Anda di halaman 1dari 24

1.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keberagaman pemikiran filsafat yang kemudian masuk ranah pendidikan
menimbulkan berbagai pendapat yang berbeda-beda tentang hal yang sama.
Hal ini memaksa para pemikir dan penyelenggara pendidikan untuk memilih
pandangan mana yang diembannya. Berbagai pandangan yang berbeda-beda
dalam komponen-komponen pendidikan telah memunculkan cabang filsafat
yang disebut filsafat pendidikan. Sejalan dengan perkembangan filsafat yang
menumbuhkan aliran-aliran dalam filsafat, demikian juga dalam filsafat
pendidikan juga terjadi aliran-aliran. Dari banyak aliran dalam filsafat
pendidikan pada makalah ini hanya akan dibahas dua aliran yaitu aliran
pragmatisme dan progresivisme.
Secara umum, ajaran pragmatisme dalam filsafat dapat dilihat dari salah
seorang tokohnya, yaitu William James (1842-1910) menyatakan bahwa
pengertian atau keputusan itu benar jika pada praktik dapat dipergunakan
(Poedjawijatna dalam Soegiono dan Muis, 2012: 39). Sedangkan
progresivisme lahir sekitar abad ke-20 merupakan filsafat yang bermuara pada
aliran filsafat pragmatisme yang diperkenalkan oleh William James (1842-
1910) dan John Dewey (1859-1952) yang menitikberatkan segi manfaat bagi
hidup praktis yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupan nyata. Filsafat
progresivisme tidak mengakui kemutlakan hidup, menolak absolutisme, dan
otoritatianisme dalam segala bentuknya (Zuhairini dalam Ahmadi, 2015: 109-
110).
1.2 Masalah atau Topik Bahasan
Dari uraian yang telah disebutkan pada latar belakang, maka dapat
diketahui masalah yang akan dibahas pada makalah ini yaitu tentang filsafat
pragmatisme dan progresivisme.
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang
filsafat pragmatisme dan progresivisme secara ontologi, epistemologi, dan
aksiologi serta implementasi kedua filsafat tersebut dalam pendidikan.

1
2. FILSAFAT PRAGMATISME
2.1 Sejarah Pragmatisme
Walaupun sering dianggap lahir di Amerika, sesungguhnya pragmatisme
bermula di Eropa tatkala pemikir Jerman bernama Hans Vaihinger
mengajarkan bahwa manusia telah membuat fiksi-fiksi yang didalamnya
terselip unsur guna atau manfaat. Di Amerika pragmatisme hidup subur dan
berkembang dengan baik, dan biasanya dapat disebutkan adanya tiga orang
ahli pikir yang merupakan pelopor, yaitu Charles S. Pierce, William James,
dan John Dewey. Charles S. Pierce mengatakan bahwa orang tidak perlu
mempermasalahkan hal-hal yang sekiranya tidak mempunyai konsekuensi
yang menguntungkan atau tidak bermanfaat bagi manusia.
William James mengajarkan bahwa semua objek di dunia ini baik sendiri-
sendiri maupun bersama-sama menuju ke tingkatan yang lebih tinggi dan
lebih mulia (Sutrisno. 1985: 7). Seluruh objek itu bercorak dinamik dan
pluralistik, tidak dapat ditelusuri hanya pada satu realitas saja, baik berupa
materi maupun ide. Sedangkan John Dewey dikenal sebagai seorang
pragmatis di bidang pendidikan. Ia dikenal sebagai tokoh pembaharu sistem
pendidikan di negerinya, dan resonansinya merembes ke banyak Negara
berkembang. Di Indonesia prinsip tujuan pendidikan yang dominan dalam
pengajaran mencerminkan aspek pragmatis sistem pendidikan, sebagaimana
tampak pada Kurikulum 1975 di seluruh jenjang sekolah.
2.2 Pengertian Pragmatisme
Menurut Soegiono dan Muis (2012), aliran filsafat pragmatisme adalah
aliran filsafat yang berpandangan bahwa kebenaran segala sesuatu ada pada
kegunaan praktisnya. Atas dasar pandangan pokoknya ini, pragmatisme
memandang bahwa:
1. Realita bukanlah semesta atau ide yang sifanya abstrak, umum, tetap,
melainkan merupakan sesuatu yang berupa proses, bukan sesuatu yang
tetap.
2. Hakikat segala sesuatu dipandang dari kegunaannya.
3. Tidak ada pengetahuan yang tetap, tetapi selalu berubah.
4. Manusialah yang merupakan penentu pengembangan pengetahuan itu

2
Seringkali suatu tindakan praktis terkesan sebagai tindakan pragmatis.
William James menyatakan bahwa kebenaran merupakan salah satu aspek
dari realitas, di samping dua aspek yang lain, yakni prinsip dan fakta. Realitas
itulah yang pertama-tama mesti dipahami lebih dini, yang dalam versi James
ia terdiri dari dua hal: realism empirisme radikal dan realitas akal. Yang
pertama mengandung “segala macam” gejala sedangkan yang kedua memuat
hanya hal-hal yang telah disimplifikasikan oleh akal yang dinamakan juga
“realitas panggung”. Hanya realitas jenis kedua inilah yang masuk ke dalam
pemahaman manusia. Sebagaimana dinyatakan bahwa “Truth …. is a
property of certain of our ideas it means their “agreement” a falsity means
their disagreement with “reality.” (William James dalam Sutrisno, 1985).
Termasuk sebagai syarat penting bagi kebenaran adalah adanya
“agreement” dalam artian ia merupakan sebuah proses penunjuk sesuai
tidaknya gagasan dnegan kenyataan. Proses inilah yang dikenal dengan
verifikasi sebagai penuntun langsung ke arah fakta. Dalam pragmatisme
aspek pengalaman merupakan dimensi penting dalam usaha mengkonfirmasi
kebenaran. Kebenaran membutuhkan verifikasi dalam arti bahwa pernyataan-
pernyataan yang di maksud bukan sekedar perlu dibuktikan melainkan
menuntun ke arah pembuktian, jadi sifatnya hipotesis. Dalam pragmatis, fakta
belum tersedia dan justru dalam rangka mewujudkan fakta itulah pragmatism
menekankan teorinya. Sebuah pernyataan bukanlah pertama-tama benar atau
salah, melainkan bisa menjadi benar, dibuat benar oleh proses verifikasi yang
kemudian mengikutinya.
Kebenaran dalam pragmatisme disebut sebagai memeristiwa, menjadi, dan
terjadi, dan gagasan yang benar adalah gagasan yang dapat kita wujudkan,
kita berlakukan, kita perkukuh dan kita saksikan buktinya. Makna dan
kebenaran suatu gagasan atau ide-ide dipengaruhi secara dominan oleh
sejumlah konsekuensi praktis yang cenderung berguna. Kata “pragma” itu
sendiri pada umumnya diartikan sebagai berguna, meskipun secara konotatif
dapat berarti aksi atau praktek. “The term is derived from same Greek word
“pragma”, meaning action, from which our words “practice” and “practical
come.” (William James dalam Sutrisno, 1985).

3
Karena itulah maka sering disebut juga bahwa pragmatisme tak kurang
adalah sebuah aliran filsafat konkrit yang mengutamakan kenyatan faktual
lebih dari sekedar pernyatan-pernyataan konseptual saja. Pragmatisme
merupakan sebuah aliran filsafat “mutakhir” yang lebih aktif dan dinamis,
dan lebih dari itu sifatnya praktis yang lain dari segala usaha teoritis.
Pragmatisme sebagai filsafat mementingkan kegiatan dan bukan spekulasi
atas kebenaran murni dan tak berorientasi pada metafisika.
Sedangkan Hakim dalam Soegiono dan Muis (2012: 39), mengemukakan
tokoh John Dewey yang berpendapat bahwa “tugas filsafat adalah
memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata dan filsafat tidak boleh larut
dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak ada
faedahnya”. Secara ekstrem, pendapat ini tidak memperhatikan kriteria
kebenaran yang lain seperti harus masuk akal, atau harus tidak bertentangan
dengan nilai moral, nilai estetika, nilai hukum, nilai agama, dan sebagainya.
Dalam hal tertentu dalam masyarakat, pemikiran pragmatis ini dapat
ditemukan misalnya dalam hal kebenaran ada tidaknya khasiat obat
tradisional yang tidak perlu dibahas secara ilimiah, tidak perlu
dipertimbangkan bertentangan dengan nilai moral atau tidak, tidak perlu
ditinjau dari aturan hukum, dan sebagainya. Yang penting obat tersebut bisa
menyembuhkan atau mengurangi penderitaan orang yang sakit atau tidak.
Dalam masyarakat yang masih menghargai nilai-nilai moral, nilai keagamaan,
nilai hukum, dan sebagainya, pragmatisme dapat menyesatkan.
2.3 Metafisika (Hakikat Kenyataan atau Ontologi) Pragmatisme
Filsafat pragmatisme mendasarkan dirinya pada metode filsafat yang
memakai sebab-sebab praktis dari pikiran serta kepercayaan sebagai ukuran
untuk menetapkan nilai kebenaran. Pragmatisme adalah sikap memandang
jauh terhadap benda-benda pertama, prinsip-prinsip, serta kategori-kategori
yang dianggap sangat penting untuk melihat ke depan pada benda-benda
terakhir berdasarkan akibat dan fakta-fakta. Filsafat pragmatisme selalu
menjadi pemikiran filsafat yang didasarkan pada metode dan pendirian
ketimbang pada doktrin filsafat yang bersifat sistematis. Oleh karena itu,
pragmatisme kerap pula didasari sebagai upaya-upaya penyelidikan

4
eksperimental berdasarkan metode sains modern. Para pragmatis selalu
menolak jika filsafat mereka dikatakan berlandaskan suatu pemikiran
metafisik sebagaimana metafisika tradisional yang selalu memandang bahwa
dalam hidup ini terdapat sesuatu yang bersifat absolut dan berada di luar
jangkauan pengalaman-pengalaman empiris. Bagi mereka seandainya pun
realitas adikodrati memang ada, mereka berasumsi bahwa manusia tidak akan
mampu mengetahui hal itu. Pemikiran ini menunjukkan bahwa pragmatisme
sepenuhnya berbasis pendekatan empiris.
Pengalaman menjadi sesuatu yang begitu fundamental dan begitu
menentukan. Pengalaman menjadi parameter ketika sesuatu dapat diterima
kebenarannya. Oleh karena itu, para pragmatis nyaris tidak pernah
mendasarkan satu hal kebenaran. Menurut mereka pengalaman yang pernah
mereka alami akan berubah jika realitas yang mereka alami pun berubah. Para
pragmatis menyatakan bahwa segala sesuatu dalam alam dan kehidupan
adalah berubah (becoming) karena hakikat segala sesuatu adalah perubahan
itu sendiri. Pragmatisme memandang hidup sebagai sebuah proses
pembaharuan diri sendiri yang terus berlangsung dalam interaksinya dengan
lingkungannya.
2.4 Humanologi Pragmatisme
Pragmatisme memandang bahwa setiap orang, baik yang hidup menjadi
anggota sebuah kota modern maupun sebuah desa tradisional lahir tidak
dewasa dan tak berdaya. Setiap orang lahir tanpa dibekali dengan bahasa,
keyakinan-keyakinan, gagasan-gagasan, atau norma-norma sosial. Manusia
merupakan hasil evolusi biologis, psikologis, dan sosial. Hal ini mengandung
arti bahwa setiap manusia tumbuh secara berangsur-angsur mencapai
kemampuan-kemampuan biologis, psikologis, dan sosial.
2.5 Epistemologi (Hakikat Pengetahuan) Pragmatisme
Pragmatisme menyatakan bahwa akal manusia aktif dan selalu ingin
meneliti, tidak pasif, dan tidak begitu saja menerima pandangan tertentu
sebelum dibuktikan kebenarannya secara empiris. Pengetahuan tidak selalu
diidentikkan dengan kepercayaan, tapi menjadi hal yang terpisah. Kebenaran
yang dianggap selalu dipercayai bagi para pragmatis selalu menjadi hal yang

5
bersifat personal dan tidak perlu dikabarkan ke publik, sedangkan hal-hal yang
perlu diketahui haruslah dikabarkan pada pengamat yang terkualifikasi dan
netral. Oleh karena itu pengetahuan dalam pragmatis selalu bersifat relatif dan
terus berkembang.
Pengetahuan yang benar diperoleh melalui pengalaman. Karakteristik
pengalaman menurut Mudyahardjo (2012), yaitu (1) pengalaman pertama-
tama merupakan suatu peristiwa aktif-pasif dan (2) pengukuran nilai suatu
pengalaman terletak pada persepsi hubungan-hubungan atau kontinuitas-
kontinuitas yang menyebabkan pengalaman tersebut meningkat. Pengetahuan
yang benar adalah pengetahuan yang ternyata berguna bagi kehidupan.
Pengetahuan adalah alat atau instrumen untuk memecahkan masalah-masalah
dalam kehidupan yang oleh John Dewey disebut instrumentalisme.
Pragmatisme mengajarkan bahwa berpikir adalah untuk kemajuan hidup,
yakni untuk memajukan dan memperkaya kehidupan. Berpikir adalah sebuah
upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk menemukan hubungan-hubungan
khusus antara sesuatu yang kita lakukan dengan akibat-akibat yang dihasilkan,
sehingga keduanya menjadi terus berhubungan. Berpikir sama dengan sebuah
daya upaya nyata dari unsur yang cerdas dalam pengalaman kita. Sebagai daya
upaya dari unsur yang cerdas dalam pengalaman, berpikir merupakan sebuah
proses penemuan, pencarian, penyelidikan
2.6 Aksiologi (Hakikat Nilai) Pragmatisme
Pragmatisme membicarakan konsekuensi-konsekuensi dan demikian pula
dengan teori pragmatis tentang nilai (Kattsoff dalam Sutrisno, 1985: 38).
Apabila dikaitkan dengan empat kategori arti dari nilai, yaitu: bernilai
(berguna), merupakan nilai, mengandung nilai, dan memberi nilai; maka
kategori pertama dan terakhir tampak sangat bersesuaian dengan pragmatisme.
Dalam kategori terakhir, (4) pragmatisme memandang nilai sebagai penilaian,
yaitu perbuatan subjek yang menilai. Nilai disini bukanlah dipahami sebagai
kata benda dan juga kata sifat, melainkan lebih dilihat sebagai kata kerja yang
berwujud aksi dan tindakan. Hubungan antara nilai dan pengalaman sangat
erat. Jika pengalaman manusia tumbuh dan berkembang, maka nilai-nilai pun
akan mengikutinya. Teori pragmatisme tentang nilai ini mendekati masalah

6
nilai secara empiris berdasarkan pengalaman riil khususnya dalam kehidupan
sehari-hari.
2.7 Tujuan-tujuan Pendidikan Pragmatisme
Pragmatisme berpendapat bahwa pendidikan adalah hidup, pertumbuhan
sepanjang hidup, proses rekonstruksi yang berlangsung terus dari pengalaman
yang terakumulasi dan sebuah proses sosial (Mudyahardjo, 2012: 237).
Pendidikan harus mengajarkan seseorang tentang bagaimana berpikir dan
menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi di dalam masyarakat.
Sekolah harus bertujuan untuk mengembangkan pengalaman-pengalaman yang
memungkinkan seseorang terarah pada kehidupan yang lebih baik. Tujuan
pendidikan tidak ditentukan dari luar kegiatan pendidikan, tetapi terdapat
dalam setiap proses pendidikan. Oleh karena itu, tidak ada tujuan umum
pendidikan atau tujuan akhir pendidikan. Tujuan pendidikan yaitu memperoleh
pengalaman yang berguna untuk memecahkan masalah-masalah baru dalam
kehidupan perorangan dan bermasyarakat.
2.8 Isi Pendidikan atau Kurikulum Pragmatisme
Pendidikan menurut pandangan pragmatisme adalah pendidikan yang
liberal, yaitu pendidikan yang menghilangkan permisahan antara pendidikan
umum dengan pendidikan praktis atau vokasional. Kurikulumnya berisi
pengalaman-pengalaman yang telah teruji serta minat-minat dan kebutuhan-
kebutuhan anak. Hal yang terakhir yang menyebabkan perlunya sekolah
membuat kurikulum darurat untuk memenuhi minat dan kebutuhan anak
2.9 Metode Pendidikan Pragmatisme
Ajaran pragmatisme lebih mengutamakan penggunaan metode pemecahan
masalah atau berpikir reflektif (problem solving method) serta metode
penyelidikan dan penemuan (inquiry and discovery method). Dalam praktiknya
(pembelajaran), metode ini membutuhkan guru yang memiliki sifat pemberi
kesempatan, bersahabat, seorang pembimbing, berpandangan terbuka, antusias,
kreatif, sadar bermasyarakat, siap siaga, sabar, bekerja sama, dan bersungguh-
sungguh agar belajar berdasarkan pengalaman dapat diaplikasikan oleh siswa
dan apa yang dicita-citakan tercapai. Berpikir reflektif atau metode pemecahan

7
masalah menurut Mudyahardjo (2012), terdiri atas langkah-langkah sebagai
berikut.
a) Penyadaran suatu masalah
b) Observasi kondisi-kondisi yang hadir
c) Perumusan dan elaborasi tentang suatu kesimpulan
d) Pengetesan melalui eksperimen
2.10 Peranan Peserta Didik dan Pendidik dalam Pragmatisme
Pragmatisme memandang peserta didik sebagai sebuah organisme yang
rumit yang mampu tumbuh. Peserta didik haruslah mempelajari apa yang
sesuai dengan kebutuhan minat, dan masalah pribadinya. Pragmatisme
menghendaki peserta didik menghadapi suatu permasalahan dan dapat
merekonstruksi lingkungan untuk memecahkan kebutuhan yang
dirasakannya. Tugas pendidik adalah mengawasi dan membimbing
pengalaman belajar tanpa terlampau banyak mencampuri urusan minat
kebutuhan peserta didik.

3. FILSAFAT PROGRESIVISME
3.1 Pengertian Progresivisme
Progresivisme berkembang dalam permulaan abad 20 ini terutama di
Amerika Serikat. Pandangan – pandangan progresivisme dianggap sebagai
“the liberal road to culture” dalam arti bahwa liberal dimaksud sebagai
fleksibel, berani, toleransi dan bersikap terbuka. Progresivisme menganggap
pendidikan sebagai cultural transition. Ini berarti bahwa pendidikan dianggap
mampu merubah dalam arti membina kebudayaan baru yang dapat
menyelamatkan manusia bagi hari depan yang makin kompleks dan
menantang. Pendidikan adalah lembaga yang mampu membina manusia untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan kulturil dan tantangan-tangan
zaman, demi survenya manusia. Progresivisme juga percaya bahwa
pendidikan dapat menolong manusia dalam menghadapi periode transisi
antara zaman tradisional yang segera berakhir, untuk siap memasuki zaman
progressif (modern) yang segera kita masuki. Fase inipun permulaan pula bagi

8
periode revolusi menuju tata hidup sosial, teknologi dan moral yang super
modern.
Progresivisme sebagai ajaran filsafat mempunyai watak yang dapat
digolongkan sebagai : 1. Negatif and diagnostik yang berarti : bersikap anti
terhadap otoritarianisme dan absolutisme dalam segala bentuk baik yang kuno
maupun modern, yang melliputi bidang kehidupan terutama agama, moral,
social dan ilmu pengetahuan. 2. positive and remedial yakni suatu pernyataan
dan kepercayaan atas kemmapuan manusia sebagai subyek yang memiliki
potensi-potensi alamiah.
3.2 Pandangan Ontologi Progresivisme
Hakekat eksitensi, realita, tersimpul dalam asas-asas sebagai berikut:
1. Asas heresy atau asas keduniawian
Realita semesta sebagai kosmos dengan istilah “universe” berarti
eksistensi yang amat luas, tak terbatas. Tetapi realita kosmos yang
demikian sungguh-sungguh realita, bukan dalam arti yang dimaksud oleh
doktrin realita mutlak. Sebab realita kosmos itu adalah kenyataan dalam
mana kehidupan manusia berada, berlangsung.
2. Pengalaman sebagai realita
Manusia dalam ontologi sesungguhnya mencari dan menghadapi
secara langsung suatu realita sebagai lingkungan hidup. Menurut Dewey,
pengalaman adalah key-concept. Bila kita menyebut istilah pengalaman
dalam suatu usaha, itu berarti tentang bagaimana seseorang telah
melakukan pekerjaan tersebut. Jadi berhubungan langsung dengan cara,
bahan komunikasi orang-orang yang terlibat dan sebagainya. Dan ini akan
berbeda dengan orang tanpa pengalaman, walaupun mungkin terdidik ,
tapi tak pernah melakukan teorinya secara praktis didalam kehidupan yang
sebenarnya, pengalaman ialah suatu realita yang telah meresap dan
membina pribadi. Pengalaman manusia tentang penderitaan, kesedihan,
kegembiraan, keindahan, kegilaan dan kebodohan, halangan cinta dan
sebagainya adalah realita dalam mana manusia hidup sampai ia mati.
Asas Antologinya yang didasarkan pada pengalaman adalah suatu dalil
yang bersumber dalam teori evolusi. Pengalaman adalah perjuangan, sebab

9
hidup sebenarnya adalah tindakan-tindakan dan perubahan-perubahan.
Dalam proses ini maka kesempatan, suatu yang tidak diduga-duga, suatu
yang baru, suatu yang tak teramalkan selalu memegang peranan besar
dalam peristiwa-peristiwa kehidupan.
Pengalaman dalam arti diatas mengandung sifat-sifat sebagai berikut.
a. Pengalaman itu dinamis menuntut adaptasi dan readaptasi dalam
semua variasi perubahan yang terjadi terus menerus. Realita itu
menuntut tindakan-tindakan dinamis yang bersifat alternatif.
b. Pengalaman itu temporal sama seperti alam, kebudayaan selalu
mengalami perkembangan, berubah dari waktu kewaktu. Demikian
pula pengalaman akan berubah, berbeda-beda dari hari, tahun dan
abad lampau dibandingkan dengan hari, tahun dan abad yang akan
datang. Pengalaman berlangsung didalam waktu dan berakhir atau
berubah didalam waktu.
c. Pengalaman itu spasial, terjadi di suatu tempat tertentu dalam
lingkungan hidup manusia.
d. Pengalaman itu pluralistis
Pengalaman itu terjadi seluas adanya antar hubungan dan antraksi
dalam mana individu terlibat. Demikian pula subyek yang
mengalami pengalaman itu, menangkapnya dengan seluruh
kepribadiannya dengan rasa, karsa, pikiran dan panca indra. Benda-
benda pengalaman juga sedemikian kaya variasinya. Sehingga
pengalaman itu memang bersifat pluralistis.
3. Pikiran sebagai fungsi manusia yang unik
Binatang akan selalu dapat hidup dirimba karena kemampuan kodrati
yang di miliki seperti kekuatan, daya cium daya tangkap yang kuat.
Demikian pula manusia mampu hidup karna fungsi-fungsi jiwa yang ia
miliki. Menurut progresivisme potensi intelegensi ini meliputi kemampuan
mengingat, imaginasi, menghubung-hubungkan, merumuskan,
melambangkan dan memecahkan persoalan-persoalan serta berkomunikasi
(sosial dan intelek) dengan sesamanya. Mind adalah suatu integrasi di
dalam kepribadian, bukan suatu entity tersendiri. Eksistensi dan realita

10
mind hanyalah di dalam aktivitas, dalam tingkah laku. Mind pada
prisipnya adalah yg berperan di dalam pengalaman.
3.3 Pandangan Epistemologi Progresivisme
1. Pengetahuan dan Kebenaran
Suatu ide yg dapat dilaksanakan adalah suatu ujian atau test atas
kebenaran ide itu. Test ini ialah untuk mengetahui kualitas kebenaran
suatu ide dalam arti sampai di mana ide itu bangun dan memenuhi
harapan untuk menyesuaikan diri dengan tantangan-tantangan yang ada.
Dewey yang menekankan fungsi berfikir kreatif menganggap bahwa
istilah-istilah penyidikan, makna, pertimbangan, logika dan verifikasi
adalah asas-asas yang amat berguna bagi efektifitas fungsi berfikir
kreatif. Kebenaran ialah kemampuan suatu ide memecahkan suatu
problem. Karena itu kebenaran ialah konsekuensi dari pada suatu ide,
realita pengetahuan, daya guna dalam hidup.
2. Pengetahuan itu besifat pasif
Pengetahuan ialah perbendaharaan informasi , fakta, hukum-hukum,
prinsip-prinsip, proses kebiasaan yang terakumulasi di dalam pribadi
sebagai hasil proses interaksi dan pengalaman. Pengetahuan ini di
peroleh manusia baik secara langsung melalui pengalaman dan kontak
dengan segala realita dalam lingkungan hidupnya. Ataupun yang di
peroleh manusia secara tak langsung yaitu melalui catatan yang di
wariskan (buku-buku, kepustakaan). Pengetahuan besifat rangkap baik
sosial (pengetahuan umat manusia suatu masyarakat), maupun individual
(milik pribadi). Pengetahuan juga adalah suatu produk aktivitas tertentu.
Makin sering kita menghadapi tuntutan lingkungan secara langsung, atau
makin kaya pengalaman kita dalam praktik, makin besar persiapan kita
menghadapi tuntutan masa depan.
Pengetahuan dengan demikian berkembang, tumbuh. Pengalaman
baru secara tetap memperkaya dan merubah apa yang telah ada dalam
perbendaharaan jiwa kita ini berarti bahwa pengetahuan itu mengalami
proses penyempurnaan. Akan tetapi tiada jaminan untuk menetapkan
bahwa pengetahuan yang sukses kemarin akan tetap sukses, berguna dan

11
benar bagi hari esok, selain melakukan ujian-ujian, re-test dan
rechecking. Sebab, situasi selalu berubah. Karena itu apa yang benar dan
berguna, kemarin mungkin tidak benar, tak berguna untuk hari esok.
Pengetahuan harus selalu disesuaikan dan dimodifikasi dengan realita
baru di dalam lingkungan.
3. Kebenaran besifat aktif
Hubungan antara pengetahuan dan kebenaran terletak di dalam proses
sebagai berikut: pengetahuan di pandang sebagai pasif, karena ia suatu
perbendaharaan pengalaman dan informasi yang siap menanti
penggunaan. Sedangkan kebenaran di anggap sebagai aktif, karena
kebenaran adalah hasil tertentu dari pengetahuan, hasil pemilihan
alternatif dalam proses pemecahan masalah. Sebaliknya untuk
mendapatkan kebenaran tidak mungkin tanpa perbendaharaan
pengetahuan, perbendaharaan ini memberikan ide-ide (bagi manusia pada
umumnya) untuk suatu tindakan, suatu problem solving.
4. Intelegensi dan operasionalisme
John Dewey menekankan makna intelegensi, seperti ia juga selalu
menekankan makna pengetahuan, kebeneran dan pikiran tidak di dalam
arti tradisional. Intelegensi pada hakekatnya ialah cara eksperimental dari
kehidupan, metode utama interaksi manusia dengan lingkungannya.
Intelegensi bagi dewey ialah “product and expression of cumulative
funding of the meaning reached in spesial inquiries” ialah “hasil dan
eksperimen dari pada perbendaharaan pengertian yang telah di capai
dengan cara yang khusus”.
Disini arti produksi ialah ketergantungan intelegensi pada pengalaman
lampau, pengetahuan yang terdahulu. Sedangkan ekpresi berarti fungsi
aktif intelegensi sekarang (dalam proses). Dan special inquiries berarti
kesukaran khusus yang di alami dengan mana tingkah laku intelegen
selalu di borong, ditantang.
Intelegensi ialah kemampuan bertingkah laku tidak secara rutin
dengan ketaatan yang buita atas kebiasaan yang berlaku. Intelegensi
terutama ialah kemampuan untuk menafsirkan kembali baik suatu

12
alternatif maupun konsekuensi yang ditimbulnya. Makna
operasionalisme memandang hukum universal dari alam sebagai alat bagi
interpeksi ilmiah dan sebagai kontrol, dan bukan sebagai tujuan; karena
bukan sesuatu yang tetap bukan sebagai ketertiban abadi, seperti ahli
bedah melalukan operasi setelah ada diagnosa dan pertimbangan medis
lainnya, demikian pula seorang ahli kimia atau sosiologi melakukan
tindakan operatif setelah prasyarat tertentu di penuhi.
Metode operasional dalam penggunaan ide (hipotesa) adalah konsep
umum kebudayaan di samping konsep semua filsafat pendidikan. Metode
ini dapat memberi pengarahan dan cara pendekatan tertentu dalam
menafsirkan masalah kemanusiaan khususnya. Intelegensi dan metode
operasional adalah ciri utama dalam epistemologi progresivisme.
5. Immediate dan mediate experience
Meskipun pengalaman adalah prinsip utama dalam progresivisme,
namun pengalaman (empiris, experience) itu baru benar berarti jika ia
ada di dalam batas-batas observasi, pertimbangan dan kontrol tertentu.
Dengan ini maksudnya ialah di samping yang alamiah, juga yang
dalam kondisi tertentu di buat sebagai penyelidikan
(laboratorium,experiment) progresivisme membedakan antara
foreground reality (latar depan realita) dengan background reality
(latar belakang realita) perbedaan ini ditentukan oleh tingkat atau
kualitas kesadaran dalam mana pengalaman itu terjadi. Sedangkan
foreground dapat pula merubah menjadi background jika kita untuk
sementara atau seterusnya, kita kurang concern dengan realita atau
objek itu. Kedua klasifikasi tersebut atas realita, atau sebagaimana
kesadaran subjek tentang sesuatu, merupakan dasar bagi pengalaman,
bagi kualitas pengalaman seseorang.
Pelaksaan proses “tahu” dalam pengalaman manusia terjadi melalui
dua macam bentuk pengalaman, yakni immediate-experience dan
mediate-experience.
a. Immediate-experience

13
Kita menghayati pengalaman ini dalam kesadaran
keseimbangan. Misalnya dalam keadaan relaks dalam ruang istirahat
kita duduk membaca majalah. Apa yang kita alami saat itu ialah
ketenangan, tanpa persoalan apapun ini disebut kita ada dalam
adjustment, kesatuan dan keseimbangan dengan lingkungan. Kita
mengalami suatu seperti isi majalah yang kita baca, menghirup udara
segar dalam ruang istirahat itu sambil menikmati pemandangan alam
di sekitarnya. Tetapi pengalaman disini terjadinya dengan (halus),
sedemikian harmonis antara subjek dengan lingkungannya. Dewey
menyebut pengalaman demikian sebagai “under going” of an
experience.
b. Mediate experience
Misalkan dalam keadaan relaks itu terjadi, tiba tiba ada telpon
berdering, kabar sedih kita terima, bahwa sahabat karib kita
kecelakaan kendaraan, luka parah beberapa kilometer dari rumah
kita itu. Sekarang kita kekurangan keseimbangan dalam arti
psikologis. Kita sedang mempunyai problem yang segera harus
diatasi. Yaitu bahwa saya harus kesana, jika mungkun itu membantu
apa yg dapat dilakukan.
Sekarang kita merasa, menyadari problem itu mendesak, minta
segera di pecahkan. Bagaimana caranya supaya dalam waktu singkat
mungkin saya sudah berada di tempat keceakaan, macam-macam
pertimbangan, proses pemilihan pemecahan problem terjadi dalam
pikiran kita. Pokoknya subjek segera ingin pemecahan masalah demi
adanya (kembalinya) keseimbangan yang hilang akibat adanya
persoalan. Pengertian mediate, yakni subyek segera menjembatani
(menjadi perantara) antar dua keadaan.
Untuk mengatasi problem itu proses berpikir atau tingkah
laku/tindakan intelligent memegang peranan utama, proses berpikir
dalam rangka pemecahan problem ini melalui lima tahapan, yang di
sebut act of thought (tindakan pikiran), yaitu:

14
- Ada rangsang sebagai problem, yang menganggu
keseimbangan subjek
- Kita, subjek kehilangan keseimbangan, subjek menyadari
apa problem yang menimpa atau yang di hadapinya, subjek
yang menimbang-nimbang apakah problem sebenarnya
- Timbul dalam pikiran subjek saran yang berasal dari
perbendaharaan pengetahuannya tentang sebagai mana cara
pemecahan problem
- Subjek memilih alternatif yang paling efektif dengan
memperhitungkan konsekuensi yang akan terjadi, yang
memberi jaminan bagi suksesnya usaha pemecahan. Atau
alternatif yang paling aman, tanpa resiko
Produk atau konsekuensi dari pada tindakan yang di ambil
berasal dari ide atau pengetahuan subjek apakah sukses
mengembalikan subyek ke dalam situasi immediate experience
atau tidak, inilah ukuran validitas pengetahuan seseorang. Jika ia
sukses, maka pengetahuan yang di pergunakan valid, dan benar.
Sebaliknya jika ia gagal maka pengetahuan yang ada itu tidak
valid, tidak benar (=tidak berguna). Progresivisme juga
menekankan bahwa seorang berpikir hanya dalam rangka
mengatasi persoalan, tidak kreatif. Padahal orang juga berfikir di
waktu relaks, baik sebagai seniman yang mencari ilham.
Juga perlu dicatat jika proses lima tahap itu tidak selamanya
berjalan lancar kelima-limanya; kadang-kadang kita mundur
kembali untuk mendapat kepastian. Dan perhatian serta waktu
yang di perlukan tidaklah sama dari pada tiap langkah pada masing
masing individu. Akhirnya perlu disadari bahwa perbedaan proses
berfikir atas lima tahap itu lebih bersifat analisis dari pada real.
Artinya, dalam pelaksanaan act of thought proses itu terjadi
sebagai satu kesatuan.
Dewey menegaskan bahwa pikiran atau intelegensi adalah alat
(instrumen) untuk pemecahan persoalan. Intelegensi yang baik

15
dengan metode ilmiah akan efektif dalam setiap pemecahan
masalah. Jadi amat berguna untuk adaptasi dan re-adaptasi demi
kelangsugan hidup organisme. Semua uraian di atas adalah teori
dasar dalam epistemology progresivisme. Sedangkan implementasi
teori itu di dalam sistem pendidikan praktis progresivisme akan di
uraikan pada sub bab ini bagian E dan F.
3.4 Pandangan Aksiologi Progresivisme
1. Approach empetis.
Progresvisme meng-approach masalah nilai secara emperis
berdasarkan pengalaman real di dalam kehidupan manusia, khususnya di
kehidupan sehari-hari. Sebaliknya aliran ini tidak menaruh perhatian sama
sekali atas nilai nilai yang non-empiris seperti nilai-nilai supernatural, nilai
nilai universal, nilai-nilai agama (devine truth yang bersumber dari wahyu
Tuhan).
a. Hubungan antara realita dengan pengetahuan .
Nilai menurut aliran ini tak terpisahkan dari pada realita dan
pengetahuan. Sebab nilai-nilai sebenarnya lahir dari keinginan,
dorongan, perasaan, kebiasaan manusia, sesuai dengan watak manusia
yang merupakan kesatuan antara faktor-faktor biologi dan sosial dalam
kepribadiannya, nilai-nilai ialah suatu yang ada di dalam sebagai realita.
Dan dapat dimengerti manusia sebagai wujud, pengetahuan, ide. Suatu
ide itu benar jika ia mengandung kebaikan; terutama berguna bagi
manusia untuk penyesuaian diri dan demi kehidupannya dalam suatu
lingkungan tertentu. Karena itu relasi antara realita, pengetahuan dan
nilai-nilai adalah sebagai satu mata rantai dalam pengalaman dan
kehidupan manusia yang nyata.
b. Nilai instrumental dan nilai instrinsik.
Tiap-tiap nilai yang berguna di dalam kehidupan manusia ialah
untuk hidup manusia nilai instrumental. Sesuatu itu bernilai karena
dapat mengantarkan manusia pada satu tujuan. Misalnya, obat atau
vitamin adalah bernilai instrument, dapat mewujudkan kesehatan
badan. Tetapi kesehatan badan bukanlah tujuan akhir, sebab dengan

16
kesehatan orang dapat melaksakan fungsi kehidupan sebagai
pemimpin, pengusaha, pendidik, sarjana dan sebagainya dengan
sebaik-baiknya. Progresivisme tidak membedakan dengan tajam antara
nilai instrumental dengan nilai instrinsik. Bagi progresivisme,
kedudukan kedua nilai itu instrinsik dan instrumental analog dengan
kedudukan knowledge dan truth dalam teori epistemologinya. Kedua-
duanya dependent satu sama lain.
c. Nilai sosial dan nilai individu (social and personal value)
Pembedaan lain dalam hal nilai-nilai ini ialah antara nilai sosial
dan nilai individu. Pada prinsipnya, semua nilai lahir atau produk dari
pada suatu kualita sosial, kenyataan sosial. Misalnya seseorang
mengetahui dan menghargai kesehatan, karena antar hubungannya
dengan individu yang sehat dalam masyarakat.
Watak sosial dari nilai secara fundamental ialah pada kodrat
individu itu sendiri. Bahwa seorang individu baru akan menjadi seorang
pribadi setelah ia aktif berpartisipasi di dalam masyarakat dimana
terhimpun banyak pribadi. Sebab, individu memiliki potensi
intelegensi, sikap rasional, kritis. Potensi ini ialah kekuatan dan
kemampuan memilih, menerima atau menolak suatu yang ada di dalam
masyarakat, individu tidak mewarisi nilai (baik dan buruk) dari generasi
terdahulu, dari zaman silam yang amat berbeda dengan zaman dan
kebutuhan hidupnya. Karena itu individu yang bebas ini akan memilih
nilai secara bebas pula.
d. Perkembangan sebagai nilai (growth as values).
Tiap organisme tumbuh berkembang, baik dalam arti horizontal
maupun vertikal. Berkembang secara horizontal berarti dalam
hubungan dengan alam lingkungan dan kebudayaan sekarang.
Sedangkan dalam berkembang dalam arti vertikal ialah perkembangan
yang tanpa akhir untuk terus meningkatkan kualitas perkembangan itu
dengan penyelidikan yang mendalam dan continue. Tumbuh dan
berkembang adalah proses alamiah dan kebudayaan manusia atas usaha

17
sadar dan tidak sadar manusia. Tumbuh dan berkembang adalah proses
yang tak akan berakhir selama manusia hidup.
2. Approach artistic.
Pragmatisme, khususnya dewey, amat menaruh perhatian dalam studi
estetika, nilai artistik, sebab artistik adalah suatu nilai yang memperkaya
ekspresi manusia. Artistik adalah satu energi pendorong kehidupan bagi
umat manusia.
a. Nilai estetika
Nilai estetika adalah immediate experience, karena itu ia adalah satu
nilai kesenangan dalam pengalaman manusia. Estetika adalah nilai
keindahan yang di nikmati hidup, yang tidak mendatangkan problema.
b. Ilmu pengetahuan dan seni (science and arts)
Progresive menganggap bahwa ilmu dan seni bukanlah dua bidang
yang terpisah, melainkan suatu prestasi manusia yang komplementatif,
sebab dalam praktek kehidupan kedua-duanya amat diperlukan manusia.
Bahkan dalam proses penciptaan hasil-hasil seni, bukanlah semata
fungsi reflektif (berfikir) amat di perlukan. Perbedaan pelaksanaan
fungsi intelegensi dalam nilai dan pengatahuan tidaklah berbeda, kecuali
dari segi penekanan saja bukan dalam arti jenis dan kualitas intelegensi
yang di perlukan.
3. Democracy as value (demokrasi sebagai nilai).
Perkembangan Negara demokrasi adalah suatu sumber utama bagi
tumbuhnya filsafat progresivisme. Meskipun diyakini bahwa demokrasi itu
masalah politik, tetapi progresivisme menghayati demokrasi tidak dalam
makna politik. Dari segi ontologis, demokrasi ialah pengalaman dinamis
dan inter dependensi antara sesama manusia. Demokrasi adalah jalan
keluar, kanalisasi bagi dorongan yang dalam dari pada pribadi.
Dari segi epistemologi, demokrasi adalah benih dan buah dari pada
praktik yang luas intelegensi. Demokrasi adalah usaha mencari nilai-nilai
kebenaran. Dengan kata lain, demokrasi ialah ide-ide, pemikiran yang di
laksanakan di dalam pergaulan sosial. Dalam komunikasi sosial, maka
esensi fenomena sosial itu ialah demokrasi dan demokrasi yang telah

18
melembaga merupakan perwujudan dari identitas sosial. Dengan
demikian, demokrasi tidak saja dalam makna persamaan, melaikan secara
praktis mengandung makna tanggung jawab dan kewajiban untuk
mengemban potensi setiap individu dalam kehidupan bersama.
3.5 Asas Belajar Menurut Progresivisme
1. Anak dan lingkungannya.
Anak adalah organisme yang mengalami suatu proses
pengalaman, sebab ia merupakan bagian integral dari
lingkungannya dengan peristiwa, antar hubungan, perasaan pikiran
dan benda-benda. Anak berada dalam lingkungan yang selalu
mengalami proses perubahan, perkembangan. Meskipun anak
sebagai bagian integral dari lingkungannya, namun ia tetap
mampunyai identitas sendiri yang berbeda dengan makhluk-
makhluk alamiah yang mana pun. Sebab, anak memiliki potensi
dan kemampuan intelegensi yang dapat memecahkan problem
dalam hidupnya. Dan proses pendidikan terutama di pusatkan
untuk latihan dan penyempurnaan intelegensi.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah pembinaan anak
yang paling efektif , jika sekolah di dasarkan pada prinsip-prinsip
pendidikan yang tepat. Dasar untuk tepatnya fungsi pendidikan itu
terutama bersumber dari pandangan ilmu jiwa khususnya psikologi
belajar. Mengenai hal ini progresivisme berpegang pada enam
prinsip yang disebutnya Six Generalizations, yaitu:
1. Ilmu jiwa secara praktis membimbing proses pendidikan
sejalan dengan prinsip filsafat pragmatis. Sifat dinamis,
perubahan alamiah harus dimengerti pula adanya pada kodrat
anak.
2. Belajar sesungguhnya adalah pengalaman yang wajar.
Dalam prosesnya belajar sama dengan pemecahan masalah
yang mengganggu organisme. Dan dengan proses itu tidak saja
gangguan-gangguan itu di akhiri, tetapi juga terbentuklah
respon baru dalam pola perkembangan pribadi anak.

19
3. Dalam proses belajar, harus disadari bahwa yang aktif
adalah “the whole chlind” dan bukan hanya “mind” saja seluruh
struktur tingkah laku adalah pula perwujudan dari seluruh
aspek kepribadiannya, secara utuh.
4. Lingkungan anak sama fundamentalnya dengan kodrat
dirinya sendiri. Diri anak adalah bagian lingkungannya,
keduanya saling berpengaruh dalam proses perubahan,
perkembangan.
5. Fungsi belajar selalu berkembang menurut level dan
kompleksitasnya, dan tingkat tertinggi dari fungsi itu ialah
intelegensi.
6. Progresivisme menolak beberapa konsep kesimpulan ilmu
jiwa tradisional, terutama tentang daya jiwa dan pembawaan.
Aliran ini terutama menekankan peranan lingkungan dalam
pembinaan pribadi.
2. Living as learning (kehidupan yang real sebagai proses
belajar).
Belajar sesungguhnya bukan semata mata terjadi di dalam
sekolah; belajar terjadi dalam semua kesempatan dan tempat, jadi
termasuk di dalam masyarakat. Justru proses edukasi harus mampu
mengalahkan pengaruh buruk yang ada di dalam masyarakat
dengan jalan mengimbangi kondisi masyarakat dengan kondisi-
kondisi edukatif. Problem-problem di dalam masyarakat
(kenakalan pemuda, masalah sex, narkotika, dan sebagainya) harus
dijadikan materi orientasi dan analisa dalam program sekolah.
3. Teori belajar aliran ini terutama dapat di ikhtisarkan dalam
pokok-pokok berikut sebagai pusat perhatian sebagai berikut.
a. Interest, minat anak
b. Effort, usaha berupa self-activity
c. Purpose, tujuan yang jelas untuk apa ia belajar, gunanya
d. Intelligence, adalah potensi untuk mengerti, memecahkan
problem, komunikasi, daya cipta

20
e. Habit, yakni kebiasaanya yang sudah ada, dan pembinaan
pola-pola kebiasaan baru yang lebih efektif
f. Growth, pengalaman-pengalaman harus mendorong
perkembangan pribadi, demikian seterusnya
g. Organism, anak adalah suatu unity organism, ia belajar
dengan seluruh kepribadiannya, baik jiwa maupun badaniah
h. Culture, lingkungan alamiah, adalah realita yang dalam
batas-batas tertentu dapat di bina manusia, lingkungan
sosial budaya adalah produk kaya dan cipta manusia
3.6 Kurikulum Progresivisme
Tokoh progresivisme Rugg menyatakan bahwa kurikulum yang tepat
ialah yang mempunyai nilai edukatif. Dan dewey menyatakan bahwa
“sekolah yang baik ialah yang memperhatikan dengan sungguh-sungguh
semua jenis belajar (dan bahannya) yang membantu murid, pemuda dan
orang dewasa, untuk berkembang”. Untuk itu, tak ada isi suatu isi tertentu,
sistem pengajaran, metode yang universal dalam pengajaran yang selalu
tepat untuk semua jenis sekolah. Sebab, seperti juga pengalaman,
kebutuhan minat individu dan masyarakat berbeda-beda menurut tempat
zaman, khususnya kurikulum harus berbeda, berubah dan berkembang
menurut kondisi tertentu.
Kurikulum yang baik ialah seperti fungsi suatu laboratorium. Ia selalu
sebagai rentetan continue suatu experiments, dan semua pelakunya, ialah
bersama muridnya, yang dalam beberapa aspek melakukan fungsi
ilmiawan, karena itu perlu di hindarkan kurikulum yang kaku, standar
yang mekanis penyelesaian tradisional.
1. Tipe-tipe struktur kurikulum
Sejak progresivisme melakukan eksperimen tentang kurikulum,
mereka telah menyusun dan membina kembali lima tipe kurikulum,
dimana empat tipe pertama sedikit banyak dianggap masih kompromi
dengan pola-pola kurikulum tradisional.
a. Reorganisasi di dalam suatu subyek khusus sebgai langkah
pertama mencari pola dan design yang baru.

21
b. Korelasi antar dua dan lebih subject-matter, misalnya antara
bahasa nasional dengan social-studies.
c. Pengelompokan dan hubungan integratif dalam satu bidang
pengetahuan, misalnya: “pendidikan umum” dalam ilmu
pengetahuan alam dan arts.
d. “Core-curriculum” suatu kelompok mata pelajaran yang
memberi pengalaman dasar dan sebagai kebutuhan umum yang
utama.
e. “Experience-centered” curriculum yakni kurikulum yang
mengutamakan pengalaman dengan menekankan pada unit-
unit tertentu.
Unit-unit dalam pelaksanaan experience-centered curriculum yang di
dasarkan kepada kebutuhan dan minat akan di arahkan bagi
perkembangan pribadi secara integral terutama fikir, perasaan, motor
(gerak dan kerja) dan pengalaman sosial.
2. The nature of real problems (kodrat masalah masalah yang realistis)
Artinya masalah dalam kurikulum terutama berdasarkan realita
kehidupan yang wajar. Dengan pendekatan terhadap masalah yang wajar
dalam kehidupan anak-anak dan dipersiapkan untuk mampu dalam
kehidupan yang akan datang. Melainkan telah berpartisipasi dengan situasi
kehidupan yang sesungguhnya dimana ia dan sekolah adalah bagian
daripada kehidupan yang sebenarnya.
Realita kehidupan yang wajar dengan aspek-aspek persoalan itulah
yang dijadikan tema unit-unit kurikulum. Unit-unit dalam kurikulum tipe
“berorientasi pada pengalaman” ini dibuat sebagai suatu perwujudan
kehidupan yang wajar. Sebab, didalam realita kehidupan, persoalan-
persoalan yang kita hadapi selalu ada dalam hubungan dan interaksi, baik
subjeknya maupun masalahnya. Kehidupan manusia yang multikompleks
antar hubungan dan interaksi nya, demikian pola problem yang timbul
didalamnya, harus dialami sebagaimana adanya didalam unit-unit ini.
Hanya ini yang akan memberi pengalaman dalam makna “inilah hidup itu
sendiri”.

22
3. Child- Centered or Community Centered Schools
Suatu isu pendidikan yang amat penting ialah problem yang tersimpul
dalam tema ini: apakah sekolah (pendidikan dan isinya) berpusat orientasi
pada pribadi anak, ataukah pada masyarakat (manusia sebagai
keseluruhan). Dengan kata lain apakah sekolah yang baik itu memusatkan
perhatiannya pada anak (minat dan pertumbuhan individu ataukah kepada
masalah dan perkembangan yang real didalam masyarakat dimana sekolah
itu menjadi bagian). Sesungguhnya perbedaan kedua pusat orientasi,
antara child centered ataukah community centered. Aliran ini menyadari
bahwa tiada pendidikan yang mungkin melaksanakan salah satu pilihan;
sebab keduanya adalah vital. Perbedaan hanya mungkin arti aksekusi saja.
a. Child centerd gunanya sebagai dasar kurikulum dan prinsip
pendidikan watak dan proses perkembangan anak. Jadi pusat
orientasi ialah psikologis anak. Kurikulum diarahkan supaya
efektif dalam perkembangan kepribadian anak sebagai satu
totalitas. Kurikulum harus mengandung unsur-unsur yang kaya
bagi perkembangan prakarsa, perasaan, pikir-pikir, spontan dan
kreatif, ekspresi, sikap social dan sikap kritis. Konsekuensi asas ini
ialah bahwa guru harus benar-benar mengenal individualitas anak.
b. Community centered ialah suatu deskripsi dan interpretasi dari
hasil eksperimen tahun 1930-an yang memusatkan perhatian, dan
memakai masyarakat sebagai satu totalitas medan orientasi
pendidikan sekolah. Prinsip pandangan ini berasal dari kesimpulan
progresivisme: bahwa belajar dibina atas kehidupan yang wajar
manusia, maka kurikulum seluas mungkin harus bersumber pada
kehidupan yang sebenarnya. Dan kurikulum demikian seluruhnya
berasal dari lingkungan hidup “Living reality”.

4 PENUTUP
4.1 Pragmatisme adalah aliran filsafat yang berpandangan bahwa kebenaran
segala sesuatu ada pada kegunaan praktisnya
4.2 Filsafat pragmatisme dapat ditinjau menurut ontologi, humanologi,

23
epistemologi, dan aksiologinya
4.3 Konsep pendidikan pragmatisme meliputi tujuan pendidikan, isi
pendidikan atau kurikulum, metode pendidikan, serta peranan peserta
didik dan pendidik.
4.4 Filsafat progresivisme bermuara pada filsafat pragmatisme, progresivisme
tidak mengakui kemutlakan hidup, menolak absolutisme, dan
otoritatianisme dalam segala bentuknya
4.5 Filsafat progresivisme dapat ditinjau menurut ontologi,
epistemologi, dan aksiologinya
4.6 Konsep pendidikan progresivisme meliputi asas belajar, isi
pendidikan atau kurikulum, metode pendidikan, serta peranan peserta
didik dan pendidik

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Rulam. 2015. Pengantar Pendidikan: Asas dan Filsafat Pendidikan.


Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Mudyarahardjo, Redja. 2012. Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Soegiono, dan Muis, Tamsil. 2012. Filsafat Pendidikan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Sutrisno, Slamet. 1985. Relevansi Pragmatisme terhadap Pancasila. Yogyakarta:
Liberty
Syam, Mohammad Noor. 1984. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat
Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional

24

Anda mungkin juga menyukai