Anda di halaman 1dari 23

POSTMODERN DALAM PENELITIAN KUALITATIF

TUGAS
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Metode Penelitian Kualitatif

Dosen Pengampu : Drs. Agus Hikmat Syaf, M.Si.

Disusun oleh:
Kelompok 10
Indri Nur Fauziah (1162050049)
Meri (11620500)
Raden Milla Nurmaulany (11620500)
Kelas : Semester VII / P2

JURUSAN PENDIDIKAN MIPA


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
penyayang, kami panjatkan puji syukur atas kehadiratnya yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah metode penelitian kualitatif yang membahas mengenai postmodern
dalam penelitian kualitatif.
Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami
miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi
penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya kami sebagai penulis berharap semoga Allah SWT memberikan
pahala yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan dan dapat
menjadikan bantuan ini sebagai ibadah, Aamiin Yaa Rabbal Alamiin.

Bandung, September 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A. Sejarah Perkembangan dan Konsep..............................................................3
B. Pendekatan Postmodern dalam Penelitian Sosial Budaya............................9
C. Ragam Pendekatan Postmodern..................................................................11
D. Penerapan Penelitian Postmodern di Indonesia..........................................15
BAB III PENUTUP..............................................................................................19
Simpulan.............................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................20

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah peradaban, setidaknya ada tiga era zaman yang memiliki
ciri khasnya masing-masing, yaitu pra-modern, modern dan post-modern.
Zaman modern ditandai dengan afirmasi diri manusia sebagai subjek.
Munculah era kontemporer, yang disebut postmodern. Pemikiran pada masa
ini memfokuskan diri pada teori kritis yang berbasis pada kemajuan
dan emansipasi. Inti dari gerakan postmodern adalah ketidakpercayaannya
dan penolakannya terhadap gerakan modern yang dinyatakannya telah gagal
menepati janji-janjinya untuk membahagiakan umat manusia. Gerakan ini
yang pada mulanya mencuat dalam bidang bidang arsitektur dan estetika,
segera berkembang pada berbagai aspek kehidupan manusia yang mempunyai
variasi yang luar biasa banyaknya.
Tahapan seperti itu kurang lebih sama dengan tipe pendekatan dalam
penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, pendekatan itu juga adalah
upaya untuk mencari, menemukan, atau memberi dukungan akan kebenaran
yang relatif, yang sebagai suatu model biasanya dikenal dengan paradigma. 
Ada tiga pendekatan, yaitu positivisme, postpositivisme dan postmodernisme.
Pada era Postmodern para ahli tidak mencari hubungan rasional-integratif,
melainkan menemukan secara kreatif kekuatan momental dari berbagai
sesuatu yang saling independen dan dapat dimanfaatkan. Akhir era
postposivistisme menampilkan pemikiran sistematik, sedang awal berfikir
postmodern perlu mulai mengembangkan pemikiran sinergik. Berfikir
sistemik sekaligus sinergik dapat dilakukan dalam paradigma postmodern.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana Sejarah Perkembangan dan Konsep Postmodern?
2. Bagaimana Pendekatan Postmodern dalam Penelitian Sosial Budaya ?
3. Apasaja Ragam Pendekatan pada Postmodern?
4. Bagaimana Penerapan Penelitian Postmodern di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk:
1. Mengetahui dan memahami Sejarah Perkembangan dan Konsep
Postmodern.
2. Mengetahui dan memahami Pendekatan Postmodern dalam Penelitian
Sosial Budaya.
3. Mengetahui dan memahami Ragam Pendekatan pada Postmodern.
4. Mengetahui dan memahami Penerapan Penelitian Postmodern di
Indonesia.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan dan Konsep
1. Sejarah Perkembangan
Mencuatnya postmodern ke permukaan secara mengejutkan pada
awalnya tumbuh di lingkungan arsitektur. Charles Jencks dengan bukunya
The Language of Post-modern Architecture menyebut postmodern sebagai
upaya mencari pluralisme gaya arsitektur setelah ratusan terkukung satu
gaya (Magnis-Suseno, 2005). Postmodernisme dalam arsitektur
kontemporer itu lahir di St. Louis, Missouri, 15 Juli 1972, pukul 3:32 sore,
dengan merobohkan bangunan mewah komplek perumahan. Ketika
pertama kali didirikan, proyek perumahan Pruitt-Igoe di St. Louis itu
diklaim sebagai lambang arsitektur modern. Bangunan yang dinyatakan
sebagai simbol modernisasi yang menggunakan teknologi untuk
menciptakan masyarakat utopia itu, secara ironis dihancurkan oleh para
penghuninya karena dipandang tidak melambangkan humanisasi.
Pemerintah yang telah menghabiskan jutaan dolar akhirnya menyerah dan
bangunan itu diledakkan dengan dinamit. Peristiwa inilah menurut Jencks,
menandai kematian modernisme dan pertanda kelahiran postmodernisme.
Namun, menurut Ratna (2007:146) istilah postmodernisme
sebenarnya telah muncul pada tahun1870- an, digunakan oleh seniman
Inggris John Watkins chaman. Ada beberapa ahli berpendapat, istilah
postmodernisme baru muncul kembali pada tahun 1930-an, melalui
Federico de Onis, sebagai salah satu reaksi terhadap stagnasi modernisme,
dan mulai dibicarakan secara luas sekitar tahun 1960-an. Sejak saat itu
prefiks post mulai digunakan dalam berbagai bidang, seperti seni visual,
musik, tari, filsafat, sastra, dan sebagainya. Tak lepas dari modernisme,
postmodernisme juga berkembang dalam berbagai ilmu seperti, psikologi,
sastra, seni, bahasa, dan sebagainya. Postmodern dapat dikatakan bisa
menyediakan suprastruktur ideologisnya, sedangkan modernisme
menyediakan infrastruktur material bagi kepentingan umat manusia.
2. Postmodern dalam Filsafat
Secara etimologis postmodern terdiri atas dua kata, post dan modern.
Secara etimologis postmodern terdiri atas dua kata, post dan modern.
Dalam Kamus Bahasa Inggris (Wijowasito, 1980) kata “post”, diartikan
dengan “setelah”. Modern itu sendiri berasal dari kata latin Modo, yaitu,
baru saja (Alwasilah, 2008). Apabila kedua kata itu disandingkan berarti
kelanjutan atau melampaui, akibat dari, setelah, pasca, pengembangan,
penolakan modern. (Magnis-Suseno, 2005) mengatakan bahwa
postmodern juga mengandung arti sebagai koreksi terhadap modern itu
sendiri yang berusaha menjawab pertanyaanpertanyaan yang tidak dapat
terjawab di zaman modern.
Postmodern itu sendiri muncul sebagai bagian era modern. Ketika
post-modern mulai memasuki ranah filsafat, maka kata “post” dalam
postmodern tidak dimaksudkan lagi sebagai sebuah periode atau waktu
semata, tetapi lebih merupakan sebuah konsep yang hendak melampaui
segala hal yang berbau (Sugiharto, 1996). Istilah ini pun dipakai secara
leluasa dan otomatis membingungkan sebagai akibat dari dua sikap, yakni
resistensi sekaligus pengaburan makna modernisme dan implikasi dari
pengetahuan luas ikhwal modernisme yang kini sudah terlampaui era baru.
Aliran ini mulai dikenal secara luas dalam dunia filsafat pada tahun 1960-
an.
Dalam dunia filsafat, postmodernisme mendapatkan pendasaran
ontologis dan epistemologis, melalui pemikiran Jean Francois Lyotard
seorang filsuf Perancis. Lewat bukunya yang merupakan laporan
penelitian kondisi masyarakat komputerisasi di Quebec, Kanada, The
Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984), Lyotard secara
radikal menolak ide dasar filsafat modern semenjak era Renaisans hingga
sekarang yang dilegitimasikan oleh prinsip kesatuan ontologis (Awuy,
1995). Menurut Lyotard, dalam dunia yang sangat dipengaruhi oleh
kemajuan teknologi, prinsip kesatuan ontologis sudah tidak relevan lagi.
Kekuasaan telah dibagi-bagi dan tersebar berkat demokratisasi teknologi.

4
Karena itu prinsip kesatuan ontologis harus didelegitimasi dengan prinsip
paralogi. Paralogi berarti prinsip yang menerima keberagaman realitas,
unsur, permainan dengan logikanya masing-masing tanpa harus saling
menindas atau menguasai (Awuy, 1995). Persis permainan catur, setiap
bidak memiliki aturan dan langkah tersendiri, tanpa harus mengganggu
langkah bidak lain.
Lebih jauh Lyotard menyatakan prinsip-prinsip yang menegakkan
modernisme: rasio, ego, ide absolut, totalitas, teleologi, oposisi biner,
subjek, kemajuan sejarah linear yang disebutnya Grand Narrative telah
kehilangan legitimasi (Awuy, 1995). Cerita-cerita besar modernisme
tersebut tak ayal hanyalah kedok belaka, mistifikasi, yang bersifat
ideologis, eksploitatif, dominatif dan semu.
Dari arah berbeda dengan fokus filsafat bahasa Jacques Derrida,
seorang filsuf Perancis yang lain, bersepakat dengan Lyotard. Derrida
mengajukan strategi pemeriksaan asumsi-asumsi modernisme yang seolah-
olah sudah terberi itu dengan dekonstruksi. Sahal dalam (Arumingtyas,
2014) mengemukakan bahwa dekonstruksi adalah strategi untuk
memeriksa struktur-struktur yang terbentuk dalam paradigma modernisme
yang senantiasa dimapankan batasbatasnya dan ditunggalkan
pengertiannya. Dengan dekonstruksi, cerita-cerita besar modernitas
dipertanyakan, dirongrong dan disingkap sifat paradoksnya. Lebih jauh
dekonstruksi hendak memunculkan dimensi-dimensi yang tertindas di
bawah totalitas modernisme. Implikasi logis strategi ini adalah
melumernya batas-batas yang selama ini dipertahankan. Wacana-wacana
yang sebelumnya tertindas: kelompok etnis, kaum feminis, dunia ketiga,
ras kulit hitam, kelompok gay, hippies, punk, atau gerakan peduli
lingkungan kini mulai diperhatikan. Dengan dekonstruksi, sejarah
modernisme hendak ditampilkan tanpa kedok, apa adanya.
3. Konsep Pendekatan Postmo
Postmodern itu, perlu dilihat dari dua hal. Pertama, postmodern
dipandang sebagai keadaan sejarah setelah zaman modern, karena kata

5
’post” itu sendiri secara literal mengandung pengertian sesudah. Dalam hal
ini modernisme dipandang telah mengalami proses akhir yang segera
digantikan oleh zaman berikutnya yaitu post-modern. Kedua, postmodern
dipandang sebagai gerakan intelektual yang mencoba menggugat bahkan
merekonstruksi pemikiran sebelumnya yang berkembang dalam berbagai
paradigma pemikiran modern (Aziz, 1999).
Sepeti dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir bahwa
benang merah pola pikir modern antara lain: yang rasionalistik,
fungsionalis, interpretif, dan yang teori kritis: yaitu dominannya
rasionalitas (Muhadjir, 2000). Tradisi ilmu sampai teori kritis masih
“mengejar” grand theory. Logika yang dikembangkan dalam berilmu
pengetahuan masih dalam kerangka mencari kebenaran, membuktikan
kebenaran, dan mengkonfirmasikan kebenaran.
Sejumlah ahli mendeskripsikan posmo sebagai menolak
rasionalitas yang digunakan oleh fungsionalis, rasionalis, interpretif, dan
teori kritis. Namun posmo bukan menolak rasionalitas tetapi tidak
membatasi rasionalitas pada yang linier, tidak membatasi pada yang
standar termasuk yang divergen, horizontal, dan heterarkhik tetapi lebih
menekankan pada pencarian rasionalitas aktif kreatif (Muhadjir, 2000).
Tata fikir spesifik posmo adalah: kontradiksi, kontroversi,
paradoks, dan dilematis. Posmo lebih melihat realitas sebagai problematis,
sebagai yang selalu perlu di-inquired, yang selalu perlu di-discovered,
sebagai yang kontroversial. Bukannya harus tampil ragu, melainkan harus
memaknai dan selanjutnya in action. Ber-action sesuai dengan indikator
jalan benar.
Beberapa pengertian dan pemahaman mengenai postmodernisme,
dimana beberapa gagasan-gagasan dalam postmodernisme merupakan
bentuk penolakan terhadap “kemapanan”, pencarian yang baru, dan
penolakan terhadap pemisahan peran, tujuan atau hasil yang akan dicapai
terhadap suatu kegiatan manusia. Berdasarkan pemikiran-pemikiran di

6
atas, munculnya postmodernisme tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran
sebelumnya yang beraliran postivisme.
Postmodernisme menggoyang sendi-sendi teori atau ilmu sastra,
linguistik, estetika, dan sampai pada pemikiran antiteori. Salah satu bentuk
penolakan teori ini misalnya apa yang telihat pada paham dekonstruksi.
Dekonstruksi ini merupakan ciri dari pendektan postmodern. Dekonstruksi
merupakan perlawanan, pembalikan dari hasil pendekatan lalu yang
mapan. Menurut Abrams dalam (Arumingtyas, 2014) dekonstruksi pada
hakikatnya merupakan suatu cara membaca teks yang menumbang
anggapan bahwa sebuah teks itu memiliki landasan, dalam sistem bahasa
yang berlaku, untuk mengaskan struktur, keutuhan, dan makna yang telah
menentu.
Teori dekonstruksi menolak pandangan bahwa bahasa telah
memiliki makna yang pasti, tertentu, konstan, sebagaimana halnya
pandangan strukturalisme klasik. Hal ini merupakan alasan mengapa
paham dekonstruksi disebut juga sebagai sebagai poststrukturalisme
(Nurgiyantoro, 2018). Kesetiaan yang berlebihan terhadap suatu teori,
menurut pendekatan ini, justru akan memunculkan adanya
pembangkangan terhadap kebenaran teori itu sendiri.
Proses penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam,
menutupi hal yang diungkapkan, dan secara lebih umum menerobos
oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk kesinambungannya. Inilah sebabnya
mengapa “filsafat” Derrida begitu berlandaskan pada teks, dan mengapa
term-term kuncinya selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa
atau apa yang ia cari untuk didekonstruksi, sehingga titik pengelakan
selalu dilokasikan di tempat yang berbeda.
Penjelasan ini berisiko membuat kita semakin sulit memahami
pemikiran Derrida. Adanya perbedaan yang lebar dan diakui meluas,
antara karya-karya awal dan karya-karya terakhir Derrida, juga menjadi
contoh yang jelas bagi kesulitan yang akan muncul, jika kita menyatakan
bahwa “dekonstruksi mengatakan ini” atau “dekonstruksi melarang itu.”

7
Kekhasan cara baca dekonstruktif, yang dalam proses selanjutnya
membuatnya sangat bermuatan filosofis, adalah bahwa unsur-unsur yang
dilacaknya untuk kemudian dibongkar bukanlah sekadar inkonsistensi
logis, argumen yang lemah, atau premis tidak akurat yang terdapat dalam
teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran modernisme.
Melainkan, unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang
memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Singkatnya, kemungkinan
filsafat itu sendirilah yang dipersoalkan. Paham dekonstruksi bermaksud
untuk melacak aporia, yaitu yang berupa makna paradoksal, kontradiktif,
ironi dalam objek yang diteliti. Unsur-unsur dalam penelitian itu dicari dan
dipahami justru dalam arti kebalikannya. Unsur yang tidak penting dilacak
dan kemudian dipentingkan, diberi makna, peran, sehingga akan terlihat
perannya dalam objek penelitian tersebut.
Metode pemaknaan yang ditawarkan oleh dekonstruksi
dianalogikan dengan hymen (selaput dara perempuan) yang memperoleh
rangsangan alat genetil laki-laki. Selaput dara itu sebenarnya tidak sekadar
menerima rangsangan, tetapi juga memunculkan rangsangan akibat
rangsangan alat laki-laki itu. Metode ini menawarkan betapa proses lebih
penting daripada hasil (Al-Fayyadl, 2005). Dalam pengamatan
dekonstruksi, makna lebih dipahami sebagai sebuah proses dari penafsiran,
dan bukan hasil yang sudah jadi dan dapat dinikmati begitu saja. Makna di
balik layar, tetapi wujudnya bukan dalam bentuk kehadiran, mealainkan
sebagai proses menjadi yang terus-menerus menunda pengertian yang
dirasakan memadai dan menggantinya dengan penanda-penanda baru yang
lebih terbuka dan ambigu.
Dengan demikian dekonstruksi menolak kemapanan dan
pemusatan makna. Karena itu, pemusatan makna melalui tema sangatlah
dilawan oleh dekonstruksi. Karena makna tidak pernah dilihat sebagai
suatu hal yang selesai atau makna tunggal, maka dalam suatu teks
misalnya akan sangat mungkin ditemukan berbagai macam makna. Karena
itu, dekonstruksi meyakini bahwa tidak ada kebenaran. Yang ada adalah

8
proses mencari kebenaran. Hasil tidak begitu penting karena proses itu
sendiri adalah hasil. Analisis penguraiannya dilakukan dengan
membongkar bagian-bagiannya. Pembongkaran tersebut bukanlah
merusak, tetapi membangun konstruk baru. Konstruksi yang dibangun
setidaknya ingin menunjukkan bahwa ada banyak konstruk di luar
konstruk yang telah dianggap mapan. Karena itu, Kristeva menyatakan
bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruksi dan
konstruksi.
B. Pendekatan Postmodern dalam Penelitian Sosial Budaya
Kehadiran postmodernisme di kalangan peneliti sosial budaya memang
masih kontroversial. Di satu pihak menghendaki agar ada perubahan
pemahaman, dari modern ke yang lain, yang konon telah jenuh dan menemui
jalan buntu. Di lain pihak, masih ada keraguan menerima istilah tersebut,
karena postmodernisme dianggap sekedar konter produktif, hura-hura, dan
cibiran terhadap paham modern. Paham kedua inilah kiranya yang
menciptakan postmodernisme masih goyah, bahkan ada yang belum
mengakui secara akademik.
Pendek kata, kehadiran postmodernisme semestinya tak sekedar gerakan
eforis di tengah hiruk pikuk pemahaman budaya. Apabila kemeriahan
postmodernisme hanya sampai di sini, berarti pemahaman budaya justru
semakin dangkal dan kosong. Kecemerlangan postmodernisme akhirnya akan
terletak pada kemampuan merefleksikan fenomena secara arif. Arif, berarti
memenuhi standar keilmiahan. Teror-teror mental yang selama ini
membebani postmodernisme, seperti pelarangan menggunakan kata “saya”
pada sebuah penelitian, pelarangan pemanfaatan kata-kata estetis dalam studi
budaya sebaiknya dihapus. Karena, postmodernisme tak lagi ingin berpikir
kerdil yang meracuni peneliti sendiri. Keindahan bahasa dalam sebuah
laporan peneltian budaya, asalkan tak mengurangi realitas, kiranya diizinkan
dalam postmodernisme.
Hal demikian, juga diakui Lyotard bahwa postmodernisme merupakan
gerakan penelitian budaya “radikal”. Paham ini tak mengindahkan hukum-

9
hukum, pola-pola budaya yang lazim, dan menolak paham modern yang
selalu memiliki hegemoni pemaknaan. Postmodernisme justru ingin menjebol
sistem status quo. Itulah sebabnya, pemahaman budaya tak harus diatur rapi,
tak harus berkotak-kotak, berteori-teori, melainkan dapat dimulai dari hal-hal
sepele dan apa saja yang mungkin.
Postmodernisme sebenarnya lahir atas ketidakpuasan terhadap model
penelitian budaya sebelumnya. Penganut postmodernisme, menganggap
bahwa teori kajian budaya sebelumnya, seperti evolusionisme,
fungsionalisme, struktal fungsional, dan seterusnya yang mengeklaim dirinya
modern dianggap kurang berdaya. Maksudnya, teori kajian budaya modern
itu kurang mewakili kebenaran budaya yang semakin kompleks. Tuntutan
zaman dan selera budaya masa kini, tampaknya tak mampu terwadahi oleh
teori-teori modern yang agak sedikit kaku. Karena, pandangan modern
hampir selalu mematok sebuah pemahaman budaya “harus ini” dan “harus
itu”.
Setelah Geertz menafsirkan budaya Jawa di Pare dengan samaran
Mojokuto, Periode tafsir ini dianggap kurang mewakili abangan, santri,
priyayi di Jawa secara keseluruhan (Muhadjir, 2000). Karena itu, muncul
postmodernisme yang berupaya menjelaskan sisi-sisi kecil dari unsur budaya
yang sering terabaikan.
Sandaran dasar kaum postmodernisme, bukan berarti menolak
rasionalitas yang telah dibangun kaum interpretif dan sebelumnya, melainkan
ingin mencari makna baru lewat kebenaran aktif kreatif. Logika yang
digunakan adalah selalu menemukan kebaruan, tanpa standar yang pasti.
Karena itu, bagi kaum postmodernisme berkilah bahwa, kebenaran yang
selalu mengandalkan “grandtheory” sudah tidak relevan lagi. Namun, mereka
lebih menghargai perbedaan,pertentangan, paradoks, dan misteri di balik
fenomena sosial budaya.
Dalam kajian budaya, dekonstruksi Derrida memberi pengaruh penting.
Berkat dekonstruksi Derrida, makna kini tidak lagi dipandang sebagai sesuatu
yang mutlak, tunggal, universal, dan stabil, tetapi makna selalu berubah.

10
Klaim-klaim kebenaran absolut, kebenaran universal, dan kebenaran tunggal,
yang biasa mewarnai gaya pemikiran filsafat sebelumnya, semakin digugat,
dipertanyakan, dan tidak lagi bisa diterima.
Dalam kesusastraan, misalnya, dekonstruksi ditujukan sebagai metode
pembacaan kritis yang bebas, guna mencari celah, kontradiksi dalam teks
yang berkonflik dengan maksud pengarang. Dalam hal ini, membaca teks
bukan lagi dimaksudkan untuk menangkap makna yang dimaksudkan
pengarang, melainkan justru untuk memproduksi makna-makna baru yang
plural, tanpa klaim absolut atau universal.
Dalam proses itu, penafsir juga tidak bisa mengambil posisi netral tatkala
menganalisis suatu teks tanpa dirinya sendiri dipengaruhi atau dibentuk oleh
teks-teks yang pernah ia baca. Teks itu sendiri juga tidak bisa diasalkan
maknanya semata-mata pada gagasan si pengarang, karena pikiran pengarang
juga merujuk kepada gagasan-gagasan pengarang lain yang
mempengaruhinya.
Dekonstruksi, seperti juga pendekatan posmodernisme lainnya, dengan
demikian cocok dengan konsep pluralitas budaya, pluralitas permainan
bahasa, banyaknya wacana, penghargaan terhadap perbedaan, dan membuka
diri terhadap yang lain (Hardiman, 2007).
Penghargaan terhadap perbedaan, pada “yang lain” ini membuka jalan
bagi penghargaan pada pendekatan lokal, regional, etnik, baik pada masalah
sejarah, seni, politik, masyarakat, dan kebudayaan pada umumnya.
Penelitian yang bersifat lokal, atau etnik, dan sebagainya kini mendapat
tempat, dan pada gilirannya akan memperkaya dan menghasilkan deskripsi
atau narasi-narasi khas masing-masing. Mungkin, inilah salah satu
sumbangan penting dekonstruksi Derrida terhadap kajian budaya.
C. Ragam Pendekatan Postmodern
Pendekatan dalam penelitian postmoderen dikenal dengan pendekatan
dekonstruksi, karena karekteristik teoritik metodologik paling dasar dan
esensial dari postmoderen, adalah mendekontruksi (Zuldafrial, 2016). Ada

11
tiga istilah untuk pendekatan ini yaitu poststruktural, postmodernsme dan
postpardigmatik (Muhadjir, 2000).
1. Post strukturalis Derrida
Jacques Derrida (1930) dikenal sebagai tokoh dekonstruksi studi sastra
yang pertama. Dalam jangka panjang studi sastra hanya mengenal
strukturalisme positivistic (linguistik moderen) dari Ferdinand de Saussere,
dilanjutkan strukturalisme sosial yang postpositivistik sampai ke
hermeneutic. Konstruk logic kebahasaan : logosentrisme “oleh Derrida
dikonstruk. Bagi Derrida teks bukan sekedar kumpulan tanda-tanda,
melainkan merupakan “ rajutan” yang maknanya terajut dalam
keseluruhan teks, dalam teksualitas. Banyak ahli sebelum Derrida
berpendapat bahwa bahasa sebagai tanda atau symbol itu adalah bahasa
lisan (yang mungkin pula dapat ditulisakan); tetapi yang penting adalah
bahsa lisan (tuturan). Bagi Derrida bahasa lisan dan bahasa tilisan ada, dan
yang tulisan lebih penting.
Para ahli membedakan antara symbol dan tanda. Simbol mempunyai
hubungan natural dengan yang ditunjuknya, sedangkan tanda bersifat
arbiter. Derrida menolak perbedaan antara tanda dan symbol. Bagi Derrida
symbol atau tanda itu bersifat arbiter, pemaknaannya tidak bersifat
logosentris.Makna bahasa dalam suatu teks dapat berbeda dengan makna
dalam teks lain. Mencari makna dapat ditempuh dengan pembacaan
heuristic dan dapat ditempuh dengan pembacaan hermeneutik. Dalam
strukturalis pembacaan sesuai dengan hokum-hukum logosentrisme,
sedangkan pada poststrukturalis pembacaan untuk mencari makna lebih
terbuka, karena setiap tanda itu bersifat arbiter.
Parapoststrukturalist sependapat dengan strukturalist bahwa semua
unsur dalam bahasa itu mempunyai makna, tetapi makna itu berkembang
terus dalam sejarah perubahan. Jika bahasa secara konstan berubah terus
maknanya, bagaimana seseorang dapat menjamin kemungkinan benarnya
penafsiran.Dengan demikian tidak ada yang dapat menjamin benarnya
penafsiran pada satu kurun waktu. Dengan bertambahnya wawasanpun

12
buku yang sama dibaca oleh penulis yang sama dapat mengangkat
penafsiran yang berbeda. Segala sesuatu merupakan bagian perubahan
yang dinamis termasuk makna teks.
2. Postmodernisme Loytard
Jean-Francois Loytard (1942) dikenal sebagai tokoh yang pertama kali
mengenalkan konsep postmodernisme dalam filsafat. Meraih gelar Doktor
tahun 1971 di Universitas Sorbone dalam bahasa dan bergabung pada
gerakan marxis. Kerangka pemikirannya menggabungkan antara Marxis
dan psikoanalisis Freud. Pemikiran postmodernnya berkembang setelah
melihat kenyataan sejarah hilangnya daya pikat seperti perjuangan
sosialisme, runtuhnya komunisme, melihat gagalnya modernitas, kejadian-
kejadian “ Auschwich” yang tak terfahami secara rasional, modernitas
dalam kesatuan ideal yang menjadi terpecah-pecah, dan berlanjut 10 tahun
setelah buku pertamanya tentang postmodern terbit (1986).
Posmo menolak idee otonomi aesthetic dari modernis. Seni tidak dapat
dipisahkan dari lingkungan politik dan sosial, dan menolak pemisahan
antara legitimate art dengan popular calture. Posmo menolak hirarkhi,
genealogik, menolak kontinuitas, dan perkembangan. Posmo bukan
membuat destruksi terhadap modernitas. Posmo beruipaya
mempersentasikan yang tidak dapat dipresentasikan oleh modernism,
demikian Lyotard. Mengapa modernisme tidak dapat mempersentasikan
karena logikanya masih terikat pada standard logic, sedangkan posmo
mengembangkan kemampuan kreatif membuat makna-makna baru
menggunakan unstandard logic.Dominasi luar biasa dari technoscience
dalam kebudayaan, melewati kebutuhan manusia; sehinga tehnoscience
memperburuk krisis kemanusiaan, demikian Lyotard.
3. Postparadigmatik
Postmodernisme menggunakan logika postparadigmatik, atau yang
dikenal sebagai paraconsistent logic, yang dikembangkan antara lain oleh
Joskowki dan da Costa. Paraconsistent adalah logika yang inferensinya
dibangun dengan cara sensible/make sense atau dapat dimengerti,

13
meskipun informasi yang digunakan untuk membuat kesimpulan tidak
konsisten. Dengan paraconsistent logic kita mungkin menggunakan
kontradiksi yang dapat dimengerti dan inferensinya dapat diterima logika
kita. Global paradoksnya Naisbitt dapat dipakai sebagai contoh. Logika
yang digunakan menampilkan konsep yang berisi kontradiksi intern atau
paradoksal, tetapi argumentasinya dapat dimengerti, sehingga inferensinya
dapat diterima.
Tentang kebenaran struktural paradigmatic, Thomas Kuhn
mengemukakan bahwa konstruksi paradigma antara lan: momot
kesesuaian observasi dengan paradigma, mencakup phenomena tambahan
dan menetapkan nilai universal konstan. Kebenaran postparadigmatik
mengakui bahwa sangat mungkin sekali observasi baru dan phenomena
tambahan tidak sesuai dengan paradigma yang ada, sehingga juga tidak
dapat ditetapkan nilai universal konstan. Kebenaran universal itu tumbuh
terus skopnya, isinya, dan dimensinya, tak terduga, karena manusia
berkelanjutan bersifat aktif kreatif dan mengembangkan terus maknanya.
Dalam berfikir moderen: kontradiksi, kontroversi, paradoks dan
dilemma itu indikasi lemahnya teori. Tetapi dalam berfikir postmodern tata
pikir tersebut dapat mernjadi inventif atau inovatif.Small is Beautifulnya,
Schumacher menampilkan kontroversi. Dalam alur berfikir dunia pada
waktu itu (1973) semakin besar akan semakin kuat dan semakin hebat,
Schumacher menampilkan yang kecil juga dapat hebat.Alvin Toffler
menampilkan kontroversi yang lain. Sampai tahun 1980, perkembangan
sejarah peradaban ditahapkan menjadi masa berburu, bercocok tanam dan
berdagang. Toffler dengan The Third wavenya (1980) menampilkan
pentahapan sejarah yang berbeda, yaitu berdasar energi yang digunakan.
Noeng Muhadjir mengetengahkan bahwa untuk kepentingan
pendidikan generasi muda, sejarah penjajahan 350 tahun oleh
kolonealisme perlu direkonstruksi menjadi sejarah perlawanan
berkelanjutan selama 350 tahun. Sampai 1908 perlawanan terhadap
kolonialisme berlangsung lewat perang, dan sejak 1908 perlawanan

14
terhadap kolonialisme dilakukan dengan perjuangan politik, dan akhirmya
lewat perlawanan bersenjata bangsa Indonesia menjadi
merdeka.Schumacher, Toffler dan Noeng Muhadjir telah mengetengahkan
berfikir postmodern : postparadigmatik.
D. Penerapan Penelitian Postmodern di Indonesia
Konsep posmo pertama kali muncul di lingkungan gerakan arsitektur.
Arsitektur modern berorientasi pada fungsi struktur, sedangkan arsitektur
posmo berupaya menampilkan makna simbolik dari konstruksi dan ruang.
Terlihat adanya benang merah pola pikir era modern: yang rasionalistik,
yang fungsionalis, yang interpretif dan yang teori kritis, yaitu: dominanya
rasionalis. Dalam komparasi dapat dijumpai: yang positivist membuat
generalisasi dari frekuensi, dan variasi, yang interpretif membuat kesimpulan
generative dari esensi; yang positivist menguji kebebenaran dengan uji
validitas, yang interpretif menguji truthworiness lewat tiangulasi. Tradisi ilmu
sampai teori kritis masih mengejar “grand theory“ Logika yang
dikembangkan dalam berilmu pengetahuan masih dalam kerangka mencari
kebenaran, membuktikan kebenaran dan mengkonfermasikan kebenaran.
Sejumlah ahli mendeskripsikan posmo menolak rasionalitas yang
digunakan oleh para fungsionalis, rasionalis, interpretif, dan teori kritis.
Menurut pencermatan penulis posmo bukan menolak rasioalitas, tetapi tidak
membatasi rasionalitas pada yang linier, tidakmembatasi pada yang standard
termasuk yang divergen, horizontal, dan heterarkhik tetapi lebih menekankan
pada pencarian rasionalitas aktif kreatif. Bukan mencari dan membuktikan
kebenaran, melainkan mencari makna perspektif dan problematis, logika yang
digunakan adalah logika unstandard menurut Borghe, logika discovery
menurut Noeng Muhadjir atau logika inquiry menurut Conrad (Zuldafrial,
2016)
Rasionalitas modernist yang mengejar grandtheory dan jabarannya,
ditolak oleh posmo. Posmo menggantinya dengan perbedaan (differences),
pertentangan (opposites), paradoks, dan penuh misteri (enigma). Dalam pola
fikir era moderen, kontradiksi intern merupakan indicator lemahnya suatu

15
konsep atau teori. Dalam era posmo kontradiksi baik intern maupun eksteren
menjadi suatu pola pikir yang dapat diterima.
Tata pikir spesifik posmo adalah: kontradiksi, kontroversi, paradoks, dan
dilematik. Posmo lebih melihat realitas sebagai problematic, sebagai yang
selalu perlu di inquired, yang selalu perlu di discovered, sebagai yang
controversial. Bukannya harus tampil ragu, melainkan harus memaknai dan
selanjutnya in action. In actionnya kemana? Ber action sesuai dengan
indicator jalan benar.Yang benar obsulut di mana? Bagi sekuler: benar
obsulut adalah benar universal, benar berdasarkan keteraturan semesta.
Keteraturan semesta sampai millenium ke tiga pun masih banyak yang belum
terungkap.Baru saja teramati bagaimana suatu galaksi terbentuk, baru saja
teridentifikasi DNA sebagai intinya gen yang diturunkan, dengan
ditemukannya struktur setiap sesuatu dapat dikembangkan tiruaan berupa
polimer dan banyak lagi. Bagi yang religious, benar absulut hanya diketahui
Allah. Manusia berupaya mengungkapkan dan memanfaatkan keteraturan
semesta untuk kemaslatan manusia. Posmo dengan logika dan rasionalitas
berupaya untuk in action berkelanjutan. Segala yang problematis, yang
beragam, yang kontradiksi perlu dipecahkan secara cerdas untuk menemukan
jalan menuju kebenaran. Ilmiah bagi era moderenakan bergerak dari tesis satu
ke tesis lain, dan dari teori satu ke teori lain. Ilmiah bagi era posmo dengan
logic of discovery dan logic of inquiry, kita bergerak dari innovation dan
invention satu ke innovation dan invention lain.
Kebenaran semesta dapat dipilah menjadi dua yaitu kebenaran
keteraturan substansif dan kebenaran keteraturan esensial. Invensi berbagai
keteraturan esensial dapat dikereasi oleh manusia berbagai rekayasa
teknologi. Hasil;nya dapat luar biasa dan tak terduga, sebagaimana temuan di
bidang computer, temuan DNA, polimer dan lain-lain.Karena itu inovasi hasil
rekayasa teknologi memang tak tergambarkan sebelumnya dan substansi
kebenarannya pun memang belum ada. Meskipun demikian bertolak dari
invensi-invensi esensial, imajinasi manusia dapat memprediksi inovasi masa
depan, seperti cerita ilmiah imanjinatif pistol laser dari Paris Barin di Planet

16
Mars, pesawat ruang angkasa dari Flash Gordon, pembiakan lewat sel
ternyata terbukti dapat direalisasikan.Berbeda dengan rekayasa sosial. Banyak
futorolog menampilkan struktur masyarakat atau dinamika masyarakat masa
depan seperti Toffler, Daniel Bell, Nasibitt atau lainnya. Meskipun
menggunakan indikator-indikator tertentu tetap saja akan lebih banyak
salahnya daripada benarnya.
Dari uraian di atas ilmu dapat dipilah men jadi emapat : Pertama temuan
basic and advanced research yang umumnya lewat eksprimen laboratori
(seperti : listrik,sinar gamma, struktur polimer, DNA); Kedua temuan pikir
cerdas manusia umumnya secara deduktif (seperti temuan angka arab, angka
0, sistem decimal, huruf latin, logika); Ketiga temuan rekayasa teknologi,
temuan technological and advanced research, yang umumnya lewat
eksprimen laboratory (seperti temuan televisi, computer, satelit, polimer
buatan, operasi jantung); dan Keempat, temuan rekayasa sosial (seperti :
sistem kasta, monarkhi, teori konflik, teori fungsionalisme, teori posmo).
Apakah posmo hanya menyangkut rekayasa sosial? tidak. Dengan
mendekonstruk paradigma genetic jantan-betina menjadi paradigma lain,
ditemukan DNA. Dengan mendekostruk sistem desimal menjadi sistem
digital berkembang software ilmu computer. Dekonstruksi paradigm sosial,
berkembang berbagai teori para futurology. Dekonstruksi sosial paling
banyak tetapi nampaknya juga yang paling banyak membuat kesalahan
prediksi.
Makna poststruktural, postparadigmatic akan menjadi semakin menonjol
dalam peran befikir postmodern. Pada era modern, baik positivist maupun
postpositivist para ahli terpusat pada upaya membangun kebenaran dengan
mencari tatahubungan rasional-logis, baik secara linier pada
positivist,maupun secara kreatif (divergen, lateral, holographic, dan dan lain-
lain) pada postpositivist. Pada era postmodernpara ahli tidak hendak mencari
hubungan rasional-integrative, melainkan hendak menemukan secara kreatif
kekuatan-kekuatan momental dari berbagai sesuatu yang saling independen
dan dapat dimanfaakan.

17
Akhir era postpositivist menampilkan pemikiran sistemik, sedangkan
awal berfikir postmodern perlu mulai mengembangkan pemikiran sinergik.
Berfikir sistemik sekali gus sinergik dapat dilakukan dalam paradigma
postmodern. Penerapan penelitian postmoderen dalam pendidikan di
Indonesia, menurut hemat penulis belumlah berkembang secara maksimal.
Penelitian-penelitian yang dilakukan di perguruan tinggi baik yang dilakukan
oleh mahasiswa maupun dosen masih terbatas dalam kerangka mencari
kebenaran, membuktikan kebenaran dan mengkonfirmasikan kebenaran.
Sehingga yang berkembang hanya pengetahuan yang bersifat teoritis dan
kurang ada manfaatnya bagi kehidupan masyarakat. Perguruan tinggi hanya
menjadi menara gading yang lepas dari kehidupan masyarakat.
Penelitian-penelitian postmodern hanya berekembang pada disiplin ilmu
tertentu terutama pada disiplin ilmu pengetahuan alam, namun demikian
konstribusinya masih sangat kecil. Hal ini diindikasikan masih sangat
kurangnya penemuan-penemuan dan inovasi-inovasi teknologi sebagai hasil
dari suatu proses pendidikan tinggi, kalaupun ada masih sangat sederhana dan
tidak mendapat dukungan penuh dari pemerintah dalam pengembangannya,
sehingga penemuan dan inovasi yang didapat dari hasil penelitian menjadi
terabaikan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi dalam proses
pendidikan menjadi mandul. Inilah salah satu indikator yang menunjukan
mengapa sumber daya pendidikan di Indonesia tertinggal dibandingkan
dengan Negara-negara di Asia.
Sehubungan dengan itu ke depan paradigma pendidikan di Indonsesia
harus digeser dari paradigma berfikir modern menjadi paradigama berfikir
postmodern, dari paradigma berfikir positivistis menjadi paradigma berfikir
postmodernisme, poststrukturalis dan postparadigmatik.

18
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Mencuatnya postmodern ke permukaan secara mengejutkan pada awalnya
tumbuh di lingkungan arsitektur. Istilah postmodernisme sebenarnya telah muncul
pada tahun1870- an, digunakan oleh seniman Inggris John Watkins chaman. Ada
beberapa ahli berpendapat, istilah postmodernisme baru muncul kembali pada
tahun 1930-an, melalui Federico de Onis, sebagai salah satu reaksi terhadap
stagnasi modernisme, dan mulai dibicarakan secara luas sekitar tahun 1960-an.
Kehadiran postmodernisme semestinya tak sekedar gerakan eforis di
tengah hiruk pikuk pemahaman budaya. Apabila kemeriahan postmodernisme
hanya sampai di sini, berarti pemahaman budaya justru semakin dangkal dan
kosong. Kecemerlangan postmodernisme akhirnya akan terletak pada kemampuan
merefleksikan fenomena secara arif. Arif, berarti memenuhi standar keilmiahan.
Teror-teror mental yang selama ini membebani postmodernisme, seperti
pelarangan menggunakan kata “saya” pada sebuah penelitian, pelarangan
pemanfaatan kata-kata estetis dalam studi budaya sebaiknya dihapus.
Pendekatan dalam penelitian postmoderen dikenal dengan pendekatan
dekonstruksi, karena karekteristik teoritik metodologik paling dasar dan esensial
dari postmoderen, adalah mendekontruksi (Zuldafrial, 2016). Ada tiga istilah
untuk pendekatan ini yaitu poststruktural, postmodernsme dan postpardigmatik
(Muhadjir, 2000).
Penelitian-penelitian postmodern hanya berekembang pada disiplin ilmu
tertentu terutama pada disiplin ilmu pengetahuan alam, namun demikian
konstribusinya masih sangat kecil. Hal ini diindikasikan masih sangat kurangnya
penemuan-penemuan dan inovasi-inovasi teknologi sebagai hasil dari suatu proses
pendidikan tinggi, kalaupun ada masih sangat sederhana dan tidak mendapat
dukungan penuh dari pemerintah dalam pengembangannya, sehingga penemuan
dan inovasi yang didapat dari hasil penelitian menjadi terabaikan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Al-Fayyadl, M. (2005). Derrida. LKIS PELANGI AKSARA.


Alwasilah, A. C. (2008). Filsafat bahasa dan pendidikan. Diterbitkan atas kerjasama
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia dengan Remaja
Rosdakarya.
Arumingtyas, E.A. (2014). Postmodern dalam Penelitian Kualitatif.
https://www.scribd.com/doc/214090840/Postmodern-Dalam-Penelitian-
Kualitatif. (15 September 2019.
Awuy, T. F. (1995). Wacana tragedi dan dekonstruksi kebudayaan. Jentera.
Aziz, A. A. (1999). Neo-modernisme Islam di Indonesia: gagasan sentral
Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Rineka Cipta.
Hardiman, F. B. (2007). Filsafat fragmentaris: deskripsi, kritik, dan dekonstruksi.
Kanisius.
Magnis-Suseno, F. (2005). Pijar-pijar filsafat: dari Gatholoco ke filsafat
perempuan, dari Adam Müller ke Postmodernisme. Kanisius.
Muhadjir, N. (2000). Metode Penelitian Kualitatif Edisi IV. Yogyakarta: Rake
Serasin.
Nurgiyantoro, B. (2018). Teori pengkajian fiksi. Ugm Press.
Ratna, Nyoman Kuta. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian
Sastra.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugiharto, I. B. (1996). Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat. Kanisius.
Wijowasito dan Perwadarminta. 1980. Kamus Bahasa Inggris. Bandung: Hasta.
Zuldafrial. (2016). Pembahasan Penerapan Penelitian Postmodern Di Indonesia
Didasarkan Artikel Penelitian Kritis Modern Dan Post Modern Allan Tarp.
Jurnal Edukasi, 11(2), 240–251.

20

Anda mungkin juga menyukai