KUANTITATIF DAN
KUALITATIF
METODE PENELITIAN
GOSO
A013171026
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017
2
A. Pendahuluan
Penyelesaian masalah penelitian pada tahap awal ditentukan paradigma dari peneliti.
Paradigma merupakan suatu cara pandang, cara memahami, cara menginterpretasi, suatu
kerangka berfikir, dasar keyakinan yang memberikan arahan pada tindakan. Dalam
penyelesaian masalah, peneliti diharuskan melihat dari sudut pandang yang mampu dilakukan
oleh peneliti tersebut.
Penelitian ilmiah merupakan proses sistematis yang dilakukan dengan urutan dan
prosedur tertentu yang bersifat tetap dan benar. Peneliti mengumpulkan data dan menganalisa
dari awal penemuan permasalahan dan berlanjut kepada tahap-tahap berikutnya misalnya
tahap perumusan masalah, telaah teoretis, verifikasi data, dan kesimpulan.
Kerlinger dan Lee (2010:14) menyatakan bahwa “Scientific research is systematic,
controlled, empirical, amoral, public, and critical investigation of natural phenomena. It is guided
by theory and hypotheses about the presumed relations among such phenomena.” Definisi
lainnya dikemukakan oleh Sekaran dan Bougie (2010:3) sebagai berikut: . . . “an organized,
systematic, data-based, critical, objective, scientific inquiry or investigation into a specific
problem, undertaken with the purpose of finding answers or solutions to it.
Dasar berfikir positivistik dalam upaya mencari kebenaran dilandaskan pada besar
kecilnya frekuensi kejadian atau variasi obyek. Suatu penelitian dipandang obyektif, bila
siapapun dengan prosedur kerja yang sama menghasilkan kesimpulan penelitian yang sama.
Reliabilitas dapat dibedakan menjadi dua: keajegan internal dan stabilitas antar kelompok.
Dengan belah dua random atau dengan pengulangan pengukuran antar waktu kita menguji
keajegan internal atau consistency; sedangkan dengan memperbandingkan frekeunsi atau
variansi antar kelompok kita menguji stabilitas antar kelompok atau stability. Consistency dan
stability adalah ragam prosedur untuk menguji reliabilitas. Validitas adalah kebenaran.
Kebenaran bagi positivisme diukur berdasar besarnya frekuensi kejadian atau berdasar
berartinya (significancy) variansi obyeknya.
Dalam penelitian kualitatif kebenaran tidak diukur berdasar frekuensi dan variansi,
melainkan dilandaskan pada diketemukan hal yang esensial, hal yang intrinsik benar; Untuk
mengejar kebenaran positivisme mengejar lewat populasi yang luas serta sampel yang
representatif, sedangkan penelitian kualitatif mengejar kebenaran lewat diketemukan sumber
terpercaya sehingga hal yang hakiki, yang intrinsik, yang esensial dapat diketemukan. (Noeng
Muhadjir, 2000)
B. Pengertian Paradigma
Paradigma (Paradigm) sering juga disebut perspektif (cara pandang) atau worldview
(pandangan dunia) ataupun school of tought (aliran pemikiran, mazhab). Paradigma itu sendiri
dapat didefinisikan sebagai ―satu set proposisi yang menjelaskan bagaimana dunia dipahami,
cara menyederhanakan kompleksitas dunia nyata, memberitahu peneliti dan para ilmuwan
secara umum tentang apa yang dianggap penting, sah dan rasional. (Sarantakos, 1993).
Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962), dan kemudian
dipopulerkan oleh Robert Friedrichs (1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui
realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang
kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik. Definisi tersebut dipertegas oleh
Friedrichs, sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang
menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Pengertian lain dikemukakan oleh George
Ritzer (1980), dengan menyatakan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari para
ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu
cabang/disiplin ilmu pengetahuan.
Para peneliti keilmuan akuntansi secara umum memiliki dua perspektif yang dapat
dijadikan acuan dalam penelitiannya. Yaitu dari sisi kuantitatif dan sisi kualitatif. Namun kedua
perspektif tersebut masih sangat luas penjabarannya. Sehingga apabila tidak diklasifikasikan,
akan mempersulit dalam penggunaannya. Pada pembahasan ini, penulis merujuk pada buku
yang dibuat oleh Burrell dan Morgan (1979) yang berjudul Sociological Paradigm and
Oraganizational Analysis. Dalam bukunya Burrel dan Morgan membuat pemetaan
perkembangan pemikiran akuntansi. Selain itu juga melibatkan karya penulis lain seperti Chua
(1986), Roslender (1992), Sarantakos (1993) dan ilmu sosial secara umum.
Klasifikasi paradigma tersebut sebenarnya merupakan pemikiran-pemikiran teori
organisasi yang diturunkan dari teori sosiologi. Yaitu; (1) The Functionalist Paradigm, (2)
Interpretive Paradigm, (3) Radical Humanist Paradigm, dan (4) Radical Structuralist Paradigm.
Masing-masing paradigma memiliki karakter sendiri-sendiri yang dapat dibedakan secara nyata.
Dari paradigma tersebut kemudian munurut Chua (1986) dalam bukunya yang berjudul Radical
Development in Accounting Thought memodifikasi dalam tiga paradigma, yaitu; (1) The
Functionalist Paradigm (Mainstream atau Positivist Perspective), (2) The Interpretive Paradigm,
dan (3) The Critical Paradigm. Pada perkembangannya, yang paling dominan menjadi dasar
paradigma penelitian adalah Functionalist atau Positivist Paradigm. Pengaruh yang
ditimbulkannya sangat dominan dan berkembang begitu pesat, sehingga cenderung menjadi
arus utama (Mainstream). Sehingga akhirnya paradigma ini dinamakan paradigma arus utama
(Mainstream Paradigm).
Sedikit berbeda dengan Burrell dan Morgan, Sarantakos (1993) cenderung mengikuti
penggolongan yang dibuat oleh Chua (1986) dengan mengklasifikasikan paradigma menjadi
tiga, yaitu ; (1) Positivist Paradigm, (2) Interpretivist Paradigm, dan(3) Critical Paradigm. Secara
umum pendekatan penelitian atau sering juga disebut paradigma penelitian yang cukup
dominan adalah paradigma penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif.
Paradigma adalah perspektif umum atau cara berpikir yang mencerminkan keyakinan
dan asumsi fundamental tentang sifat organisasi (bandingkan Kuhn, 1970; Lincoln, 1985). Para
sarjana di disiplin ilmu kita saat ini terlibat dalam sebuah debat mengenai kontribusi
pengetahuan dan pengetahuan yang khas, yang timbul dari pandangan philosophical dan
paradigma konseptual yang berbeda (Burrell & Morgan, 1979; Lincoln, 1985) (lihat juga Astley &
Van de Ven, 1983; Rao & Pasmore, 1989). Perdebatan ini mungkin paling ringkas berdasarkan
asumsi mendasar yang berbeda tentang sifat fenomena organisasi (ontology), sifat
pengetahuan tentang fenomena (epistemology) tersebut, dan sifat cara mempelajari fenomena
tersebut (methodology). Burrell dan Morgan (1979) telah mengorganisasikan perbedaan ini di
sepanjang dimensi perubahan subjektif dan regulasi, yang menghasilkan matriks 2 x 2 yang
terdiri dari empat paradigma penelitian yang berbeda.
dari lingkungannya dan dengan subjektivitas praktisi akuntansi dan masyarakat bisnis.
Kondisi tersebut sesuai dengan metode inductive approach yang digunakan oleh
interpretive paradigm. Metode tersebut menjelaskan dari sesuatu yang khusus ke yang umum
atau dari sesuatu yang kongkret ke yang abstrak (Sarantakos, 1993). Maksud dan tunjuan
inductive approach tersebut tidak bisa diartikan mencari generalisasi, namun sebagai sebuah
bentuk pemahaman dari sesuatu yang empirik dan khusus menjadi pemahaman yang lebih
abstrak melalui proses penafsiran (interpret). Proses penafsiran tidak sekedar menggunakan
indera, tetapi yang lebih penting adalah pemahaman makna dan interpretasinya (Sarantakos,
1993) atas realitas sosial yang dikaji.
Studi modern tentang organisasi terutama didorong oleh variasi sains sosial dari model
sains alami (bandingkan Audet, Landry, & Dery, 1986; Behling, 1980). Akibatnya, perdebatan
tentang pengembangan teori dan kontribusi terhadap teori telah dibatasi, sebagian besar,
berada dalam batas-batas paradigma fungsionalis. Ilmu organisasi telah dipandu secara
dominan oleh asumsi bahwa sifat organisasi pada dasarnya adalah tujuan yang "di luar sana"
yang menunggu dilakukannya eksplorasi dan penemuan yang tidak memihak. Oleh karena itu,
kita cenderung untuk beroperasi dengan menggunakan pendekatan deduktif untuk membangun
teori, menetapkan hipotesis yang dianggap sesuai untuk dunia organisasi dan mengujinya
terhadap data yang didorong hipotesis melalui analisis statistik. Sebuah sumbangan matriks
paradigma Burrell dan Morgan yang menggambarkan dominasi relatif fungsionalisme dalam
studi organisasi. (Gioia Pitre, 1990)
Asumsi-asumsi dari para ahli fungsional, bagaimanapun, menjadi problematis ketika
pandangan subyektif mengenai paham sosial dan organisasi diadopsi atau bila ada
kekhawatiran akan perubahan transformasional. Tiba-tiba, adanya "fakta" sosial dan asumsi
stabilitas dipertanyakan. Studi tentang phe nomena seperti pembuatan rasa, yang berarti
konstruksi, kekuatan, dan konflik menjadi sangat canggung untuk ditangani dengan
menggunakan kerangka objektivis yang tidak dapat diubah. Apa yang "di luar sana" menjadi
sangat terkait dengan interpretasi yang dibuat "di sini" (internal bagi anggota organisasi yang
sedang dipelajari dan para peneliti yang melakukan penelitian). Demikian juga, ketika
seseorang mengadopsi nilai untuk menantang status quo, asumsi stabilitas implisit juga menjadi
tidak tepat. Apa yang stabil menjadi target perubahan.
Para ilmuwan semakin mempertanyakan kesesuaian umum dari paradigma "ilmu
pengetahuan" yang dominan (Kuhn, 1970), yang biasanya diasumsikan dalam studi organisasi
(Lincoln, 1985; Rorty, 1987). Generasi pengetahuan seringkali paling baik ditafsirkan sebagai
proses retoris dimana sifat pengetahuannya sangat terkait dengan asumsi dan kosa kata yang
digunakan untuk mengkomunikasikan gagasan dan pendekatan untuk dipelajari (bandingkan
Nelson, Megill, McCloskey, 1987; Rao & Pasmore, 1989). Retorika, bangunan teori, dan
pengetahuan karenanya pada dasarnya bersifat epistemis (bandingkan dengan Cherwitz, 1977;
Scott, 1967, 1977) dengan kata lain, mereka berbasis paradigma. Hasil dari pengakuan ini
adalah bahwa kita tidak bisa lagi hanya berpendapat bahwa bangunan teori positivis /
fungsionalis berlaku setiap tempat dengan beberapa penyesuaian dan membiarkannya berjalan
bahwa. Ada implikasi besar untuk membangun teori yang muncul dari perbedaan paradigma ini.
Norman K. Denzin membagi paradigma kepada tiga elemen yang meliputi; epistemologi,
ontologi, dan metodologi. Epistemologi mempertanyakan tentang bagimana cara kita
mengetahui sesuatu, dan apa hubungan antara peneliti dengan pengetahuan. Ontologi
berkaitan dengan pertanyaan dasar tentang hakikat realitas. Metodologi memfocuskan pada
bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan. Dari definisi dan muatan paradigma ini,
Zamroni mengungkapkan tentang posisi paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuwan untuk
merumuskan berbagai hal yang berkaitan dengan; (1) apa yang harus dipelajari; (2) persoalan-
persoalan apa yang harus dijawab; (3) bagaimana metode untuk menjawabnya; dan (4) aturan-
aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang diperoleh.
perspektif dalam penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Positivisme menjadi dasar untuk
penelitian kuantitatif sedangkan interpretivisme menjadi dasar untuk penelitian kualitatif.
Menurut positivisme, obyek pengetahuan ilmiah harus empiris, keberadaannya harus
dapat diketahui melalui panca indera manusia. Terkait dengan itu, teologi, logika dan
matematika tidak dikategorikan sebagai pengetahuan ilmiah karena keberadaan obyek
materialnya tidak dapat diketahui melalui panca indera manusia. Dengan pernyataan lain,
obyek dari ketiganya merupakan metafisik. Terkait dengan itu, obyek material pengetahuan
ilmiah harus dapat diukur sehingga dapat dihasilkan data kuantitatif/numerik, yaitu berupa
angka/bilangan. Dalam psikologi, inteligensi umum yang tidak dapat diobservasi secara
langsung, misalnya, diukur melalui tes psikologi sehingga inteligensi itu dapat direpresentasikan
dalam bentuk data numerik. Jadi, obyek material ilmu pengetahuan harus dapat diukur
sedemikian sehingga berbentuk atau direduksi menjadi data kuantitatif.
Dalam konteks ini, istilah “positivisme” didasarkan pada pengalaman, nyata, meyakinkan,
empiris, bukan spekulatif. Terkait dengan ciri positivisme, obyek material dalam pengetahuan
ilmiah lazim disebut sebagai variabel, bukan gejala seperti pada interpretivisme. Itu berarti
bahwa obyek material ilmu pengetahuan harus dapat diukur secara obyektif.
Istilah “interpretivisme” berkaitan dengan interpretasi, pemberian makna atas pengalaman
orang. Menurut interpretivisme, obyek material ilmu-ilmu sosial tidak dapat direduksi menjadi
data kuantitatif. Alasannya adalah bahwa perilaku manusia, sebagai obyek materialnya, tidak
dapat diperlakukan sebagai benda fisik. Manusia memiliki perasaan dan berpikir reflektif
sehingga hakikat atau keberadaan perilakunya tidak dapat direduksi, tidak dapat diukur secara
obyektif. Untuk memahami, bukan untuk mengetahui, perilaku seseorang, kita harus
mengeksplorasi dan mengidentifikasi makna yang melatari perilaku itu. Misalnya, variabel usia
dalam penelitian kuantitatif lazim diukur dalam bentuk usia kalender. Menurut interpretivisme,
usia yang sama dapat memiliki makna yang berbeda bagi orang yang berbeda sehingga
perilaku tiap orang dapat menjadi berbeda terkait dengan usia yang sama itu. Bagi orang-orang
yang segera akan pensiun, misalnya, usianya dapat dimaknai secara berbeda oleh orang yang
berbeda. Mungkin ada orang yang memaknainya sebagai suatu berkah karena ia akan memiliki
banyak waktu mengunjungi anak, menantu, cucu maupun tempat-tempat wisata yang selama
ini tidak dapat dikunjunginya. Sebaliknya, orang lain mungkin memaknainya sebagai
penderitaan karena ia tidak lagi memiliki kekuasaan, penghasilannya berkurang atau tidak
seperti pada waktu ia masih aktif bekerja. Jadi, obyek material ilmu-ilmu sosial, menurut
interpretivisme, bersifat subyektif.
Menurut interpretivisme, obyek material pengetahuan sosial (perilaku manusia) tidak
boleh direduksi tapi harus dipandang sebagai satu keseluruhan, holistik, gestalt, serta
mencakup makna yang terkandung dalam obyek itu. Dengan demikian, peneliti akan
memperoleh hakikat dari obyek material itu. Dalam psikologi maupun penelitian dikenal juga
istilah halo effect, yakni kesan pertama kita terhadap seseorang akan mempengaruhi sikap dan
perilaku kita selanjutnya terhadap orang itu, terlepas dari apakah pengaruhnya tergolong besar
atau kecil. Hal itu manusiawi.
Ada pernyataan dari Egon G. Guba yang cukup menarik untuk ditanggapi di sini, yaitu
bahwa “A paradigm may be viewed as set of basic beliefs (or metaphisies) that deals with
ultimetes or principles. Keyakinan itu, menurut Guba, merepresentasikan pandangan dunia
tentang hakikat sesuatu, serta merupakan dasar di dalam nurani dimana ia diterima dengan
penuh kepercayaan. Sesuatu yang diyakini kebenarannya tanpa didahului penelitian sistematis,
dalam filsafat ilmu, disebut dengan aksioma atau asumsi dasar. Keyakinan (beliefs), aksioma
atau asumsi dasar tersebut menempati posisi penting dalam menentukan skema konseptual
penelitian, ia merupakan dasar permulaan yang melandasi semua proses dan kegiatan
penelitian.
Berkait dengan proposisi di atas, penelitian kuantitatif dan kualitatif memiliki perbedaan
paradigma yang amat mendasar. Penelitian kuantitatif dibangun berlandaskan paradigma
positivisme dari August Comte (1798-1857), sedangkan penelitian kualitatif dibangun
berlandaskan paradigma fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1926).
1. Paradigma kuantitatif:
Paradigma kuantitatif merupakan satu pendekatan penelitian yang dibangun
berdasarkan filsafat positivisme. Positivisme adalah satu aliran filsafat yang menolak unsur
metafisik dan teologik dari realitas sosial. Karena penolakannya terhadap unsur metafisis
dan teologis, positivisme kadang-kadang dianggap sebagai sebuah varian dari Materialisme
(bila yang terakhir ini dikontraskan dengan Idealisme).
Neuman (2003) dan Smith (1983), misalnya, menyamakan pendekatan kuantitatif
dengan pendekatan positivis, sedangkan pendekatan kualitatif disamakan dengan
pendekatan interpretif. Setiap pendekatan memiliki asumsi dasar yang berbeda. Asumsi
dasar inilah yang kemudian memengaruhi perbedaan cara pandang peneliti terhadap
sebuah fenomena dan juga proses penelitian secara keseluruhan. Asumsi yang dimaksud
adalah ontologi, epistemologi, hakikat dasar manusia, serta aksiologi.
a) Ontologi
Ontologi merupakan representasi pengetahuan formal dengan seperangkat konsep
dalam suatu gejala dan hubungan antara konsep-konsep yang ada dalam gejala tersebut
(Gruber, 1993). Ontologi juga digunakan untuk menjelaskan sifat dari gejala tersebut.
Dalam ilmu sosial, gejala yang dimaksud adalah gejala sosial yang dilihat sebagai sesuatu
yang nyata.
Dalam dunia yang sebenarnya, pasti tidak akan pernah ditemukan wujud buah
semangka berdaun sirih. Pohon sirih hanya akan menghasilkan buah sirih, sedangkan buah
semangka hanya berasal dari pohon semangka.
Orang yang menggunakan pendekatan kuantitatif akan melihat bahwa gejala sosial
adalah gejala yang nyata. Jadi, jika seseorang kehilangan uang karena isu tuyul, ini bukan
dianggap sebagai sebuah gejala sosial karena sukar untuk dilihat dengan mata kepala.
Akan tetapi, jika nantinya dapat ditemukan suatu alat yang dapat melihat langsung tuyul
dan banyak orang menyaksikan keberadaan tuyul sedang mengambil uang, itu akan
menjadi suatu gejala yang dianggap nyata.
b) Epistemologi
Epistemologi merupakan studi tentang pengetahuan dan pembenaran. Sebagai studi
tentang pengetahuan, epistemologi berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan: apa syarat
perlu dan cukup dari pengetahuan? Apa sumber-sumber pengetahuan? Apa struktur dan
batas-batasnya? Sebagai studi tentang pembenaran, epistemologi bertujuan untuk
menjawab pertanyaan: bagaimana kita memahami konsep pembenaran? Apa yang
membuat keyakinan dibenarkan, sedangkan yang lain tidak dibenarkan? Dalam kaitannya
dengan penelitian, epistemologi berbicara mengenai hakikat ilmu pengetahuan seperti yang
telah diuraikan pada kalimat awal paragraf ini. Jika dihubungkan dengan ontologi,
pengetahuan yang dimaksud terkait dengan gejala yang nyata. Segala sesuatu yang dapat
dipelajari oleh ilmu pengetahuan adalah sebuah objek.
Dalam epistemologi, terdapat tiga asumsi dasar yang dijelaskan berikut ini.
(1) Kaitan antara Ilmu dan Nilai
Individu adalah seseorang yang bebas nilai. Bebas nilai dapat diartikan bahwa individu
tidak dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ada di antara orangorang yang sedang diteliti. Bebas
nilai karena individu telah memiliki seperangkat nilai yang ia gunakan untuk meneliti orang-
orang tersebut. Nilai yang ia bawa dan gunakan adalah nilai-nilai yang sifatnya universal.
Ketika pada suatu pagi kita yang tinggal di Jakarta mengalami kemacetan, kita akan
mengeluh mengapa macet. Kemudian, kita mengambil kesimpulan bahwa kemacetan
terjadi karena hari pertama kerja dari libur panjang. Padahal, Jakarta sudah sejak lama
mengalami kemacetan karena jumlah kendaraan yang semakin banyak dan tidak adanya
moda transportasi massal yang memadai. Kalau tidak ingin macet, pergilah di luar jam
kerja, misalnya pukul 04.00 pagi atau saat hari libur Lebaran. Jadi, keluhan kita tentang
macet tidak akan pernah ada karena selalu diukur dari nilai yang berlaku secara umum.
(2) Kaitan antara Ilmu dan Akal Sehat
Ilmu pengetahuan adalah cara terbaik yang dimiliki manusia. Segala sesuatu yang
diperoleh dengan menggunakan cara yang ilmiah atau yang kita kenal sebagai ilmu
pengetahuan merupakan sesuatu yang lebih baik dibandingkan akal sehat belaka.
Misalnya, kita ingin mendapatkan keuntungan yang besar dalam berusaha. Menurut
Hermawan Kertajaya— pakar pemasaran Indonesia—hal itu dapat melalui MOST
(Marketing Oriented Selling Techniques). MOST adalah ilmu pengelolaan sumber daya
penjualan dengan menyinergikan pola pikir pemasaran yang berciri strategiclong term
dengan pola pikir penjualan yang tactical-short term. Intinya, jangan hanya mengejar
keuntungan jangka pendek, tetapi harus dipikirkan strategi pemasaran jangka panjangnya,
misalnya dengan melakukan pemasaran dengan cara-cara yang unik.
(3) Metodologi
Pola-pola yang universal dan berlaku ketat digunakan dalam pendekatan kuantitatif.
Pola yang digunakan adalah baku dan bersifat linier. Setelah tahap pertama, baru masuk ke
tahap kedua, sesudah tahap kedua baru masuk tahap ketiga, dan seterusnya. Proses yang
dilakukan adalah sebuah proses deduktif yang mengandung pengertian berangkat dari
sebuah konsep yang bersifat umum menuju hal yang bersifat khusus. Artinya, peneliti
memulai dari generalisasi yang sudah ada (teori) untuk melihat sesuatu yang khusus
(kasus).
Salah satu dasar dalam pendekatan ini adalah nomotetik. Nomotetik merupakan
pemikiran Immanuel Kant untuk menggambarkan kecenderungan menggeneralisasi suatu
keadaan. Istilah ini selalu dipertentangkan dengan idiografik yang menggambarkan usaha
untuk mengetahui atau memahami sesuatu secara spesifik. Dalam ilmu sosial, nomotetik
melahirkan kecenderungan untuk melihat terjadinya suatu gejala karena adanya atau
disebabkan oleh gejala lain dan mengabaikan berbagai gejala lainnya. Misalnya,
kemacetan terjadi karena adanya kecelakaan. Padahal, penyebab kemacetan itu beragam,
seperti ada mobil mogok, banjir, dan sebagainya.
c) Hakikat Dasar Manusia
Pada hakikatnya, manusia diatur dan dipengaruhi oleh lingkungannya. Sejak kecil,
seorang anak akan dipengaruhi pandangan orang tua atau gurunya. Seorang anak kecil,
ketika diminta menggambar pemandangan, akan diarahkan menggambar gunung, pohon,
sawah, matahari, dan awan oleh orang tua atau gurunya. Pandangan seperti ini tentu saja
berpengaruh terhadap pola pikir anak bahwa yang namanya pemandangan harus terkait
dengan gunung, pohon, sawah, matahari, dan awan. Bagaimana jika si anak ingin
menggambar pemandangan yang hanya mencakup pot dan bunga yang ada di rumahnya.
Orang tua atau guru akan memarahi si anak. Anak tidak boleh mengungkapkan
kreativitasnya karena bertentangan dengan pemahaman orang tua dan guru.
d) Aksiologi
Istilah aksiologi merujuk pada bahasa Yunani, yaitu axios yang berarti nilai dan logos
yang berarti logika atau teori. Aksiologi adalah ilmu tentang nilai. Dalam melakukan sebuah
penelitian kuantitaif dari dua aspek penting, yaitu: bahwa penelitian kuantitatif
menggunakan enumerative induction dan cenderung membuat generalisasi (generalization)
[12]. Penekanan analisis data dari pendekatan enumerative induction adalah perhitungan
secara kuantitatif, mulai dari frekuensi sampai analisa statistik. Selanjutnya pada dasarnya
generalisasi adalah pemberlakuan hasil temuan dari sampel terhadap semua populasi,
tetapi karena dalam paradigma kuantitatif terdapat asumsi mengenai adanya “keserupaan”
antara obyek-obyek tertentu, maka generalisasi juga dapat didefinisikan sebagai
universalisasi.
2. Paradigma Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif adalah satu model penelitian humanistik, yang menempatkan
manusia sebagai subyek utama dalam peristiwa sosial/budaya. Jenis penelitian ini
berlandaskan pada filsafat fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1928) dan kemudian
dikembangkan oleh Max Weber (1864-1920) ke dalam sosiologi. Sifat humanis dari aliran
pemikiran ini terlihat dari pandangan tentang posisi manusia sebagai penentu utama
perilaku individu dan gejala sosial. Dalam pandangan Weber, tingkah laku manusia yang
tampak merupakan konsekwensi-konsekwensi dari sejumlah pandangan atau doktrin yang
hidup di kepala manusia pelakunya. Jadi, ada sejumlah pengertian, batasan-batasan, atau
kompleksitas makna yang hidup di kepala manusia pelaku, yang membentuk tingkah laku
yang terkspresi secara eksplisit.
Sementara itu Noeng Muhadjir (1994:12) mengemukakan beberapa nama yang
dipergunakan para ahli tentang metodologi penelitian kualitatif yaitu: grounded research,
ethnometodologi, paradigma naturalistik, interaksi simbolik, semiotik, heuristik, hermeneutik,
atau holistik. Perbedaan tersebut dimungkinkan karena perbedaan titik tekan dalam melihat
permasalahan serta latar brlakang disiplin ilmunya, istilah grounded research lebih
berkembang dilingkungan sosiologi dengan tokohnya Strauss dan Glaser (untuk di
Indonesia istilah ini diperkenalkan/dipopulerkan oleh Stuart A. Schleigel dari Universitas
California yang pernah menjadi tenaga ahli pada Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial
Banda Aceh pada tahun 1970-an), ethnometodologi lebih berkembang di lingkungan
antropologi dan ditunjang antara lain oleh Bogdan, interaksi simbolik lebih berpengaruh di
pantai barat Amerika Serikat dikembangkan oleh Blumer, Paradigma naturalistik
dikembangkan antara lain oleh Guba yang pada awalnya memperoleh pendidikan dalam
fisika, matematika dan penelitian kuantitatif.
Secara lebih rinci Patton (1990:88) mengemukakan penamaan macam-macam
penelitian kualitatif (Qualitative inquiry) berdasarkan tradisi teoritisnya yang diuraikan dalam
bentuk tabel sebagai berikut :
Tabel 2.
Variety in qualitative Inquiry : Theoritical traditions
2. Fenomenologi
Edmund Husserl adalah filosof yang mengmbangkan metode Fenomenologi, dia lahir di
Prostejov Cekoslowakia dan mengajar di berbagai Universitas besar Eropa, meninggal pada
tahun 1938 di Freiburg. Hasil pemikirannya dapat diselamatkan dari kaum Nazi, dengan
membawa seluruh buku dan tulisannya ke Universitas Leuven Belgia, sehingga kemudian dapat
dikembangkan lebih lanjut oleh murid-muridnya. Diantara tulisan-tulisan pentangnya
adalah: Logische Untersuchungen (Penyelidikan-penyelidikan Logis) dan Ideen zu einer reinen
Phanomenologie und Phanomenologischen Philosophie (gagasan-gagasan untuk suatu
fenomenologi murni dan filsafat fenomenologi)
Dalam faham fenomenologi sebagaimana diungkapkan oleh Husserl, bahwa kita harus
kembali kepada benda-benda itu sendiri (zu den sachen selbst), obyek-obyek harus diberikan
kesempatan untuk berbicara melalui deskripsi fenomenologis guna mencari hakekat gejala-
gejala (Wessenchau). Husserl berpendapat bahwa kesadaran bukan bagian dari
kenyataan melainkan asal kenyataan, dia menolak bipolarisasi antara kesadaran dan alam,
antara subyek dan obyek, kesadaran tidak menemukan obyek-obyek, tapi obyek-obyek
diciptakan oleh kesadaran.
Kesadaran merupakan sesuatu yang bersifat intensionalitas (bertujuan), artinya
kesadaran tidak dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari. Supaya kesadaran timbul
perlu diandaikan tiga hal yaitu: ada subyek, ada obyek, dan subyek yang terbuka terhadap
obyek-obyek. Kesadaran tidak bersifat pasif karena menyadari sesuatu berarti mengubah
sesuatu, kesadaran merupakan suatu tindakan, terdapat interaksi antara tindakan kesadaran
dan obyek kesadaran, namun yang ada hanyalah kesadaran sedang obyek kesadaran pada
dasarnya diciptakan oleh kesadaran.
Berkaitan dengan hakekat obyek-obyek, Husserl berpandapat bahwa untuk menangkap
hakekat obyek-obyek diperlukan tiga macam reduksi guna menyingkirkan semua hal yang
mengganggu dalam mencapai wessenchauyaitu: Reduksi pertama. Menyingkirkan segala
sesuatu yang subyektif, sikap kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus diajak
bicara. Reduksi kedua. Menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diperoleh dari
sumber lain, dan semua teori dan hipotesis yang sudah ada Reduksi ketiga. Menyingkirkan
seluruh tradisi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan orang lain harus, untuk
sementara, dilupakan, kalau reduksi-reduksi ini berhasil, maka gejala-gejala akan
memperlihatkan dirinya sendiri/dapat menjadi fenomin
Tabel 3.
Perbedaan Aksioma Paradigma Positivisme dan Alamiah
2 Hubungan pencari Pencari tahu dengan yang Pencari tahu dengan yang tahu aktif
tahu dan yang tahu tahu adalah bebas, jadi ada bersama, jadi tidak dapat dipisahkan
dualism
3 Kemungkinan Generalisasi atas dasar Hanya waktu dan konteks yang
Generalisasi bebas-waktu dan bebas- mengikat hipotesis kerja (pernyataan
konteks (pernyataan idiografis) yang dimungkinkan
nomotetik)
4 Kemungkinan Terdapat penyebab Setiap keutuhan berada dalam
hubungan sebab sebenarnya yang secara keadaan mempe-ngaruhi secara
akibat temporer terhadap, atau bersama-sama sehingga sukar mem-
secara simultan terhadap bedakan mana sebab dan mana akibat
akibatnya
5 Peranan nilai Inkuirinya bebas nilai Inkuirinya terikat nilai
(Sumber : Lexy J. Moleong : 2000 : 31)
1. Positivistik
2. Deduktif-Hipotetis
3. Partikularistik
4. Obyektif
5. Berorientasi kepada hasil
6. Menggunakan pandangan ilmu pengetahuan alam
Kualitatif
1. Fenomenologik
2. Induktif
3. Holistik
4. Subyektif
5. Berorientasi kepada proses
6. Menggunakan pandangan ilmu sosial/antropological
Lebih lanjut perbedaan paradigma kedua jenis penelitian ini dapat dielaborasi sebagai berikut:
Paradigma Kuantitatif
5. Bertujuan untuk menemukan teori dari lapangan secara deskriptif dengan menggunakan
metode berpikir induktif. Jadi bukan untuk menguji teori atau hipotesis.
6. Berorientasi pada proses, dengan mengandalkan diri peneliti sebagai instrumen utama.
Hal ini dinilai cukup penting karena dalam proses itu sendiri dapat sekaligus terjadi
kegiatan analisis, dan pengambilan keputusan.
7. Keriteria data/informasi lebih menekankan pada segi validitasnya, yang tidak saja
mencakup fakta konkrit saja melainkan juga informasi simbolik atau abstrak.
8. Ruang lingkup penelitian lebih dibatasi pada kasus-kasus singular, sehingga tekannya
bukan pada segi generalisasinya melainkan pada segi otensitasnya.
9. Fokus penelitian bersifat holistik, meliputi aspek yang cukup luas (tidak dibatasi pada
variabel tertentu).
References
Agus Salim (ed.), Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2001.
Astley, W. G. (1985) Administrative science as socially constructed truth. Administrative
Science Quarterly, 30, 497- 513.
Astley, W. G., & Van de Ven, A. (1983) Central perspectives and debates in organization theory.
Adminisfrative Science Ouarter/y, 28, 245-273.
Audet, M., Landry, M., & Dery, R. (1986) Science et resolution de probleme: Liens, difficultes et
voies de depassement dans le champ des sciences de l'administration [Science and
problem solving: Similarities, dissimilarities, and extensions in the field of administrative
science]. Philosophy of the Sociai Sciences/Philosophie des Sciences Sociales, 16, 409-
440.
Behling, O. (1980) The case for the natural science model for research in organizational
behavior and organization theory. Academy of Management Review, 5, 483-490.
Benson, J. K. (1977) Organizations: A dialectical view. Administrative Science Quarterly, 22, 1-
21.
Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966) The social construction of reality. New York: Anchor
Books.
Bochner, A. (1985) Perspectives on inquiry: Representation, conversation, and reflection. In M.
L. Knapp & G. R. Miller (Eds.), Handbook of interpersonal communication (pp. 27-58).
Beverly Hills, CA: Sage.
Burrell, G., & Morgan, G. (1979) Sociological paradigms and organizational analysis. London:
Heinemann.
Chua, Wai Fong. (1986). Radical developments in accounting thought. The Accounting Review
LXI (4): 601- 32
Deetz, S. A. (1985) Critical cultural research: New sensibilities and old realities. Journal of
Management, 11(2), 121- 136.
Deetz, S. A., & Kersten, A. (1983) Critical models of interpretive research. In L. L. Putnam & M.
E. Pacanowsky (Eds.), Communication and organizations: An interpretive approach (pp.
147-171). Beverly Hills, CA: Sage.
Evered, R., & Louis, M. R. (1981) Alternative perspectives in the organizational sciences:
"Inquiry from the inside" and "Inquiry from the outside." Academy of Management Review,
6, 385-395.
Feldman, D. C. (1976) A contingency theory of socialization. Administrative Science Quarterly,
21, 433-452.
Forester, J. (1983) Critical theory and organizational analysis. In G. Morgan (Ed.), Beyond
method; Strategies for social research (pp. 234-246). Beverly Hills, CA: Sage.
Frost, P, (1980) Toward a radical framework for practicing organizational science. Academy of
Management Review, 5, 501-507.
Gioia, Dennis A. and Evelyn Pitre. (1990). Multiparadigm perspectives on theory building.
Academy of Management Review 15 (4): 584-602.
Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. 13, bandung, PT. Remaja Rosdakarya,
2000
Lincoln, Yvonna S. & Guba, Egon G. (1985). Naturalistic Inquiry. California, Beverly Hills: Sage
Publications
Holland, R. (1990) The paradigm plague: Prevention, cure, and innoculation. Human Relations,
43, 23-48.
Jermier, J. (1985) "When the sleeper wakes": A short story illustrating themes in radical
organization theory. Journal of Management, 11(2), 67-80.
Jick, T. D. (1979) Mixing qualitative and quantitative methods. Administrative Science Quarterly,
24, 602-611.
Kerlinger, Fred N. (1986). Fundamentals of behavioral research. San Fransisco: Holt, Rinehart,
and Winston, Inc.
_____ dan Lee, Howard B. (2010). Foundations of behavioral research. Australia: Wadsworth
Thomson Learning.
Kirk, J. & Miller, M.I. (1986). Reability and Validity in Qualitative Research, Vol.1, Beverly Hills:
Sage Publication
Kuhn, T. S. (1970) The structure of scientific revolutions. Chicago: University of Chicago Press.
Layder, D. (1982) Grounded theory: A constructive critique. Journal for the Theory of Social
Behaviour, 12, 103-123.
Levi-Strauss, C. (1958) Anthropologie structurale [Structural anthropology]. Paris: Plon.
Lincoln, Y. S. (Ed.) (1985) Organizational theory and inquiry; The paradigm revolution. Beverly
Hills, CA: Sage.
Malhotra, Naresh K. (1993). Marketing research. An applied orientation. New Jersey: Prentice
Hall International Editions.
Mehan, H. (1978) Structuring school structure. Harvard Educational Review, 48, 32-64.
Mehan, H., & Wood, H. (1975) The reality of ethnomethodology. New York: Wiley.
Meyer, J. W., & Rowan, B. (1977) Institutionalized organizations: Formal structure as myth and
ceremony. American Journal of Sociology, 83, 340-363.
Mitroff, L I. (1980) Reality as a scientific strategy: Revising our concepts of science. Academy
of Management Review, 5, 513-515.
Morgan, G. (1980) Paradigms, metaphors and puzzle solving in organization theory.
Administrative Science Quarterly 25, 605-622.
Morgan, G., & Smircich, L. (1980) The case for qualitative research. Academy of Management
Review, 5, 491-500.
Neuman, Lawrence W. (2003). Social Reseatch Methods: Qualitive and Quantitative
Approanhes. Boston: Allyn & Bacon.
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi IV, Jogjakarta, Penerbit Rake Sarasin,
2000.
Patton, M. Q. (1990). Qualitative Evaluation and Research Methods (2nd ed.). Newbury Park,
CA: Sage.