerah pegunungan berpenduduk berber disebelah timur Aljir, Aljazair. Ia berasal dari
keluarga berber yang sederhana, yakni pedagang rempah-rempah.

Arkoun sejak kecil sudah menguasai tia Bahasa, yaitu Bahasa Kabilia, salah satu Bahasa
berber; Bahasa Arab yang dibawa Bersama expansi Islam dan Pra-Romawi; dan Bahasa
Perancis. Dari ketiga Bahasa tersebut mewakili cara berfikir dan memahami yang berbeda;
dan ini mempengaruhi Arkoun sejak kecil.

Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di desanya, Arkoun menlajutkan pendidikan


menengahnya di kota pelabuhan Oran. Pada tahun 1950-1954 ia belajar Bahasa dan sastra
Arab di Universitas Aljir. Kemudian Arkoun mendaftar sebagai mahasiswa dan
memperoleh gelar doctor dari Universitas Sorbonne.

Melalui berbagai kegiatan dan ritualisme sufisme popular, berbagai unsur kepercayaan
animistic Afrika Utara merasuk kedalam Islam di Afrika. Misalnya, konsep “manusia – suci
sebelum Islam datang. Menurut Suardi Putro, dalam lingkungan hidup yang serat dengan
sufisme dan nuansa spiritual inilah Arkoun dibesarkan.16

Arkoun sendiri lebih suka tinggal di barat daripada tanah kelahirannya sendiri, karena
suasana perbincangan ilmiah dan cendekia yang umumnya lebih terbuka daripada di dunia
Islam. Keterbukaan dalam berfikir inilah yang membuat Arkoun melahirkan pemikiran-
pemikiran yang kritis dan radikal tentang Islam.

Bahasa Kabilia, yang tidak mengenal bahasa tulisan, merupakan wadah penyampaian
sehimpunan tradisi dan nilai pengarah mengenai kehidupan social dan ekonomi yang sudah
berusia beribu-ribu tahun. Bahasa Arab merupakan alat pengungkapan tertulis mengenai
ajara keagamaan yang mengaitkan negeri Al-jazair ini dengan Timur Tengah. Bahasa
Perancis merupakan bahasa pemerintahan dan menjadi sarana akses terhadap nilai dan
tradisi ilmiah barat. Karena itu, tidak mengherankan kemudian kalau masalah bahasa
mendapatkan perhatian besar dalam bangunan pemikiran Arkoun. 17

b. Konsep Dekonstruksi Arkoun

16
Drs. Suadi Putro, MA. Muhammad Arkountentang Islam dan Modernitas, (Jakarta: Paramadina, 1996), h,
11-13
17
Haji Johan H. Meuleman, Nalar Islami dan Nalar Modern: Memperkenalkan Pemikiran Mohamed Arkoun,
dalam Jurnal Ulumul Quran, no. 4 Vol. 1v, 1993, h. 94

15
Apabila kita membandingkan perkembangan nalar di Eropa dengan perkembangan nalar di
dunia Arab atau Islam, akan tampak sekali kontras diantara keduanya. Perkembangan nalar
yang sangat dinamis dan revolusioner seperti yang terjadi di Italia, Prancis, Inggris, dan
Spanyol semenjak abad ke-16 tidak terjadi pada banyak masyarakat Arab atau Muslim.
Kaum muslimin dapat dikatakan telah mengabaikan langkah besar yang dilakukan oleh
nalar untuk terus mengupayakan otonominya dan meningkatkan fungsinya. Dari sudut
pandang sejarah, pemikiran Islam dapat dikatakan telah mengalami stagnasi dalam arti
tidak mau menerima berbagai macam perubahan. Semenjak abad ke-16 hingga kini
pemikiran Islam boleh dibilang tidak berdenyut.

Berangkat dari kegusaran mandeknya pemikiran Islam, Arkoun kemudian mengajukan apa
yang disebutnya sebagai “proyek kritik nalar Islam” yang terkandung dalam bukunya Pour
une critique de la raison islamique (kritik nalar islami, 1984) dalam bahasa Prancis dan
buku yang semula diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi Naqdu al-‘Aqlî al-Islâmý,
kemudian diterjemahkan

menjadi Tarîkhiyah al-Fikr al-`Arabi al-Islâmi (historisisme pemikiran ArabIslam). Ia


berfokus pada masalah pembacaan terhadap tradisi Arab-Islam. Tesis Arkoun berangkat
dari masalah pembacaan sejarah atau problem historisisme dan masalah interpretasi
(hermeneutik). Arkoun bermaksud melihat semua fenomena sosial budaya melalui
perspektif sejarah, yaitu masa lalu harus dilihat tingkatan sejarahnya. Pencarian sejarah
harus dibatasi menurut runtutan kronologis dan fakta nyata. Artinya, penyejarahan berperan
sebagai metode rekonstruksi makna melalui penghapusan relevansi antara teks dan konteks.
Jika metode ini digunakan dalam berbagai teks agama, yang diperlukan adalah makna baru
yang secara potensial bersembunyi di dalamnya

Arkoun mengklaim bahwa strategi dekonstruksi yang ia tawarkan sebagai sebuah strategi
terbaik karena strategi ini akan membongkar dan menggerogoti sumber-sumber Muslim
tradisional yang mensucikan “kitab suci”. Strategi ini berawal dari pendapatnya bahwa
sejarah al-Quran sehingga bisa menjadi kitab suci dan otentik perlu dilacak kembali. Dan ia
mengklaim bahwa strateginya itu merupakan sebuah ijtihad.18

Dengan Ijtihadnya ini Arkoun menyadari bahwa pendekatannya ini akan menantang segala
bentuk penafsiran ulama terdahulu, namun ia justru percaya bahwa pendekatan tersebut
akan memberikan akibat yang baik terhadap al-Quran. Dan menurutnya juga, pendekatan

18
Adnin Armas, al-Quran dan Orientalis, www.insits.com, diakses 7/6/2010

16
ini akan memperkaya sejarah pemikiran dan memberikan sebuah pemahaman yang lebih
baik tentang al-Quran, dengan alasan karena metode ini akan membongkar konsep al-Quran
yang selama ini telah ada.

Berdasarkan pendekatan tersebut Arkoun membagi sejarah al-Quran menjadi dua peringkat:
peringkat pertama disebut sebagai Ummul Kitab, dan peringkat kedua adalah berbagai kitab
termasuk Bible dan al-Quran. Pada peringkat pertama wahyu bersifat abadi, namun
kebenarannya di luar jangkauan manusia, karena wahyu ini tersimpan dalam Lauh al-
Mahfudz. Wahyu (Preserved Tablet) dan berada di sisi Tuhan, dan yang bisa diketahui
manusia hanya pada peringkat kedua yang diistilahkan oleh Arkoun sebagai “al-Quran edisi
dunia” (editions terrestres) namun menurutnya al-Quran pada peringkat ini telah mengalami
modifikasi dan revisi dan subsitusi.19

F. Al-Jabiri dan Pemikirannya


a. Riwayat Hidup Al-Jabiri

Muhammad Abid Al-Jabiri lahir di Figuig, sebelah selatan Maroko, tanggal 27 Desember
1935. Ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di madrasah hurrah wathaniyah, sekolah
agama swasta yang didirikan sebuah gerakan kemerdekaan ketika itu. Pendidikan
menengahnya dia tempuh dari 1951-1953 di Casablanca dan memperoleh Diploma Arabic
High School setelah Maroko merdeka. Dia pernah setahun menempuh pendidkan filsafat di
Universitas Damaskus, Siria.

Setelah itu dia melanjutkan pendidikan diploma Sekolah Tinggi Filsafat Fakultas Sastra
Universitas Muhammad V di Rabat, dan meraih gelar master dengan tesis tentang “Filsafat
Sejarah Ibn Khaldun” (Falsafatut Târîkh ‘inda Ibn Khaldûn) di bawah bimbingan N. Aziz
Lahbabi. Doktor bidang Filsafat, dia raih di Fakultas Sastra Universitas Muhammad V,
Rabat, dengan disertasi yang masih membahas seputar pemikiran Ibn Khaldun, khususnya
tentang Fanatisme Arab. Desertasinya berbicara tentang “Fanatisme dan Negara: Elemen-
Elemen Teoritik Khaldunian dalam Sejarah Islam” (Al-‘Ashabiyyah wad Dawlah: Ma’âlim
Nadzariyyah Khaldûiyyah fit Târikhil Islâmî). Disertasi tersebut kemudian dibukukan
tahun 1971.

Jabiri muda merupakan seorang aktifis politik berideologi sosialis. Dia bergabung dengan
partai Union Nationale des Forces Populaires (UNFP), yang kemudian berubah menjadi
19
Abdul Kabir Hussain Solihu, Historicist Approach, 195-96 dalam Metodologi Bible dalam Studi al-Quran,
dan Adnin Armas, M.A, Dampak Hermeneutika F. D. E. Schleiermacher dan William Dilthey Terhadap Studi
al-Qur’an, http://www.insistnet.com. diakses 8/6/2010

17
Union Sosialiste des Forces Populaires (USFP). Pada tahun 1975 dia menjadi anggota biro
politik USFP.

Di samping aktif dalam politik, Al-Jabiri juga banyak bergerak di bidang pendidikan. Dari
tahun 1964 dia telah mengajar filsafat di Sekolah Menengah, dan secara aktif terlibat dalam
program pendidikan nasional. Dan sampai sekarang dia masih menjadi Guru Besar Filsafat
dan Pemikiran Islam di Fakultas Sastra di Universitas Muhammad V, Rabab, sejak 1967. 20
Abid al-Jabiri menghembuskan nafas terakhir pada Senin, 3 Mei 2010, di Casablanca.

b. Pemikiran Al-Jabiri

Sebelum membicarakan tiga kunci utama epistemologi al-Jabiri dalam kritik nalar Arab,
ada baiknya kita memahami dulu pandangannya tentang tradisi Islam. Menurut al-Jabiri,
tradisi Islam adalah segala yang secara asasi berkaitan dengan aspek-aspek pemikiran
dalam peradaban Islam, mulai ajaran doktrinal, syari’at, bahasa, sastra, seni, teologi,
filsafat, hingga tasawuf, yang kesemua itu bergolak berkelindan antara satu sama lainnya
dalam hubungan saling mengisi, mengkritik, dan bahkn menjegal. Karenanya, al-Jabiri
memilih menggunakan tiga metode dalam menganalisis tradisi Islam atau nalar Arab,
yakni: (1) strukturalis, kajian-kajian harus didasarkan pada teks sebagaimana adanya, (2)
analisis sejarah, dengan tujuan melihat segenap lingkup budaya, politik, dan sosiologisnya,
dan (3) kritik ideologi, untuk mengungkap peran ideologi yang berkembang yang
mempengaruhi fungsi sosial-politik yang terkandung dalam pemikiran tertentu.

Inilah yang kemudian melandasi al-Jabiri membangun proyek Naqd ‘al-Aql al-‘Araby
(Kritik Nalar Arab), bahwa untuk memahami tradisi Islam harus dilakukan dengan
menelaah seluruh khazanah kearaban, secara strukturalis, sejarah, dan ideologis. Lalu al-
Jabiri membangun tiga pondasi epistemologi atas proyek ini, yakni epistemologi bayani,
‘irfani, dan burhani.

Pertama, Epistemologi Bayani adalah himpunan kaidah dan aturan untuk menafsirkan
wacana/kandungan pemikiran dalam teks (nash), bagaimana mengorientasikan al-far’u
(kasus khusus yang tidak ada dalam teks) kepada teks sebagai al-ashlu (induk/pokoknya).

20
Lihat biogrqafi Muhammad Abid Al-Jabiri dalam; Nirwan Syafrin, “Kritik terhadap ‘Kritik Akal Islam’ Al-
Jabiri”, dalam Jurbal ISLAMIA, (Edisi kedua, tahun 1, Juni-Agustus 2004), hal. 43 dan Novriantoni Kahar,
“Al-Jabiri dan Nalar Politik Arab dan Islam”, Makalah Diskusi Bulanan Jaringan Islam Liberal tentang “Nalar
Politik Arab dan Islam: Review atas Pemikiran Mohammad Abied Al-Jabiri” di Teater Utan Kayu, 30 Juni
2004.

18
Bahasa menjadi fokus utama bayani. Studi tentang tradisi Arab tidak bisa dilepaskan dari
studi bahasanya sebagai “sentral rujukan” yang melandasi lahirnya sstem pengetahuan atau
ideologi apa pun di dalamnya. Karenanya, bahasa dinyatakn memiliki hubungan erat
dengan pengetahuan, sehingga untuk mengetahui dasar-dasar lahirnya pengetahuan apa pun
dalam dunia Arab-Islam, harus memasuki wilayah bahasanya.

Kedua, Epistemologi ‘Irfani adalahsistem pengetahuan yang diperoleh berdasarkan cara


kasyf, tersingkapkan rahasia-rahasia oleh Tuhan kepada seseorang personal melalui olah
ruhani.

Ketiga, Epistemologi Burhani adalahsistem pengetahuan yang dibangun atas dasar


kekuatan nalar dan demontrasinya, eksperimentasinya, empirisasinya sekaligus.

Dari tiga epistemologi nalar Arab itu, al-Jabiri melakukan kritik nalar Arab dengan cara
menghasratkan sintesa antara bayani dan burhani, dalam posisi supaya burhani melandasi
bayani. Tujuannya jelas, bahwa bila cara kita menggali pengetahuan terhadap teks (nash)
berhasil dilepaskan dari tujuan utama “mengukuhkan nash” (khas bayani), tetapi mengacu
pada setiap realitas yang timbul dalam kehidupan aktual masyarakat Islam, dengan
berpandu pada nalar dan pembuktiannya (khas burhani), maka pemikiran-pemikiran Islam
kontemporer akan cakap dan terampil dalam mengaktualkan diri di hadapan realitas-realitas
aktual. Sehingga Islam tidak akan ketinggalan dalam membaca, menggali, dan
mengkonsepsikan isu-isu kontemporer. Ini tidak berarti bahwa al-Jabiri adalah sekuleris,
karena ia tetap kukuh mempertahankan bayani, yang itu berarti bahwa ia mengidealisasikan
pengetahuan-pengetahuan baru atas isu-isu baru (burhani) tetap memiliki landasan spiritual
pula (bayani). Akan tetapi memang al-Jabiri tidak berpoisisi untuk menjadi legitimator teks
(bayani), yang terlihat dengan jelas betapa ia mendorong pemikiran-pemikiran Islam untuk
berdialog dengan ilmu-ilmu sosiologi, antropologi, teknologi, filsafat, dan seterusnya.

BAB III

PENUTUP

19
A. KESIMPULAN

Dekonstruksi adalah sebuah metode sekaligus melampaui metode itu sendiri.


Dekonstruksi tidak hanya menggambarkan teks, baik teks literatur ataupun teks sebagai
realitas, apa adanya, melainkan juga mau mengungkap kontradiksi yang terletak di
dalam detil teks, sehingga pemaknaan dan arti baru yang sebelumnya tidak
terungkapkan bisa tampil dan justru menjadi dominan. Dalam bahasa Derrida
dekonstruksi hendak menemukan kontradiksi dan menggetarkan seluruh teks. Menurut
Royle di dalam tulisannya tentang Derrida, dekonstruksi adalah sebuah gempa yang
menggetarkan seluruh teks, dan mengubahnya ke arah yang sama sekali tidak terduga.
Kemungkinan untuk melakukan dekonstruksi sudah selalu terkandung di dalam teks itu
sendiri. Kemungkinan yang tampak seperti hantu, namun sama nyatanya seperti teks itu
sendiri. Dekonstruksi itu sendiri adalah teks.

DAFTAR PUSTAKA

A.Mustofa. 1997. Filsafat Islam. Bandung, Pustaka Setia

20
Adnin Armas, al-Quran dan Orientalis, www.insits.com

Al-Fayyadl, Muhammad. 2011. Derrida. Yogyakarta: Lkis.

Derrida. 1974/1976. Of Grammatology, terj. Gayatri Chakravorty Spivak, Baltimore: The


John Hopkins University Press

Drs. Suadi Putro, MA. 1996. Muhammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas. Jakarta:
Paramadina

Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

H. Meuleman, Haji Johan. 1993. “Nalar Islami dan Nalar Modern: Memperkenalkan
Pemikiran Mohamed Arkoun” dalam Jurnal Ulumul Quran, no. 4 Vol. 1v. h. 94.

J. F. Lyotard. 1982. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Manchester:


Manchester University Press.

Kahar, Novriantoni. 2004. “Al-Jabiri dan Nalar Politik Arab dan Islam”. Makalah Diskusi
Bulanan Jaringan Islam Liberal tentang “Nalar Politik Arab dan Islam: Review atas
Pemikiran Mohammad Abied Al-Jabiri” di Teater Utan Kayu,

Nicholas Royle. 2003. Derrida. London: Routledge

Sugiharto, I Bambang. 2011. Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat. Yogyakarta:


Kanisius.

Solihu, Abdul Kabir Hussain, “Historicist Approach, 195-96 dalam Metodologi Bible
dalam Studi al-Quran”. Dan Armas, Adnin M.A, Dampak Hermeneutika F. 4. D. E.
Schleiermacher dan William. Dilthey Terhadap Studi al-Qur’an, 2010.
http://www.insistnet.com.

Syafrin, Nirwan. 2004 “Kritik terhadap ‘Kritik Akal Islam’ Al-Jabiri”, dalam Jurnal
ISLAMIA. Edisi kedua, tahun 1. hal. 43

21

Anda mungkin juga menyukai