Anda di halaman 1dari 22

Makalah

GERAKAN PENDIDIKAN

Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Pendidikan yang
diberikan oleh Ibu Dr. Frida Maryati Yusuf, M.Pd

yang disusun Oleh:

Nama: Dhea Priti Aristifani Junus

NIM: 433420011

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Subhanallahu Wata’ala yang telah melimpahkan rahmat,
taufik dan hidayahnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan
Makalah Gerakan Pendidikan ini.

Shalawat dan salam tidak lupa senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad
Shallahu ‘Alaihi Wasallam semoga di hari akhir nanti kita semua mendapat syafa’atnya.

Penulisan makalah ini belumlah sempurna oleh karena itu penulis mohon kepada
pembaca untuk bisa memberikan kritik dan saran yang membangun. Semoga makalah ini
bisa bermanfaat bagi penulis dan khususnya bagi pembaca.

Kotamobagu, 07 Desember 2020


Penulis

Dhea Priti Aristifani Junus

i
Daftar Isi

Kata Pengantar ………………………………………………………………………. i


Daftar isi ………………………………………………………………………. ii
Bab I Pendahuluan ……………………………………………………………………. 1
A. Latar Belakang…………………………………………………………………... 1
B. Rumusan Masalah...…………………………………………………………….. 1
C. Tujuan .………………………………………………………………………….. 1
Bab II Pembahasan.…………………………………………………………………….. 2
A. Progesivisme..……………………………………………………………………. 2
B. Esensialisme .…………………………………………………………………….. 6
C. Parenialisme……………………………………………………………………..11
D. Konstuktivisme ………………………………………………………………….13
Bab III Penutup .………………………………………………………………………17
A. Kesimpulan………………………………………………………………………17
B. Saran …………………………………………………………………………….18
Daftar Pustaka …...…………………………………………………………………….19

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat kadang terombang-ambing diantara kedua kecendrungan. Di satu pihak ada yang
mau mempertahankan nilai-nilai budaya lama, di pihak lain ingin mengadakan perubahan atau
menciptakan hal-hal baru. Sehingga terdapat pergolakan yang kunjung reda antara tradisi dan
perubahan, yang tentu saja berimplikasi pada pendidikan. Berdasarkan apa yang terjadi dalam
masyarakat sebagai akibat dari pendidikan yang telah dilaksanakannya, dan berlandaskan pada
pandangan filsafat tertentu, sehingga muncullah aliran-aliran atau gerakan-gerakan pendidikan
sebagai reaksi tehadap konsep dan praktik pendidikan yang mendahuluinya, yang menawarkan
solusi demi pemecahan masalah yang timbul. Tiap aliran memiliki pandangan yang berbeda-
beda mengenai pendidikan dalam kaitannya dengan masyarakat dan kebudayaannya. Sekaitan
dengan itu, pendidik dan calon pendidik perlu mengkajinya agar memiliki asumsi filosofis yang
jelas tentang peranan pendidikan dalam hubungannya dengan masyarakat dan kebudayaannya.
Makalah ini akan membantu mahasiswa untuk memahami berbagai aliran filsafat atau gerakan
pendidikan. Hal ini berkenan dengan landasan-landasan filsafat umum setiap aliran, dan
implikasinya terhadap pendidikan. Dengan demikian akan menjadi jelas landasan filosofinya
berkenaan dengan konsep pendidikan yang disarankan atau aliran filsafat tertentu. Semua ini
akan menjadi masukanbagi Mahasiswa dalam membangun asumsi berfikir dan bertindak dalam
rangka pendidikan.
Materi makalah ini terdiri dari atas dua subpokok bahasan. Subpokok bahasan pertama
membahas aliran Progresivisme dan Essensialisme, sedankan subpokok bahasan kedua
membahas Perenialisme dan Konstruktivisme.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut adapun masalah-masalah yang muncul adalah sebagai
berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan Progresivisme?
2. Apakah yang dimaksud dengan Esensialisme?
3. Apakah yang dimaksud dengan Perenialisme?
4. Apakah yang dimaksud dengan Konstruktivisme?
C. Tujuan
Adapun tujuan secara umum yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui pengertian Progresivisme
2. Agar mahasiswa dapat mengetahui pengertian Esensialisme
3. Agar mahasiswa dapat mengetahui pengertian Perenialisme
4. Agar mahasiswa dapat mengetahui pengertian Konstruktivisme

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Progresivisme
1. Pengertian Progresivisme
Menurut bahasa istilah progresivisme berasal dari kata progresif yang artinya bergerak maju.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata progresif diartikan sebagai ke arah
kemajuan; berhaluan ke arah perbaikan sekarang; dan bertingkat-tingkat naik. Dengan demikian,
secara singkat progresif dapat dimaknai sebagai suatu gerakan perubahan menuju perbaikan.
Sering pula istilah progresivisme dikaitkan dengan kata progres, yaitu kemajuan. Artinya
progesivisme merupakan salah satu aliran yang menghendaki suatu kemajuan, yang mana
kemajuan ini akan membawa sebuah perubahan. Pendapat lain menyebutkan bahwa
progresivisme sebuah aliran yang mengingikan kemajuan-kemajuan secara cepat (Muhmidayeli,
2011:151).
Menurut Gutek (1974:138) progresivisme modern menekankan pada konsep ‘progress’; yang
menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan dan menyempurnakan
lingkungannya dengan menerapkan kecerdasan yang dimilikinya dan metode ilmiah untuk
menyelesaikan permasalahan yang timbul baik dalam kehidupan personal manusia itu sendiri
maupun kehidupan sosial. Dalam konteks ini, pendidikan akan dapat berhasil manakala mampu
melibatkan secara aktif peserta didik dalam pembelajaran, sehingga mereka mendapatkan banyak
pengalaman untuk bekal kehidupannya.
Senada dengan itu, Muhmidayeli (20011:151) menjelaskan bahwa progresivisme merupakan
suatu aliran yang menekankan bahwa pendidikan bukanlah sekedar upaya pemberian
sekumpulan pengetahuan kepada subjek didik, tetapi hendaklah berisi beragam aktivitas yang
mengarah pada pelatihan kemampuan berpikir mereka secara menyeluruh, sehingga mereka
dapat berpikir secara sistematis melalui cara-cara ilmiah, seperti penyediaan ragam data empiris
dan informasi teoritis, memberikan analisis, pertimbangan, dan pembuatan kesimpulan menuju
pemilihan alternatif yang paling memungkinkan untuk pemecahan masalah yang tengah
dihadapi.
Progresivisme merupakan salah satu aliran dalam filsafat pendidikan modern. Menurut John S.
Brubacher sebagaimana dikutip Jalaludin dan Abdullah Idi (2012:82) aliran progresivisme
bermuara pada aliran filsafat pragmatisme yang diperkenalkan oleh William James (1842- 1910)
dan John Dewey (1859-1952) yang menitik beratkan pada segi manfaat bagi hidup praktis.
Artinya, kedua aliran ini sama-sama menekankan pada pemaksimalan potensi manusia dalam
upaya menghadapi berbagai persoalan kehidupan sehari-hari. Di samping itu, kesamaan ini di
dasarkan pada keyakinan pragmatisme bahwa akal manusia sangat aktif dan ingin selalu
meneliti, tidak pasif dan tidak begitu saja menerima pandangan tertentu sebelum dibuktikan
kebenarannnya secara empiris (Uyoh Sahdullah, 2003:120).
Berkaitan dengan pengertian tersebut, progresivisme selalu dihubungkan dengan istilah the
liberal road to cultural, yakni liberal bersifat fleksibel (lentur dan tidak kaku), toleran dan
bersikap terbuka, sering ingin mengetahui dan menyelidiki demi pengembangan pengelaman
(Djumransjah, 2006:176). Maksudnya aliran progresivisme sangat menghargai kemampuan-
kemampuan seseorang dalam upaya pemecahan masalah melalui pengamalaman yang dimiliki
oleh masingmasing individu.

2
Pendapat lain menyebutkan bahwa progresivisme sering pula dinamakan sebagai
instrumentalisme, eksperimentalisme, dan environmentalisme (Jalaluddin dan Abdullah Idi,
2012:78).
Dinamakan instrumentalisme, karena aliran Jurnal Dimensi Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 5
No. 1 Januari 2017 | 19 progresivisme beranggapan bahwa kemampuan inteligensi manusia
sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan, dan untuk mengembangkan kepribadian manusia.
Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan asas eksperimen
untuk menguji kebenaran suatu teori. Kemudian, dinamakan environmentalisme, karena aliran
ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadian. Selain itu, ada
pula yang menyebutnya sebagai aliran naturalisme, yaitu sebuah pandangan yang menyatakan
bahwa kenyataan yang sebenarnya adalam alam semesta ini, buka kenyataan spiritual dan
superanatural (Djumransjah, 2006:176).
Dari beberapa penjelesan tersebut dapat dipahami bahwa aliran progresivisme adalah suatu
aliran dalam filsafat pendidikan yang menghendaki adanya perubahan secara cepat praktik
pendidikan menuju ke arah yang positif. Dengan kata lain, pendidikan harus mampu mebawa
perubahan pada diri peserta didik menjadi pribadi yang tangguh dan mampu menghadapi
berbagai persolan serta dapat menyesuikan diri dengan kehidupan sosial di masyarakat. Oleh
karena itu, progresivisme sangat menghendaki adanya pemecahan masalah dalam proses
pendidikan.
2. Makna Pendidikan Progresivisme
Dalam pandangan progresivisme pendidikan merupakan suatu sarana atau alat yang
dipersiapkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik supaya tetap survive terhadap
semua tantangan kehidupannya yang secra praktis akan senantiasa mengalami kemajuan
(Muhmidayeli, 2011:156). Selain itu, proses pendidikan dilaksanakan berdasarkan pada asas
pragmatis. Artinya, pendidikan harus dapat memberikan kebermanfaatan bagi peserta didik,
terutama dalam menghadapi persoalan yang ada di lingkungan masyarakat.
Dalam buku Philosofical Alternatives in Education, Gutek (1974:140) menyebutkan bahwa
pendidikan progresif menekankan pada beberapa hal; 1) pendidikan progresif hendaknya
memberikan kebebasan yang mendorong anak untuk berkembang dan tumbuh secara alami
melalui kegiatan yang dapat menanamkan inisiatif, kreatifitas, dan ekspresi diri anak; 2) segala
jenis pengajaran hendaknya mengacu pada minat anak, yang dirangsang melalui kontak dengan
dunia nyata; 3) pengajar progresif berperan sebagai pembimbing anak yang diarahkan sebagai
pengendali kegiatan penelitian bukan sekedar melatih ataupun memberikan banyak tugas; 4)
prestasi peserta didik diukur dari segi mental, fisik, moral dan juga perkembangan sosialnya; 5)
dalam memenuhi kebutuhan anak dalam fase perkembangan dan pertumbuhannya mutlak
diperlukan kerjasama antara guru, sekolah, rumah, dan keluarga anak tersebut; 6) sekolah
progresif yang sesungguhnya berperan sebagai laboratorium ynag berisi gagasan pendidikan
inovatif dan latihanlatihan.
Menurut progresivisme proses pendidikan memiliki dua segi, yaitu psikologis dan sosiologis.
Dari segi psikologis, pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga atau daya-daya yang ada
pada anak didik yang akan dikembangkan. Psikologinya seperti yang berpangaruh di Amerika,
yaitu psikologi dari aliran Behaviorisme dan Pragmatisme. Dari segi sosiologis, pendidik harus
mengetahui kemana tenaga-tenaga itu harus dibimbingnya.

3
Di samping itu, progresivisme memandang pendidikan sebagai suatu proses perkembangan,
sehingga seorang pendidik harus selalu siap untuk memodifikasi berbagai metode dan strategi
dalam pengupayaan ilmu-ilmu pengetahuan terbaru dan berbagai perubahan-perubahan yang
menjadi kencenderungan dalam suatu masyarakat (Muhmidayeli, 2012:156). Dalam konteks ini,
pendidikan harus lebih dipusatkan pada peserta didik, dibandingkan berpusat pada pendidik
maupun bahan ajar. Karena peserta didik merupakan subjek belajar yang dituntut untuk mampu
menghadapi berbagai persoalan kehidupan di masa mendatang. Oleh karena itu, menurut Ahmad
Ma’ruf (2012) ada beberapa prinsip pendidikan yang ditekankan dalam aliran progresivisme, di
antaranya: a. Proses pendidikan berawal dan berakhir pada anak. b. Subjek didik adalah aktif,
bukan pasif. c. Peran guru hanya sebagai fasilitator, pembimbing atau pengarah. d. Sekolah harus
kooperatif dan demokratis. e. Aktifitas lebih fokus pada pemecahan masalah, buka untuk
pengajaraan materi kajian. Bila dikaitkan dengan pendidikan di Indonesia saat ini, maka
progresivisme memiliki andil yang cukup besar, terutama dalam pemahaman dan pelaksanaan
pendidikan yang sesungguhnya. Di mana pendidikan sudah seharusnya diselenggarakan dengan
memperhatikan berbagai kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik, serta berupaya untuk
mempersiapkan peserta didik supaya mampu menghadapi dan menyelesaikan setiap persoalan
yang dihadi di lingkungan sosialnya.
Hal tersebut senada dengan pengertian pendidikan di Indonesia, yakni usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dalam pengertian ini, pendidikan tidak hanya dimaknai
sebagai transfer pengetahuan. Pendidikan berarti proses pengembangan berbagai macam potensi
yang ada dalam diri manusia, seperti kemampuan akademis, relasional, bakatbakat, talenta,
kemampuan fisik dan dayadaya seni.
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa aliran progesivisme telah memberikan sumbangan
yang besar di dunia pendidikan di Indonesia. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar
kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebaikan, baik secara fisik
maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam
dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain.
3. Tujuan Pendidikan Progresivisme
Berkaitan dengan tujuan pendidikan, maka aliran progresivisme lebih menekankan pada
memberikan pengalaman empiris kepada peserta didik, sehingga terbentuk pribadi yang selalu
belajar dan berbuat (Muhmidayeli, 2012:156). Maksudnya pendidikan dimaksudkan untuk
memberikan banyak pengalaman kepada peserta didik dalam upaya pemecahan masalah yang
dihadapi di lingkungan sehari-hari. Dalam hal ini, pengalaman yang dipelajari harus bersifat riil
atau sesuai dengan kehidupan nyata. Oleh karenanya, seorang pendidik harus dapat melatih anak
didiknya untuk mampu memecahkan problem-problem yang ada dalam kehidupan.
Sejalan dengan itu, tujuan pendidikan progresivisme harus mampu memberikan keterampilan
dan alat-alat yang bermanfaat untuk berinteraksi dengan lingkungan yang berbeda dalam proses
perubahan secara terus menerus.Yang dimakssud dengan alat-alat adalah keterampilan
pemecahan masalah (problem solving) yang dapat digunakan oleh individu untuk menentukan,
menganalisis, dan memecahkan masalah.

4
Pendidikan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan memecahkan berbagai
masalah baru dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial, atau dalam berinteraksi dengan
lingkungan sekitar yang berada dalam proses perubahan.
Menurut Barnadib, sebagaimana dikutip Jalaluddin dan Abdullah Idi (2011:89)
progresivisme menghendaki pendidikan yang progres. Dalam hal ini, tujuan pendidikan
hendaklah diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus. Pendidikan bukan
hanya menyampaikan pengetahuan kepada anak didik, melainkan yang terpenting melatih
kemampuan berpikir secara ilmiah.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, maka tujuan pendidikan menurut progresivisme ini
sangat senada dengan tujuan pendidikan nasional yang ada di Indonesia. Menurut Undang-
Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Jadi berdasarkan
pengertian ini, maka aliran progresivisme sangat sejalan dengan tujuan pendidikan yang ada di
Indonesia.
4. Belajar dalam Pandangan Progresivisme
Menurut aliran progresivisme belajar dilaksanakan berangkat dari asumsi bahwa anak didik
bukan manusia kecil, melainkan manusia seutuhnya yang mempunyai potensi untuk
berkembang, yang berbeda kemampuannya, aktif, kreatif, dan dinamis serta punya motivasi
untuk memenuhi kebutuhannya (Jalaluddin dan Abdullah Idi, 2012:89). Dalam konteks ini,
belajar semestinya dilaksanakan dengan memperhatikan berbagai potensi yang dimiliki oleh
anak didik. Oleh karena itu, dalam pandangan progresivisme belajar harus dipusatkan pada diri
siswa, bukan guru atau bahan pelajaran.
Ada beberapa hal yang patut diperhatikan dalam belajar menurut pandangan progresivisme,
di antaranya:
a. Memberi kesempatan anak didik untuk belajar perorangan.
b. Memberi kesempatan anak didik untuk belajar melalui pengalaman.
c. Memberi motivasi dan bukan perintah.
d. Mengikut sertakan anak didik di dalam setiap aspek kegiatan yang merupakan kebutuhan
pokok anak.
e. Menyadarkan pada anak didik bahwa hidup itu dinamis (Jalaluddin dan Abdullah Idi,
2012:88).
Selain itu, aliran progresivisme beranggapan bahwa belajar adalah suatu proses yang
bertumpu pada kelebihan akal manusia yang bersifat kreatif dan dinamis sebagai potensi dasar
manusia dalam memecahkan berbagai persolan kehidupan (Muhmidayeli, 2011:157). Belajar
dalam konteks ini harus dapat meberikan pengalaman yang menarik bagi anak, sehingga mampu
diaplikasikannya dalam kehidupan nyata.
5. Peran Guru dalam Pandangan Progresivisme
Dalam pandangan progresivisme terdapat perbedaan antara peran guru dan siswa dalam
kegiatan pembelajaran. Karena prinsip pembelajaran progresivisme menghendaki pembelajaran
yang dipusatkan pada siswa. Adapun peran guru menurut aliran progresivisme ialah berperan
sebagai fasilitator, pembimbing, dan pengarah bagi siswa.
5
Menurut Gutek (1974:146) pendidikan progresif mencari guru yang memang berbeda dari
guru di pendidikan tradisional dalam hal watak, pelatihan, dan teknik pengajarannya. Karena
kelas/pendidikan progresif berorientasi pada kegiatan yang bertujuan, pendidik progresif sangat
perlu mengetahui bagaimana cara mendorong untuk dapat berpendapat, berencana, dan
menyelesaikan proyek mereka. Selain itu, guru juga perlu mengetahui bagaimana tahapan kerja
kelompok karena pola dasar pengajaran progresif berpusat pada partisipasi kelompok.
Aliran progresivisme ingin mengatakan bahwa tugas guru sebagai pembimbing aktivitas anak
didik/siswa dan berusaha memberikan kemungkinan lingkungan terbaik untuk belajar. Sebagai
Pembimbing ia tidak boleh menonjolkan diri, ia harus bersikap demokratis dan memperhatikan
hak-hak alamiah anak didik/siswa secara keseluruhan.
B. Essensialisme
1. Pengertian Esensialisme
Kata esensialisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat dua kata, yaitu “esensi”
yang berarti “hakikat, inti, dasar” dan ditambahkan menjadi “esensial” yang berarti “sangat
perinsip, sangat berpengaruh, sangat perlu” (Santoso, 2012: 162). Dengan demikian aliran
esensialisme adalah aliran yang mengembalikan segala sesuatu pada hakikat dasar yang
sebenarnya.
Esensialisme berusaha mencari dan mempertahankan hal-hal yang esensial, yaitu sesuatu
yang bersifat inti atau hakikat fundamental, atau unsur mutlak yang menentukan keberadaan
sesuatu (Wahyuni, 2010: 14). Oleh karena itu filsafat esensialisme adalah suatu aliran filsafat
yang merupakan perpaduaan ide filsafat idealisme-objektif dan realisme-objektif (Muhmidayeli,
2013: 166).
Gerakan ini muncul pada awal tahun 1930, dengan beberapa orang pelopornya, seperti
William C. Bagley, Thomas Brigger, Frederick Breed, dan Isac L Kandel, pada tahun 1983
mereka membentuk suatu lembaga yang di sebut "The esensialist commite for the advanced of
American Education" Bagley sebagai pelopor esensialisme adalah seorang guru besar pada
"teacher college," Columbia University, ia yakin bahwa fungsi utama sekolah adalah
menyampaikan warisan budaya dan sejarah kepada generasi muda.
Esensialisme muncul pada zaman Renaisance dengan ciri-ciri yang berbeda dengan
pregresivisme. Dasar pijakan aliran ini lebih fleksibel dan terbuka untuk perubahan, toleran, dan
tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu (Jalaluddin, 1997: 99). Nilai-nilai yang di dalamnya
adalah yang berasal dari kebudayaan dan dan filsafat yang korelatif selama empat abad belakang.
Kesalahan dari kebudayaan sekarang menurut essensialisme yaitu terletak pada kecenderungan
bahkan gejala-gejala penyimpangannya dari jalan lurus yang telah ditanamkan kebudayaan
warisan itu. Fenomenafenomena sosial-kultural yang tidak diingini kita sekarang, hanya dapat di
atasi dengan kembali secara sadar melalui pendidikan, yaitu kembali ke jalan yang telah
ditetapkan itu, dengan demikian kita boleh optimis terhadap masa depan kita dan masa depan
kebudayaan umat manusia (Syam, 1988: 260). Puncak refleksi dari gagasan ini adalah pada
pertengahan kedua abad ke sembilan belas (Alwasiah, 2008: 103).
Esensialisme didukung oleh idelisme modern yang mempunyai pandangan yang sistematis
mengenai alam semesta tempat manusia berada, dan juga didukung oleh Realisme yang
berpendapat bahwa kualitas nilai tergantung ada apa dan bagaimana keadaannya apabila dihayati
oleh subjek tertentu, dan selanjutnya tergantung pola pada subjek tersebut.

6
Oleh karena itu aliran esenssialisme adalah suatu filsafat dalam aliran pendidikan konservatif
yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada trendtrend progresif di sekolah-sekolah
(Sadullah, 1008: 158).
Aliran esensialisme dianggap para ahli sebagai "Conservatif road to culture, "yakni aliran ini
ingin kembali kepada kebudayaan lama warisan sejarah yang telah membuktikan kebaikan-
kebaikannya bagi kehidupan manusia (Syam, 1988: 260). Pendapat lain juga menjelaskan bahwa
aliran essensislisme adalah suatu aliran filsafat yang lebih merupakan perpaduan ide filsafat
idealisme objektif di satu sisi dan realisme objektif di sisi lainnya (Jalaluddin, 1997: 82). Filsafat
ini menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama karena kebudayaan lama telah
banyak melakukan kebaikan untuk manusia (Ali, 1993: 116). Dengan artian esensialisme ingin
kembali ke masa dimana nila-nilai kebudayaan itu masih tetap terjaga, yang nilai itu tersimpul
dalam ajaran para filosof, ahli pengetahuan yang agung, yang ajaran dan nilai-nilai ilmu mereka
kekal. Jadi, tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia didunia dan
akhirat.
Idealisme dan Realisme adalah aliran-aliran filsafat yang membentuk corak Esensialisme.
Sumbangan yang diberikan oleh masing-masing ini bersifat eklektik, artinya dua aliran filsafat
ini bertemu sebagai pendukung Esensialisme, tetapi tidak lebur menjadi satu. Berarti, tidak
melepaskan sifatsifat utama masing-masing. Berikut beberapa pandangan umum aliran
esensialisme adalah sebagai berikut:
a) Pandangan Ontologi:
1) Ontologi idealisme: Pendukung Esensialisme adalah idealisme yang berpandangan, bahwa
manusia adalah makhluk yang semua tata serta kesatuan atau totalitasnya merupakan bagian
yang tak terpisahkan dan sama dengan alam semesta atau makrokosmos, kalaupun berbeda
hanya skala atau ukurannya saja.
2) Ontologi realisme: Realisme pendukung esensialisme adalah realisme objektif. Manusia
adalah makhluk yang memiliki intelegensi atau kesadaran hakikatnya adalah biologi dan
berkembang, kesadaran bukan primordial melainkan muncul kemudian dalam sejarah evolusi.
Karena itu sering disebut lebih disebut sebagai produk alam.
b) Pandangan epistemologi:
1) Epistemologi idealisme: Sumber Pengetahuan. Bahwa kesadaran manusia adalah bagian
dari kesadaran yang absolute. Karena itu, dalam diri manusia tercermin suatu harmoni dengan
alam semesta, khususnya pikiran manusia (human mind) ada pun manusia memperoleh
pengetahuan melalui berfikir, intuisi, atau introspeksi.
2) Epistemologi realisme: Sumber Pengetahuan adalah dunia luar subjek, pengetahuan
diperoleh pengalaman pengamatan (kontak langsung melalui panca indra). Kriteria kebenaran.
Suatu pengetahuan diakui benar jika pengetahuan itu sesuai dengan realitas eksternal (yang
objektif) dan independen.
c) Pandangan aksiologi
1) Aksiologi idealisme: Cita-cita manusia adalah manifestasi dari keanggotaannya dalam
suatu masyarakat pribadi yang spiritualis yang diperintah oleh Tuhan.
2) Aksiologi realisme: Moral berasal dari adat istiadat, kebiasaan atau dari kebudayaan
masyarakat. Moral itu disosialisasikan oleh masyarakat terhadap anggotanya atau
diinternalisasikan sendiri oleh individu melalui pengalaman hidupnya dalam masyrakat.

7
Ini berarti bahwa kata hati adalah cerminan aspirasi masyarakat, bukan Tuhan.
Adapun landasan filosofis esensialisme menurut Muhmidayeli (2013: 168) adalah sebagai
berikut:
1) Manusia sebagai bagian dari alam semesta yang bersifat mekanis dan tunduk pada hukum-
hukumnya yang objektif, maka manusia pun secara nyata harus terlibat dan tundauk pada
hukum-hukum alam.
2) Tuhan yang mengatur eksistensi segala yang realitas yang ada termasuk diri manusia.
3) Hakikat ilmu pengetahuan tidak saja bersifat fsikis-naturalis yang bercorak empiris-
realistis, tetapi juga bersifat metafisikasupranaturalis.
4) Ilmu pengetahuan tidak akan dapat berkembang hanya dengan mengandalkan alat
inderawi akan tetapi juga mengikutsertakan fungsi akal manusia.
5) Segala sumber pengetahuan manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidupnya.
6) Nilai seperti kebenaran berakar dalam dan berasal dari sumber objektif.
7) Hukum etika adalah hukum kosmos karenanya seseorang dikatakan baik apabila ia aktif
dalam melaksanakan hukumhukum itu.
Berdasarkan beberapa pendapat dan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa prinsip-
prinsip aliran essensislisme adalah:
1. Esensialisme berakar pada ungkapan realisme objektif dan idealisme objektif yang
moderen, yaitu alam semesta diatur oleh hukum alam sehingga tugas manusia memahami
hukum alam adalah dalam rangka penyesuaian diri dan pengelolaannya.
2. Nilai (kebenaran bersifat korespondensi ).berhubungan antara gagasan dengan fakta
secara objekjtif.
3. Bersifat konservatif (pelestarian budaya) dengan merefleksikan humanisme klasik yang
berkembang pada zaman renaissance.

2. Belajar Menurut Teori Essensialisme Konsep pendidikan aliran esensialisme dapat dilihat
dari beberapa pandangan para tokohnya sebagai berikut:
1. Johan Frieddrich Herbart (1776-1841) Ia berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah
menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebijaksanaan Tuhan artinya adanya penyesuaian
dengan hukum kesusilaan. Proses untuk mencapai tujuan pendidikan itu oleh Herbart disebut
pengajaran.
2. William T. Harris (1835-1909) Tugas pendidikan adalah menjadikan terbukanya realitas
berdasarkan susunan yang tidak terelakkan dan bersendikan ke kesatuan spiritual sekolah
adalah lembaga yang memelihara nilai-nilai yang turun menurut, dan menjadi penuntun
penyesuaian orang pada masyarakat.
3. Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 – 1831) Georg Wilhelm Friedrich Hegel
mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu
pemahaman yang menggunakan landasan spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan
contoh mengenai sintesa ini adalah pada teori sejarah. Hegel mengatakan bahwa tiap tingkat
kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-hukum yang sejenis. Hegel mengemukakan pula
bahwa sejarah adalah manifestasi dari berpikirnya Tuhan. Tuhan berpikir dan mengadakan
ekspresi mengenai pengaturan yang dinamis mengenai dunia dan semuanya nyata dalam arti
spiritual. Oleh karena Tuhan adalah sumber dari gerak, maka ekspresi berpikir juga
merupakan gerak.
8
4. George Santayana George Santayana memadukan antara aliran idealisme dan aliran realisme
dalam suatu sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu
konsep tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang menentukan adanya
kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung asas otoriter atau nilai-nilai, namun juga
tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif bersifat menentukan nilai-nilai itu atas dirinya
sendiri(memilih,melaksanakan). Dia memadukan antara aliran idealisme dan realisme dalam
suatu sintesa dengan mengatakan bahwa nilai tidak dapat ditandai dengan suatu konsep
tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang menentukan adanya kualitas
tertentu (Barnadib, 1982: 38).
5. William C. Bagley Filsafat pendidikan esensialisme yang disarikan oleh William C. Bagley
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Minat-minat yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upayaupaya belajar awal yang
memikat atau menarik perhatian bukan karena dorongan dari dalam diri siswa.
b. Pengawasan, pengarahan, dan bimbingan orang yang dewasa adalah melekat dalam masa
balita yang panjang atau keharusan ketergantungan yang khusus pada spsies manusia.
c. Oleh karena kemampuan untuk mendisiplin diri harus menjadi tujuan pendidikan, maka
menegakan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. d)
Esensialisme menawarkan sebuah teori yang kokoh, kuat tentang pendidikan, sedangkan
sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme) memberikan sebuah teori yang lemah (Ali,
1993: 96).
Berdasarkan beberapa pandangan para tokoh aliran filsafat esensialisme tersebut dipahami
bahwa esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki
kejelasan dan tahan lama, yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai,
tata yang jelas.
Esensialisme percaya bahwa pendidikan harus didasarkan kepada nilainilai kebudayaan yang
telah ada sejak zaman awal peradaban umat manusia, kebudayaan yang mereka wariskan kepada
kita hingga sekarang, telah teruji oleh zaman, kondisi dan sejarah kebudayaan demikian ialah
esensial yang mampu pula pengembangan hari ini dan masa depan umat manusia.
Esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan
sebagai suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa
pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di antara kaum muda.
Menurut para esensialis, dalam dunia pendidikan fleksibilitas dalam segala bentuk dapat
menimbulkan pandangan yang berubah-ubah, pelaksanaan yang kurang stabil dan tidak menentu.
Sehingga menyebabkan pendidikan kehilangan arah. Dengan demikian pendidikan harus
bersendikan pada nilai-nilai yang dapat mendatangkan stabilitas yaitu nilai yang memiliki tata
yang jelas dan telah teruji oleh waktu. Prinsip esensialisme menghendaki agar landasan
pendidikan adalah nilai-nilai yang esensial dan bersifat menuntun.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa aliran filsafat esensialisme percaya bahwa
pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang mereka wariskan kepada kita
hingga sekarang telah teruji oleh segala zaman kondisi dan sejarah. Kebudayaan demikian ialah
esensia yang mampu pula mengemban hari kini masa depan dan umat manusia. Adapun prinsip-
prinsip pelaksanaan pendidikan menurut filsafat esensialisme adalah sebagai berikut:
1) Belajar pada dasarnya melibatkan kerja keras dan kadang – kadang dapat menimbulkan
keseganan dan menekankan pentingnya prinsip disiplin.
9
Terhadap pandangan progresivisme yang menekankan minat pribadi, mereka menerimanya
sebagai konsep untuk berbuat namun
minat yang paling tinggi dan dapat lebih bertahan tidak diperoleh sejak awal atau sebelum
belajar namun timbul melalui usaha keras.
2) Inisatif dalam pendidikan harus ditekankan pada pendidik bukan pada anak. Peranan guru
dalam menjebatani antara duni orang dewasa dengan dunia anak. Guru telah disiapkan
secara khusus untuk melaksanakan tugas di atas sehingga guru lebih berhak membimbing
murid-muridnya.
3) Inti dari proses pendidikan adalah asimilasi dari subjek materi yang telah ditentukan.
Kurikulum diorganisasikan dan direncanakan dengan pasti oleh guru. Esensialisme
mengakui bahwa pendidikan akan mendorong individu merealisasikan potensialitasnya
tetapi realisasinya harus berlangsung dalam dunia yang bebas dari perorangan. Karena itu
sekolah yang baik adalah sekolah yang berpusat kepada masyarakat atau “Society Centered
School” sebab kebutuhan dan minat sosial diutamakan. Minat individu di hargai namun
diarahkan agar siswa tidak menjadi orang yang mementingkan diri sendiri.
4) Sekolah harus mempertahankan metode – metode tradisional yang bertautan dengan disiplin
mental. Esensialisme mengakui bahwa metode pemecahan masalah “Problem Soving” ada
faedahnya, namun bukan suatu prosedur untuk melaksanakan bagi seluruh proses belajar.
5) Tujuan akhir dari pendidikan ialah untuk meningkatkan kesejahteraan umum, karena
dianggap merupakan tuntunan demokrasi yang nyata. (Khobir, 2007: 59).
Adapun dalam bukunya Muhmidayeli (2013: 169) yang berjudul “Filsafat Pendidikan”,
dijelaskan tentang beberapa pandangan esensialisme tentang pendidikan sebagai berikut:
1. Tujuan pendidikan harus jelas dan kukuh yang telah teruji kebenaran dan ketangguhannya
dalam perjalanan sejarah.
2. Sekolah harus mengutamakan realitas dunia dimana siswa hidup dan situasi praktis
3. Belajar adalah melatih daya jiwa yang secara potensial sudah ada.
4. Tujuan belajar adalah untuk mengisi subjek mengerti berbagai realitas, nilai-nilai dan
kebenaran baik sebagai warisan sosial maupun makrokosmis.
5. Proses pembelajaran adalah proses penyesuaian diri individu dengan lingkungan dalam pola
stimulus dan respon dengan menggunakan metode tradisional yang menggunakan
pendekatan psikologis yang mengutamakan latihan berpikir logis, teratur, ajek, sistematis,
menyeluruh, dan latihan penarikan kesimpulan yang baik dan komprehensif.
6. Kurikulum haruslah kaya, bertingkat dan sistematis yang didasarkan pada satu kesatuan
pengetahuan yang tidak dijabarkan lagi, pada sikap yang berlaku suatu kebudayaan
demokratis.
7. Inisiatif pendidikan sepenuhnya tergantung pada guru bukan pada siswa.
8. Siswa harus disiapkan mentalnya untuk mampu menghadapi berbagai problema
kehidupannya, oleh karena itu siswa harus diberikan pengalaman nyata dalam kehidupan
masyarakat.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut maka pandangan filsafat esensialisme tentang belajar
harus dilakukan dengan usaha yang keras, karena keberhasilan dari kegiatan belajar yang
dilakukan seseorang karena usaha yang terus menerus tanpa putus asa dan berhenti, karena kaum
esensialis memandang keberhasilan seseorang tidak begitu saja timbul dalam diri siswa.

10
Karena itu dalam kegiatan belajar menurut esensialisme, siswa membutuhkan bantuan orang
lain untuk menumbuhkan semangat belajar dalam dirinya. Inisiatif dalam pendidikan ditekankan
pada guru bukan pada siswa. Guru harus aktif dalam kegiatan pembelajaran tersebut, bukan
siswa yang aktif, karena siswa tidak memiliki inisiatif sendiri bagaimana kegiatan belajar itu.
Dikarenakan yang menjadi sumber inisiatif adalah guru, maka menurut kaum esensialisme
sekolah harus mempertahankan metode-metode trasdisional yang bertautan dengan disiplin
mental, sehingga metode-metode tradisional yang bertautan dengan disiplin mental merupakan
metode yang diutamakan dalam pendidikan di sekolah.Dengan pola belajar yang demikian maka
tujuan akhir pendidikan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum merupakan tuntutan
demokrasi yang nyata, akan tercapai dengan lebih cepat.

C. PERENIALISME
Filsafat pendidikan modern pada garis besarnya dibagi kepada empat aliran yaitu aliran
progresivisme, esensialisme, perenialisme dan rekonstruksianisme (Imam Barnadib, 1982,
Mohammad Noor Syam, 1986). Namun pada tulisan ini hanya penggambaran singkat yakni
penggambaran  hal-hal yang menjadi ciri utama masing-masing aliran filsafat
pendidikan.Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad k edua
puluh. Aliran ini lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Keadaan sekarang
adalah zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan
kesimpangsiuran.

Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan
ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu
perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan
kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh,
kuat dan teruji. Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan
Mortimer Adler.

Berhubung dengan itu dinilai sebagai zaman yang membutuhkan usaha untuk mengamankan
lapangan moral, intelektual dan lingkungan sosial kultural yang lain. Perenialisme mengambil
jalan regresif, yakni kembali kepada prinsip umum yang telah menjadi dasar tingkah laku dan
perbuatan zaman Kuno dan Abad Pertengahan. Yakni kepercayaan-kepercayaan aksiomatis
mengenai pengetahuan, realita dan nilai dari zaman-zaman tersebut.

1. Ontologi Perenialsime:
1). Asas Teleologi

Perenialisme dalam bidang ontologi berasas pada teleologi yakni memandang bahwa realita
sebagai subtansi selalu cenderung bergerak atau berkembang dari potensialitas menuju aktualitas
(teleologi). Bila dihubungkan dengan manusia, maka manusia itu setiap waktu adalah
potensialitas yang sedang berubah menjadi aktualitas. Di samping asas teleologi, juga asas
supernatural bahwa tujuan akhir bersifat supernatural, bahkan ia adalah Tuhan sendiri.

11
Manusia tak mungkin menyadari asas teleologis itu tanpa iman dan dogma. Segala yang ada
di alam ini terdiri dari materi dan bentuk atau badan dan jiwa yang disebut dengan substansi, bila
dihubungan dengan manusia maka manusia itu adalah potensialitas yang di dalam hidupnya tidak
jarang dikuasai oleh sifat eksistensi keduniaan, tidak jarang pula dimilikinya akal, perasaan dan
kemauannya semua ini dapat diatasi. Maka dengan suasana ini manusia dapat bergerak untuk
menuju tujuan (teleologis) dalam hal ini untuk mendekatkan diri pada supernatural (Tuhan) yang
merupakan pencipta manusia itu dan merupakan tujuan akhir.

2). Individual thing, essence, accident and substance

Perenialisme membedakan suatu realita dalam aspek-aspek perwujudannya menurut istilah


diatas. Penganut ajaran Aristatoles biasanya mengerti dari sesuatu dari yang kongkrit, yang
khusus sebagai individual thing yang kita amati di mana-mana, seperti baru, rumput, dan
aktivitas tertentu. Tetapi eksistensi realita tersebut tetap mengandung sifat asasi sebagai
identitasnya, yakni essence (esensi) sebagai wujud realita itu. Dalam suatu individual thing
terdapat suatu accident (hal-hal kebetulan), dan keseluruhan individual thing yang mempunyai
esensi dan accident yang terbentuk atas unsur-unsur jasmaniah dan rohaniah dengan segala
kepribadiannya inilah sebagai realita substance atau disebut juga hylomorphisme.

3). Asas supernatul

Paham perenialisme memandang bahwa tujuan akhir atau supremend dari substansi dunia
adalah supernatul, bahkan ia Tuhan sendiri. Namun Tuhan sebagai sprit murni, sebagai
aktualisasi murni hanya dapat dipahami melalui iaman (faith). Seluruh realita teleologis hanya
dapat dipahami dengan iman dan biasanya bersifat dogmatis-doktriner.

1. Epistemologi Perenialisme:
Dalam bidang epistemologi, perenialisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat
diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan. Kebenaran
adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian antara pikir dengan benda-benda. Benda-benda
yang dimaksudkan ialah hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip-prinsip keabadian.
Menurut perenialisme, filsafat yang tertinggi adalah ilmu metafisika. Sebab science sebagai ilmu
pengetahuan menggunakan metode induktif yang bersifat analisis empiris kebenarannya terbatas,
relativ atau kebenaran probabiliti. Tetapi filsafat dengan metode deduktif bersifat anological
analysis, kebenaran yang dihasilkannya bersifat self evidence universal, hakiki dan berjalan
dengan hukum-hukum berpikir sendiri yang berpangkal pada hukum pertama, bahwa
kesimpulannya bersifat mutlak asasi.
2. Aksiologi Perenialisme:
Dalam bidang aksiologi, perenialisme memandang masalah nilai berdasarkan prinsip-
prisinsip supernatural, yakni menerima universal yang abadi. Khususnya dalam tingkah laku
manusia, maka manusia sebagai subjek telah memiliki potensi-potensi kebaikan sesuai dengan
kodratnya, di samping itu ada pula kecenderungan-kecenderungan dan dorongan-dorongan
kearah yang tidak baik.  12
Tindakan manusia yang baik adalah persesuaian dengan sifat rasional (pikiran) manusia.
Kebaikan yang teringgi ialah mendekatkan diri pada Tuhan sesudah tingkatan ini baru kehidupan
berpikir rasional.

Beberapa prinsip pendidikan perenialisme secara umum, yaitu:

1. Menghendaki pendidikan kembali kepada jiwa yang menguasai Abad Pertengahan,


karena jiwa pada Abad Pertengahan telah merupakan jiwa yang menuntun manusia hingga
dapat dimengerti adanya tata kehidupan yang telah dapat menemukan adanya prinsip-prinsip
pertama yang mempunyai peranan sebagai dasar pegangan intelektual manusia dan yang
dapat menjadi sarana untuk menemukan evidensi-evidensi diri sendiri (Imam Barnadib,
2002). Tujuan pendidikan adalah sama dengan tujuan hidup, yaitu untuk mencapai kebijakan
dan kebajikan.
2. Rasio merupakan atribut manusia yang paling tinggi. Manusia harus menggunakannya
untuk mengarahkan sifat bawaannya, sesuai dengan tujuan yang ditentukan. Tugas
pendidikan adalah memberikan pengetahuan yang kebenarannya  pasti, dan abadi.
Kurikulum diorganisir dan ditentukan terlebih dahulu oleh orang dewasa, dan ditujukan
untuk melatih aktivitas akal, untuk mengembangkan akal. Yang dipentingkan dalam
kurikulum adalah mata pelajaran general education yang meliputi bahasa, sejarah,
matematika, IPA, filsafat dan seni dan 3 R’S (membaca, menulis, berhitung).

D. Konstruksivisme
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu
tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan
merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan
himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang
mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai
beberapa konsep umum seperti:
1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling
memengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara
aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah
ada.
5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini
berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau
sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman
pelajar untuk menarik miknat pelajar.

13
Menurut teori ini, satu prinsip yang mendasar adalah guru tidak hanya memberikan
pengetahuan kepada siswa, namun siswa juga harus berperan aktif membangun sendiri
pengetahuan di dalam memorinya. Dalam hal ini, guru dapat memberikan kemudahan untuk
proses ini, dengan membri kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide –
ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi
mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan siswa anak tangga yang membawasiswa
ke tingkat pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan siswa sendiri yang mereka tulis dengan
bahasa dan kata – kata mereka sendiri.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan, bahwa makna belajar menurut konstruktivisme adalah
aktivitas yang aktif, dimana pesrta didik membina sendiri pengtahuannya, mencari arti dari apa
yang mereka pelajari dan merupakan proses menyelesaikan konsep dan idea-idea baru dengan
kerangka berfikir yang telah ada dan dimilikinya (Shymansky,1992)
Dalam mengkonstruksi pengetahuan tersebut peserta didik diharuskan mempunyai dasar
bagaimana membuat hipotesis dan mempunyai kemampuan untuk mengujinya, menyelesaikan
persoalan, mencari jawaban dari persoalan yang ditemuinya, mengadakan renungan,
mengekspresikan ide dan gagasan sehingga diperoleh konstruksi yang baru.
Berkaitan dengan konstruktivisme, terdapat dua teori belajar yang dikaji dan dikembangkan oleh
Jean Piaget dan Vygotsky, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Teori Belajar Konstruktivisme Jean Piaget
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa
penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang
dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme
adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik
yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa
ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan
akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.
Proses mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai berikut:
a. Skemata. 
Sekumpulan konsep yang digunakan  ketika berinteraksi dengan lingkungan disebut
dengan skemata. Sejak kecil anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian
dinamakan skema (schema). Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya, anak senang
bermain dengan kucing dan kelinci yang sama-sama berbulu putih. Berkat keseringannya,
ia dapat menangkap perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat dan kelinci
berkaki dua. Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur kognitif anak
terbentuk skema tentang binatang berkaki empat dan binatang berkaki dua. Semakin
dewasa anak, maka semakin sempunalah skema yang dimilikinya. Proses penyempurnaan
sekema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi.

14
b. Asimilasi.
 Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep
ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya.
Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan
mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses
asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian
skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu
dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian
orang itu berkembang.
c. Akomodasi.
 Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat
mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai.
Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah
ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi tejadi
untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau
memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
d. Keseimbangan.
Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sedangkan diskuilibrasi
adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan akomodasi,
ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman luar dengan struktur
dalamnya.
2. Teori Belajar Konstruktivisme Vygotsky
Ratumanan (2004:45) mengemukakan bahwa karya Vygotsky didasarkan pada dua ide utama.
Pertama, perkembangan intelektual dapat dipahami hanya bila ditinjau dari konteks historis dan
budaya pengalaman anak. Kedua, perkembangan bergantung pada sistem-sistem isyarat mengacu
pada simbol-simbol yang diciptakan oleh budaya untuk membantu orang berfikir, berkomunikasi
dan memecahkan masalah, dengan demikian  perkembangan kognitif anak mensyaratkan sistem
komunikasi budaya dan belajar menggunakan sistem-sistem ini  untuk menyesuaikan proses-
proses berfikir diri sendiri.
Menurut Slavin  (Ratumanan, 2004:49)  ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam
pendidikan. Pertama, dikehendakinya setting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar
kelompok-kelompok siswa dengan kemampuan yang berbeda, sehingga siswa dapat berinteraksi
dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan
masalah yang efektif di dalam daerah pengembangan terdekat/proksimal masing-masing. Kedua,
pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan perancahan (scaffolding). Dengan
scaffolding, semakin lama siswa semakin dapat mengambil tanggungjawab untuk
pembelajarannya sendiri.
a.    Pengelolaan pembelajaran
Interaksi sosial individu dengan lingkungannya sengat mempengaruhi perkembanganbelajar
seseorang, sehingga perkemkembangan sifat-sifat dan jenis manusia akan dipengaruhi oleh
kedua unsur tersebut.
15
Menurut Vygotsky dalam Slavin (2000), peserta didik melaksanakan aktivitas belajar melalui
interaksi dengan orang dewasa dan teman sejawat yang mempunyai kemampuan lebih. Interaksi
sosial ini memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual peserta
didik.
b.    Pemberian bimbingan
Menurut Vygotsky, tujuan belajar akan tercapai dengan belajar menyelesaikan tugas-tugas yang
belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam daerah perkembangan terdekat
mereka (Wersch,1985), yaitu tugas-tugas yang terletak di atas peringkat perkembangannya.
Menurut Vygotsky, pada saat peserta didik melaksanakan aktivitas di dalam daerah
perkembangan terdekat mereka, tugas yang tidak dapat diselesaikan sendiri akan dapat mereka
selesaikan dengan bimbingan atau bantuan orang lain.
3. Implikasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63)
adalah sebagai berikut:
1. tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu
atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang
dihadapi,
2. kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan
memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis
masalah dalam kehidupan sehari-hari dan
3. peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi
dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat
situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Dikatakan juga bahwa pembelajaran yang memenuhi metode konstruktivis hendaknya
memenuhi beberapa prinsip, yaitu:
a. menyediakan pengalaman belajar yang menjadikan peserta didik dapat melakukan
konstruksi pengetahuan;
b. pembelajaran dilaksanakan dengan mengkaitkan kepada kehidupan nyata;
c. pembelajaran dilakukan dengan mengkaitkan kepada kenyataan yang sesuai;
d. memotivasi peserta didik untuk aktif dalam pembelajaran;
e. pembelajaran dilaksanakan dengan menyesuaikan kepada kehidupan social peserta didik;
f. pembelajaran menggunakan barbagia sarana;
g. melibatkan peringkat emosional peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan peserta
didik (Knuth & Cunningham,1996).

16
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Gerakan pendidikan adalah pemikiran-pemikiran yang membawa pembaruan dalam dunia
pendidikan. Gerakan-grakan pendidikan yaitu sebagai berikut :
1. aliran progresivisme merupakan suatu aliran dalam filsafat pendidikan yang menghendaki
adanya perubahan secara cepat praktik pendidikan menuju ke arah yang positif. Aliran
progresivisme secara historis telah muncul pada abad ke-19, namun perkembangannya
secara pesat baru terlihat pada awal abad ke-20, khususnya di negara Amerika Serikat.
Kemudian, tokohtokoh utamanya yaitu: William James, John Dewey, dan Hans Vaihinger.
Adapun implementasi dalam pendidikan dapat dilihat dari beberapa aspek, di antaranya:
makna pendidikan, tujuan pendidikan, kurikulum, belajar, dan peran guru dalam
pembeleran. Secara singkat ciri implementasi progresivisme ini dalam pendidikan ialah
menekankan pendidikan demokratis dan menghargai berbagai potensi yang dimiliki oleh
anak, serta pembelajarannya lebih berpusat pada peserta didik, sedangkan guru hanya
sebagai fasilitator, pembimbing, dan pengarah bagi perkembangan peserta didik.

2. Essensialisme adalah gerakan pendidikan yang memperotes gerakan Progresivisme terhadap


nilai-nilai yang tertanam dalam warisan budaya/sosial. Essensialisme berusaha mencari dan
mempertahankan hal-hal yang esensial, yaitu sesuatu yang bersifat inti atau hakikat
fundamental, atau unsure mutlak yang menentukan keberadaan sesuatu. Menurut
essensialsme yang esensial tersebut harus diwariskan kepada genari muda agar dapat
bertahan dari waktu ke waktu. Dan Essensialisme berpandangan bahwa pendidikan harus
bersendikan nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan. Essensialisme didukung atau
dilandasi oleh filsafat idealisme dan realisme.

3. Perenialisme adalah gerakan pendidikan yang mempertahankan bahwa nialai-nilai universal


itu ada, dan bahwa pendidikan hendaknya merupakan suatu pencarian dan penanaman
kebenaran-kebenaran dan nilai-nilai tersebut. Perenialist percaya mengenai adanya nilai-
nilai, norma-norma yang bersifat abadi dalam kehidupan ini. Perenialisme muncul atau
berkembang sebagai reaksi dan solusi yang diajukan atas terjadinya suatu keadaan yang
mereka sebut sebagai krisis kebudayaan dalam kehidupan manusia modern. Perenialisme
mempunyai kesamaan dengan Essensialisme dalam hal menentang Progresivisme, tetapi
perenialisme berbeda dengan essensialisme dalam hal prinsip perenialist yang relegius dan
agama Perenialisme dilandasi atau didukung oleh filsuf Yunani klasik, yaitu plato ( 427-347
SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Dan dipengaruhi dan didukung oleh filsafat Humanisme
Rasional dan Supranaturanisme Thomas Aquinas.

4. Konstruktivisme adalah aliran filsafat yang tema utamanya berkenaan dengan hakikat
pengetahuan, namun konstruktivisme berimplikasi terhadap pendidikan khususnya dalam
bidang pendidikan sains dan matematika. Ada 3 jenis konstruktivisme yaitu (a)
konstruktivisme psikologis personal yang menekankan bahwa pribadi (subjek) sendirilah
yang mengonstruksikan pengetahuan. (b) konstruktivisme sosiologis yang lebih menekankan
masyarakat sebagai pembentuk pengetahuan.
17
(c) sosiokulturalisme yang mengakui baik peranan aktif personal maupun masyarakat dan
lingkungan dalam pembentukan pengetahuan Secara umum banyak orang meragukan
kebenaran paradigma lama seperti paradigma idealisme, rasionalisme, emperisme, atau
obyektivisme. Dan mulai menerima paradigma konstruktivisme yang menyatakan bahwa
pengetahuan seseorang adalah kontruksi (bentukan) orang yang bersangkutan karena itu
transfer pengetahuan dari guru kepada siswa tidak mungkin. Gagasan pokok
konstruktivisme sesungguhnya sudah dimulai oleh Giambatista Vico seorang epistemology
dari Italia. Konstruktivisme dipengaruhi oleh Empirisme dan Pragmatisme.
B. SARAN
Demikianlah makalah ini kami buat, kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan . Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat
kami butuhkan. Guna perbaikan makalah berikutnya. Dan semoga makalah ini bergua untuk kita
semua. Amin.

18
DAFTAR PUSTAKA
Barnadib, I. (1984). Filsafat Pendidikan (Pengantar Mengenai System dan Metode).Yogyakarta :
Yayasan Penerbit FIP IKIP Yogyakarta.
Noor, M., (ED.). (1987). Filsafat dan Teori Pendidikan : Jilid I Filsafat
Pendidikan. Subkoordinator Mata Kuliah Filsafat dan Teori Pendidikan.
Bandung : Fakultas Ilmu Pendidikan, IKIP Bandung.
Syam, M. N. (1984). Filsafat Pendidikan dan dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya :
Usaha Nasional.

19

Anda mungkin juga menyukai